1. MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)
KABUPATEN INDRAGIRI HILIR
PEMETAAN MODERASI BERAGAMA DAN UPAYA
PENCEGEHAN INTOLERANSI RADIKALISME DAN
TERORISME DI PROVINSI RIAU
TAHUN 2022
OLEH :
H. SYAIFUL ANWAR, S.Ag.,M.Pdi
2. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Studi dan pembahasan tentang Al-Qur’an tidak akan ada
habis-habisnya. Selalu ada hal menarik dari setiap sisinya. Al-Qur’an
layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-
beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.1
Kehadiran
berbagai ragam fenomena dan dinamika Islam kekinian telah banyak
menghabiskan analisa dari para pemerhati terutama kaum intelektual
dalam menguak misteri tentang terorisme,2
fundamentalisme,3
dan
radikalisme4
dalam Islam. Fenomena-fenomena ini selalu menjadi
diskursus aktual yang tidak pernah membosankan untuk dibicarakan
baik dalam exposing media maupun dalam ruang-ruang diskusi
akademis yang digelar. Hal ini membuktikan adanya identifikasi
yang khas terkait dengan fenomena-fenomena tersebut, bahkan tidak
jarang kekhasan itu melahirkan teoretisasi dari berbagai pihak.5
Islam dan umat Islam saat ini paling tidak menghadapi dua
tantangan; Pertama, kecenderungan sebagian kalangan umat Islam
1
M. Quraish Shihab, Wawasal Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai
PersoalanUmat, (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2013), h. 4.
2
A Faiz Yunus, Radikalisme, “Liberalisme dan Terorisme:Pengaruhnya
Terhadap Agama”, dalam Jurnal Studi Al-Qur’an; Membangun Tradisi Berfikir
Qur’ani, Vol. 13, No. I, Tahun 2017, h. 80. IslamTerorisme merupakan suatu usaha
untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau
golongan tertentu.
3
Dewi Ratnasari, “Fundamentalisme Islam”, dalam Jurnal Dakwah dan
Komunikasi, Vol.4 No.1 Januari-Juni 2010, h. 2. Fundamentalisme ialah paham
yang berusaha untuk memperjuangkan atau menerapkan sesuatu yang dianggap
mendasar.
4
A Faiz Yunus, Radikalisme, “Liberalisme dan Terorisme:Pengaruhnya
Terhadap Agama”, h. 82. Radikalisme merupakan paham atau aliran yang
mengingikan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan
atau drastis.
3. untuk bersikap ekstrem dan ketat dalam memahami teks-teks
keagamaan dan mencoba memaksakan cara tersebut di tengah
masyarakat muslim, bahkan dalam beberapa hal menggunakan
kekerasan; Kedua, kecenderungan lain yang juga ekstrem dengan
bersikap longgar dalam beragama dan tunduk pada perilaku serta
pemikiran negatif yang berasal dari budaya dan peradaban lain.
Dalam upayanya itu mereka mengutip teks-teks keagamaan (al-
Qur’an dan al-Hadits) dan karya-karya ulama klasik (turats) sebagai
landasan dan kerangka pemikiran, tetapi dengan memahaminya
secara tekstual dan terlepas dari konteks kesejarahan. Sehingga tak
ayal mereka seperti generasi yang terlambat lahir, sebab hidup di
tegah masyarakat modern dengan cara berfikir generasi terdahulu.6
Dalam syariat Islam tidaklah dikenal pembenaran terhadap
sikap ekstrem tidak pula ada sikap menyepelekan tuntunan maupun
aturan syariat. Sifat pertengahan Islam sangatlah jelas pada seluruh
aspek dan bidang yang diperlukan oleh manusia, baik dalam hal
ibadah, muamalah, pemerintahan, perekonomian, maupun selainnya.7
Islam bersifat moderat, adil, dan jalan tengah menurut Ibnu Asyur (w.
1393 H) yang dikutip oleh Zuhairi Miswari telah mencapai kata
mufakat, bahwa sikap moderat, tidak ekstrim kanan dan tidak pula
ekstrim kiri, merupakan sifat mulia dan dianjurkan oleh Islam.8
Di Indonesia, meskipun secara eksplisit tercipta kerukunan,
pada kenyataannya kerukunan tersebut berwajah semu. Dengan kata
lain, kerukunan yang terbangun adalah kerukunan yang diliputi
6
Muchlis M. Hanafi, Moderasi Islam, (Ciputat: Diterbitkan Oleh
Ikatan AlumniAl-Azhar dan Pusat Studi Al-Qur’an, 2013), h. 1-2.
7
Dzulqarnain M. Sanusi, Antara Jihad Dan Terorisme, (Makasar:
Pustaka As-Sunnah, 2011), h. 17.
