Sekitar Rp 1.387 triliun uang beredar di sektor minyak bumi dan gas (migas) dan mineral dan batubara (minerba), ribuan pengusaha menikmati penghasilan dari mengeruk kekayaan di sektor pertambangan (BPS, 2014 & BI, 2014). Namun, hanya sekitar Rp 96,9 triliun yang dapat ditarik pajaknya (DJP, 2014). Ini terjadi karena pemerintah tak memiliki informasi yang akurat tentang beneficial ownership di sektor pertambangan.
Banyak perusahaan ekstraktif (migas dan minerba) yang beroperasi di Indonesia. Namun, publik tidak pernah tahu siapa orang di balik kendali perusahaan dan penerima manfaat utama dari operasi perusahaan tersebut (beneficial ownership). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI), sepanjang tahun 2014, Produk Domestik Bruto (PDB) di sektor pertambangan baik di sektor hulu maupun di sektor hilir mencapai Rp 1.387 triliun (BPS, 2014 & BI, 2014). Banyak perusahaan dan individu yang berinvestasi di sektor ini karena nilai ekonominya sangat fantastis.
Kendati demikian, keuntungan yang didapat oleh perusahaan dan pengusaha tersebut belum seimbang dengan pajak yang dibayarkan ke negara. Data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjukan total penerimaan pajak di sektor pertambangan hanya sebesar Rp. 96,9 triliun. Artinya, nisbah bagi hasil antara penerimaan pajak dengan PDB sektor pertambangan hanya sebesar 9,4%.
2. P W Y P I N D O N E S I A - B E N E F I C I A L O W N E R S H I P
3. P W Y P I N D O N E S I A - B E N E F I C I A L O W N E R S H I P
Rekomendasi
• Pemerintah harus membentuk satuan kerja untuk mendorong penerapan Single Identity Number
(SIN).
• Membuat kerangka regulasi melalui Peraturan Presiden (Perpres) tentang Keterbukaan Informasi
dan Basis Data Terpadu terkait beneficial ownership di Sektor Pertambangan.
• Memperkuat standar laporan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) terkait keterbu-
kaan informasi mengenai beneficial ownership.
• Memasukan kerangka beneficial ownership dan aturan penghindaran pajak dalam Revisi Undang –
Undang (RUU) Pajak Penghasilan.
Ringkasan
Sekitar Rp 1.387 triliun uang beredar di sektor minyak bumi dan gas (migas) dan mineral dan batubara (minerba),
ribuan pengusaha menikmati penghasilan dari mengeruk kekayaan di sektor pertambangan (BPS, 2014 & BI, 2014).
Namun, hanya sekitar Rp 96,9 triliun yang dapat ditarik pajaknya (DJP, 2014). Ini terjadi karena pemerintah tak
memiliki informasi yang akurat tentang beneficial ownership di sektor pertambangan.
Banyak perusahaan ekstraktif (migas dan minerba) yang beroperasi di Indonesia. Namun, publik tidak pernah tahu
siapa orang di balik kendali perusahaan dan penerima manfaat utama dari operasi perusahaan tersebut (beneficial
ownership). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI), sepanjang tahun 2014, Produk
Domestik Bruto (PDB) di sektor pertambangan baik di sektor hulu maupun di sektor hilir mencapai Rp 1.387 triliun
(BPS, 2014 & BI, 2014). Banyak perusahaan dan individu yang berinvestasi di sektor ini karena nilai ekonominya san-
gat fantastis.
Kendati demikian, keuntungan yang didapat oleh perusahaan dan pengusaha tersebut belum seimbang dengan pa-
jak yang dibayarkan ke negara. Data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjukan total penerimaan pajak di sektor
pertambangan hanya sebesar Rp. 96,9 triliun. Artinya, nisbah bagi hasil antara penerimaan pajak dengan PDB sektor
pertambangan hanya sebesar 9,4%.
