2. 1
Judul Makalah : PERMASALAHAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN JALAN TOL DI
INDONESIA (TINJAUAN DARI SISI TEORI PERENCANAAN)
Mata Kuliah : Teori Perencanaan
Dosen Pengampu : Dr. Hadi Wahyono, MA
Disajikan oleh :
3. 2
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya alam tersebar
di setiap wilayah sehingga diperlukan pembangunan yang merata agar kesejahteraan
masyarakatnya dapat tercapai. Salah satu bentuk pembangunan yang dilakukan di
Indonesia adalah pembangunan prasarana dan sarana transportasi dimana
pembangunan tersebut sering kali terhambat oleh keadaan alam seperti kondisi
morfologi, hutan, dan laut. Pembangunan sub sektor perhubungan atau transportasi
dapat meningkatkan pembangunan ekonomi antara lain melalui aktivitas perdagangan,
industri ataupun aktivitas sistem transportasi lainnya. Sektor perhubungan atau
transportasi pada umumnya mempunyai korelasi yang positif dengan pembangunan
ekonomi, sehingga semakin maju tingkat kegiatan perekonomian suatu negara, maka
tuntutan akan kebutuhan jasa perhubungan atau transportasi akan semakin besar pula.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan berjalannya pembangunan ekonomi,
secara khusus sektor perhubungan akan memainkan peran yang semakin besar dan
penting dalam posisinya sebagai faktor penunjang proses pembangunan. Dalam hal ini,
peranan transportasi tidak hanya memperlancar arus barang dan mobilitas manusia
tetapi juga membantu tercapainya pengalokasian sumber-sumber ekonomi secara
optimal.
Dalam perencanaan dan pengembangan suatu wilayah, transportasi merupakan
salah satu unsur penting dalam menunjang perdagangan antar daerah dan
pengembangan ekonomi suatu wilayah. Transportasi pada prinsipnya memiliki fungsi
sebagai penggerak pembangunan (the promoting function) dan sebagai pemberi jasa (the
serving function). Peran ganda ini selalu tercermin dalam perencanaan pembangunan
sektor transportasi. Kompleksnya keterkaitan antar proses transportasi dan
pembangunan ekonomi berpengaruh tidak hanya terhadap dimensi ekonomi dan teknik
saja tetapi juga terhadap dimensi sosial, kualitas sumberdaya manusia, politik, maupun
1.1 LATAR BELAKANG
P E N D A H U L U A N
Latarbelakang T u j u a n Ruang Lingkup Sistimatika
Pembahasan
B A G I A N 1
4. 3
1.2 M A S A L A H
kelembagaan. Jika pendekatan dan pengkajian dilakukan secara tepat, maka strategi dan
langkah-langkah pengembangan sarana dan prasarana transportasi akan lebih mudah
dan terarah.
Jaringan jalan merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan suatu
pembangunan karena jalan berperan untuk pemindahan barang dan manusia sehingga
diperlukan jaringan jalan yang memadai dan lebih mengedepankan tingkat kecepatan
mobilitas. Jalan tol merupakan jalan alternatif untuk mempercepat sarana transportasi,
perkembangan industri pariwisata, menunjang pertumbuhan dan percepatan proses
ekonomi yang kerap terhambat karena kendala transportasi, mengurangi kemacetan
akibat pasar tumpah, pasar tradisional, penyempitan jalan, jembatan rusak, jalan yang
berlubang dan lain-lain yang menghambat proses ekonomi secara cepat dan merata. Jalan
tol ini merupakan jalan umum yang merupakan bagian dari sistem jaringan jalan nasional
yang penggunanya diwajibkan membayar dan memiliki peran yang sangat signifikan bagi
perkembangan suatu daerah. Disamping itu, jalan tol bersifat bebas hambatan dan
termasuk ke dalam jalan nasional yang dapat menunjang peningkatan pertumbuhan
perekonomian. Pembangunan jalan tol sendiri dimaksudkan untuk mewujudkan
pemerataan pembangunan serta keseimbangan dalam pengembangan wilayah. Dengan
adanya pembangunan ini maka akan terjadi perubahan kondisi ekonomi dan sosial
masyarakat.
Saat ini sebenarnya Indonesia sudah mengandalkan jalan tol sebagai jalur
transportasi antar daerah. Sayangnya pembangunan jalan tol di Indonesia masih
terbilang lambat dibandingkan dengan negara – negara tetanga dimana pembangunan
jalan tol di Indonesia pada tahun 2015 baru mencapai sekitar 1.000 km dengan
persebaran yang tidak merata yaitu sekitar 700 km ada di Pulau Jawa. Dalam
pelaksanaannya, pembangunan jalan tol ini ternyata mengalami masalah-masalah yang
membuat pembangunannya sering terhambat bahkan terhenti. Beberapa masalah yang
mengganggu pembangunan jalan tol di Indonesia diantaranya adalah terkait dengan
pembebasan tanah di sejumlah daerah untuk pembangunan infrastruktur jalan tol,
investor yang sering berubah, aspek pembiayaan (kondisi keuangan investor), analisis
5. 4
1.3 T U J U A N
keuntungan, pembagian wewenang serta beberapa isu lainnya yang muncul pada setiap
tahapan pengusahaan jalan tol (proses lelang, PPJT, Tarif Jalan Tol, & Keuntungan Usaha).
Berbagai fenomena permasalahan perencanaan pembangunan jalan tol di
Indonesia dapat diatasi dan diminimalisir dengan penerapan pendekatan maupun teori
perencanaan pembangunan yang tepat. Dengan demikian, proses pembangunan jalan tol
di Indonesia akan semakin cepat terlaksana yang akan berdampak kepada lancarnya
aktivitas ekonomi, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat dipacu lebih cepat yang akan
bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ini merupakan salah satu nilai
penting pembangunan jalan tol dimana pada akhirnya jalan tol diharapkan akan
mempercepat pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan kehidupan
masyarakat.
Tujuan dari kajian ini adalah
1. Menganalisis dan mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam proses
perencanaan pembangunan jalan tol di Indonesia
2. Menganalisis pendekatan dan teori perencanaan pembangunan yang dapat
digunakan untuk mengatasi permasalahan yang muncul dalam proses
perencanaan pembangunan jalan tol di Indonesia
3. Merekomendasikan rencana tindakan yang perlu dilakukan berkaitan dengan
hasil kajian teoritis terhadap proses perencanaan pembangunan jalan tol di
Indonesia.
6. 5
1.4 SISTIMATIKA KAJIAN
Dalam membahas mengenai permasalahan Jalan Tol dan keterkaitannya dengan teori
perencanaan, sistematika kajian yang akan dilakukan adalah sebagaimana digambarkan pada
Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Sistematika Kajian
Latar Belakang Analisis
Dinamika Pembangunan Jalan Tol di Indonesia
Tinjauan Teknis Jalan Tol Penyediaan Jalan Tol di Indonesia
Teori Perencanaan dan
Pendekatan Dalam Penyediaan Jalan
Tol
Kesimpulan dan rekomendasi
Tinjauan Kritis
Model Perencanaan Pemikiran Perencanaan
7. 6
2.1 TINJAUAN TEKNIS JALAN TOL
2.1.1. Pengertian Jalan Tol
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 1980 tentang
Jalan BAB I Pasal 1 ayat ( h ) menyebutkan : “Jalan Tol adalah jalan umum yang kepada
para pemakainya dikenakan kewajiban membayar tol. Pada Bab dan pasal yang sama
ayat (i) disebutkan: “Tol adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan untuk
pemakaian Jalan Tol”.
Maksud dan tujuan penyelenggaraan jalan tol, menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 8 tahun 1990, Pasal 2, adalah untuk mewujudkan pemerataan pembangunan
dan hasil-hasilnya serta keseimbangan dalam pengembangan wilayah secara adil,
dimana pembinaannya memakai dana yang berasal dari masyarakat, yakni melalui
pembayaran tol.
Syarat – syarat jalan tol (menurut Peraturan Perundang – Undangan DEP PU,
pasal 4):
1. Jalan tol adalah alternatif jalan umum yang ada, dan pada dasarnya merupakan
jalan baru.
2. Jalan tol didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 80 km/jam
untuk antar kota, dan 60 km/jam untuk dalam kota.
3. Jalan tol didesain untuk mampu menahan muatan sumbu terpusat tunggal
kendaraan sekurang- kurangnya 8,2 ton atau muatan sumbu terpusat tandem
minimal 14,5 ton.
4. Jumlah jalan masuk ke jalan tol dibatasi secara efisien.
Adapun persyaratan teknis jalan tol antara lain:
PENYEDIAAN JALAN TOL DI INDONESIA
B A G I A N 2
Tinjauan Teknis
Jalan Tol
Urgensi Penyediaan Jalan
Tol Di Indonesia
8. 7
1. Jalan tol mempunyai tingkat pelayanan keamanan dan kenyamanan yang lebih
tinggi dari jalan umum yang ada dan dapat melayani arus lalu lintas jarak
jauh dengan mobilitas tinggi.
2. Jalan tol yang digunakan untuk lalu lintas antar kota didesain berdasarkan
kecepatan rencana paling rendah 80 Km/jam dan untuk jalan tol di wilayah
perkotaan didesain dengan kecepatan rencana paling rendah 60 Km/jam.
3. Jalan tol didesain untuk mampu menahan Muatan Sumbu Terberat (MST) paling
rendah 8 Ton.
4. Setiap ruas jalan tol harus dilakukan pemagaran, dan dilengkapi dengan
fasilitas penyebrangan jalan dalam bentuk jembatan atau terowongan
5. Pada tempat-tempat yang dapat membahayakan pengguna jalan tol, harus
diberi bangunan pengaman yang mempunyai kekuatan dan struktur yang dapat
menyerap energi benturan kendaraan.
6. Setiap jalan tol wajib dilengkapi dengan aturan perintah dan larangan yang
dinyatakan dengan rambu lalu lintas, marka jalan, atau alat pemberi isyarat lalu
lintas.
Sedangkan untuk spesifikasi jalan tol itu sendiri antara lain:
1. Tidak ada persimpangan sebidang dengan ruas jalan lain atau dengan prasarana
transportasi lainnya.
2. Jumlah jalan masuk dan jalan keluar ke dan dari jalan tol dibatasi secara efisien
dan semua jalan masuk dan jalan keluar harus terkendali secara penuh.
3. Jarak antar simpang susun paling rendah 5 Km untuk jalan tol luar perkotaan
dan paling rendah 2 Km untuk jalan tol dalam perkotaan.
4. Jumlah lajur sekurang-kurangnya 2 lajur per
arah.
5. Menggunakan pemisah tengah atau median.
6. Lebar bahu jalan sebelah luar harus dapat dipergunakan sebagai jalur lalu
lintas sementara dalam keadaan darurat.
7. Pada setiap jalan tol harus tersedia sarana komunikasi, sarana deteksi pengaman
lain yang memungkinkan pertolongan dengan segera sampai ke tempat kejadian,
seta upaya pengamanan terhadap pelanggaran, kecelakaan, dan gangguan
keamanan lainnya.
