1. Nasionalisme yang ditanamkan Barat meruntuhkan Kesatuan Khilafah Islamiyah.
2. Gerakan Turki Muda dan partai-partai nasionalis lainnya menyebarkan ide nasionalisme dan memisahkan umat Islam.
3. Inggris adalah dalang utama yang merancang strategi ini dengan membangkitkan nasionalisme dan memotong wilayah Khilafah.
1. m.hizbut-tahrir.or.id/2013/03/31/khilafah-runtuh-karena-nasionalisme/ 1/6
HOME BERITA TERBARU TENTANG KAMI FAQ DEKSTOP
Khilafah Runtuh Karena Nasionalisme
March 31st, 2013 by solihan
Enam abad bukanlah waktu yang singkat untuk membuktikan kedigdayaan Khilafah Islamiyah. Khilafah
menjadi super power pertama yang tidak pernah mengalami kekalahan perang. Eropa tidak bisa
melupakan status tersebut, karena merekalah negara adidaya yang mendominasi peradaban global
abad pertengahan. Konspirasi dan serangan Eropa menemui momentumnya pada abad 11-12 Masehi.
Eropa mulai mencium instabilitas Khilafah. Beberapa provinsi (wilayah) mulai memisahkan diri, bahkan
beberapa gubernur (wali) berani melakukan otonomi dalam masalah militer, keuangan dan kekuasaan.
Alhasil, kekuasaan Khilafah Utsmaniyah hanya diakui sebatas seremoni, simbol dalam mata uang dan
institusi pengirim uang kharaj. Eropa mulai berani mengirim Pasukan Salib pertama. Episode pertama
perang ini memberikan kemenangan bagi kaum kafir hingga mereka berhasil menguasai Palestina,
Suriah dan Libanon.
Namun, bandul sejarah belum mengarah pada kemenangan Eropa seutuhnya. Berbagai pukulan fatal
kepada Negara Islam tak mampu mengalahkan mereka. Akibatnya, Eropa perlu menyusun strategi
baru untuk menikam jantung Khilafah. Mereka berkaca pada kesuksesan pengalaman memisahkan
Balkan dari hegemoni Khilafah. Pada awal abad kesembilan belas, nasionalisme mulai tumbuh di
kawasan Balkan hingga berbuntut pada kemerdekaan negara-negara Kristen seperti Serbia-
Montenegro, Bulgaria, Rumania, Yunani dan sebagainya. Realita ini menginspirasi Eropa untuk
membangkitkan nasionalisme dan membangkitkan separatisme di wilayah utama kaum Muslim.
Berawal dari Istanbul dan Beirut
Istanbul, pusat pemerintahan Khilafah Utsmaniyyah, menjadi markas serangan kilat misi ini. Mereka
menargetkan misi berdurasi singkat, namun mampu menimbulkan implikasi luas. Beirut menjadi
markas untuk menyerang provinsi-provinsi dalam Daulah—khususnya negeri berbahasa Arab—melalui
pemikiran-pemikiran impor yang berlawanan dengan Islam.
Serangkaian organisasi memiliki peran penting dalam penaman benih-benih nasionalisme di kalangan
VIDEO FOTO KEGIATAN
2. m.hizbut-tahrir.or.id/2013/03/31/khilafah-runtuh-karena-nasionalisme/ 2/6
pemuda. Di Beirut, Butrus al-Bustani, Mikhail Mishaqa dan Nasif al-Yaziji mendirikan the Syrian
Association for the Sciences and Arts pada tahun 1847 atas inisiatif The American Mission. Mereka
mengesankan asosiasi ini memiliki misi menyebarluaskan sains dan pemikiran Barat. Namun, yang
bergabung hanyalah penduduk Beirut yang Nasrani. Kegagalan ini tak menghentikan mereka
membuat organisasi baru. Pada tahun 1850 didirikan Eastern Association, 1852 terbentuk the Syrian
Scientific Association dan The Secret Association pada tahun 1875. Organisasi terakhir
memposisikan diri sebagai partai politik pertama yang terfokus pada nasionalisme Arab.