Latar Belakang
Memasuki tahun fiskal 2016, Indonesia menghadapi persoalan keseimbangan fiskal. Satu sisi, pemerintah ingin
agresif dalam belanja terutama untuk infrastruktur dan pelayanan publik. Disisi lain, pemerintah terkendala dalam
optimalisasi penerimaan, karena penerimaan pajak tidak sesuai dengan harapan. Target penerimaan pajak sebesar
Rp. 1.368 triliun dalam APBN 2016 sangat sulit untuk dicapai (Kementerian Keuangan, 2015).
Kondisi perlambatan ekonomi, juga berdampak terhadap kinerja sektor pertambangan. Sektor pertambangan dan
penggalian yang semula tumbuh sekitar 3%–4% pertahun, kini mengalami penurunan dan di kuartal III/2015 per-
tumbuhan sektor pertambangan dan pengalian justru minus 4,48% (BPS, 2015). Sedangkan penerimaan pajak dari
sektor ini juga mengalami penurunan yang signifikan mencapai 35% di tahun 2015 ini (DJP, 2015).
Banyak masalah yang perlu diselesaikan untuk mendorong optimalisasi penerimaan pajak, terutama di sektor pert-
ambangan. Salah satunya adalah, persoalan transparansi data beneficial ownership di sektor pertambangan.
Beneficial ownership atau penerima manfaat langsung dari aktivitas bisnis merupakan instrumen untuk mendorong
kebijakan transparansi tata kelola perusahaan pertambangan di Indonesia. Beneficial ownership, selain menjadi
kerangka kebijakan perpajakan untuk mengatasi permasalahan penghindaran pajak (tax avoidance), juga bisa digu-
nakan lebih luas untuk mendorong perbaikan tata kelola pertambangan.
4. P W Y P I N D O N E S I A - B E N E F I C I A L O W N E R S H I P
Indonesia butuh terobosan kebijakan dalam integrasi data terkait beneficial ownership. Informasi beneficial owner-
ship yang dikompilasikan dengan data–data pendukung, seperti data pajak, data perbankan, data transaksi keuan-
gan, data kependudukan dan data legal kepemilikan identitas bisnis akan sangat membantu pembuatan kebijakan
dan pengawasan dalam penerimaan negara.
PWYP Indonesia mencoba menganalisis persoalan tersebut, mengidentifikasi prasyarat dan kebijakan yang diper-
lukan dalam mendorong penerapan beneficial ownership di sektor pertambangan di Indonesia. Dan mendorong
penerapan beneficial ownership untuk mengoptimalkan penerimaan negara.
Box 1. Definisi Beneficial Ownership
Beneficial ownership pertama kali muncul dalam kontruksi hukum di Inggris. Secara global, beneficial ownership
pertama kali direkonstruksi oleh The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Dalam
OECD Model Tax Convention yang dipublikasi tahun 1977. OECD beberapa kali memperbaiki kerangka framework
terkait beneficial ownership. Dan terakhir OECD menjelaskannya dalam OECD Working Party di tahun 2011. OECD
mendefinisikan sebagai pihak (individu) penerima manfaat yang sebenarnya. Terkait penerima manfaat sebena-
rnya, OECD membagi menjadi tiga yaitu dalam hal perusahaan pemilik adalah pemegang saham (shareholders)
atau anggota, dalam sebuah kerjasama (partnership) pemilik adalah pihak partner baik terbatas maupun umum
dan dalam sebuah trust atau foundation pemilik adalah pendiri (OECD Tax Convention, 1997, 2002, 2010 & 2012).
Di Indonesia dalam konteks pajak, beneficial ownership ini diadopsi oleh Indonesia dalam Undang – undang (UU)
Pajak Penghasilan (PPh) yang terakhir adalah UU No. 38 Tahun 2008 tentang PPh. Secara teknis pelaksanaan,
pemerintah melalui DJP mengeluarkan Surat Edaran DJP No. SE – 04/PJ.34/2005 tentang Petunjuk Penerapan
Beneficial Ownership sebagaimana tercantum dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Bergada (P3B) antara In-
donesia dengan Negara Lain. Dan ini sudah tiga kali di revisi dan terakhir di revisi melalui Peraturan DJP No. PER
– 25/PJ/2010. Dalam beleid tersebut beneficial ownership merupakan pemilik yang sebenarnya dari penghasilan
berupa Dividen, Bunga dan atau Royalti baik Wajib Pajak Perorangan maupun Wajib Pajak Badan, yang berhak
sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut.
