SlideShare a Scribd company logo
1 of 23
Download to read offline
TUGAS MATA KULIAH
SISTEM PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH
(PPW604)
Dosen Pengampu
Dr. Fadjar Hari Mardiansjah, ST, MT, MDP.
KEMUNCULAN, PERKEMBANGAN DAN PERMASALAHAN KAWASAN PERMUKIMAN DI
PINGGIRAN KOTA (SUB-URBAN) AMERIKA UTARA DAN PEMBELAJARANNYA UNTUK
INDONESIA
(Review Film Dokumenter The End of Suburbia: Oil Depletion and The Collapse of The
American Dream)
Disusun oleh:
BRAMANTIYO MARJUKI 21040116410036
MISSY HARIYANTI WIJAYA 21040116410015
MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
--- 1 ---
I. PENDAHULUAN
Film Dokumenter The End of Suburbia: Oil Depletion and The Collapse of The American
Dream adalah sebuah film dokumenter yang dibuat oleh Gregory Greene, Barry Silverthorn dan
Barrie Zwicker, yang diproduksi pada Tahun 2004 dan diterbitkan oleh Electric Wallpaper Co.
Film ini membidik kemunculan, perkembangan dan permasalahan kawasan permukiman
perkotaan di daerah pinggiran (suburbia) yang muncul dan berkembang pasca Perang Dunia ke
II di banyak kota di Amerika Serikat, sebagai efek dari suburbanisasi yang dipicu oleh
pertumbuhan industri perkotaan dan revolusi transportasi berbasis bahan bakar minyak.
Kemunculan awal kawasan suburbia dipandang sebagai realisasi dari American Dream yang
merupakan cita-cita dari masyarakat perkotaan Amerika, namun pada perkembangannya
memberikan banyak permasalahan akibat ketergantungan pada bahan bakar fosil dan selain juga
berbagai faktor lainnya.
Tulisan ini disusun guna merefleksikan apa yang terjadi pada fenomena Suburbia di
Amerika melalui review film tersebut, ditunjang dengan literatur pendukung, dan diakhiri dengan
komparasi dengan fenomena serupa yang terjadi di Indonesia. Struktur tulisan dimulai dari
uraian mengenai konsepsi dan teori pengembangan permukiman, dilanjutkan dengan deskripsi
kasus dari hasil observasi film yang ditunjang dengan literatur pendukung, komparasi aspek teori
dengan realisasi yang terjadi di Amerika, dan diakhiri dengan observasi fenomena serupa di
Indonesia, serta kemungkinan apa yang dapat dipelajari dan dihindari agar permasalahan yang
sama tidak terjadi di Indonesia, terutama jika dilihat dari konsep pengembangan permukiman
berkelanjutan.
II. PENGEMBANGAN PERMUKIMAN BERKELANJUTAN DAN URBAN
SPRAWL
II.1 Permukiman
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan permukiman,
permukiman didefinisikan sebagai bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu
satuan perumahan yang mempuyai prasarana, sarana. Utilitas umum, serta mempunyai
penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau perdesaan. Munculnya permukiman
menurut Batudoka (2005), bermula dari lingkup yang kecil, yaitu aktivitas manusia membuat
rumah untuk bertempat tinggal dan berlindung. Dari rumah secara individual kemudian
berkembang menjadi beberapa rumah yang dihuni oleh keluarga dan pada akhirnya menjadi
banyak rumah membentuk kompleks permukiman. Permukiman berkembang melengkapi diri
dengan sarana seperti sarana sosial, pendidikan, pemerintahan, keagamaan, olahraga, rekreasi,
kesehatan dan perekonomian. Selain itu, permukiman juga berkembang melengkapi diri dengan
--- 2 ---
prasarana pendukung seperti jalan, saluran drainase, dan saluran air bersih. Hasil interaksi
permukiman dengan lingkungan alam, lingkungan binaan dan lingkungan sosial akan
membentuk kawasan permukiman yang berbeda karakteristiknya, seperti permukiman
perkotaan, permukiman perdesaan, permukiman pesisir, dan permukiman kawasan industri
(Dimitra dan Yuliastuti, 2012).
II.2 Pengembangan Permukiman Berkelanjutan
Pengembangan permukiman di abad ke 21 tidak dapat dipisahkan dari konteks tren dan
permasalahan permukiman yang terjadi di seluruh dunia. Bab 7 dari Kesepakatan Agenda 21 dari
hasil Konferensi Tingkat Tinggi Pembangunan Berkelanjutan pada tahun 1992 menyepakati akan
pentingnya isu permukiman berkelanjutan pada saat ini dan di masa mendatang. Pengembangan
permukiman berkelanjutan merupakan aksi multi dimensi yang meliputi: (1) penyediaan rumah
layak; (2) pengelolaan dan penggunaan tanah secara berkelanjutan; (3) penggunaan energi
berkelanjutan; (4) sistem transportasi permukiman berkelanjutan; (5) pengelolaan kawasan
permukiman di daerah rawan bencana; dan (6) industri dan konstruksi berkelanjutan. Konteks
keberlanjutan sendiri menurut hasil KTT Bumi Rio De Janeiro Tahun 1992 dapat didefinisikan
sebagai “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi
berikutnya di masa depan”.
Pembangunan berkelanjutan dipandang sebagai proses banyak dimensi yang
mengkoneksikan dan menyelaraskan antara pembangunan ekonomi, sosial dan budaya dengan
perlindungan dan pelestarian lingkungan. Sehingga dalam hal ini permukiman berkelanjutan
dapat didefinsikan sebagai kota, lingkungan hunian, desa dan masyarakat yang ada di dalamnya
yang memungkinkan untuk hidup dengan cara yang mendukung status keberlanjutan dan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Warouw, 2014). Khusus untuk lingkungan
perkotaan, aspek keberlanjutan harus tercermin dari atribut kota itu sendiri, baik konstruksi,
sistem kelembagaan sosial ekonomi, UN Habitat dalam Warouw (2014) memperkenalkan lima
prinsip sebagai strategi baru dalam perencanaan lingkungan hunian dan permukiman
berkelanjutan (Gambar 1).
--- 3 ---
Gambar 1 Kriteria Pengembangan Permukiman Berkelanjutan
(Sumber: UN HABITAT dalam Warouw, 2014)
II.3 Fenomena Urban Sprawl
Urban sprawl adalah suatu proses perluasan kegiatan perkotaan ke wilayah pinggiran
yang melimpah, dengan kata lain terjadi proses pengembangan kenampakan fisik suatu
perkotaan ke arah luar. Lebih jauh lagi, definisi dari urban sprawl adalah suatu proses perubahan
fungsi dari wilayah yang bernama perdesaan menjadi wilayah perkotaan (Gillham, 2002).
Perdesaan yang selama ini dianggap sebagai penyokong kehidupan perkotaan, yang membantu
kota dalam pemenuhan kebutuhannya terutama dalam bidang pertanian, budidaya, kawasan
lindung dan non-industri, justru mengalami kenaikan tingkat fungsi guna lahan, menjadi kawasan
permukiman padat penduduk, bahkan kawasan industri. Urban sprawl merupakan salah satu
bentuk perkembangan kota yang dilihat dari segi fisik seperti bertambahnya gedung secara
vertikal maupun horisontal, bertambahnya jalan, tempat parkir, maupun saluran drainase kota.
Banyak alasan yang mendasari terjadinya fenomena urban sprawl ini. Mulai dari perilaku
masyarakat yang lebih memilih untuk bermukim diarea pinggiran kota, asumsi harga lahan yang
lebih murah dan terjangkau serta kondisi udara yang masih sehat, belum banyak tercemari
seperti pusat kota. Selain itu alasan yang juga menyebabkan masyarakat memilih tinggal diarea
pinggiran kota adalah karena belum terlalu padat penduduk yang ada disana, jika dibandingkan
dengan kawasan perkotaan, Ditambah karena memiliki akses yang dekat untuk menuju ke pusat
kota.
--- 4 ---
Seiring berjalannya waktu, dengan semakin meningkatnya pendapatan mereka,
penduduk yang semula menyewa rumah diarea perkotaan karena ingin dekat dengan tempat
dimana mereka bekerja, sebagian besar/mayoritas memilih untuk tinggal di luar kota (pinggiran
kota) agar dapat memiliki rumah tinggal sendiri. Walaupun pada sebagian penduduk yang
berpenghasilan rendah dengan terpaksa menempati rumah tinggal yang sempit dan kumuh,
asalkan rumah tersebut miliknya sendiri. Sehingga biaya sewa rumah tidak lagi menjadi beban
bagi anggaran rutin mereka.
Karena tidak terlalu dekatnya tempat tinggal mereka dengan lokasi dimana mereka
bekerja, masyarakat di pinggiran kota yang lebih cenderung menggunakan moda kendaraan
pribadi seperti sepeda motor dan mobil pribadi untuk menuju lokasi kegiatan mereka yang lebih
terkonsentrasi di pusat kota. Sedangkan banyaknya angkutan umum bermotor seperti bus, oplet
dan taxi dapat mengindikasikan terjadinya fenomena urban sprawl ini. Dimana salah satu
alasannya adalah pembuktian bahwa belum memadainya tingkat pelayanan fasilitas bagi
masyarakat pinggiran kota, dalam hal ini adalah angkutan umum. Kurangnya pelayanan
transportasi (angkutan umum) bagi masyarakat di pinggiran kota untuk menuju pusat kota jika
dibandingkan dengan di pusat kota, sehingga gejala ini menjadikan angkutan umum seolah-olah
disediakan hanya bagi warga yang tidak memiliki kendaraan pribadi (captive people).
Proses urban sprawl menurut Yunus (2005), ditinjau dari proses perkembanganya
spasial fisik kota dapat diidentifikasi:
a. Secara horizontal, yang meliputi:
1. Sentrifugal, adalah proses bertambahnya ruang kekotaan yang berjalan ke arah luar
dari daerah kekotaan yang sudah terbangun dan mengambil tempat di daerah pingiran
kota. Proses inilah yang memicu dan memacu bertambahnya luasnya areal perkotaan.
Makin cepat proses ini berjalan, makin cepat pula perkembangan kota secara fisikal.
2. Sentripetal, adalah proses penambanhan bengunan-bangunan kekotaan di bagian
dalam kota (pada lahan kosong/ruang terbuka kota).
b. Secara Vertikal, penambahan ruang kota dengan menambah jumlah lantai (bangunan
bertingkat).
--- 5 ---
II.4 Karakteristik Urban sprawl
Keberadaan sprawl menurut Gordon dan Richardson (1997) ditandai dengan adanya
beberapa perubahan pola guna lahan yang terjadi secara serempak, seperti sebagai berikut:
1. Single-use zoning
Keadaan ini menunjukkan situasi dimana kawasan komersial, perumahan dan area
industri saling terpisah antar satu dengan yang lain. Sebagai konsekuensinya, bidang
besar tanah digunakan sebagai penggunaan lahan tunggal yang saling terpisahkan, antara
ruang terbuka, infrastruktur atau hambatan lainnya. Sebagai hasilnya, lokasi dimana
masyarakat yang tinggal, bekerja, berbelanja, dan rekreasi memiliki jarak yang jauh,
antara satu dan yang lainnya, sehingga kegiatan seperti berjalan kaki, transit, dan
bersepeda tidak dapat digunakan, tetapi lebih membutuhkan mobil.
2. Low-density zoning
Sprawl mengkonsumsi jauh lebih banyak penggunaan lahan perkapita dibandingkan
perkembangan kota tradisional, karena peraturan penzonaan seharusnya menyatakan
bahwa perkembangan Kota seharusnya berada dalam kepadatan penduduk yang rendah.
Definisi yang tepat mengenai kepadatan yang rendah ini relatif, contohnya rumah tinggal
tunggal, yang sangat luas, kurang dari sama dengan 4 unit per are. Bangunan tersebut
memiliki banyak penggunaan lahan dan saling berjauhan satu sama lain, terpisahkan oleh
halaman rumput, landscape, jalan atau lahan parkir yang luas. Lahan parkir yang luas jelas
didesain untuk jumlah mobil yang banyak. Dampak dari perkembangan kepadatan
penduduk yang rendah ini mengalami peningkatan secepat peningkatan populasi
pula. Overall density is often lowered by “leap-frog development”. Pada umumnya,
pengembang membutuhkan kepastian tingkat persentase bagi pengembangan lahan
untuk penggunaan publik, termasuk jalan raya, lapangan parkir dan gedung sekolah.
Dahulu, saat pemerintah lokal menunjuk suatu lokasi dan ternyata lahannya kurang,
mereka dapat dengan mudah melakukan bernacam jenis perluasan wilayah, karena tidak
ada kekuasaan yang tinggi untuk melakukan penghukuman. Pengembang privat jelas
tidak memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut.
3. Car-dependent communities
Area yang mengalami urban sprawl biasa dikenali dengan tingkat penggunaan mobil yang
tinggi sebagai alat transportasi, kondisi ini biasa disebut dengan automobile dependency.
Kebanyakan aktivitas disana, seperti berbelanja dan melaju (commuting to work),
membutuhkan mobil sebagai akibat dari isolasi area dari zona perumahan dengan
--- 6 ---
kawasan industri dan kawasan komersial. Berjalan kaki dan metode transit lainnya tidak
cocok untuk digunakan, karena banyak dari area ini yang hanya memiliki sedikit bahkan
tidak sama sekali area yang dikhususkan bagi pejalan kaki.
II.5 Dampak-dampak yang terjadi akibat fenomena Urban sprawl
Setiap peristiwa pasti memiliki dampak bagi lingkungan sekitarnya maupun bagi objek
itu sendiri. Sama halnya yang terjadi pada fenomena Urban sprawl ini. Ada beberapa dampak
mengenai fenomena ini (Bhatta, 2010). Dampak positifnya adalah:
1. Bertambahnya jumlah penduduk yang akan meningkatkan kepadatan penduduk di
wilayah tersebut.
2. Semakin berkembangnya wilayah disekitar kota yang terkena dampak, baik perdesaan
maupun perkotaan. Karena akibat semakin banyak penduduk yang bermukim disana,
semakin banyak aktivitas yang terjadi yang akan meningkatkan perekonomian wilayah.
3. Bertambahnya infrastruktur di wilayah yang terkena dampak, sebagai supply dari
pemerintah setempat akan kebutuhan masyarakatnya.
Namun ternyata, selain memiliki dampak positif, fenomena urban sprawl ini juga memiliki
dampak yang negatif. Bahkan dengan jumlah yang lebih banyak, diantaranya adalah:
1. Semakin berkurangnya lahan subur untuk pertanian dan lahan sebagai habitat
bagi makhluk hidup, selain manusia.
Para petani terkadang lebih memilih untuk menjual sawah mereka untuk pengembangan
perumahan oleh stakeholders dan meningkatkan persediaan keuangan mereka untuk
simpanan dihari tua. Sedangkan kawasan lindung, yang seharusnya memiliki peran untuk
melindungi kawasan, serta habitat yang ada didalamnya, keberadaannya juga semakin
menyempit karena mengalami perubahan guna lahan, yang dimanfaatkan untuk
pembangunan gedung dan perumahan untuk kepentingan manusia.
2. Morfologi kota yang semakin tidak teratur
Akibat terjadinya pemekaran kota keluar area yang tidak diawali dengan rencana
mengakibatkan morfologi kota menjadi tidak teratur. Terjadi banyak perubahan
penggunaan lahan dikawasan yang terkena urban sprawl tersebut, Kondisi existing tidak
lagi sesuai dengan rencana awal guna lahan yang tercantum pada Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW). Para stakeholders umumnya akan berasumsi bahwa nilai guna
ekonomis suatu lahan akan semakin meningkat jika lahan tersebut dijadikan sebagai
perumahan, bahkan area komersil yang tentunya akan menguntungkan bagi mereka.
--- 7 ---
3. Meningkatnya biaya pajak
Lokasi kawasan permukiman yang semakin meluas dan menjauh, terpisah dari pusat
kota, menyebabkan biaya dari penyediaan dan pelayanan fasilitas dan infrastruktur yang
semakin mahal karena ongkos kirimnya yang lebih mahal. Sehingga pemerintah lokalpun
membutuhkan biaya yang ekstra untuk memperluas jaringan pelayanan yang kemudian
meningkatkan harga wajib pajak bagi masyarakat setempat.
4. Meningkatnya tingkat polusi pada tanah, air dan udara serta meningkatnya
konsumsi energi oleh manusia
Semakin banyaknya penduduk yang tinggal disuatu wilayah maka semakin banyak
sumber daya yang dibutuhkan dari alam untuk pemenuhan kebutuhan mereka. Semakin
banyak juga pengeluaran/ sisa buangan dari proses pengolahannya. Sesuai dengan fungsi
alam yang sebenarnya, yaitu sebagai penyedia sumber daya sekaligus sebagai tempat
penampungan/limbah yang dihasilkan dari kegiatan manusia tersebut. Oleh karena itu
selain menyebabkan peningkatan polusi dari hasil sisa tersebut, ketersediaan dari energi
dan sumber daya alam juga akan semakin berkurang karena tingkat konsumsi dari
manusia yang semakin tingi pula.
II.6 Urban sprawl bukan sesuatu yang tidak dapat dihindari.
Banyak sekali masyarakat yang beranggapan bahwa pasar dan mekanismenya-lah yang
mengakibatkan Urban sprawl, serta ketergantungan terhadap kendaraan bermotor, dan pilihan
dalam memilih tempat tinggal. Kesimpulan tersebut sangat keliru. Justru, munculnya urban
sprawl sebenarnya bisa dikatakan sebagai sebuah upaya yang dikoordinasikan dimana setelah
perang dunia II kepentingan swasta mulai diijinkan secara illegal untuk mengganti/ merubah
moda transportasi yang telah ada dan berjalan baik ke moda transportasi lain yang memicu
timbulnya urban sprawl. Sebagai contoh, Pacific Electric Railway di Los Angeles yang telah
menghubungkan seluruh bagian kota dihapuskan akibat lobby yang kuat dari perusahaan
pengembang jalan bebas hambatan (Highway). Dengan alasan lebih ekonomis, maka system
jaringan kereta api diganti dengan jaringan jalan bebas hambatan yang pada akhirnya
mengakibatkan timbulnya kota yang melebar (sprawl).
Kota-kota transit yang berkembang pada tempat pemberhentian stasiun KA berubah
dengan pola pembangunan yang membentang dan menerus (ribbon development). Lebih lanjut,
eratnya hubungan pengembangan jalan bebas hambatan dengan pemerintah telah
mengakibatkan dominasi penggunaan kendaraan bermotor, perubahan sistem pajak, dan
perubahan peraturan zonasi (zone law) yang pro sprawl. Menurut Lewinnek (2014), akhir-akhir
ini kesadaran bahwa Urban sprawl bukan pilihan terbaik untuk tinggal mulai muncul. Kesadaran
--- 8 ---
ini ditandai dengan tumbunya pergerakan pembangunan dan arsitektural yang dinamakan “ New
Urbanism” yang dimulai tahun 80-an sebagai suatu cara untuk menghambat para pengembang
