Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas model pemangku kepentingan dan kompleksitas hubungan antara organisasi dengan berbagai pemangku kepentingannya
2. Ada beberapa tingkatan dalam menganalisis hubungan antara organisasi dan pemangku kepentingan, yaitu tingkatan rasional, transaksional, dan proses
3. Beberapa faktor yang mempengaruhi kemanfaatan hubungan tersebut antara lain legitimasi, keku
Pembiayaan Infrastruktur Transportasi di Kawasan Perkotaan Yogyakarta
PPW605
1. TUGAS MATA KULIAH
PENGEMBANGAN LOKAL
(PPW605)
Dosen Pengampu
Dr.-Ing. Prihadi Nugroho, ST, MT, MPP.
RINGKASAN PAPER
KEUNGGULAN PEMANGKU KEPENTINGAN? MEMBINGKAI EVOLUSI DAN KOMPLEKSITAS PERSPEKTIF
PEMANGKU KEPENTINGAN PERUSAHAAN DAN ORGANISASI
Oleh : Jan Joker dan David Foster
Disusun oleh:
BRAMANTIYO MARJUKI
21040116410036
MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017
2. 1
I. Pendahuluan
Perkembangan dunia usaha dan kapitalisme dewasa ini membuat perusahaan atau kelompok usaha
tidak hanya memikirkan keuntungan dan kepentingan bisnis dari perusahaan semata, tetapi juga bagaimana
melibatkan dan memberdayakan pemangku kepentingan perusahaan, guna mewujudkan keuntungan dan
keberlanjutan bisnis yang lebih luas. Sebelum teori – teori analisis pemangku kepentingan (stakeholders
theory) muncul, dunia usaha telah menyadari perlunya pembedaan antara pelaksana (manager) perusahaan
dan pemilik perusahaan (shareholder) guna mencegah konflik kepentingan di dalam perusahaan. Munculnya
kesadaran ini merupakan titik awal dari pemikiran shareholders theory dalam ekonomi kapitalime (Brandt
dan Georgiou, 2016).
Dalam perkembangan lebih lanjut, kepentingan perusahaan dan pemilik saham semata tidak dapat
menjamin kinerja perusahaan selalu optimal. Konsumen, mitra kerja, pemerintah, dan pemangku
kepentingan lainnya mempunyai pengaruh dan dapat dipengaruhi oleh capaian-capaian perusahaan, oleh
karena itu berkembang pendekatan dan teori pemangku kepentingan (stakeholders theory) yang mengkaji
pengaruh dari berbagai pemangku kepentingan dalam keberlangsungan kinerja perusahaan (Brandt dan
Georgiou, 2016).
Melihat pentingnya potensi dan kemanfaatan dari model pemangku kepentingan, Jonker dan Foster
(2002) melakukan kajian mengenai potensi dan urgensi pemanfaatan model tersebut melalui klarifikasi
prinsip teoritis dari model tersebut, sebagaidasardari implementasi praktis ke depannya. Hasildari rumusan
Jonker dan Foster (2002) akan dirangkum dalam tulisan ini.
II. Asal – usul dan Asumsi Di Belakang Model PemangkuKepentingan
Awal mula munculnya mode pemangku kepentingan (stakeholder model) berasal dari pemikiran
Freeman (1984) dalamJonker dan Foster (2002) yang mengusulkan model tersebut sebagaipenggantimodel
manajerial, karena dianggap tidak cukup untuk memahami kondisi eksternal perusahaan yang seringkali
berubah, sementara kondisi eksternal ini penting untuk keberlangsungan perusahaan. Kondisi eksternal ini
oleh Freeman disebut sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) yang didefinisikan sebagai setiap
kelompok yang bisa mempengaruhi atau dipengaruhi oleh capaian-capaian perusahaan.
Model pemangku kepentingan berkembang seiring perkembangan jaman, namun asumsi dasarnya
masih tetap sama, yaitu bahwa organisasi harus berinteraksi dengan lingkungannya. Berbagai kelompok
kepentingan ada di dalam lingkungan dan berpengaruh terhadap tingkah laku dan efektivitas organisasi.
Walaupun kelompok kepentingan ini dapat diklasifikasikan dalamberbagai cara, namun mereka mempunyai
3. 2
kemauan dan kompetensi yang sama untuk bertindak mempengaruhi organisasi. Oleh karena itu, organisasi
harus menyadari keberadaan kelompok kepentingan ini, dan mengembangkan strategi manajerial dalam
menghadapi kelompok kepentingan ini, guna memastikan organisasi dapat mencapai tujuan – tujuannya.
