Dokumen tersebut membahas produk-produk pembiayaan dan mekanisme yang digunakan dalam perbankan syariah seperti prinsip simpanan, bagi hasil, pengembalian keuntungan, sewa, pengambilan fee, dan biaya administrasi beserta contoh produk dan akad yang relevan dengan masing-masing prinsip. Terdapat juga penjelasan mengenai aktivitas operasional bank syariah dalam mengelola dana nasabah dan melakukan pembiayaan."
1. ISLAMIC FINANCIAL MANAGEMENT
BAB 4
PRODUK-PRODUK PEMBIAYAAN
DAN MEKANISMENYA
Prof.Dr.H. Veitzhal Rivai, M.B.A.
Andria Permata Veitzhal. B.Acct., M.B.A.
2. A. PRINSIP BISNIS
1.
2.
Menurut
Triyuwono
dalam
Muhammad,
(2002), Prinsip
Bisnis:
3.
4.
5.
6.
Prinsip Simpanan
Prinsip Bagi Hasil
Prinsip Pengembalian
Keuntungan
Prinsip Sewa (I ra h)
ja
Pengambilan Fee
Prinsip biaya administrasi
(Qa rd hul Ha s a n/be ne vo le nt
lo a n)
3. A. PRINSIP BISNIS
1.
Prinsip Simpanan.
Dalam prinsip simpanan ini dikenal dengan
istilah wadi’ah, yang maknanya adalah
perjanjian antara pemilik barang (termasuk
uang), di mana pihak penyimpan bersedia
menyimpan dan menjaga keselamatan barang
yang dititipkan kepadanya. Prinsip ini
dikembangkan dalam bentuk produk simpanan,
yaitu: Giro Wadi’ah dan Tabungan Wadi’ah.
4. 2. Prinsip bagi hasil
Jenisnya:
Musyarakah
Mudharabah
Muzara’ah
Musaqah
5. 2. Prinsip Bagi-hasil
1.
2.
3.
Musyarakah, perjanjian kerja sama antara dua pihak atau lebih pemilik
modal (uang atau barang) untuk membiayai suatu usaha. Keuntungan usaha
tersebut dibagi sesuai dengan perjanjian antara pihak-pihak tersebut, yang
tidak harus sama dengan pangsa modal setiap pihak. Dalam hal kerugian
dilakukan sesuai dengan pangsa modal masing-masing;
Mudharabah, perjanjian antara pemilik modal (uang atau barang) dan
pengusaha. Dalam perjanjian ini pemilik modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu proyek atau usaha, dan pengusaha setuju untuk mengelola proyek
tersebut dengan pembagian hasil sesuai dengan perjanjian. Pemilik modal
tidak dibenarkan membuat usulan dan melakukan pengawasan. Apabila usaha
yang diawasi mengalami kerugian, maka kerugian tersebut sepenuhnya
ditanggung pemilik modal, kecuali kerugian itu terjadi karena penyelewengan
atau penyalahgunaan pengusaha;
Muzara’ah, memberiakn lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami
dan dipelihara dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen.
Prinsip Mudharabah dijadikan dasar pengembangan produk tabungan dan
deposito. Sementara prinsip musyarakah dan muzara’ah digunakan sebagai
dasar pengembangan produk pembiayaan.
6. 3. Prinsip Pengembalian Keuntungan,
yang dapat disederhanakan
dengan istilah jual beli, yaitu
hak proses pemindahan hak
milik barang atau aset dengan
menggunakan uang sebagai
media.
7. (i) Musawamah,
Jenis
Jual Beli
jual beli biasa di mana penjual memasang harga
tanpa memberitahu si pembeli tentang berapa margin keuntungan
yang diambilnya;
(ii)Tauliah, yaitu menjual dengan harga beli tanpa mengambil
keuntungan sedikit pun, seolah si penjual menjadikan pembeli
sebagai walinya (Tauliah) atas barang atau aset;
(iii)Murabahah, yaitu menjual dengan harga asal ditambah margin
keuntungan yang telah disepakati;
(iv)Muwadhaah, yaitu menjual dengan harga yang lebih rendah dari
harga beli, atau dengan kata lain Muwadhaah merupakan bentuk
kebalikan dari murabahah;
(v) Muqayadhah, merupakan bentuk awal dari transaksi di mana
barang ditukar dengan barang (barter);
(vi)Mutlaq, yaitu bentuk jual beli biasa di mana barang ditukar
dengan uang;
(vii)Sharf, adalah jual beli valuta asing di mana uang ditukar dengan
barang (money exchange);
(viii) Bai’u bi tsaman ajil, menjual dengan harga asal ditambah
dengan margin keuntungan yang telah disepakati dan dibayar
secara kredit;
(ix)Bai’u Salam, yaitu proses jual beli di mana pembayaran
dilakukan secara advance manakala penyerahan barang dilakukan
kemudian;
(x) Bai’ Istishna’, yaitu kontrak order yang ditandatangani bersama
antara pemesan dengan produsen untuk pembuatan suatu jenis
barang tertentu. Prinsip ini dijadikan dasar pengembangan produk
pembiayaan.
8. 4. Prinsip Sewa (Ijarah)
yaitu perjanjian antara pemilik barang dan penyewa
yang memperbolehkan penyewa untuk memanfaatkan
barang tersebut dengan membayar sewa sesuai
dengan perjanjian kedua pihak. Setelah masa sewa
berakhir, maka barang akan dikembalikan kepada
pemilik.
10. Ijarah Muthlaqah (Leasing),
proses sewa-menyewa yang biasa kita temui dalam
kegiatan perekonomian sehari-hari;
2. Bai’u Ta’jiri (hire purchase),
suatu kontrak sewa yang diakhiri dengan penjualan.
Dalam kontrak ini pembayaran sewa telah diperhitungkan
sedemikian rupa sehingga sebagian darinya merupakan
pembelian terhadap barang secara berangsur;
3. Musyarakah Mutanaqisah (decreasing participation),
kombinasi antara musyarakah dengan ijarah/perkongsian
dengan sewa. Prinsip ini dijadikan dasar pengembangan
produk pembiayaan.
1.
11. 5. Prinsip Pengambilan Fee
Jenis Prinsip
pengambilan Fee:
[a] Kafalah/Guarante,
Jenis-jenis kafalah adalah:
(i) Kafalah bi Nafs,
(ii) Kafalah bilmal,
(iii) Kafalah bi Taslim,
(iv) Kafalah Munjazah,
(v) Kafalah Muallaqah,
[b] Wakalah,
Jenis wakalah ada tiga:
(i) Wakalah Muthlaqah,
(ii) Wakalah Muqayyadah,
(iii) Wakalah Ammah,
[c] Hawalah,
[d] Ju’alah,
12. 5. Prinsip Pengambilan Fee
[a] Ka fa la h/G ua ra nte ,
yakni suatu jaminan yang diberikan oleh
penanggung (kafil) kepada pihak ketiga
untuk memenuhi kewajiban pihak kedua
yang ditanggungnya.
13. Jenis-jenis ka fa la h adalah:
(i) Ka fa la h bi N fs
a
jaminan dari si penjamin (bank sebagai jurid ic a l p e rs o na lity dapat
memberikan jaminan untuk maksud-maksud tertentu);
(ii) Ka fa la h bilmal
jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang;
(iii) Ka fa la h bi Ta s lim
dilakukan untuk menjamin dikembalikannya barang sewaan pada
akhir masa kontrak (dapat dilakukan antar bank dengan le a s ing
c o m p a ny terkait atas nama nasabah dengan mempergunakan
depositnya di bank dan mengambil fe e -nya);
(iv) Ka fa la h M
unja z a h
jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh kurun waktu tertentu atau
dihubungkannyan dengan maksud-maksud tertentu;
(v) Ka fa la h M lla q a h
ua
adalah penyederhanaan dari ka fa la h m unja z a h, di mana jaminan dibatasi oleh
kurun waktu dan tujuan-tujuan tertentu.
14. [b] Wakalah,
perjanjian
pemberian kuasa
kepada pihak lain
yang ditunjuk
untuk mewakilinya
dalam
melaksanakan
suatu tugas/kerja
atas nama pemberi
kuasa.
Jenis wakalah ada tiga:
(i) Wakalah Muthlaqah,
mewakilkan secara mutlak
tanpa batasan waktu atau
urusan-urusan tertentu;
(ii) Wakalah Muqayyadah,
dalam kontrak ini pihak
pertama menunjuk pihak
kedua sebagai wakilnya
untuk bertindak atas
namanya dalam urusanurusan tertentu;
(iii) Wakalah Ammah, bentuk
wakalah yang lebih luas
daripada muqayyadah,
tetapi lebih sederhana dari
muthlaqah.
15. C. Hawalah,
pengalihan
kewajiban
dari suatu
pihak
kepada
pihak lain.
D. Ju’alah,
suatu kontrak pihak
pertama menjanjikan
imbalan tertentu
kepada pihak kedua
atas pelaksanaan
usaha atau tugas.
Prinsip ini dijadikan
dasar pengembangan
produk jasa layanan
(services).
16. 6. Prinsip Biaya Administrasi
(Qardhul Hasan/benevolent loan),
yakni perjanjian
pinjam-meminjam
uang atau barang
dengan tujuan
untuk membantu
penerima pinjaman.
Penerima pinjaman
wajib
mengembalikan
hutangnya dalam
jumlah yang sama.
Apabila peminjam tidak
mampu mengembalikan
pada waktunya, maka
peminjam tidak boleh
dikenai sanksi. Atas
kerelaannya, peminjam
diperbolehkan memberikan
imbalan kepada pemilik
barang/uang.
17. Tabel 1.2
Konsep Syariah Dalam Bank
Syariah
Nama Prinsip
Jenis-Jenis
Produk Syariah
Penerapannya dalam
Sistem Perbankan
Keterangan
Simpanan
Wadiah
Current Account
Saving Account
Wadiah dapat dikombinasikan dengan Mudharabah
untuk investasi, dengan Wakalah untuk pembukaan
L/C, dengan Kafalah untuk garansi
Bagi-hasil
Mudharabah
Musyrakah
Muzaraah
Musaqat
Invstment Account
Saving Account
Project Financing
Project Financing
Plantation Credit Financing
Deposito dapat dipergunakan untuk general investment
melalui pool of fund
Pengambilan
Keuntungan
Bai’u Murabahah
Bai’u bi tsaman ajil
Bai’u Ta’jiri
Bai’u Salam
Bai’u Istishna
Trade Financing
Letter of Credit
Trade Financing
Sewa
Ijarah
Bai’u Ta’jiri Musyarakah
Mutanaqisah
Leasing
Hire Purchase
Decreasing Participation
Pengambilan Fee
Kafalah
Hawalah
Ju’alah
Wakalah
Guarantee
Debts Transfer
Special Service
Letter of Credit
Kabajikan (Tabarru’)
Qardhul Hasan
Benevolent Loan
Biaya adminstrasi hanya dapat diambil untuk faktorfaktor yang menunjukkan terjadinya kontrak seperti
biaya notaris, materai peninjauan proyek
Sumber: M. Syafe’i Antonio, Konsep Syari'ah Bank Islam , 1992, dengan modifikasi.
18.
Dengan perbedaan bentuk usaha tersebut, tentunya bank
syariah berpotensi menjadi alternatif bagi masyarakat
untuk melakukan simpan pinjam dengan pola usaha yang
disediakan.
Masyarakat muslim yang selama ini ragu, bahkan alergi,
dengan bank konvensional yang menggunakan bunga
sebagai pijakan kerjanya, dengan munculnya bank syariah
tersebut bisa berpartisipasi tanpa ada hambatan sedikit
pun.
Sehingga, secara teoretis, sebenarnya keberadaan bank
syariah memiliki prospek yang cerah karena potensi captive
market yang jelas.
Dengan posisi seperti itu tidak salah bila di kemudian hari
perkembangan bank syariah ini akan meningkat secara
pesat sehingga akan menjadi alternatif yang sepadan
dengan jenis bank konvensional yang telah lama
beroperasi.
19. B. AKTIVITAS OPERASIONAL
Manajer Investasi (mengelola dana
nasabah).
Investor (menginvestasikan dana
miliknya dan dana yang dititipkan
nasabah).
Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas
pembayaran.
Pelaksanaan kegiatan sosial
(mengeluarkan dan mengelola zakat
maupun dana sosial lainnya).
20. PEMBIAYAAN
PEMBIAYAAN
(Financing)
(Financing)
BAGI HASIL
( P & L Sharing)
JUAL BELI
( Sale & Purch.)
Musyarakah
Musyarakah
Mudharabah
Mudharabah
Murabahah
Murabahah
Salam
Salam
Istishna’
Istishna’
Ijarah Wa Iqtina
Ijarah Wa Iqtina
PEMB. LAIN
( Other Fin. )
Hawalah
Hawalah
Rahn
Rahn
PINJ. KEBJK.
( Non Complen )
Qard
Qard
21. 1.
SISTEM PEMBIAYAAN BAGI HASIL
(PROFIT & LOSS SHARING)
Bagi hasil merupakan konsep pembiayaan yang
adil dan memiliki nuansa kemitraan yang sangat
kental.
Hasil yang diperoleh dibagi berdasarkan
perbandingan (nisbah) yang disepakati dan
bukan sebagaimana penetapan bunga pada
bank konvensional.
Pembiayaan bagi hasil dalam perbankan syariah
meliputi:
Musyarakah
Mudharabah
22.
Sistem ini ketika muncul, maka propagandanya dikatakan sebagai
bank bagi hasil. Hal ini dilakukan untuk membedakan Islamic
Banking dengan bank konvensional yang beroperasional dengan
sistem bunga. Hal ini betul, tetapi tidak sepenuhnya benar,
karena sesungguhnya bagi hasil itu hanya merupakan bagian saja
dari sistem operasi Islamic Banking. Mekanisme bagi hasil di
Islamic Banking dijalankan berdasarkan prinsip: mudharabah
dan/atau musyarakah.
Bagi hasil adalah bentuk return dari kontrak investasi, yakni yang
termasuk ke dalam natural uncertainty contracts. Dalam fikih
Islam, selain dikenal natural uncertainty contracts, juga dikenal
natural certainty contracts. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa sistem bagi hasil sudah pasti merupakan salah satu praktik
Islamic Banking. Namun sebaliknya, praktik Islamic Banking
belum tentu sepenuhnya menggunakan sistem bagi hasil. Sebab,
selain sistem bagi hasil, masih ada sistem jual beli, sewamenyewa dan peminjaman. Dengan demikian, Islamic Banking
memiliki ruang gerak produk yang lebih luas dibandingkan dengan
bank kovensional.
