Economic Industrial Agglomeration became main trend of today economic geography. This phenomenon happens due to globalization and spatial integration of economic activities in global scale. While common economic analysis relied so much to macroeconomics indicator, does it will be better if we consider regional aspects of today economy?
Materi Inisiasi 4 Metode Penelitian Komunikasi Universitas Terbuka
AGLOMERASI EKONOMI INDONESIA
1. TUGAS MATA KULIAH
PERENCANAAN PENGEMBANGAN WILAYAH
(PPW602)
Dosen Pengampu
Dr. Fadjar Hari Mardiansjah, ST, MT, MDP.
WILAYAH, GLOBALISASI DAN PEMBANGUNAN:
SINTESA DAN TELAAH KRITIS TERHADAP AGLOMERASI EKONOMI INDONESIA
Disusun oleh:
BRAMANTIYO MARJUKI 21040116410036
MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
2. 1
I. PENDAHULUAN
Perkembangan global dewasa ini menunjukkan gejala seluruh dunia semakin terkoneksi
dan terintegrasi secara ekonomi, sosial dan politik. Perkembangan teknologi informasi dan
transportasi membuat berbagai tempat dapat terhubung secara langsung. Jarak menjadi semakin
tidak berarti mengingat informasi dapat disampaikan dimana saja dan kapan saja perlu
dilakukan. Investasi ekonomi dapat dilaksanakan lintas negara dan menjangkau wilayah-wilayah
yang jauh jika dilihat dari jarak spasial. Aliran Foreign Direct Investment ke negara-negara
berkembang intensif dilakukan dan melahirkan raksasa – raksasa ekonomi baru seperti China
dan India yang berpotensi menyusul kemajuan yang dicapai oleh negara-negara maju di Eropa
dan Amerika.
Globalisasi ekonomi yang berlangsung semakin intensif ini telah melahirkan perdebatan
di kalangan ahli ekonomi dan kewilayahan tentang bagaimana harus menyikapi globalisasi dan
perkembangannya. Kalangan optimis berpandangan bahwa globalisasi ekonomi telah berhasil
meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang dan membantu mengentaskan
kemiskinan di wilayah-wilayah tersebut. Sementara kalangan pesimis berpendapat bahwa
dampak globalisasi tidak merata dan merusak sektor ekonomi lokal yang ada di wilayah-wilayah
investasi, melahirkan ketidakadilan pendapatan, dan dalam kenyataannya justru menyebabkan
kemiskinan di negara berkembang semakin membesar (Lee dan Vivarelli, 2006).
Scott dan Storper (2003) dalam tulisannya yang berjudul “Regions, Globalization,
Development” mengikuti pandangan pesimistik bahwa memang ada ketidakadilan antar wilayah
(interregional inequalities) sebagai konsekuensi dari globalisasi kontemporer. Mereka menyoroti
pentingnya peran kota dan wilayah sebagai elemen aktif dan sumber utama dalam pertumbuhan
ekonomi yang selama ini tidak diperhatikan dalam evaluasi-evaluasi globalisasi. Evaluasi
globalisasi saat ini cenderung menekankan pada pertimbangan indikator ekonomi makro secara
komposit yang mungkin rancu jika permasalahan dilihat dari cara pandang kewilayahan.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mensintesakan lebih lanjut pendapat-pendapat Scott dan
Storper (2003) mengenai urgensi pertimbangan karakteristik wilayah dan kota sebagai
determinan dari pertumbuhan ekonomi dalam globalisasi, terutama dalam konteksnya untuk
Indonesia. Struktur penulisan dilakukan dengan cara meringkas ide-ide dari Scott dan Storper
(2003) kemudian disintesakan lebih lanjut. Sintesa dalam setiap bahasan dilakukan dengan cara
membuat ringkasan dari gagasan – gagasan Scott dan Storper (2003), kemudian
mengkomparasikan pendapat-pendapat pendukung, pelengkap dan penolak. Selanjutnya dilihat
3. 2
kaitan antara aglomerasi dan disparitas ekonomi di Indonesia, dan diakhiri dengan sintesa dan
kesimpulan akhir.