III. Komponen – komponen Hubungan Antar Pemangku Kepentingan
Hubungan organisasional dengan pemangku kepentingan dapat dipandang sebagai proses yang
tersusun oleh sejumlah komponen yang dapat teridentifikasi. Terdapat tiga tingkatan yang bisa digunakan
untuk menganalisis proses tersebut, yaitu:
1. Tingkatan Rasional
Pada tingkatan ini, dicoba untuk diklarifikasi siapa dan apa pemangku kepentingan itu. Pemangku
kepentingan dalam tingkatan ini didefinisikan sebagai entitas yang mempunyai kekuatan tertentu
untuk mempengaruhi organisasi. Contoh dari pemangku kepentingan yang dimaksud adalah pegawai
organisasi, pembeli, penyedia bahan baku, dan pemilik modal. Namun dalam perkembangannya,
pemangku kepentingan ini diperluas konsepnya ke arah lingkungan eksternal organisasi, baik secara
luas maupun sempit. Mitchell et al.(1997) membagi pemangku kepentingan berdasarkan tigaatribut,
yaitu kekuasaan, legitimasi, dan urgensi. Setiap pemangku kepentingan dapat mempunyai satu, dua
atau ketiga atribut sekaligus (disebut sebagai pemangku kepentingan definitif). Tingkatan rasional ini
dipertanyakan efektivitasnya karena terlalu berfokus pada arti penting pemangku kepentingan, dan
mengalihkan aktivitas manajerial dari lingkungan eksternal organisasi yang mereka hadapi.
2. Tingkatan Transaksional.
Pada tingkatan ini, hal yang paling penting untuk dilihat adalah karakter hubungan yang terbentuk
antara fokus organisasi dengan pemangku kepentingan. Hubungan ini pada dasarnya sangat
kompleks, bisa secara langsung atau tidak langsung. Hubungan tidak langsung misalnya pemangku
kepentingan mempengaruhi fokus organisasi melalui media publik. Bentuk pengaruhnya sendiri
dapat berupa pengaruh formal, ekonomi, maupun politik. Bentuk daya pengaruh yang kompleks ini
mengharuskan organisasi harus melakukan perlakuan (treatment) yang selayak mungkin melalui
pendekatan pemangku kepentingan (stakeholder approach).
3. Tingkatan Proses
Pada tingkatan ini, adanya hubungan dan pengaruh pemangku kepentingan terhadap organisasi
harus dipertimbangkan oleh manajer organisasi. Bentuk pertimbangan ini diwujudkan antara lain
dengan melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan organisasi. Perlibatan dapat melalui
konsultasi, survei, pertemuan publik, maupun diskusi kelompok terfokus (FGD).
4. 3
IV. Unsur – unsur yang Mempengaruhi Kemanfaatan Dari Hubungan Antar Pemangku
Kepentingan
Terkait dengan hubungan dan pengaruh pemangku kepentingan terhadap organisasi, terdapat
beberapa elemen yang berpengaruh terhadap hasil dan kemanfaatan hubungan tersebut. Elemen tersebut
meliputi:
1. Legitimasi
Legitimasi merupakan elemen yang problematis dalam hubungan antar pemangku kepentingan
dengan organisasi. Secara umum, pemangku kepentingan yang dianggap paling berwenang adalah
pemangku kepentingan yang paling berpengaruh bagi organisasi. Pihak yang paling berwenang ini
berbeda antara satu organisasi dan organisasi lainnya. Meskipun demikian, legitimasi juga seringkali
diabaikan, terutama apabila berkonfrontasi dengan legitimasi lain yang lebih besar.
2. Kekuasaan
Berbagai peneliti telah mengkaji bentuk – bentuk kekuasaan yang berpengaruh terhadap hubungan
pemangku kepentingan dan organisasi. Pertanyaan mendasarnya adalah, mengapa organisasi
melakukan respon terhadap tekanan dari pemangku kepentingan. Para ahli mengidentifikasi
beberapa jenis kekuasaan yang dapat menjelaskan hal tersebut. Kekuasaan tersebut antara lain
kekuasaan atas ketergantungan sumber daya, kekuasaan kelembagaan, kekuasaan sosial, kekuasaan
ekonomi, dan kekuasaan politik. Kekuasaan pemangku kepentingan ini dapat membuat organisasi
tunduk pada kekuasaan, membangkang, melakukan penyesuaian kegiatan, atau melakukan upaya
persuasi ke pemangku kepentingan agar organisasi bisa tetap berjalan.
3. Kekritisan
Inti dari aspek kekritisan adalah tidak semua isu dan permasalahan menjadi perhatian setiap
kelompok kepentingan pada setiap waktu. Sesuatu yang dianggap kritikal disini adalah sesuatu yang
dianggap signifikan, penting, serius, berdampak luas, atau bahkan dianggap sebagai momen yang
menentukan. Isu tertentu yang dalam kondisi normal dianggap biasa, pada waktu tertentu dapat
terangkat menjadi isu kritis bagi sebagian pemangku kepentingan.
4. Rasionalitas
Aspek rasionalitas utamanya terkait pada isu pokok antara pemangku kepentingan dan organisasi.