4. kecurigaan. Secara teologis, memahami agama Islam misalnya, dan
kemudian meyakini pemahaman itu sekaligus mengekspresikannya
merupakan bagian dari manifestasi ajaran yang diyakini dan itu
merupakan fitrah dari setiap tindak keberagamaan.9
Islam sebagai agama, menekankan adanya kehidupan yang
harmonis terhadap sesama manusia dan mampu membangun
masyarakat berperadaban dengan memiliki sifat terbuka, demokrstif,
toleran, dan damai. Untuk itu dalam kehidupan, masyarakat kiranya
dapat menegakkan prinsip persaudaraan dan mengikis segala betuk
fanatisme golongan ataupun kelompok, sebab pada dasarnya setiap
agama berfungsi menciptakan kesatuan sosial, agar manusia tetap
utuh dibawah semangat panji-panji ketuhanan.10
Seperti diketahui,
konflik dan kekerasan kolektif yang melibatkan agama telah menjadi
masalah yang sering timbul dalam beberapa tahun terakhir ini.konflik
dan kekerasan tersebut dapat berupa konflik antarumat beragama
(interreligious). Contohnya adalah konflik pembangunan rumah
ibadat yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Contoh yang lain
adalah konflik di ambon dan poso beberapa tahun lalu. konflik rumah
ibadat ini terutama terjadi di antara kaum Muslim dan Kristen. Ada
banyak analisis dan pandangan mengenai fakta tersebut. Salah satu
faktor penyebab konflik ini terjadi karena perbedaan pendapat atara
penganut agama. Pemikiran yang tidak sepaham melahirkan
masyarakat yang berkelompok dan mengakibatkan perpecahan antara
masyarakat.
9
Faidah Umami, Pluralisma dalam Al-Qur’an (Telaah Pemikiran Abdul
Muqsith Ghazali dan Ali Mustafa Ya’qub terhadap Ayat-Ayat Pluralistik),
(Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2013), h. 5
10
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, (Jakarta : pustaka firdaus,
1997),
1448.
5. Sikap moderasi merupakan sikap yang menghubungkan antar
unsur yang berbeda atau mencari titik temu diantara unsur-unsur
yang berbeda. Kolaborasi berlangsung dalam berbagai asek
kehidupan, seperti politik, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan
dan lain-lain. Tujuan kolaborasi adalah untuk menjawab
permasalahan baru, dengan cara baru, dan untuk menghasikan
jawaban baru. Moderasi beragama menghendaki kolaborasi internal
dan eksternal pemeluk agama untuk menjawab berbagai tantangan
dunia sehingga ditemukan cara-cara baru dan sekaligus jawaban baru
dalam mengatasi berbagai permasalahan baru.
Salah satu ahli tafsir yang lahir dari kejayaan islam Andalusia
adalah Ibnu ‘Athiyyah (w. 542 H), seorang yang beraliran
Ahlussunnah wal Jama’ah dan bermadzhab Maliki. Ia lahir di
Granada pada penghujung abad ke-5 atau 481 H dan wafat 15
Ramadhan di daerah Luraqah Andalusia pada tahun 541 h. Muncul
dari dunia Islam di barat yaitu granada, Ibnu ‘Athiyyah mempunyai
pengaruh yang cukup besar dalam kajian tafsir di dunia. Hal ini
dibuktikan dengan adanya karya-karya tafsir yang muncul dan
menjadikan kitab tafsir karya Ibnu ‘Athiyyah sebagai rujukannya.
Sebagai tafsir yang berhalauan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kita perlu
untuk mempelajarinya untuk menambah wawasan dalam beragama,
khususnya dalam kajian tafsir di dunia internasional.11
Adapun alasan penulis meneliti tentang moderasi beragama
(Studi Analisis Kitab Tafsir Al-Muharrar al-Wajȋz karya Ibnu
‘Athiyyah yaitu, pertama penulis melanjutkan penelitian sebelumnya
11 Nur Hasan, Ibnu ‘Athiyyah Ahli Tafsir Ternama dari Granada Spanyol,
https://islami.co/ibnu-athiyyah-ahli-tafsir-ternama-dari-granada-spanyol/ diakses
tanggal 7desesmber 2019.