9. 8
8. Pada jalan tol antar kota harus tersedia tempat istirahat dan pelayanan
untuk kepentingan pengguna jalan tol.
9. Tempat istirahat serta pelayanan tersebut disediakan paling sedikit 1 untuk setiap
jarak 50 Km pada setiap jurusan.
10. Setiap tempat istirahat dan pelayanan dilarang dihubungkan dengan akses
apapun dari luar jalan tol.
2.1.2. Tarif Tol
Tarif tol ditentukan berdasarkan beberapa kriteria, yang antara lain:
1. Tarif tol dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna jalan tol, besar
keuntungan biaya operasi kendaraan dan kelayakan investasi.
2. Besar keuntungan biaya operasi kendaraan dihitung berdasarkan pada selisih
biaya operasi kendaraan dan nilai waktu pada jalan tol dengan jalan lintas
alternatif jalan umum yang ada.
3. Kelayakan investasi dihitung berdasarkan pada taksiran transparan dan akurat
dari semua biaya selama jangka waktu perjanjian pengusahaan, yang
memungkinkan badan usaha memperoleh keuntungan yang memadai atas
investasinya.
4. Pemberlakuan tarif tol ditetapkan bersamaan dengan penetapan
pengoperasian jalan tol.
5. Penetapan pengoperasian jalan tol dilakukan oleh menteri yang terkait.
6. Evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan 2 tahun sekali oleh BPJT ( Badan
Pengatur Jalan Tol ) berdasarkan tarif lama yang disesuaikan dengan pengaruh
inflasi sesuai dengan formula ”Tarif Baru = Tarif Lama ( 1+ inflasi )”.
7. BPJT merekomendasikan hasil evaluasi penyesuaian tarif tol tersebut terhadap
menteri yang terkait.
8. Untuk selanjutnya menteri menetapkan pemberlakuan penyesuaian tarif tol.
Sedangkan untuk pelaksanaan pengumpulan tol secara teknis dilapangan
dilakukan dengan dua sistem yakni sistem tertutup dan sistem terbuka dengan
memperhatikan kepentingan pengguna dan efisiensi pengoperasian jalan tol serta
kelancaran lalu lintas.
10. 9
a. Pengumpulan tol secara sistem tertutup adalah sistem pengumpulan tol yang
kepada penggunanya diwajibkan mengambil tanda masuk pada gerbang masuk
dan membayar tol pada gerbang keluar.
b. Pengumpulan tol secara sistem terbuka adalah sistem pengumpulan tol yang
kepada penggunanya diwajibkan membayar tol pada saat melewati gerbang
masuk atau gerbang keluar.
2.1.3. Wewenang Penyelenggaraan Jalan Tol
Didalam melaksanakan kewenangan sebagai penyelenggara jalan tol, pemerintah
menyerahkan sebagian wewenang penyelenggaraan jalan tol kepada BPJT ( Badan
Pengatur Jalan Tol ), pemerintah membentuk BPJT yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada menteri.
Pembentukan BPJT dimaksudkan antara lain untuk mendorong investasi
dibidang jalan tol, sehingga pengembangan jaringan jalan tol dapat lebih cepat terwujud.
Sebagian penyelenggaraan jalan tol yang menjadi tugas BPJT meliputi pengaturan jalan
tol yang mencakup pemberian rekomendasi tarif awal dan penyesuaiannya kepada
menteri, serta pengambilalihan jalan tol pada akhir masa konsesi dan pemberian
rekomendasi pengoperasiannya, sedangkan pengusahaan jalan tol mencakup
pembiayaan pengusahaan jalan tol, pengadaan investasi, dan pemberian fasilitas
pembebasan tanah serta pengawasan jalan tol yang mencakup pemantauan dan evaluasi
pengusahaan jalan tol dan pengawasan terhadap pelayanan jalan tol.
Jalan Tol PPJT adalah ruas-ruas jalan tol dimana Pemerintah telah
menandatangani Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) dengan Badan Usaha Jalan Tol
dengan status dalam tahap desain dan/atau pengadaan tanah dan/atau konstruksi.
Untuk mempercepat proses pembangunan jalan tol, pihak pemerintah melalui
kementrian keuangan memberikan dana talangan di Badan Layanan Umum Kementerian
Keuangan. Lewat komitmen penambahan pengadaan dana talangan yang sebagian besar
digunakan untuk pembebasan lahan, diharapkan dapat mempercepat proses pengadaan
lahan, guna mengejar target operasional tol Trans Jawa pada 2018, dan seluruh ruas tol
lainnya pada 2019.
11. 10
2.1.4. Karakteristik Penyelenggaraan Jalan Tol
Pernyataan ini disusun dengan memperhatikan sifat dan karakteristik
penyelenggaraan jalan tol di Indonesia dan berpedoman pada konsep dasar dan
peraturan perundangan yang berlaku. Karakteristik pokok penyelenggaraan jalan tol
diantaranya adalah:
a. Keberadaan jalan tol dan pengusahaannya diatur berdasarkan undang-undang.
Berdasarkan peraturan yang berlaku, kepemilikan dan hak penyelenggaraan jalan
tol ada pada pemerintah. Pemerintah selain menanggung biaya pengadaan tanah
juga dapat memberikan wewenang kepada suatu badan usaha negara untuk
menyelenggarakan jalan tol yang mencakup kegiatan membangun, memelihara
dan mengoperasikan. Badan usaha negara yang diberi wewenang
penyelenggaraan jalan tol, atas persetujuan pemerintah, boleh bekerja sama
dengan Investor baik secara keseluruhan maupun sebagian dalam
penyelenggaraan jalan tol.
b. Jalan tol memiliki mutu yang andal, bebas hambatan dan pemakai jalan tol wajib
membayar tol. Secara umum jalan tol memiliki keandalan teknik yang tinggi.Jika
jalan tol dipelihara dan diperbaiki sebagaimana estinya, maka jalan tol akan
berfungsi dan memiliki umur teknis yang sangat panjang. Pemeliharaan dan
perbaikan periodik diperlukan atas badan jalan tol, misalnya pelapisan ulang pada
pavement atau penggantian beberapa komponen dalam jembatan tol yang
mengalami proses keausan.
c. Pengadaan jalan tol sangat terkait dengan program pengembangan jaringan jalan
nasional, dan mendorong pengembangan wilayah di sekitar jalan tol. Dalam
pembangunan dan pengoperasian jalan tol tidak tertutup kemungkinan adanya
tuntutan lingkungan terhadap Penyelenggara jalan tol, untuk mengembangkan
jaringan jalan bukan tol, bangunan pelengkap jalan dan perlengkapan jalan.
Tuntutan lingkungan tersebut sangat berpengaruh terhadap pengoperasian jalan
tol sebagai jalan alternatif.
Proyek-proyek infrastruktur dibandingkan proyek gedung atau proyek lainnya,
khususnya pembangunan jalan tol memerlukan investasi besar dengan masa konstruksi
yang sangat panjang. Konsekuensinya, proyek semacam ini mempunyai risiko tinggi pada
masa konstruksi, yang antara lain ditunjukkan dengan makin lamanya waktu yang
12. 11
2.2 URGENSI PENYEDIAAN JALAN TOL DI INDONESIA
diperlukan dalam penyelesaian konstruksi. Akibatnya, biaya yang diperlukan semakin
membengkak/cost-overruns. Selain itu Pembangunan jalan tol akan berpengaruh pada
perkembangan wilayah dan peningkatan ekonomi, meningkatkan mobilitas dan
aksesibilitas orang dan barang, pengguna jalan tol akan mendapatkan keuntungan berupa
penghematan biaya operasi kendaraan (BOK) dan waktu dibanding apabila melewati
jalan non tol dan badan usaha mendapatkan pengembalian investasi melalui pendapatan
tol yang tergantung pada kepastian tarif tol.
Kebijakan pembangunan wilayah secara umum ditujukan untuk mewujudkan
struktur ekonomi wilayah yang kuat dan menstimulasi aktivitas-aktivitas ekonomi
produktif, yang pada akhirnya dapat mendukung pertumbuhan ekonomi wilayah.
Keberadaan infrastruktur telah lama diketahui sangat berperan dalam mewujudkan
kepentingan tersebut, di samping pembangunan sektor lainnya seperti pembangunan
sumberdaya manusia, konservasi lingkungan dan penguatan kelembagaan wilayah.
Secara teoritis, investasi infrastruktur di suatu wilayah akan memicu
pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut karena infrastruktur dapat memberikan
kemudahan akses untuk aktivitas produksi, memberikan ruang untuk mobilitas faktor
produksi, dan mengurangi pembiayaan untuk distribusi hasil produksi. Asumsi ini telah
muncul di berbagai teori pembangunan wilayah yang telah dikembangkan, seperti teori
pertumbuhan neoklasik, teori kutub pertumbuhan, dan teori lokasi (Chi et al, 2006).
Infrastruktur jalan tol merupakan salah satu jenis infrastruktur yang dipandang
mampu mendukung pertumbuhan ekonomi wilayah. Kenyataan di berbagai negara maju
seperti Amerika Serikat menunjukkan adanya peningkatan produktivitas ekonomi dan
penciptaan aktivitas ekonomi baru di luar kawasan aglomerasi sebagai ekses dari
pembangunan jalan tol (Boarnet, 1999). Namun demikian, kajian Boarnet (1999)
menunjukkan bahwa, walaupun hubungan investasi jalan tol mampu mendukung
pertumbuhan ekonomi, hubungan ini sejatinya cukup kompleks dan tidak selalu
memberikan dampak positif yang diharapkan, terutama di negara maju yang
ketersediaan infrastruktur publiknya sudah cukup baik. Dalam hal ini, perlu
dipertimbangkan preposisi Hansen (1965) dalam Guild (2000) yang menyebutkan bahwa
13. 12
pengaruh investasi infrastruktur akan bervariasi efeknya tergantung dari tingkat
pembangunan yang ada di dalam wilayah.
Hensen (1965) dalam Guild (2000) membagi wilayah menjadi tiga kelas, yaitu
wilayah padat (congested), wilayah sedang (intermediate) dan wilayah tertinggal
(lagging). Wilayah padat memiliki karakteristik produktivitas yang tinggi dibanding
tingkat ketersediaan infrastrukturnya. Investasi infrastruktur pada wilayah ini
kemungkinan besar tidak akan terlalu berdampak positif. Wilayah menengah memiliki
potensi peningkatan produktivitas yang besar (sebagai misal, wilayahnya kaya sumber
daya alam), namun tidak memiliki infrastruktur yang mendukung. Investasi infrastruktur
pada wilayah ini akan mampu meningkatkan produktivitas secara maksimal. Sedangkan
wilayah tertinggal dicirikan dengan kurangnya modal dan sumber daya manusia,
sehingga tidak mampu untuk mengeksploitasi potensi wilayahnya. Investasi infrastruktur
pada wilayah seperti ini tidak akan memberikan efek yang diharapkan dalam waktu
singkat.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang harus menghadapi berbagai
tantangan pembangunan ekonomi guna mewujudkan daya saing yang kuat di dalam
persaingan global. Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau menjadikan
penyediaan infrastruktur menjadi salah satu bidang strategis yang akan mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan regional. Kajian
Fitriandi et al (2014) menunjukkan bahwa indeks ketersediaan infrastruktur di
kebanyakan provinsi di Indonesia masih rendah. Satu-satunya provinsi yang mempunyai
indeks ketersediaan infrastruktur yang cukup baik dan lengkap hanya DKI Jakarta.