dalam membangun sistem perumahan yang mendorong ketergantungan terhadap kendaraan
bermotor, mendorong pengembangan pola jalan lingkungan yang ramah masyarakat (people
friendly), rumah dengan beranda depan, bangunan multiguna, dan perumahan dengan penghuni
dari berbagai kelas masyarakat. New urbanisme ini merupakan upaya untuk kembali membangun
masyarakat Amerika Serikat yang sesungguhnya. Uraian lebih lanjut mengenai permasalahan
urban sprawl di Amerika akan dibahas pada Bagian III.
III. STUDI KASUS PENGEMBANGAN PERMUKIMAN TIDAK
BERKELANJUTAN DI AMERIKA. MUNCUL DAN BERKEMBANGNYA
KAWASAN PERMUKIMAN DI PINGGIRAN KOTA (SUB-URBAN) DI
AMERIKA SERIKAT SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Muncul dan berkembangnya kawasan permukiman perkotaan di daerah pinggiran kota
(suburbanisasi) di Amerika Serikat utamanya mulai nampak setelah Perang Dunia ke II selesai.
Proses suburbanisasi sendiri jika ditilik dari sisi sejarah telah muncul di Amerika sejak Tahun
1880-an seiring dengan hadirnya teknologi transportasi trem listrik, sehingga memungkinkan
penduduk untuk bertempat tinggal tidak harus dekat dengan pusat kota/lokasi tempat kerja
(Ames, 1995). Jaringan Trem listrik (Gambar 1) mampu membuka akses ke wilayah belakang
yang memungkinkan untuk dilakukan pengembangan permukiman baru dengan waktu tempuh
kurang lebih 30 menit ke pusat kota, sehingga suburbanisasi yang muncul pertama kali polanya
bersifat radial mengikuti jaringan rel trem (Ames, 1995). Suburbanisasi kemudian berkembang
lebih jauh ke belakang pada periode antara Perang Dunia ke I dan Perang Dunia ke II seiring
dengan munculnya inovasi teknologi mobil dan kendaraan bermotor pribadi. Suburbanisasi
sempat terinterupsi oleh Perang Dunia ke II dan resesi ekonomi yang mengikuti perang tersebut,
namun suburbanisasi meningkat lagi dan semakin membesar pada periode pasca perang.
Jaringan permukiman radial akibat proses suburbanisasi gelombang pertama pra-perang
kemudian berdifusi ke segala arah pada suburbanisasi gelombang kedua pasca-perang
membentuk pusat pertumbuhan baru (kota satelit) dan permukiman-permukiman baru yang
letaknya jauh dari pusat kota (Ames, 1995).
--- 9 ---
Gambar 2. Jaringan Transportasi Trem Listrik yang memicu Suburbanisasi Pra-Perang Dunia I
(Sumber: Silverthorn dan Greene, 2004)
Suburbanisasi di kawasan pinggiran kota pada periode pasca 1945 muncul sebagai imbas
kepadatan permukiman dan industrialisasi masif di pusat kota yang menyebabkan pusat kota
mengalami penurunan kualitas lingkungan dan menjadi tempat yang kurang layak huni. Hadirnya
jaringan transportasi publik trem dan jaringan jalan beserta inovasi mobil berbahan bakar
minyak memungkinkan untuk pengembangan permukiman baru di daerah pinggiran yang jauh
dari pusat kota. Permukiman baru dibangun dalam pola grid yang dikoneksikan oleh jaringan
jalan berpola Cul De Sac.
Gambar 3. Permukiman Suburban yang dikembangkan periode pasca perang
(Sumber: Silverthorn dan Greene, 2004)
Pada awalnya, pengembangan permukiman baru di daerah pinggiran (countryside)
ditujukan untuk memfasilitasi veteran muda Perang Dunia II yang telah kembali dari perang,
dimana mereka harus segera bekerja dan berkeluarga dan otomatis memerlukan tempat tinggal.
Namun dalam perkembangannya, pengembangan permukiman baru ini menarik minat keluarga
--- 10 ---
muda yang baru memasuki usia produktif dan masyarakat kelas menengah ke atas untuk
melakukan migrasi karena menawarkan harga perumahan yang murah dengan kondisi
lingkungan yang lebih sehat, namun masih memiliki akses ke pusat kota yang efisien. Terlebih,
pengembangan permukiman di kawasan pinggiran ini juga diikuti dengan pengembangan
fasilitas ekonomi pemenuh kebutuhan seperti dealer mobil, shopping center, taman, wahana
rekreasi dan fasilitas umum lainnya (Gambar 3). Singkatnya, pengembangan kawasan
permukiman di pinggiran kota menawarkan kenikmatan dan kemudahan hidup bagi setiap orang
yang bertempat tinggal di situ (American dream).
Gambar 4. Representasi American Dream (Sumber: Silverthorn dan Greene, 2004)
Fenomena suburbanisasi yang melahirkan urban sprawl di perkotaan Amerika terus
berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Infrastruktur transportasi dan fasilitas pelayanan terus
dibangun guna mendukung dan mengikuti perkembangan tersebut. Jumlah kepemilikan
kendaraan pribadi terus meningkat karena penduduk memerlukan akses dari satu tempat ke
tempat lain. Pertumbuhan kendaraan pribadi ini turut menyumbang pertumbuhan ekonomi
Amerika Serikat pada pertengahan abad ke 20. Selain itu, pada periode ini produksi minyak
mentah di Amerika juga sedang melimpah sehingga pertumbuhan kendaraan yang diikuti dengan
permintaan bahan bakar yang tinggi dapat diimbangi oleh produksi energi. Pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan yang diperoleh dari pertumbuhan tersebut digunakan oleh Pemerintah
Amerika untuk terus membangun jaringan jalan (utamanya jaringan jalan tol) yang
mengkoneksikan pusat-pusat pertumbuhan permukiman baru yang terus mundur ke belakang di
kebanyakan kota di Amerika Utara.
Fenomena urban sprawl di Amerika Serikat terus berkembang dan meningkat hingga saat
ini, namun pola dan kecenderungan perkembangannya mulai berubah sejak tahun 1970-an. Studi
yang dilakukan oleh Lopez (2014) menunjukkan laju pertumbuhan urban sprawl di beberapa
--- 11 ---
kawasan metropolitan Amerika sejak tahun 1970-an mulai mengalami penurunan atau tren yang
tetap (steady rate). Penurunan laju urban sprawl ini utamanya disebabkan oleh menurunnya
pertumbuhan penduduk perkotaan sejak tahun 1970-an, halangan geografis, kebijakan anti-
sprawl, dan keterbatasan pendanaan pembangunan infrastruktur (Lopez, 2014).
Berkurangnya laju urban sprawl di Amerika pasca 1970 didasari antara lain oleh
munculnya kesadaran bahwa suburbanisasi lebih banyak membawa permasalahan di masa
depan daripada menyelesaikan permasalahan kebutuhan perumahan dan permukiman. Urban
sprawl di kawasan suburbia Amerika dicirikan dengan pengembangan kelompok permukiman
(cluster) kepadatan rendah yang dihubungkan oleh jaringan jalan dengan pola cul de sac (Gambar
5). Pola pengembangan ini dalam perkembangannya dianggap tidak efektif karena pola ini sangat
mengandalkan pada kendaraan pribadi untuk melakukan aktivitas ekonomi. Transportasi publik
tidak akan efektif untuk mengkoneksikan seluruh wilayah pada tipologi kawasan seperti ini
karena memerlukan banyak titik pengumpulan penumpang (shelter) dan rute yang berputar-
putar tidak efisien. Di sisi lain, permukiman yang ada memiliki kepadatan yang rendah sehingga
kapasitas pengangkutan penumpang di setiap shelter tidak akan efektif jika transportasi publik
diharapkan menjangkau seluruh kawasan. Kenyataan yang terjadi di Amerika menunjukkan pada
akhirnya penduduk di kawasan suburbia tetap mengandalkan kendaraan pribadi dalam
beraktivitas dan seiring dengan terus bertumbuhnya kawasan, permasalahan lain muncul, yaitu
kemacetan lalulintas (traffic congestion).
Gambar 5 Foto Udara Kawasan Suburbia Amerika dengan Pola Cul de sac (Sumber: Thetyee.com)
Pengembangan kawasan suburban di Amerika dengan pola cluster dan jaringan jalan cul
de sac juga memerlukan lahan yang luas dan pada akhirnya mengancam lahan pertanian di
daerah perdesaan (countryside). Kelestarian lingkungan pun ikut terancam karena dalam praktek
pengembangannya, kawasan suburban mengekspansi lahan-lahan yang memberikan fungsi
lindung bagi keragaman biota darat dan keseimbangan ekologis. Hal ini cukup ironis, karena
maksud awal dari pengembangan kawasan suburban adalah menawarkan kehidupan suasana
--- 12 ---
perdesaan yang asri dan sehat, namun dalam kenyataannya masyarakat yang terbentuk masih
terikat dengan kota dan tetap memilih beraktivitas di kota, sehingga kawasan suburbia justru
malah membawa efek negatif perkotaan menuju perdesaan (individualisme, kemacetan, polusi,
sampah, pencemaran air).
Pengembangan kawasan suburbia mengharuskan pemerintah Amerika mengalokasikan
dana yang tidak sedikit guna membangun jaringan jalan untuk mengkoneksikan pusat-pusat
permukiman yang menyebar. Dana pembangunan dan pengelolaan jaringan jalan ini sedemikian
besar sehingga alokasi untuk transportasi publik semakin berkurang. Oleh karena itu tidak heran
apabila jaringan trem listrik yang menjadi moda transportasi utama di gelombang suburbanisasi
tahap pertama kini telah menghilang di Amerika. Satu – satunya kota yang masih menyisakan
jaringan trem listrik masa lalu hanya Kota Toronto. Kota lainnya memilih untuk menghapus atau
mengubah moda transportasinya ke moda lain yang dianggap lebih efisien seperti bis kota. Selain
itu terdapat spekulasi akan adanya konspirasi perusahaan otomotif di Amerika yang memaksa
pemerintah untuk menghapus sistem trem listrik karena dianggap menganggu transportasi
kendaraan pribadi dan menyebabkan kemacetan.
Permasalahan terkait kawasan suburbia akhirnya bermuara pada penyebab awal
mengapa dulu pengembangan kawasan ini menjadi pilihan utama, yaitu ketersediaan energi dan
bahan bakar untuk menjalankan berbagai aktivitas ekonomi. Cadangan minyak di Amerika secara
umum semakin menipis pada Tahun 1970-an, sementara urban sprawl dan dampak yang
mengikutinya membutuhkan bahan bakar fosil agar tetap berjalan. Harga BBM menunjukkan
gejala kenaikan mulai dasawarsa 70-an, dan semakin tinggi pada tahun – tahun terakhir.
Sementara itu kebutuhan energi dalam negeri semakin tinggi dari tahun ke tahun (Gambar 5).
Dengan demikian pengembangan kawasan suburbia di Amerika mulai menunjukkan sisi
ketidakberlanjutan (unsustainable) dan semakin memberatkan perekonomian Amerika secara
umum. Apabila pada akhirnya bahan bakar fosil ini habis, maka bisa dipastikan perekonomian
Amerika dan kehidupan sosial yang ada didalamnya akan menjadi runtuh dan berakhir dengan
ketidastabilan bernegara tanpa akhir.
Gambar 6 Harga BBM (kiri) dan Konsumsi BBM (kanan) di Amerika
--- 13 ---
Pengurangan suburbanisasi di Amerika tidak berjalan dengan mudah karena masyarakat
masih membutuhkan perumahan dengan harga murah dengan akses baik (yang secara umum
hanya tersedia di kawasan suburbia). Di sisi lain, kenaikan harga bahan bakar yang membuat
pilihan bertempat tinggal di kawasan suburbia menjadi semakin mahal membuat sebagian
masyarakat Amerika mulai meninggalkan kawasan tersebut melalui penjualan aset atau
ditinggalkan begitu saja untuk berpindah ke tempat lain (atau kawasan suburbia lain yang
dianggap menjanjikan biaya hidup lebih murah). Oleh karena itu, di Amerika kini mulai muncul
kawasan permukiman suburban yang mati, tidak terawat dan tidak termanfaatkan (Gambar 6).
Sebagian masyarakat lain yang memilih bertahan harus menyesuaikan diri sehingga terdapat
banyak aspek hidup yang dikorbankan dan berujung pada penurunan kualitas hidup, yang
tercermin dari permukiman yang mulai menurun kualitasnya serta mulai menunjukkan
kecenderungan kekumuhan (fenomena Ghetto).
Berbagai strategi dan upaya telah dirumuskan untuk mengurangi dan meminimalisir
urban sprawl, diantaranya adalah konsep Perencanaan Smart Growth, kompensasi kelestarian
lahan pertanian oleh pemerintah, In-fill Development, strategi Compact City dan Penggunaan
Lahan Multifungsi. Strategi lain yang lebih membidik aspek sosial dan tingkah laku adalah
paradigma urbanisme baru (new urbanism). Urbanisme baru bertujuan untuk mengembalikan
gaya hidup dan cara beraktivitas seperti masa lampau, dimana aktivitas perkotaan lebih banyak
dilakukan dengan berjalan kaki dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Strategi
ini walaupun dapat menjadi alternatif solusi, namun pada prakteknya tidak mudah untuk
diimplementasikan. Pengembalian kultur berjalan kaki mengharuskan tata kota harus diubah
sedemikian rupa. Hunian vertikal harus dikembangkan, fasilitas pemenuh kebutuhan harus
dibuat di setiap blok hunian, dan aktivitas ekonomi perseorangan atau skala kecil (retail) harus
ditumbuhkan. Implementasi urbanisme baru pada lingkungan perkotaan yang sudah terpencar
(sprawled) sedemikian rupa jelas membutuhkan biaya yang sangat besar dan kenyataannya
pemerintah Amerika saat ini lebih memilih mengusahakan minyak semaksimal mungkin,
termasuk harus mencari dan mengaksesnya ke Timur Tengah dan belahan dunia lain. Sebuah
strategi yang berpotensi semakin merapuhkan perekonomian Amerika Serikat sendiri di masa
mendatang, tidak mempunyai prospek keberlanjutan dan tidak menyelesaikan permasalahan
suburbanisasi dan urban sprawl.
--- 14 ---
IV. KESESUAIAN KONSEP PENGEMBANGAN PERMUKIMAN KAWASAN
PINGGIRAN (SUB-URBAN) DENGAN REALISASINYA DI AMERIKA
Pengembangan permukiman dan perumahan di Amerika Serikat pada kawasan sub urban
pada masa pasca perang sampai saat ini mendatangkan banyak permasalahan, salah satunya
adalah dalam penyediaan energi sebagaimana dibahas dalam Film dokumenter The End of
Suburbia. Apa yang terjadi di Amerika Serikat jika dibandingkan dengan kriteria pengembangan
permukiman berkelanjutan menurut UN HABITAT (Gambar 1) sama sekali bukan merupakan
pengembangan permukiman yang berkelanjutan.
Prinsip pertama dari pengembangan rumah berkelanjutan menurut UN HABITAT adalah
ruang yang cukup untuk jalan dan jaringan jalan harus efisien. Efisien yang dimaksud adalah
jaringan jalan harus meliputi setidaknya 30 persen dari lahan kawasan dengan panjang jalan total
18 km per luasan 1 km2 (lihat Gambar 7). Jaringan jalan ini juga harus terkoneksi di setiap
simpang dengan didukung ketersediaan lahan parkir. Jaringan jalan juga harus ramah terhadap
pejalan kaki dan pesepeda (tidak terlalu jauh untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain) dan
mendukung pengembangan transportasi publik. Kenyataan yang ada di Amerika, jaringan jalan
dengan pola cul de sac membuat koneksi dari satu tempat ke tempat lain tidak efektif, jaringan
transportasi publik sulit dikembangkan secara optimal, waktu dan jarak tempuh untuk mencapai
fasilitas cukup jauh dan lama, sehingga orang akhirnya sulit untuk mengurangi ketergantungan
pada kendaraan pribadi.
Gambar 7 Jaringan Jalan Grid Yang Memenuhi Prinsip Keberlanjutan
(Sumber: UN HABITAT, 2014)
Prinsip kedua adalah kepadatan permukiman yang tinggi. Ukuran yang ditentukan
setidaknya 15 ribu jiwa per km2. Pengembangan permukiman kepadatan tinggi (hunian vertikal)
akan membawa dampak positif diantaranya: (1) penggunaan lahan yang efisien; (2) mengurangi
biaya pelayanan publik; (3) mendukung pelayanan komunitas yang lebih baik; (4) mengurangi
--- 15 ---
ketergantungan pada kendaraan pribadi dan mendukung transportasi publik; (5) kesetaraan
sosial; (6) mendukung pemenuhan ruang terbuka publik sebagai implikasi penggunaan lahan
yang efisien; dan (7) efisiensi penggunaan energi dan pengurangan polusi. Kenyataan dari
pengembangan kawasan suburban di Amerika ditandai dengan permukiman kepadatan rendah,
dengan setiap rumah mempunyai halaman dan garasi yang memerlukan lahan luas dan tidak
mudah dikoneksikan transportasi publik. Efek lebih lanjut dari pengembangan permukiman
tersebar ini adalah biaya pelayanan publik menjadi tinggi karena ada biaya transportasi
tambahan dari rumah ke rumah. Selain itu, kebutuhan lahan yang besar juga terbukti mengancam
lahan pertanian yang ada di kawasan pinggiran, dan meningkatkan polusi udara sebagai imbas
penggunaan kendaraan pribadi.
Prinsip ketiga adalah penggunaan lahan campuran (mixed landuse). Pengembangan
hunian vertikal sebagaimana diuraikan pada prinsip pertama dalam pengalokasiannya harusnya
mempertimbangkan penggunaan lahan di hunian tersebut di sebagian lantainya untuk
penggunaan pelayanan ekonomi dan fasilitas umum. Proporsi ideal menurut UN Habitat (2014)
adalah 40 sampai 60 persen untuk aktivitas ekonomi, 30 sampai 50 persen untuk hunian, dan 10
persen untuk pelayanan publik, di tiap lantainya. Dalam kenyataan pengembangan kawasan
permukiman di suburban area Amerika, fasilitas ekonomi dan pelayanan publik menempati
lokasi tertentu di kawasan yang mana orang harus melakukan perjalanan yang terkadang cukup
jauh untuk mengaksesnya. Hal ini berakibat pada pemborosan energi melalui penggunaan
kendaraan pribadi, dan meningkatkan polusi udara, terutama pada akhir pekan ketika orang
biasanya berdatangan ke fasilitas-fasilitas umum untuk mendapatkan hiburan atau sekedar
berekreasi.
Prinsip keempat merupakan lanjutan dari prinsip ketiga, yaitu pencampuran kelas sosial
(social mix). Dalam hal ini, hunian vertikal yang dikembangkan, sekitar 20 sampai 50 persen area
hunian harus ditujukan untuk kalangan menengah ke bawah. Sementara slot untuk hunian
dengan status kepemilikan permanen proporsinya tidak melebihi 50 persen dari total area.
Strategi social mix ditujukan untuk: (1) mempromosikan interaksi sosial antar kelas sosial; (2)
memunculkan kesempatan kerja; (3) untuk mengurangi stigma pengkelasan permukiman
