TORCH adalah singkatan dari lima nama jenis penyakit infeksi, yaitu Toxoplasma, Other infection (Chlamydia, HIV, Hepatitis B, dan lain-lain), Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Kelima jenis penyakit infeksi ini sama-sama bisa menyerang ibu hamil dan memberi dampak buruk pada janin. Karena itu, ibu hamil diharapkan dapat waspada terhadap penyakit TORCH dengan mengetahui apa saja gejala-gejala yang ditimbulkannya.
Ibu hamil dapat terkena infeksi TORCH bila terkena kontak dengan virus atau bakteri yang menjadi penyebab penyakit tersebut selama kehamilan. Infeksi TORCH yang diidap oleh ibu hamil dapat membahayakan kondisi janin, antara lain menyebabkan janin mengalami kecacatan seperti kelainan pada saraf, mata, kelainan otak, paru-paru, telinga dan fungsi motorik lainnya; menyebabkan bayi lahir prematur, sehingga berisiko mengalami cacat bawaan yang menetap seperti asma, cerebral palsy, dan masalah perkembangan otak anak. Bila ibu hamil mengalami gejala-gejala seperti influenza, jangan disepelekan karena siapa tahu itu merupakan gejala TORCH. Segera periksakan diri ke dokter kandungan, bahkan bila perlu lakukan tes laboratorium agar penyakit TORCH dapat dideteksi lebih dini sehingga tidak terjadi dampak buruk yang tidak diinginkan.
4. Pada ibu hamil, parasit ini bisa
menembus plasenta dan menginfeksi
janin, menyebabkan toxoplasmosis
kongenital. Dalam tubuh, T. gondii
cenderung menginfeksi berbagai
jaringan, termasuk otak dan otot, yang
bisa menyebabkan inflamasi dan
kerusakan jaringan. Pada janin dan bayi
baru lahir, hal ini bisa berakibat pada
masalah serius seperti hidrosefalus,
kalsifikasi intrakranial, dan retardasi
mental, tergantung pada tingkat
keparahan infeksi dan waktu terjadinya
infeksi selama kehamilan
5. Patofisiologi toksoplasmosis maternal terjadi
ketika parasit Toxoplasma gondii, yang
dilepaskan melalui feses kucing, terkonsumsi
oleh manusia, mengubahnya menjadi tahap
tachyzoite yang berbahaya. Tachyzoites ini
berlokalisasi di jaringan saraf dan otot, dan
berubah menjadi kista jaringan bradyzoite. Pada
wanita hamil, infeksi ini dapat menyebar
melalui aliran darah ke janin, yang dapat
mengakibatkan infeksi kongenital dan berbagai
komplikasi pada perkembangan janin. Diagnosis
bisa dilakukan melalui pemeriksaan serologi
atau identifikasi langsung parasit dalam darah
perifer, cairan amnion, atau potongan jaringan.
6. Pencegahan:
• Menghindari mengonsumsi daging
yang kurang matang atau sayuran
yang tidak dicuci dengan baik.
• Mencuci tangan dengan sabun
setelah menyentuh daging mentah
atau tanah yang mungkin
terkontaminasi.
• Menghindari kontak dengan feses
kucing dan mengganti pasir kucing
dengan hati-hati, lebih baik
dilakukan oleh orang lain.
7. 2. Pemeriksaan penunjang:
- Tes serologis untuk mendeteksi antibodi terhadap Toxoplasma
gondii.
- Amniocentesis dan PCR pada cairan amnion untuk mendeteksi
infeksi janin.
3. Terapi farmakologis:
- Spiramisin untuk mengurangi transmisi vertikal selama
trimester pertama.
- Kombinasi pirimetamin, sulfadiazin, dan asam folat setelah
trimester pertama, jika terjadi infeksi janin.
4. Terapi non farmakologis:
- Edukasi tentang pencegahan dan higiene kepada ibu hamil.
- Pemantauan ultrasonografi untuk menilai kondisi janin secara
berkala.
