Dokumen tersebut membahas mengenai infeksi janin kongenital akibat toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus (CMV), dan herpes simpleks virus (HSV) selama kehamilan yang dapat menyebabkan kerusakan organ janin dan gangguan perkembangan. Diagnosis dilakukan dengan tes serologi ibu hamil dan tes prenatal seperti amniosentesis. Terapi fokus pada pengobatan infeksi ibu dan konseling mengenai risiko terhadap janin.
2. TOKSOPLASMA GONDII
Toksoplasmosis pada kehamilan dapat
menyebabkan infeksi janin kongenital.
Janin yang terinfeksi kongenital tersebut mengalami
kerusakan organ/struktur hidrosefalus,
korioretinitis dan kalsifikasi serebralis.
5. Sekuele pada bayi
Sekuele ringan : sikatriks/ scar korioretinal tanpa
gangguan visus atau adanya kalsifikasi serebral
tanpa diikuti kelainan neurologik.
Sekuele berat : kematian janin intra uterin atau
neonatal. Atau adanya scar korioretinal dengan
gangguan visus berat ataupun kelainan neurologik
berat.
6. Bila toksoplasmosis terjadi pada kehamilan
sebelum 20 minggu, 20% janin mengalami
infeksi kongenital 25% dari janin yang
terinfeksi ini memperoleh kerusakan organ berat,
15% kerusakan organ ringan serta sisanya 60%
bersifat subklinis (Foulon et al, 1994).
7. DIAGNOSIS TOKSOPLASMOSIS PADA
KEHAMILAN
Kehamilan dengan seropositif ditemukan
adanya antibodi IgG anti toksoplasma dengan titer
1/20-1/1000.
Kehamilan dengan antibodi IgG atau IgM spesifik
titer tinggi ibu hamil seropositif memperoleh
ulangan infeksi (reinfeksi).
Kehamilan dengan seronegatif darah ibu tidak
mengandung antibodi spesifik mengulangi uji
serologik tiap trimester (3 bulan) sekali.
8. Kehamilan dengan serokonversi adanya
perubahan dari seronegatif menjadi seropositif
selama kehamilan.
Penderita memiliki resiko tinggi untuk terjadinya
transmisi vertikal dari maternal ke janin serta
mengakibatkan infeksi janin (toksoplasmosis
kongenital).
9. DIAGNOSTIK PRENATAL
Konsep lama hanya bersifat empiris dan
berpedoman pada hasil uji serologis ibu hamil.
Saat ini pemanfaatan tindakan kordosentesis dan
amniosentesis dengan panduan ultrasonografi
guna memperoleh darah janin ataupun cairan
ketuban sebagai pendekatan diagnostik
10. Diagnosis prenatal umumnya dilakukan pada usia
kehamilan 14-27 minggu (trimester II).
Kordosentesis (pengambilan sampel darah janin
melalui tali pusat) ataupun amniosentesis
(aspirasi cairan ketuban) dengan tuntunan
ultrasonografi.
15. Pemeriksaan dengan teknik P.C.R guna
mengidentifikasi DNA T.oxoplasma gondii pada
darah janin atau cairan ketuban.
Pemeriksaan dengan teknik ELISA pada darah
janin guna mendeteksi antibodi IgM janin spesifik
(anti toksoplasma).
16. Diagnosis toksoplasmosis kongenital ditegakkan
berdasar
Hasil pemeriksaan yang menunjukkan adanya IgM
janin spesifik (anti toksoplasma) dari darah janin,
dan D.N.A dari T. gondii dengan P.C.R darah janin
ataupun cairan ketuban.
17. Diagnostik prenatal yang berdasarkan amniosentesis
(aspirasi cairan ketuban), saat ini paling sering
dilakukan guna mendeteksi adanya infeksi janin
kongenital.
Dengan tindakan diagnostik prenatal ini akan
diperoleh deteksi DNA (Deoxyribonucleic acid)
T.gondii dalam cairan ketuban melalui metode PCR
(Polymerase Chain Reaction) secara akurat dan cepat.
18. TERAPI
Spiramycin 1-3 g/hari diberikan selama 3 minggu
diselingi 25 mg pyrimethamine, 3 g sulfadiazine/hari
selama 3 minggu juga sampai kelahiran
19.
20. RUBELA
Selama kehamilan, virus ini menjadi penyebab
langsung kematian janin dan bahkan yang paling
penting malformasi kongenital berat.
Dianjurkan untuk melakukan vaksinasi, terutama
pada wanita berusia subur.
21. Diagnosis
Konfirmasi infeksi rubela sulit dilakukan.
Gambaran klinisnya mirip dengan penyakit lain,
dan sekitar seperempat dari infeksi rubela bersifat
subklinis walaupun terjadi viremia yang telah
menginfeksi mudigah atau janin.