berdasarkan kemampuan ekonomi; dan (4) menarik pelayanan baru di sekitar hunian. Kenyataan
di Amerika, sebagian besar hunian di kawasan suburban pada awalnya memang ditawarkan
dengan harga cukup murah, namun seiiring berjalannya waktu menjadi semakin mahal akibat
harga lahan yang meningkat, sehingga hanya kelas sosial tertentu yang mampu bertempat tinggal
di lingkungan tersebut. Hal ini akan membawa permasalahan kecemburuan sosial, mengingat
pada pengembangan permukiman di Suburban menghendaki perhatian pemerintah untuk terus
--- 16 ---
membangun fasilitas dan mengkoneksikan setiap klaster perumahan melalui jaringan jalan yang
memakan biaya besar.
Prinsip kelima adalah pembatasan penggunaan lahan tunggal (limited landuse
specialization). Prinsip ini selaras dengan prinsip ketiga, namun membidik di sisi kebijakan
penataan ruang. Pembatasan penggunaan lahan tunggal akan memicu penggunaan lahan
campuran (mixed landuse) yang tidak hanya menghemat biaya transportasi untuk memperoleh
pelayanan, tetapi juga berpotensi mengurangi permasalahan yang umum terjadi di kawasan
perkotaan seperti, kemacetan, segregasi permukiman, ketergantungan pada kendaraan pribadi
dan lain-lain. Kenyataan yang terjadi di Kawasan Suburban Amerika, pemerintah tidak sepenuh
hati memperkuat dan mendukung kebijakan pembatasan penggunaan lahan, karena Urban
Sprawl tetap terus terjadi setiap tahun, walaupun dengan intensitas yang berbeda dari
perkembangannya di tahun-tahun awal.
Dengan berkaca pada prinsip permukiman berkelanjutan menurut UN Habitat di atas,
pengembangan Kawasan Permukiman Suburban Amerika merupakan pengembangan
permukiman yang tidak berkelanjutan, karena terbukti menciptakan banyak permasalahan dan
ketergantungan yang besar pada energi fosil. Di sisi lain, pemerintah tidak dapat mengubah
permukiman yang sudah ada (redevelopment) menjadi permukiman baru yang memenuhi
kriteria UN Habitat, mengingat usaha ini akan memerlukan waktu yang tidak sedikit dan biaya
yang sangat besar, mengingat kawasan sudah terlanjut dikembangkan.
V. PENGEMBANGAN PERMUKIMAN KAWASAN PINGGIRAN DI
INDONESIA BERKACA DARI KASUS AMERIKA
Suburbanisasi di Amerika Serikat membawa banyak permasalahan perkotaan dan
berimbas pada sektor ekonomi, politik dan sosial. Keberlanjutan kehidupan bernegara di
Amerika akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana pemerintah Amerika mengelola, mengurangi
dan mengendalikan suburbanisasi dan urban sprawl yang masih terjadi, baik pada saat ini
maupun di masa mendatang. Pengalaman Amerika seharusnya menjadi pelajaran bagi negara
lain agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Namun demikian, tampaknya Indonesia telah
melakukan kesalahan yang sama dengan Amerika Serikat.
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang dimulai sejak periode keterbukaan ekonomi
orde baru pada tahun 1980-an ikut berpengaruh pada pengembangan dan pertumbuhan
kawasan terbangun di kota-kota besar di Pulau Jawa (Firman, 2008). Berbagai penelitian yang
telah dilakukan di berbagai kota, antara lain Jakarta (Hidajat et al, 2013), Surabaya (Mahriyar dan
Rho, 2014), Makassar (Sastrawati dan Santoso, 2011), Bandung (Ardiwijaya et al, 2014),
--- 17 ---
Semarang (Handayani dan Rudiarto, 2014), dan Yogyakarta (Pradoto, 2011), menunjukkan
bahwa urbanisasi dan suburbanisasi yang membentuk kawasan pinggiran (urban fringe) yang
mirip dengan Suburbia di Amerika telah terjadi di Indonesia (Gambar 8).
Gambar 8. Urban Sprawl di Semarang (Handayani dan Rudiarto, 2014) dan Bandung (Ardiwijaya
et al, 2014)
Urbanisasi ini muncul karena adanya kesadaran peluang pekerjaan yang dianggap lebih
baik di perkotaan akibat investasi industri dalam dan luar negeri yang memancing penduduk
perdesaan atau perkotaan yang lebih kecil untuk berpindah ke kota besar guna memperoleh
penghidupan yang lebih baik. Kota besar menjadi semakin padat dan menurun fungsinya untuk
mendukung kehidupan yang lebih sehat, dan sektor penyediaan perumahan swasta/pemerintah
melihat peluang ini untuk kemudian mulai melakukan akuisisi lahan pertanian di daerah
pinggiran untuk dibangun menjadi kawasan permukiman. Strategi pemasaran yang digunakan
pun mirip dengan di Amerika, yaitu tawaran kehidupan urban yang lebih sehat dengan harga
murah dan akses ke pusat kota yang terjangkau dari sisi waktu tempuh, serta fasilitas pendukung
seperti shopping center, minimarket, taman dan lain-lain.
Untuk proses urbanisasi yang melahirkan urban sprawl di Indonesia, utamanya di kawasan
JABODETABEK mungkin dapat dijelaskan sebagai berikut. Seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk setiap tahunnya dan perpindahan (migrasi) masyarakat dari luar Provinsi DKI Jakarta
yang ingin memperbaiki kehidupan, mereka dan memilih untuk mencari pekerjaan di Jakarta ini.
Untuk memiliki rumah dikawasan pusat kota tentu mahal harganya, namun tetap ingin memiliki
rumah sendiri, oleh karena itu banyak dari mereka yang memilih untuk memiliki tempat tinggal
dipinggiran kota. Namun tidak hanya migran yang tinggal dipinggiran kota, masyarakat asli baik
yang menengah ke atas maupun menengah kebawah juga lebih memilih tinggal dikawasan
--- 18 ---
pinggiran kota, dengan alasan menjauh dari keramaian dan kemacetan. Agar lebih aman dan
mengurangi konsumsi polusi dari pusat kota. Walaupun jarak dari perkantoran ke permukiman
menjadi lebih jauh. Namun hal ini sebenarnya bisa dihindari jika ada penerapan kebijakan yang
lebih tegas dari pemerintah terkait pelanggaran dalam penggunaan lahan dan kepemilikan tanah.
Terkait dengan permasalahan transportasi (kemacetan, pemborosan energi, polusi
lingungan) dalam urban sprawl di Indonesia, kira-kira dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada saat
yang bersamaan dengan meningkatnya urbanisasi, industri otomotif yang berasal dari modal
asing (utamanya Jepang) mulai masuk dan mulai melakukan ekspansi pasar otomotif dengan
menyediakan kendaraan pribadi dengan harga terjangkau. Ekspansi dan penguasaan pasar
otomotif ini semakin kuat pada tahun 2000-an ketika strategi kredit kendaraan bermotor
diimplementasikan, yang berimbas pada kemudahan untuk memiliki kendaraan pribadi.
Sebagaimana di Amerika, ketergantungan penggunaan kendaraan pribadi yang dianggap lebih
efisien pelan-pelan mematikan transportasi publik (bis dan angkot) di banyak kota di Jawa yang
sebelumnya relatif mampu menjangkau seluruh kawasan perkotaan (pengecualian untuk Jakarta,
Bogor dan Bandung yang masih menunjukkan kemauan menggunakan transportasi publik untuk
aktivitas dalam kota). Peningkatan jumlah kendaraan pribadi yang tidak terkontrol ini pada
akhirnya yang menyebabkan munculnya permasalahan transportasi tersebut diatas, mengingat
kondisi yang ada
Satu hal yang berbeda dari Urban Sprawl yang terjadi di Amerika dan di Indonesia adalah
bahwa pengembangan transportasi pribadi dalam bentuk kendaraan bermotor (sepeda motor,
mobil) tidak berasal sepenuhnya dari investasi dalam negeri, melainkan dari investasi asing
(utamanya dari jepang). Hal ini membuat keuntungan ekonomi dari pengembangan industri dan
hasil dari pertumbuhan ekonomi diambil kembali oleh si pemilik modal, sehingga keuntungan
ekonomi yang didapat dari hasil industrialisasi mungkin tidak cukup digunakan untuk
mendukung sektor lain, misalnya subsidi sektor pertanian dan pengembangan agroindustri.
Dengan demikian urban sprawl di Indonesia mempunyai dampak negatif yang lebih buruk
daripada di Amerika.
Terkait dengan peran transportasi publik, sebagaimana di Amerika, kota – kota di Pulau
Jawa juga pernah memiliki jaringan trem listrik warisan dari pemerintah kolonial, namun trem
ini sudah dimatikan dua dasawarsa sebelum urbanisasi mulai masif. Transportasi publik berbasis
rel yang tersisa saat ini adalah transportasi rel jarak jauh yang desain awalnya adalah untuk
menghubungkan antar kota, sehingga walaupun dimanfaatkan untuk melayani ulang alik
(commuting) dari kawasan pinggiran ke pusat kota, aksesbilitasnya tidak mampu menjangkau
seluruh kawasan yang terpengaruh urbanisasi sehingga tidak cukup efisien untuk mengurangi
ketergantungan pada kendaraan pribadi. Terlebih jika dilihat dari tipologi, pola dan struktur
--- 19 ---
urban sprawl di perkotaan Indonesia, urban sprawl di Indonesia dicirikan oleh perumahan dan
permukiman kepadatan rendah yang dihubungkan oleh jaringan jalan berpola dentritik. Tipologi
ini kurang lebih mirip dengan di Amerika, sehingga implementasi transportasi publik yang
mampu menjangkau seluruh kawasan tetap tidak akan efektif dalam mengurangi ketergantungan
pada kendaraan pribadi. Strategi yang lebih sosial seperti urbanisme baru akan sulit
diimplementasikan mengingat ketergantungan penduduk kawasan pinggiran pada aktivitas
ekonomi dan industri di pusat kota sangat tinggi. Dengan demikian pada akhirnya Indonesia
terjebak pada permasalahan yang sama dengan Amerika Serikat.
Pada akhirnya, permasalahan akibat urbanisasi dan urban sprawl di Amerika terjadi juga
di Indonesia seperti kemacetan lalulintas, konsumsi BBM yang tinggi, dan degradasi lingkungan.
Respon yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia juga relatif mirip dengan Amerika seperti
misalnya pembangunan infrastruktur transportasi berbiaya tinggi (jalan tol) guna
mempermudah akses atau pemberian subsidi BBM untuk menjaga daya jangkau masyarakat
terhadap energi, yang kesemuanya ini tidak memenuhi kaidah keberlanjutan (sustainability),
terutama jika dilihat dari risiko krisis energi fosil global yang semakin terakselerasi waktu
kedatangannya.
VI. KESIMPULAN
Urban Sprawl dan suburbanisasi yang terjadi di Amerika Serikat pada masa pasca Perang
Dunia ke II telah membawa banyak permasalahan lahan, lingkungan dan energi, baik pada saat
ini maupun di masa mendatang. Permasalahan ini mungkin tidak disadari sejak awal
pengembangannya atau mungkin disadari, hanya Pemerintah Amerika terlambat mengantisipasi
permasalahan tersebut, sehingga saat ini Amerika menjadi sangat rentan dengan ketidastabilan
ekonomi akibat ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Dilihat dari kesesuaian dengan kriteria pembangunan permukiman berkelanjutan
menurut UN Habitat, pengembangan permukiman di Kawasan Suburban Amerika sama sekali
tidak memenuhi satu pun unsur permukiman berkeberlanjutan, sehingga harus disusun strategi
dan upaya lintas sektor untuk memperbaiki kondisi tersebut. Namun demikian, Pemerintah
Amerika masih cenderung untuk tidak memprioritaskan strategi tersebut, dan lebih berupaya
mengamankan kebutuhan energi dalam rangka menghadapi risiko krisis energi global di masa
mendatang.
Pengembangan kawasan permukiman di pinggiran kota di Indonesia ternyata mengikuti
pola pengembangan yang terjadi di Amerika, dimana kawasan komersial, perumahan dan area
--- 20 ---
industri saling terpisah antar satu dengan yang lain. Sebagai konsekuensinya penggunaan lahan
saling terpisahkan, antara ruang terbuka, infrastruktur atau hambatan lainnya. Pengaturan
penggunaan lahan seperti ini menyebabkan lokasi dimana masyarakat yang tinggal, bekerja,
berbelanja, dan rekreasi memiliki jarak yang jauh, sehingga kegiatan seperti berjalan kaki, transit,
dan bersepeda tidak dapat digunakan, tetapi lebih membutuhkan mobil.
Sebagaimana di Amerika, pengembangan kawasanpinggiran juga ditandai dengan tingkat
penggunaan mobil yang tinggi sebagai alat transportasi, kondisi ini biasa disebut
dengan automobile dependency. Kebanyakan aktivitas disana, seperti berbelanja dan melaju
(commuting to work), membutuhkan mobil atau sepeda motor sebagai akibat dari isolasi area
dari zona perumahan dengan kawasan industri dan kawasan komersial. Berjalan kaki dan metode
transit lainnya tidak cocok untuk digunakan, karena banyak dari area ini yang hanya memiliki
sedikit bahkan tidak sama sekali area yang dikhususkan bagi pejalan kaki. Sebagai dampak dari
fenomena ini adalah meningkatnya konsumsi energi oleh manusia yang menyebabkan
peningkatan polusi dari hasil aktivitas tersebut, juga ketersediaan dari energi dan sumber daya
alam juga akan semakin berkurang karena tingkat konsumsi dari manusia yang semakin tinggi
pula.
Untuk mengurangi pengembangan permukiman yang tidak berkelanjutan ini, strategi dan
upaya baru pengembangan permukiman harus mulai disusun dan diimplementasikan. Kota
megapolitan Indonesia seperti DKI Jakarta saat ini telah memulai pembangunan-pembangunan
hunian vertikal yang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Langkah ini cukup baik
karena dapat mengurangi intensitas permasalahan yang akan muncul sebagai imbas dari
pembangunan permukiman yang tidak berkelanjutan. Melalui kebijakan relokasi dari
permukiman kumuh ke hunian vertikal, secara langsung atau tidak langsung Pemerintah DKI
Jakarta telah mengupayakan dan memperkenalkan prinsip New Urbanism kepada masyarakat
umum bahwa kepemilikan rumah tidak harus disertai dengan kepemilikan tanah, mengingat
lahan relatif terbatas dan tidak semua bisa digunakan untuk penggunaan lahan permukiman.
--- 21 ---
DAFTAR PUSTAKA
Ames, D. L. 1995. Interpreting Post-World War II Suburban Landscape as Historic Resources.
Dalam Slaton, D., & Schiffer, R. A (ed). Preserving The Recent Past. Washington, DC:
Historic Preservation Education Foundation.
Ardiwijaya, V. S., Soemardi, T. P., Suganda, E., & Temenggung, Y. A. (2014). Bandung Urban Sprawl
and Idle Land: Spatial Development Perspectives. APCBEE Procedia, 10, 208-213.
Batudoka, Z. (2005). Kota Baru dan Aspek Permukiman Mendepan. Jurnal Smartek, 3 (1), 27-36.
Bhatta, B. 2010. Analysis of Urban Growth and Sprawl from Remote Sensing. Berlin: Springer-
Verlag Berlin Heidelberg.
Bruegmann, R. 2005. Sprawl: A Compact History. Chicago: University of Chicago Press.
Dimitra, S., & Yuliastuti, N. (2012). Potensi Kampung Nelayan Sebagai Modal Permukiman
Berkelanjutan di Tambaklorok, Kelurahan Tanjung Mas. Jurnal Teknik PWK, 1 (1), 11-19.
Firman, T. (2008). The Patterrns of Indonesia’s Urbanization, 1980-2007. Paper dipresentasikan di
2008 Population Association of America Annual Meeting Program.
Gillham, O. (2002). The Limitless City: A Primer on the Urban Sprawl Debate. Washington D.C:
Island Press.
Gordon, P., & Richardson, H. (1997). Are Compact Cities a Desirable Planning Goal?. Journal of the
American Planning Association, 63 (1), 95-106.
Handayani, W., & Rudiarto, I. (2014). Dynamics of Urban Growth in Semarang Metropolitan –
Central Java: An Examination Based on Built-Up Area and Population Change. Journal of
Geography and Geology, 6 (4), 80-87.
Hayden, D. 2004. A Field Guide to Sprawl. New York: W. W. Norton & Co.
Hidajat, J.T., Sitorus, S. R. P., Rustiandi, E., & Machfud. (2013). Urban Sprawl Effects on Settlement
Areas in Urban Fringe of Jakarta Metropolitan Area. Journal of Environment and Earth
Science, 3 (12), 172-179.
James, P., Holden, M., Lewin, M., Neilson, L., Oakley, C., Truter, A., & Wilmoth, D. (2013). Managing
Metropolises by Negotiating Mega-Urban Growth. Dalam Mieg, H., & Töpfer, K.
Institutional and Social Innovation for Sustainable Urban Development. London:
Routledge.
Lewinnek, E. 2014. The Working Man's Reward: Chicago's Early Suburbs and the Roots of American
Sprawl. Oxford: Oxford University Press.
Lopez, R. (2014). Urban Sprawl in the United States: 1970-2010. Cities and Environment, 7 (1), 1-
19.
Mahriyar, Z. M., & Rho, Y. J. (2014). The Compact City Concept in Creating Resilent City and
Transportation System in Surabaya. Procedia – Social and Behavioral Sciences, 135, 41-
49.
Pradoto, W. (2011). Dynamics Of Peri-Urbanization And Socioeconomic Transformation: Case of
Metropolitan Yogyakarta, Indonesia. International Journal Of Arts & Sciences, 4 (27), 19-
29.
--- 22 ---
Sastrawati, I., & Santoso, L. (2011). Perubahan Guna Lahan Di Suburban Selatan Kota Makassar.
Prosiding Hasil Penelitian Fakultas Teknik Unhas, 5, 978–979.
Silverthorn, B. (Produser), & Greene, G. (Sutradara). (2004). The End of Suburbia: Oil Depletion
and the Collapse of the American Dream [Gambar Bergerak]. Kanada: The Electric
Wallpaper Co.
Suarez, R. 1999. The Old Neighborhood: What we lost in the great suburban migration: 1966-1999.
New York: Free Press.
UN Habitat. (2014). A New Strategy of Sustainable Neighbourhood Planning: Five Principles. UN
Habitat Discussion Note 3 Urban Planning.
Vicino, T. J. 2008. Transforming Race and Class in Suburbia: Decline in Metropolitan Baltimore. New
York: Palgrave Macmillan.
Warouw, F. (2014). Pendekatan Desain Berkelanjutan Pada Perumahan Kota di Indonesia “For
Better Engineering”. Media Matrasain, 11 (2), 1-11.
Winkler, R. 2003. Going Wild: Adventures with Birds in the Suburban Wilderness. Washington, D.C.:
National Geographic.
Yunus, H. S. 2005. Klasifikasi Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