8.
9.
10. Rubella, atau campak Jerman, disebabkan
oleh virus RNA Togavirus yang saat
menginfeksi wanita hamil dapat
menyebabkan gangguan serius pada
pembentukan organ janin, termasuk
keguguran, lahir mati, dan aborsi
terapeutik. Infeksi pada trimester pertama
sangat kritis, dengan risiko tinggi
melahirkan bayi dengan Sindrom Rubella
Kongenital (SRC) yang mencapai 52%-85%
tergantung pada usia kehamilan saat
infeksi. SRC dapat menyebabkan berbagai
cacat seperti katarak, kelainan jantung, dan
tuli. Rubella menyebar melalui aerosol
pernapasan, bereplikasi di sel nasofaring
sebelum menyebar ke organ lain melalui
darah, dengan kekebalan seumur hidup
setelah infeksi atau vaksinasi.
11. Pada wanita hamil terutama pada trimester
awal melibatkan infeksi virus rubella yang
menyebabkan perlambatan enzimatik dalam
metabolisme dan katabolisme vitamin A,
sehingga mengakumulasi di hati. Ini berujung
pada kerusakan hati akut dan kolestasis. Akibat
kerusakan sel hati, asam retinoat bocor ke
dalam empedu dan ester retinil merembes ke
dalam sirkulasi darah. Kerusakan ini kemudian
berlanjut pada tingkat seluler dengan kerusakan
mitokondria, apoptosis, dan perubahan DNA,
yang menyebabkan timbulnya Sindrom Rubella
Kongenital pada janin.
12. Pencegahan:
• Vaksinasi MMR (campak,
gondongan, dan rubella) adalah
metode pencegahan yang paling
efektif.
• Wanita usia subur dapat disaring
untuk kekebalan terhadap rubella,
dan bila belum kebal, vaksinasi
direkomendasikan sebelum
kehamilan.
• Menghindari kontak dekat dengan
orang yang terinfeksi rubella.
13. 2. Pemeriksaan Penunjang:
- Pemeriksaan serologis untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG terhadap
virus rubella, yang menunjukkan infeksi baru atau kekebalan terhadap virus.
3. Terapi Farmakologis:
- Tidak ada terapi farmakologis spesifik untuk rubella pada wanita
hamil; pengelolaan tergantung pada usia kehamilan dan risiko terhadap
janin.
4. Terapi Non-Farmakologis:
- Pemantauan kehamilan dengan ultrasonografi untuk deteksi malformasi
janin.
- Konseling tentang risiko dan manajemen kehamilan termasuk
pertimbangan untuk terminasi kehamilan jika infeksi terjadi sebelum 18
minggu kehamilan.
- Manajemen neonatal khusus untuk bayi yang lahir dengan sindrom
rubella kongenital.
14.
15.
16. Patofisiologi CMV (Cytomegalovirus) maternal dimulai dengan infeksi awal
yang bereplikasi dalam sel epitel oral. Sel-sel yang terinfeksi menunjukkan
inklusi nuklear khas "owl's eye" dan menjadi sitomegalik. Tubuh merespons
dengan respon imun seluler yang mengarah ke fase laten, di mana virus tetap
tidak aktif dalam monosit, makrofag, dan limfosit. Pada kondisi imunosupresi,
CMV dapat bereaktivasi, meningkatkan risiko transmisi vertikal ke janin yang
bisa menyebabkan komplikasi kongenital serius.
17. • Pencegahan: Mencuci tangan secara
menyeluruh dan sering, terutama
setelah kontak dengan anak-anak
atau benda yang terkontaminasi
oleh cairan tubuh. Hindari kontak
dekat dengan anak kecil, seperti
mencium atau berbagi makanan dan
minuman, untuk mengurangi risiko
terkena infeksi CMV.
18. 2. Pemeriksaan Penunjang: Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi
CMV IgM dan IgG yang menandakan infeksi baru atau lama. Tes PCR dapat
digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus dalam darah atau cairan
tubuh lainnya.