Kondisi ketersediaan infrastruktur guna mendukung pembangunan ekonomi
wilayah yang masih rendah di Indonesia menjadikan penyediaan infrastruktur (terutama
jalan tol) menjadi salah satu sektor strategis yang dapat membantu mengurangi
disparitas ekonomi antar wilayah dan mendukung pewujudan pemerataan ekonomi.
Dalam hal ini, sebagian besar wilayah Indonesia dapat dikatakan sebagai wilayah
intermediate dan wilayah lagging (kecuali DKI Jakarta) dalam preposisi Hensen, sehingga
penyediaan infrastruktur jalan untuk wilayah-wilayah Indonesia diharapkan dapat
memberikan efek positif yang maksimal.
14. 13
2.3 URGENSI PENYEDIAAN JALAN TOL DI INDONESIA
Berdasarkan data Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian Pekerjaan Umum,
pertumbuhan panjang jalan tol di Indonesia masih dipandang tidak signifikan sampai tahun
2000. Pada tahun itu, panjang tol hanya 590,2 km yang kemudian bertambah secara tidak
signifikan pada tahun berikutnya menjadi 590,62 km. Sampai saat ini, panjang jalan tol yang
sudah beroperasi di Indonesia adalah sepanjang 989 km, dengan rincian 550,33 km
dioperasikan oleh BUMN dan 438,67 km dioperasikan perusahaan swasta (Tabel 1).
Tabel 1.
Ruas Tol Operasional di Indonesia
Sumber: Badan Pengatur Jalan Tol Kementerian PUPR
Dari total ruas tol eksisting yang sudah beroperasi, sekitar 92 persen berada di
Pulau Jawa, dan sisanya dua ruas di Sumatera, satu ruas di Bali dan satu ruas di Makassar
(Gambar 2). Ruas tol yang lebih banyak dibangun di Jawa mengindikasikan adanya upaya
pemprioritasan Kawasan barat Indonesia dari Kawasan Timur Indonesia. Hal ini wajar
karena pembangunan jalan tol selain berorientasi pelayanan juga berorientasi pada
keuntungan, sehingga pembangunan dan investasi lebih diprioritaskan di wilayah yang
aktivitas ekonominya sudah muncul dan berkembang (dalam hal ini Kawasan Barat
Indonesia). Praktek pembangunan berat sebelah ini telah berlangsung selama puluhan
tahun di Indonesia, dan mulai menimbulkan dampak negatif, yaitu disparitas ekonomi
regional antara kawasan barat dan timur Indonesia, dimana kawasan barat lebih maju
dan berkembang, sementara kawasan timur menjadi tertinggal (Kuncoro, 2013).
15. 14
2.4 MEKANISME PENYEDIAAN JALAN TOL DI INDONESIA
Gambar 2.
Ruas Tol Operasional di Indonesia (Sumber: BPJT PUPR)
Dilihat dari lingkup Kawasan Asia, pembangunan jalan tol di Indonesia secara
umum dapat dipandang masih kalah dari negara-negara di Asia seperti China dan
Malaysia. Dalam kurun waktu 2004-2009, pemerintah mentargetkan pembangunan jalan
tol sepanjang 1.099,08 km, namun sampai tahun 2010 hanya terealisasi sepanjang 78,45
km. Dengan demikian, pertumbuhan jalan tol di Indonesia dalam kurun waktu tersebut
hanya berkisar 15, 69 km atau 2,3 persen per tahun. Nilai ini jauh lebih rendah daripada
Malaysia yang mencapai 9 persen per tahun atau China yang mampu membangun 20.000
km jalan tol dalam 3 tahun (Sihombing, 2012).
Mekanisme penyediaan jalan tol di Indonesia secara skematis disajikan pada
Gambar 3. Proses pengusahaan dimulai dari Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) dan
Direktorat Jenderal Bina Marga yang menyusun program pemerintah di dalam
pengusahaan jalan tol. Program ini termuat dalam rencana strategis (renstra) pemerintah
melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Pada saat yang
bersamaan, investor yang akan terlibat dalam konstruksi atau pengelolaan jalan tol
membentuk prakarsa badan usaha yang kemudian diusulkan untuk disetujui kepada
Direktorat Jenderal Bina Marga. Hasil persetujuan prakarsa badan usaha dan kebijakan
perencanaan jalan tol menjadi dasar dari Dirjen Bina Marga untuk merumuskan rencana
umum jaringan jalan tol, yang kemudian dilanjutkan dengan rencana ruas jalan tol.
Rencana ruas jalan tol dilegalkan melalui peraturan Menteri Pekerjaan Umum mengenai
status dan fungsi jalan nasional dan tol, yang diperbarui setiap lima tahun.
16. 15
Gambar 3.
Mekanisme Pengusahaan Jalan Tol (Sumber: BPJT PUPR)
Rencana ruas jalan tol kemudian diimplementasikan dalam kegiatan
pembangunan jalan tol melalui proses pengadaan pengusahaan jalan tol yang meliputi
tahapan persiapan pengusahaan, pengadaan tanah, dan pelelangan pengusahaan jalan tol.
Tata cara pengusahaan diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2003 dan
Peraturan Menteri PU Nomor 13 tahun 2010. Tahapan persiapan meliputi proses prastudi
kelayakan finansial, studi kelayakan dan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
Proses ini kemudian dilanjutkan dengan kegiatan pengadaan tanah oleh pemerintah, dan
pada saat yang bersamaan dilakukan lelang pengusahaan jalan tol melalui skema evaluasi
dua sampul (Wirahadikusumah, 2013).
Hasil dari pelelangan adalah Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) pemenang, yang
kemudian ditunjuk sebagai pelaksana dan atau pengelola konsensi pengusahaan jalan tol
melalui penyepakatan Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT). Pasca penandatanganan
PPJT, BUJT kemudian menyiapkan skema pendanaan, dilanjutkan perencanaan teknik
dan pelaksanaan konstruksi. Setelah konstruksi selesai, BUJT kemudian melakukan
pengoperasian (termasuk pemeliharaan) jalan tol sesuai masa konsesi yang telah
disepakati. Setelah konsensi selesai, BPJT mengambil-alih konsesi untuk kemudian
diberlakukan kebijakan lebih lanjut berupa perpanjangan konsesi atau pengalihan ke
BUJT lain melalui skema PPJT yang baru.
17. 16
2.5 RENCANA PEMBANGUNAN JALAN TOL JANGKA PANJANG
Skema kerjasama antara pemerintah melalui BPJT dengan badan usaha
pemerintah/swasta dalam pembangunan jalan tol sendiri terdapat beberapa skema yang
bergantung pada penilaian kelayakan secara ekonomi dan finansial. Dalam hal ini
terdapat beberapa skema kerjasama seperti build-operate-transfer (BOT), supported toll
road (S-BOT), performance based annuity scheme (PBAS), kontrak konstruksi, atau
penugasan BUMN. Gambaran umum pemilihan skema kerjasama pemerintah swasta
dalam pengusahaan jalan tol, beserta kriteria yang digunakan disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4.
Skema Kerjasama Pemerintah – Swasta dalam Pengusahaan Jalan Tol
(Sumber: BPJT PUPR)
Kebijakan pembangunan infrastruktur jalan tol di Indonesia guna mempercepat
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi pada saat ini (sesuai Nawacita pemerintah
Jokowi-JK) termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang
percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Peraturan presiden ini memuat
strategi pembangunan infrastruktur strategis yang akan dilaksanakan pemerintah, yang
18. 17
diantaranya adalah pembangunan 47 ruas Jalan Tol (tol). Dari jumlah tersebut, 17 ruas
Jalan Tol kemudian diprioritaskan untuk dibangun terlebih dahulu sampai tahun 2019
yang meliputi 16 ruas Jalan Tol yang masuk dalam RPJMD 2015-2019, ditambah satu ruas
jalan tol yang dianggap strategis, yaitu Jalan Tol Bawen – Yogyakarta.
Tujuh belas ruas jalan tol prioritas yang akan dibangun ini melengkapi sejumlah
ruas yang saat ini masih dalam proses penandatanganan kesepakatan investasi,
pembebasan lahan, atau konstruksi (PPJT), yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi (Gambar 5). Beberapa ruas yang masih dalam tahap konstruksi
di Pulau Jawa antara lain Pemalang – Batang – Semarang, Bawen – Salatiga - Solo, Solo –
Ngawi – Surabaya, Ciawi – Sukabumi, Pasir Koja – Soreang, Cileunyi – Sumedang –
Dawuan, dan Gempol – Pandaan. Adapun ruas yang sedang konstruksi di Sumatera antara
lain Medan – Binjai, Medan – Kualanamu – Tebing tinggi, Pekanbaru – Dumai, Bakaheuni
– Terbanggi Besar, dan Palembang – Indralaya. Sisa ruas lain yang masih dalam tahap
konstruksi adalah Balikpapan – Samarinda di Kalimantan dan Manado – Bitung di
Sulawesi.
Gambar 5.
Target Jalan Tol Operasi Tahun 2019 (Sumber: BPJT PUPR)
19. 18
2.6 PERMASALAHAN PENYEDIAAN JALAN TOL
Permasalahan terkait kebijakan jalan tol di Indonesia adalah bahwa dengan
wilayahnya yang luas dan terdiri dari berbagai pulau, jalan tol yang tersedia sangat
pendek dan tidak terkoneksi satu sama lain (Suprayitno, 2012). Dari sekitar 1.000 km
jalan tol pada tahun 2015, sekitar 700 km ada di Pulau Jawa (statistik PU online: 10 Maret
2017). Rasio panjang jalan tol terhadap penduduk hanya 2,5 km per satu juta penduduk
dibanding Jepang yang rasionya 92 km, China sebesar 77 km, Korea sebesar 56 km, dan
Malaysia sebesar 55 km (Suprayitno, 2012). Jumlah ini menunjukkan bahwa ketersediaan
jalan tol di Indonesia masih sangat kurang.
Pengalaman yang sudah terjadi di Indonesia semenjak pemerintah orde baru
sampai orde reformasi pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah target
pembangunan jalan tol yang dicanangkan pemerintah seringkali tidak tercapai, bahkan
tidak sampai 25 persen yang tercapai. Contoh paling nyata adalah pada periode 2005-
2009 ditargetkan pembangunan jalan tol dapat terselesaikan sekitar 1.099, 08 km, namun
sampai tahun 2010 baru terealisasi 78,45 km (Sihombing, 2012). Kinerja pembangunan
infrastruktur yang kurang ini disebabkan oleh berbagai permasalahan, baik dari sisi
aturan hukum, proyeksi keuntungan ekonomi, pembiayaan maupun di aspek penyediaan
tanah/pembebasan lahan.