II. APAKAH EKONOMI TUMBUH LEBIH CEPAT MELALUI AGLOMERASI?
Scott dan Storper (2003) mengajukan urgensi pelibatan wilayah dan konsep-konsep
geografi ekonomi dalam mengkaji pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Scott dan Storper
(2003) melihat fenomena aglomerasi sebagai lokus dari pertumbuhan ekonomi, oleh karena itu
aspek-aspek yang mendasari munculnya aglomerasi harus dipahami dengan baik. Aglomerasi
yang dapat maju dan berkembang sampai pada tingkatan global namun pada saat yang
bersamaan mempunyai kemampuan untuk mengurangi disparitas pendapatan dan kemakmuran
di seluruh wilayah adalah tujuan yang ingin dicapai. Penguatan aspek-aspek institusi,
sumberdaya manusia, termasuk umpan balik negatifnya seperti kecemburuan sosial (andaikata
terjadi) harus diupayakan jalan keluarnya.
Apa yang diuraikan oleh Scott dan Storper (2003) merupakan sebuah rumusan
konseptual yang muncul dari observasi (berdasarkan literatur sejauh yang dapat diperoleh) di
berbagai wilayah di seluruh dunia. Hal yang selanjutnya dapat diajukan, apakah pertumbuhan
ekonomi memang akan berkerja lebih cepat apabila industri dan aktivitas ekonomi lainnya
diaglomerasikan. Untuk menjawab ini, perlu dilihat konsep dan kritik terhadap aglomerasi yang
dipublikasikan sejak fenomena ini diidentifikasi.
Williamson (1965) mengajukan hipotesis bahwa aglomerasi hanya berarti banyak pada
tahap awal dari pembangunan ekonomi. Ketika infrastruktur transportasi dan komunikasi masih
langka dan aksesbilitas ke pusat modal masih terbatas, efisiensi dapat ditingkatkan dengan
mengkonsentrasikan produksi dalam ruang yang berdekatan, tapi begitu infrastruktur semakin
meningkat dan pasar berkembang, kepadatan yang ada akan lebih memilih geografi ekonomi
yang lebih menyebar.
Bukti empiris dari Hipotesa Williamson diatas diperoleh dari studi pengujian yang
dilakukan antara lain oleh Brulhart dan Sbergami (2009) yang menganalisis pertumbuhan
ekonomi dari 108 negara, dan menyimpulkan bahwa aglomerasi hanya mampu meningkatkan
GDP (Gross Domestic Product) sampai pada tingkat tertentu dari pembangunan ekonomi, yaitu
sebesar 10.000 USD. Setelah melewati itu, trade off antara pertumbuhan ekonomi dan kesetaraan
antar wilayah menjadi tidak relevan lagi. Artinya, pada tahap ini aglomerasi menjadi semakin
tidak penting karena pertumbuhan akan terus berjalan, baik tetap melalui aglomerasi ataupun
tidak. Melihat hasil ini, maka dapat disimpulkan bahwa konsentrasi spasial (aglomerasi) dan
4. 3
pertumbuhan ekonomi tidak selalu nampak sederhana dan linier (Brulhart dan Sbergami, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Henderson (2003) yang menganalisis data dari 70 negara pada
periode 1960-1990 juga menemukan bahwa urbanisasi (dan secara otomatis aglomerasi yang
ada di dalamnya) tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, namun
kota-kota yang berstatus primate sangat menguntungkan untuk memicu pertumbuhan di
kelompok negara miskin dan berkembang. Studi lain yang dilakukan di Eropa oleh Crozet dan
Koenig (2007) yang menganalisis data pertumbuhan ekonomi di negara Uni Eropa pada periode
1980 sampai 2000 untuk mengeksplorasi efek dari konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi
terhadap kinerja pertumbuhan ekonomi menunjukkan hal yang sebaliknya, dimana wilayah
dengan distribusi aktivitas produksi internal wilayah yang terpusat (teraglomerasikan)
menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dari pada yang tidak terpusat. Terakhir,
penelitian yang dilakukan oleh Bosker (2006) yang menganalisis 208 wilayah di Eropa selama 25
tahun menunjukkan hasil yang sama dengan Henderson (2003) dan Brulhart (2009), dimana
wilayah yang lebih padat (teraglomerasikan) tumbuh lebih pelan daripada wilayah lainnya.