23. 2. SISTEM PEMBIAYAAN JUAL BELI
(SALE & PURCHASE) DAN SEWA
a.
b.
c.
d.
Konsep jual beli dalam bisnis Islami mengandung
beberapa kebaikan, antara lain: pembiayaan yang
diberikan selalu terkait dengan sektor riil, karena yang
menjadi dasar adalah barang yang diperjualbelikan. Di
samping itu, harga yang telah disepakati tidak akan
mengalami perubahan sampai dengan berakhirnya akad.
Konsep jual-beli yang diaplikasikan dalam produk
pembiayaan Islami, meliputi:
Bai’u Murabahah
Bai’u Salam
Bai’u Istishna’
Ijarah wa Iqtina
24. 3. SISTEM PEMBIAYAAN LAIN
(OTHER FINANCING)
Berbeda dengan kelompok pembiayaan dengan pola bagi
hasil maupun jual beli, dalam “pembiayaan lain” tidak ada
unsur barang sebagai objek pembiayaan, dan karenanya
lebih merupakan objek transaksi.
Kalaupun ada unsur barang yang terkait dalam transaksi,
maka bukan merupakan objek transaksi, melainkan
berfungsi sebagai jaminan.
Ada dua produk perbankan syariah yang termasuk dalam
kategori ini, masing-masing adalah:
Hawalah
Rahn
Selain itu, ada satu bentuk pembiayaan lagi yang disebut
dengan qardh. Hanya, sistem ini tidak bersifat komersial.
25. 4. DISTRIBUSI HASIL USAHA
Perhitungan pembagian hasil usaha
antara shahibul mal dan mudharib sesuai
dengan nisbah yang disepakati pada awal
akad.
Perhitungan besaran hasil usaha yang
dipergunakan sebagai dasar perhitungan.
26. Alur Operasional
Bank Syariah
Penghimpunan dana
Wadiah yad dhamanah
Penyaluran Dana
Pendapatan
Prinsip bagi hasil
Bagi hasil /
Laba rugi
Prinsip jual beli
Margin
Mudharabah Mutlaqah
(Investasi Tdk Terikat)
Lainnya (modal dsb)
Laporan Laba Rugi
Tabel
Bagi Hasil
Pendapatan Mdh Mutlaqah
(Investasi Tidak Terikat)
Pendapatan berbasis
imbalan (f ee base income)
Agen : Mudharabah Muqayyadah / investasi terikat
Jasa keuangan : w akalah, kafalah, sharf
27. a. Prinsip Distribusi Hasil Usaha
1. Revenue Sharing
Yang dibagikan adalah pendapatan (revenue).
Shahibul mal menanggung kerugian: usaha
dilikuidasi, jumlah aktiva lebih kecil daripada
kewajiban.
2. Profit Sharing
Yang dibagikan adalah keuntungan (profit).
Kerugian bukan kelalaian mudharib ditanggung
oleh shahibul mal.
28. b. Landasan Syariah Prinsip Distribusi
Hasil Usaha
1. QS Al-Baqarah [2]:282
Hai orang yang beriman, jika kamu
melakukan transaksi hutang piutang
untuk jangka waktu yang ditentukan
tuliskanlah,…
2. QS Al-Ma`idah [5]:1
Hai orang-orang yang beriman! penuhilah
akad-akad itu...
29. 3. Hadis riwayat Tirmidzi dan Amr bin Auf’,
“Perdamaian dapat dilakukan kaum muslimin
kecuali perdamaian yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram.”
4. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin
Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas, dan
riwayat Malik dari Yahya, “Tidak boleh
membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula
membahayakan orang lain.”
5. Kaidah Fikih:
Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkanya.
Di mana terdapat kemaslahatan, di sana terdapat
hukum Allah.
30. Sistem Bagi Hasil
Lap Laba Rugi Bank
(sebagai mudharib)
Lap L/R Pengelolaan
Dana Mudharabah
=
Pendapatan :
• Pengelolaan dana
(+/-)
Pendapatan Penyaluran
Mudharabah
• Bagi Hasil (prinsip bagi hasil)
Revenue Sharing
Alokasi Keuntungan Kerugian
Kepada pemilik rekening ITT
• Margin (prinsip jual beli)
• Lainnya (SWBI, IMA dsb)
Tabel
Distribusi Pendapatan
(+/+)
Pendapatan :
• Fee base income
Beban Pengelolaan
Mudharabah
• Beban Tenaga Kerja Mudharabah
(-/-)
• Beban Administrasi Mudharabah
• Beban Penyusutan Mudharabah
• Beban Opr Mudharabah Lainnya
Beban Mudharib :
• Beban Tenaga Kerja
Laba/Rugi
Shahibul
maal
g
n
a
h
S
s
L
t
i
f
o
r
P
=
=
M
l
u
b
a
h
S
i
s
r
o
P
• Beban Administrasi
• Beban Opr Lainnya
(-/-)
Laba/Rugi Mudharabah
31. c. Landasan Syariah Profit & Loss Sharing
Pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Mazhab
Zaidiyah: Mudharib dapat membelanjakan harta
mudharabah hanya bila perdagangannya itu di
perjalanan, baik itu berupa biaya makan,
minum, pakaian, dan sebagainya.
Imam Hanbali:
Membolehkan mudharib untuk menafkahkan sebagian
dari harta mudharabah, baik dalam keadaan menetap
atau bepergian dengan izin shahibul mal.
Besarnya nafkah yang boleh digunakan adalah nafkah
yang telah dikenal (menurut kebiasaan) para
pedagang dan tidak boleh boros.
32. C. SISTEM PEMBIAYAAN BAGI HASIL
(PROFIT & LOSS SHARING)
Bentuk khusus kontrak keuangan yang telah
dikembangkan untuk menggantikan mekanisme bunga
dalam transaksi keuangan adalah mekanisme bagi hasil
(Murinde, Naser dan Wallace, 1995). Mekanisme bagi
hasil ini merupakan core product bagi Islamic financial
institution, seperti Islamic Banking. Sebab, Islamic
Banking secara eksplisit melarang penerapan tingkat
bunga pada semua transaksi keuangannya.
Secara umum prinsip bagi hasil dalam Islamic Banking
dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu:
musyarakah; mudharabah; muzara’ah; musaqah
(Antonio, 2000). Namun, yang banyak dipakai di Islamic
Banking adalah musyarakah dan mudharabah. Kedua
akad produk biasanya tergolong sebagai kontrak bagi
hasil (Antonio, 2000; Siddiqi, 1983; Chapra, 1985;
Muhamad, 2001; Warde, 1999; Humayon, Harvey dan
Presley, 1999).
33. 1. MUSYARAKAH
a. Pengertian
Musyarakah adalah akad kerja sama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu di mana setiap pihak
memberikan kontribusi dana (atau
amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan risiko (kerugian) akan
ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan.
34. b. Jenis Musyarakah Akad
(Syirkah Uqud)
1. Syirkah ‘Inan
Akad kerja sama antara dua orang atau lebih, masing-masing
memberikan kontribusi dana dan berpartisipasi dalam kerja.
Porsi dana dan bobot partisipasi dalam kerja tidak harus sama,
bahkan dimungkinkan hanya salah seorang yang aktif mengelola
usaha yang ditunjuk oleh partner lainnya. Sementara itu,
keuntungan atau kerugian yang timbul dibagi menurut
kesepakatan bersama.
2. Syirkah Mufawadhah
Akad kerja sama antara dua orang atau lebih, masing-masing
memberikan kontribusi dana dalam porsi yang sama dan
berpartisipasi dalam kerja dengan bobot yang sama pula. Setiap
partner saling menanggung satu sama lain dalam hak dan
kewajiban. Tidak diperkenankan salah seorang memasukkan
modal yang lebih besar dan memeroleh keuntungan yang lebih
besar pula dibandingkan dengan partner lainnya. Keuntungan
maupun kerugian yang diperoleh harus dibagi secara sama.
35. 3. Syirkah A’mal
Kesepakatan kerja sama antara dua orang atau lebih
yang memiliki profesi dan keahlian tertentu, untuk
menerima serta melaksanakan suatu pekerjaan secara
bersama dan berbagi keuntungan dari hasil yang
diperoleh.
4. Syirkah Wujuh
Syirkah ini terbentuk antara dua orang atau lebih, tanpa
setoran modal. Modal yang digunakan hanyalah nama
baik yang dimiliki, terutama karena kepribadian dan
kejujuran masing-masing dalam berniaga. Dengan
memiliki reputasi seperti itu, mereka dapat membeli
barang-barang tertentu dengan pembayaran tangguh dan
menjualnya kembali secara tunai. Keuntungan yang
diperoleh akan dibagi sesuai dengan kesepakatan
bersama.
36. c. Prinsip Musyarakah
Proyek atau kegiatan usaha yang akan
dikerjakan feasible dan tidak bertentangan
dengan syariah.
Pihak-pihak yang turut dalam kerja sama
memasukkan dana musyarakah, dengan
ketentuan:
Dapat berupa uang tunai atau assets yang likuid.
Dana yang terhimpun bukan lagi milik perorangan,
tetapi menjadi dana usaha.
38. d. Musyarakah dalam Teknis Perbankan
1. Pengertian
Musyarakah merupakan akad kerja sama
pembiayaan antara Islamic Banking, atau
beberapa lembaga keuangan secara bersamasama, dan nasabah untuk mengelola suatu
kegiatan usaha. Masing-masing memasukkan
penyertaan dana sesuai porsi yang disepakati.
Pengelolaan kegiatan usaha, dipercayakan
kepada nasabah.
Selaku pengelola, nasabah wajib menyampaikan
laporan berkala mengenai perkembangan usaha
kepada bank-bank sebagai pemilik dana. Di
samping itu, pemilik dana dapat melakukan
intervensi kebijakan usaha.
39. 2. Aplikasi
Pembiayaan dalam modal kerja; dapat
dialokasikan untuk perusahaan yang
bergerak dalam bidang konstruksi,
industri, perdagangan, dan jasa.
Pembiayaan investasi; dapat dialokasikan
untuk perusahaan yang bergerak dalam
bidang industri.
Pembiayaan secara sindikasi; baik untuk
kepentingan modal kerja maupun
investasi.
40. 2. Mudharabah
a. Pengertian Mudharabah
Mudharabah, berasal dari kata dharb, artinya memukul
atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih
tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya
dalam menjalankan usaha. Secara teknis mudharabah
adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana
pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh
(100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal
selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola.
Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan
atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus
bertanggung jawab atas kerugian tersebut
41.
Secara lebih spesifik, pengertian mudharabah dapat dirinci
sebagai berikut:
Mudharabah adalah akad kerja sama antara pemilik
dana (shahibul mal), yang menyediakan seluruh
kebutuhan modal, dan pihak pengelola usaha
(mudharib) untuk melakukan suatu kegiatan usaha
bersama. Keuntungan yang diperoleh dibagi menurut
perbandingan (nisbah) yang disepakati.
Dalam hal terjadi kerugian, maka ditanggung oleh
pemilik modal selama bukan diakibatkan kelalaian
pengelola usaha. Sedangkan, kerugian yang timbul
karena kelalaian pengelola akan menjadi tanggung
jawab pengelola usaha itu sendiri.
Pemilik modal tidak turut campur dalam pengeloalaan
usaha, tetapi memunyai hak untuk melakukan
pengawasan.
42. b. Landasan Hukum Mudharabah
QS Al-Jumu’ah [62]: 10
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebarkanlah
kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Hadis riwayat Ibnu Majah
“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan: jual beli
secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan
mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan
rumah, bukan untuk dijual.”
43. c. Jenis Mudharabah
1. Mudharabah Muthlaqah
Pemilik dana (shahibul mal) memberikan keleluasaan
penuh kepada pengelola (mudharib) dalam menentukan
jenis usaha maupun pola pengelolaan yang dianggapnya
baik dan menguntungkan sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan syariah.
2. Mudharabah Muqayyadah
Pemilik dana memberikan batasan-batasan tertentu
kepada pengelola usaha dengan menetapkan jenis usaha
yang harus dikelola, jangka waktu pengelolaan, lokasi
usaha, dan sebagainya.
44. Skema Mudharabah: Contoh Aplikasi Perbankan
(1)
100%
Akad Mudharabah
Rugi
(3b)
100% Modal
Usaha
Konveksi
(2)
Bank Syariah
“H”
Peng. Mdl. Ush. Rp 15
Juta/Bln (3)
50%(Nisbah)
(3a)
0%
(1)
(3a)
Keahlian
(2)
Firman
50%(Nisbah)
Laba
(3a)
45. d. Ketentuan dan Rukun Mudharabah
Mudharabah sebagai sebuah kegiatan kerja
sama ekonomi antara dua pihak memunyai
beberapa ketentuan yang harus dipenuhi dalam
rangka mengikat jalinan kerja sama tersebut
dalam kerangka hukum.
Menurut mazhab Hanafi, dalam kaitannya
dengan kontrak tersebut, unsur yang paling
mendasar adalah ijab dan qabul (offer and
acceptence). Artinya bersesuaiannya keinginan
dan maksud dari dua pihak tersebut untuk
menjalin ikatan kerja sama (Nyazee,1997).
Namun, beberapa mazhab lain, seperti Syafi’i,
mengajukan beberapa unsur mudharabah yang
tidak hanya adanya ijab dan qabul, tetapi juga
adanya dua pihak, adanya kerja, adanya laba,
dan adanya modal (Al-Ramli, vol.V).
46. 1.
Ijab dan qabul.
Pernyataan kehendak yang berupa ijab dan qabul antara kedua pihak.
Syarat-syarat, yaitu:
a.
Harus jelas menunjukkan maksud untuk melakukan kegiatan mudharabah.
Dalam menjelaskan maksud tersebut, bisa menggunakan kata mudharabah,
qiradh, muqaradhah, mu’amalah, atau semua kata yang semakna
dengannya. Bisa pula tidak menyebutkan kata mudharabah dan kata-kata
sepadan lainnya jika maksud dari penawaran tersebut sudah dapat dipahami.
Misalnya, “Ambil uang ini dan gunakan untuk usaha dan keuntungan kita bagi
berdua.” (Al-Kasani, 1990).
b.