22. Viremia mendahului gejala klinis sekitar 1 minggu
Orang nonimun yang mengalami viremia rubela
akan memperlihatkan titer puncak antibodi 1
sampai 2 minggu setelah awitan ruam.
23. Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan,
infeksi pada janin semakin kecil menyebabkan
malformasi kongenital.
Cacat rubela dijumpai pada semua bayi yang
memperlihatkan tanda infeksi intrauterus
sebelum minggu ke-11, tetapi hanya 35% dari
mereka yang terinfeksi pada usia 13 sampai 16
minggu
24. Sindrom Rubela Kongenital
Lesi mata, termasuk katarak, glaukoma
Penyakit jantung, termasuk duktus arteriosus
paten, defek septum.
Tuli sensorineural
Defek susunan saraf pusat microcephaly
Hambatan pertumbuhan janin
Hepatosplenomegali dan ikterus
Perubahan tulang
25.
26. Bayi yang lahir dengan rubela kongenital
menyebarkan virus sehingga merupakan
ancaman bagi bayi lain, serta orang dewasa
rentan yang berkontak dengan bayi
tersebut.
27.
28. Virus ini menyebabkan pembengkakan sel yang
karakteristik sehingga terlihat sel membesar
(sitomegali) dan tampak sebagai gambaran mata
burung hantu.
29. Penularan
Transmisi horisontal
terjadi melalui “droplet
infection” dan kontak
dengan air ludah.
Transmisi vertikal
penularan proses
infeksi maternal ke janin.
transplasenta.
30. Infeksi CMV yang terjadi karena pemaparan
pertama kali atas individu infeksi primer.
Infeksi primer berlangsung simtomatis ataupun
asimtomatis serta virus akan menetap dalam
jaringan hospes dalam waktu yang tak terbatas
infeksi laten.
31. Transmisi CMV dari ibu ke janin dapat terjadi selama
kehamilan, dan infeksi pada umur kehamilan kurang
sampai 16 minggu menyebabkan kerusakan serius.
Infeksi eksogenus dapat bersifat primer yaitu terjadi
pada ibu hamil dengan pola imunologis seronegatif
dan non primer bila ibu hamil dengan seropositif.
Infeksi endogenus suatu reaktivasi virus yang
sebelumnya dalam keadaan laten.
32. DIAGNOSIS
Metode serologis diagnosa infeksi maternal primer
dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan dari
seronegatif menjadi seropositif (tampak adanya IgM
dan IgG anti CMV)
Metode virologis, viremia maternal dapat ditegakkan
dengan menggunakan uji immuno fluoresen.
33. DIAGNOSIS PRENATAL
Diagnosis prenatal harus dikerjakan terhadap ibu
dengan kehamilan yang menunjukkan infeksi primer
pada umur kehamilan sampai 20 minggu.
Diagnosis prenatal metode PCR dan isolasi virus
pada cairan ketuban yang diperoleh setelah
amniosentesis.
34. Kemungkinan infeksi CMV intrauterin bila didapatkan :
Oligohidramnion,
Polihidramnion
Hidrops non imun
Asites janin
Gangguan pertumbuhan janin
Mikrosefali,
Ventrikulomegali serebral (hidrosefalus)
35. TERAPI DAN KONSELING
Saat ini terminasi kehamilan merupakan satu-satunya
terapi intervensi karena pengobatan dengan anti virus
(ganciclovir) tidak memberi hasil yang efektif serta
memuaskan.
Dengan demikian konseling, infeksi primer yang
terjadi pada umur kehamilan 20 minggu setelah
memperhatikan hasil diagnosis prenatal dapat
dipertimbangkan terminasi kehamilan
36.
37. Virologi
Berdasarkan perbedaan imunologi dapat dikenali 2
jenis herpes simpleks virus (HSV)
HSV tipe 1 (Non genital)
HSV tipe 2 (Genital) dan ditularkan melalui hubungan
seksual.
38. Diagnosis
Penemuan virus dengan biakan jaringan
merupakan konfirmasi paling optimal
untuk membuktikan infeksi klinis.
39. Perjalanan penyakit selama kehamilan
80 persen wanita yang terjangkit infeksi herpes
genitalis mengalami kekambuhan simtomatik
sebanyak 2-4 kali selama hamil
Kekambuhan klinis tampaknya sedikit lebih sering
pada kehamilan tahap lanjut.
40. Pada Janin dan Neonatus
Janin hampir selalui terinfeksi oleh virus yang di
keluarkan dari serviks atau saluran genital bawah.
Virus menginvasi uterus setelah selaput ketuban
pecah atau berkontak dengan janin saat persalinan.
41. Infeksi pada Neonatus
Diseminata keterlibatan organ-organ dalam mayor
Lokalisata Keterlibatan terbatas pada mata, kulit
atau mukosa
Asimtomatik.
42. Penatalaksanaan Antepartum
Seksio sesarea diindikasikan pada wanita dengan lesi
genital aktif.