6. tentang moderasi beragama, kedua studi analisis kitab al-Muharrar al-
Wajȋz karya Ibnu ‘Athiyyah tentang moderasi beragama belum ada
yang membahas, ketiga pada masa kelahiran Ibnu ‘Athiyyah yaitu
pada masa awal berdirinya dinasti murabithun terdapat suatu
komunitas keagamaan yang membina kaumnya dengan baik, dan
meyakini agama yang mereka anut merupakan agama yang akan
memberikan dan menjanjikan keselamatan. Pada masa ini juga
adanya serangan yang diluncurkan oleh pasukan kristen terhadap
wilayah kekuasaan Islam. Dengan latar belakang tersebut, Al-
Murabithun yang awalnya hanya seribu prajurit memulai gerakannya
dan memaksa suku satu demi satu, termasuk suku Negro untuk
masuk Islam. Sehingga dalam beberapa tahun, mereka berhasil
menegakkan diri sebagai penguasa sejak 1056 M dan berhasil
menguasai atas seluruh wilayah Afrika Utara bagian barat-laut,
Maghrib dan juga berhasil masuk ke wilayah Spanyol. Keempat kitab
tafsir Al-Muharrar Al-Wajȋz kaya Ibnu ‘Athiyah adalah kitab tafsir
yang memiliki penjelasan yang lugas dan tidak bertele-tele, oleh
karena itu tafsir ini perlu di kaji.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti Moderasi
Beragama (Studi Analisis Kitab Tafsir Al-Muharrar Al-Wajȋz Karya
Ibnu ‘Athiyyah).
7. B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dari deskripsi dan latar belakang dapat diidentifikasikan beberapa
masalah, yaitu:
a) Terjadinya konflik antarumat beragama karena berbedapaham
keagamaan
b) Islam dianggap sebagai agama yang intoleran
c) Sikap antar agama dalam membenarkan agamanya, dan
menyalahkan atau tidak membenarkan agama lain.
d) Berbagai Pengertian moderasi beragama menurut paramufasir
e) Beragam pendapat mengenai konsep dan gagasan tentang
moderasi beragama
f) Pandangan Ibnu ‘Athiyyah dalam Tafsir al-Muharrar al-Wajȋz
tentang moderasi beragama
2. Pembatasan Masalah
Berangkat dari latar belakang dan identifikasi masalah
diatas, untuk memperjelas permasalahan dan persoalan yang akan
dibahas dalam skripsi ini maka perlu disampaikan pembatasan
dan perumusan masalah. Hal ini dibutuhkan agar permasalahan
tidak melebar kepada materi-materi yang tidak berkaitan dengan
judul skripsi. Dalam melakukan penelitian ini penulis membatasi
permasalahannya sebagai berikut: Moderasi Beragama (Studi
Analisis Kitab Tafsir al-Muharrar al-Wajȋz karya Ibnu
‘Athiyyah).
8. Al-Quran berbicara tentang moderasi ada banyak term
nya, diantaranya yaitu al-Adl tidak kurang dari 28 kali dalam Al-
Qur’an,12
al-Muqtashid sebanyak 5 kali,13
al-Wazn sebanyak 28
kali,14
al-Qist sebanyak 25 kali.15
Adapun kata wasath terulang
sebanyak lima kali dalam Al-Qur’an.16
Akan tetapi penulis
membatasi ayat-ayat tersebut, Adapun ayat-ayat yang akan
dibahas pada penelitian ini dan hanya membatasi pada empat ayat
yaitu Qur’an surah Al-Baqarah ayat 143 penulis mengambil
kalimat ummatan wasathan dalam ayat ini karena mempunyai arti
ummat yang ditengah, adil dan berimbang sesuai dengan
penelitian penulis yaitu moderasi beragama, dan dalam bahasa
arab moderasi beragama disebut dengan wasathiyyah, Qur’an
surah Al-Baqarah ayat 256 ayat ini menjelaskan tentang toleransi
sesama umat manusia bahwa tidak ada paksaan dalam beragama
karena sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan
yang sesat, Qur’an surah Hȗd ayat 118-119 bagaimana seseorang
selalu berselisihan tentang agama dan itu menjadi suatu
keburukan yang amat tidak disukai oleh Allah swt, dan betapa
mudah bagi Allah Swt untuk membuat umat manusia beriman
semua, tetapi itu tidak dilakukannya karena dia memang tidak
menghendaki pemaksaan dalam soal agama dan Qur’an surah An-
Nisȃ ayat 135 menegakkan keadilan ditengah-tengah masyarakat,
bagaimana seharusnya seharusnya menjadi saksi yang adil dan
menjadi contoh baik bagi seluruh umat.
9. Oleh karena itu penulis membatasi hanya empat ayat diatas,
karena selain termasuk dalam prinsip moderasi beragama ayat ini
sangat perlu dikaji karena dapat memberikan pemahaman yang
lebih mudah di terima oleh umat beragama agar senantiasa
memiliki sifat yang moderat serta tidak berselisih dalam agama,
karena kaikatnnya perselisihan salah satu sifat manusia namun
berselisih dalam agama hanya akan menjadikan manusia terlihat
buruk di hadapan Allah Swt, dengan itu penulis akan mengkaji
empat ayat di atas dengan penafsiran Ibnu ‘Athiyyah dalam
karyanya yaitu kitab tafsir al-Muharrar al-Wajȋz.