The Secret Association dirancang untuk merekrut mata-mata demi menghancurkan pemikiran Islam
dan meracuni kaum Muslim. Parpol ini membangkitkan permusuhan kepada Daulah Utsmaniyyah dan
menyebutnya sebagai Negara Turki. Mereka memperjuangkan pemisahan agama dari negara,
menegakkan nasionalisme Arab sebagai dasar persatuan dan mengubah loyalitas pada akidah Islam
menjadi setia pada nasionalisme Arab. Sesuai namanya, parpol ini menerbitkan selebaran-selebaran
yang berisi hasutan bahwa Turki telah merampas Khilafah dari bangsa Arab.
Di Istanbul, Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement) dibentuk oleh Ahmad Ridha Beik yang
memiliki gagasan untuk mengimpor budaya Barat ke Turki. Gerakan ini sungguh terpengaruh Revolusi
Prancis dengan semboyannya: liberte, egalite, dan fraternite. Timbulnya kaum terpelajar yang
berpaham modern memudahkan proses adopsi liberalisme, nasionalisme dan demokrasi. Tokoh-
tokoh mereka seperti Ziya Gokalp tampil sebagai sosok Turki Muda pembawa semangat nasionalisme
yang dominan dan fanatik. Nasionalisme yang disebut Gokalp sebagai Turkisme Kultural tidak menuntut
keberadaan faktor religius. Ia merekomendasikan Syaikhul Islam sebagai representasi penerapan
hukum Islam agar dihapuskan. Pemikiran Gokalp menegaskan pemisahan agama dengan politik.
Gerakan Turki Muda membentuk Committee for Union and Progress/CUP (Komite Persatuan dan
Kemajuan) sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan secara terbuka. CUP menjadi aktor penting
dalam Daulah Utsmaniyah sepanjang tahun 1908-1918, termasuk memasok tiga presiden pertama
Republik Turki sekular.
Serangan Keji Nasionalisme
Singkat kata, CUP berhasil melancarkan kudeta dan merampas kekuasaan yang diabadikan sejarah
sebagai Revolusi Turki Muda (Young Turk Revolution) pada tahun 1908. Pada musim gugur tahun
yang sama, CUP mengadakan konferensi di Salanik, Turki, sebagai sarana unjuk kekuatan. Pada saat
itu Ahmad Beik menyombongkan kekuatan gerakannya dan memastikan dukungan Eropa kepada
mereka. Selanjutnya saat Turki meresmikan pembentukan parlemen, komite ini memperoleh
kekuasaan lewat Partai Turki Muda.
Kekuasaan itu mereka manfaatkan sebaik-baiknya untuk mengendalikan angkatan bersenjata. Komite
sadar betul bila berhasil mengendalikan angkatan bersenjata, mereka akan mampu mengendalikan
seluruh kekuasaan. Mereka berupaya mengangkat pimpinan angkatan bersenjata berdasarkan
kebijakan partai. Akibatnya, seluruh anggota tentara lebih memilih untuk masuk partai daripada
berkarier di militer. Mereka juga membuat undang-undang yang menjamin kesamaan hak dan
kewajiban bagi seluruh warga negara Daulah Utsmaniyyah.
3. m.hizbut-tahrir.or.id/2013/03/31/khilafah-runtuh-karena-nasionalisme/ 3/6
Demikianlah, strategi penghancuran yang dilakukan Barat berjalan dengan baik. Kalangan elit Partai
Turki Muda beserta para pendukungnya menjadi corong utama penyebaran pemikiran dan budaya
Barat. Nasionalisme menjadi ruh partai sehingga kesetiaan terhadap nasionalisme Turki melebihi
kesetiaan pada apapun. Kebanggaan pada Turki membuat bangsa itu merasa derajatnya lebih tinggi
daripada seluruh kaum Muslim lainnya.
Inilah kekejian luar biasa yang dilakukan Barat terhadap Islam, mengalahkan akibat yang ditimbulkan
oleh perang fisik. Tumbuhnya paham ini sungguh menjadi tikaman yang tepat menghujam jantung
kesatuan Negara Islam. Strategi ini memberikan hasil yang cepat dan telak. Nasionalisme yang
dikampanyekan partai berhasil menimbulkan rasa permusuhan, kebencian dan peperangan di antara
kaum Muslim. Gagasan nasionalisme menyebar seantero kekuasaan Daulah Utsmaniyyah hingga
bangsa Albania, Sirkasia—berasal dari Kaukasus Utara dan saat ini mengalami diaspora—Kurdi,
Romawi dan Armenia sibuk mendirikan komite demi memerdekakan diri dari kesatuan Khilafah.