Dengan demikian seksio sesarea dilakukan hanya
apabila tampak lesi primer atau rekuren saat mejelang
persalinan atau saat selaput ketuban pecah.
43. ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN :
Identitas Klien
Keluhan utama : demam
Riwayat kesehatan : suhu tubuh meningkat, malaise,
sakit tenggorokan, mual muntah, nyeri otot
Riwayat kesehatan dahulu :
A. Klien sering kontak langsung dengan binatang
B. Sering mengkonsumsi daging setengah matang
C. Klien pernah mendapatkan transfusi darah
44. PENGKAJIAN :
Data Psikologis
Data psikospiritual
Data sosial dan ekonomi
Pemeriksaan fisik
Mata : nyeri, asites
Sistem pencernaan : diare, mual dan muntah
Integument : suka berkeringat malam, suhu tubuh
meningkat, timbulnya rush pada kulit,
45. • Pemeriksaan Diagnostik
1. Anti toxoplasmosis Ig-M dan Anti toxoplasmosis Ig-
G (untuk mendeteksi infeksi Toxoplasma)
• 2. Anti Rubella Ig-M dan Anti Rubella Ig-G (untuk
mendeteksi infeksi rubella)
• 3. Anti-CMV Ig-M dan anti CMV Ig-G (untuk
mendeteksi infeksi rubella)
• 4. Anti HSV2 Ig M dan anti HSV2 Ig-G (untuk infeksi
virus Herpes)
46. DIAGNOSA KEPERAWATAN :
Gangguan rasa nyaman (nyeri) b/d proses infeksi
Hipertermi b/d peningkatan tingkat metabolisme
penyakit
Kekurangan volume cairan b/d tidak adekuatnya
masukan makanan dan cairan
47. INTERVENSI KEPERAWATAN :
Diagnosa 1 : Nyeri b/d adanya proses infeksi / inflamasi
Tujuan : mengurangi nyeri
Kriteria hasil :
Klien melaporkan nyeri hilang dan terkontrol
Klien tampak rileks, klien mampu tidur/istirahat dengan tepat
Intervensi :
Berikan lingkungan yang tenang sesuai kebutuhan
Rasional : Menurunkan reaksi stimulasi dari luar atau sensitivitas
pada cahaya dan meningkatkan istirahat
Tingkatkan tirah baring, bantulah kebutuhan perawatan diri yang
penting
Rasional : Menurunkan gerakan yang dapat meningkatkan nyeri
Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian analgesic
seperti asetamenofen
Rasional : untuk menghilangkan rasa nyeri yang berat
48. Diagnosa 2 : Hipertermia b/d peningkatan tingkat metabolisme penyakit ditandai
dengan suhu 39,5°C, tubuh menggigil
Tujuan : Mendemontrasikan suhu dalam batas normal
Kriteria Hasil :
Terjadi penurunan suhu
Kulit tidak ada kemerahan dan hangat waktu disentuh
Penurunan tingkat pernapasan
Intervensi :
Monitor tanda-tanda vital : suhu tubuh
Rasional : sebagai indikator untuk mengetahui status hipertermi
Ajarkan klien pentingnya mempertahankan cairan yang sedikitnya 2000 ml/hari
untuk mencegah dehidrasi
Rasional : dalam kondisi demam terjadi peningkatan evaporasi yang memicu
timbulnya dehidrasi
Berikan kompres dengan air biasa pada lipatan ketiak dan femur
Rasional : menghambat pusat simpatis dihipotalamus sehingga terjadi vasodilatasi
kulit dengan merangsang kelenjar keringat untuk mengurangi panas tubuh melalui
penguapan
Anjurkan klien untuk memakai pakaian yang menyerap keringat
Rasional : Kondisi kulit yang mengalami lembab memicu timbulnya jamur,
mengurangi kenyamanan
49. Diagnosa 3 : Kekurangan volume cairan b/d tidak adekuatnya masukan makanan dan
cairan ditandai dengan diare
Tujuan : memenuhi kebutuhan cairan tubuh
Kriteria Hasil :
Mempertahankan volume sirkulasi adekuat
Tanda-tanda vital dalam batas normal
Nadi perifer teraba
Haluaran urine adekuat
Membrane mukosa lembab
Intervensi :
Awasi pemasukan diet/jumlah kalori. Berikan makan sedikit dalam frekuensi sering
dan tawarkan makan pagi paling besar
Rasional : Makan banyak sulit untuk mengatur bila pasien anoreksia
Berikan perawatan mulut sebelum makan
Rasional : Menghilangkan rasa tak enak dapat meningkatkan napsu makan
Anjurkan makan pada posisi duduk tegak
Rasional : menurunkan rasa penuh pada abdomen dan dapat meningkatkan
pemasukan
Konsul pada ahli diet, dukungan tim nutrisi untuk memberikan diet sesuai
kebutuhan pasien
Rasional : Berguna dalam program diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi