Teks ini membahas sejarah dan konsepsi nasionalisme serta kritik terhadapnya. Nasionalisme mulai berkembang sejak abad ke-19 sebagai identitas etnis dan negara. Namun, nasionalisme juga dikritik karena cenderung irasional, memisahkan umat Islam, dan bertentangan dengan ikatan keislaman yang lebih kuat. Teks ini menganjurkan penghapusan nasionalisme dan persatuan umat Islam di bawah bendera Islam.
1. Nasionalisme (Sejarah, Konsepsi dan Kritik Atasnya)
Oleh redaksi
Senin, 07 Mei 2012 19:48 - Terakhir Diupdate Senin, 07 Mei 2012 19:57
Sejarah dan Konsepsi
Kita tak mengetahui persis kapan tepatnya ide nasionalisme ini muncul. Banyak yang
beranggapan bahwa nasionalisme berkaitan erat dengan kekhasan etnis yang barangkali sama
tuanya dengan sejarah. Sejak zaman kuno, kita menyaksikan manusia telah mencoba
mengelompokkan dirinya dalam suatu hubungan sosial yang dibatasi oleh kesamaan budaya,
bahasa, etnis maupun agama atau kepercayaan. Seperti komunitas awal Saxon, Angle dan
Norman yang diyakini sebagai nenek moyang bangsa Inggris; Kerajaan Yamato (abad 4-7 M)
dengan pemujaan dewi matahari Amaterasu sebagai asal muasal bangsa Jepang;1 dan sejarah
Piasts (10-12 M) yang menjadi komponen munculnya Polandia sebagai sebuah bangsa.
Pada abad ke 19 ide nasionalisme baru diargumentasikan secara ilmiah. Adalah Johann
Gottlieb Fichte (seorang filsuf Jerman) yang mengenalkan ide nasionalisme -sebagai doktrin
ikatan kebangsaan- dalam karyanya “Addresses to The German Nation”.2 Secara etimologis,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Roger Griffin, nasionalisme berasal dari kata nation
(bangsa) yang berasal dari bahasa latin natio. Kemudian istilah nasionalisme merujuk pada
makna daya hidup “kekuasaan rakyat” baru yang di Prancis sanggup menumbangkan sebuah
kerajaan.
Ada pula Erick Hobsbawn, yang berpandangan bahwa sejak tahun 1780 konsep nasionalisme
telah tumbuh dan berkembang di benua Amerika dan Eropa. Di Eropa sendiri, perbincangan
mengenai nasionalisme erat kaitannya dengan berbagai peristiwa penting yang terjadi di benua
tersebut. Meletusnya Revolusi Puritan (abad 17) di Inggris misalnya, dipercaya sebagai
manifestasi nasionalisme.
Eropa dalam abad 19, ternyata menjadi ladang yang subur bagi tumbuhnya mazhab baru
dalam nasionalisme, yaitu nasionalisme liberal. Doktrin ini didengungkan oleh tokoh intelektual
barat seperti Jean-Jacques Rousseau (1712 – 1778), Immanuel Kant (1724 – 1804), Jeremy
Bentham (1748 – 1832), Richard Cobden (1804 – 1865), John Bright (1811 – 1889), dan
Francisque Bouvet (1779 – 1871).3 Jika nasionalisme digambarkan oleh para tokoh ini sebagai
identitas etnis, homogenitas rasial, atau sejarah tertentu, dan cenderung mengunggulkan
bangsa sendiri maka nasionalisme liberal mengambil jalan yang berseberangan dengan
menunjukkan kebangsaan yang diidentifikasi sebagai kenegaraan dan kebebasan universal.
1 / 4
2. Nasionalisme (Sejarah, Konsepsi dan Kritik Atasnya)
Oleh redaksi
Senin, 07 Mei 2012 19:48 - Terakhir Diupdate Senin, 07 Mei 2012 19:57
J.S. Mill (1806 – 1873) sebagai tokoh nasionalisme menyerang doktrin kebangsaan yang
dihubungkan dengan sikap antipati terhadap orang asing. Jadi doktrin ini diyakini oleh para
pengusung liberalisme sebagai doktrin yang menjunjung nilai kebebasan universal ketimbang
nasionalisme yang mengedepankan pengutamaan bangsa sendiri.
Nasionalisme yang diyakini sebagai ide yang murni lahir dari Barat, akhirnya menjalar ke dunia
Timur yang sebagian besar adalah wilayah jajahan negara-negara Barat. Sebagai gejala
historis, nasionalisme ini merupakan respon terhadap suasana politik, ekonomi, budaya dan
terutama terhadap penjajahan. Itulah mengapa, nasionalisme yang bersifat antikolonialisme
menjadi ide yang sangat laku di negara jajahan terlebih pasca kemerdekaan.
Di Indonesia sendiri, munculnya Boedi Utomo dianggap sebagai awal berkembangnya
perjuangan dengan rasa nasionalisme. Walaupun sebenarnya organisasi ini terbentuk dari
ikatan yang lebih sempit yaitu ikatan kesukuan. Pasca kemerdekaan, nasionalisme mewarnai
falsafah negara yang begitu aktif dikampanyekan oleh Soekarno sebagai bentuk penolakan
terhadap imperialisme.
Catatan Kritis
Ide nasionalisme sebenarnya tidaklah mampu menjadi ikatan yang permanen di antara
manusia. Mengapa? Sebagai manifestasi dari naluri mempertahankan diri atau daya hidup
(gharizatul baqa), ikatan ini bersifat temporal dan tidak permanen. Dalam pandangan Steven
Grosby,4 antusiasme patriotik (sebagai penampakan ikatan kebangsaan) hanya muncul saat
terjadi perang dan berlangsung secara singkat. Ini artinya, sifat temporalnya sangat dipengaruhi
oleh ada dan tidaknya ancaman dari luar. Jika ancaman dari luar muncul maka rasa
nasionalisme tumbuh (sebagai ide antikolonialisme), begitu ancaman itu hilang maka rasa dan
ikatan itu pun melemah.