Global Framework
Indonesia Framework
1. Ultimate owner – penerima manfaat langsung dari perusahaan tidak sekedar individu yang terdaftar di dalam
legalitas perusahaan karena selama ini belum tentu nama yang tercantum di dalam legalitas perusahaan
merupakan pemilik atau penerima manfaat langsung .
2. Economic benefit – penerima manfaat langsung dari perusahaan tidak sekedar pemegang saham di perusa-
haan tapi juga yang mempunyai akses terhadap cashflow keuangan perusahaan.
3. Control – penerimaa manfaat langsung dari perusahaan tidak sekedar pemegang saham di perusahaan tapi
juga mempunyai kekuatan melakukan control pengendalian terhadap perusahaan.
Ekspansi norma pajak di dalam beneficial ownership terutama pada masing – masing kelompok aktor diatas, ber-
potensi meningkatkan penerimaan Negara. Untuk itu, mengembangkan kebijakan perpajakan berbasis beneficial
ownership perlu dilakukan oleh pemerintah.
Temuan Studi
Studi yang dilakukan oleh PWYP Indonesia mengidentifikasi faktor potensial penyebab kerugian negara (revenue
loss) akibat terbukanya peluang penghindaran pajak (tax avoidence) oleh wajib pajak. Pertama, persoalan data wajib
pajak orang pribadi/pengusaha yang selama ini tidak pernah valid, sehingga menyulitkan DJP mengejar penerimaan
5. P W Y P I N D O N E S I A - B E N E F I C I A L O W N E R S H I P
pajak dari Wajib Pajak pengusaha. Selain itu, banyak pengusaha yang memiliki bisnis dan menerima penghasilan
dari bisnis yang dilakukan. Tapi, tidak banyak informasi keberadaan mereka di dalam bisnis tersebut. Padahal se-
benarnya, mereka merupakan penerima manfaat (beneficial owner) dari bisnis tersebut.
Kedua, persoalan penghindaran pajak berganda atau biasa disebut Double Tax Avoidance (DTA). Informasi yang tidak
valid, memudahkan perusahaan dan pengusaha memindahkan status penghasilannya ke negara – negara surga
pajak (tax havens), untuk menghindari pembayaran pajak di Indonesia. Selain itu, banyak juga terjadi praktek peng-
hindaran pajak dengan skema menggunakan model ‘treaty shopping’ atau memanfaatkan celah regulasi kerjasama
perpajakan antar negara. Untuk menghindari persoalan di atas. Maka perlu didorong model transparansi terkait
penerima manfaat langsung (beneficial owner) di perusahaan, terutama perusahaan pertambangan.
Ketiga, terkait keterbukaan data beneficial ownership di Indonesia. Masih banyak problem regulasi dan sinkronisasi
kebijakan yang perlu dibenahi. Usaha lain juga dibutuhkan, seperti mendorong penerapan Single Identity Number
(SIN) sebagai pondasi untuk mengintegrasikan data. Karena, data beneficial ownership bisa bermanfaat dan efektif,
jika data yang dibutuhkan saling terintegrasi seperti NPWP, KTP, data nasabah dan transaksi keuangan, data kepe-
milikan perusahaan dan data lainnya.
Beneficial Ownership dan Praktek Penghindaran Pajak
Kenapa transparansi beneficial ownership perlu didorong? Untuk mengatasi praktek penghindaran pajak terutama
penghindaran pajak berganda (double tax avoidance), yang sering dilakukan oleh Wajib Pajak dengan memanfaatkan
celah kebijakan perpajakan antar negara.