Harus bertemu. Artinya, penawaran pihak pertama sampai dan diketahui oleh
pihak kedua. Ijab yang diucapkan pihak pertama harus diterima dan disetujui
oleh pihak kedua sebagai ungkapan kesediaan bekerja sama. Kesediaan
tersebut bisa diungkapkan dengan kata-kata atau gerakan tubuh (isyarat)
lain yang menunjukkan kesediaan. Misalnya, dengan mengucapkan, “Ya, saya
terima,” atau “Saya setuju,” atau dengan isyarat-isyarat setuju lain seperti
menganggukkan kepala, diam, atau senyum. Oleh karena itu, peristiwa ini
harus terjadi dalam satu majlis akad agar terhindar dari kesalahpahaman.
c.
Harus sesuai maksud pihak pertama, cocok dengan keinginan pihak kedua.
Secara lebih luas, ijab dan qabul tidak saja terjadi dalam soal kesediaan dua
pihak untuk menjadi pemodal dan pengusaha, tetapi juga kesediaan untuk
menerima kesepakatan-kesepakatan lain yang muncul lebih terinci. Dalam hal
ini, ijab (penawaran) tidak selalu diungkapkan oleh pihak pertama. Begitu
juga sebaliknya. Keduanya harus saling menyetujui. Artinya, jika pihak
pertama melakukan ijab (penawaran), maka pihak kedua melakukan qabul
(penerimaan). Begitu juga sebaliknya. Ketika kesepakatan-kesepakatan itu
disetujui, maka terjadilah hukum.
47. 2.
Adanya dua pihak (pihak penyedia dana dan pengusaha).
Para pihak (shahibul mal dan mudharib) disyaratkan:
a.
Cakap bertindak hukum secara syar’i.
Artinya, shahibul mal memiliki kapasitas untuk menjadi
pemodal dan mudharib memiliki kapasitas menjadi
pengelola. Jadi, mudharabah yang disepakati oleh
shahibul mal yang memunyai penyakit gila temporer tidak
sah. Namun, jika dikuasakan oleh orang lain, maka sah.
Bagi mudharib, asalkan ia memahami maksud kontrak
saja sudah cukup sah mudharabah-nya.
Memiliki walayah tawkil wa wakalah (memiliki
kewenangan mewakilkan/memberi kuasa dan menerima
pemberian kuasa), karena penyerahan modal oleh pihak
pemberi modal kepada pihak pengelola modal merupakan
suatu bentuk pemberian kuasa untuk mengolah modal
tersebut.
b.
48. 3. Adanya modal.
Modal disyaratkan:
a.
b.
Harus jelas jumlah dan jenisnya dan diketahui oleh kedua belah pihak pada
waktu dibuatnya akad mudharabah, sehingga tidak menimbulkan sengketa
dalam pembagian laba karena ketidakjelasan jumlah. Kepastian dan
kejelasan laba itu penting dalam kontrak ini.
Harus berupa uang (bukan barang). Mengenai modal harus berupa uang
dan tidak boleh barang adalah pendapat mayoritas ulama. Mereka
beralasan, mudharabah dengan barang itu dapat menimbulkan kesamaran,
karena barang pada umumnya bersifat fluktuatif. Jika barang bersifat tidak
fluktuatif seperti emas dan perak, mereka berbeda pendapat. Imam Malik
dalam hal ini tidak tegas untuk melarang atau membolehkannya. Oleh
karenanya, para muridnya berbeda pendapat. Sebagian membolehkan dan
sebagian lain, seperti Ibnu Al-Qasim, membolehkannya dengan catatan
emas dan perak tersebut belum menjadi barang perhiasan. Dalam kaitan
mudharabah dengan emas atau perak ini, Imam Syafi’i melarangnya.
Secara umum fuqaha yang melarang mudharabah dengan emas atau perak
beralasan bahwa keduanya disamakan dengan barang, sedangkan yang
membolehkannya, termasuk di antaranya Ibnu Abi Laila, beralasan bahwa
keduanya disamakan dengan dinar dan dirham. Keduanya hanya berbeda
sedikit dalam harga (tidak fluktuatif). Dalam kaitannya dengan modal ini
pula, para fuqaha sepakat bahwa jika barang yang diserahkan tersebut
tidak untuk mudharabah, tetapi untuk dijadikan sebagai sebuah modal
mudharabah dengan cara menjualnya terlebih dahulu, maka hal ini
diperbolehkan. Menurut Ibnu Hazm, karena hal ini telah banyak disebutkan
dalam hadis Nabi Saw..
49. (c) Uang bersifat tunai (bukan hutang).
Mengenai keharusan uang dalam bentuk tunai (tidak hutang) bentuknya
adalah, misalnya, shahibul mal memiliki piutang kepada seseorang. Piutang
pada seseorang tersebut kemudian dijadikan modal mudharabah bersama si
berhutang. Ini tidak dibenarkan karena piutang itu sebelum diterimakan oleh
si berhutang kepada si berpihutang, masih merupakan milik siberhutang.
Jadi, apabila ia jalankan dalam suatu usaha, berarti ia menjalankan dananya
sendiri, bukan dana si berpihutang. Selain itu, hal ini bisa membuka pintu
perbuatan riba, yaitu memberi tangguh kepada si berhutang yang belum
mampu membayar hutangnya dengan kompensasi si berpihutang
mendapatkan imbalan tertentu. Dalam hal ini, para ulama fikih tidak berbeda
pendapat. Perselisihan pendapat para fuqaha terletak pada orang yang
menyuruh orang lain untuk menerima hutang dari orang ketiga, kemudian
orang tersebut memutarkannya berdasarkan mudharabah. Imam Malik dan
para pengikutnya tidak membolehkan hal tersebut, karena memandang
bahwa pada cara tersebut terdapat penambahan kerja dari orang tersebut
kepada orang yang bekerja (memutarkan harta). Kerja tambahan tersebut
adalah suruhan untuk menerimanya. Alasan ini didasarkan pada aturan
pokok mudharabah dalam mazhab Maliki bahwa barangsiapa mensyaratkan
manfaat yang lebih dalam mudharabah, maka batal. Sementara itu, Imam
Syafi’i dan Abu Hanifah membolehkannya dengan alasan orang tersebut
telah mewakilkan penerimaan kepada orang lain. Jadi, ia tidak menjadikan
penerimaan sebagai syarat pemutaran uang.
50. (d) Modal diserahkan sepenuhnya kepada pengelola
secara langsung. Jika tidak diserahkan kepada
mudharib secara langsung dan tidak diserahkan
sepenuhnya (berangsur-angsur) dikhawatirkan
akan terjadi kerusakan pada modal, yaitu
penundaan yang dapat mengganggu waktu mulai
bekerja dan akibat yang lebih jauh mengurangi
kerjanya secara maksimal. Jumhur fuqaha
sepakat akan hal ini. Hanya, sebagian dari
mazhab Hanafi lebih fleksibel menambahkan
apabila pengangsuran kucuran modal tersebut
dikehendaki oleh mudharib, maka tidak batal.
51. 4. Adanya usaha (’amal).
Mengenai jenis usaha pengelolaan ini, sebagian ulama, khususnya
Syafi’i dan Maliki, mensyaratkan hanya berupa usaha dagang (commercial).
Mereka menolak usaha yang berjenis kegiatan industri (manufacture) dengan
anggapan bahwa kegiatan industri itu termasuk dalam kontrak persewaan
(ijarah) yang semua kerugian dan keuntungan ditanggung oleh pemilik modal
(investor), sementara para pegawainya digaji secara tetap (Udovitch, 1970).
Tetapi, Abu Hanifah membolehkan usaha apa saja selain berdagang, termasuk
kegiatan kerajinan atau industri. Seseorang dapat memberikan modalnya
kepada pekerja yang akan digunakannya untuk membeli bahan mentah untuk
dibuat sebuah produk dan kemudian dijual. Keuntungan ini dapat dibagi dua
antara keduanya. Ini memang tidak termasuk jenis perdagangan murni yang
seseorang hanya terlibat dalam pembelian dan penjualan. Tetapi, hal tersebut
dapat dibenarkan, sebab persekutuan antara modal dan tenaga terjadi dalam
kegiatan ini; bahkan mengenai keuntungan kadang-kadang lebih dapat
dipastikan, sehingga bagi hasil akan selalu dapat diwujudkan. Kalau ditarik lebih
jauh ke era modern ini, makna perdagangan menjadi meluas. Semua kerja
ekonomi yang mengandung kegiatan membuat atau membeli produk atau jasa,
kemudian menjualnya atau menjadikan produk atau jasa tersebut menjadi
sebuah keuntungan merupakan arti dari perdagangan. Oleh karena itu,
tampaknya semua kegiatan ekonomi itu mengandung unsur perdagangan. Jadi
sesungguhnya, dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa jenis usaha yang
diperbolehkan adalah semua jenis usaha. Tentu saja tidak hanya
menguntungkan, juga harus sesuai dengan ketentuan syariah, sehingga
merupakan usaha yang halal (Anwar, 2001).
Dalam menjalankan usaha ini, shahibul mal tidak boleh ikut
campur dalam teknis operasional dan manajemen usaha, dan tidak boleh
membatasi usaha mudharib sedemikian rupa sehingga mengakibatkan upaya
pemerolehan keuntungan maksimal tidak tercapai. Tetapi, di lain pihak,
pengelola harus senantiasa menjalankan usahanya dalam ketentuan syariah
secara umum. Apabila usaha itu dijalankan di bawah akad mudharabah
terbatas, maka ia harus memenuhi klausul-klausul yang ditentukan oleh
shahibul mal.
52. 5. Adanya keuntungan.
(a)
(b)
(c)
Mengenai keuntungan, disyaratkan bahwa:
Keuntungan tidak boleh dihitung berdasarkan persentase dari jumlah
modal yang diinvestasikan, melainkan hanya keuntungannya saja setelah
dipotong besarnya modal. Dalam hal ini, penghitungan harus dilakukan
secara cermat. Setiap keadaan yang membuat ketidakjelasan
penghitungan akan membawa kepada suatu kontrak yang tidak sah.
Keuntungan untuk setiap pihak tidak ditentukan dalam jumlah nominal,
misalnya satu juta, dua juta, dan seterusnya. Jika ditentukan dengan nilai
nominal, berarti shahibul mal telah mematok untung tertentu dari sebuah
usaha yang belum jelas untung dan ruginya. Ini akan membawa pada
perbuatan riba.
Nisbah pembagian ditentukan dengan persentase, misalnya 60:40%,
50:50%, dan seterusnya. Penentuan persentase tidak harus terikat pada
bilangan tertentu. Artinya, jika nisbah bagi hasil tidak ditentukan pada saat
akad, maka setiap pihak memahami bahwa keuntungan itu akan dibagi
secara sama, karena aturan umum dalam penghitungan ini adalah
kesamaan. Namun, tindakan berupa penyebutan nisbah bagi hasil pada
awal kontrak adalah lebih baik untuk menghindari munculnya
kesalahpahaman. Persentase yang diungkapkan oleh salah satu pihak
dianggap cukup. Jika terdapat pihak ketiga, seorang yang membantu
usaha mudharib, maka persentase bagi hasil tidak boleh dibagi menjadi
tiga bagian. Namun, jika pihak ketiga itu merupakan budak (pekerja) dari
shahibul mal, para ulama berbeda pendapat. Imam Malik, Syafi’i, dan Abu
Hanifah membolehkannya, sementara para ulama murid Imam Malik tidak
membolehkannya.
53. (d)
Keuntungan harus menjadi hak bersama sehingga tidak boleh
diperjanjikan bahwa seluruh keuntungan untuk salah satu pihak.
Pada dasarnya, mudharabah membagi keuntungan berdasarkan
kesamaan. Namun, jika mudharib mensyaratkan seluruh
keuntungan untuk dirinya, para fuqaha berbeda pendapat.
Imam Malik membolehkannya, karena cara itu merupakan
kebaikan atau kesukarelaan shahibul mal. Di lain pihak, Imam
Syafi’i melarangnya. Ia menganggap cara seperti itu sebagai
suatu kesamaran, karena jika terjadi kerugian, shahibul mal pun
telah menanggung modalnya. Jadi, menurut Imam Syafi’i, beban
risiko yang ditanggung shahibul mal itu telah berat dan tidak
boleh ditambahi lagi. Imam Abu Hanifah, berkenaan dengan
masalah ini, berpendapat bahwa hal itu tidak termasuk kategori
mudharabah, melainkan qardh (pinjaman). Artinya, pelimpahan
seluruh keuntungan ke tangan mudharib menjadikan kegiatan
ekonomi itu sebagai sebuah pinjaman. Maka dari itu, jika terjadi
kejadian yang sebaliknya (kerugian), maka seluruh kerugian
ditanggung oleh mudharib.
54. Kesepakatan tentang aturan dan wewenang
dalam Kerja sama mudharabah
1.
2.
3.
Manajemen
Tenggang Waktu (Duration)
Jaminan (Dhaman)
55. 1.
Manajemen.
Ketika mudharib telah siap dan menyediakan tenaga untuk kerja sama
mudharabah, maka saat itulah ia mulai mengelola modal shahibul mal.
Pengelolaan usaha tersebut membutuhkan kreativitas dan keterampilan tertentu
yang kadang-kadang hanya ia sendiri yang mengetahuinya. Oleh karena itu, dalam
kaitannya dengan manajemen, kebebasan mudharib dalam merencanakan,
merancang, mengatur, dan mengelola usaha merupakan faktor yang menentukan.
Menurut mazhab Hanafi, mudharabah itu dua macam: mudharabah muthlaqah
(absolut, tidak terikat) dan mudharabah muqayyadah (terikat).
a. Dalam mudharabah muthlaqah, mudharib mendapatkan kebebasan untuk mensetup mudharabah sebagaimana ia inginkan. Mudharib bisa membawa pergi
modalnya, memberikan modalnya ke pihak ketiga atau bahkan untuk modal
musyarakah dengan orang lain. Mudharib juga bisa mencampur modal
mudharabah dengan modalnya sendiri. Dia bisa menggunakan modal tersebut
untuk membeli semua barang kepada siapa pun atau kapan pun. Dia juga bisa
menjual barang-barang itu secara tunai atau cicilan. Dia bebas menyewa orang
atau barang dengan modal itu. Interfensi shahibul mal dalam mudharabah ini tidak
ada.
b. Sebaliknya, dalam mudharabah muqayyadah, semua keputusan yang mengatur
praktik mudharabah ditentukan oleh shahibul mal. Mudharib tidak bebas
mewujudkan keinginannya, tetapi dia harus terbatasi oleh aturan-aturan yang
ditetapkan oleh shahibul mal dalam sebuah kontrak (Nyazee, 1997). Menurut
Imam Malik dan Imam Syafi’i, jika shahibul mal mengatur mudharib untuk
membeli barang tertentu dan kepada seseorang tertentu, maka mudharabah itu
menjadi batal, karena hal itu dikhawatirkan upaya perolehan keuntungan yang
maksimal tidak terpenuhi.