Pandangan Grosby sebenarnya menggambarkan patriotisme. Sekalipun lahir dari rahim yang
2 / 4
3. Nasionalisme (Sejarah, Konsepsi dan Kritik Atasnya)
Oleh redaksi
Senin, 07 Mei 2012 19:48 - Terakhir Diupdate Senin, 07 Mei 2012 19:57
sama yakni dari naluri mempertahankan diri, Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya
Nizhamul Islam membedakannya dari nasionalisme. Nasionalisme merujuk pada makna
kecintaan akan bangsa sendiri dan cenderung ingin menguasai bangsa lain. Kedua-duanya
sejatinya adalah ikatan yang lemah. Dan kedua-duanya pula tak memiliki konsepsi yang jelas
untuk mengatur umat manusia.
Sentimen nasionalistis cenderung menjadi irasional dan fanatis. Seringkali sikap permusuhan
kepada bangsa lain muncul dari nasionalisme yang telah mendarahdaging. Di Eropa, sikap
nasionalisme nyaris membuahkan perang saat Hooligan memukul para suporter lawan dalam
pertandingan bola. Di Jerman, nasionalisme yang cenderung berlandaskan ikatan “darah” yang
emosional memunculkan sikap anti-semit. Maka tak heran jika selama Hitler bersama Nazi
berkuasa lahir undang-undang yang diskriminatif terhadap orang-orang Yahudi. Blut and Boden
(Darah dan Tanah Air), inilah gagasan yang mewarnai doktrin nasionalisme yang seringkali
dikampanyekan oleh Nazi.5
Dalam catatan sejarah, kita sebagai muslim tidak mungkin melupakan bagaimana wilayah umat
Islam yang begitu luas dibagi-bagi berdasarkan kesamaan etnis dan budaya. Nasionalisme
bertanggungjawab atas perpecahan yang terjadi di dunia Islam dan pemberontakan kaum Arab
terhadap Khilafah Islamiyah. Cara paling sederhana yang dilakukan Barat untuk menyuntikkan
ide nasionalisme adalah melalui bendera. Kaum nasionalisme Arab menyetujui komposisi
empat warna sebagai warna dasar bendera: merah, hitam, hijau dan putih. Padahal bendera
yang legal secara syar’i adalah sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah Saw dan para
Sahabat yang bertuliskan lafadz “Laa ilaha illaLlah” dan terdiri dari dua warna: hitam dan putih.
Inilah bendera yang layak dijadikan simbol persatuan umat Islam.
Nabi Saw telah memperingatkan kita akan bahaya berdiri di bawah bendera fanatisme, “...dan
barangsiapa yang berperang di bawah bendera ketidakjelasan dan menyeru kepada
kefanatikan atau marah karena fanatik kemudian terbunuh maka terbunuhnya secara jahiliyah.”
Ikatan nasionalisme jelas tak bisa dijadikan ikatan di antara umat Islam. Ada ikatan yang lebih
kuat, yakni ikatan ideologi Islam. Inilah ikatan yang lebih diunggulkan. Ikatan yang telah
memuliakan seorang Salman yang berkebangsaan Persia karena keislamannya, dan
menghinakan bangsawan mulia Abu Lahab karena kekafirannya. Ikatan tauhid yang tidak
memandang etnis, suku, keluarga dan warna kulit telah mampu menyatukan manusia tanpa
dibatasi sepotong tanah dan sekerat wilayah.
Perhatikanlah bagaimana Allah memberikan gambaran tentang ikatan aqidah yang hakiki,
"sesungguhnya kaum mukmin itu bersaudara" (QS al-Hujurat [49] : 10). Ini artinya, siapa pun
mereka (walau berbeda ras/etnik dan warna kulit) selama ia muslim adalah bersaudara. Saat
3 / 4
4. Nasionalisme (Sejarah, Konsepsi dan Kritik Atasnya)
Oleh redaksi
Senin, 07 Mei 2012 19:48 - Terakhir Diupdate Senin, 07 Mei 2012 19:57
Islam memperhatikan nasib muslim dimana pun mereka berada, justru nasionalisme menutup
mata kita untuk memperhatikan nasib umat Muslim di Palestina yang dijajah Israel,
nasionalisme menutup telinga kita untuk mendengar jeritan umat Muslim di Afghanistan dan
Irak, hanya karena beranggapan bahwa mereka bukan bagian dari bangsa kita. Menyakitkan!
Mempertahankan nasionalisme sama artinya kita bertahan dalam kebodohan dan terpenjara
dalam ikatan kebangsaan yang sempit. Tidak ada waktu lagi bagi kita kecuali membunuh
doktrin ini, agar kita kembali menjadi muslim seutuhnya. Dan menyerukan penyatuan dan
penghapusan sekat-sekat negara agar kita kembali berada di bawah bendera yang satu, Islam!
Oleh: Kusnady ar-Razi (Korda SENADA Malang)
Catatan kaki:
1. Steven Grosby dalam “Sejarah Nasionalisme”, hal. 10
2. ibid
3. Roger Griffin dalam “Ideologi Politik Kontemporer”, hal. 215
4. Sejarah Nasionalisme, hal. 26
5. Harun Yahya dalam karyanya “Nasionalisme Romantik, hal.13
4 / 4