Celah yang sering dimanfaatkan adalah melalui perjanjian kerjasama perpajakan antara negara (tax treaty). Dalam
tax treaty, biasanya masing – masing negara memberikan insentif perpajakan seperti pemotongan pajak terhadap
bunga pinjaman yang melibatkan kedua negara atau pemotongan pajak terhadap deviden yang melibatkan Wajib Pa-
jak antar negara. Aturan ini biasanya diatur dalam setiap tax treaty, melalui Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
(P3B).
Salah satu contoh praktek penghindaran pajak yang dilakukan melalui skema tax treaty dengan memanfaatkan
beneficial ownership terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, sebuah perusahaan di Indonesia (PT.X) yang melakukan
penghindaran pajak dengan melibatkan sebuah perusahaan investasi di Belanda.
Dimana PT. X melakukan pinjaman ke GFBV. Di dalam aturan perpajakan di Indonesia, pembayaran bunga pinjaman
akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26. Tapi, terdapat perjanjian kerjasama antara Indonesia dan Belanda
terkait P3B, dimana dalam Pasal 11 dinyatakan bahwa “penghasilan bunga yang timbul dari pinjaman dengan jangka
waktu pinjaman lebih dari dua tahun hanya dikenakan pajak di Belanda”.Pasal 11 ini yang digunakan oleh PT. A untuk
mengajukan pemotongan pajak. Tapi, ketika ditelusuri sebenarnya, PT. A bersama GFBV telah merancang skema un-
tuk menghindari pengenaan pajak terhadap bunga pinjaman. Skemanya diatur melalui pendirian perusahaan mulai
dari Indonesia, Mauritius, Malaysia dan sampai Belanda. Semua perusahaan tersebut sebenarnya saling terafiliasi,
tetapi bukan bagian dari beneficial ownership. Mereka hanya memanfaatkan celah kerjasama perjanjian P3B antara
Indonesia dan Belanda untuk melakukan penghindaran pajak. Pada kasus ini, Pemerintah Indonesia mengajukan
keberatan dan menyelidiki bahwa perusahaan tersebut bukan bagian dari beneficial owner, sehingga tidak berhak
mendapatkan pemotongan pajak. Namun, pengajuan keberatan Pemerintah tersebut kalah di pengadilan pajak
karena tidak cukup data untuk membuktikan bahwa mereka bukan beneficial owner serta belum kuatnya regulasi
mengenai beneficial onwership. Kasus ini menunjukan bahwa begitu pentingnya informasi beneficial ownership di
ketahui untuk mencegah terjadinya praktek penghindaran pajak.
GFBV GAIT
PT. A PT. X
GAR
PT. Z
Netherland
Indonesia
Malaysia Mauritius
Stock Stock
Stock Stock
StockInterestCredit
Gambar 1. Skema Tax Avoidance dalam Bentuk Treaty Shopping menggunakan Beneficial Ownership.
Sumber: Tobing, 2013
6. P W Y P I N D O N E S I A - B E N E F I C I A L O W N E R S H I P
Permasalahan dalam Integrasi Data
Transparansi dalam aspek beneficial ownership menjadi tantangan kebijakan di Indonesia. Bicara beneficial owner-
ship dalam konteks penguatan transparansi, baik di sektor pertambangan maupun di sektor lain, akan berhadapan
pada aspek sinkronisasi kebijakan. Beneficial ownership bukan suatu aspek yang berdiri sendiri. Beneficial owner-
ship butuh integrasi data. Ketika bicara keterbukaan informasi data beneficial owner di sektor pertambangan, semua
aspek dari legalitas perusahaan, perizinan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), data rekening kepemilikan, data pe-
megang saham, dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) haruslah terintegrasi dalam satu identitas atau disebut dengan
Single Identity Number (SIN).
Di sinilah persoalan besar yang dihadapi untuk mendorong transparansi data beneficial ownership di Indonesia.
Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki SIN. Karena itu, data–data di atas bersifat parsial, tersebar di instansi-
instansi yang memiliki wewenang seperti legalitas perusahaan ada dibawah Kementerian Hukum dan HAM, NPWP
ada di Kementerian Keuangan, KTP ada di Kementerian Dalam Negeri, data rekening ada di perbankan. Belum ada
sebuah sistem untuk mengintegrasikan data tersebut. Persoalan semakin pelik, ketika setiap data yang seharusnya
terintegrasi tidak bisa di akses oleh institusi yang membutuhkan data tersebut, seperti kasus kerahasian data na-
sabah yang tidak bisa di akses oleh Direktorat Jenderal Pajak. Padahal, data ini penting sebagai basis DJP melaku-
kan pengawasan dan optimalisasi pajak.
Begitu juga data beneficial owner dari perusahaan pertambangan. Karena integrasinya tidak ada, maka dengan mu-
dah seseorang bisa membentuk ‘oligarki’ di sektor pertambangan dan menguasai banyak Izin Usaha Pertambangan
(IUP). Tapi, menimbulkan kesulitan bagi DJP ketika mencari informasi beneficial owner dari Wajib Pajak. Hal ini
merupakan tantangan serius dari tata kelola yang harus segera diperbaiki.
Gambar 2. Integrasi Data dengan Model Single Identity Number
Pemerintah juga memiliki keterbatasan ketika mengeksekusi SIN, karena kerumitan dalam sistem administrasi
kependudukan di Indonesia. SIN juga butuh upaya dukungan yang kuat atau political will dari pemerintah. Tanpa
itu, tidak mudah ke depannya Indonesia menerapkan prinsip – prinsip transparansi, terutama dalam hal beneficial
ownership.
Persoalan Regulasi, Akses Data dan Standar EITI
Persoalan integrasi data merupakan akibat dari tidak sinkronnya regulasi. Regulasi yang dibuat secara parsial, sep-
erti kasus di Undang–undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, yang membatasi akses terhadap data na-
sabah, menyebabkan DJP kesulitan untuk melakukan assessment terhadap SPT Wajib Pajak. Walaupun, informasi
tentang beneficial ownership sudah diketahui, tapi terkendala terhadap data keuangan.
7. P W Y P I N D O N E S I A - B E N E F I C I A L O W N E R S H I P
Dalam legalitas perusahaan, yang dicatat oleh Kementerian Hukum dan HAM, hanya sebatas legal owner. Padahal,
prinsip beneficial ownership, bukan sekedar legal owner, tapi harus memuat tiga prinsip yaitu ultimate owner, eco-
nomic benefit dan control. Legalitas perusahaan merupakan pondasi untuk mendorong akses data terhadap benefi-
cial ownership di perusahaan pertambangan.
Begitu juga beneficial ownership dalam kerangka regulasi perpajakan. Walaupun, secara prinsip sudah ada dalam
Undang – Undang Pajak Penghasilan, tapi turunan teknis penerapan beneficial ownership hanya diatur melalui Per-
aturan Dirjen Pajak. Dan dalam aturan tersebut juga masih belum jelas mendefinisikan prinsip dasar beneficial own-
ership. Hal ini juga tidak didukung oleh aturan terkait praktek penghindaran pajak, yang seharusnya juga menjadi
salah satu elemen untuk memperkuat aturan terkait beneficial ownership.
Di dalam EITI Standar, beneficial ownership sudah masuk ke dalam standar terbaru pelaporan tahun 2013. Walaupun
begitu, beneficial ownership bukan sesuatu yang diharuskan dalam standard, melainkan masih sebatas didorong
untuk dapat dibuka dalam laporan EITI. Padahal beneficial ownership sangat penting menjadi standar wajib EITI,
karena secara prinsip forum EITI merupakan bersifat multistakeholder sehingga bisa menjadi komitmen bersama
untuk mendorong keterbukaan data beneficial ownership dan melakukan integrasi data.
Opsi Kebijakan
Publish What You Pay Indonesia merekomendasikan opsi kebijakan sebagai berikut :
1. Menerapkan Single Identity Number (SIN) sebagai pondasi membangun sistem integrasi data di Indonesia.
Untuk ini perlu dibentuk satuan tugas (task force) penerapan Single Identity Number di Indonesia. SIN meru-
pakan pondasi yang dapat memperkuat penerapan transparansi beneficial ownership di Indonesia.