12
Mukhlis M. Hanafi, et. Al, Tafsir Al-Qur’an Tematik, entri: Hukum
Keadilan dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an,
1431/2010), cet. Ke-1,h. 161
13
Ahmad Mukhtar Umar, al-Mu’jam al-Mausȗ’i li al-Fadz Al-Qur’an al-
Karim waQira’atihi, (Riyadh: Mu’assasah Suthur al-Ma’rifah, 1423/2002), cet. Ke-1,
h. 372
14
Ahmad Mukhtar Umar, al-Mu’jam al-Mausȗ’i li al-Fadz Al-Qur’an al-
Karim waQira’atihi, h. 655
15
Hanafi, et. Al, Tafsir AL-Qur’an Tematik, h. 166
16
Muhammad Fuad ’Abd al-Baqi, Mu’jam al-Mufahraz li Alfaz al-Qur’an
al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h, 750.
10. BAB II
MODERASI DALAM KERAGAMAN INDONESIA
Bangsa Indonesia sudah terkenal keragaman budaya dan dengan
sifat kemajemukannya. Kemajemukan bangsa Indonesia tampak dari
keragaman budaya, agama, ras, bahasa, suku, tradisi dan sebagainya
sehingga berpredikat sebagai bangsa yang multikultural. Masyarakat
multikultural terdiri dari masyarakat negara, bangsa, daerah, atau lokasi
geografis seperti kota atau kampung, yang memiliki kebudayaan yang
berbeda-beda. Masyarakat multikultural tidak bersifat homogen, namun
memiliki karakteristik heterogen di mana pola hubungan sosial antar
individu di masyarakat bersifat toleran dan menerima kenyataan untuk
hidup berdampingan secara damai satu sama lain dengan perbedaan
yang ada pada tiap entitas budayanya.
Fenomena kehidupan damai dan harmonis tersebut ternyata tidak
selalu terjadi di Indonesia, masyarakat multikultural di Indonesia tidak
selamanya dapat hidup berdampingan sebagaimana yang diharpkan.
Ketegangan dan konflik sering muncul pada masyarakat Indonesia yang
memiliki keragaman kultur, agama, bahasa, ras dan tradisi yang
berbeda, yang pada saat tertentu multikultur tersebut menjadi persoalan
besar bagi keharmonisan bahkan kelangsungan bangsa. Oleh karena itu,
perlu perjuangan terus menerus untuk mewujudkannya.
11. Berbagai tragedi ketidakharmonisan masyarakat multibudaya
yang pernah terjadi di Indonesia dapat terjadi akibat dari minimnya
kesadaran multibudaya, rendahnya moderasi beragama, serta
kekurangarifan dalam mengelola keberagaman masyarakat, yang
menyebabkan terjadinya gesekan horizontal yang berujung pada
perpecahan, yang semuanya menjadi pengalaman pahit bangsa
Indonesia. Dalam upaya mengantisipasi terjadinya ketegangan dan
konflik di tengah masyarakat, maka perlu pendekatan kultural dengan
mem-perkuat falsafah lokal atau kearifan lokal yang mimiliki pesan-
pesan luhur tentang kedamaian.
Namun, solusi dengan pendekatan tersebut juga tidak selalu
berhasil digunakan tanpa dibarengi dengan paham keagamaan yang
tepat dan bijak, karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat
beragama. Peran-pesan agama menjadi sesuatu yang mendasar menjadi
pijakan masyarakat dalam bertingkah laku. Sebagai masyarakat yang
fanatik dengan keyakinannya, maka pendekatan keagamaan menjadi
pilihan untuk membangun keharmonisan umat. Pendekatan yang
dipilih tentunya sikap beragama yang damai, yang sesuai dengan kultur
masyarakat Indonesia yang multikultural.
12. Dengan pendekatan ini, moderasi beragama yang ramah, toleran,
terbuka, fleksibel dapat menjadi jawaban terhadap kekhawatiran konflik
yang marak terjadi di tengah masyarakat mulkultural. Moderasi
beragama tidak berarti bahwa mencampuradukkan kebenaran dan
menghilangkan jati diri masing-masing. Sikap moderasi tidak
menistakan kebenaran, kita tetap memiliki sikap yang jelas dalam suatu
persoalan, tentang kebenaran, tentang hukum suatu masalah, namun
dalam moderasi beragama, kita lebih pada sikap keterbukaan menerima
bahwa diluar diri kita ada saudara sebangsa yang juga memiliki hak
yang sama dengan kita sebagai masyarakat yang berdaulat dalam
bingkai kebangsaan. Masing-masing orang memiliki keyakinan di luar
keyakinan atau agama yang mesti kita hormati dan akui keberadaannya,
untuk itu kita perlu terus menerus bertindak dan beragama dengan cara
moderat.
Moderasi dalam Islam telah dicontohkan oleh para pendahulu
kita, mulai dari Nabi kita, sahabat, para ulama termasuk ulamaulama
kita adalah berlaku adil atas sesama tanpa harus melihat latarbelakang
agama, ras, suku dan bahasa. Dalam lingkup masing-masing agama,
juga terdapat keragaman faham agama.
13. Schwartz, 2007 menyebutkan adanya dua wajah yang merupakan
manifestasi sosiokultural ajaran Islam yang tidak bisa dilepasdari pola
epistemologis yang dilaluinya yang berbeda secara socio—kultural,
pertama, wajah Islam yang ramah, bersahabat, toleran, dan inklusif yang
siap berdampingan dengan para penganut keyakinan yang
berbeda dan dengan sendirinya melihat perbedaan sebagai rahmat dan
kedua, wajah Islam yang garang, mudah marah, tidak toleran, dan
ekslusif, yang menjadi antagonis bagi wajah Islam yang pertama.
Demikian juga pada kelompok kristen, terdapat juga beberapa
kelompok. Mereka yang menerima pikiran-pikiran baru dalam
berteologi ini disebut kelompok modernist dan atau liberal. Tetapi tidak
semua gereja dan para pemimpin gereja, teolog dan umat Kristen
menerima teori evolusi itu. Mereka menentang keras ajaran itu dengan
membentengi dirinya dengan berbagai argumen Alkitabiah. Mereka
yang menentang teori evolusi berargumen bahwa gereja harus loyal
kepada ”dasar-dasar iman Protestan”, sebagaimana tertulis dalam
Alkitab. Untuk membentengi diri dari terpaan modernisme dan teori
evolusionisme itu, maka para pemimpin gereja dari berbagai kelompok
konservatif dan evangelikal bersatu menerbitkan sebuah buku berjudul
The Fundamentals : A Testimony to the Truth, yang terbit tahun 1910.
14. kelompok fundamental yang melihat kelompoknya yang paling
benar. Latar belakang kelahiran fundamentalisme sebagaimana dibuat
teolog dan ahli sejarah, George C. Marsden, yang mengatakan
fundamentalisme adalah ”vangry evangelical ” adalah sangat tepat
dalam konteks ini. Disamping sesama agama terdapat sikap
fundamentalis, ternyata harus diakui bahwa dalam kehidupan agama-
agama yang beragam juga terdapat dilema yang serius yaitu ketika
anggota kelompok agama berhubungan dengan kalangan di luar
komunitasnya. Dalam komunitas agama, hampir semua agama
memandang pihak lain lebih rendah, bahkan cenderung mendiskreditkan
ketika berbicara komunitas di luar dirinya.
Jika ini terjadi, maka ketegangan akan tercipta. Negara Indonesia
adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia,
Islam pembawa kedamaian, nilai-nilai Islam sangat mendukung
terciptanya kedamaian, maka selayaknyalah umat Islam yang rohmatan
lil alamin menjadi penggerak kedamaian dan pengayom masyarakat.
Disini terdapat kesadaran bahwa dalam keberagaman terdapat beragam
keragaman seperti perbedaan dan keragaman faham agama.
15. Dalam mengejawantahkan keagamaannya, masing masing
memiliki kultur, bahasa, adat, dan kewajiban yang sama-sama dimiliki
dan perlu dihormati. Dengan keyakinan itulah akan mengantarkan
kepada sikap keterbukaan, toleran, dan fleksibel dalam bertingkah.
Agama Islam yang datang ke Indonesia memang tidak dalam ruang yang
hampa, datang langsung berinteraksi dengan budaya Indonesia, wajah
Islam Indonesia seperti saat ini adalah cerminan dari hasil interaksi
Islam dengan budaya Indonesia yang kemudian melahirkan Islam
dengan tradisi NU dan Muhammadiyah.
Dengan demikian perlu diupayakan adanya peningkatan
kesadaran multikultural pada bangsa kita, dan seklanjutnya akan
memupuk sikap moderasi beragama. Hal ini perlu dilakukan terhadap
seluruh warga bangsa Indonesia baik oleh pemerintah, para tokoh-tokoh
bangsa, dan para penyuluh agama yang memang ditugasi memberikan
penyuluhan agama.