56. 2. Tenggang waktu (duration).
Satu hal yang harus mendapat kesepakatan antara shahibul mal dan mudharib
adalah lama waktu usaha. Ini penting karena tidak semua modal yang diberikan
kepada mudharib itu dana mati yang tidak dibutuhkan oleh pemiliknya. Di samping
itu, penentuan waktu adalah sebuah cara untuk memacu mudharib bertindak lebih
efektif dan terencana. Namun, di sisi lain, penentuan waktu itu bisa membuat
mudharib menjadi tertekan dan tidak bebas menjalani usaha mudharabah, apalagi
kerja ekonomi bersifat spekulatif, tidak selalu berjalan lancar. Karenanya, para
fuqaha berselisih pendapat. Menurut mazhab Maliki dan Syafi’I, penentuan waktu
itu dapat membatalkan kontrak, sedangkan menurut mazhab Hanafi dan Hambali,
penentuan waktu itu sah. Kontrak mudharabah dapat diakhiri oleh salah satu pihak
dengan memberitahukan terlebih dahulu. Ini dimungkinkan terjadi, dan para
fuqaha sepakat bahwa mudharabah adalah kontrak yang tidak mengikat. Tidak
ada perbedaan pendapat mengenai boleh diakhirinya kontrak sebelum mudharib
melakukan usaha. Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat, ketika mudharib
melakukan kerja, salah satu pihak boleh dalam mengakhirinya. Namun demikian,
Imam Malik tidak membolehkannya. Ketika mudharabah menjadi batal, karena
suatu alasan tertentu, maka ia berhak menerima upah tertentu atas pekerjaan
yang telah ia kerjakan, dan ini tidak termasuk wilayah kontrak mudharabah, tetapi
wilayah kontrak sewa (ijarah). Oleh karena itu, dia harus dibayar atas usahanya.
57. 3. Jaminan (dhaman).
Satu hal yang tidak kalah penting dalam mewujudkan kesepakatan
bersama adalah aturan tentang jaminan atau tanggungan. Tanggungan
menjadi penting ketika shahibul mal khawatir akan munculnya
penyelewengan dari mudharib. Namun, pertanyaan penting yang perlu
diajukan adalah apakah dalam suatu kerja sama yang saling
menguntungkan, jaminan menjadi suatu yang urgen? Bukankah kerja
sama itu suatu kontrak yang saling memercayai? Apakah setiap kerugian
itu berarti penyelewengan? Para ulama berbeda pendapat mengenai
keharusan adanya tanggungan dalam mudharabah ini. Para fuqaha pada
dasarnya tidak setuju adanya tanggungan. Alasannya, mudharabah
merupakan kerja sama saling menanggung; satu pihak menanggung
modal dan pihak lain menanggung kerja, dan mereka saling memercayai.
Jika terjadi kerugian, semua pihak merasakan kerugian tersebut. Oleh
karenanya, jaminan harus ditiadakan. Namun, jaminan menjadi perlu
ketika modal yang rusak melampaui batas. Tetapi, bagaimana batasan
sesuatu dianggap melampaui batas? Para ulama pun berbeda pendapat.
Menurut Imam Malik dan Syafi’i, jika shahibul mal bersikeras terhadap
adanya jaminan dan menetapkannya sebagai bagian dari kontrak, maka
kontrak menjadi tidak sah.
58. Implikasi dari Kontrak Mudharabah
1.
2.
3.
Mudharib sebagai Amin
Mudharib sebagai Wakil
Mudharib sebagai Mitra dalam Laba
59. 1. Mudharib sebagai amin (orang yang dipercaya).
Seorang mudharib menjadi amin untuk modal yang telah
diserahkan kepadanya. Ini berarti dia telah diizinkan oleh
pemilik modal untuk memiliki modal tersebut. Penyerahan ini
bukan suatu jual beli, pinjaman, atau sewa. Modal yang
diserahkan dalam hal ini adalah amanah yang harus dijaga oleh
mudharib. Namun, pengertian amanah tersebut tetap berpijak
pada satu ketentuan: jika modal itu rusak di tangannya tanpa
ada unsur penyelewengan, maka tidak ada tanggungan baginya.
Posisi mudharib sebagai al-amin mengindikasikan bahwa
penyerahan modal dan pengelolaannya sepenuhnya tergantung
kepada mudharib. Sebab, dalam pengelolaannya, modal
tersebut akan bercampur dengan modal dan barang-barang lain
milik mudharib. Keadaan seperti ini tentu saja sulit dideteksi.
Oleh karena itu, diposisikannya mudharib sebagai amin akan
dapat memunculkan kesadaran dan sikap kehati-hatian
pengelola dalam mengolah usahanya, utamanya memisahkan
antara modal pribadi dan modal orang lain dalam penghitungan
keuntungannya.
60. 2. Mudharib sebagai wakil.
Mudharib adalah wakil dari shahibul mal dalam semua
transaksi yang ia sepakati. Konsekuensinya, hak-hak
kontrak kembali kepadanya sebagai seorang yang
menyepakati transaksi. Di samping itu, dia adalah orang
yang dituntut oleh para penjual untuk melakukan
pembayaran dan dituntut oleh para pembeli untuk
mengirimkan barang. Pemaknaan mudharabah seperti ini
dilakukan oleh mazhab Hanafi. Mudharib sebagai wakil
menjelaskan bahwa mudharib merupakan tangan kanan
dari shahibul mal dalam kegiatan bisnis. Implikasinya,
sebagai seorang wakil, tentu dia tidak menanggung apa
pun dari modal ketika terjadi kerugian. Namun, menurut
mayoritas fuqaha, seorang wakil tetap akan mendapat
upah dari kerjanya.
61. 3. Mudharib sebagai mitra dalam laba.
Mudharib akan mendapatkan bagian laba dari
usaha yang telah dia lakukan, sebab
mudharabah sendiri adalah pertemanan dalam
laba. Sementara seorang agen atau wakil tidak
mendapatkan laba ketika terjadi keuntungan
dalam usahanya, karena dia hanya teman dalam
kaitannya dengan kontrak. Pembagian laba ini
telah ditentukan pada awal kontrak. Dengan
menjadikan mudharib sebagai mitra dalam laba,
maka besar atau kecilnya laba akan sangat
tergantung pada keterampilan mudharib dalam
menjalankan usahanya.
62.
Demikian pendapat para ulama fikih tentang
mudharabah. Pembahasan tentang mudharabah
yang diulas dalam bagian ini tidak hanya
memaparkan teori-teori fikih murni yang menjadi
sumber utama, tetapi juga teori-teori fikih yang
sudah dikombinasikan dengan pemikiran para
praktisi Islamic Banking, sehingga yang tampak
bukanlah analisis fikih secara keseluruhan, tetapi
teori-teori yang bersifat parsial yang menjadi
tumpuan bagi eksistensi Islamic Banking
sekaligus menjadi landasan operasionalnya.
63. e. Mudharabah dalam Teknis Perbankan
1. Pengertian (dalam Konteks Pembiayaan)
a.
Keuntungan usaha dibagi berdasarkan perbandingan
nisbah yang telah disepakati dan pada akhir periode kerja
sama nasabah harus mengembalikan semua modal usaha
lembaga keuangan.
b.
Dalam hal terjadi kerugian, akan menjadi tanggungan
lembaga keuangan, kecuali bila diakibatkan oleh kelalaian
nasabah. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya
kerugian, lembaga keuangan harus memahami
karakteristik risiko usaha tersebut dan kerja sama dengan
nasabah untuk mengatasi berbagai masalah.
64. 2. Aplikasi (dalam Konteks Pembiayaan)
a. Pembiayaan modal kerja; modal bagi
perusahaan yang bergerak dalam bidang
industri, perdagangan, dan jasa.
b. Pembiayaan investasi; untuk pengadaan barangbarang modal, aktiva tetap, dan sebagainya.
c. Pembiayaan investasi khusus; bank bertindak
dan memosisikan diri sebagai arranger yang
mempertemukan kepentingan pemilik dana,
seperti yayasan dan lembaga keuangan
nonbank, dengan pengusaha yang memerlukan.
65. 3. Praktik Pembiayaan Mudharabah
Penempatan dana dapat dilakukan dalam bentuk
pembiayaan berakad jual beli maupun syirkah atau kerja
sama bagi hasil. Jika pembiayaan berakad jual beli (bai’u
bi tsaman ajil dan murabahah), maka bank akan
mendapatkan margin keuntungan. Pembagiannya tidak
begitu rumit. Namun, jika pembiayaan berkaitan dengan
akad syirkah (musyarakah dan mudharabah), maka
pembiayaan ini membutuhkan perhitungan-perhitungan
yang cukup “njlimet”.
Dalam pembiayaan mudharabah (bagi hasil), ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh kedua belah
pihak, yaitu: (1) nisbah bagi hasil yang disepakati; (2)
tingkat keuntungan bisnis aktual yang didapat. Oleh
karena itu, bank sebagai pihak yang memiliki dana akan
melakukan perhitungan nisbah yang akan dijadikan
kesepakatan pembagian pendapatan.
66. f. Cara Menentukan Nisbah
Nisbah merupakan faktor penting dalam menentukan bagi
hasil. Sebab, nisbah merupakan aspek yang disepakati
bersama antara kedua belah pihak yang melakukan
transaksi.
Untuk menentukan nisbah bagi hasil, perlu diperhatikan
aspek-aspek:
a. Data usaha,
b. Kemampuan angsuran,
c. Hasil usaha yang dijalankan atau tingkat return aktual
bisnis,
d. Tingkat return yang diharapkan,
e. Nisbah pembiayaan,
f. Distribusi pembagian hasil.
67.
Penentuan nisbah bagi hasil dibuat sesuai
dengan jenis pembiayaan mudharabah
yang dipilih. Ada dua jenis pembiayaan
mudharabah, yaitu: (1) mudharabah
muthlaqah dan (2) mudharabah
muqayyadah.
68. 1.
Nisbah Bagi Hasil
Pembiayaan Mudharabah Mutlaqah
Nisbah Bagi Hasil Pembiayaan Mudharabah Muthlaqah
Pembiayaan mudharabah muthlaqah adalah pembiayaan
yang pemilik dana tidak meminta syarat, kecuali syarat
baku, untuk berlakunya kontrak mudharabah. Untuk ini,
nisbah dibuat berdasarkan metode expected profit rate
(EPR). EPR diperoleh berdasarkan: (1) tingkat
keuntungan rata-rata pada industri sejenis; (2)
pertumbuhan ekonomi; (3) dihitung dari nilai required
profit rate (RPR)[1] yang berlaku di bank yang
bersangkutan.
[1]Nilai required profit rate diperoleh dengan rumus: rpr
= n. v (n = tingkat keuntungan dalam transaksi tunai; v
= jumlah transaksi dalam satu periode).
69.
Dengan demikian, nisbah bagi hasil dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut:
Expected Profit Rate (EPR)
Nisbah Bank= ------------------------- x 100%
Expected Return Bisnis yang dibiayai (ERB)
Nisbah Nasabah
Aktual return bank
bisnis
= 100% - Nisbah Bank
= nisbah bank + aktual return
70. Contoh:
Diketahui data ekonomi sebagai berikut:
tingkat return bisnis jual beli sepeda
motor adalah sebesar 7%. Dari tingkat
return bisnis tersebut, Islamic Banking
menargetkan keuntungannya sebesar 3%.
Dengan demikian, nisbah bank dan nisbah
untuk nasabah dapat dicari dengan cara,
sebagai berikut:
71. EPR
Nisbah bank = ------- x 100%, jadi
ERB
3%
Nisbah bank = -------- x 100% = 42,86%
7%
Nisbah nasabah = 100% - 42,86% = 57,14%
Rasio (nisbah) bagi hasil antara bank dan nasabah adalah 42,86%
: 57,14%
Setelah perhitungan nisbah ditemukan, maka pihak bank akan
melakukan tawar-menawar nisbah dengan nasabah pembiayaan.
Jika nisbah tersebut disepakati, maka pembiayaan mudharabah
yang akan dijalankan diikat dengan nisbah pembagian
keuntungan bisnis aktual dengan porsi nisbah antara bank dan
nasabah adalah 42,86% banding 57,14%.
72. 2. Nisbah Bagi Hasil Pembiayaan
Mudharabah Muqayyadah
Suatu ketika Islamic business mendapatkan
nasabah yang menghendaki pembiayaan
mudharabah muqayyadah. Pada pembiayaan
jenis ini, biasanya nasabah menuntut adanya
nisbah yang sebanding dengan situasi bisnis
tertentu. Dengan kata lain, pada kontrak
pembiayaan mudharabah muqayyadah, pemilik
dana menambah syarat di luar syarat kebiasaan
kontrak mudharabah.
73. a.
b.
c.
d.
e.
f.
Nisbah bagi hasil pada pembiayaan mudharabah
muqayyadah dapat dihitung, seperti pada kasus berikut.
Contoh:
Seseorang atau lembaga keuangan memiliki modal sebesar
Rp 125.000.000. Modal tersebut akan dibiayakan kepada
nasabah penjual kacang kedelai. Data-data yang terkait
dengan jual beli kacang kedelai adalah sebagai berikut:
Harga jual kacang kedelai
= Rp 2.150/kg
Harga jual kepada nasabah
= setara 16% p.a
(return yang diminta oleh pemilik dana muqayyadah)
Volume penjualan kedelai per bulan
= 65.000 kg
Nilai penjualan (65.000 x Rp 2.150)
= Rp 139.750.000
Harga pokok pembelian
= Rp 125.000.000
Laba bersih penjualan kedelai
= Rp 14.750.000
74. Berapa Nisbah Bagi Hasilnya? Perhitungan Nisbah:
Volume penjualan
Profit margin (Rp 14.750.000/139.750.000)x 100%
Lama piutang (data 31-07-2003)
Lama persediaan (data 31-08-2003)
Lama hutang dagang (pembayaran ke supplier dan carry)
Cash to cash period = 360/(DI+DR-DP)
=
=
=
=
=
=
65.000 kg
10,55%
65 hari
2 hari
0
5,4
75. Dengan demikian:
Profit margin per tahun = 5,4 x 10,55
Nisbah: (16%)/(57%)x100%
Nisbah untuk nasabah: 100% - 28%
= 57%
= 28%
= 72%
Rasio (nisbah) bagi hasil antara bank dan nasabah adalah:
bank = 28%, dan nasabah = 72%.