2. Memperkuat sistem pengawasan perusahaan pertambangan dengan membangun sistem data beneficial own-
ership yang terintegrasi lintas sektor. Agar ini bisa berjalan optimal, maka perlu payung hukum seperti Per-
aturan Presiden (Perpres) tentang Keterbukaan Informasi Beneficial ownership di sektor ekstraktif. Data ini bisa
diintegrasikan dengan SIN dan data perpajakan. Karena itu, DJP dapat menghitung potensi penerimaan pajak
yang bersumber dari beneficial ownership di sektor pertambangan dan membuat tax gap mapping agar terjadi
optimalisasi penerimaan pajak di sektor ini. Selain itu, data ini bisa digunakan untuk meningkatkan sistem pen-
gawasan, baik pengawasan pemilu, pencucian uang sampai pada pengawasan terhadap intervensi elit politik
terhadap regulasi yang menguntungkan mereka dan menyebabkan kerugian negara.
3. Memperkuat beneficial ownership dalam kerangka EITI. Selama ini EITI cukup efektif dalam penguatan
transparansi tata kelola sektor pertambangan, khususnya pada aspek penerimaan negara dan pajak. EITI perlu
mewajibkan perusahaan untuk melaporkan data beneficial owner. Sehingga, informasi mengenai siapa peneri-
ma manfaat sebenarnya dari aktifitas pertambangan di Indonesia dapat ditransparansikan kepada publik.
4. Membangun kerangka regulasi terkait beneficial ownership agar ada kepastian hukum untuk Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Diperlukan penyederhanaan proses administrasi perpajakan terhadap
pemotongan pajak (whitholding tax) terkait dengan status beneficial owner dan perjanjian pajak (tax treaty) an-
tarnegara. Dan menyusun formulasi dan integrasi kebijakan General Anti Avoidance Rule (GAAR) dalam Undang–
undang Pajak Penghasilan dan nanti bisa diturunkan ke dalam aturan teknis terkait Specific Anti Avoidance Rule.
Ini harus dimasukan ke dalam Revisi Undang– undang (RUU) Pajak Penghasilan.
Mitigasi Risiko
Terkait dengan penerapan SIN, Indonesia pernah memulai tahapan menuju SIN, melalui program e-KTP. Program
ini sudah didukung dengan pembiayaan yang besar, melalui APBN. Namun, program itu belum menunjukan kinerja
yang siginifikan dan kurang sesuai dengan rancang awal menuju SIN. Untuk itu, harus segera diperbaiki, meskipun
kebutuhan anggaran sangat besar, tapi manfaat dari SIN terhadap penerimaan negara di kemudian hari sangat be-
sar. Untuk itu, prasyarat satuan tugas khusus menjadi penting untuk mengurangi adanya risiko kegagalan.
Kebijakan transparansi beneficial ownership bisa dipersepsi negatif oleh pelaku usaha, karena terkait dengan me-
ningkatnya beban pajak yang harus di tanggung oleh pelaku usaha. Padahal, kebijakan ini lebih bertujuan untuk
mengefektifkan penerimaan dari Wajib Pajak dan bukan menambah beban pajak baru bagi pelaku usaha. Untuk itu,
perlu dikembangkan komunikasi antara pemerintah dengan pelaku usaha, bahwa pada dasarnya, pajak merupakan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha.
8. P W Y P I N D O N E S I A - B E N E F I C I A L O W N E R S H I P
Box 2. Studi Kasus: Penerima Manfaat Baru Sebatas Basis Legal ‘Person’ Ownership
Dalam penelitian dasar (prelimenary research) yang dilakukan oleh PWYP Indonesia (2015 – unpublished) ben-
eficial ownership dari sebuah perusahaan (Contoh Adaro Group; Gambar 3), saat ini baru dapat diketahui seba-
tas basis legalnya saja. Data itu belum memberikan jangkauan yang lebih luas seperti siapa pengendali utama,
penerima manfaat ekonomi secara lebih luas dan di siapa kontrol utama dari aktifitas usaha. Persoalan juga ada
pada update data. Seringkali perusahaan melakukan perubahan komposisi kepemilikan, namun proses perubahan
akta perusahaan kurang terupdate dengan baik ke institusi Pemerintah terkait (Depkumham) maupun ke publik.