More Related Content

What's hot

Aspek Perumahan Dan Permukiman
Aspek Perumahan Dan PermukimanAspek Perumahan Dan Permukiman
Aspek Perumahan Dan Permukiman
pindotutuko
 
Tugas kebutuhan lahan individu
Tugas kebutuhan lahan individu Tugas kebutuhan lahan individu
Tugas kebutuhan lahan individu
Handayani Hutapea
 
RTRW Jakarta 2030 - Perda Prov DKI Jakarta No.1 Tahun 2012
RTRW Jakarta 2030 - Perda Prov DKI Jakarta No.1 Tahun 2012RTRW Jakarta 2030 - Perda Prov DKI Jakarta No.1 Tahun 2012
RTRW Jakarta 2030 - Perda Prov DKI Jakarta No.1 Tahun 2012
inideedee
 

What's hot (20)

Aspek Perumahan Dan Permukiman
Aspek Perumahan Dan PermukimanAspek Perumahan Dan Permukiman
Aspek Perumahan Dan Permukiman
 
Tugas kebutuhan lahan individu
Tugas kebutuhan lahan individu Tugas kebutuhan lahan individu
Tugas kebutuhan lahan individu
 
RTRW Jakarta 2030 - Perda Prov DKI Jakarta No.1 Tahun 2012
RTRW Jakarta 2030 - Perda Prov DKI Jakarta No.1 Tahun 2012RTRW Jakarta 2030 - Perda Prov DKI Jakarta No.1 Tahun 2012
RTRW Jakarta 2030 - Perda Prov DKI Jakarta No.1 Tahun 2012
 
Keterkaitan Dokumen Perencanaan
Keterkaitan Dokumen PerencanaanKeterkaitan Dokumen Perencanaan
Keterkaitan Dokumen Perencanaan
 
152882273-Rdtr-Wp-4-Kab-Bekasi (1).pptx
152882273-Rdtr-Wp-4-Kab-Bekasi (1).pptx152882273-Rdtr-Wp-4-Kab-Bekasi (1).pptx
152882273-Rdtr-Wp-4-Kab-Bekasi (1).pptx
 
Pedoman teknis analisis aspek fisik dan lingkungan, ekonomi, serta sosial bud...
Pedoman teknis analisis aspek fisik dan lingkungan, ekonomi, serta sosial bud...Pedoman teknis analisis aspek fisik dan lingkungan, ekonomi, serta sosial bud...
Pedoman teknis analisis aspek fisik dan lingkungan, ekonomi, serta sosial bud...
 
Perkembangan perencanaan masa ke masa
Perkembangan perencanaan masa ke masaPerkembangan perencanaan masa ke masa
Perkembangan perencanaan masa ke masa
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota SemarangRencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boyolali
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten BoyolaliRencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boyolali
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Boyolali
 
Von thunen lahan pertanian
Von thunen lahan pertanianVon thunen lahan pertanian
Von thunen lahan pertanian
 
Isu dan Masalah Perencanaan Pembangunan Daerah
Isu dan Masalah Perencanaan Pembangunan DaerahIsu dan Masalah Perencanaan Pembangunan Daerah
Isu dan Masalah Perencanaan Pembangunan Daerah
 
Audit, Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Audit, Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan RuangAudit, Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Audit, Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang
 
Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Masa Lampau, Organik atau Terencana? (Studi...
Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Masa Lampau, Organik atau Terencana? (Studi...Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Masa Lampau, Organik atau Terencana? (Studi...
Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Masa Lampau, Organik atau Terencana? (Studi...
 
RDTR, RTBL dan Peraturan Zonasi dalam sistem perencanaan tata ruang di Indonesia
RDTR, RTBL dan Peraturan Zonasi dalam sistem perencanaan tata ruang di IndonesiaRDTR, RTBL dan Peraturan Zonasi dalam sistem perencanaan tata ruang di Indonesia
RDTR, RTBL dan Peraturan Zonasi dalam sistem perencanaan tata ruang di Indonesia
 
Matriks itbx 2
Matriks itbx 2Matriks itbx 2
Matriks itbx 2
 
Rtrw gresik
Rtrw gresik Rtrw gresik
Rtrw gresik
 
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) yang Berkualitas
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) yang BerkualitasRencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) yang Berkualitas
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) yang Berkualitas
 
Pengawasan keuangan negara
Pengawasan keuangan negaraPengawasan keuangan negara
Pengawasan keuangan negara
 
Teori teori ekonomi regional
Teori teori ekonomi regionalTeori teori ekonomi regional
Teori teori ekonomi regional
 
Pemanfaatan Tata Ruang di Daerah
Pemanfaatan Tata Ruang di DaerahPemanfaatan Tata Ruang di Daerah
Pemanfaatan Tata Ruang di Daerah
 

Viewers also liked

58443826 e-book-regional
58443826 e-book-regional58443826 e-book-regional
58443826 e-book-regional
Aroel Shylla
 
Belajar arc gis 10.2 10.3
Belajar arc gis 10.2 10.3Belajar arc gis 10.2 10.3
Belajar arc gis 10.2 10.3
Beni Raharjo
 
18. sni 6502.2 2010 spesifikasi penyajian peta rupa bumi 25.000
18. sni 6502.2 2010 spesifikasi penyajian peta rupa bumi 25.00018. sni 6502.2 2010 spesifikasi penyajian peta rupa bumi 25.000
18. sni 6502.2 2010 spesifikasi penyajian peta rupa bumi 25.000
Nani Haerani
 
Alam Sebagai Media Belajar dan Pembentukan Karakter
Alam Sebagai Media Belajar dan Pembentukan KarakterAlam Sebagai Media Belajar dan Pembentukan Karakter
Alam Sebagai Media Belajar dan Pembentukan Karakter
Anggi Hafiz
 
Georisk buku pedoman analisis risiko (penanggulangan bencana)
Georisk buku pedoman analisis risiko (penanggulangan bencana)Georisk buku pedoman analisis risiko (penanggulangan bencana)
Georisk buku pedoman analisis risiko (penanggulangan bencana)
Achmad Wahid
 

Viewers also liked (20)

Role of Public Infrastructure Investment in Development Theory and its releva...
Role of Public Infrastructure Investment in Development Theory and its releva...Role of Public Infrastructure Investment in Development Theory and its releva...
Role of Public Infrastructure Investment in Development Theory and its releva...
 
Perencanaan Hub Logistik Sederhana Berbasis Tabulasi Silang dan GIS
Perencanaan Hub Logistik Sederhana Berbasis Tabulasi Silang dan GISPerencanaan Hub Logistik Sederhana Berbasis Tabulasi Silang dan GIS
Perencanaan Hub Logistik Sederhana Berbasis Tabulasi Silang dan GIS
 
Modul GIS (QGIS) Diklat GPS dan GIS BPSDM Kementerian PUPR, April 2016
Modul GIS (QGIS) Diklat GPS dan GIS BPSDM Kementerian PUPR, April 2016Modul GIS (QGIS) Diklat GPS dan GIS BPSDM Kementerian PUPR, April 2016
Modul GIS (QGIS) Diklat GPS dan GIS BPSDM Kementerian PUPR, April 2016
 
Mengapa Gameloft Memilih Yogyakarta?
Mengapa Gameloft Memilih Yogyakarta?Mengapa Gameloft Memilih Yogyakarta?
Mengapa Gameloft Memilih Yogyakarta?
 
Remote Sensing For Geomorphology, Image Processing, Short Tutorial Using ArcG...
Remote Sensing For Geomorphology, Image Processing, Short Tutorial Using ArcG...Remote Sensing For Geomorphology, Image Processing, Short Tutorial Using ArcG...
Remote Sensing For Geomorphology, Image Processing, Short Tutorial Using ArcG...
 
ekonomi regional dan perkotaan : konsentrasi tanpa kepadatan ; kebijakan untu...
ekonomi regional dan perkotaan : konsentrasi tanpa kepadatan ; kebijakan untu...ekonomi regional dan perkotaan : konsentrasi tanpa kepadatan ; kebijakan untu...
ekonomi regional dan perkotaan : konsentrasi tanpa kepadatan ; kebijakan untu...
 
Tutorial ASTER Imagery Orthorectification Using ENVI Software
Tutorial ASTER Imagery Orthorectification Using ENVI SoftwareTutorial ASTER Imagery Orthorectification Using ENVI Software
Tutorial ASTER Imagery Orthorectification Using ENVI Software
 
Aglomerasi Ekonomi di Indonesia, Sebuah Sintesa
Aglomerasi Ekonomi di Indonesia, Sebuah SintesaAglomerasi Ekonomi di Indonesia, Sebuah Sintesa
Aglomerasi Ekonomi di Indonesia, Sebuah Sintesa
 
From Potentials and Problems to Actions and Plans (Simulation Studies of Regi...
From Potentials and Problems to Actions and Plans (Simulation Studies of Regi...From Potentials and Problems to Actions and Plans (Simulation Studies of Regi...
From Potentials and Problems to Actions and Plans (Simulation Studies of Regi...
 
Sedimentation in Tempe Lake Sulawesi and its future problems
Sedimentation in Tempe Lake Sulawesi and its future problemsSedimentation in Tempe Lake Sulawesi and its future problems
Sedimentation in Tempe Lake Sulawesi and its future problems
 
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS INFRASTRUKTUR PEKERJAAN UMUM (SIGI-PU) U...
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS INFRASTRUKTUR PEKERJAAN UMUM  (SIGI-PU) U...APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS INFRASTRUKTUR PEKERJAAN UMUM  (SIGI-PU) U...
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS INFRASTRUKTUR PEKERJAAN UMUM (SIGI-PU) U...
 
Analisis potensi Ekonomi Regional
Analisis potensi Ekonomi RegionalAnalisis potensi Ekonomi Regional
Analisis potensi Ekonomi Regional
 
konsep ekonomi regional
konsep ekonomi regionalkonsep ekonomi regional
konsep ekonomi regional
 
58443826 e-book-regional
58443826 e-book-regional58443826 e-book-regional
58443826 e-book-regional
 
Belajar arc gis 10.2 10.3
Belajar arc gis 10.2 10.3Belajar arc gis 10.2 10.3
Belajar arc gis 10.2 10.3
 
Pp 10-2000-ketelitian peta
Pp 10-2000-ketelitian petaPp 10-2000-ketelitian peta
Pp 10-2000-ketelitian peta
 
18. sni 6502.2 2010 spesifikasi penyajian peta rupa bumi 25.000
18. sni 6502.2 2010 spesifikasi penyajian peta rupa bumi 25.00018. sni 6502.2 2010 spesifikasi penyajian peta rupa bumi 25.000
18. sni 6502.2 2010 spesifikasi penyajian peta rupa bumi 25.000
 
Alam Sebagai Media Belajar dan Pembentukan Karakter
Alam Sebagai Media Belajar dan Pembentukan KarakterAlam Sebagai Media Belajar dan Pembentukan Karakter
Alam Sebagai Media Belajar dan Pembentukan Karakter
 
Georisk buku pedoman analisis risiko (penanggulangan bencana)
Georisk buku pedoman analisis risiko (penanggulangan bencana)Georisk buku pedoman analisis risiko (penanggulangan bencana)
Georisk buku pedoman analisis risiko (penanggulangan bencana)
 
Ekonomi regional
Ekonomi regionalEkonomi regional
Ekonomi regional
 

Similar to Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

Bab ii Rancang Kota
Bab ii Rancang KotaBab ii Rancang Kota
Bab ii Rancang Kota
Latifah Tio
 
Bab iv rancang kota konsep perancangan
Bab iv rancang kota konsep perancanganBab iv rancang kota konsep perancangan
Bab iv rancang kota konsep perancangan
Latifah Tio
 
Men seminar050601 reformasiperkotaan
Men seminar050601 reformasiperkotaanMen seminar050601 reformasiperkotaan
Men seminar050601 reformasiperkotaan
Sari Faizah
 
AKDP.PKP.UTS.Muhammadhisyam.05072020 (1).pptx
AKDP.PKP.UTS.Muhammadhisyam.05072020 (1).pptxAKDP.PKP.UTS.Muhammadhisyam.05072020 (1).pptx
AKDP.PKP.UTS.Muhammadhisyam.05072020 (1).pptx
nurrahmanHakim2
 
Bab 2 teori dan kebijakan
Bab 2   teori dan kebijakanBab 2   teori dan kebijakan
Bab 2 teori dan kebijakan
dandi rustandi
 
Ppwp 1a
Ppwp 1aPpwp 1a
Ppwp 1a
gunjul
 
Konsep pembangunan berkelanjutan
Konsep pembangunan berkelanjutanKonsep pembangunan berkelanjutan
Konsep pembangunan berkelanjutan
Budy Jafar
 

Similar to Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream) (20)

Bab ii Rancang Kota
Bab ii Rancang KotaBab ii Rancang Kota
Bab ii Rancang Kota
 
Bab iv rancang kota konsep perancangan
Bab iv rancang kota konsep perancanganBab iv rancang kota konsep perancangan
Bab iv rancang kota konsep perancangan
 
Men seminar050601 reformasiperkotaan
Men seminar050601 reformasiperkotaanMen seminar050601 reformasiperkotaan
Men seminar050601 reformasiperkotaan
 
AKDP.PKP.UTS.Muhammadhisyam.05072020 (1).pptx
AKDP.PKP.UTS.Muhammadhisyam.05072020 (1).pptxAKDP.PKP.UTS.Muhammadhisyam.05072020 (1).pptx
AKDP.PKP.UTS.Muhammadhisyam.05072020 (1).pptx
 
01 asep yudi-permana.edited.
01 asep yudi-permana.edited.01 asep yudi-permana.edited.
01 asep yudi-permana.edited.
 