Selain itu, Bokser (2006) juga menemukan bahwa wilayah miskin yang dikelilingi wilayah lain
yang relatif sama miskinnya akan tumbuh lebih cepat dari pada wilayah miskin yang dikelilingi
wilayah yang lebih kaya.
Empat kajian ini setidaknya membuktikan bahwa aglomerasi, apapun kondisi ideal yang
ingin dicapai, tidak selalu menghasilkan efek pertumbuhan ekonomi secara permanen. Terlebih,
aglomerasi sendiri masih berpotensi mendatangkan banyak permasalahan sebagaimana
diuraikan sendiri oleh Scott dan Storper (2003), terutama di wilayah perkotaan dimana
fenomena ini berlangsung (urbanisasi dan permasalahan kota lainnya). Dalam kajian yang
dilakukannya, Scott dan Storper (2003) tidak membahas mengenai hipotesa Williamson (1965)
mengenai kontribusi perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi yang akan membuat
aktivitas ekonomi lebih tersebar pada fase pertengahan atau lanjut dari aglomerasi, namun lebih
menekankan pada linkages antara industri, pasar kerja, dan institusi (ruang kesempatan
lokasional) di dalam wilayah sebagai alasan untuk membuat aglomerasi tetap relevan. Dengan
pendapat seperti ini, Scott dan Storper (2003) tidak mempertimbangkan peran lebih jauh dari
kemajuan transportasi dan komunikasi terhadap perkembangan aktivitas ekonomi, termasuk
kemungkinan penyebarannya secara spasial.
Scott dan Storper (2003) tidak membahas kemungkinan relevansi keberadaan pasar –
pasar baru (baik pasar bahan baku, pasar pemasaran, pasar tenaga kerja) yang tercipta di bagian
lain dari wilayah, atau wilayah lain di dalam negara, sebagai konsekuensi dari pembangunan
infrastruktur ke seluruh bagian wilayah. Pasar baru ini yang kemungkinan membuat industri dan
aktivitas ekonomi lainnya untuk berani keluar dari kuncian aglomerasi, tentunya setelah melalui
5. 4
kalkulasi produksi yang matang. Urgensi wilayah menurut Scott dan Storper (2003) dibatasi
(untuk tidak mengatakan dikerdilkan) hanya pada pandangan terhadap aglomerasi, dimana
keberhasilannya memang sangat tergantung pada faktor endogen-eksogen yang ada di dalam
wilayah tersebut.
III. AGLOMERASI INDUSTRI DI INDONESIA
Dilihat dari sejarahnya, industrialisasi berbasis modal swasta di Indonesia dimulai sejak
implementasi Undang-undang Agraria dan Undang – undang Gula tahun 1970 (Sasmita, 2011).
Sejak saat itu, liberalisme dan industri swasta mulai bermunculan di Jawa dan Sumatera,
utamanya bergerak di bidang perkebunan dan pertambangan. Hasil industrialisasi ini utamanya
ditujukan untuk pasar ekspor, sehingga kota-kota yang telah muncul pada periode sebelumnya
dialihkan fungsinya menjadi sentra produksi, distribusi dan perdagangan (Handinoto, 2004).