Satu hal mendasar dalam model pemangku kepentingan adalah pelibatan pihak luar seharusnya
membawa pada keputusan yang lebih baik atau rasional. Namun demikian, seringkali isu yang
menjadi perdebatan tidak dipahami dengan baik, atau diabaikan karena dianggap tidak rasional.
Sementara, rasionalitas disini tidak selalu harus berangkat dari dunia obyektifitas. Teori tindak
5. 4
komunikatif menyebutkan bahwa tindak dapat berdasarkan pada kesepakatan bersama.
Kesepakatan bersama ini dapat menjadi dasar dalam dialog pemangku kepentingan atau dasar yang
mengikat pemangku kepentingan. Pemahaman mengenai kesepakatan bersama dapat menjadi dasar
dalam menganalisis karakter dan bentuk dari dialog pemangku kepentingan dan menyediakan
wawasan mengenai penyebab kesalahpahaman atau pertikaian diantara pemangku kepentingan.
V. Model untuk Menganalisis Keterikatan Antar Pemangku Kepentingan
Model konseptual dari teori hubungan pemangku kepentingan dapat disajikan pada Gambar 1 di
bawah ini. Kolom mendatar merupakan komponen yang terkait dengan hubungan antar pemangku
kepentingan, dan kolom menurun merupakan komponen terpenting yang terlibat dalam setiap tahap
pengikatan pemangku kepentingan.Model konseptual keterikatan antar pemangku kepentingan ini
walaupun nampak senderhana, tetapi dalam implementasinya cukup kompleks dan multidimensi, sehingga
harus dipandang dari berbagai sudut. Selain itu, komponen dan indikator dasar model mungkin belum
merepresentasikan seluruh kompleksitas, baik faktor eksternal organisasi maupun kepentingan para pihak,
oleh karena itu organisasi harus belajar bagaimana menangani isu, permasalahan dan pengaruh faktor
eksternal tersebut, baik melalui kekuasaan formal, ekonomi, politik maupun ideologis.
Gambar 1. Model Konseptual Keterikatan Antar Pemangku Kepentingan
Komponen Hubungan
Kepentingan
(Apa isu kuncidari hubungan?)
Pihak
(Siapa atau apa yang
terlibat?)
Proses
(Proses apa yang terlibat dalam
mengelola hubungan?)
Konektivitas
(apa bentuk koneksiantara organisasi
dan pemangku kebijakan?)
ElemenYangBerpengaruhTerhadapHubungan
Kekuasaan
Apakah karakter dari klaim
atau kepentingan berimplikasi
pada kekuasaan yang terlibat?
Apa jenis kekuasaan setiap
pihak yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan?
Apakah proses yang dilakukan
menghasilkan berbagai jenis
kekuasaan yang berbeda?
Apa efek dari jaringan konektivitas
terhadap penggunaan kekuasaan?
Apakah berpengaruh langsung atau
tidak langsung?
Kekritisan
Mengapa ketertarikan atau
kepentingan sangat bernilai?
Seperti apa karakteristik,
perilaku, atau kepercayaan
dari para pihak yang
membuatisu menjadi kritis?
Apakah proses yang dilakukan
cukup penting pada rutinitas
operasional dari para pihak?,
apakah ini penting untuk
pengambilan keputusan
Seberapa kritis atau penting setiap
pihak yang terlibat dalam jaringan?
Rasionalitas
Bagaimana ketertarikan atau
kepentingan diekspresikan
(kognitif, sosial, personal)?
Apa perspektifetimologis
dan ontologis para pihak,
dan bagaimana pengaruhnya
terhadap pandangan
mengenai isu yang dibahas?
Apakah proses dan prosedur
mempengaruhi kemungkinan
pencapaian kesepakatan dilihat
dari konseptualisasi rasionalitas
dalam arti luas dan dalam arti
pendek?
Apakah bentuk hubungan
memperkuatatau mengecilkandialog
dibandingkan klaim egosentris?
Sumber: Jonker dan Foster (2002).
6. 5
DAFTAR PUSTAKA
Brandt, F. & Georgiou, K. (2016). Shareholders vs Stakeholders Capitalism. Comparative Corporate
Governance and Financial Regulation Paper 10. Diambil dari
http://scholarship.law.upenn.edu/fisch_2016/10.
Jonker, J.& Foster, D.(2002). Stakeholder Excellence?Framing the Evolution and Complexity of aStakeholder
Perspective of the Firm. Corporate Social Responsibility and Environmental Management, 9 , 187 –
195. doi:10.1002/csr.23.
Mitchell, R. K., Agle, B. R., & Wood, D. J. (1997). Toward a theory of stakeholder identification and salience:
defining the principle of who and what really counts?. Academy of Management Review, 22 (4), 853–
886. Diambil dari http://www.jstor.org/stable/259247.