Tugas urbanisasi
Tugas urbanisasiTugas urbanisasi
Tugas urbanisasi
 
Bulletin Khusus Hari Habitat 2012
Bulletin Khusus Hari Habitat 2012Bulletin Khusus Hari Habitat 2012
Bulletin Khusus Hari Habitat 2012
 
Kota 1
Kota 1Kota 1
Kota 1
 
Contoh Sorotan Literatur : Kesan Pembangunan Bandar Baru Terhadap Manusia Dan...
Contoh Sorotan Literatur : Kesan Pembangunan Bandar Baru Terhadap Manusia Dan...Contoh Sorotan Literatur : Kesan Pembangunan Bandar Baru Terhadap Manusia Dan...
Contoh Sorotan Literatur : Kesan Pembangunan Bandar Baru Terhadap Manusia Dan...
 
Bab 2 teori dan kebijakan
Bab 2   teori dan kebijakanBab 2   teori dan kebijakan
Bab 2 teori dan kebijakan
 
Dita Nurlaila Pratiwi 20333016 .INFRASTRUKTUR EPP Prodi EP UGK
Dita Nurlaila Pratiwi 20333016 .INFRASTRUKTUR EPP Prodi EP UGKDita Nurlaila Pratiwi 20333016 .INFRASTRUKTUR EPP Prodi EP UGK
Dita Nurlaila Pratiwi 20333016 .INFRASTRUKTUR EPP Prodi EP UGK
 
Materi pak darrundono kampung masa depan
Materi pak darrundono   kampung masa depanMateri pak darrundono   kampung masa depan
Materi pak darrundono kampung masa depan
 
Mp 4 konsepsi permukiman perkotaan berkelanjutan
Mp 4   konsepsi permukiman perkotaan berkelanjutanMp 4   konsepsi permukiman perkotaan berkelanjutan
Mp 4 konsepsi permukiman perkotaan berkelanjutan
 
Ppwp 1a
Ppwp 1aPpwp 1a
Ppwp 1a
 
ppt tugas teori pembangunan new.pptx
ppt tugas teori pembangunan new.pptxppt tugas teori pembangunan new.pptx
ppt tugas teori pembangunan new.pptx
 
304187011 reklamasi-pantai-makalah
304187011 reklamasi-pantai-makalah304187011 reklamasi-pantai-makalah
304187011 reklamasi-pantai-makalah
 
Menuju Kota Tanpa Permukiman Kumuh
Menuju Kota Tanpa Permukiman KumuhMenuju Kota Tanpa Permukiman Kumuh
Menuju Kota Tanpa Permukiman Kumuh
 
Konsep pembangunan berkelanjutan
Konsep pembangunan berkelanjutanKonsep pembangunan berkelanjutan
Konsep pembangunan berkelanjutan
 
Pembangunan Vertikal dan Berwawasan Lingkungan
Pembangunan Vertikal dan Berwawasan LingkunganPembangunan Vertikal dan Berwawasan Lingkungan
Pembangunan Vertikal dan Berwawasan Lingkungan
 
Makalah new urbanism
Makalah new urbanismMakalah new urbanism
Makalah new urbanism
 

More from bramantiyo marjuki

Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...
Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...
Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...
bramantiyo marjuki
 

More from bramantiyo marjuki (20)

Pemanfaatan Citra Satelit Medium Resolution Untuk Pemetaan Urban FootPrint
Pemanfaatan Citra Satelit Medium Resolution Untuk Pemetaan Urban FootPrintPemanfaatan Citra Satelit Medium Resolution Untuk Pemetaan Urban FootPrint
Pemanfaatan Citra Satelit Medium Resolution Untuk Pemetaan Urban FootPrint
 
How to choose SAR satellite imagery for a good interferometric processing
How to choose SAR satellite imagery for a good interferometric processingHow to choose SAR satellite imagery for a good interferometric processing
How to choose SAR satellite imagery for a good interferometric processing
 
Crowsource Mapping, Captures Neography Practices
Crowsource Mapping, Captures Neography PracticesCrowsource Mapping, Captures Neography Practices
Crowsource Mapping, Captures Neography Practices
 
PENERAPAN TEKNIK PEMETAAN PARTISIPATIF UNTUK MENDUKUNG PENYUSUNAN BASIS DATA...
PENERAPAN TEKNIK PEMETAAN PARTISIPATIF UNTUK  MENDUKUNG PENYUSUNAN BASIS DATA...PENERAPAN TEKNIK PEMETAAN PARTISIPATIF UNTUK  MENDUKUNG PENYUSUNAN BASIS DATA...
PENERAPAN TEKNIK PEMETAAN PARTISIPATIF UNTUK MENDUKUNG PENYUSUNAN BASIS DATA...
 
Pan Sharpening (Transkrip Kuliah Telegram) di Group Telegram GIS.ID
Pan Sharpening (Transkrip Kuliah Telegram) di Group Telegram GIS.ID Pan Sharpening (Transkrip Kuliah Telegram) di Group Telegram GIS.ID
Pan Sharpening (Transkrip Kuliah Telegram) di Group Telegram GIS.ID
 
Mapping Water features from SAR Imagery
Mapping Water features from SAR ImageryMapping Water features from SAR Imagery
Mapping Water features from SAR Imagery
 
Ingin Belajar Penginderaan Jauh Bersama Saya ?
Ingin Belajar Penginderaan Jauh Bersama Saya ?Ingin Belajar Penginderaan Jauh Bersama Saya ?
Ingin Belajar Penginderaan Jauh Bersama Saya ?
 
Final Report WWF Landcover and High Conservation Area Mapping, North Borneo 2017
Final Report WWF Landcover and High Conservation Area Mapping, North Borneo 2017Final Report WWF Landcover and High Conservation Area Mapping, North Borneo 2017
Final Report WWF Landcover and High Conservation Area Mapping, North Borneo 2017
 
FGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan Utara
FGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan UtaraFGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan Utara
FGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan Utara
 
Laporan KKL PPW 2016 MPWK UNDIP, BALI
Laporan KKL PPW 2016 MPWK UNDIP, BALILaporan KKL PPW 2016 MPWK UNDIP, BALI
Laporan KKL PPW 2016 MPWK UNDIP, BALI
 
Wonogiri Development, Reduce Disparity, Reduce Inequity (Final Report Plannin...
Wonogiri Development, Reduce Disparity, Reduce Inequity (Final Report Plannin...Wonogiri Development, Reduce Disparity, Reduce Inequity (Final Report Plannin...
Wonogiri Development, Reduce Disparity, Reduce Inequity (Final Report Plannin...
 
Stakeholder Approach benefits in Organization Practices
Stakeholder Approach benefits in Organization PracticesStakeholder Approach benefits in Organization Practices
Stakeholder Approach benefits in Organization Practices
 
Jenang Cluster Local Development in Kudus District
Jenang Cluster Local Development in Kudus DistrictJenang Cluster Local Development in Kudus District
Jenang Cluster Local Development in Kudus District
 
Planning theory in Toll Road Provision in Indonesia
Planning theory in Toll Road Provision in IndonesiaPlanning theory in Toll Road Provision in Indonesia
Planning theory in Toll Road Provision in Indonesia
 
Planning theory in Waster Management
Planning theory in Waster ManagementPlanning theory in Waster Management
Planning theory in Waster Management
 
Implementation of Planning and development theories to Waster Management in K...
Implementation of Planning and development theories to Waster Management in K...Implementation of Planning and development theories to Waster Management in K...
Implementation of Planning and development theories to Waster Management in K...
 
A translation paper about Cellular Automata,
A translation paper about Cellular Automata, A translation paper about Cellular Automata,
A translation paper about Cellular Automata,
 
Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...
Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...
Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...
 
Perkembangan Infrastruktur Provinsi Jawa Tengah Selama 10 Tahun
Perkembangan Infrastruktur Provinsi Jawa Tengah Selama 10 TahunPerkembangan Infrastruktur Provinsi Jawa Tengah Selama 10 Tahun
Perkembangan Infrastruktur Provinsi Jawa Tengah Selama 10 Tahun
 
Critical review insights debate about urban decline urban regeneration
Critical review insights debate about urban decline  urban regenerationCritical review insights debate about urban decline  urban regeneration
Critical review insights debate about urban decline urban regeneration
 

Recently uploaded

Analisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksi
Analisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksiAnalisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksi
Analisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksi
MemenAzmi1
 

Recently uploaded (12)

PATROLI dengan BERBASIS MASYARAKAT Kehutananan
PATROLI dengan BERBASIS MASYARAKAT KehutanananPATROLI dengan BERBASIS MASYARAKAT Kehutananan
PATROLI dengan BERBASIS MASYARAKAT Kehutananan
 
Materi Kelas 8 - Unsur, Senyawa dan Campuran.pptx
Materi Kelas 8 - Unsur, Senyawa dan Campuran.pptxMateri Kelas 8 - Unsur, Senyawa dan Campuran.pptx
Materi Kelas 8 - Unsur, Senyawa dan Campuran.pptx
 
Petunjuk Teknis Penggunaan Aplikasi OSNK 2024
Petunjuk Teknis Penggunaan Aplikasi OSNK 2024Petunjuk Teknis Penggunaan Aplikasi OSNK 2024
Petunjuk Teknis Penggunaan Aplikasi OSNK 2024
 
Lampiran 4 _ Lembar Kerja Rencana Pengembangan Kompetensi DIri_Titin Solikhah...
Lampiran 4 _ Lembar Kerja Rencana Pengembangan Kompetensi DIri_Titin Solikhah...Lampiran 4 _ Lembar Kerja Rencana Pengembangan Kompetensi DIri_Titin Solikhah...
Lampiran 4 _ Lembar Kerja Rencana Pengembangan Kompetensi DIri_Titin Solikhah...
 
MATERI IPA KELAS 9 SMP: BIOTEKNOLOGI ppt
MATERI IPA KELAS 9 SMP: BIOTEKNOLOGI pptMATERI IPA KELAS 9 SMP: BIOTEKNOLOGI ppt
MATERI IPA KELAS 9 SMP: BIOTEKNOLOGI ppt
 
Dana Setiawan (Paparan terkait Konstruksi Jalan )
Dana Setiawan   (Paparan terkait Konstruksi Jalan )Dana Setiawan   (Paparan terkait Konstruksi Jalan )
Dana Setiawan (Paparan terkait Konstruksi Jalan )
 
Soal Campuran Asam Basa Kimia kelas XI.pdf
Soal Campuran Asam Basa Kimia kelas XI.pdfSoal Campuran Asam Basa Kimia kelas XI.pdf
Soal Campuran Asam Basa Kimia kelas XI.pdf
 
bagian 2 pengujian hipotesis deskriptif 1 sampel
bagian 2 pengujian hipotesis deskriptif 1 sampelbagian 2 pengujian hipotesis deskriptif 1 sampel
bagian 2 pengujian hipotesis deskriptif 1 sampel
 
PPT KLONING (Domba Dolly), perkembangan kloning hewan, mekanisme kloning hewa...
PPT KLONING (Domba Dolly), perkembangan kloning hewan, mekanisme kloning hewa...PPT KLONING (Domba Dolly), perkembangan kloning hewan, mekanisme kloning hewa...
PPT KLONING (Domba Dolly), perkembangan kloning hewan, mekanisme kloning hewa...
 
Analisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksi
Analisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksiAnalisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksi
Analisis varinasi (anova) dua arah dengan interaksi
 
Uji hipotesis, prosedur hipotesis, dan analisis data
Uji hipotesis, prosedur hipotesis, dan analisis dataUji hipotesis, prosedur hipotesis, dan analisis data
Uji hipotesis, prosedur hipotesis, dan analisis data
 
Ruang Lingkup Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank
Ruang Lingkup Lembaga Keuangan Bank dan Non BankRuang Lingkup Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank
Ruang Lingkup Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank
 

Urban Sprawl and Energy Provision (Moview Review and Synthesis to Indonesian Context of The End Of Suburbia, Oil Depletion and the Collapse of American Dream)