Pembebasan lahan merupakan permasalahan umum yang menghambat
pembangunan infrastruktur, tidak hanya jalan tol tetapi juga infrastruktur publik lainnya.
Harga tanah yang tercantum dalam nilai investasi PPJT seringkali tidak sesuai dengan
harga tanah di lapangan akibat adanya kenaikan harga tanah yang tinggi pada saat
konstruksi akan dimulai. Harga tanah yang naik tajam (terkadang melebihi 100 persen
dari harga awal) disebabkan antara lain birokrasi pembebasan tanah yang rumit dan
berlarut-larut, praktik makelar tanah, dan isu-isu lain seperti pencemaran lingkungan,
penggusuran dan gangguan sosial, yang menghambat proses pembebasan lahan. Selain
itu, komponen pembiayaan lahan di sebagian proyek dibebankan kepada BUJT,
sementara modal BUJT terbatas, sehingga komponen tanah ini sangat memberatkan BUJT
yang ingin berinvestasi, tetapi terkendala pendanaan (Wirahadikusumah et al, 2013).
Lambannya progres pembangunan Jalan Tol Trans Jawa baik di era Presiden Susilo
20. 19
Bambang Yudhoyono maupun pemerintah Joko Widodo kebanyakan disebabkan oleh
permasalahan pembebasan lahan yang tidak cepat selesai ini.
Selain pembebasan lahan, permasalahan lain terkait investasi infrastruktur jalan
tol adalah di aspek pembiayaan, analisis keuntungan, pembagian wewenang, dan isu lain
yang muncul di setiap tahapan pengusahaan jalan tol. Isu dan permasalahan yang ada
secara umum dapat dirangkum di dalam Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2.
Permasalahan Pengusahaan Jalan Tol di Indonesia
Tahapan Permasalahan
Proses Lelang - Proses lelang kompleks dan berbelit.
- Waktu pelaksanaan lelang sangat lama yang berimbas pada pelaksanaan
konstruksi yang terhambat.
PPJT - Belum adanya pertimbangan unforeseen changes (perubahan teknologi
transportasi, jaringan jalan, demografi) dalam jangka panjang di dalam
PPJT, sehingga risiko bisnis menjadi sangat tidak terprediksi.
Tarif Jalan Tol - Proses penentuan tarif jalan tol dan perubahan tarif sebagai konsekuensi
dinamika perekonomian di legislatif berbelit dan memakan waktu lama
- Intervensi kebijakan pemerintah yang berpengaruh pada sulitnya BUJT
memenuhi SPM pelayanan jalan tol, misalnya permasalahan akibat
overloading muatan yang menyebabkan jalan cepat rusak.
Keuntungan Usaha - BUJT sulit untuk memperoleh jaminan pendanaan dari lembaga
keuangan sebagai ekses dari berbagai risiko yang mungkin muncul
selama masa konsesi.
Sumber: Wirahadikusumah et al, 2013.
21. 20
3.1.1 Model Perencanaan Rasional (Rational Planning) dan Pendekatan
Perencanaan Dari Atas (Top down Planning).
Model perencanaan rasional merupakan proses untuk memahami permasalahan
yang diikuti dengan perumusan dan evaluasi kriteria perencanaan, formulasi alternatif
skenario, implementasi skenario terpilih, dan melakukan monitoring progres dari
alternatif skenario terpilih. Model perencanaan rasional ini sangat mirip dengan model
pengambilan keputusan rasional. Model perencanaan rasional berpusat pada cara
pengambilan keputusan menggunakan prinsip-prinsip pertimbangan (reasoning), logika,
dan fakta ilmiah, dengan sedikit sekali melibatkan pada nilai moral dan emosi. Karena
kecenderungannya pada metode saintifik dalam pengambilan keputusan, Faludi (1978)
menyebutnya sebagai teori perencanaan prosedural. Perencanaan merupakan prosedur
dan dideklarasikan bahwa “Teoritis perencanaan bergantung pada pengalaman primer,
melakukan refleksi atas pengalaman tersebut, dan menempatkan pengalaman tersebut
pada konteksnya”. Dengan demikian, perencana belajar dari pengalaman, dan dari
pengalaman tersebut kemudian mampu mendefinisikan metode atau prosedur yang
benar, untuk menghasilkan keluaran yang benar. Sandercock (1998) mendefinisikan
model perencanaan rasional komprehensif sebagai ‘perencanaan teknokratis’ karena
penekanannya pada keahlian dan keterampilan teknis, serta ketergantungannya pada
teknologi dan ilmu sosial dalam memecahkan permasalahan.
Atas pengaruh dari Max Weber, Allexander (1986) membagi perencanaan rasional
menjadi dua jenis, yaitu perencanaan rasional formal/prosedural dan perencanaan
rasional substansial. Rasionalitas formal memisahkan cara/prosedur perencanaan dari
keluaran/substansi perencanaan, dan secara sistematis mengidentifikasi, mengevaluasi
3.1 Model Perencanaan dan Pemikiran Perencanaan dalam Kasus
Pembangunan Jalan Tol di Indonesia
KAJIAN TEORITIS
B A G I A N 3
LP2KLH
Kabupaen Kendal LP2KLH sebagai Bentuk Perencanaan Advokasi
22. 21
dan memilihi substansi melalui langkah – langkah teknis dan apolitis. Fokusnya adalah
pada prosedur, bukan substansi, memprioritaskan fakta daripada nilai, dan seringkali
digunakan di lembaga birokrat. Permasalahan utama dari perencanaan rasional
formal/prosedural adalah, perencanaan ini tidak dapat memperlihatkan bagaimana
memilih tujuan. Faludi (1978) memberikan contoh ada banyak cara perencanaan rasional
untuk merampok bank, namun tujuannya sendiri sudah salah. Dengan demikian,
rasionalitas adalah kontekstual. Perencanaan rasional substansial lebih terkait pada
substansi/keluaran daripada cara yang digunakan. Rasionalitas substansial bisa
dikatakan kurang ilmiah daripada rasionalitas formal. Selain itu rasionalitas substansif
juga lebih efektif dan efisien. Rasionalitas substansif melibatkan nilai – nilai yang tidak
berdasarkan keyakinan membabi buta, tetapi dibangun dari pengalaman dan informasi
yang tersedia untuk pengambil keputusan. Tahapan dalam perencanaan rasional
komprehensif terdiri dari beberapa tahap yang diuraikan pada Gambar 6 di bawah ini.
Gambar 6. Alur Perencanaan Rasional
Perencanaan rasional banyak dikritik semenjak awal pengembangannya sampai
saat ini. Beberapa ahli perencanaan menyebut perencanaan ini sebagai perencanaan
tanpa isi karena hanya mementingkan prosedur tanpa menginvestigasi substansi
perencanaan. Dalam pelaksanaanya, perencanaan rasional juga jauh dari dikatakan
komprehensif karena umumnya waktu dan informasi yang tersedia untuk melakukan
pengambilan keputusan sangat terbatas (perencanaan rasional umumnya memerlukan
waktu penyusunan yang lama). Perencanaan ini juga memerlukan perencana yang
memiliki pengetahuan, keterampilan, daya analisis dan kemampuan koordinasi
Formulasi
tujuan,
sasaran, dan
target
Pengumpulan
dan Analisis
Data
Perumusan
Alternatif
Skenario
Pemilihan
Alternatif
terbaik
Implementasi
Monitoring
Umpan Balik
23. 22
organisatoris, untuk menyerap dan melakukan penyimpulan terhadap seluruh informasi
yang relevan. Perencana juga kemungkinan dapat mengalami kebingungan akibat teknik
analisis yang kompleks dan beragam informasi yang tersedia, yang pada akhirnya
menjadi semakin tidak rasional dalam mengambil keputusan. Selain itu, walaupun
didesain bahwa perencana harus “sendirian” dalam melakukan pengambilan keputusan,
dalam kenyataannya mereka mengantisipasi terjadinya kritik terhadap keluaran melalui
sebuah “persetujuaan bersama/kesepakatan” (Forester, 1999).
Perencanaan rasional juga bersifat ekslusif karena hanya perencana yang sudah
belajar teknik analisis dengan kualifikasi profesional yang dapat melakukan perencanaan,
dan mengabaikan pihak lain yang tidak terlatih dalam melakukan perencanaan. Padahal
perencanaan adalah termasuk kemampuan dasar manusia. Perencanaan rasional juga
lebih memilih memberdayakan pengetahuan saintifik dan teknis dalam memperoleh
informasi dibanding alternatif lain yang sama pentingnya, seperti pengetahuan lokal dan
intuitif. Pengetahuan yang diperoleh dari model eksperimen dan analitis lebih
diprioritaskan daripada pengetahuan yang diperoleh dari percakapan, pendengaran,
pengamatan, kontemplasi, dan praktek berbagi (Sandercock, 1998). Kelemahan terakhir
dari model perencanaan rasional adalah, model ini terlalu banyak mengandalkan asumsi.
Kebanyakan dari asumsi tersebut sulit untuk dibuktikan di dunia nyata karena
terbatasnya informasi yang tersedia untuk memverifikasi.
Walaupun banyak dikritik, model perencanaan rasional merupakan model
perencanaan yang paling banyak digunakan di berbagai tempat di seluruh dunia. Model
ini merupakan model paling praktis dan memiliki dasar pemikiran saintifik yang kuat.
Selain itu model ini juga sangat merasakan manfaat dari perkembangan teknologi dan
ketersediaan data di tingkat global dewasa ini. Tradisi penggunaan dan analisis data di
dalam model perencanaan rasional membuat klaim dan argument yang berasal dari
model perencanaan ini biasanya cukup kuat dan memiliki dasar yang jelas dan obyektif.
Adanya pertimbangan berbagai skenario untuk kemudian dipilih mana yang terbaik,
merupakan salah satu faktor yang membuat model perencanaan rasional lebih banyak
dipakai di seluruh dunia. Proses perencanaan dalam perencanaan rasional dianggap
paling fleksibel, dan memfasilitasi upaya umpan balik dan monitoring dalam
implementasi produk perencanaannya, sehingga penyesuaian dan pembaharuan berkala
terhadap produk perencanaan dapat selalu dilakukan.
24. 23
3.1.2 Model Perencanaan Rasional Dalam Kasus Pembangunan Jalan Tol di
Indonesia
Pembangunan jalan tol di Indonesia saat ini, merupakan wujud implementasi dari
Nawacita pemerintah dalam hal ini adalah “Jokowi JK” untuk mempercepat pertumbuhan
dan pemerataan ekonomi. Secara teori, pembangunan jalan tol ini merupakan merupakan
perencanaan yang bersifat “top down” dimana pemerintah dan negara sebagai perencana
dan produk rencana induknya adalah program pemerintah pusat. Pembangunan jalan tol,
menggunakan beberapa pendekatan yang bersifat komprehensif rasional dan partisipatif.
Hal ini karena pembangunan jalan tol melibatkan berbagai pihak terkait yang menjadi
pemangku kepentingan, baik sebagai penyelenggara, pelaksana, maupun objek rencana.
Permasalahan pokok dalam pembangunan jalan tol selama ini adalah masalah pengadaan
lahan atau pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol dan masalah permodalan.