Dari sini aglomerasi industri awal di tanah Hindia Belanda (Indonesia) mulai muncul. Aglomerasi
yang pertama kali muncul di adalah di Jawa Timur dengan produksi utama adalah gula (Tilaar,
2010). Namun demikian, aglomerasi yang ada tidak berkembang menjadi lebih padat dan masif
karena corak industri yang melatari perkembangannya (pertambangan dan perkebunan) lebih
cenderung mendekat ke bahan baku. Kota lebih berperan sebagai sentra distribusi dan
perdagangan. Terlebih jalur kereta api mulai di bangun di Jawa dan Sumatera sejak tahun 1870,
sehingga konektivitas yang ada tidak mengharuskan industri untuk mendekat ke pusat distribusi
(kota), mengingat jalur kereta api yang dibangun sudah mampu mengkoneksikan seluruh bagian
Pulau Jawa dan sebagian Sumatera. Industrialisasi yang terbangun beserta jaringan transportasi
logistik berbasis kereta api pada masa Hindia Belanda runtuh pada masa pendudukan Jepang dan
awal kemerdekaan, mengingat periode ini lebih ditandai dengan ketidakstabilan politik dan
ekonomi. Industri baru mulai menggeliat pada tahun 1980-an seiring dengan keterbukaan
ekonomi Indonesia sampai kemudian menurun pada krisis moneter tahun 1997. Industri
manufaktur kemudian menggeliat tumbuh lagi pada tahun 2000 (Suyanto, 2010).
Industri yang teraglomerasikan di Indonesia sendiri mulai muncul secara signifikan pada
periode liberalisasi (deregulasi) ekonomi pada akhir tahun 80-an (Hilmawan, 2013). Di Jawa,
tendensi aglomerasi muncul di kota-kota besar yang pada periode-periode sebelumnya telah
berkembang menjadi kota sentra distribusi dan perdagangan. Sementara jika dilihat secara
nasional, tendensi aglomerasi yang signifikan muncul di Jawa dan Sumatera sejak tahun 2000
(Kuncoro, 2013). Harmadi dan Santoso (2007) menemukan bahwa tendensi aglomerasi masif
6. 5
terutama muncul di kota-kota seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Batam, Palembang,
Banjarmasin dan Makassar.
Dalam perkembangannya secara lebih lanjut, aglomerasi industri dewasa ini mulai
menunjukkan gejala penyebaran dan perpindahan ke arah luar dari lokasi awal aglomerasi. Hal
ini nampak misalnya di kawasan poros industri barat-timur Jawa (Jakarta dan Surabaya), dimana
pertumbuhan industri-industri di pusat aglomerasi pada periode sebelumnya mulai menurun,
dan industri-industri baru di kawasan pinggiran mulai tumbuh (Kuncoro, 2002 dalam Tilaar,
2010). Sementara, jika dilihat dalam lingkup nasional, intensitas aglomerasi (diukur dari
partisipasi angkatan kerja) di Jawa semakin menurun dan di Sumatera semakin meningkat dari
tahun ke tahun (Kuncoro, 2013). Perubahan pola ini disebabkan oleh pembangunan infrastruktur
transportasi dan fasilitas komunikasi yang mulai menyebar ke seluruh wilayah sehingga tendensi
preferensi pemilihan lokasi industri tidak seketat sebelumnya. Selain itu, kota sebagai tempat
berlangsungnya aglomerasi mulai mengalami proses pemadatan (densifikasi), sehingga ruang
untuk mengintensifkan aglomerasi lebih lanjut tidak tersedia.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa apa yang terjadi di Indonesia sesuai dengan
hipotesa Williamson bahwa aglomerasi hanya akan dapat bertahan sampai tingkat tertentu,
untuk kemudian mengalami kejenuhan dan menurun intensitasnya. Fenomena penurunan
intensitas aglomerasi ini disebut deglomerasi (Fagbohunka, 2012). Lebih lanjut, jika merujuk
pada temuan Brulhart dan Sbergami (2009) yang menggunakan indikator pertumbuhan ekonomi
untuk mengukur efektivitas aglomerasi, fenomena deglomerasi di Indonesia nampaknya tidak
terlalu tergantung pada hal tersebut. Hal ini dikarenakan tren pertumbuhan ekonomi Indonesia
tidak menunjukkan kecenderungan yang meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun
(Gambar 1). Deglomerasi dan penyebaran industri ke pinggiran lokus aglomerasi atau wilayah
lain lebih disebabkan faktor kemudahan transportasi dan komunikasi, atau faktor-faktor lain
yang lebih bervariasi, namun tetap terkait dengan karakteristik yang ada di dalam wilayah (ingin
mendekati bahan baku, adanya tenaga kerja murah, kebutuhan lahan lebih luas, atau kondisi
lingkungan pusat aglomerasi yang terdegradasi).
Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (Sumber: World Bank, 2011)
7. 6
IV. RELEVANSI WILAYAH DENGAN AGLOMERASI INDUSTRI DI INDONESIA
Sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, tendensi geografi ekonomi
dan aglomerasi industri di Indonesia cenderung berpusat di wilayah barat (Jawa dan Sumatera)
daripada wilayah timur. Dilihat dari sisi kewilayahan, Kuncoro (2013) membuat klasifikasi
tipologi pertumbuhan ekonomi dan pendapatan yang diperoleh untuk provinsi di Indonesia
(Gambar 2). Dari hasil tersebut, dapat dilihat bahwa kecenderungan wilayah administratif di
Indonesia cenderung terkelompok di tipologi pertumbuhan yang tinggi namun pendapatannya
rendah. Provinsi yang menunjukkan aglomerasi yang bekerja sesuai dengan uraian Scott dan
Storper (2003) hanya DKI Jakarta dan Papua Barat. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan yang tinggi sebagai konsekuensi dari aglomerasi hanya ada di DKI Jakarta, mengingat
pendapatan di Papua Barat lebih didapatkan dari sektor pertambangan. Adapun pertumbuhan
ekonomi yang terjadi di Papua Barat lebih didukung oleh pengembangan pariwisata. Sementara
provinsi-provinsi lain di Jawa dan Sumatera yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi pendapatannya relatif tetap rendah (jika dibandingkan wilayah lain yang mempunyai
pendapatan lebih tinggi). Wilayah-wilayah ini merupakan wilayah yang saat ini sedang
mengalami aglomerasi industri, namun output-nya belum mencapai tingkat yang sepadan dengan
wilayah yang kaya sumberdaya alam. Wilayah yang kaya sumberdaya alam terkumpul dalam
kelas tipologi wilayah yang ditandai dengan pendapatan yang tinggi tetapi pertumbuhan
ekonominya rendah, seperti Kalimantan Timur, Riau, dan Bangka Belitung. Provinsi-provinsi ini
merupakan wilayah yang aglomerasi industrinya sendiri tidak terjadi karena merupakan industri
penghasil bahan baku untuk didistribusikan ke wilayah lain atau untuk ekspor.
Gambar 2. Tipologi Pertumbuhan dan Pendapatan Ekonomi Wilayah di Indonesia (Sumber: Kuncoro, 2013)
8. 7
Kenyataan yang terjadi di Indonesia dimana aglomerasi industri lebih terkonsentrasi di
wilayah barat merupakan cerminan pengaruh wilayah dan kebijakan pengembangan wilayah
yang selama ini diterapkan di Indonesia. Wilayah barat merupakan pusat konsentrasi penduduk,
dengan sendirinya pembangunan infrastruktur dan faktor-faktor pendukung pertumbuhan
ekonomi lainnya lebih diprioritaskan di wilayah barat. Faktor endogen terkait sumberdaya
manusia dan kelembagaan yang memungkinkan terjadinya aglomerasi industri relatif tersedia di
wilayah barat. Hal ini sesuai dengan uraian Scott dan Storper (2003) tentang urgensi faktor
endogen yang berpengaruh terhadap pengembangan wilayah. Di sisi lain, wilayah timur tetap
tertinggal karena potensi wilayahnya diserap ke barat tanpa ada pengembalian pendapatan yang
cukup untuk melakukan pembangunan, selain kemungkinan disebabkan potensi kewilayahannya
tidak mendukung (ketersediaan sumberdaya manusia dan infrastruktur).