Imbas nasionalisme juga menimpa bangsa Arab. Mereka turut membuat organisasi Persaudaraan
Arab Utsmaniyah di Astana, Kazakhstan. CUP yang sangat fanatik dengan keturkiannya—bahkan
menjurus pada chauvinistic—cenderung membiarkan setiap etnis membentuk kelompok sendiri,
namun ini tidak berlaku bagi bangsa Arab. Mereka membubarkan setiap perkumpulan Arab, melarang
orang Arab menduduki posisi penting dalam partai dan pemerintahan, menarik perwira-perwira militer
berkebangsaan Arab ke Istanbul serta mencegah mereka mengikuti pelatihan militer di Jerman.
Mereka justru mengangkat orang-orang berkebangsaan Turki yang tidak bisa berbahasa Arab sebagai
pejabat di wilayah Arab. Konyolnya, bahasa Turki dijadikan sebagai bahasa resmi Negara hingga
mereka mulai mengajarkan tata bahasa Arab dengan pengucapan bahasa Turki!
Kondisi ini menimbulkan kemarahan para perwira berkebangsaan Arab. Namun, mereka menyadari
bahwa masalah ini bukan sekadar masalah persatuan Arab dan Turki, namun masalah persatuan umat
Islam. Mereka mengerti bahwa di antara Muslim dilarang saling merendahkan dan memusuhi. Mereka
juga tahu bahwa ketaatan pada Khalifah di Istanbul adalah perintah Allah yang wajib dipatuhi. Namun,
beberapa perwira Arab mulai tak sabar. Pada akhir tahun 1909 mereka menuntut penyelesaian kasus
tersebut kepada CUP.
Sebuah pertemuan di Istanbul digagas untuk merundingkan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk
mengembalikan persatuan Islam. Hampir saja kedua belah pihak bersepakat untuk menghilangkan
sikap rasis dan kembali menyandarkan persoalan pada akidah Islam. Namun, tokoh muda nasionalis
seperti Ahmad Agha Beik dan Yusuf Aqsyurah Beik dengan congkak tak mau melepaskan
nasionalismenya dan menyerahkan kesetiaan mereka pada Islam. Mereka menyela dan memaki
perwakilan Arab sambil mengagungkan bangsa Turki. Pertemuan berakhir dengan keadaan yang lebih
buruk dari sebelumnya.
Kebijakan rasis makin menguat. Komite makin gencar melaksanakan program yang menguntungkan
bangsa Turki. Kondisi ini memicu pengunduran diri semua anggota berkebangsaan Arab, Albania,
Armenia bahkan warga Turki yang masih mengutamakan akidah Islam dibandingkan nasionalisme.
4. m.hizbut-tahrir.or.id/2013/03/31/khilafah-runtuh-karena-nasionalisme/ 4/6
Aktor Utama Kekisruhan
Kekisruhan di tubuh Daulah dimanfaatkan Eropa untuk mulai aktif menjalin kontak dengan Arab. Eropa
berada di belakang aksi pendirian partai-partai berbasis Arab. Di antaranya ‘Partai Desentralisasi’ di
Kairo, ‘Komite Reformasi’ dan ‘Forum Literal’ di Beirut.Pada tanggal 18 Juni 1913. Dengan bantuan
Prancis, pemuda-pemuda Arab mengadakan konferensi di Paris. Konferensi itu menjadi deklarasi
pertama kaum nasionalis Arab yang bersekutu dengan Inggris dan Prancis guna melawan Daulah
Utsmaniyah.
Ketika mengetahui hal ini, CUP turut menambah keruh suasana dengan mendirikan Turk Ojaghi
Committee (Komite Persaudaraan Turki). Komite itu menegaskan tujuan untuk menghapuskan Islam
dan mengubah Daulah Utsmaniyah menjadi Negara Turki. Propaganda mereka jalankan dengan
menerbitkan buku-buku dan jurnal bermuatan ateis. Sungguh, nasionalisme telah membutakan mereka
terhadap petunjuk dan kebenaran Islam. Bagai virus, paham ini menjalar ke seluruh kawasan Arab. Di
Suriah, belakangan ditemukan dokumen di konsulat Prancis yang berada di Damaskus. Prancis dan
Inggris mengarahkan para pemuda Arab melakukan serangkaian aktivitas pengkhianatan terhadap
Negara Islam.