3. Terapi Farmakologis: Penggunaan obat antivirus seperti ganciclovir atau
valganciclovir dapat direkomendasikan untuk kasus tertentu, terutama pada
individu dengan sistem imun yang lemah atau pada bayi yang terinfeksi.
4. Terapi Non Farmakologis: Praktek kebersihan yang baik, seperti mencuci
tangan dan sanitasi yang baik. Pendidikan dan konseling untuk ibu hamil
tentang cara mengurangi risiko penularan CMV juga merupakan bagian
penting dari manajemen non farmakologis.
19.
20.
21. Patofisiologi herpes neonatal berkaitan dengan
penularan virus HSV (Herpes Simplex Virus)
selama kehamilan atau saat persalinan. Infeksi
genital HSV baru pada ibu hamil memiliki
risiko tinggi terjadinya transmisi ke janin yang
dapat mencapai 25-50%, tergantung pada
waktu dan keberadaan antibodi maternal
terhadap virus. Reaktivasi HSV yang sudah ada
pada ibu hamil memiliki risiko transmisi <1%.
Intervensi meliputi pengujian serologis, terapi
antivirus bagi ibu dan pasangan, serta evaluasi
klinis dan terapi antivirus pada neonatus yang
terpapar.
22. Pencegahan:
• Penggunaan kondom yang konsisten
dan benar dapat menurunkan risiko
penularan HSV-2.
• Sunat medis pada pria menunjukkan
penurunan risiko penularan HSV.
• Prophylaxis dengan tenofovir dan
emtricitabine dapat menurunkan
risiko pada pasangan heteroseksual.
23. 2. Pemeriksaan penunjang:
- Diagnosa klinis dapat dikonfirmasi dengan pengujian virologis tipe-
spesifik dari lesi menggunakan NAAT atau kultur.
- Tes serologis tipe-spesifik dapat digunakan untuk membantu diagnosis
HSV.
3. Terapi farmakologis:
- Obat antivirus seperti acyclovir, valacyclovir, dan famciclovir efektif
untuk pengobatan episodik dan terapi supresif.
- Terapi harus disesuaikan jika ada kehamilan atau jika pasien memiliki
penyakit berat atau komplikasi.
4. Terapi non farmakologis:
- Konseling pasien dan pasangan seksual sangat penting, termasuk
pendidikan tentang penyakit dan cara mengurangi penularan.
24.
25.
26. Patofisiologi HIV pada ibu hamil melibatkan
risiko transmisi vertikal dari ibu ke janin. HIV
masuk ke dalam sel inang melalui fusi dengan
permukaan sel, dimana RNA virus
ditranskripsikan terbalik menjadi DNA virus.
DNA virus kemudian terintegrasi ke dalam DNA
inang, memungkinkan virus untuk bereplikasi
bersama sel inang. Selama kehamilan, HIV
dapat melewati plasenta dan menginfeksi janin,
yang dapat menyebabkan infeksi HIV
kongenital, mempengaruhi sistem imun janin
dan meningkatkan risiko komplikasi jangka
panjang pada anak.
27. Untuk mencegah transmisi vertikal HIV dari
ibu ke janin, pilihan metode persalinan
disesuaikan dengan kadar viral load dan
penggunaan antiretroviral (ARV) pada ibu.
Persalinan pervaginam direkomendasikan jika
ibu telah mengonsumsi ARV teratur selama
lebih dari 6 bulan dan memiliki kadar viral
load di bawah 1000 kopi/mL pada usia
kehamilan 36 minggu. Bila viral load lebih
tinggi atau tidak diketahui, sectio caesarea
elektif pada usia kehamilan 38 minggu
direkomendasikan untuk mengurangi risiko
transmisi.
28. 2. Pemeriksaan Penunjang: Monitoring melalui pemeriksaan viral load dan
CD4 penting untuk menilai respons terhadap terapi ARV. Pemeriksaan viral
load harus dilakukan pada bulan ke-6 dan ke-12 setelah memulai ARV,
kemudian setiap 12 bulan. Pemeriksaan CD4 dilakukan setiap 6 bulan untuk
menilai respons imun dan menentukan perlunya profilaksis infeksi
oportunistik.