Bagaimana sikap moderat tersebut ditumbuhkembangkan di
masyarakat kita ? Setidaknya perlu menggunakan pendekatan agama
dan pendekatan multikultural. Pendekatan agama didahulukan, karena
keyakinan agama sangat dominan dalam kehidupan seseorang. Sikap
moderat dalam beragama berasal dari konsep ”tawasuth ”, karena dalam
segala aspek ajarannya Islam itu berkarakter moderat.
Kita dianjurkan untuk tidak berlebih-lebihan dalam beragama
16. atau bersikap ekstrim (ghuluw). Allah memerintahkan bersikap
”tawazun ” (seimbang). Dalam QS Ar-Rahman : ”Dan langit Allah
tinggikan dan timbangan diletakkan. Agar kamu jangan melampaui
timbangan (keseimbangan)”. (Darlis, 2017). Dalam Risalah Jakarta
disepakati bahwa konservatisme adalah sesuatu yang lumrah dalam
beragama karena pemeluk agama berkewajiban memelihara keyakinan
dan praktek keagamaannya. Namun yang perlu untuk dihindarkan oleh
17. BAB III
A. Kesimpulan
Makalah ini bisa disimpulkan dalam dua poin. Pertama,
penafsiran Ibnu ‘Athiyyah pada ayat yang menjelaskan tentang
moderasi beragama, yaitu pada Q.S Al-Baqarah ayat 143 Ibnu
‘Athiyyah menjelaskan bahwa yang di maksud ummatan wasathan
yang terdapat pada ayat ini ialah umat moderat (‘adl), kemudian
wasath juga bisa diartikan sebagai khiyar pilihan terbaik, derajat
tertinggi atau di tengah-tengah. Jadi seseorang bisa dikatakan
ummatan wasathan apabila ia diberi tempat lebih luhur dari golongan
terpilih yang mengikuti jejak Nabi Muhammad. Kemudian Q.S Al-
Baqarah ayat 256 menurut Ibnu ‘Athiyyah ayat ini menjelaskan
bahwa dengan adanya petunjuk dan adanya Rasul yang mengajak
kepada Allah tentu itu sudah menjadi sebuah cahaya yang
ditunjukkan Allah kepada hambanya. Dengan itu sesungguhnya tidak
ada paksaan dalam memasuki agama (Islam), karena sudah jelas jalan
yang benar dari pada jalan yang sesat. Kemudian Q.S Hud ayat 118-
119 dalam ayat ini Ibnu ‘Athiyyah menjelaskan bahwa Allah
menciptakan makhluknya untuk kebahagiaan namun disisi lain juga
ada keburukan. Maka sebagian mereka adalah orang-orang yang
celaka dan sebagian lainnya tergolong ke dalam orang-orang yang
beruntung, Karena tujuan inilah akhirnya Allah menciptakan
manusia.
Perbedaan dalam kehidupan menurut Ibnu ‘Athiyyah menjadi
sebuah naluri bahwa naluri berbeda pasti ada, dan dengan adanya
perselisihan dapat menjadi tanda atau bukti keburukan umatnya yang
karenanya Allah berhak menyiksa terhadap mereka yang
berselisih, dan pada Q.S An-Nisa ayat 135 Ibnu ‘Athiyyah
menjelaskan maksud ayat ini ialah barangsiapa yang meniatkan
akhirat (dalam amalannya), yaitu berbuat adil dan menegakkan
keadilan serta menjadi saksi yang baik, yang memberi pernyataan
18. seseorang dengan perkataan yang jujur dan tidak berbuat dzalim
dengan mengikuti hawa nafsu, maka Allah akan memberinya pahala
dunia serta memberikan apa yang ia inginkan. Kemudian barangsiapa
yang meniatkan amalannya hanya untuk dunia semata, maka Allah
hanya akan memberikan apa yang dia usahakan saja dan akan
memberikan azab kepadanya (karena kesalahan dalam amalannya) di
akhirat.
Kedua analisis Ibnu Athiyyah dalam teori konteksual
Abdullah Saeed (l. 1960 M) ternyata relevan dengan ayat-ayat
moderasi beragama, hal ini terlihat pada ayat Al-Qur’an yang telah di
jelaskan oleh Ibnu ‘Athiyyah. pertama Q.S Al-Baqarah ayat 143
yakni pergeseran makna ummatan wasathan telah sampai pada
pemaknaan yang lebih selaras dengan konteks, dimana Islam datang
di bumi Andalusia yang sudah memiliki perdaban maju sebelumnya,
maka kemoderatan dalam beragama yang di tafsirkan pada ayat ini
oleh Ibnu ‘Athiyyah sudah sangat relevan, sehingga agama Islam
pada saat itu dapat hidup berdampingan degan agama-agama lain
sebelumnya.