  • 1. TUGAS MATA KULIAH SISTEM PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH (PPW604) Dosen Pengampu Dr. Fadjar Hari Mardiansjah, ST, MT, MDP. KEMUNCULAN, PERKEMBANGAN DAN PERMASALAHAN KAWASAN PERMUKIMAN DI PINGGIRAN KOTA (SUB-URBAN) AMERIKA UTARA DAN PEMBELAJARANNYA UNTUK INDONESIA (Review Film Dokumenter The End of Suburbia: Oil Depletion and The Collapse of The American Dream) Disusun oleh: BRAMANTIYO MARJUKI 21040116410036 MISSY HARIYANTI WIJAYA 21040116410015 MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2016
  • 2. --- 1 --- I. PENDAHULUAN Film Dokumenter The End of Suburbia: Oil Depletion and The Collapse of The American Dream adalah sebuah film dokumenter yang dibuat oleh Gregory Greene, Barry Silverthorn dan Barrie Zwicker, yang diproduksi pada Tahun 2004 dan diterbitkan oleh Electric Wallpaper Co. Film ini membidik kemunculan, perkembangan dan permasalahan kawasan permukiman perkotaan di daerah pinggiran (suburbia) yang muncul dan berkembang pasca Perang Dunia ke II di banyak kota di Amerika Serikat, sebagai efek dari suburbanisasi yang dipicu oleh pertumbuhan industri perkotaan dan revolusi transportasi berbasis bahan bakar minyak. Kemunculan awal kawasan suburbia dipandang sebagai realisasi dari American Dream yang merupakan cita-cita dari masyarakat perkotaan Amerika, namun pada perkembangannya memberikan banyak permasalahan akibat ketergantungan pada bahan bakar fosil dan selain juga berbagai faktor lainnya. Tulisan ini disusun guna merefleksikan apa yang terjadi pada fenomena Suburbia di Amerika melalui review film tersebut, ditunjang dengan literatur pendukung, dan diakhiri dengan komparasi dengan fenomena serupa yang terjadi di Indonesia. Struktur tulisan dimulai dari uraian mengenai konsepsi dan teori pengembangan permukiman, dilanjutkan dengan deskripsi kasus dari hasil observasi film yang ditunjang dengan literatur pendukung, komparasi aspek teori dengan realisasi yang terjadi di Amerika, dan diakhiri dengan observasi fenomena serupa di Indonesia, serta kemungkinan apa yang dapat dipelajari dan dihindari agar permasalahan yang sama tidak terjadi di Indonesia, terutama jika dilihat dari konsep pengembangan permukiman berkelanjutan. II. PENGEMBANGAN PERMUKIMAN BERKELANJUTAN DAN URBAN SPRAWL II.1 Permukiman Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan permukiman, permukiman didefinisikan sebagai bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempuyai prasarana, sarana. Utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau perdesaan. Munculnya permukiman menurut Batudoka (2005), bermula dari lingkup yang kecil, yaitu aktivitas manusia membuat rumah untuk bertempat tinggal dan berlindung. Dari rumah secara individual kemudian berkembang menjadi beberapa rumah yang dihuni oleh keluarga dan pada akhirnya menjadi banyak rumah membentuk kompleks permukiman. Permukiman berkembang melengkapi diri dengan sarana seperti sarana sosial, pendidikan, pemerintahan, keagamaan, olahraga, rekreasi, kesehatan dan perekonomian. Selain itu, permukiman juga berkembang melengkapi diri dengan
  • 3. --- 2 --- prasarana pendukung seperti jalan, saluran drainase, dan saluran air bersih. Hasil interaksi permukiman dengan lingkungan alam, lingkungan binaan dan lingkungan sosial akan membentuk kawasan permukiman yang berbeda karakteristiknya, seperti permukiman perkotaan, permukiman perdesaan, permukiman pesisir, dan permukiman kawasan industri (Dimitra dan Yuliastuti, 2012). II.2 Pengembangan Permukiman Berkelanjutan Pengembangan permukiman di abad ke 21 tidak dapat dipisahkan dari konteks tren dan permasalahan permukiman yang terjadi di seluruh dunia. Bab 7 dari Kesepakatan Agenda 21 dari hasil Konferensi Tingkat Tinggi Pembangunan Berkelanjutan pada tahun 1992 menyepakati akan pentingnya isu permukiman berkelanjutan pada saat ini dan di masa mendatang. Pengembangan permukiman berkelanjutan merupakan aksi multi dimensi yang meliputi: (1) penyediaan rumah layak; (2) pengelolaan dan penggunaan tanah secara berkelanjutan; (3) penggunaan energi berkelanjutan; (4) sistem transportasi permukiman berkelanjutan; (5) pengelolaan kawasan permukiman di daerah rawan bencana; dan (6) industri dan konstruksi berkelanjutan. Konteks keberlanjutan sendiri menurut hasil KTT Bumi Rio De Janeiro Tahun 1992 dapat didefinisikan sebagai “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi berikutnya di masa depan”. Pembangunan berkelanjutan dipandang sebagai proses banyak dimensi yang mengkoneksikan dan menyelaraskan antara pembangunan ekonomi, sosial dan budaya dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan. Sehingga dalam hal ini permukiman berkelanjutan dapat didefinsikan sebagai kota, lingkungan hunian, desa dan masyarakat yang ada di dalamnya yang memungkinkan untuk hidup dengan cara yang mendukung status keberlanjutan dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Warouw, 2014). Khusus untuk lingkungan perkotaan, aspek keberlanjutan harus tercermin dari atribut kota itu sendiri, baik konstruksi, sistem kelembagaan sosial ekonomi, UN Habitat dalam Warouw (2014) memperkenalkan lima prinsip sebagai strategi baru dalam perencanaan lingkungan hunian dan permukiman berkelanjutan (Gambar 1).
  • 4. --- 3 --- Gambar 1 Kriteria Pengembangan Permukiman Berkelanjutan (Sumber: UN HABITAT dalam Warouw, 2014) II.3 Fenomena Urban Sprawl Urban sprawl adalah suatu proses perluasan kegiatan perkotaan ke wilayah pinggiran yang melimpah, dengan kata lain terjadi proses pengembangan kenampakan fisik suatu perkotaan ke arah luar. Lebih jauh lagi, definisi dari urban sprawl adalah suatu proses perubahan fungsi dari wilayah yang bernama perdesaan menjadi wilayah perkotaan (Gillham, 2002). Perdesaan yang selama ini dianggap sebagai penyokong kehidupan perkotaan, yang membantu kota dalam pemenuhan kebutuhannya terutama dalam bidang pertanian, budidaya, kawasan lindung dan non-industri, justru mengalami kenaikan tingkat fungsi guna lahan, menjadi kawasan permukiman padat penduduk, bahkan kawasan industri. Urban sprawl merupakan salah satu bentuk perkembangan kota yang dilihat dari segi fisik seperti bertambahnya gedung secara vertikal maupun horisontal, bertambahnya jalan, tempat parkir, maupun saluran drainase kota. Banyak alasan yang mendasari terjadinya fenomena urban sprawl ini. Mulai dari perilaku masyarakat yang lebih memilih untuk bermukim diarea pinggiran kota, asumsi harga lahan yang lebih murah dan terjangkau serta kondisi udara yang masih sehat, belum banyak tercemari seperti pusat kota. Selain itu alasan yang juga menyebabkan masyarakat memilih tinggal diarea pinggiran kota adalah karena belum terlalu padat penduduk yang ada disana, jika dibandingkan dengan kawasan perkotaan, Ditambah karena memiliki akses yang dekat untuk menuju ke pusat kota.
  • 5. --- 4 --- Seiring berjalannya waktu, dengan semakin meningkatnya pendapatan mereka, penduduk yang semula menyewa rumah diarea perkotaan karena ingin dekat dengan tempat dimana mereka bekerja, sebagian besar/mayoritas memilih untuk tinggal di luar kota (pinggiran kota) agar dapat memiliki rumah tinggal sendiri. Walaupun pada sebagian penduduk yang berpenghasilan rendah dengan terpaksa menempati rumah tinggal yang sempit dan kumuh, asalkan rumah tersebut miliknya sendiri. Sehingga biaya sewa rumah tidak lagi menjadi beban bagi anggaran rutin mereka. Karena tidak terlalu dekatnya tempat tinggal mereka dengan lokasi dimana mereka bekerja, masyarakat di pinggiran kota yang lebih cenderung menggunakan moda kendaraan pribadi seperti sepeda motor dan mobil pribadi untuk menuju lokasi kegiatan mereka yang lebih terkonsentrasi di pusat kota. Sedangkan banyaknya angkutan umum bermotor seperti bus, oplet dan taxi dapat mengindikasikan terjadinya fenomena urban sprawl ini. Dimana salah satu alasannya adalah pembuktian bahwa belum memadainya tingkat pelayanan fasilitas bagi masyarakat pinggiran kota, dalam hal ini adalah angkutan umum. Kurangnya pelayanan transportasi (angkutan umum) bagi masyarakat di pinggiran kota untuk menuju pusat kota jika dibandingkan dengan di pusat kota, sehingga gejala ini menjadikan angkutan umum seolah-olah disediakan hanya bagi warga yang tidak memiliki kendaraan pribadi (captive people). Proses urban sprawl menurut Yunus (2005), ditinjau dari proses perkembanganya spasial fisik kota dapat diidentifikasi: a. Secara horizontal, yang meliputi: 1. Sentrifugal, adalah proses bertambahnya ruang kekotaan yang berjalan ke arah luar dari daerah kekotaan yang sudah terbangun dan mengambil tempat di daerah pingiran kota. Proses inilah yang memicu dan memacu bertambahnya luasnya areal perkotaan. Makin cepat proses ini berjalan, makin cepat pula perkembangan kota secara fisikal. 2. Sentripetal, adalah proses penambanhan bengunan-bangunan kekotaan di bagian dalam kota (pada lahan kosong/ruang terbuka kota). b. Secara Vertikal, penambahan ruang kota dengan menambah jumlah lantai (bangunan bertingkat).
  • 6. --- 5 --- II.4 Karakteristik Urban sprawl Keberadaan sprawl menurut Gordon dan Richardson (1997) ditandai dengan adanya beberapa perubahan pola guna lahan yang terjadi secara serempak, seperti sebagai berikut: 1. Single-use zoning Keadaan ini menunjukkan situasi dimana kawasan komersial, perumahan dan area industri saling terpisah antar satu dengan yang lain. Sebagai konsekuensinya, bidang besar tanah digunakan sebagai penggunaan lahan tunggal yang saling terpisahkan, antara ruang terbuka, infrastruktur atau hambatan lainnya. Sebagai hasilnya, lokasi dimana masyarakat yang tinggal, bekerja, berbelanja, dan rekreasi memiliki jarak yang jauh, antara satu dan yang lainnya, sehingga kegiatan seperti berjalan kaki, transit, dan bersepeda tidak dapat digunakan, tetapi lebih membutuhkan mobil. 2. Low-density zoning Sprawl mengkonsumsi jauh lebih banyak penggunaan lahan perkapita dibandingkan perkembangan kota tradisional, karena peraturan penzonaan seharusnya menyatakan bahwa perkembangan Kota seharusnya berada dalam kepadatan penduduk yang rendah. Definisi yang tepat mengenai kepadatan yang rendah ini relatif, contohnya rumah tinggal tunggal, yang sangat luas, kurang dari sama dengan 4 unit per are. Bangunan tersebut memiliki banyak penggunaan lahan dan saling berjauhan satu sama lain, terpisahkan oleh halaman rumput, landscape, jalan atau lahan parkir yang luas. Lahan parkir yang luas jelas didesain untuk jumlah mobil yang banyak. Dampak dari perkembangan kepadatan penduduk yang rendah ini mengalami peningkatan secepat peningkatan populasi pula. Overall density is often lowered by “leap-frog development”. Pada umumnya, pengembang membutuhkan kepastian tingkat persentase bagi pengembangan lahan untuk penggunaan publik, termasuk jalan raya, lapangan parkir dan gedung sekolah. Dahulu, saat pemerintah lokal menunjuk suatu lokasi dan ternyata lahannya kurang, mereka dapat dengan mudah melakukan bernacam jenis perluasan wilayah, karena tidak ada kekuasaan yang tinggi untuk melakukan penghukuman. Pengembang privat jelas tidak memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut. 3. Car-dependent communities Area yang mengalami urban sprawl biasa dikenali dengan tingkat penggunaan mobil yang tinggi sebagai alat transportasi, kondisi ini biasa disebut dengan automobile dependency. Kebanyakan aktivitas disana, seperti berbelanja dan melaju (commuting to work), membutuhkan mobil sebagai akibat dari isolasi area dari zona perumahan dengan
  • 7. --- 6 --- kawasan industri dan kawasan komersial. Berjalan kaki dan metode transit lainnya tidak cocok untuk digunakan, karena banyak dari area ini yang hanya memiliki sedikit bahkan tidak sama sekali area yang dikhususkan bagi pejalan kaki. II.5 Dampak-dampak yang terjadi akibat fenomena Urban sprawl Setiap peristiwa pasti memiliki dampak bagi lingkungan sekitarnya maupun bagi objek itu sendiri. Sama halnya yang terjadi pada fenomena Urban sprawl ini. Ada beberapa dampak mengenai fenomena ini (Bhatta, 2010). Dampak positifnya adalah: 1. Bertambahnya jumlah penduduk yang akan meningkatkan kepadatan penduduk di wilayah tersebut. 2. Semakin berkembangnya wilayah disekitar kota yang terkena dampak, baik perdesaan maupun perkotaan. Karena akibat semakin banyak penduduk yang bermukim disana, semakin banyak aktivitas yang terjadi yang akan meningkatkan perekonomian wilayah. 3. Bertambahnya infrastruktur di wilayah yang terkena dampak, sebagai supply dari pemerintah setempat akan kebutuhan masyarakatnya. Namun ternyata, selain memiliki dampak positif, fenomena urban sprawl ini juga memiliki dampak yang negatif. Bahkan dengan jumlah yang lebih banyak, diantaranya adalah: 1. Semakin berkurangnya lahan subur untuk pertanian dan lahan sebagai habitat bagi makhluk hidup, selain manusia. Para petani terkadang lebih memilih untuk menjual sawah mereka untuk pengembangan perumahan oleh stakeholders dan meningkatkan persediaan keuangan mereka untuk simpanan dihari tua. Sedangkan kawasan lindung, yang seharusnya memiliki peran untuk melindungi kawasan, serta habitat yang ada didalamnya, keberadaannya juga semakin menyempit karena mengalami perubahan guna lahan, yang dimanfaatkan untuk pembangunan gedung dan perumahan untuk kepentingan manusia. 2. Morfologi kota yang semakin tidak teratur Akibat terjadinya pemekaran kota keluar area yang tidak diawali dengan rencana mengakibatkan morfologi kota menjadi tidak teratur. Terjadi banyak perubahan penggunaan lahan dikawasan yang terkena urban sprawl tersebut, Kondisi existing tidak lagi sesuai dengan rencana awal guna lahan yang tercantum pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Para stakeholders umumnya akan berasumsi bahwa nilai guna ekonomis suatu lahan akan semakin meningkat jika lahan tersebut dijadikan sebagai perumahan, bahkan area komersil yang tentunya akan menguntungkan bagi mereka.
  • 8. --- 7 --- 3. Meningkatnya biaya pajak Lokasi kawasan permukiman yang semakin meluas dan menjauh, terpisah dari pusat kota, menyebabkan biaya dari penyediaan dan pelayanan fasilitas dan infrastruktur yang semakin mahal karena ongkos kirimnya yang lebih mahal. Sehingga pemerintah lokalpun membutuhkan biaya yang ekstra untuk memperluas jaringan pelayanan yang kemudian meningkatkan harga wajib pajak bagi masyarakat setempat. 4. Meningkatnya tingkat polusi pada tanah, air dan udara serta meningkatnya konsumsi energi oleh manusia Semakin banyaknya penduduk yang tinggal disuatu wilayah maka semakin banyak sumber daya yang dibutuhkan dari alam untuk pemenuhan kebutuhan mereka. Semakin banyak juga pengeluaran/ sisa buangan dari proses pengolahannya. Sesuai dengan fungsi alam yang sebenarnya, yaitu sebagai penyedia sumber daya sekaligus sebagai tempat penampungan/limbah yang dihasilkan dari kegiatan manusia tersebut. Oleh karena itu selain menyebabkan peningkatan polusi dari hasil sisa tersebut, ketersediaan dari energi dan sumber daya alam juga akan semakin berkurang karena tingkat konsumsi dari manusia yang semakin tingi pula. II.6 Urban sprawl bukan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Banyak sekali masyarakat yang beranggapan bahwa pasar dan mekanismenya-lah yang mengakibatkan Urban sprawl, serta ketergantungan terhadap kendaraan bermotor, dan pilihan dalam memilih tempat tinggal. Kesimpulan tersebut sangat keliru. Justru, munculnya urban sprawl sebenarnya bisa dikatakan sebagai sebuah upaya yang dikoordinasikan dimana setelah perang dunia II kepentingan swasta mulai diijinkan secara illegal untuk mengganti/ merubah moda transportasi yang telah ada dan berjalan baik ke moda transportasi lain yang memicu timbulnya urban sprawl. Sebagai contoh, Pacific Electric Railway di Los Angeles yang telah menghubungkan seluruh bagian kota dihapuskan akibat lobby yang kuat dari perusahaan pengembang jalan bebas hambatan (Highway). Dengan alasan lebih ekonomis, maka system jaringan kereta api diganti dengan jaringan jalan bebas hambatan yang pada akhirnya mengakibatkan timbulnya kota yang melebar (sprawl). Kota-kota transit yang berkembang pada tempat pemberhentian stasiun KA berubah dengan pola pembangunan yang membentang dan menerus (ribbon development). Lebih lanjut, eratnya hubungan pengembangan jalan bebas hambatan dengan pemerintah telah mengakibatkan dominasi penggunaan kendaraan bermotor, perubahan sistem pajak, dan perubahan peraturan zonasi (zone law) yang pro sprawl. Menurut Lewinnek (2014), akhir-akhir ini kesadaran bahwa Urban sprawl bukan pilihan terbaik untuk tinggal mulai muncul. Kesadaran