Pendekatan yang dilakukan mengatasi permasalahan pembangunan jalan tol di Indonesia
ada Pendekatan tersebut diantaranya :
a. Pendekatan komprehensif rasional
Pendekatan yang komprehensif rasional sangat memperhatikan ataupun
mempertimbangkan semua hal dalam suatu perencanaan. melihat masalah dari sudut
pandang sistem dengan menggunakan konseptual atau model matematika yang berakhir
pada suatu tujuan. Pendekatan ini membutuhkan banyak waktu, tenaga, sumber daya.
Pada pendekatan ini diharapkan dapat memenuhi harapan dari stakeholder seperti pada
gambar 7.
Perencanaan transportasi yang komprehensif telah terbukti sebagai cara yang
paling efektif untuk mengidentifikasi prioritas dan kebijakan untuk mencapai sistem
mobilitas yang aman, efisien, dan terjangkau, melayani kebutuhan masyarakat dan juga
menumbuhkan perekonomiannya. Kerangka kebijakan nasional, skema pendanaan dan
panduan untuk perencanaan jalan tol dapat memastikan proses perencanaan secara
strategis dan inklusif diseluruh negara. Kebijakan dan praktek harus dievaluasi dan
secara berkala diperbaharui agar tetap efektif dan dapat mengatasi masalah nyata di
lapangan.
25. 24
Sumber: Badan Pengatur Jalan Tol 2016
Gambar 7.
Peta Strategi Badan Pengatur Jalan Tol 2015-2019
a. Pendekatan pemberdayaan masyarakat
Perencanaan jalan tol harus dibuat secara terpadu melalui proses partisipasi
pemangku kepentingan/stakeholder, yang diselenggarakan oleh pemerintah. Rencana
yang dibuat oleh konsultan dalam penyusunan rencana induk pada tingkat nasional
belum tentu mampu memberikan solusi yang efektif, tidak memenuhi standar kelayakan
dan pemahaman masalah yang baik.
Proses perencanaan yang bersifat partisipatif dapat meningkatkan tingkat
kepercayaan antara masyarakat dan pemerintah serta memperoleh dukungan
masyarakat terhadap kebijakan transportasi. Pemerintah daerah memerlukan kapasitas
SDM yang cukup dalam proses perencanaan yang memadai (personel yang berpendidikan
dan peralatan teknis) dan juga akses terhadap pilihan pembiayaan untuk
mengembangkan dan mengimplementasikan pembangunan jalan tol.
b. Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan
Kebijakan pembangunan jalan tol membawa dampak pada beberapa sisi
lingkungan kota dan sistem transportasi dan juga para pengguna angkutan. Oleh karena
itu diperlukan analisis dampak kebijakan transportasi; suatu kajian komprehensif untuk
26. 25
meningkatkan dampak positif dari kebijakan dan mengurangi dampak negatifnya.
Sehingga pembangunan jalan tol diharapkan merupakan pembangunan yang
berkelanjutan, yang tidak hanya mementingkan kepentingan mengatasi masalah
transportasi sekarang, tapi juga berfikir untuk menjaga kelestarian lingkungan dan
kepentingan bagi generasi yang akan datang. Gambaran umum mengenai proses
perencanaan dan pembangunan yang berkelanjutan dapat dilihat di Gambar 8 dan
Gambar 9.
Gambar 8.
Siklus Perencanaan Transportasi yang Berkelanjutan (Sumber: Rupprecht Consult 2014)
Sumber Rupprecht Consult 2014
Gambar 9.
Tabel Langkah-langkah Perencanaan Transportasi yang Berkelanjutan
27. 26
3.2.1 Tradisi Pemikiran Dalam Ilmu Perencanaan
Pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh manusia dalam kehidupan sehari-
hari selalu menjadi dasar bagi manusia dalam mengambil keputusan atas permasalahan
yang dihadapi. Perencanaan berusaha mengidentifikasi dan merumuskan bagaimana
pengetahuan yang diperoleh manusia dapat diimplementasikan dalam tindakan secara
layak. Perencanaan merupakan sebuah upaya untuk mewujudkan bagaimana
pengetahuan dapat digunakan secara efektif dan efisien untuk menyusun dan
mengimplementasikan tindakan. Friedmann (1987) menyebutkan setidaknya ada empat
tradisi perencanaan berkaitan dengan bagaimana menghubungkan pengetahuan dan
tindakan.
Tradisi pertama adalah reformasi sosial (social reform). Tradisi ini bertumpu pada
kekuatan negara atau pemerintah dalam mengatur kehidupan sosial. Tradisi ini berfokus
pada menemukan cara bagaimana praktek perencanaan dapat dilembagakan oleh
negara/pemerintah secara lebih efektif. Penganut paham reformasi sosial memahami
perencanaan sebagai implementasi dari pengetahuan ilmiah untuk menyelesaikan
permasalahan publik. Sementara itu, dalam kenyataannya banyak elemen perencanaan
yang seringkali diintrusi oleh politikus dan masyarakat biasa yang tidak memiliki
pengetahuan yang cukup untuk terlibat dalam perencanaan. Oleh karena itu, negara dan
pemerintah yang diadvokasi untuk berperan kuat, dimana mereka mempunyai
kemampuan mediasi dan kekuasaan. Sektor penting dimana reformasi sosial berperan
penting adalah promosi pertumbuhan ekonomi, pencegahan pengangguran, dan
pemerataan pendapatan. Instrumen perencanaan yang termasuk dalam kategori
reformasi sosial antaralain analisis model bisnis, akuntansi sosial, analisis input-output,
model kebijakan ekonomi, dan ekonomi pembangunan.
Tradisi kedua adalah analisis kebijakan (policy analysis). Analisis kebijakan adalah
cara pandang perencanaan yang berfokus pada pencarian solusi terbaik dari serangkaian
alternatif skenario yang terumus dalam perencanaan. Dalam siklus perencanaan pada
Gambar 3, analisis kebijakan berkonsentrasi pada tahap perumusan alternatif skenario,
identifikasi dampak dari implementasi setiap skenario dan evaluasi dari konsekuensi
3.2 Pemikiran Perencanaan dalam Kasus Pembangunan Jalan Tol
di Indonesia
28. 27
yang muncul terkait tujuan yang diinginkan dan aspek lainnya. Dalam pelaksanaannya,
analisis kebijakan banyak mengunakan model ekonomi, statistik, matematika dan
pendekatan kuantitatif lainnya. Dalam cara pandang analisis kebijakan, solusi terbaik
hanya bisa diperoleh dari teknik dan teori matematika. Analisis kebijakan tidak
mempertimbangkan unsur-unsur filosofis, kualitatif, epistemologis dan faktor
subyektifitas manusia. Keputusan harus datang dari pertimbangan logis rasional ilmiah,
bukan dari konsensus politik. Model konsep pemikiran dari analisis kebijakan disajikan
pada Gambar 3 di bawah ini.
Gambar 10. Alur Analisis Kebijakan
Sumber: Friedmann, 1987
Tradisi ketiga adalah pembelajaran sosial (social learning). Tradisi social
learning berfokus pada upaya menjembatani antara pengetahuan teoritis dan teknis
implementasi, antara pengetahuan dan tindakan. Konsep social learning dapat
diungkapkan dalam istilah “learning by doing”. Teoritis social learning berpendapat
bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman dan divalidasi melalui sebuah aksi/tindak.
Pengetahuan diperkaya oleh pengalaman baru, dan pengetahuan yang telah diperkaya ini
diterapkan dalam kontinuitas perencanaan tindak perubahan. Melalui proses ini,
lingkungan sosial akan berubah menjadi lebih baik. Social learning selalu bersemangat
untuk melakukan eksperimen spasial, mengamati hasilnya dengan hati-hati, dan
mengakui jika terdapat sebuah kekeliruan, dan belajar dari kekeliruan tersebut.
Berbeda dengan analisis kebijakan, pembelajaran sosial dimulai dan diakhiri
melalui aksi/tindak. Aksi merupakan proses kompleks, bergantung pada waktu,
melibatkan strategi politik, kenyataan teoritis, dan nilai-nilai yang mengatur dan
mengarahkan aksi. Keempat unsur ini secara bersama membentuk suatu praktek sosial.
Praktek sosial sendiri memerlukan pembelajaran sosial agar bisa berjalan. Jadi dua proses
29. 28
(praktek dan pembelajaran) sosial ini berkomplemen satu sama lain. Model pemikiran
dari pembelajaran sosial disajikan pada Gambar 11 di bawah ini.
Unsur – unsur penting dalam pembelajaran sosial antara lain:
1. Aksi/Tindak
Merupakan aktivitas yang dilakukan oleh aktor, baik secara individu maupun kolektif,
di dalam lingkungan aktor. Aktivitas ini dapat berupa aktivitas kerja maupun aktivitas
historis. Aktivitas kerja yang dilakukan secara terus menerus berkembang menjadi
praktik tetap/kebiasaan yang disebut aktivitas historis.
2. Aktor
Aktor adalah pihak yang melakukan aktivitas. Aktor dapat berupa individu, kelompok
kecil, atau organisasi. Pembeda aktor dalam pembelajaran sosial dan mobilisasi sosial
(social mobilization) adalah aktor dalam pembelajaran sosial beroerientasi pada
tugas/kerja/karya.
3. Pembelajaran
Dari aksi/tindak yang dilakukannya, aktor memperoleh pengalaman yang
memperkaya pengetahuannya. Dalam kondisi ini, aktor disebut juga pembelajar.
4. Prinsip Pembelajaran
Pembelajaran dalam tradisi pembelajaran sosial dapat muncul dari dua sumber.
Pertama, pembelajaran muncul dari perubahan aktivitas praktis. Kedua, terdapat
agen perubahan (change agent) yang mendukung, mengarahkan, membimbing, dan
membantu aktor dalam mengubah situasi dan kondisi agar menjadi lebih baik.
Pembelajaran juga dapat muncul dalam bentuk pembelajaran tunggal maupun ganda.
Pembelajaran tungal hanya melibatkan perubahan sederhana taktik/strategi aksi
guna memecahkan permasalahan tertentu. Sedangkan pembelajaran ganda
Gambar 11. Alur Pembelajaran Sosial
Sumber: Friedmann, 1987
30. 29
melibatkan juga pengaturan norma dan nilai yang mengatur proses aksi/tindak dan
lain-lain.
Tradisi keempat adalah mobilisasi sosial (social mobilization). Tradisi ini sangat
berkebalikan dengan tradisi social reform dan policy analysis. Tradisi ini merupakan
wujud perencanaan dari bawah yang sesungguhnya. Dalam tradisi ini, perencanaan
nampak sebagai bentuk upaya politik tanpa melibatkan pengetahuan ilmiah. Tradisi ini
dekat dengan social learning dimana mobilisasi sosial merupakan proses transformasi
awal yang dibutuhkan sebelum mobilisasi sosial dapat dijalankan. Keputusan dalam
perencanaan di tradisi ini dirumuskan secara kolektif oleh stakeholder yang terlibat.