Tentunya dengan penafsiran yang dilakukan Ibnu ‘Athiyyah
ini memberikan peluang yang lebih luas dalam melakukan istimbat
hukum yang tidak condong ke kanan maupun ke kiri. Kedua
Q.S Al-Baqarah ayat 256 penafsiran yang dilakukan oleh Ibnu
‘Athiyyah memberikan pandangan bahwa kemerdekaan atas manusia
ternyata dilegalkan oleh Allah Swt. Dalam hal ini Al-Qur’an harus
diyakini sebagai tanggapan atas realitas kehidupan masyarakat pada
19. saat itu baik masyarakat arab maupun diluar arab, maka sudah sangat
selaras dengan konteks dimana tidak hanya agama Islam yang
berkembang pada saat itu. Namun tugas kekhalifahan manusialah
yang seharusnya menutun akal sehat pada sebuah kebenaran yang
hakiki. Ketiga Q.S Hud ayat 118-119 pada ayat ini Ibnu ‘Athiyyah
melakukan identifikasi bahasa dan disiplin ulumul Qur’an dimana
walau syâa dalam kaidah bahasa menunjukkan kaliman inkari
dimana hal itu tidak akan terjadi sehingga interpretasi ini sangat
mendukung adanya perbedaan antar sesama manusia.
Bukankah hal ini menjadi refleksi bagi manusia pada umumnya
dimana perbedaan atas ras, kesukuan, dan agama yang hari ini
menjadi bahasan banyak orang ternyata juga tertulis dalam Al-
Qur’an. Keempat Q.S An-Nisa ayat 135 melihat interpretasi yang
dilakukan oleh Ibnu ‘Athiyyah pada ayat ini cukup jelas dalam
mendudukkan seseorang saksi agar selalu bersikap adil yakni
menetapkan sesuatu pada tempatnya dan senantiasa bersikap jujur
dalam sebuah kesaksian, kontekstualisasi nilai keadilan ini tenteunya
menjadi auto kritik pada kegiatan hukum legal formal yang umumnya
terjadi pada masa kini, dimana kedzaliman atau tidak menetapkan
sesuatu pada tempatnya sering dianggap sebuah tindakan sepele.
Bukankah hal ini yang pada akhirnya menjadikkan hukum seakan
tumpul ke atas dan runcing ke bawah.
20. B. Saran
Adapun beberapa saran dari penulis diantaranya:
1. Moderasi beragama ini dimaksudkan untuk generasi muda agar
memiliki sikap keagamaan yang inklusif. Sehingga jika berada
ditengah masyarakat yang multikultural dan multireligius, kita
bisa menghargai dan menghormati perbedaan yang ada dan bisa
menempatkan diri secara bijak dalam interaksi sosial ditengah-
tengah masyarakat.
2. Agar senantiasa berlaku bijaksana dan selalu bersabar dalam
menghadapi berbagai macam karakter seseorang yang terkadang
melakukan hal-hal yang dapat memancing kemarahan.
3. Mengedepankan sikap terbuka serta dialog dalam proses
pembelajaran, sebagaimana prinsip dalam moderasi pada ayat
yang telah di paparkan di atas.
C. Penutup
Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, yang
telah memberikan taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memerlukan
upaya-upaya penyempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharap
kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini. Demikian semoga skripsi
ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan para
pembaca pada umumnya.
Semoga Allah Swt senantiasa melimpahkan rahmat-Nya
kepada kita semua. Aamiin Allahumma Aamiin.
21. DAFTAR PUSTAKA
Abdillah Masykuri, Moderasi Beragama Untuk Indonesia yang Damai
:Perspektif Islam, (Jakarta: Article UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2019)
Abdurrahman Moeslim, Islam Transformatif, (Jakarta : pustaka
firdaus, 1997), 1448.
Abusi Alee, Konsep Keadilan Menurut Muhammad Sa’id Umar
dalam Tafsir Nur Al-Ihsan, (Surakarta: Skripsi Fak.
Ushuluddin dan Dakwah Institus Agama Negri Surakarta,
2019)
Ba'abdullah Muhammad Bakarim Muhammad, Wasathiyyah Ahl
Sunnah baina al Firaq. (Riyadh: Dar ar Rayah, 1415/1994)
Basuki Sulistio, Metode Penelitian, (Jakarta: Penaku, 2010)
Birroh Sakinatul, Pendidikan Multikultural dalam Al-Qur’an,
(Semarang: Skripsi fak. Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Institus Agama IslamNegri Salatiga, 2017)
22. Chumairoh Nurul Andidi, Penafsiran Ummatan Wasathan Presfektif
Sayyid Qutubh dalam Tafsir fi Dzilalil Qur’an, (Surabaya:
Skripsi fak. Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negri
Sunan Ampel, 2019)
Dhoif Syauqi, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: ZIB, 1972)
Djam’anuri, Ilmu Perbandingan Agama: Pengertian dan Objek
Kajian
(Yogyakarta: PT. Karunia Kalam Semesta, 1998)
Efendi Djohan, Kemusliman dan Kemajemukan dalam TH.