76. 3. Contoh Perhitungan Bagi Hasil
Dalam Pembiayaan Mudharabah
Seorang nasabah mengajukan
pembiayaan untuk modal kerja dagang
sebesar Rp 100.000.000 selama satu
tahun. Jika situasi ekonomi mampu
memberikan return bisnis aktual sebesar
8% dan return bisnis yang diharapkan
Islamic business sebagai penyandang
dana sebesar 3%. Setelah bisnis
dijalankan, nasabah mampu mencetak
keuntungan bisnisnya selama satu tahun
sebagai berikut:
78. Pertanyaan:
1. Berapa nisbah yang harus disepakati
antara lembaga keuangan dengan
nasabah?
2. Bagaimana distribusi bagi hasil
pendapatan antara Islamic business
dengan nasabah berdasarkan data
tersebut di atas?
79. Penyelesaian
Langkah-langkah untuk menyelesaikan kasus di
atas dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Menentukan nisbah untuk kedua belah pihak
yang melakukan kontrak pembiayaan, yaitu:
a. Nisbah Islamic business = 3,2%/8% x 100% = 40%
b. Nisbah nasabah = 100% - 40% = 60%
c. Rasio (nisbah) antara Islamic business
dan nasabah adalah = 40% banding 60%.
2. Menghitung distribusi bagi hasil untuk bank dan
nasabah sesuai dengan nisbah dan pendapatan
aktual usaha, sebagai berikut:
80. Tabel pembantu penyelesaian
Bulan
Laba Usaha
Bagian lembaga
keuangan 40%
Bagian Nasabah
60%
Cicilan Pokok
Setoran
1
6.000.000
2.400.000
3.600.000
2.400.000
2
7.000.000
2.800.000
4.200.000
2.800.000
3
4.000.000
1.600.000
2.400.000
1.600.000
4
4.500.000
1.800.000
2.700.000
1.800.000
5
5.000.000
2.000.000
3.000.000
2.000.000
6
5.500.000
2.200.000
3.300.000
2.200.000
7
6.000.000
2.400.000
3.600.000
2.400.000
8
5.400.000
2.160.000
3.240.000
2.160.000
9
9.000.000
3.600.000
5.400.000
3.600.000
10
5.700.000
2.280.000
3,420.000
2.280.000
11
4.700.000
1.880.000
2.820.000
1.880.000
12
3.500.000
1.400.000
2.100.000
100.000.000
1.400.000
Total
66.300.000
26.520.000
39.780.000
100.000.000
126.520.000
% dari Hasil Usaha
0,40
0,60
% dari Modal
26,52
39.78
81. Catatan:
Jika dalam pembiayaan mudharabah ternyata
mengalami kerugian, maka kedua belah pihak
akan berbagai rugi. Pembagian rugi dilakukan
setelah diketahui dari mana sumber kerugian
tersebut timbul.
1. Jika kerugian diakibatkan risiko bisnis, maka
kerugian atas modal ditanggung oleh pemilik
modal, ementara nasabah menderita kerugian
dalam hal tenaga, waktu, dan biaya.
2. Jika kerugian diakibatkan risiko karakter nasabah
(moral hazard), maka nasabah menanggung
kerugiannya.
82. g. Permasalahan-Permasalahan
dalam Pembiayaan Mudharabah
Menurut beberapa pengamatan Saeed (2003), hal ini terjadi
karena beberapa alasan, di antaranya:
1. Standar Moral
Terdapat anggapan bahwa standar moral yang berkembang di
kebanyakan komunitas muslim tidak memberi kebebasan
penggunaan bagi hasil sebagai mekanisme investasi. Hal ini
berdasarkan argumentasi yang mendorong bank untuk
mengadakan pemantauan lebih intensif terhadap setiap investasi
yang diberikan. Hal itu membuat operasional perbankan berjalan
tidak ekonomis dan tidak efisien. Berdasarkan alasan ini, Islamic
business menggunakan pembiayaan bagi hasil yang diberikan
setelah melakukan pemantauan yang mendalam terhadap bisnis
yang akan dijalankan. Dana hanya akan diberikan kepada rekanan
(mitra) yang efisien dalam mengelola bisnis, jujur dalam
melakukan transaksi, proyek usaha yang dijalankan profitable,
serta pembiayaan usaha tersebut umumnya untuk jangka pendek.
83. 2. Ketidakefektifan Model Pembiayaan Bagi Hasil
Pembiayaan bagi hasil (mudharabah) tidak menyediakan
berbagai macam kebutuhan pembiayaan dari ekonomi
kontemporer. Walaupun demikian, pembiayaan bagi hasil
yang diterapkan dalam bentuk mudharabah maupun
musyarakah merupakan alat yang terbaik untuk
menghapus bunga dalam berbagai macam transaksi dan
pembiayaan jangka pendek. Namun, kemungkinan untuk
dilaksanakan ke dalam pembiayaan institusional menjadi
terhambat. Berbagai masalah yang berkaitan dengan
aplikasinya membuat prinsip mudharabah dan
musyarakah pada tingkat pembiayaan institusional benarbenar tidak dapat diterapkan. Di antara alasannya adalah
meningkatnya permintaan pinjaman pemerintah untuk
anggaran belanjanya. Dengan demikian, permintaan
pemakaian pembiayaan dengan sistem bagi hasil menjadi
tidak terpenuhi.
84. 3. Berkaitan dengan Para Pengusaha
Keterkaitan lembaga keuangan dengan pembiayaan,
sistem bagi hasil untuk membantu perkembangan usaha
lebih banyak melibatkan pengusaha secara langsung
daripada sistem lainnya pada bank konvensional.
Lembaga keuangan memerlukan informasi yang lebih rinci
tentang aktivitas bisnis yang dibiayai dan besar
kemungkinan pihak lembaga keuangan turut
memengaruhi setiap pengambilan keputusan bisnis
mitranya. Pada sisi lain, keterlibatan yang tinggi ini akan
mengecilkan naluri pengusaha yang sebenarnya lebih
menuntut kebebasan yang luas daripada campur tangan
dalam penggunaan dana yang dipinjamkan.
85. 4. Dari Segi Biaya
Pemberian pinjaman berdasarkan sistem bagi hasil memerlukan
kewaspadaan yang lebih tinggi dari pihak lembaga keuangan.
Lembaga keuangan kemungkinan besar meningkatkan kualitas
pegawainya dengan cara mempekerjakan para teknisi dan ahli
manajemen untuk mengevaluasi proyek usaha yang dipinjami
untuk mencermati lebih teliti dan lebih jeli daripada teknis
peminjaman pada bank konvensional. Hal ini akan
meningkatkan biaya yang dikeluarkan oleh para pebisnis dalam
menjaga efisiensi kinerja banknya yang secara langsung akan
berimbas terhadap pengembalian dana pinjaman. Otomatis ini
akan menimbulkan beban yang lebih besar terhadap pemakai
dana. Tambahan biaya yang dikeluarkan oleh para pebisnis yang
digunakan untuk menjaga efektivitas operasional perbankan
syariah kemungkinan akan menghasilkan biaya ekstra yang
ditanggung oleh mitra ketika mengembalikan dana pinjaman
bagi hasil.
86. 5. Segi Teknis
Problem teknis menyangkut penggunaan sistem bagi hasil tampaknya
berkaitan dengan pihak lembaga keuangan, nasabah, perhitungan
keuntungan. Pada satu sisi dari bank sendiri, profesionalitas pegawai
pada saat ini kurang memadai dari segi keahlian dan pengetahuan dalam
menjalankan mekanisme bagi hasil. Di sisi lain, dengan menggunakan
sistem bagi hasil, lembaga keuangan membutuhkan pengetahuan yang
luas mengenai perilaku aktivitas ekonomi yang berguna untuk
memprediksi keuntungan yang akan diperoleh pada tiap-tiap jaringan
serta mengetahui secara menyeluruh tentang keadaan keuangan
investor dan komitmennya dalam menjalankan proyek usaha.
Dari sisi nasabah, buta huruf masih menyelimuti masyarakat dunia
muslim. Hal itu akan menyulitkan dalam pembuatan catatan akuntansi
secara rinci. Padahal, ini sangat penting untuk transaksi bagi hasil.
Perhitungan keuntungan dalam sistem bagi hasil juga mengalami
kesulitan untuk diterapkan, karena perhitungan keuntungan sistem bagi
hasil harus mengikuti apa yang terjadi secara aktual dalam bisnis.
87. 6. Kurang Menariknya Sistem Bagi Hasil dalam Aktivitas Bisnis
Dalam dunia bisnis dan industri, biaya yang dikeluarkan
dari dana-dana yang diperoleh berdasarkan sistem bagi
hasil tidak diketahui secara jelas dan pasti. Hal ini akan
menimbulkan terbongkarnya rahasia keuangan
pengusaha oleh pihak lembaga keuangan dan juga
intervensi bank terhadap urusan manajemen pengusaha.
Keadaan ini sangat berbeda dengan sistem pembiayaan
dengan berdasarkan bunga, di mana modalnya aman
terjaga, pendapatan yang diperoleh secara pasti, dan
biaya pinjaman diketahui dengan jelas.
88. 7. Permasalahan Efisiensi
Tingkat investasi bagi hasil mungkin lebih tinggi
dibandingkan dengan sistem lain, karena dalam sistem
bagi hasil diberikan penawaran yang sesuai terhadap
dana-dana yang dapat dipinjamkan. Oleh karena itu,
pengusaha dapat mengabaikan kepastian bagian hasil
usaha yang diberikan kepada pemberi pinjaman yang
disebabkan ketidaktentuan hasil produksinya, serta tidak
adanya kekhawatiran terjadinya penyelewengan dana
pinjaman terhadap investasi riil. Kesanggupan para
pemberi pinjaman untuk turut menanggung risiko
kemungkinan akan mendorong investasi lebih berisiko.
Meskipun, kesanggupan ini juga akan mengurangi
penekanan biaya-biaya yang berguna untuk efisiensi
kelangsungan bisnis yang pada tingkat kepentingan
tertentu cukup mengesankan.
89. 3. Sistem Perhitungan Bagi Hasil
Dari sudut pandang nasabah sebagai investor:
a. Mudharabah muqayyadah off balance
sheet.
b. Mudharabah muqayyadah on balance sheet.
c. Mudharabah muthlaqah.
Dari sudut pandang bank:
a. Perhitungan saldo akhir bulan.
b. Perhitungan saldo rata-rata harian.
90. Skema-Skema Mudharabah
Skema Mudharabah Muqayyadah Off Balance Sheet
Satu pelaksana
usaha
Satu nasabah
investor
Bank Syariah
Skema Mudharabah Muqayyadah Off Balance Sheet Berdasarkan sektor
Pertanian
Satu nasabah
investor
Bank Syariah
Manufaktur
Jasa
Skema Mudharabah Muqayyadah Off Balance Sheet Berdasarkan sektor
Penjualan Cicilan
Satu nasabah
investor
Bank Syariah
Penyewaan Cicilan
Kerjasama Usaha
91. Skema-Skema Mudharabah
Skema Mudharabah Muqayyadah On Balance Sheet
Penjualan 1
Pertanian
Penjualan 2
Penjualan n
Nasabah 1
Nasabah 2
Nasabah 3
Nasabah n
Penyewaan 1
Bank Syariah
Sewa
Penyewaan 2
Penyewaan n
Kerjasama 1
Kerjasama Usaha
Kerjasama 2
Kerjasama n
92. a. Teknik Perhitungan Bagi Hasil
Kasus:
Bapak Ahmad membuka deposito sebesar Rp
10.000.000 jangka waktu satu bulan (tanggal 1
Mei sampai dengan 1 Juni 2008). Nisbah bagi
hasil antara nasabah dan bank 57:43. Jika
keuntungan bank yang diperoleh untuk deposito
satu bulan per 31 Mei 2007 adalah Rp
20.000.000 dan rata-rata deposito jangka waktu
satu bulan adalah Rp 950.000.000, berapa
keuntungan yang diperoleh Bapak Ahmad?
Jawab:
Bagi hasil yang diperoleh bapak Ahmad adalah:
(Rp 10 juta/Rp 950 juta) x Rp 20 juta x 57% =
Rp120.000
93. b. Faktor Penentu Bagi Hasil dan Bunga
1. Bagi hasil ditentukan oleh:
Pendapatan bank.
Nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank.
Nominal deposito nasabah.
Rata-rata deposito untuk jangka waktu yang
sama pada bank.
2. Bunga ditentukan oleh:
Tingkat bunga yang berlaku.
Nominal deposito nasabah.
Jangka waktu deposito.
94. c. Penentuan Nisbah Pembiayaan
Nisbah bagi hasil dihitung berdasarkan profit sharing dari
usaha pengadaan kacang kedelai yang dibiayai dengan
fasilitas mudharabah muqayyadah, dengan data sebagai
berikut:
Harga jual kacang kedelai
Harga jual kepada nasabah
Volume penjualan kedelai per bulan
Nilai penjualan (65.000 x Rp 2.150)
Harga pokok pembelian
Laba bersih penjualan kedelai
=
=
=
=
=
=
Rp 2.150/kg
setara 16% p.a
65.000 kg
Rp 139.750.000
Rp 125.000.000
Rp 14.750.000
95. Berapa nisbah bagi hasilnya?
Penghitungan Nisbah:
Volume penjualan
Profit margin (Rp 14.750.000/139.750.000)x100%
Lama piutang (data neraca 31-07-2008)
Lama persediaan (data neraca 31-08-2008)
Lama hutang dagang
(pembayaran ke supplier dan carry)
=
=
=
=
=
65.000 kg
10.55%
65 hari
2 hari
0
Cash to cash period = 360/(DI+DR-DP)
Profit margin per tahun = 5,4 x 10,55
Nisbah Islamic Banking: (16%)/(57%)x100%
Nisbah untuk nasabah: 100%-28%
=
=
=
=
5,4
57%
28%
72%
96. d. Metode Penentuan Return Pembiayaan
Mark-up Pricing
Target-Return Pricing
Perceived-Value Pricing
Value Pricing
97. 1. Mark-up Pricing
Penentuan tingkat harga dengan memarkup biaya produksi komoditas yang
bersangkutan.