Tradisi ini banyak mendapat inspirasi dari ideologi komunis, anarkisme, perjuangan kelas
Marxis, dan gerakan emansipasi sosial. Mobilitas sosial merupakan ideologi dari mereka-
mereka yang tersingkir, yang mendapat kekuatan dari solidaritas sosial dan keinginan
untukterlibat dalam pengambilan keputusan dan perubahan status quo.
Mobilisasi sosial bertumpu pada tiga gerakan perlawanan terhadap arus utama,
yaitu utopianisme, anarkisme sosial, dan materialisme historis. Tiga gerakan ini muncul
di Prancis dan Inggris sekitar tahun 1820. Tiga gerakan ini muncul sebagai respon
terhadap ketidakpuasan sosial, penderitaan manusia, dan brutalisasi yang hadir seiiring
dengan meledaknya revolusi industri. Perspektif yang diangkat merupakan perspektif
golongan masyarakat yang tertindas atau kelas masyarakat yang tidak berdaya. Kritik
utama dari gerakan – gerakan ini adalah pada industrialisme, dan tujuan praktisnya
adalah pembebasan manusia. Utopianisme berperan terhadap mobilisasi sosial melalui
ide dan visi anti ekonomi kapitalis dimana orang bekerja sesuai pendapatan dan tugas
yang diberikan, pembentukan karakter manusia yang selaras dengan visi sosial dan
lingkungan, keseimbangan antara praktek industri dan praktek pertanian, serta peran
penting pendidikan dan pelatihan. Anarkisme sosial berperan dalam pembentukan visi
masyarakat yang mandiri, pembentukan masyarakat regional yang sesuai dengan
bentang alam dan bentang budaya yang dimiliki, penghapusan hierarki kekuasaan
(karena hierarki kekuasaan dipandang sebagai kekuatan yang menindas), pengarus
utamaan prinsip saling menguntungkan dan kerjasama, sebagai alternatif dari kompetisi
dalam kehidupan sosial atau organisasi, dan penggunaan aksi massa dalam perlawanan
terhadap kekuasaan negara dan perusahaan kapitalis. Materialisme historis berperan
dalam pemahaman mengenai sifat alami kelas dalam masyarakat., pemmbahasan
mengenai aspek historis dari perjuangan kelas (class struggle) sebagai agen perubahan
31. 30
politik, pemahaman pentingnya kesadaran kelas dalam praktek revolusi massal, analisis
kondisi eksisting dari sudut pandang ilmiah dan kritis, dan pengakuan terhadap peran
kunci dari teori-teori dalam mempertahankan praktek politik yang bertujuan pada
perubahan struktur sosial.
Gabungan dari tiga gerakan perlawanan sebagaimana diuraikan diatas dimotivasi
oleh kebobrokan moral yang muncul sebagai ekses dari revolusi industri. Gerakan –
gerakan ini memandu penciptaan masyarakat yang lebih baik melalui emansipasi sosial.
Mereka berfokus pada perubahan historis melalui serangkaian upaya kolektif, dengan
mengandalkan kekuatan pengetahuan ilmiah dan teknis untuk sebuah aksi radikal.
Rekonstruksi sosial hanya dapat dicapai jika menerapkan praktek ilmiah dalam proses
revolusi.
Pandangan mobilisasi sosial dalam perencanaan muncul dalam bentuk
perencanaan radikal (radical planning). Perencanaan radikal muncul karena mobilisasi
sosial memberikan visi baru bahwa perencanaan yang bersifat “dari atas” tidak cukup
untuk membentuk masyarakat yang baik dan maju. Visi masa depan yang lebih baik dapat
berasal dari masyarakat itu sendiri, melalui pendekatan – pendekata “dari bawah”.
Terkait dengan dikotomi perencanaan dari atas dan perencanaan dari bawah, terdapat
dua unsur politik dalam mobilitas sosial. Yang pertama adalah politik pelepasan (politics
of disengagement), dan yang kedua adalah politik konfrontasi (confrontational politics).
Politik pelepasan mendemonstrasikan cara-cara yang tidak ditemui dalam perencanaan
top down. Sedangkan politik konfrontasi menekankan pada perjuangan politik sebagai
sebuah kewajiban untuk mentransformasikan kekuatan-kekuatan eksisting, dan
membentuk sistem baru yang tidak berdasarkan sistem sebelumnya.
Dilihat dari pendekatan perencanaan, suara dari bawah selain dari mobilisasi
sosial, sebenarnya juga dapat berasal dari praktek social learning dan perencanaan
advokasi, namun pendekatan advokasi dan social learning masih mengandalkan pada
pihak tertentu (ahli, teknokrat, profesional) dalam memunculkan visi, rencana dan
tindakan. Perencanaan radikal bergerak lebih dalam karena mencari suara dan bentuk
perencanaan yang muncul dari dalam masyarakat sendiri, utamanya masyarakat yang
selama ini tidak memperoleh peran, bak, dan suara dalam pembangunan wilayah.
Pengetahuan sosial (yang menjadi dasar dalam perencanaan) di dalam perencanaan
radikal dan mobilisasi sosial dapat muncul dari mana saja, tidak harus dari pengetahuan
masyarakat. Dia dapat berasal dari pengalaman-pengalaman masyarakat yang kemudian
32. 31
dikonseptualisasikan. Dengan demikian, perencana dalam perencanaan radikal bukan
perencana profesional yang memiliki keterampilan dan pengetahuan tertentu
sebagaimana di dalam tradisi social reform dan policy analysis, namun siapa saja di
masyarakat yang mempunyai kemampuan seperti keterampilan komunikasi,
keterampilan mengarahkan diskusi kelompok, punya kemampuan mengajar, mampu
menganalisis, mampu merencanakan, melakukan sintesa, dan melaksanakan eksperimen.
Perencana dalam perencanaan radikal dan mobilisasi sosial adalah anggota dari
masyarakat itu sendiri, dan berperan ganda, baik sebagai perencana maupun obyek
perencanaan. Posisi perencana dalam pendekatan radikal ditempati oleh masyarakat,
demikian pula sebaliknya.
Jika kembali pada model perencanaan dalam pembelajaran sosial (social learning)
di Gambar 4, mobilisasi sosial masih menggunakan kerangka pikir yang sama.
Perbedaannya adalah bahwa dalam mobilisasi sosial selalu dimulai dan diakhiri oleh
praktek dan implementasi. Praktek di masyarakat akan membangkitkan kesadaran kritis
mengenai proses perencanaan dan implementasi perencanaan di masyarakat beserta
permasalahan terkait yang muncul, kemudian proses pemecahan masalah ini akan
menjadi pengetahuan yang diterapkan dalam praktek yang telah direvisi. Praktek yang
telah direvisi kemudian dievaluasi apakah berjalan lancar atau terdapat permasalahan
baru yang muncul kemudian. Proses ini terus diulang guna menghasilkan keluaran yang
paling adil dan bermanfaat untuk seluruh kelas yang ada di masyarakat. Pandangan
pembelajaran sosial dalam mobilisasi sosial secara konseptual disajikan pada gambar 12
di bawah ini.
Perencana Masyarakat
Langkah 1. Dari Praktek Menuju Kesadaran
Langkah 2. Dari Kesadaran Menuju Praktek
KESADARAN KRITIS PRAKTEK RADIKAL
Gambar 12. Alur Pembelajaran Sosial Dalam Perspektif Mobilisasi Sosial
Sumber: Friedmann, 1987
33. 32
Terkait dengan proses perencanaan, perencanaan radikal dimulai dari kritik
terhadap situasi eksisting. Kritik ini tidak murni normatif, tetapi berasal dari analisis
kritis yang kuat, yang memungkinkan untuk diinterpretasi, dipahami, dan dijelaskan
mengapa bisa terjadi seperti ini. Ketika situasi sudah dipahami tidak seperti yang
seharusnya, dan situasi ini dapat diubah, pencarian solusi praktis dapat diinisiasi, baik
oleh masyarakat sendiri maupun dibantu oleh perencana. Dari gambaran solusi praktis
yang diperoleh, strategi yang layak kemudian dikembangkan, dengan
mempertimbangkan berbagai aspek pro dan kontra. Proses ini dilaksanakan secara
berulang yang kemudian dipilah mana yang dapat dikerjakan dan mana yang tidak dapat
dikerjakan.
Dari empat tradisi tersebut, Friedmann (1987) membagi menjadi dua kategori
besar kelompok perencanaan, yaitu kelompok Social Guidance dan kelompok Social
Transformation. Social Reform dan Policy Analysis termasuk ke dalam Social Guidance,
sedangkan Social Learning dan Social Mobilization termasuk ke dalam Social
Transformation. Social Guidance merupakan kelompok perencanaan yang dikontrol dan
diartikulasikan oleh negara atau pemerintah (top down planning), sedangkan Social
Transformation diartikulasikan di level komunitas (bottom up planning).
Sebagaimana telah diuraikan di pembahasan teoritis sebelumnya, kelompok
perencanaan social guidance mampu menempatkan praktek perencanaan dalam posisi
yang dapat dilembagakan, dan diimplementasikan ke berbagai tempat dan wilayah yang
berbeda. Namun demikian, tradisi ini bukan tanpa kritik. Kelemahan mendasar dari Social
Guidance adalah ketergantungannya pada beberapa asumsi sebagai berikut:
1. Social Guidance memerlukan waktu yang panjang dalam perumusannya.
2. Agar menghasilkan keputusan yang komprehensif, informasi dalam jumlah besar
sangat diperlukan.
3. Terdapat kriteria yang terukur, tersedia dan disepakati bersama oleh pemangku
kepentingan.
4. Adanya pengetahuan yang akurat, stabil, dan lengkap dari berbagai alternatif,
preferensi, tujuan dan konsekuensi.
5. Kondisi dan situasi dari sasaran perencanaan harus tetap rasional dan tidak
terintervensi oleh politik.
34. 33
Dalam kenyataannya, kriteria – kriteria sulit untuk disepakati bersama karena terkait
dengan berbagai kepentingan yang berbeda dari pemangku kepentingan. Pengetahuan
yang lengkap juga sulit diperoleh. Intervensi politik terhadap kebijakan juga lazim
ditemui di berbagai wilayah dan negara, sehingga keputusan yang diambil seringkali
justru tidak rasional dan hanya menguntungkan pihak tertentu.
Dibandingkan dengan kelompok Social Guidance, kelompok perencanaan Social
Transformation bergerak di tatanan praktek tindak/aksi. Dia bukan formulasi kebijakan
di tingkat elitis dan bersumber dari pemahaman dan pengetahuan rasional, tetapi
berangkat dari pengalaman manusia. Dengan cara pandang ini, Social Transformation
akan dapat memunculkan pengalaman dan pengetahuan manusia yang selama ini tidak
terbidik atau tidak terpikirkan di level pemerintah/negara/ahli perencanaan, misalnya
mengenai praktek-praktek kearifan lokal di berbagai wilayah yang berbeda. Meskipun
memiliki banyak manfaat positif yang menjadi kelemahan dari Social Guidance, kelompok
Social Transformation juga tidak lepas dari kritik dan kelemahan.
Friedmann (1987) menggaris bawahi bahwa Social Transformation bermasalah di
aspek filosofis (utamanya di cara memandang rasionalitas) dan validasi pengetahuan.