Sumatrana (ed.) Dialog : Kritik dan Identitas Agama
(Yogyakarta: Dian-Interfidel, 1994)
Fadeli Soeleiman, Antologi NU (Sejarah, istilah, amaliyah dan
Uswah),
(Surabaya: Khalista, 2007)
Fayid al-Wahhab‘Abd, Manhaj Ibni ‘Athiyyah fi Tafsir al-Qur’an al-
Karim, (al-Qahirah: alHay’ah al-Ammah li Syu’un al-
Mathabi’ al- Amiriyyah, 1393 H./1973 M.)
Ghazali Abd. Moqsith, Argumen Pluralisme Agama : Membangun
ToleransiBerbasis Al-Qur’an (Depok: KataKita, 2009)
Gularnic David g., Webster’s World Dictionary of American
Language
(Clevelen and New York: The World Publishing Company,
1959)
23. Gunawan Hendri, Toleransi Beragama Menurut Pandangan
Hamka Dan Nurcholis Madjid, (Surakarta: Universitas
MuhamadiyyahSurakarta, 2015)
Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz 2 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983)
Hanafi M Muchlis, Moderasi Islam, (Ciputat: Diterbitkan Oleh
IkatanAlumni Al-Azhar dan Pusat Studi Al-Qur’an, 2013)
Iyazi Ali Muhammad, al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum,
(Teheran: Wazarah al-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islami,
1414 H./1994 M.)
24. Karim Abdullah, Rasionalitas Penafsiran Ibnu ‘Athiyyah, (Jurnal Ilmu
Ushuluddin, Vol. 12, No. 1, 2012)
Katsir Ibnu, Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim, Jilid I, (Bairut: Dar al-Fikr, 1984)
Misrawi Zuhairi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusifisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007), hlm. 161.
Muhammad Husayn al-Dzahabi, alTafsir wa al-Mufassirūn, Jilid 1, (al-
Qahirah: Maktabah Wahbah, 1424 H./2003 M.)
Mukhlis dan Afrizal Nur, “Konsep Wasathiyah Dalam Al-Qur’an: (Studi
Mussafa Ahyar Rizal, Konsep Nilai-nilai Moderisasi Dalam Al-
Qur’an dan Implementasinya dalam Pendidikan Agama Islam,
(Semarang: skripsi Fak. Tarbiyyah dan Keguruan Universitas Islam
Negri Walisongo, 2018)
Komparatif Antara Tafsir At-Tahrir Wa At-Tanwir Dan Aisar AtTafsir)”,
Jurnal An-Nur, (Vol. 4, No. 2 Tahun 2015)
Mussafa Rizal Ahyar, Konsep Nilai-nilai Moderisasi Dalam Al-Qur’an dan
Implementasinya dalam Pendidikan Agama Islam, (Semarang:
skripsi Fak. Tarbiyyah dan Keguruan Universitas Islam Negri
Walisongo, 2018)
Norasid Alihanafiah Muhamad Dan Ahmad Mustaffa, Variasi Aliran Tafsir
Di Andalus, Pada Era Kerajaan Muwahhidun (540h/1142m –
667h/1268m): Satu Tinjauan Awal, (Jurnal Al-Tamaddun Vol. 7
No. 1, 2012)
25. Salim Syukur, Kerukunan Umat Beragama (Studi Komparatif Antara Tafsir
Mafatih Al-Ghaib Dan Tafsir Al-Misbah, (Lampung: Skripsi Fak.
Ushuluddin Universitas Raden Intan Lampung, 2017)
Sanusi M Dzulqarnain, Antara Jihad Dan Terorisme, (Makasar: Pustaka As-
Sunnah, 2011)
Setiyadi Alif Cahya, Pendidikan Islam Dalam Lingkaran Globalisas, (Jurnal
Vol. 7, No. 2, Desember 2012)
Setyani, Kerukunan Umat Beragama Di Desa Randusari, Kecamatan
Slogohimo, Kabupaten Wonogiri (Studi Atas Relasi Umat Islam,
Kristen Dan Budha), (Yogyakarta: Fak. Uahuluddun Universitas
Sunan Kalijaga, 2013