Efek lebih lanjut dari kebijakan ekonomi dan pembangunan wilayah yang tidak seimbang
seperti di Indonesia membuat efek negatif dari aglomerasi menjadi nampak, yaitu ketidak
merataan spasial dari pertumbuhan ekonomi (spatial inequality). Disparitas ini nampak jelas jika
kita melihat kembali Gambar 2 yang memperlihatkan adanya wilayah dengan pertumbuhan
ekonomi yang terus meningkat dan ada yang pertumbuhan dan pendapatannya stagnan seperti
Aceh. Sementara, sebagian wilayah lain ada yang mempunyai pendapatan yang tinggi namun
pertumbuhannya stagnan. Terlebih, jika dilihat dalam lingkup nasional, industrialisasi di barat
tetap tidak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi mengingat pertumbuhan ekonomi
Indonesia belum menunjukkan kenaikan yang signifikan dari tahun ke tahun (lihat kembali
Gambar 1).
Respon pemerintah dalam melihat ketimpangan antar wilayah sampai sejauh ini adalah
melalui kebijakan-kebijakan stimulus sebagaimana yang dicontohkan oleh Scott dan Storper
(2003) seperti penyediaan infrastruktur, pengurangan pajak, alokasi dana desentralisasi (Dana
alokasi khusus), pelatihan dan paket stimulus lainnya. Bentuk kebijakannya pun bermacam-
macam seperti kebijakan MP3EI pada periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau yang
lebih baru adalah konsep Tol Laut dan Wilayah Pengembangan Infrastruktur (WPS). Kebijakan
pembangunan yang sudah dilaksanakan dalam waktu yang agak lama seperti MP3EI nampaknya
tidak mampu mengurangi disparitas antar wilayah pulau. Namun demikian, Kuncoro (2013)
menemukan bahwa kebijakan pembangunan yang telah dilakukan ini berhasil mengurangi
indeks disparitas di dalam wilayah pulau, yaitu dari 0,327 menjadi 0,295.
Faktor-faktor endogen wilayah, sampai saat ini belum nampak dipertimbangkan secara
optimal dalam penyusunan kebijakan pembangunan. Sementara faktor endogen ini yang akan
memegang peran yang besar dalam kesuksesan pengembangan wilayah, sebagaimana yang
diuraikan oleh Scott dan Storper (2003). Kebijakan MP3EI misalnya, kebijakan ini lebih
9. 8
cenderung ke pewujudan pembangunan infrastruktur guna memastikan konektivitas antar
wilayah. Sementara pembangunan ekonomi direncanakan melalui pembangunan klaster-klaster
industri (Kawasan Ekonomi Khusus) yang teraglomerasikan dan berfokus pada komoditas
unggulan daerah (Kuncoro, 2013). Sementara, jika dilihat dari faktor endogen wilayah, belum
tentu setiap wilayah sudah siap untuk melaksanakan industrialisasi, terutama di wilayah dengan
sumberdaya manusia relatif terbatas seperti kawasan Sulawesi, Maluku dan Papua. Sebagaimana
diuraikan oleh Scott dan Storper (2003), aglomerasi industri memerlukan kapasitas wilayah dan
faktor endogen yang memungkinkan ruang kesempatan lokasional untuk tumbuh dan
penyebaran pengetahuan dan teknologi (knowledge spillover) terjadi.