Rasionalitas dan alur perencanaan dalam Social Transformation bukan merupakan
seperti mesin (sebagaimana nampak pada kelompok Social Guidance) yang relatif tanpa
friksi. Apa yang menjadi input dalam sebuah mesin/sistem, outputnya akan sama.
Sementara Social Transformation bekerja di ranah manusia, dimana aksi di ranah manusia
belum tentu menghasilkan keluaran yang sama, baik di wilayah yang sama maupun
berbeda, baik pada waktu yang sama maupun berbeda. Dimensi sosial dan kejiwaan
manusia sangat kompleks dan multidependen. Dalam Social Transformation, tidak ada
garansi bahwa praktek pembelajaran atau mobilisasi sosial akan memberikan hasil yang
optimal, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, karena pengetahuan terus
dikonstruksi (sebagaimana proses berpikir induktif dalam sains). Dengan demikian maka
praktek – praktek Social Transformation bersifat unik dan tidak mudah untuk
distandarisasi dan dirumuskan untuk diimplementasikan di wilayah – wilayah lain.
Permasalahan kedua dari kelompok Social Transformation adalah permasalahan
validasi. Sebuah pengetahuan dikatakan valid jika dia berhasil memecahkan suatu
masalah. Dalam kenyataannya, implementasi suatu praktek pembelajaran sosial atau
mobilisasi sosial dapat memunculkan masalah lain, dan masalah lain ini harus diupayakan
juga solusinya. Hasil akhir yang terjadi adalah, suatu masalah hilang bukan karena solusi
35. 34
sudah ditemukan, tetapi karena perhatian berpindah pada permasalahan baru yang
muncul sebagai ekses implementasi perencanaan social transformation. Selain itu,
pengetahuan yang diterima dan diterapkan dalam praktek social transformation dapat
dianggap sebagai sebuah produk sosial. Jika ada satu pihak yang tidak setuju, maka dia
akan diabaikan dan disingkirkan (dianggap pembangkang sosial), walaupun bisa jadi
yang diungkapkan lebih “benar”. Orang lebih percaya pada apa yang ingin mereka
percayai daripada apa yang lebih “benar”. Permasalahan – permasalahan ini sering
muncul dan menghambat dalam implementasi perencanaan social transformation,
utamanya di tradisi social learning. Menjalankan tahapan – tahapan social learning dan
social mobilization mungkin memerlukan waktu yang panjang (khusus untuk social
learning), tidak ada garansi keberhasilan, dan tetap ada unsur pengabaian kepentingan
pihak tertentu, sebagaimana ditemui di tradisi social guidance.
3.1.2. Pemikiran Perencanaan dalam Kasus Pembangunan Jalan Tol di Indonesia
Pembangunan Jalan Tol secara umum merupakan salah satu upaya pemerintah dalam
mewujudkan pengembangan wilayah. Di dalam tradisi pemikiran perencanaan menurut
Friedmann (1987), upaya – upaya pembangunan dan peningkatan infrastruktur
merupakan bentuk – bentuk perencanaan yang berbasis pada tradisi social guidance (top
down planning). Dalam hal ini, pembangunan jalan tol banyak menggunakan pemikiran
social reform pada saat perencanaan awal, yang kemudian dipertajam melalui tradisi
policy analysis pada saat rencana pembangunan mulai dispesifikasi bentuk teknis dan
skema pembiayaannya.
Pemikiran social reform dalam penyediaan jalan tol berpengaruh nyata dalam
tahapan penentuan dimana saja lokasi jalan tol akan dibangun. Dalam Subbab 2.5,
Pemerintah berencana membangun beberapa ruas jalan tol baru di Pulau Sumatera, Jawa,
Kalimantan dan Sulawesi. Dalam hal ini nampak jelas bahwa pemerintah ingin
mereformasi dan mengembangkan pulau – pulau tersebut agar perekonomiannya dapat
berkembang lebih maju. Pemerintah bermaksud mengembangkan kawasan barat
Indonesia sebagai pusat pengembangan ekonomi dan industri, sesuai dengan rencana
pembangunan jangka menengah pemerintah. Oleh karena itu, jalan tol lebih banyak
dibangun di Kawasan Barat Indonesia, dengan harapan, memberikan kemanfaatan
maksimal terhadap ekonomi industri skala besar yang sedang berkembang di Jawa dan
Sumatera, dan sekaligus meningkatkan pendapatan bagi negara.
36. 35
Setelah rencana umum jalan tol disepakati, pemerintah melanjutkan dengan mulai
membuat rencana implementasi jalan tol di wilayah – wilayah tertentu, sesuai dengan
butir – butir rencana umum jalan tol. Dalam perencanaan pembangunan jalan tol, tradisi
pemikiran analisis kebijakan (policy analysis) lebih memegang peranan. Analisis
kebijakan pada dasarnya adalah bentuk lain dari perencanaan rasional dengan ciri
khasnya antara lain, formulasi tujuan dan sasaran, pengumpulan data dan informasi,
perumusan skenario, penentuan skenario, implementasi, dilanjutkan dengan evaluasi.
Analisis kebijakan nampak jelas misalnya dalam tahapan pengusahaan jalan tol di
wilayah tertentu. Tahapan tersebut, sebagaimana diuraikan di Gambar 3, terdiri dari
beberapa langkah. Salah satu diantaranya adalah penyusunan rencana teknik jalan tol.
Dalam perencanaan teknik jalan tol, pemerintah melakukan penspesifikasian mengenai
diantaranya, (1) dimana jalan tol akan dibangun; (2) berapa panjang jalan tol yang akan
dibangun; (3) berapa biaya yang perlu dikeluarkan; (4) bagaimana desain jalan tol yang
akan dibangun; dan berbagai penspesifikasian lainnya yang akan mengerucut pada
tujuan, sasaran dan target pembangunan jalan tol. Dalam menjawab beberapa pertanyaan
di atas, pemerintah melalui pelaksana pembangunan jalan tol akan melakukan kajian
pengumpulan dan analisis data yang diakhiri dengan perumusan berbagai alternatif
skenario rute jalan tol. Berbagai skenario ini kemudian dievaluasi lebih lanjut
menggunakan berbagai teknik analisis seperti analisis beban biaya, analisis dampak
sosial dan lingkungan, serta berbagai instrumen lain, yang pada akhirnya akan dapat
diketahui rute terbaik. Rute ini kemudian disosialisasikan ke pemangku kepentingan
(termasuk masyarakat yang akan terimbas pembangunan jalan tol) untuk kemudian
dievaluasi dan diperbaiki sesuai umpan balik yang diperoleh. Dari uraian di atas, nampak
jelas pengaruh analisis kebijakan dalam proses perencanaan pembangunan jalan tol.
Contoh lain dari implementasi analisis kebijakan dalam pembangunan jalan tol
adalah pada tahap pemilihan skema kerjasama pembangunan di Gambar 4 (Tahap PPJT).
Dalam tahap PPJT. Pemerintah akan melakukan evaluasi melalui berbagai kriteria
kelayakan ekonomi dan kelayakan finansial, untuk kemudian ditentukan skema PPJT
yang paling tepat sesuai dengan kemampuan pemerintah. Teknis pengambilan keputusan
dalam perencanaan yang digunakan dalam kegiatan ini merupakan teknik pohon
keputusan (decision tree), dimana dalam setiap tahap pemerintah akan melakukan
analisis dan kalkulasi secara seksama menggunakan metode tertentu untuk memperoleh
output yang diharapkan. Metode ini pada umumnya sudah baku dan dipakai secara umum
37. 36
dalam pengusahaan jalan tol atau infrastruktur lainnya. Penggunaan instrumen analisis
yang baku, rasional, dan ilmiah, adanya kriteria dan indikator yang terukur, adanya
kebutuhan data untuk melakukan analisis, kesemuanya ini merupakan penciri utama dari
perencanaan rasional atau analisis kebijakan.
38. 37
M
Pendekatan dan teori perencanaan yang digunakan dalam pengusahaan jalan tol
di Indonesia pada umumnya menggunakan pendekatan perencanaan dari atas (top down
planning), melalui model perencanaan rasional atau pemikiran social guidance (reformasi
sosial dan analisis kebijakan). Dengan menggunakan pendekatan tersebut, maka
permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan jalan tol pada umumnya mirip dengan
permasalahan yang muncul dari implementasi perencanaan rasional dan social guidance.
Beberapa permasalahan tersebut diantaranya adalah:
1. Pemerintah menjadi satu-satunya stakeholder kunci yang banyak mengambil
peran dalam proses pembangunan jalan tol, mulai dari tahapan perencanaan,
implementasi dan monitoring pembangunan. Masyarakat menjadi pasif, utamanya
masyarakat kawasan perdesaan yang bertempat tinggal di sekitar lokasi trase tol,
dimana mereka tidak terlalu mendapat kemanfaatan langsung dari adanya tol,
namun memperoleh efek negatif dari keberadaan jalan tol. Lebih jauh, resistensi
dapat muncul dari masyarakat yang tidak menyetujui adanya jalan tol di
wilayahnya, atau tidak merelakan serta tidak menyepakati lahannya dibebaskan
untuk pembangunan jalan tol.
2. Tujuan utama dari program tersebut yang hendaknya akan dikirimkan kepada
masyarakat tidak terwujud dikarenakan pemerintah pusat tidak begitu
memahami keinginan dan kebutuhan masyarakat. Pemerintah lebih memutuskan
segala sesuai secara sepihak. Hal ini nampak jelas pada fakta bahwa Jalan tol lebih
banyak dibangun di wilayah barat Indonesia, sementara wilayah timur masih
kekurangan akses. Dilihat dari prinsip ekuitas, masyarakat di wilayah timur juga
menginginkan perbaikan dan peningkatan akses yang adil dengan saudaranya di
sebelah barat.
4.1 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TEORI PEMBANGUNAN DARI
ATAS DALAM PEMBANGUNAN JALAN TOL DI INDONESIA.
T I N J A U A N K R I T I S
Kekuatan &
Kelemahan
Manfaat Model
Perencanaan
Advokasi
B A G I A N 4
39. 38
3. Permasalahan mengenai lama dan berlarut – larutnya proses perencanaan hingga
pembangunan jalan tol merupakan efek yang umum terjadi di dalam penggunakan
pemikiran perencanaan analisis kebijakan. Penggunaan analisis kebijakan
mensyaratkan agar setiap tahapan perencanaan dan pembangunan dipastikan
tidak memiliki kelemahan dan kekurangan, baru dilanjutkan ke tahap berikutnya.
Jika ada permasalahan dalam setiap tahapan perencanaan dan pembangunan jalan
tol, pemerintah biasanya akan meninjau ulang permasalahan tersebut dan
mengulangi proses dari awal apabila diperlukan.