Contoh: sebuah perusahaan tusuk gigi
dalam menentukan tingkat harga dan
biaya produksinya:
a. Variabel cost per unit
Rp 5
b. Fixed Cost
Rp 200.000
c. Expected unit sales
Rp 50.000
98. Biaya produksi perusahaan tusuk gigi
setiap unit adalah sebagai berikut:
H
r
ga i d
a a
aY awt
gn r
Diasumsikan, perusahan menetapkan keuntungan sebesar 20%
dari penjualan, maka mark-up price untuk setiap unit:
99. 2). Target –Return Pricing
Penentuan dengan tujuan pencapaian
tingkat return on investment (ROI).
Contoh: perusahaan tusuk gigi pada
contoh di atas melakukan investasi
sebesar Rp 562.500 di suatu bisnis yang
menghasilkan tingkat pendapatan
sebesar 20% ROI atau Rp 200.000. Maka
target return price dapat dihitung dengan
formula sebagai berikut:
101. 3. Perceived-Value Pricing
Penentuan harga dengan tidak menggunakan
variable harga sebagai dasar harga jual. Harga
jual didasarkan pada harga competitor di mana
perusahaan melakukan penambahan atau
perbaikan unit untuk meningkatkan kepuasan
pembeli.
Contoh: seseorang lebih suka menabung di
Islamic Banking Berkah daripada di Islamic
Banking Permai walaupun tingkat bagi hasil di
Islamic Banking Permai lebih tinggi dibanding
Islamic Banking Berkah. Nasabah merasa puas
karena di Bank Syariah Berkah pelayanannya
lebih baik.
102. 4. Value Pricing
Merupakan kebijakan harga yang kompetitif
atas barang yang berkualitas tinggi.
Barang yang baik pasti harganya mahal (ono
rego ono rupo)
Namun, perusahaan yang sukses adalah
perusahaan yang mampu menghasilkan barang
yang berkualitas dengan biaya yang efisien,
sehingga perusahaan tersebut dapat dengan
leluasa menentukan tingkat harga di bawah
harga kompetitor.
103. e. Penentuan Harga dalam
Pembiayaan Syariah
Penentuan harga dalam pembiayaan di Islamic
Banking dapat dengan menggunakan salah satu
di antara empat model di atas.
Namun, yang lazim digunakan oleh Islamic
Banking saat ini adalah dengan menggunakan
metode going rate pricing, yaitu dengan
menggunakan tingkat suku bunga pasar sebagai
rujukan (benchmark). Mengapa diterapkan?
Karena, Islamic Banking berkompetisi dengan
bank konvensional. Di samping itu, Islamic
Banking juga berkeinginan untuk mendapatkan
customer yang bersifat floating customer.
104. 1)
Penerapan Mark-up Pricing dalam
Pembiayaan Syariah
Mark-up Pricing hanya tepat digunakan
untuk pembiayaan yang sumber dananya
dari restricted invesment account (RIA)
atau mudharabah muqayyadah.
Polanya dapat dilakukan dengan:
Historical average cost (on balance sheet).
Marginal cost of fund (off balance sheet).
Pooled marginal cost of fund (on balance sheet).
Weighted average propjected cost (on balance sheet).
105. 2) Penerapan Target-Return Pricing
dalam pembiayaan Syariah
Islamic Banking beroperasi dengan tidak
menggunakan bunga. Di dalamnya juga
diklasifikasikan akad yang menghasilkan
keuntungan secara pasti, disebut natural certainty
contract, dan akad yang menghasilkan keuntungan
yang tidak pasti, disebut natural uncertainty
contract.
Jika pembiayaan dilakukan dengan akad natural
certainty contract, maka metode yang digunakan
adalah required profit rate (rpr).
Rpr = n v (n = tingkat keuntungan dalam transaksi
tunai; v = jumlah transaksi dalam satu periode).
106.
Jika pembiayaan dilakukan dengan akad natural
uncertainty contract, maka metode yang digunakan
adalah expected profit rate (epr).
Epr diperoleh berdasarkan: (1) tingkat
keuntungan rata-rata pada usaha sejenis; (2)
pertumbuhan ekonomi; dan (3) dihitung dari
nilai rpr yang berlaku di bank yang
bersangkutan.
Penghitungannya:
Nisbah bank = epr/expected return bisnis yang
dibiayai*100%
Aktual return bank = nisbah bank +actual return bisnis.
107. D. Sistem Pembiayaan Jual Beli
(Sale & Purchase) dan Sewa
Pembiayaan yang diberikan kepada nasabah tidak hanya
diselesaikan dengan cara mudharabah dan musyarakah (bagi
hasil). Namun, Islamic Banking dapat juga menjalankan
pembiayaan dengan akad jual beli dan sewa. Pada akad jual beli
dan sewa, Islamic Banking akan memeroleh pendapatan secara
pasti. Hal ini sesuai dengan konsep dasar teori pertukaran.
Teori pertukaran, sering disebut sebagai natural certainty
contracts, adalah kontrak dalam bisnis yang memberikan
kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktu.
Dalam bentuk ini: (1) Cash flow-nya pasti atau sudah disepakati
pada awal kontrak; (2) Objek pertukarannya juga pasti secara
jumlah, mutu, waktu, maupun harga.
Kontrak bisnis yang masuk dalam kategori ini, adalah kontrak
bisnis tijarah dan ijarah. Oleh karena itu, ketentuan yang
berlaku dalam kontrak jual beli (bai’u) berlaku juga dalam
kontrak sewa (ijarah). Demikian mayoritas ulama mengatakan,
“Syarat-syarat yang berlaku bagi harga jual berlaku juga bagi
harga sewa.” (Al-Dardir, 4: 59; al-Ramli, 5:322; Ibnu
Qudamah).
108. 1. Murabahah
a. Pengertian dan Hukum Murabahah
Murabahah adalah akad jual beli atas suatu barang,
dengan harga yang disepakati antara penjual dan
pembeli, setelah sebelumnya penjual menyebutkan
dengan sebenarnya harga perolehan atas barang tersebut
dan besarnya keuntungan yang diperolehnya.
Al-Qur’an tidak pernah secara langsung membicarakan
murabahah meski di sana ada sejumlah acuan tentang
jual beli, laba, rugi, dan perdagangan. Demikian pula,
tampaknya tidak ada hadis yang memiliki rujukan
langsung kepada murabahah.
Para ulama generasi awal, semisal Malik dan Syafi’i yang
secara khusus mengatakan bahwa jual beli murabahah
adalah halal, tidak memperkuat pendapat mereka dengan
satu hadis pun. Al-Kaff (tt), seorang kritikus murabahah
kontemporer, menyimpulkan bahwa murabahah adalah
“salah satu jenis jual beli yang tidak dikenal pada zaman
Nabi atau para sahabatnya.”
109. b. Landasan Hukum Murabahah
a.
Al-Qur’an Surah Al-Baqarah [2]: 275
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghunipenghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
110.
Al- Qur’an Surah Al-Nisaa’ [4]: 29
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
dan janganlah kamu membunuh dirimu [larangan
membunuh diri sendiri mencakup juga larangan
membunuh orang lain, sebab membunuh orang
lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat
merupakan suatu kesatuan]; Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.
112. c. Syarat dan Rukun Murabahah
1) Rukun Murabahah
Ba’iu (penjual).
Musytari (pembeli).
Mabi’ (barang yang diperjualbelikan).
Tsaman (harga barang).
Ijab qabul (pernyataan serah terima).
113. 2) Syarat Murabahah
Syarat yang berakad (ba’iu dan musytari) cakap
hukum dan tidak dalam keadaan terpaksa.
Barang yang diperjualbelikan (mabi’) tidak
termasuk barang yang haram dan jenis maupun
jumlahnya jelas.
Harga barang (tsaman) harus dinyatakan secara
transparan (harga pokok dan komponen
keuntungan) dan cara pembayarannya
disebutkan dengan jelas.
Pernyataan serah terima (ijab qabul) harus jelas
dengan menyebutkan secara spesifik pihak-pihak
yang berakad.
115. d. Murabahah dalam Teknis Perbankan
1) Pengertian
Murabahah adalah akad jual-beli antara lembaga keuangan dan
nasabah atas suatu jenis barang tertentu dengan harga yang
disepakati bersama. Lembaga keuangan akan mengadakan
barang yang dibutuhkan dan menjualnya kepada nasabah
dengan harga setelah ditambah keuntungan yang disepakati.
Guna memastikan keseriusannya untuk membeli, bank dapat
mensyaratkan nasabah agar terlebih dahulu membayar uang
muka.
Nasabah membayar kepada bank atas harga barang tersebut
(setelah dikurangi uang muka) secara angsuran selama jangka
waktu yang disepakati, dengan memerhatikan kemampuan
mengangsur ataupun arus kas usahanya. Pembayaran secara
angsuran ini dikenal dengan istilah bai’u bitsaman ajil (BBA).
Baik harga jual maupun besar angsuran yang telah disepakati
tidak berubah hingga akad pembiayaan berakhir.
Tidak ada denda atas keterlambatan pembayaran angsuran
(penalty overdue).
116. Skema Murabahah: Contoh Aplikasi Perbankan
Negosiasi
(1)
(1)
(2)
(2)
Akad Murabahah
Bayar uang muka Rp 120 Juta
(3)
Bayar Angsuran
(6)
Serahkan surat –surat ruko
(7)
CV Bina Amanah
Bank Syariah “Q”
Beli ruko Rp 400 Juta
Jual ruko Rp 420 Juta
(4)
(5)
Ruko
117. 2) Praktik Murabahah dalam Islamic Banking
Umumnya murabahah diadopsi untuk memberikan pembiayaan
jangka pendek kepada para nasabah guna pembelian barang
meskipun mungkin si nasabah tidak memiliki uang untuk
membayar. Murabahah, sebagaimana yang digunakan dalam
perbankan syariah, prinsipnya didasarkan pada dua elemen
pokok: harga beli serta biaya yang terkait, dan kesepakatan
atas mark-up (laba). Ciri dasar kontrak murabahah (sebagai jual
beli dengan pembayaran tunda) adalah: (i) pembeli harus
memiliki pengetahuan tentang biaya-biaya terkait dan harga asli
barang; batas laba (mark-up) harus ditetapkan dalam bentuk
persentase dari total harga plus biaya-biayanya; (ii) apa yang
dijual adalah barang atau komoditas, dan dibayar dengan uang;
(iii) apa yang diperjualbelikan harus ada dan dimiliki oleh
penjual, dan penjual harus mampu menyerahkan barang itu
kepada pembeli; dan (iv) pembayarannya ditangguhkan.
Murabahah seperti yang dipahami di sini, digunakan dalam
setiap pembiayaan di mana ada barang yang bisa diidentifikasi
untuk dijual.
118.
Pada umumnya murabahah telah digunakan sebagai metode pembiayaan yang
utama, meliputi kira-kira tujuh puluh lima persen dari total kekayaan. Angka
persentase ini kira-kira cocok dengan banyak Islamic Banking. Begitu pula dengan
sistem perbankan, baik di Pakistan maupun di Iran. Semenjak awal 1984, di
Pakistan, pembiayaan jenis murabahah mencapai sekitar delapan puluh tujuh persen
dari total pembiayaan dalam investasi deposito PLS. Dalam kasus Dubai Islamic
Bank, Islamic Banking terawal di sektor swasta, pembiayaan murabahah mencapai
delapan puluh dua persen dari total pembiayaan selama tahun 1989 (IDB, 1989).
Bahkan, bagi Islamic Development Bank (IDB), selama lebih dari sepuluh tahun
periode pembiayaan, tujuh puluh tiga persen dari seluruh pembiayaannya adalah
murabahah, yaitu dalam pembiayaan dagang luar negeri (IDB, 1989).
Sejumlah alasan diajukan untuk menjelaskan popularitas murabahah dalam operasi
investasi perbankan Islam: (i) murabahah adalah suatu mekanisme investasi jangka
pendek dan, dibandingkan dengan sistem profit and loss sharing (PLS), cukup
memudahkan; (ii) mark-up dalam murabahah dapat ditetapkan sedemikian rupa
sehingga memastikan bahwa bank dapat memeroleh keuntungan yang sebanding
dengan keuntungan bank-bank berbasis bunga yang menjadi saingan Islamic
Banking; (iii) murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan
dari bisnis-bisnis dengan sistem PLS (Ahmad, 1998); dan (iv) murabahah tidak
memungkinkan Islamic Banking untuk mencampuri manajemen bisnis, karena bank
bukanlah mitra nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah
hubungan antara kreditur dan debitur.
119. e. Perbandingan antara Pembiayaan Berbasis
Murabahah dan Bunga Tetap
Tujuan perbandingan ringkas di sini adalah untuk melihat
apakah ada perbedaan yang signifikan antara pembiayaan
dengan murabahah dengan pembiayaan lewat bunga
tetap untuk tujuan-tujuan yang sama. Perbandingan
difokuskan pada aspek-aspek berikut: harga pembiayaan,
risiko dalam pembiayaan murabahah, keamanan,
hubungan antara bank dan pembeli, dan penyelesaian
utang.
1. Biaya untuk Pembiayaan
2. Murabahah:Bebas Risiko atau Berbagi Risiko
a. Risiko yang terkait dengan barang
b. Risiko yang terkait dengan Nasabah
c. Risiko yang terkait dengan pembayaran
120. 3) Jaminan untuk Pembiayaan Murabahah
Meminta jaminan atas uang pada dasarnya bukanlah sesuatu
yang tercela, demikian menurut Al-Qur’an dan Sunnah. Al-Qur’an
memerintahkan umat Islam untuk menulis tagihan utang mereka,
dan jika perlu, meminta jaminan atas utang itu.
Dalam sejumlah kesempatan, Nabi memberikan jaminannya
kepada krediturnya atas utang beliau. Jaminan adalah satu cara
untuk memastikan bahwa hak-hak kreditur tidak akan
dihilangkan, dan untuk menghindarkan diri dari “memakan harta
orang dengan cara batil”.