Aglomerasi di Kawasan Barat Indonesia yang tidak terlalu berpengaruh untuk memicu
pertumbuhan ekonomi yang signifikan secara nasional, dan timbulnya efek negatif dari
aglomerasi seperti megaurbanisasi dan disparitas antar wilayah yang timpang membuat
kebijakan yang telah disusun harus dikaji ulang. Pembangunan infrastruktur guna mewujudkan
konektivitas memang penting dalam rangka mewujudkan pemerataan, namun kebijakan-
kebijakan lain yang mempertimbangkan faktor endogen dan potensi lokal juga harus disusun dan
diimplementasikan. Dalam hal ini, kebijakan – kebijakan pemerataan pendapatan antar wilayah
lebih tepat daripada kebijakan industrialisasi dan aglomerasi di wilayah belum berkembang.
IV. SINTESA AKHIR DAN KESIMPULAN
Scott dan Storper (2003) mengkritisi sebagian analis ekonomi dewasa ini yang masih
mengandalkan pada indikator ekonomi makro dalam mengkaji dinamika ekonomi global dan
globalisasi itu sendiri. Pendapat ini muncul sebagai ekses bahwa aktivitas ekonomi pada tingkat
global yang membawa pada pertumbuhan ekonomi berasal dari aglomerasi industri. Aglomerasi
industri sendiri sangat terkait dengan faktor-faktor dan karakteristik wilayah, baik eksogen
maupun endogen. Pembahasan aglomerasi tidak dapat dilakukan jika analisis yang dilakukan
tidak mempertimbangkan bagaimana wilayah berperan dalam mewujudkan aglomerasi.
Meskipun demikian, aglomerasi tidak selalu berhasil mewujudkan pertumbuhan
ekonomi. Hipotesis Williamson yang terkonfirmasi oleh beberapa penelitian empiris
menyebutkan adanya titik tertentu dimana aglomerasi tidak lagi relevan dalam menghasilkan
pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, aglomerasi hampir selalu dipastikan membawa efek
negatif di lokasi terjadinya aglomerasi itu sendiri, yaitu wilayah perkotaan yang menjadi semakin
padat dan menurun fungsi pendukung kehidupan perkotaannya. Selain itu aglomerasi juga
10. 9
hampir selalu diikuti dengan disparitas pendapatan yang timpang antara wilayah aglomerasi dan
wilayah belakangnya.
Industrialisasi di Indonesia telah berlangsung sejak pertengahan abad ke 19 yang
diselingi dengan periode-periode yang tidak stabil secara politik dan ekonomi, namun aglomerasi
intensif baru muncul pada masa pasca Krisis Moneter 1997. Dalam hal ini aglomerasi industri
yang muncul dan berkembang adalah di wilayah barat Indonesia (Jawa dan Sumatera), sementara
di wilayah timur industri yang berkembang adalah industri hulu penghasil bahan baku yang tidak
memerlukan aglomerasi. Sesuai dengan apa yang diuraikan oleh Scott dan Storper (2003),
aglomerasi yang muncul di wilayah barat dan tidak diimbangi pemerataan akhirnya
menghasilkan disparitas pendapatan dan pertumbuhan antara wilayah barat dan wilayah timur.
Aglomerasi terjadi di wilayah barat karena secara kewilayahan, faktor endogen dan eksogen yang
ada sudah mendukung. Penduduk Indonesia lebih terkonsentrasi di wilayah barat, demikian pula
pembangunan infrastruktur.
Aglomerasi di Indonesia sampai saat ini belum menunjukkan pengaruh yang signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini sesuai dengan hipotesa Williamson, walaupun disparitas
spasialnya menunjukkan adanya penurunan, terutama pada lingkup antar wilayah dalam pulau.
Penurunan disparitas antar wilayah dalam pulau disebabkan oleh aglomerasi yang ada saat ini
mulai menunjukkan gejala pergeseran dan perpindahan ke arah luar sebagai akibat densifikasi
dan penurunan fungsi kehidupan yang layak di kawasan perkotaan, serta pembangunan
infrastruktur transportasi dan komunikasi yang lebih masif, terutama di Pulau Jawa.