Gambar 3: Skema Beneficial Ownership Adaro Group
9. * Data di atas diperoleh dari Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM, secara
berbayar. Proses mengakses data terbilang rumit, mahal dan inefisien. Hal itu dikarenakan setiap data dari sebuah
perseroan dihargai Rp 500.000 (berdasarkan PNBP) dan memakan waktu rata-rata dua minggu per dokumennya un-
tuk dapat diterima. Keterbatasan informasi inilah yang menyebabkan munculnya kesulitan mendorong transparansi
sektor pertambangan, yang terutama disebabkan belum terbukanya data beneficial ownership perusahaan pertam-
bangan. Publik bisa jadi mengetahui adanya aktivitas penambangan di suatu daerah, mengetahui nama perusahaan
tapi tak pernah tahu siapa pemilik sebenarnya dari perusahaan tersebut.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik (2014). Data Produk Domestik Bruto (PDB) menurut Sektor di Indonesia, 2014.
Badan Pusat Statistik (2015). Laporan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di Kuartal III tahun 2015.
Bank Indonesia (2014). Laporan Perekonomian Indonesia, 2014.
Bank Indonesia (2014). Laporan Perekonomian Indonesia di Kuartal III tahun 2015.
Direktorat Jenderal Pajak (2014). Realisasi Penerimaan Pajak menurut Sektor Ekonomi, 2014.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2015). Nota Keuangan dan APBN 2016.
Natural Resources Governance Institute (2015). Owning Up: Options for Disclosing the Identities of Beneficial Ownership of
Extractive Companiers. Briefing, August 2015.
OECD Model Tax Convention version 1977, 2002, 2010, 2012
OECD (2001). OECD Steering Group on Corporate Governance Report: Behind the Corporate Veil: Using Corporate Entities for
Illicit Purposes”.
Tobing, C., Ganda (2013). Beneficial Ownership Case. Inside Tax, Edisi 14, Maret 2013.
Terimakasih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK), Direktorat Jenderal Pajak, Transparency International Indonesia, Center for Tax Analysis dan Danny
Darussalam Tax Center untuk masukan dan ide dalam penyiapan policy brief ini.
Disusun Oleh :
Wiko Saputra, Peneliti Ekonomi, Publish What You Pay Indonesia
Agung Budiono, Program Manager, Publish What You Pay Indonesia
Dewi Yuliandini Hasibuan, Staff Open Data EITI, Publish What You Pay Indonesia
Direview Oleh :
Maryati Abdullah, National Coordinator of Publish What You Pay Indonesia
Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh :
Jensi Sartin, Manager Pengembangan Program, Publish What You Pay Indonesia
pwyp-indonesia.org
10. Publish What You Pay (PWYP) Indonesia merupakan koalisi masyarakat sipil
untuk transparansi dan akuntabilitas tata kelola sumber daya ekstraktif migas,
pertambangan dan sumber daya alam. Berdiri sejak tahun 2007, dan terdaftar
sebagai badan hukum Indonesia sejak tahun 2012 dengan nama Yayasan
Transparansi Sumberdaya Ekstraktif, dan terafiliasi dalam kampanye Publish
What You Pay di tingkat global. PWYP Indonesia mendorong transparansi dan
akuntabilitas di sepanjang rantai sumberdaya ekstraktif, dari tahap pengembangan
kontrak dan operasi pertambangan (publish why you pay and how you extract),
tahap produksi dan pendapatan dari industri (publish what you pay), hingga tahap
pengeluaran pendapatan untuk pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan
sosial (publish what you earn and how you spent).
Website : pwyp-indonesia.org
Email : sekretariat@pwyp-indonesia.org
Facebook Fanpage : Publish What You Pay Indonesia
Twitter : @PWYP_Indonesia