Namun demikian, karena meminta jaminan dipandang oleh para
pendukung perbankan Islam sebagai suatu penghambat dalam
aliran dana bank untuk para pengusaha kecil, Islamic Banking
cenderung mengkritik bank-bank konvensional sebagai terlalu
‘berorientasi jaminan’ (security oriented). Dalam kalimat
International Islamic Bank for Investment and Development
(IIBID), “Jaminan-jaminan adalah ‘unsur terpenting’ dalam
keputusan memberikan pinjaman oleh bank konvensional.” Secara
tidak langsung ini menyatakan bahwa bagi Islamic Banking
jaminan bukan soal penting dalam keputusan pembiayaan.
121. Peran Jaminan pada Bank Konvensional
Dalam konteks pemberian pinjaman bank konvensional, jaminan
memainkan peran penting untuk memastikan pengembalian pinjaman
ketika jatuh tempo. Namun, jaminan bukanlah faktor terpenting untuk
menentukan apakah uang muka perlu dikenakan atau tidak terhadap
nasabah. Pitcher, seorang bankir konvensional, mengatakan, “Kebanyakan
kami, selama dalam pelatihan, belajar bahwa [jaminan] adalah salah satu
aspek yang kurang penting dalam usulan pinjaman, tetapi bagi
kebanyakan nasabah kami, jaminan sering tampak menjadi faktor utama
di depan benak kami ketika kami melihat permintaan mereka dan menjadi
prasyarat bagi setiap pembahasan yang berarti. Saya dapat mengingat
dengan baik seorang manajer tua memberitahuku segera setelah saya
bergabung dengan bank, ‘Jangan biarkan jaminan memengaruhi
keputusan peminjaman. Saya tidak pernah meminjamkan uang dengan
jaminan yang saya juga tidak meminjamkannya bila tidak ada jaminan” ….
Memberikan pinjaman dengan jaminan material ada tempatnya, tetapi
memberikan pinjaman karena jaminan saja pasti secara tidak adil akan
membatasi kucuran dana bank bagi usaha-usaha yang terkontrol dengan
baik yang dapat meminjam uang dengan sukses kalau saja mereka
memiliki harta yang diperlukan untuk menopang janjinya sebagai
jaminan.” (Pitcher, 1990: 11).
122. Jaminan Pihak ke-3 dalam
Pembiayaan Murabahah
Kontrak-kontrak murabahah Islamic Banking dan cabang-cabang syariah bank
konvensional berisi klausul-klausul yang menekankan pentingnya jaminan. Dalam
kontrak Faisal Islamic Bank of Egypt (FIBE), Jordan Islamic Bank (JIB), International
Islamic Bank of Investment and Development (IIBID), Egyptian Gulf Bank (EGB),
Bank of Credit and Commerce (BCCI), dan Banque Misr, misalnya, garansi dan
jaminan dimintakan dari nasabah.
Jaminan-jaminan itu dapat berupa benda bergerak, maupun tidak bergerak, barangbarang murabahah sendiri bilamana dipandang pantas untuk dijadikan jaminan,
garansi pihak ketiga, pembayaran uang muka, dan surat-surat komersial. Menurut
kontrak, bank memilih hak untuk meminta jaminan tambahan kepada nasabah yang
jaminan itu dapat diterima oleh bank dalam hal bank berpikir bahwa jaminan yang
telah diberikan sebelumnya tidak mencukupi. Jika diminta, maka nasabah harus
memberikan jaminan itu tanpa bantahan atau penundaan.
Umumnya, jaminan pihak ketiga adalah mutlak. Kontrak murabahah, misalnya,
mengatakan, Pihak ketiga memberikan jaminan mutlak atas tanggung jawab dan
kewajiban nasabah yang timbul akibat kontrak ini. Pihak ketiga setuju bahwa
jaminannya adalah suatu jaminan tambahan. Jaminan ini tidak dapat memengaruhi
atau dipengaruhi oleh jaminan yang lain yang mungkin telah diberikan sebelumnya
oleh nasabah, atau jaminan yang mungkin diperoleh bank darinya dimasa yang akan
datang. Pihak ketiga menganggap dirinya terikat oleh jaminan ini sebagai suatu
asuransi yang berlangsung terus.
123.
Hak-hak bank sangat terlindungi di dalam kontrak. Semua barang
bergerak dan tidak bergerak milik nasabah dan penjaminnya dapat
digunakan untuk memenuhi kewajiban yang timbul akibat kontrak
murabahah. Menurut kontrak murabahah Jordan Islamic Bank (JIB),
“Nasabah dan penjamin setuju bahwa bank memiliki hak untuk
menerapkan segala hukuman dan keputusan yang dikeluarkan terhadap
mereka, secara bersama-sama, pribadi-pribadi, maupun terhadap semua
harta mereka atau harta salah seorang dari mereka, baik harta bergerak
maupun tidak bergerak.”
Di samping semua itu, nasabah harus, saat memohon dana, menaruh cek
pada bank untuk tiap-tiap angsuran yang diberi tanggal sesuai dengan
jatuh temponya. Bank memiliki hak untuk mencairkan cek guna penagihan
pada tanggal jatuh tempo jika nasabah tidak membayar angsurannya saat
jatuh tempo. Semua ini tentu menjamin, hampir pasti, pelunasan hutang
murabahah. Sikap bank yang semacam ini terhadap jaminan tidak
membenarkan kritik mereka terhadap kebijakan bank konvensional
mengenai jaminan. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa jika demikian
adanya perhatian Islamic Banking terhadap jaminan, maka praktik mereka
jelas tidak lebih baik daripada praktik jaminan bank konvensional.
125. 4) Hubungan antara Bank
dan Nasabah Murabahah
Teori perbankan Islam mengatakan bahwa ciri utama dalam hubungan
antara bank dengan nasabah adalah ‘kemitraan’. Ciri ini, katanya,
menghapuskan sifat debitur-kreditur dalam hubungan bank-nasabah
dalam bank-bank konvensional. Bagaimanapun, sulit untuk
membenarkan sikap teoretis ini mengingat pentingnya murabahah dalam
operasi perbankan Islam, yang jumlahnya mencapai lebih dari tujuh
puluh lima persen dari operasi investasi Islamic Banking itu pada
umumnya.
Dalam murabahah, kontrak jual beli membawa suatu hubungan debiturkreditur antara nasabah dan bank. Si pembeli setuju untuk membayar
harga barang plus mark-up secara angsuran, jumlah dan tanggal jatuhtempo angsuran yang ditentukan di dalam kontrak. Begitu bank dan
nasabah memasuki kontrak jual beli ini, harga jual menjadi tanggungan
hutang nasabah kepada bank. Jadi, hubungan antara nasabah dan bank
menjadi debitur-kreditur. Ini juga merupakan hubungan yang dominan,
meski tidak berarti satu-satunya, antara bank tradisional dan para
konsumennya.
126. 5) Penyelesaian Hutang Murabahah
Pembiayaan untuk suatu kongsi berdasarkan murabahah
yang harus dilunasi pada jangka waktu tertentu tidak
jauh berbeda dengan pembiayaan kongsi berdasarkan
suku bunga tetap. Dalam kedua kasus tersebut,
pembiayaan adalah hutang. Biaya pembiayaan, apakah
itu disebut bunga atau laba, dan jangka waktu
pembayaran ditetapkan.
Perbedaan paling penting adalah dalam hal debitur gagal
melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan.
Pinjaman dengan bunga pada umumnya menimbulkan
sanksi bunga tambahan jika pinjaman tidak dilunasi pada
saat jatuh tempo, entah si debitur mampu membayar
atau tidak. Dalam Islamic Banking, debitur harus diberi
waktu toleransi untuk melunasi jika ia tidak mampu,
sesuai dengan perintah Al-Qur’an bahwa “jika debitur
memunyai kesulitan, maka berilah penundaan sampai ia
memeroleh kemudahan”.
127.
Meskipun hutang dalam jual beli murabahah adalah tetap, dalam arti
bahwa jumlah hutang tidak dapat berubah setelah kontrak ditandatangani
oleh bank dan pembeli, bank dapat melindungi investasinya jika pembeli
tidak membayar tepat waktu. Mengomentari pengalaman Pakistan dalam
pembiayaan dagang terkait, tim Ingram dari Grind Lays Bank (Pakistan)
mengatakan, “Sistem yang telah diadopsi di Pakistan dalam jenis-jenis
pembiayaan mark-up ini, jika diletakkan dalam klausul-klausul yang
terkait dengan bunga (interest-bearing terms), yakni bahwa dalam
dokumen, kami membebankan apa yang senilai dengan kira-kira bunga
tambahan tujuh bulan ke dalam nilai mark-up. Dengan kata lain, kami
dapat membeli barang dari pelanggan senilai Rp100; ia segera
menandatangani kontrak untuk membelinya lagi dari kami seharga Rp120,
yang harus dibayar selama enam bulan berikut. Sekarang, berdasarkan
interest-bearing yang berlaku di Barat, jumlah itu bisa mencapai 40
persen per tahun, yang jumlah ini lebih banyak daripada yang diinginkan
bank sebenarnya. Jadi, apa yang kami miliki adalah dokumentasi
alternatif, suatu pembayaran potongan harga (rebate) yang cepat, yang
diterima oleh pelanggan.”
Semua itu menunjukkan bahwa sampai dalam penyelesaian hutang pun,
Islamic Banking telah menggunakan cara-cara untuk menjamin agar
hutang dilunasi tepat waktu. Jika tidak, ‘kerugian’ yang diderita bank
ditanggung oleh nasabah.
128. f. Persoalan Harga dalam Murabahah
1) Bolehkah Harga Jual yang Lebih Tinggi dalam
Murabahah?
Murabahah sebagai suatu mekanisme jual beli
dengan pembayaran tunda, dapat terjadi baik
(i) pada harga tunai, dengan menghindari
segala bentuk mark-up pengganti waktu yang
ditundakan untuk pembayaran, atau (ii) pada
harga tunai plus mark-up untuk pengganti
waktu penundaan pembayaran (IAIB, 1999).
Fokus kajian berikut adalah pada jenis kedua
dari jual beli dengan pembayaran tunda.
129.
Para fuqaha tidak mempersoalkan keabsahan jual beli dengan pembayaran
tunda jenis yang pertama, yaitu pembayaran tunda pada harga tunai.
Perbedaan pendapat di kalangan ulama terjadi pada harga cicilan yang
lebih tinggi (sebagai lawan dari harga tunai) dalam jual beli dengan
pembayaran tunda (Mishri, tt). Para tokoh fuqaha awal, seperti Malik dan
Syafi’I, tidak menyetujui harga jual yang lebih tinggi untuk jual beli
dengan pembayaran tunda dan harga yang lebih rendah untuk
pembayaran tunai. Baik dalam Muwaththa’ Malik maupun dalam
pembahasan Syafi’i tentang jual beli dengan pembayaran tunda di Kitab
al-Umm, penulis tidak menemukan satu pendapat pun dari para fuqaha ini
yang membolehkan jual beli suatu barang berdasarkan murabahah dengan
harga jual yang lebih tinggi daripada harga kontannya (Syafi’i, tt).
Argumen-argumen di atas selalu diajukan untuk membenarkan kenaikan
pada jual beli dengan pembayaran tunda yang secara jelas terkait dengan
jangka waktu utang. Islamic Bankings sudah barang tentu menerima
keabsahan kenaikan harga tersebut, dan ini telah menjadi praktik baku
untuk mengenakan harga yang lebih tinggi dalam jual beli dengan
pembayaran tunda selama transaksinya secara eksplisit tidak mengandung
tukar-menukar uang dengan uang.
130. 2) Kenaikan pada Harga dalam Murabahah
Banyak tokoh fuqaha awal rupanya tidak mengakui bahwa
kenaikan dalam suatu utang-piutang atau harga jual
dapat dibenarkan berdasarkan waktu, karena waktu
sendiri bukanlah uang atau objek material yang dapat
menjadi nilai imbangan dalam suatu utang. Faqih mazhab
Hanafi, Jashshash, menyatakan percepatan pembayaran
utang dengan syarat bahwa kreditur mengurangi
jumlahnya adalah riba (Jashshash, Ahkam Al-Qur’an, I, h.
467). Ia mendasarkan pandangannya pada suatu riwayat
dari Zaid bin Tsabit (w. 45/665), Abdullah bin Umar (w.
73/693), Sa’id bin Jubair (w. 95/714) dan as-Sya’bi (w.
103/722). Para ulama generasi awal itu menyamakan
antara pengurangan jumlah yang disebabkan oleh waktu
dalam utang-piutang dengan riba. Zaid bin Tsabit menilai
bahwa keuntungan dari pengurangan semacam itu tidak
boleh digunakan oleh si penerima, juga tidak boleh
diberikan kepada orang lain (Malik bin Anas, Muwaththa,
h. 271).
131. 3) Batas Maksimal Penentuan Keuntungan
Tidak ada dalil dalam syariah yang berkaitan dengan penentuan
keuntungan usaha, sehingga bila melebihi jumlah tersebut
dianggap haram. Hal demikian telah menjadi kaidah umum untuk
seluruh jenis barang dagangan di setiap zaman dan tempat.
Ketentuan tersebut, karena ada beberapa hikmah, di antaranya:
a) Perbedaan harga terkadang cepat berputar dan terkadang lambat.
Menurut kebiasaan, kalau perputarannya cepat, maka
keuntungannya lebih sedikit. Sementara, bila perputarannya
lambat, keuntungannya banyak.
b) Perbedaan penjualan kontan dengan penjualan pembayaran tunda
(cicilan). Pada asalnya, keuntungan pada penjualan kontan lebih
kecil dibandingkan keuntungan pada penjualan cicilan.
c) Perbedaan komoditas yang dijual, antara komoditas primer dan
sekunder yang keuntungannya lebih sedikit karena memerhatikan
kaum papa dan orang-orang yang membutuhkan, dengan
komoditas luks, yang keuntungannya dilebihkan menurut
kebiasaan karena kurang dibutuhkan.
132.
Sebagaimana telah dijelaskan, tidak ada riwayat dalam sunnah Nabi yang mengatur
pembatasan keuntungan, sehingga tidak boleh mengambil keuntungan melebihi dari
yang sewajarnya. Bahkan sebaliknya, diriwayatkan suatu hadis yang menetapkan
bolehnya keuntungan perdagangan itu mencapai dua kali lipat pada kondisi tertentu,
atau bahkan lebih.