Inggris adalah aktor utama yang merancang kekisruhan ini. Kesatuan Daulah Islamiyah dipecah-belah
melalui strategi penanaman paham nasionalisme. Inggris membangkitkan gagasan kemerdekaan Turki
yang memisahkannya dari wilayah Khilafah Utsmaniyah. Di sisi lain, Inggris telah memotong-motong
wilayah yang dihuni bangsa Arab menjadi beberapa bagian. Seusai Perang Dunia I, Inggris menguasai
wilayah-wilayah sekitar Arab. Setelahnya, Inggris segera membagi wilayah-wilayah itu menjadi negara-
negara kecil dan mulai memerintah seakan-akan negara-negara tersebut adalah negara yang baru
dijajah. Padahal sesungguhnya, negara anglo saxon itu telah melanggar kesepakatan internasional.
Konvensi internasional yang berlaku menyebutkan bahwa penguasaan wilayah oleh negara pemenang
perang tidak berarti secara sepihak berhak menentukan nasib negara yang dia kuasai. Dengan licik,
Inggris mengakali kesepakatan itu demi tujuan mengerat Daulah Islam. Lalu muncullah entitas-entitas
baru di wilayah Daulah Islamiyah yang saat ini dikenal sebagai Libanon, Suriah, Irak, Palestina,
Yordania, Hijaz dan Yaman.
Selain melakukan manuver politik dengan membagi wilayah Daulah, Inggris memusatkan seluruh
perhatiannya pada Turki sebagai ibukota Negara Khilafah. Aneksasi atas Khilafah dilakukan melalui
serangkaian permainan kotor melalui perundingan dan pengerahan kekuatan militer. Permainan politik
dipusatkan di Turki dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintah dan menghancurkan Khilafah.
Inggris menciptakan move politik yang eksekusinya dibantu oleh antek-anteknya hingga menggiring
Khilafah masuk dalam jebakannya. Memang, usaha ini panjang dan melelahkan. Namun, Inggris
memetik hasil dari jerih payahnya itu saat Perjanjian Lausanne ditandatangi pada tanggal 24 Juli 1924.
Kemerdekaan Turki memperoleh pengakuan sehingga Inggris menarik mundur pasukannya dari
Istanbul dan meninggalkan Turki.
Mereka telah meruntuhkan Khilafah beserta keagungan Islam akibat gempuran paham nasionalisme di
wilayah-wilayah Daulah. Sejarah kelam penghancuran Khilafah Islamiyah hendaknya menjadi pelajaran
5. m.hizbut-tahrir.or.id/2013/03/31/khilafah-runtuh-karena-nasionalisme/ 5/6
yang berharga tentang kesungguhan sebuah perjuangan. Demi ikatan batil dan rapuh bernama
nasionalisme saja kaum kuffar tidak pernah lelah dan rela bersabar dalam rentang waktu yang panjang
dalam menyusun rencana makar untuk menghancurkan kekuatan Islam. Jadi, mengapa kita belum
bersungguh-sungguh dalam mengerahkan segenap kekuatan untuk melawan penetrasi paham-paham
bodoh mereka? Tentu demi kembali tegaknya Khilafah Islamiyah, demi mengembalikan keagungan dan
kedigdayaan Islam. [Pratma Julia Sunjandari (Lajnah Siyasiyah MHTI)]
Baca juga :
1. Nasionalisme: Penyebab Utama Kehancuran Khilafah
2. Dr. Lutfi Zuhdi, MA.: Timur Tengah Tidak Bersatu Karena Mengakarnya Ikatan Nasionalisme
3. Iran Bergerak Menuju Nasionalisme Yang Lebih Besar
4. Derita Rohingnya, Buah Nasionalisme dan Ketiadaan Khilafah
5. Rezim Iran Mengadopsi Nasionalisme Persia Bertopeng Islam
Tw eet
Posted in Siyasah & Dakwah | No comments
Previous post: Memperhatikan Alam Berbuah Keimanan
Next post: Melindungi Anak dari Kejahatan Seksual
Leave a comment
Name (required)
Mail (required, but not published)
Website
http://
Comment
Submit comment