Kebijakan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan oleh pemerintah saat ini masih
berfokus pada penyediaan infrastruktur dan pembangunan ekonomi berbasis klaster industri
(aglomerasi/Kawasan Ekonomi Khusus) di berbagai wilayah di Indonesia. Hal ini baik, namun
sebagaimana dikemukakan oleh Scott dan Storper (2003), kebijakan yang diambil seyogyanya
mempertimbangan faktor endogen yang ada di dalam wilayah guna memastikan aglomerasi
dapat berhasil. Kondisi kewilayahan saat ini menunjukkan distribusi penduduk tidak merata,
demikian pula penguasaan teknologi dan keberadaan infrastruktur yang berujung pada
disparitas pendapatan antar wilayah. Oleh karena itu, kebijakan kewilayahan yang berfokus pada
pemerataan perekonomian dianggap lebih strategis dan relevan daripada keinginan untuk
mewujudkan aglomerasi yang diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
11. 10
DAFTAR PUSTAKA
Bosker, M. (2007). Growth, Agglomeration, and Convergence: A Space Time Analysis for European
Region. Spatial Economic Analysis, 2 (1), 91-100.
Brulhart, M., & Sbergami, F. (2009). Agglomeration and Growth: Cross-country evidence. Journal
of Urban Economics, 65, 48-63.
Crozed, M., & Koenig, P. (2007). The Cohesion vs Growth Tradeoff: Evidence from EU Regions.
Working Paper, University of Paris I.
Fagbohunka, A. (2012). The Impact of Agglomeration on the Immediate Environment, Using the
Lagos Region as a Study Case. European Scientific Journal, 8 (6), 33-48.
Handinoto. (2004). Kebijakan Politik dan Ekonomi Pemerintah Kolonial Belanda yang
Berpengaruh Pada Morfologi (Bentuk dan Struktur) Beberapa Kota di Jawa. Dimensi
Teknik Arsitektur, 32 (1), 19-27.
Harmadi, S. H., & Santoso, A. (2007). Analisis Efek Limpahan Modal Manusia Terhadap
Produktivitas Industri Manufaktur. Jurnal Ekonomi Indonesia, 2, 27-44.
Henderson, J. V. (2003). The Urbanization Process and Economic Growth: The so-what Question.
Journal of Economics Growth, 8 (1), 47-71.
Hilmawan, R. (2013). Lokasi Industri dan Fenomena Aglomerasi di Indonesia: Perspektif
Ekonomi Regional. Working Paper LPEB, Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman.
Kuncoro, M. (2013). Economic Geography of Indonesia: Can MP3EI Reduce Inter-regional
Inequality?. South East Asia Journal of Contemporary Business, Economy and Law, 2 (2), 17-
33.
Lee, E., & Vivarelli, M. (2006). The Social Impact of Globalization in the Developing Countries.
Discussion paper No. 1925. Institute for the Study of Labor, Bonn.
Sasmita, N. (2011). Industrialisasi di Gementee Blitar, 1900-1942. Jurnal Sejarah Citra Lekha, XVI
(2), 1-18.
Scott, A., & Storper, M. (2003). Regions, Globalization, Development. Regional Studies, 37 (6-7),
579-593.
Suyanto. (2010). Perkembangan Bisnis dan Industri Indonesia 1970-2010: Sebuah Tinjauan
Makroekonomi. Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, 4 (1), 70-84.
Tilaar, S. (2010). Tinjauan Sebaran Lokasi Aglomerasi Industri di Indonesia. Tekno, 7 (52), 90-96.
Williamson, J. (1965). Regional Inequality and the Process of National Development. Economic
Development and Cultural Change, 13 (4), 3-45.
World Bank. 2011. World Development Indicator. New York: World Bank.