3. Terapi Farmakologis: Ibu hamil dengan infeksi HIV harus menerima ARV
dengan regimen yang sama dengan orang dewasa yang tidak hamil. Pada
kegagalan terapi ARV, resistensi silang dapat terjadi, yang memerlukan
perubahan regimen ARV. Profilaksis infeksi oportunistik dengan cotrimoxazole
direkomendasikan pada pasien dengan CD4 kurang dari 200 sel/μL atau
pada pasien dengan TB, tanpa memandang jumlah CD4.
4. Terapi Non-Farmakologis: Pada bayi yang lahir dari ibu dengan HIV,
ARV profilaksis harus diberikan sejak usia 6-12 jam setelah lahir untuk
mencegah transmisi vertikal, terutama selama proses persalinan.
29.
30. Patofisiologi sifilis maternal menggambarkan
proses infeksi dan perkembangan penyakit
setelah kontak dengan Treponema pallidum.
Pada ibu hamil, sifilis dimulai dengan fase
primer yang menunjukkan chancre di area
genital, perianal, atau ekstragenital dalam 9-
90 hari setelah terpapar. Ini berkembang ke
fase sekunder dengan ruam, masalah
neurologis, mata, pertumbuhan seperti kutil,
rambut rontok, dan hepatitis dalam 4-10
minggu. Jika tidak diobati, 25% kasus masuk
fase laten dan akhirnya bisa berujung pada
penyakit tersier dengan kerusakan neurologis,
kardiovaskular, dan gummatous. Infeksi
maternal dapat menularkan sifilis ke janin,
menyebabkan sifilis kongenital.
31. Pencegahan: Penggunaan kondom saat
berhubungan seksual, memiliki pasangan
seksual monogami dan bebas dari PMS,
menghindari kontak seksual dengan orang yang
menunjukkan gejala sifilis, serta menjalani
tes rutin untuk PMS terutama bagi yang
berisiko tinggi terinfeksi.
32. 2. Pemeriksaan penunjang: Melakukan screening dan diagnosis dini pada
kunjungan prenatal pertama, sangat penting untuk deteksi dan pengobatan
sifilis sejak dini.
3. Terapi farmakologis: Pengobatan utama untuk ibu hamil adalah dengan
penisilin, yang merupakan pilihan terbaik untuk mencegah transmisi sifilis
ke janin.
4. Terapi non farmakologis: Untuk bayi baru lahir yang didiagnosis dengan
sifilis kongenital atau berisiko tinggi, dilakukan evaluasi dan diagnosis yang
teliti, serta pengobatan dengan penisilin intravena atau intramuskular.
Selanjutnya, bayi yang telah diobati dipantau dengan tes darah secara
berkala untuk memastikan keberhasilan pengobatan.
33.
34. American College of Obstetricians and Gynecologists. Practice Bulletin No.
234: Screening and Management of Pregnant Women With HIV Infection.
Obstet Gynecol. 2021;137(6):e1-e19.
Jaan A, Rajnik M. TORCH Complex. In: StatPearls. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; July 17, 2023
Mofenson LM, Brady MT, Danner SP, et al. Guidelines for the Prevention
and Treatment of Opportunistic Infections Among HIV-Exposed and HIV-
Infected Children: Recommendations from CDC, the National Institutes of
Health, the HIV Medicine Association of the Infectious Diseases Society of
America, the Pediatric Infectious Diseases Society, and the American
Academy of Pediatrics. MMWR Recomm Rep. 2009;58(RR-11):1-166.
Robert-Gangneux, Florence & Dardé, Marie Laure. (2012). Epidemiology of
and Diagnostic Strategies for Toxoplasmosis. Clinical microbiology reviews.
25. 264-96. 10.1128/CMR.05013-11.