  • 9. --- 8 --- ini ditandai dengan tumbunya pergerakan pembangunan dan arsitektural yang dinamakan “ New Urbanism” yang dimulai tahun 80-an sebagai suatu cara untuk menghambat para pengembang dalam membangun sistem perumahan yang mendorong ketergantungan terhadap kendaraan bermotor, mendorong pengembangan pola jalan lingkungan yang ramah masyarakat (people friendly), rumah dengan beranda depan, bangunan multiguna, dan perumahan dengan penghuni dari berbagai kelas masyarakat. New urbanisme ini merupakan upaya untuk kembali membangun masyarakat Amerika Serikat yang sesungguhnya. Uraian lebih lanjut mengenai permasalahan urban sprawl di Amerika akan dibahas pada Bagian III. III. STUDI KASUS PENGEMBANGAN PERMUKIMAN TIDAK BERKELANJUTAN DI AMERIKA. MUNCUL DAN BERKEMBANGNYA KAWASAN PERMUKIMAN DI PINGGIRAN KOTA (SUB-URBAN) DI AMERIKA SERIKAT SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Muncul dan berkembangnya kawasan permukiman perkotaan di daerah pinggiran kota (suburbanisasi) di Amerika Serikat utamanya mulai nampak setelah Perang Dunia ke II selesai. Proses suburbanisasi sendiri jika ditilik dari sisi sejarah telah muncul di Amerika sejak Tahun 1880-an seiring dengan hadirnya teknologi transportasi trem listrik, sehingga memungkinkan penduduk untuk bertempat tinggal tidak harus dekat dengan pusat kota/lokasi tempat kerja (Ames, 1995). Jaringan Trem listrik (Gambar 1) mampu membuka akses ke wilayah belakang yang memungkinkan untuk dilakukan pengembangan permukiman baru dengan waktu tempuh kurang lebih 30 menit ke pusat kota, sehingga suburbanisasi yang muncul pertama kali polanya bersifat radial mengikuti jaringan rel trem (Ames, 1995). Suburbanisasi kemudian berkembang lebih jauh ke belakang pada periode antara Perang Dunia ke I dan Perang Dunia ke II seiring dengan munculnya inovasi teknologi mobil dan kendaraan bermotor pribadi. Suburbanisasi sempat terinterupsi oleh Perang Dunia ke II dan resesi ekonomi yang mengikuti perang tersebut, namun suburbanisasi meningkat lagi dan semakin membesar pada periode pasca perang. Jaringan permukiman radial akibat proses suburbanisasi gelombang pertama pra-perang kemudian berdifusi ke segala arah pada suburbanisasi gelombang kedua pasca-perang membentuk pusat pertumbuhan baru (kota satelit) dan permukiman-permukiman baru yang letaknya jauh dari pusat kota (Ames, 1995).
  • 10. --- 9 --- Gambar 2. Jaringan Transportasi Trem Listrik yang memicu Suburbanisasi Pra-Perang Dunia I (Sumber: Silverthorn dan Greene, 2004) Suburbanisasi di kawasan pinggiran kota pada periode pasca 1945 muncul sebagai imbas kepadatan permukiman dan industrialisasi masif di pusat kota yang menyebabkan pusat kota mengalami penurunan kualitas lingkungan dan menjadi tempat yang kurang layak huni. Hadirnya jaringan transportasi publik trem dan jaringan jalan beserta inovasi mobil berbahan bakar minyak memungkinkan untuk pengembangan permukiman baru di daerah pinggiran yang jauh dari pusat kota. Permukiman baru dibangun dalam pola grid yang dikoneksikan oleh jaringan jalan berpola Cul De Sac. Gambar 3. Permukiman Suburban yang dikembangkan periode pasca perang (Sumber: Silverthorn dan Greene, 2004) Pada awalnya, pengembangan permukiman baru di daerah pinggiran (countryside) ditujukan untuk memfasilitasi veteran muda Perang Dunia II yang telah kembali dari perang, dimana mereka harus segera bekerja dan berkeluarga dan otomatis memerlukan tempat tinggal. Namun dalam perkembangannya, pengembangan permukiman baru ini menarik minat keluarga
  • 11. --- 10 --- muda yang baru memasuki usia produktif dan masyarakat kelas menengah ke atas untuk melakukan migrasi karena menawarkan harga perumahan yang murah dengan kondisi lingkungan yang lebih sehat, namun masih memiliki akses ke pusat kota yang efisien. Terlebih, pengembangan permukiman di kawasan pinggiran ini juga diikuti dengan pengembangan fasilitas ekonomi pemenuh kebutuhan seperti dealer mobil, shopping center, taman, wahana rekreasi dan fasilitas umum lainnya (Gambar 3). Singkatnya, pengembangan kawasan permukiman di pinggiran kota menawarkan kenikmatan dan kemudahan hidup bagi setiap orang yang bertempat tinggal di situ (American dream). Gambar 4. Representasi American Dream (Sumber: Silverthorn dan Greene, 2004) Fenomena suburbanisasi yang melahirkan urban sprawl di perkotaan Amerika terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Infrastruktur transportasi dan fasilitas pelayanan terus dibangun guna mendukung dan mengikuti perkembangan tersebut. Jumlah kepemilikan kendaraan pribadi terus meningkat karena penduduk memerlukan akses dari satu tempat ke tempat lain. Pertumbuhan kendaraan pribadi ini turut menyumbang pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada pertengahan abad ke 20. Selain itu, pada periode ini produksi minyak mentah di Amerika juga sedang melimpah sehingga pertumbuhan kendaraan yang diikuti dengan permintaan bahan bakar yang tinggi dapat diimbangi oleh produksi energi. Pertumbuhan ekonomi dan pendapatan yang diperoleh dari pertumbuhan tersebut digunakan oleh Pemerintah Amerika untuk terus membangun jaringan jalan (utamanya jaringan jalan tol) yang mengkoneksikan pusat-pusat pertumbuhan permukiman baru yang terus mundur ke belakang di kebanyakan kota di Amerika Utara. Fenomena urban sprawl di Amerika Serikat terus berkembang dan meningkat hingga saat ini, namun pola dan kecenderungan perkembangannya mulai berubah sejak tahun 1970-an. Studi yang dilakukan oleh Lopez (2014) menunjukkan laju pertumbuhan urban sprawl di beberapa
  • 12. --- 11 --- kawasan metropolitan Amerika sejak tahun 1970-an mulai mengalami penurunan atau tren yang tetap (steady rate). Penurunan laju urban sprawl ini utamanya disebabkan oleh menurunnya pertumbuhan penduduk perkotaan sejak tahun 1970-an, halangan geografis, kebijakan anti- sprawl, dan keterbatasan pendanaan pembangunan infrastruktur (Lopez, 2014). Berkurangnya laju urban sprawl di Amerika pasca 1970 didasari antara lain oleh munculnya kesadaran bahwa suburbanisasi lebih banyak membawa permasalahan di masa depan daripada menyelesaikan permasalahan kebutuhan perumahan dan permukiman. Urban sprawl di kawasan suburbia Amerika dicirikan dengan pengembangan kelompok permukiman (cluster) kepadatan rendah yang dihubungkan oleh jaringan jalan dengan pola cul de sac (Gambar 5). Pola pengembangan ini dalam perkembangannya dianggap tidak efektif karena pola ini sangat mengandalkan pada kendaraan pribadi untuk melakukan aktivitas ekonomi. Transportasi publik tidak akan efektif untuk mengkoneksikan seluruh wilayah pada tipologi kawasan seperti ini karena memerlukan banyak titik pengumpulan penumpang (shelter) dan rute yang berputar- putar tidak efisien. Di sisi lain, permukiman yang ada memiliki kepadatan yang rendah sehingga kapasitas pengangkutan penumpang di setiap shelter tidak akan efektif jika transportasi publik diharapkan menjangkau seluruh kawasan. Kenyataan yang terjadi di Amerika menunjukkan pada akhirnya penduduk di kawasan suburbia tetap mengandalkan kendaraan pribadi dalam beraktivitas dan seiring dengan terus bertumbuhnya kawasan, permasalahan lain muncul, yaitu kemacetan lalulintas (traffic congestion). Gambar 5 Foto Udara Kawasan Suburbia Amerika dengan Pola Cul de sac (Sumber: Thetyee.com) Pengembangan kawasan suburban di Amerika dengan pola cluster dan jaringan jalan cul de sac juga memerlukan lahan yang luas dan pada akhirnya mengancam lahan pertanian di daerah perdesaan (countryside). Kelestarian lingkungan pun ikut terancam karena dalam praktek pengembangannya, kawasan suburban mengekspansi lahan-lahan yang memberikan fungsi lindung bagi keragaman biota darat dan keseimbangan ekologis. Hal ini cukup ironis, karena maksud awal dari pengembangan kawasan suburban adalah menawarkan kehidupan suasana
  • 13. --- 12 --- perdesaan yang asri dan sehat, namun dalam kenyataannya masyarakat yang terbentuk masih terikat dengan kota dan tetap memilih beraktivitas di kota, sehingga kawasan suburbia justru malah membawa efek negatif perkotaan menuju perdesaan (individualisme, kemacetan, polusi, sampah, pencemaran air). Pengembangan kawasan suburbia mengharuskan pemerintah Amerika mengalokasikan dana yang tidak sedikit guna membangun jaringan jalan untuk mengkoneksikan pusat-pusat permukiman yang menyebar. Dana pembangunan dan pengelolaan jaringan jalan ini sedemikian besar sehingga alokasi untuk transportasi publik semakin berkurang. Oleh karena itu tidak heran apabila jaringan trem listrik yang menjadi moda transportasi utama di gelombang suburbanisasi tahap pertama kini telah menghilang di Amerika. Satu – satunya kota yang masih menyisakan jaringan trem listrik masa lalu hanya Kota Toronto. Kota lainnya memilih untuk menghapus atau mengubah moda transportasinya ke moda lain yang dianggap lebih efisien seperti bis kota. Selain itu terdapat spekulasi akan adanya konspirasi perusahaan otomotif di Amerika yang memaksa pemerintah untuk menghapus sistem trem listrik karena dianggap menganggu transportasi kendaraan pribadi dan menyebabkan kemacetan. Permasalahan terkait kawasan suburbia akhirnya bermuara pada penyebab awal mengapa dulu pengembangan kawasan ini menjadi pilihan utama, yaitu ketersediaan energi dan bahan bakar untuk menjalankan berbagai aktivitas ekonomi. Cadangan minyak di Amerika secara umum semakin menipis pada Tahun 1970-an, sementara urban sprawl dan dampak yang mengikutinya membutuhkan bahan bakar fosil agar tetap berjalan. Harga BBM menunjukkan gejala kenaikan mulai dasawarsa 70-an, dan semakin tinggi pada tahun – tahun terakhir. Sementara itu kebutuhan energi dalam negeri semakin tinggi dari tahun ke tahun (Gambar 5). Dengan demikian pengembangan kawasan suburbia di Amerika mulai menunjukkan sisi ketidakberlanjutan (unsustainable) dan semakin memberatkan perekonomian Amerika secara umum. Apabila pada akhirnya bahan bakar fosil ini habis, maka bisa dipastikan perekonomian Amerika dan kehidupan sosial yang ada didalamnya akan menjadi runtuh dan berakhir dengan ketidastabilan bernegara tanpa akhir. Gambar 6 Harga BBM (kiri) dan Konsumsi BBM (kanan) di Amerika
  • 14. --- 13 --- Pengurangan suburbanisasi di Amerika tidak berjalan dengan mudah karena masyarakat masih membutuhkan perumahan dengan harga murah dengan akses baik (yang secara umum hanya tersedia di kawasan suburbia). Di sisi lain, kenaikan harga bahan bakar yang membuat pilihan bertempat tinggal di kawasan suburbia menjadi semakin mahal membuat sebagian masyarakat Amerika mulai meninggalkan kawasan tersebut melalui penjualan aset atau ditinggalkan begitu saja untuk berpindah ke tempat lain (atau kawasan suburbia lain yang dianggap menjanjikan biaya hidup lebih murah). Oleh karena itu, di Amerika kini mulai muncul kawasan permukiman suburban yang mati, tidak terawat dan tidak termanfaatkan (Gambar 6). Sebagian masyarakat lain yang memilih bertahan harus menyesuaikan diri sehingga terdapat banyak aspek hidup yang dikorbankan dan berujung pada penurunan kualitas hidup, yang tercermin dari permukiman yang mulai menurun kualitasnya serta mulai menunjukkan kecenderungan kekumuhan (fenomena Ghetto). Berbagai strategi dan upaya telah dirumuskan untuk mengurangi dan meminimalisir urban sprawl, diantaranya adalah konsep Perencanaan Smart Growth, kompensasi kelestarian lahan pertanian oleh pemerintah, In-fill Development, strategi Compact City dan Penggunaan Lahan Multifungsi. Strategi lain yang lebih membidik aspek sosial dan tingkah laku adalah paradigma urbanisme baru (new urbanism). Urbanisme baru bertujuan untuk mengembalikan gaya hidup dan cara beraktivitas seperti masa lampau, dimana aktivitas perkotaan lebih banyak dilakukan dengan berjalan kaki dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Strategi ini walaupun dapat menjadi alternatif solusi, namun pada prakteknya tidak mudah untuk diimplementasikan. Pengembalian kultur berjalan kaki mengharuskan tata kota harus diubah sedemikian rupa. Hunian vertikal harus dikembangkan, fasilitas pemenuh kebutuhan harus dibuat di setiap blok hunian, dan aktivitas ekonomi perseorangan atau skala kecil (retail) harus ditumbuhkan. Implementasi urbanisme baru pada lingkungan perkotaan yang sudah terpencar (sprawled) sedemikian rupa jelas membutuhkan biaya yang sangat besar dan kenyataannya pemerintah Amerika saat ini lebih memilih mengusahakan minyak semaksimal mungkin, termasuk harus mencari dan mengaksesnya ke Timur Tengah dan belahan dunia lain. Sebuah strategi yang berpotensi semakin merapuhkan perekonomian Amerika Serikat sendiri di masa mendatang, tidak mempunyai prospek keberlanjutan dan tidak menyelesaikan permasalahan suburbanisasi dan urban sprawl.
  • 15. --- 14 --- IV. KESESUAIAN KONSEP PENGEMBANGAN PERMUKIMAN KAWASAN PINGGIRAN (SUB-URBAN) DENGAN REALISASINYA DI AMERIKA Pengembangan permukiman dan perumahan di Amerika Serikat pada kawasan sub urban pada masa pasca perang sampai saat ini mendatangkan banyak permasalahan, salah satunya adalah dalam penyediaan energi sebagaimana dibahas dalam Film dokumenter The End of Suburbia. Apa yang terjadi di Amerika Serikat jika dibandingkan dengan kriteria pengembangan permukiman berkelanjutan menurut UN HABITAT (Gambar 1) sama sekali bukan merupakan pengembangan permukiman yang berkelanjutan. Prinsip pertama dari pengembangan rumah berkelanjutan menurut UN HABITAT adalah ruang yang cukup untuk jalan dan jaringan jalan harus efisien. Efisien yang dimaksud adalah jaringan jalan harus meliputi setidaknya 30 persen dari lahan kawasan dengan panjang jalan total 18 km per luasan 1 km2 (lihat Gambar 7). Jaringan jalan ini juga harus terkoneksi di setiap simpang dengan didukung ketersediaan lahan parkir. Jaringan jalan juga harus ramah terhadap pejalan kaki dan pesepeda (tidak terlalu jauh untuk pergi dari satu tempat ke tempat lain) dan mendukung pengembangan transportasi publik. Kenyataan yang ada di Amerika, jaringan jalan dengan pola cul de sac membuat koneksi dari satu tempat ke tempat lain tidak efektif, jaringan transportasi publik sulit dikembangkan secara optimal, waktu dan jarak tempuh untuk mencapai fasilitas cukup jauh dan lama, sehingga orang akhirnya sulit untuk mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi. Gambar 7 Jaringan Jalan Grid Yang Memenuhi Prinsip Keberlanjutan (Sumber: UN HABITAT, 2014) Prinsip kedua adalah kepadatan permukiman yang tinggi. Ukuran yang ditentukan setidaknya 15 ribu jiwa per km2. Pengembangan permukiman kepadatan tinggi (hunian vertikal) akan membawa dampak positif diantaranya: (1) penggunaan lahan yang efisien; (2) mengurangi biaya pelayanan publik; (3) mendukung pelayanan komunitas yang lebih baik; (4) mengurangi
  • 16. --- 15 --- ketergantungan pada kendaraan pribadi dan mendukung transportasi publik; (5) kesetaraan sosial; (6) mendukung pemenuhan ruang terbuka publik sebagai implikasi penggunaan lahan yang efisien; dan (7) efisiensi penggunaan energi dan pengurangan polusi. Kenyataan dari pengembangan kawasan suburban di Amerika ditandai dengan permukiman kepadatan rendah, dengan setiap rumah mempunyai halaman dan garasi yang memerlukan lahan luas dan tidak mudah dikoneksikan transportasi publik. Efek lebih lanjut dari pengembangan permukiman tersebar ini adalah biaya pelayanan publik menjadi tinggi karena ada biaya transportasi tambahan dari rumah ke rumah. Selain itu, kebutuhan lahan yang besar juga terbukti mengancam lahan pertanian yang ada di kawasan pinggiran, dan meningkatkan polusi udara sebagai imbas penggunaan kendaraan pribadi. Prinsip ketiga adalah penggunaan lahan campuran (mixed landuse). Pengembangan hunian vertikal sebagaimana diuraikan pada prinsip pertama dalam pengalokasiannya harusnya mempertimbangkan penggunaan lahan di hunian tersebut di sebagian lantainya untuk penggunaan pelayanan ekonomi dan fasilitas umum. Proporsi ideal menurut UN Habitat (2014) adalah 40 sampai 60 persen untuk aktivitas ekonomi, 30 sampai 50 persen untuk hunian, dan 10 persen untuk pelayanan publik, di tiap lantainya. Dalam kenyataan pengembangan kawasan permukiman di suburban area Amerika, fasilitas ekonomi dan pelayanan publik menempati lokasi tertentu di kawasan yang mana orang harus melakukan perjalanan yang terkadang cukup jauh untuk mengaksesnya. Hal ini berakibat pada pemborosan energi melalui penggunaan kendaraan pribadi, dan meningkatkan polusi udara, terutama pada akhir pekan ketika orang biasanya berdatangan ke fasilitas-fasilitas umum untuk mendapatkan hiburan atau sekedar berekreasi. Prinsip keempat merupakan lanjutan dari prinsip ketiga, yaitu pencampuran kelas sosial (social mix). Dalam hal ini, hunian vertikal yang dikembangkan, sekitar 20 sampai 50 persen area hunian harus ditujukan untuk kalangan menengah ke bawah. Sementara slot untuk hunian dengan status kepemilikan permanen proporsinya tidak melebihi 50 persen dari total area. Strategi social mix ditujukan untuk: (1) mempromosikan interaksi sosial antar kelas sosial; (2) memunculkan kesempatan kerja; (3) untuk mengurangi stigma pengkelasan permukiman berdasarkan kemampuan ekonomi; dan (4) menarik pelayanan baru di sekitar hunian. Kenyataan di Amerika, sebagian besar hunian di kawasan suburban pada awalnya memang ditawarkan dengan harga cukup murah, namun seiiring berjalannya waktu menjadi semakin mahal akibat harga lahan yang meningkat, sehingga hanya kelas sosial tertentu yang mampu bertempat tinggal di lingkungan tersebut. Hal ini akan membawa permasalahan kecemburuan sosial, mengingat pada pengembangan permukiman di Suburban menghendaki perhatian pemerintah untuk terus