4. Dalam kenyataannya, penerapan model – model perencanaan rasional sangat
rawan dengan intervensi politik yang menyebabkan pelaksanaannya menjadi
tidak rasional sama sekali. Dalam kasus penyediaan jalan tol di Indonesia selama
ini, intervensi politik terhadap pembangunan jalan tol sudah terjadi sejak masa
orde baru. Pembangunan jalan tol selama ini lebih membidik pada wilayah dengan
penduduk padat dan memiliki industri skala besar yang banyak (kawasan barat
Indonesia). Sementara dalam kenyataannya, jalan tol merupakan salah satu
infrastruktur strategis yang dapat mengkoneksikan berbagai wilayah di Indonesia.
Modus politik dalam kebijakan ini sejauh yang dapat teridentifikasi adalah untuk
mengejar kebijakan populis di wilayah yang kaya penduduk, sehingga wilayah
miskin penduduk menjadi sedikit banyak terabaikan. Hal ini lah yang salah
satunya menyebabkan tingginya disparitas antara kawasan barat dan timur
Indonesia.
Meskipun memiliki beberapa kekurangan terkait dengan pendekatan dan model
perencanaan yang digunakan dalam program penyediaan jalan tol di Indonesia,
pendekatan rasional dan pemikiran social guidance memiliki beberapa kelebihan
dibanding pendekatan yang lebih bersifat bottom up dan berbasis pemikiran social
transformation. Beberapa kelebihan tersebut antara lain:
1. Melalui pendekatan rasional dan pemikiran social guidance, terdapat metode dan
standar perencanaan yang dapat diinstitusikan. Adanya institusi dan standarisasi
akan membuat model pembangunan yang sukses akan dapat diterapkan di
wilayah lain, termasuk model pembangunan jalan tol.
2. Implementasi program dapat berlangsung lebih cepat dari sisi waktu karena tidak
memerlukan banyak tahapan dalam proses perencanaan dan pembangunan.
40. 39
Pemerintah dapat menggunakan semaksimal mungkin fungsinya sebagai perumus
kebijakan dan pengambil keputusan akhir, sehingga program lebih cepat dapat
dieksekusi dan dilaksanakan.
Untuk dapat mengaplikasikan perencanaan dari atas tersebut, dalam perencanaan
dan pembangunan jalan tol, dimana berbagai masalah yang bersinggungan langsung
dengan masyarakat, maka pada pendekatan perencaan dan pembangunan diatas ada
komponen pelibatan masyarakat atau partisipasi masyarakat.
Dalam suatu perencanaan terdapat beberapa pihak yang terlibat suatu produk
rencana tersebut, baik terlibat secara langsung ataupun tak langsung tergantung
pendekatan perencanaan yang dianut. Pihak-pihak terkait tersebut adalah pemerintah,
swasta, masyarakat, dan perencana. Pada pendekatan top-down planning di mana
pemerintah yang memiliki andil terbesar dan mutlak, sehingga dalam hal ini peran dari
perencana pun tidak memiliki pengaruh yang besar, karena di sini perencana hanya
mengikuti apa yang menjadi permintaan dari pemerintah. Dalam pendekatan top-down
ini semua keputusan berada di tangan pemerintah sedangkan masyarakat hanya sebagai
objek dari suatu perencanaan tanpa ikut campur tangan dalam perencanaan.
Pada hakikatnya pembangunan jalan tol tidak terpisahkan dari perencanaan
penataan ruang, dan merupakan sebuah upaya membuat rencana untuk kepentingan
masyarakat. Permasalahan terkait pembangunan tol (sebagaimana diuraikan di Bab 2),
seperti pembebasan lahan yang bermasalah, penolakan masyarakat terhadap rencana
pembangunan jalan tol, dan berbagai permasalahan lain yang muncul di lapangan
merupakan ekses dari kurangnya pelibatan masyarakat terhadap rencana pembangunan
infrastruktur pemerintah. Masyarakat hanya didesain untuk menjadi pihak penerima
kebijakan yang harus menerima segala kebijakan pemerintah, tanpa bisa berpendapat
secara leluasa dan murni dari masyarakat sendiri. Untuk itu langkah ke depan selanjutnya
adalah bagaimana membuat masyarakat menjadi bagian dari proses perencanaan.
Melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan termasuk salah satu metode
pendekatan bottom-up planning. Dalam hal ini perencana memiliki peran sebagai
4.2 PERAN PERENCANA DALAM PENDEKATAN TOP DOWN
PLANING (PERENCANAAN RASIONAL/SOCIAL GUIDANCE).
41. 40
mediator antara pemerintah dan masyarakat. Kali ini perencana memiliki tugas
memberdayakan dalam bidang tata ruang. Melakukan perencanaan atas kepentingan
masyarakat sejatinya seiring dan sejalan dengan melakukan perencanaan bersama
masyarakat. Menjadikan masyarakat sebagai bagian dari proses perencanaan dan
perencanaan bagian dari proses bermasyarakat.
Dalam upaya pengembangan wilayah dan pembangunan kota secara bottom-up,
peran pemerintah akan lebih ditekankan pada penyiapan pedoman, norma, standar dan
peraturan, pengembangan informasi dan teknologi, perumusan kebijakan dan strategi
nasional. Sementara disisi lain, masyarakat semakin dituntut untuk mengenali
permasalahan wilayah dan kota dan pemecahan yang inovatif yang tidak lagi tergantung
pada pemerintah, meskipun pemerintah masih mempunyai kewajiban membantu dalam
pembangunan wilayah. Seorang perencana pada akhirnya harus dapat menjadi seorang
komunikator dalam proses politik yang terjadi, untuk mengkomunikasi kepentingan
berbagai pihak.
42. 41
A. K E S I M P U L A N
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, penyediaan dan implementasi
pembangunan jalan tol di Indonesia masih menjadi domain dan tugas pemerintah. Yang
dimaksud dengan domain pemerintah disini adalah, kebijakan perencanaan dan
implementasinya, termasuk skema pembiayaan, standar pelayanan minimum, penunjukkan jasa
konstruksi, penentuan trase, penentuan prioritas ruas yang akan dibangun, monitoring
pembangunan, pengelolaan operasional, dan kepemilikan konsensi masih dikuasai oleh
pemerintah. Dilihat dari sisi teori perencanaan, pemerintah masih menggunakan pendekatan
“dari atas” melalui model perencanaan rasional, dan pemikiran perencanaan social guidance
(social reform dan policy analysis), sehingga kelebihan dan kekurangan dalam perencanaan dan
pembangunan infrastruktur jalan tol di Indonesia tidak jauh berbeda dengan implementasi
pendekatan dan model perencanaan serupa yang diimplementasikan di berbagai wilayah di
seluruh dunia.
Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan jalan tol pada umumnya adalah
permasalahan yang diakibatkan kurangnya pelibatan masyarakat, utamanya masyarakat yang
terdampak pembangunan jalan tol. Selain itu, peran pemerintah pada tingkatan yang lebih
rendah juga belum terlalu dimunculkan. Permasalahan ini merupakan permasalahan yang
umum pada penggunaan model perencanaan rasional dan pendekatan perencanaan dan
pembangunan dari atas.
KESIMPULAN & REKOMENDASI
Kesimpulan Rekomendasi
B A G I A N 5
43. 42
B. R E K O M E N D A S I
Perlu adanya pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait penyediaan dan
perencanaan pembangunan jalan tol. Selain itu juga suara dari tingkatan pemerintahan yang
lebih rendah (provinsi, kabupaten, kecamatan) juga perlu dilihat dan dipertimbangkan. Model
dan pendekatan perencanaan yang digunakan sebaiknya tidak lagi murni bersifat rasional,
melainkan perlu mempertimbangkan pendekatan – pendekatan yang dapat memungkinkan
keterlibatan pemangku kepentingan yang lebih luas. Model perencanaan mixed scanning
(Etzioni, 1967) dalam hal ini dapat direkomendasikan untuk digunakan. Melalui model mixed
scanning, pengambilan keputusan terkait trase jalan tol sebagai misal, dilakukan bersama –
sama oleh berbagai pemangku kepentingan, baik dari pemerintah, swasta maupun masyarakat
yang akan terdampak rencana pembangunan jalan tol, sehingga kondisi win – win solution dapat
tercapai, dan bukan terjebak pada kondisi zero sum game sebagaimana terjadi pada berbagai
praktik pembangunan infrastruktur jalan tol di Indonesia selama ini.
44. 43
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, E. R. 1986. Approaches to Planning. Introducing Current Planning Theories,
Concepts, and Issues, 2nd
edition. Philadelphia: Gordon and Breach Science Publishers.
Badan Pengatur Jalan Tol. (2016), “Kebijakan dan Strategi Pembangunan Jalan Tol”. Makalah
dalam seminar Tantangan dan Strategi Truk Angkutan Barang dalam menciptakan
keunggulan bersaing.
Boarnet, M. G., (1999). Road Infrastructure, Economic Productivity, and the Need for Highway
Finace Reform. Public Works Management & Policy, 3 (4), 289 – 303.
Chi, G., Voss, P. L., & Deller, S. C. (2006). Rethinking Highway Effects on Population Change.
Public Works Management & Policy, 11 (1), 18 – 32.
Etzioni, A. (1967). Mixed-Scanning: A “Third” Approach to Decision Making. Public
Administration Review, 27 (5), 385-392.
Faludi, A. 1978. Essays on Planning. Theory and Education (Urban and Regional Planning
Series). Oxford: Pergamon Press.
Fitriandi, P., Kakinaka, M., & Kotani, K. (2014). Foreign Direct Investment and Infrastructure
Development in Indonesia: Evidence from Province Level Data. Asian Journal of
Empirical Research, 4 (1), 79-94.
Forester, J. 1999. The Deliberative Practitioner: Encouraging Participatory Planning.
Cambridge: M. I. T.
Friedmann, J. 1987. Planning in the Public Domain: From Knowledge to Action. New Jersey:
Princeton University Press.
Guild, R. L. (2000). Infrastructure Investment and Interregional Development Theory,
Evidence, and Implications for Planning. Public Works Management & Policy, 4 (4),
274-285.
ITDP & Rupprecht Consult. (2014). Sustainable Urban Transport, dokumen teknis ⧣3.
Rencana Mobilitas Perkotaan, Pendekatan Nasional dan Implementasi Daerah.
Kuncoro, M. (2013). Economic Geography of Indonesia: Can MP3EI Reduce Inter-Regional
Inequality?. South East Asia Journal of Contemporary Business, Economics and Law,
2 (2), 17-33.
Sandercock, L. 1998. Making the Invisible Visible: A Multicultural Planning History.
California: University of California Press.
45. 44
Sihombing, L. B. (2012). Toll Road Infrastructure Development in Indonesia: A System
Dynamics Perspective. Artikel dipresentasikan di The 26th IPMA World Congress,
Crete, Greece.
Suprayitno, B. (2012). Privatisasi Jalan Tol Sebagai Solusi Dalam Mempercepat Terwujudnya
Infrastruktur Jalan Tol yang Memadai di Indonesia. Jurnal Economia, 8 (1), 65 – 77.
Wirahadikusumah, R. D., Sapitri, Susanti, B., & Soemardi, B. W. (2013). Isu Strategis pada
Pengadaan Pengusahaan Jalan Tol dalam Kerjasama Pemerintah dan Swasta. Jurnal
Teknik Sipil, 20 (3), 233-244.