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya dari Urwah bahwa ia menceritakan
Nabi pernah ditawarkan kambing dagang. Lalu beliau memberikan satu dinar
kepadaku. Beliau bersabda, “Hai Urwah, datangi pedagang hewan itu, belikan
untukku satu ekor kambing.” Aku mendatangi pedagang tersebut dan menawar
kambingnya. Akhirnya aku berhasil membawa dua ekor kambing. Aku kembali
dengan membawa kedua ekor kambing tersebut – dalam riwayat lain – menggiring
kedua kambing itu. Di tengah jalan, aku bertemu seorang lelaki dan menawar
kambingku. Kujual satu ekor kambing dengan harga satu dinar. Aku kembali kepada
Nabi dengan membawa satu dinar berikut satu ekor kambing. Aku berkata, “Wahai
Rasulullah, ini kambing Anda dan ini satu dinar juga milik Anda!” Beliau bertanya,
“Apa yang engkau lakukan?” Aku menceritakan semuanya. Beliau bersabda, “Ya
Allah, berkatilah keuntungan perniagaannya.” Kualami sesudah itu bahwa aku
pernah berdiri di Kinasah di Kota Kufah, aku berhasil membawa keuntungan empat
puluh ribu dinar sebelum aku sampai ke rumah menemui keluargaku. (Musnad
Ahmad, IV: 376 cet. al-Maktab al-Islami).
Diriwayatkan dengan sahih bahwa Zubair bin Awwam pernah membeli sebuah tanah
hutan, yakni sebidang tanah luas di daerah tinggi di kota Madinah dengan harga
seratur tujuh puluh ribu dinar. Namun, kemudian ia menjualnya dengan harga satu
juta dinar, yakni menjualnya dengan harga berlipat-lipat kali lebih mahal.
133.
Hal yang perlu dicermati di sini bahwa semua kejadian itu tidak
mengandung unsur penipuan, manipulasi, monopoli,
memanfaatkan keluguan pembeli, ketidaktahuannya, kondisinya
yang terpepet atau sedang membutuhkan, lalu harga ditinggikan.
Di sisi lain, semua kejadian ini tidaklah menggambarkan kaidah
umum dalam mengukur keuntungan. Justru sikap memberi
kemudahan, sikap santun dan puas dengan keuntungan yang
sedikit itu lebih sesuai dengan petunjuk para ulama dan spirit
kehidupan syariah.
Orang yang puas dengan keuntungan sedikit pasti usahanya akan
penuh dengan berkah. Ali bin Abi Thalib biasa keliling pasar Kufah
dengan membawa tongkat sambil berkata, “Hai para pedagang,
ambillah hak kalian, kalian akan selamat. Jangan kalian tolak
keuntungan yang sedikit, karena kalian bisa dihalangi
mendapatkan keuntungan besar....” (Abdullah al-Mushlih dan
Shalah al-Shawi, 2001: 80)
134. g. Metode Penentuan Harga Jual
dan Profit Margin
1) Metode Penentuan Profit Margin
Ada empat metode penentuan profit margin
yang diterapkan pada bisnis/bank konvensional,
yaitu: (1) mark-up pricing; (2) target-return
pricing; (3) perceived-value pricing; dan (4)
value pricing. Keempat metode penentuan
harga jual barang ini dapat diuraikan secara
ringkas sebagai berikut:
a) Mark-up Pricing
Penentuan tingkat harga dengan me-markup
biaya produksi komoditas yang bersangkutan
135. Contoh:
PT Arif memproduksi barang A. Dalam
menentukan tingkat harga dan biaya
produksinya, perusahaan tersebut
mempertimbangkan biaya-biaya sebagai
berikut:
Biaya variabel per unit = Rp 10
Biaya tetap
= Rp 100.000
Jumlah unit yang diharapkan terjual,
sebanyak 10.000 unit.
136.
Dengan demikian, biaya produksi
perusahaan untuk memproduksi barang A
adalah sebagai berikut:
Biaya tetap
Biaya per unit = Biaya variabel + -----------------Jumlah penjualan
Rp 100.000
= Rp 10 + ----------------- = Rp 20
10.000
137.
Diasumsikan perusahaan menetapkan keuntungan sebesar
10% dari penjualan, maka mark-up price untuk setiap unit
adalah sebagai berikut:
Biaya per unit
Harga Mark-up =---------------------------------------(1 – pendapatan penjualan yang diharapkan)
Rp 20
= ----------------- = Rp 22,22
(1 – 0.10)
Harga sebesar Rp 22,22 merupakan harga yang telah dimark-up. Harga tersebut yang dijadikan sebagai harga
dasar penawaran penjualan kepada calon nasabah yang
akan membeli barang A tersebut. Jika calon nasabah
menyepakati harga tersebut, maka akan terjadi kontrak
jual beli.
138. b) Target-Return Pricing
Penentuan harga jual produk yang
bertujuan mendapatkan tingkat return
atas besarnya modal yang diinvestasikan.
Dalam bahasa keuangan dikenal dengan
return on investment (ROI). Dalam hal
ini, perusahaan akan menentukan berapa
return yang diharapkan atas modal yang
telah diinvestasikan.
139. Contoh:
PT Arif memproduksi barang A dan telah menginvestasikan
dana sebesar Rp 1.000.000, dengan menghasilkan tingkat
return sebesar 20%. Dengan demikian, target return
pricing dapat dicari sebagai berikut:
Return yang diharapkan x modal investasi
Target return-price = unit cost + ----------------------------------------------Unit sale
0,20 x Rp 1.000.000
= Rp 20 + ----------------------------- = Rp 40
10.000
Rp 40 merupakan harga yang telah ditargetkan dari
banyaknya modal yang diinvestasikan. Harga tersebut yang
dijadikan sebagai harga dasar penawaran penjualan kepada
calon nasabah yang akan membeli barang A tersebut. Jika
calon nasabah menyepakati harga tersebut maka akan
terjadi kontrak jual beli.
140. c) Perceived-Value Pricing
Penentuan harga dengan tidak menggunakan variabel
harga sebagai dasar harga jual. Harga jual didasarkan
pada harga produk pesaing di mana perusahaan
melakukan penambahan atau perbaikan unit untuk
meningkatkan kepuasan pembeli.
Contoh:
Seseorang lebih suka menabung di Islamic Banking
Berkah daripada di Islamic Banking Permai walaupun
tingkat bagi hasil di Islamic Banking Permai lebih tinggi.
Nasabah merasa puas karena di Islamic Banking Berkah
pelayanannya lebih baik dibandingkan dengan pelayanan
yang diberikan oleh Islamic Banking Permai.
141. d) Value Pricing
Kebijakan harga yang kompetitif atas barang yang berkualitas tinggi.
Dengan ungkapan: ono rego ono rupo. Artinya, barang yang baik pasti
harganya mahal. Namun, perusahaan yang sukses adalah perusahaan
yang mampu menghasilkan barang yang berkualitas dengan biaya yang
efisien, sehingga perusahaan tersebut dapat dengan leluasa menentukan
tingkat harga di bawah harga kompetitor.
Dapatkah metode penentuan harga yang berlaku dalam ekonomi
konvensional tersebut digunakan untuk menentukan tingkat harga dalam
mekanisme syariah? Penentuan harga dalam pembiayaan di Islamic
Banking dapat menggunakan salah satu di antara empat model tersebut
di atas. Namun, yang lazim digunakan oleh Islamic Banking saat ini
adalah metode going rate pricing, yaitu menggunakan tingkat suku
bunga pasar sebagai rujukan (benchmark). Mengapa diterapkan? Karena
Islamic Banking berkompetisi dengan bank konvensional. Di samping itu,
Islamic Banking juga berkeinginan untuk mendapatkan customer yang
bersifat floating customer.
Meskipun demikian, penentuan harga jual produk pada Islamic Banking
harus dengan memerhatikan ketentuan-ketentuan yang dibenarkan
menurut syariah. Oleh karena itu, metode penentuan harga jual
berdasarkan pada mark-up pricing maupun target return pricing dapat
digunakan dengan melakukan modifikasi.
142. 2) Penerapan-penerapan Metode Pembiayaan
a) Penerapan Mark-up Pricing Pembiayaan
Jika Islamic Banking hendak menerapkan
metode mark-up pricing, metode ini hanya tepat
jika digunakan untuk pembiayaan yang sumber
dananya dari restricted investment account
(RIA) atau mudharabah muqayyadah. Mengapa
demikian?
Sebab, akad mudharabah muqayyadah adalah
akad yang pemilik dana menuntut adanya
kepastian hasil dari modal yang diinvestasikan.
Oleh karena itu, pola yang diterapkan dengan
memerhatikan:
143.
Historical average cost jika dana mudharabah
muqayyadah dilakukan dengan on balance sheet.
Marginal cost of fund jika dana mudharabah
muqayyadah dilakukan dengan off balance sheet.
Pooled marginal cost of fund jika dana
mudharabah muqayyadah dilakukan dengan on
balance sheet.
Weighted average projected cost jika dana
mudharabah muqayyadah dilakukan dengan on
balance sheet.
144. b) Penerapan Target Return
Pricing Pembiayaan
Islamic Banking beroperasi dengan tidak menggunakan
bunga. Mekanisme operasional dalam memeroleh
pendapatan dapat dihasilkan berdasarkan klasifikasi akad.
Akad yang menghasilkan keuntungan secara pasti disebut
natural certainty contract, dan akad yang menghasilkan
keuntungan yang tidak pasti disebut natural uncertainty
contract.
Jika pembiayaan dilakukan dengan akad natural certainty
contract, maka metode yang digunakan adalah required
profit rate (rpr).
rpr = n. v
Di mana n = tingkat keuntungan dalam transaksi tunai;
v = jumlah transaksi dalam satu periode.
145. Jika pembiayaan dilakukan dengan akad natural
uncertainty contract, maka metode yang
digunakan adalah expected profit rate (epr).
Expected profit rate (epr) diperoleh berdasarkan:
1. Tingkat keuntungan rata-rata pada
industri sejenis.
2. Pertumbuhan ekonomi.
3. Dihitung dari nilai rpr yang berlaku di
bank yang bersangkutan.
Penghitungannya:
Nisbah bank
= epr/expected return bisnis
yang dibiayai * 100%
Aktual return bank = nisbah bank + aktual return
bisnis
146. Contoh kasus: penentuan target return untuk
kontrak dengan hasil tidak pasti
Bank Permata memprediksikan nilai epr dari proyek Halal
sebesar 15%. Dengan mempertimbangkan target return,
bank menetapkan nisbah bagi hasil antara bank dan
pengusaha 40:60 (bank:nasabah). Dari transaksi proyek
Halal tersebut dihasilkan keuntungan aktual sebesar Rp 30
juta (modal yang digunakan, misalnya, sebesar Rp 75
juta). Bila bank Permata memprediksikan nilai epr dari
suatu proyek sebesar 20% (dengan asumsi aktual return
usaha yang dibiayai adalah Rp 100 juta) dan target
keuntungan aktual adalah Rp 60 juta, maka dengan
menetapkan tingkat perolehan aktual tetap, bank dapat
menetapkan tingkat nisbah bagi hasil dengan pengusaha
sebesar 30:70 (bank:nasabah)
147. Contoh kasus: penentuan target return untuk
kontrak dengan hasil pasti
Pak Amin memunyai modal usaha 100 juta. Modal tersebut
diusahakan dalam bisnis perumahan. Setiap satu kali
transaksi jual beli rumah, Amin mendapatkan keuntungan
10 juta atau 10%. Dari pengalaman sebelumnya selama
satu tahun, Amin dapat menjual rumah sebanyak enam
unit. Suatu ketika ada seseorang yang ingin membeli
rumah tersebut dengan pembayaran di kemudian hari,
yaitu pada akhir tahun. Apabila Amin menjual rumah
tersebut dengan margin keuntungan 10% maka dia akan
mengalami kerugian atau kehilangan peluang untuk
melakukan penjualan rumah lagi sebanyak lima kali per
unit. Oleh karena itu, untuk menutup hilangnya opportunity
loss, Amin menawarkan harga rumah kepada seseorang
tersebut dengan harga 160 juta atau margin keuntungan
sebesar 60%. Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa
tingkat 60% tersebut adalah sama dengan tingkat
keuntungan 10% dengan enam kali transaksi.
148.
Tingkat keuntungan jual beli juga dipengaruhi
oleh faktor lain, seperti tingkat harga di pasar.
Meskipun demikian, penjual perlu mengacu
kepada aturan fikih dalam menentukan harga
kontan dengan harga cicilan. Dengan demikian,
penentuan nilai rpr dapat dihitung dengan
menggunakan rumus berikut:
rpr = π . v
π adalah tingkat keuntungan dalam transaksi
tunai; v adalah jumlah transaksi yang bisa
dilakukan dalam satu periode.
149. Contoh:
Bila dalam suatu pembiayaan yang memberikan
hasil pasti (murabahah), bank menetapkan
tingkat keuntungan sebesar 12%, sementara
pembiayaan tersebut membutuhkan dana
sebesar Rp 200 juta, maka bank sudah bisa
melakukan prediksi bahwa keuntungan aktual
yang akan diperoleh adalah:
Keuntungan aktual yang diperoleh
= rpr x jumlah pembiayaan
= 12% x Rp 200 juta
= Rp 24 juta
150.
Sebaiknya, penetapan harga jual murabahah
dapat dilakukan dengan cara Rasulullah ketika
berdagang. Dalam menentukan harga penjualan,
Rasul secara transparan menjelaskan berapa
harga belinya, berapa biaya yang telah
dikeluarkan untuk setiap komoditas dan berapa
keuntungan wajar yang diinginkan. Cara yang
dilakukan oleh Rasulullah ini dapat dipakai
sebagai salah satu metode Islamic Banking dalam
menentukan harga jual produk murabahah.
Dengan demikian, secara matematis harga jual
barang oleh bank kepada calon nasabah
pembiayaan murabahah dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut:
151. Harga Jual Bank
= Harga Beli Bank + Cost Recovery + Keuntungan
Cost Recovery
Proyeksi Biaya Operasi
= -----------------------------------------Target Volume Pembiayaan
Cost Recovery + keuntungan
Margin dalam prosentase = -------------------------------------------- x 100%
Harga Beli Bank