  • 17. --- 16 --- membangun fasilitas dan mengkoneksikan setiap klaster perumahan melalui jaringan jalan yang memakan biaya besar. Prinsip kelima adalah pembatasan penggunaan lahan tunggal (limited landuse specialization). Prinsip ini selaras dengan prinsip ketiga, namun membidik di sisi kebijakan penataan ruang. Pembatasan penggunaan lahan tunggal akan memicu penggunaan lahan campuran (mixed landuse) yang tidak hanya menghemat biaya transportasi untuk memperoleh pelayanan, tetapi juga berpotensi mengurangi permasalahan yang umum terjadi di kawasan perkotaan seperti, kemacetan, segregasi permukiman, ketergantungan pada kendaraan pribadi dan lain-lain. Kenyataan yang terjadi di Kawasan Suburban Amerika, pemerintah tidak sepenuh hati memperkuat dan mendukung kebijakan pembatasan penggunaan lahan, karena Urban Sprawl tetap terus terjadi setiap tahun, walaupun dengan intensitas yang berbeda dari perkembangannya di tahun-tahun awal. Dengan berkaca pada prinsip permukiman berkelanjutan menurut UN Habitat di atas, pengembangan Kawasan Permukiman Suburban Amerika merupakan pengembangan permukiman yang tidak berkelanjutan, karena terbukti menciptakan banyak permasalahan dan ketergantungan yang besar pada energi fosil. Di sisi lain, pemerintah tidak dapat mengubah permukiman yang sudah ada (redevelopment) menjadi permukiman baru yang memenuhi kriteria UN Habitat, mengingat usaha ini akan memerlukan waktu yang tidak sedikit dan biaya yang sangat besar, mengingat kawasan sudah terlanjut dikembangkan. V. PENGEMBANGAN PERMUKIMAN KAWASAN PINGGIRAN DI INDONESIA BERKACA DARI KASUS AMERIKA Suburbanisasi di Amerika Serikat membawa banyak permasalahan perkotaan dan berimbas pada sektor ekonomi, politik dan sosial. Keberlanjutan kehidupan bernegara di Amerika akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana pemerintah Amerika mengelola, mengurangi dan mengendalikan suburbanisasi dan urban sprawl yang masih terjadi, baik pada saat ini maupun di masa mendatang. Pengalaman Amerika seharusnya menjadi pelajaran bagi negara lain agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Namun demikian, tampaknya Indonesia telah melakukan kesalahan yang sama dengan Amerika Serikat. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang dimulai sejak periode keterbukaan ekonomi orde baru pada tahun 1980-an ikut berpengaruh pada pengembangan dan pertumbuhan kawasan terbangun di kota-kota besar di Pulau Jawa (Firman, 2008). Berbagai penelitian yang telah dilakukan di berbagai kota, antara lain Jakarta (Hidajat et al, 2013), Surabaya (Mahriyar dan Rho, 2014), Makassar (Sastrawati dan Santoso, 2011), Bandung (Ardiwijaya et al, 2014),
  • 18. --- 17 --- Semarang (Handayani dan Rudiarto, 2014), dan Yogyakarta (Pradoto, 2011), menunjukkan bahwa urbanisasi dan suburbanisasi yang membentuk kawasan pinggiran (urban fringe) yang mirip dengan Suburbia di Amerika telah terjadi di Indonesia (Gambar 8). Gambar 8. Urban Sprawl di Semarang (Handayani dan Rudiarto, 2014) dan Bandung (Ardiwijaya et al, 2014) Urbanisasi ini muncul karena adanya kesadaran peluang pekerjaan yang dianggap lebih baik di perkotaan akibat investasi industri dalam dan luar negeri yang memancing penduduk perdesaan atau perkotaan yang lebih kecil untuk berpindah ke kota besar guna memperoleh penghidupan yang lebih baik. Kota besar menjadi semakin padat dan menurun fungsinya untuk mendukung kehidupan yang lebih sehat, dan sektor penyediaan perumahan swasta/pemerintah melihat peluang ini untuk kemudian mulai melakukan akuisisi lahan pertanian di daerah pinggiran untuk dibangun menjadi kawasan permukiman. Strategi pemasaran yang digunakan pun mirip dengan di Amerika, yaitu tawaran kehidupan urban yang lebih sehat dengan harga murah dan akses ke pusat kota yang terjangkau dari sisi waktu tempuh, serta fasilitas pendukung seperti shopping center, minimarket, taman dan lain-lain. Untuk proses urbanisasi yang melahirkan urban sprawl di Indonesia, utamanya di kawasan JABODETABEK mungkin dapat dijelaskan sebagai berikut. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk setiap tahunnya dan perpindahan (migrasi) masyarakat dari luar Provinsi DKI Jakarta yang ingin memperbaiki kehidupan, mereka dan memilih untuk mencari pekerjaan di Jakarta ini. Untuk memiliki rumah dikawasan pusat kota tentu mahal harganya, namun tetap ingin memiliki rumah sendiri, oleh karena itu banyak dari mereka yang memilih untuk memiliki tempat tinggal dipinggiran kota. Namun tidak hanya migran yang tinggal dipinggiran kota, masyarakat asli baik yang menengah ke atas maupun menengah kebawah juga lebih memilih tinggal dikawasan
  • 19. --- 18 --- pinggiran kota, dengan alasan menjauh dari keramaian dan kemacetan. Agar lebih aman dan mengurangi konsumsi polusi dari pusat kota. Walaupun jarak dari perkantoran ke permukiman menjadi lebih jauh. Namun hal ini sebenarnya bisa dihindari jika ada penerapan kebijakan yang lebih tegas dari pemerintah terkait pelanggaran dalam penggunaan lahan dan kepemilikan tanah. Terkait dengan permasalahan transportasi (kemacetan, pemborosan energi, polusi lingungan) dalam urban sprawl di Indonesia, kira-kira dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada saat yang bersamaan dengan meningkatnya urbanisasi, industri otomotif yang berasal dari modal asing (utamanya Jepang) mulai masuk dan mulai melakukan ekspansi pasar otomotif dengan menyediakan kendaraan pribadi dengan harga terjangkau. Ekspansi dan penguasaan pasar otomotif ini semakin kuat pada tahun 2000-an ketika strategi kredit kendaraan bermotor diimplementasikan, yang berimbas pada kemudahan untuk memiliki kendaraan pribadi. Sebagaimana di Amerika, ketergantungan penggunaan kendaraan pribadi yang dianggap lebih efisien pelan-pelan mematikan transportasi publik (bis dan angkot) di banyak kota di Jawa yang sebelumnya relatif mampu menjangkau seluruh kawasan perkotaan (pengecualian untuk Jakarta, Bogor dan Bandung yang masih menunjukkan kemauan menggunakan transportasi publik untuk aktivitas dalam kota). Peningkatan jumlah kendaraan pribadi yang tidak terkontrol ini pada akhirnya yang menyebabkan munculnya permasalahan transportasi tersebut diatas, mengingat kondisi yang ada Satu hal yang berbeda dari Urban Sprawl yang terjadi di Amerika dan di Indonesia adalah bahwa pengembangan transportasi pribadi dalam bentuk kendaraan bermotor (sepeda motor, mobil) tidak berasal sepenuhnya dari investasi dalam negeri, melainkan dari investasi asing (utamanya dari jepang). Hal ini membuat keuntungan ekonomi dari pengembangan industri dan hasil dari pertumbuhan ekonomi diambil kembali oleh si pemilik modal, sehingga keuntungan ekonomi yang didapat dari hasil industrialisasi mungkin tidak cukup digunakan untuk mendukung sektor lain, misalnya subsidi sektor pertanian dan pengembangan agroindustri. Dengan demikian urban sprawl di Indonesia mempunyai dampak negatif yang lebih buruk daripada di Amerika. Terkait dengan peran transportasi publik, sebagaimana di Amerika, kota – kota di Pulau Jawa juga pernah memiliki jaringan trem listrik warisan dari pemerintah kolonial, namun trem ini sudah dimatikan dua dasawarsa sebelum urbanisasi mulai masif. Transportasi publik berbasis rel yang tersisa saat ini adalah transportasi rel jarak jauh yang desain awalnya adalah untuk menghubungkan antar kota, sehingga walaupun dimanfaatkan untuk melayani ulang alik (commuting) dari kawasan pinggiran ke pusat kota, aksesbilitasnya tidak mampu menjangkau seluruh kawasan yang terpengaruh urbanisasi sehingga tidak cukup efisien untuk mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi. Terlebih jika dilihat dari tipologi, pola dan struktur
  • 20. --- 19 --- urban sprawl di perkotaan Indonesia, urban sprawl di Indonesia dicirikan oleh perumahan dan permukiman kepadatan rendah yang dihubungkan oleh jaringan jalan berpola dentritik. Tipologi ini kurang lebih mirip dengan di Amerika, sehingga implementasi transportasi publik yang mampu menjangkau seluruh kawasan tetap tidak akan efektif dalam mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi. Strategi yang lebih sosial seperti urbanisme baru akan sulit diimplementasikan mengingat ketergantungan penduduk kawasan pinggiran pada aktivitas ekonomi dan industri di pusat kota sangat tinggi. Dengan demikian pada akhirnya Indonesia terjebak pada permasalahan yang sama dengan Amerika Serikat. Pada akhirnya, permasalahan akibat urbanisasi dan urban sprawl di Amerika terjadi juga di Indonesia seperti kemacetan lalulintas, konsumsi BBM yang tinggi, dan degradasi lingkungan. Respon yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia juga relatif mirip dengan Amerika seperti misalnya pembangunan infrastruktur transportasi berbiaya tinggi (jalan tol) guna mempermudah akses atau pemberian subsidi BBM untuk menjaga daya jangkau masyarakat terhadap energi, yang kesemuanya ini tidak memenuhi kaidah keberlanjutan (sustainability), terutama jika dilihat dari risiko krisis energi fosil global yang semakin terakselerasi waktu kedatangannya. VI. KESIMPULAN Urban Sprawl dan suburbanisasi yang terjadi di Amerika Serikat pada masa pasca Perang Dunia ke II telah membawa banyak permasalahan lahan, lingkungan dan energi, baik pada saat ini maupun di masa mendatang. Permasalahan ini mungkin tidak disadari sejak awal pengembangannya atau mungkin disadari, hanya Pemerintah Amerika terlambat mengantisipasi permasalahan tersebut, sehingga saat ini Amerika menjadi sangat rentan dengan ketidastabilan ekonomi akibat ketergantungan pada bahan bakar fosil. Dilihat dari kesesuaian dengan kriteria pembangunan permukiman berkelanjutan menurut UN Habitat, pengembangan permukiman di Kawasan Suburban Amerika sama sekali tidak memenuhi satu pun unsur permukiman berkeberlanjutan, sehingga harus disusun strategi dan upaya lintas sektor untuk memperbaiki kondisi tersebut. Namun demikian, Pemerintah Amerika masih cenderung untuk tidak memprioritaskan strategi tersebut, dan lebih berupaya mengamankan kebutuhan energi dalam rangka menghadapi risiko krisis energi global di masa mendatang. Pengembangan kawasan permukiman di pinggiran kota di Indonesia ternyata mengikuti pola pengembangan yang terjadi di Amerika, dimana kawasan komersial, perumahan dan area
  • 21. --- 20 --- industri saling terpisah antar satu dengan yang lain. Sebagai konsekuensinya penggunaan lahan saling terpisahkan, antara ruang terbuka, infrastruktur atau hambatan lainnya. Pengaturan penggunaan lahan seperti ini menyebabkan lokasi dimana masyarakat yang tinggal, bekerja, berbelanja, dan rekreasi memiliki jarak yang jauh, sehingga kegiatan seperti berjalan kaki, transit, dan bersepeda tidak dapat digunakan, tetapi lebih membutuhkan mobil. Sebagaimana di Amerika, pengembangan kawasanpinggiran juga ditandai dengan tingkat penggunaan mobil yang tinggi sebagai alat transportasi, kondisi ini biasa disebut dengan automobile dependency. Kebanyakan aktivitas disana, seperti berbelanja dan melaju (commuting to work), membutuhkan mobil atau sepeda motor sebagai akibat dari isolasi area dari zona perumahan dengan kawasan industri dan kawasan komersial. Berjalan kaki dan metode transit lainnya tidak cocok untuk digunakan, karena banyak dari area ini yang hanya memiliki sedikit bahkan tidak sama sekali area yang dikhususkan bagi pejalan kaki. Sebagai dampak dari fenomena ini adalah meningkatnya konsumsi energi oleh manusia yang menyebabkan peningkatan polusi dari hasil aktivitas tersebut, juga ketersediaan dari energi dan sumber daya alam juga akan semakin berkurang karena tingkat konsumsi dari manusia yang semakin tinggi pula. Untuk mengurangi pengembangan permukiman yang tidak berkelanjutan ini, strategi dan upaya baru pengembangan permukiman harus mulai disusun dan diimplementasikan. Kota megapolitan Indonesia seperti DKI Jakarta saat ini telah memulai pembangunan-pembangunan hunian vertikal yang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Langkah ini cukup baik karena dapat mengurangi intensitas permasalahan yang akan muncul sebagai imbas dari pembangunan permukiman yang tidak berkelanjutan. Melalui kebijakan relokasi dari permukiman kumuh ke hunian vertikal, secara langsung atau tidak langsung Pemerintah DKI Jakarta telah mengupayakan dan memperkenalkan prinsip New Urbanism kepada masyarakat umum bahwa kepemilikan rumah tidak harus disertai dengan kepemilikan tanah, mengingat lahan relatif terbatas dan tidak semua bisa digunakan untuk penggunaan lahan permukiman.
  • 22. --- 21 --- DAFTAR PUSTAKA Ames, D. L. 1995. Interpreting Post-World War II Suburban Landscape as Historic Resources. Dalam Slaton, D., & Schiffer, R. A (ed). Preserving The Recent Past. Washington, DC: Historic Preservation Education Foundation. Ardiwijaya, V. S., Soemardi, T. P., Suganda, E., & Temenggung, Y. A. (2014). Bandung Urban Sprawl and Idle Land: Spatial Development Perspectives. APCBEE Procedia, 10, 208-213. Batudoka, Z. (2005). Kota Baru dan Aspek Permukiman Mendepan. Jurnal Smartek, 3 (1), 27-36. Bhatta, B. 2010. Analysis of Urban Growth and Sprawl from Remote Sensing. Berlin: Springer- Verlag Berlin Heidelberg. Bruegmann, R. 2005. Sprawl: A Compact History. Chicago: University of Chicago Press. Dimitra, S., & Yuliastuti, N. (2012). Potensi Kampung Nelayan Sebagai Modal Permukiman Berkelanjutan di Tambaklorok, Kelurahan Tanjung Mas. Jurnal Teknik PWK, 1 (1), 11-19. Firman, T. (2008). The Patterrns of Indonesia’s Urbanization, 1980-2007. Paper dipresentasikan di 2008 Population Association of America Annual Meeting Program. Gillham, O. (2002). The Limitless City: A Primer on the Urban Sprawl Debate. Washington D.C: Island Press. Gordon, P., & Richardson, H. (1997). Are Compact Cities a Desirable Planning Goal?. Journal of the American Planning Association, 63 (1), 95-106. Handayani, W., & Rudiarto, I. (2014). Dynamics of Urban Growth in Semarang Metropolitan – Central Java: An Examination Based on Built-Up Area and Population Change. Journal of Geography and Geology, 6 (4), 80-87. Hayden, D. 2004. A Field Guide to Sprawl. New York: W. W. Norton & Co. Hidajat, J.T., Sitorus, S. R. P., Rustiandi, E., & Machfud. (2013). Urban Sprawl Effects on Settlement Areas in Urban Fringe of Jakarta Metropolitan Area. Journal of Environment and Earth Science, 3 (12), 172-179. James, P., Holden, M., Lewin, M., Neilson, L., Oakley, C., Truter, A., & Wilmoth, D. (2013). Managing Metropolises by Negotiating Mega-Urban Growth. Dalam Mieg, H., & Töpfer, K. Institutional and Social Innovation for Sustainable Urban Development. London: Routledge. Lewinnek, E. 2014. The Working Man's Reward: Chicago's Early Suburbs and the Roots of American Sprawl. Oxford: Oxford University Press. Lopez, R. (2014). Urban Sprawl in the United States: 1970-2010. Cities and Environment, 7 (1), 1- 19. Mahriyar, Z. M., & Rho, Y. J. (2014). The Compact City Concept in Creating Resilent City and Transportation System in Surabaya. Procedia – Social and Behavioral Sciences, 135, 41- 49. Pradoto, W. (2011). Dynamics Of Peri-Urbanization And Socioeconomic Transformation: Case of Metropolitan Yogyakarta, Indonesia. International Journal Of Arts & Sciences, 4 (27), 19- 29.
  • 23. --- 22 --- Sastrawati, I., & Santoso, L. (2011). Perubahan Guna Lahan Di Suburban Selatan Kota Makassar. Prosiding Hasil Penelitian Fakultas Teknik Unhas, 5, 978–979. Silverthorn, B. (Produser), & Greene, G. (Sutradara). (2004). The End of Suburbia: Oil Depletion and the Collapse of the American Dream [Gambar Bergerak]. Kanada: The Electric Wallpaper Co. Suarez, R. 1999. The Old Neighborhood: What we lost in the great suburban migration: 1966-1999. New York: Free Press. UN Habitat. (2014). A New Strategy of Sustainable Neighbourhood Planning: Five Principles. UN Habitat Discussion Note 3 Urban Planning. Vicino, T. J. 2008. Transforming Race and Class in Suburbia: Decline in Metropolitan Baltimore. New York: Palgrave Macmillan. Warouw, F. (2014). Pendekatan Desain Berkelanjutan Pada Perumahan Kota di Indonesia “For Better Engineering”. Media Matrasain, 11 (2), 1-11. Winkler, R. 2003. Going Wild: Adventures with Birds in the Suburban Wilderness. Washington, D.C.: National Geographic. Yunus, H. S. 2005. Klasifikasi Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.