Proposal Teknis Studio Perencanaan Wonogiri Kelompok 4a Bab ii
Bab ii Rancang Kota
1. 11
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Urban Sprawl
Secara umum urban sprawl sering diartikan sebagai pertumbuhan kota yang tidak
terkendali. Berikut ini adalah salah satu pengertian urban sprawl. Urban sprawl is a
phenomenon in growing cities typified by continuental growth of the urban area in a radial
pattern, with the development of low density housing typically on agricultural or
environmental sensitive lands. Urban sprawl typically provides the quarter acre block or
detached housing. However, this type of development tends to impact on food basin and
environmentally sensitive fringe area (Williams.P, 1997). Urban sprawl juga merupakan
terminologi yang dipakai untuk menggambarkan beragam aspek pertumbuhan perkotaan,
termasuk perkembangan kota yang berlebihan, kebutuhan komuting atau transportasi
yang lebih jauh, kemacetan lalu lintas, pengurangan ruang terbuka, dan kegagalan untuk
membangun kembali properti di dalam kota (Brueckner, 2000).
Urban sprawl berpengaruh terhadap struktur tata ruang dapat dilihat dari 3 (tiga)
struktur yaitu struktur fisik, kependudukan dan ekonomi. Pengaruh urban sprawl dari
struktur fisik adalah terjadinya pola penyebaran permukiman yang semakin
meluas/melebar ke samping kiri kanan jalur transportasi, dengan kata lain terjadi
pemusatan fasilitas umum perkotaan di nodes; bagian wilayah tertentu. Dari struktur
kependudukan adalah terjadinya pola penyebaran penduduk diperlihatkan dengan
penyebaran lahan terbangun (permukiman) yang semakin melebar ke samping kiri kanan
jalan arteri. Sedangkan dari struktur ekonomi, pengaruh sprawl adalah terjadinya
perubahan pola kegiatan ekonomi penduduk ke arah non pertanian. Hal ini terlihat
dengan semakin berkurangnya penduduk yang bekerja di sektor pertanian dan
meningkatnya penduduk yang bekerja di sektor non pertanian (pedagang, buruh industri
dan jasa).
Sumber: http://www.unescap.org
Gambar II.1
Urban Sprawl di Kota Osaka
2. 12
Ruchyat (2010) menjelaskan urban sprawl merupakan suatu proses perubahan
fungsi dari wilayah pedesaan menjadi wilayah perkotaan, sedangkan Yudhistira dan
Harmadi (2008) memandang urban sprawl sebagai proses pertumbuhan kota yang
ditandai dengan pertumbuhan inti kota yang meluber ke daerah sekitarnya sehingga
memunculkan daerah kekotaan baru di daerah tersebut, yang membentuk kota dengan
banyak pusat (Kota Polisentris). Selain itu, Nechyba dan Walsh (2004) mengemukakan
akan pengaruh sprawl yang dapat menimbulkan eksternalitas negatif di lingkungan
perkotaan (misalnya kebisingan dan polusi udara), dimana terdapat hubungan antara
polusi udara dan urban sprawl yaitu dapat meningkatkan emisi per mil perjalanan karena
besarnya kemacetan lalu lintas dan peningkatan mil perjalanan kendaraan karena
keberadaan pembangunan transportasi yang rendah.
Menurut Staley (1999), dalam Pontoh dan Kustiawan (2009), ada 4 (empat) faktor
sebagai karakteristik urban sprawl yaitu :
1. Pengembangan perumahan berkepadatan rendah;
2. Pengembangan kawasan komersial di sepanjang jalur transportasi;
3. Pembangunan yang tersebar (scattered development) dengan kawasan komersil,
pemukiman dan perdagangan retail yang tidak terintegrasi satu sama lainnya;
4. Leap frog developments yaitu terdapatnya lahan yang tidak terbangun dengan
rentang jarak yang jauh diantara kawasan-kawasan terbangun.
Fenomena urban sprawl ditinjau dari prosesnya, secara garis besar terdapat 3 (tiga)
macam proses (Pontoh dan Kustiawan 2009) yaitu :
1. Perembetan konsentris (concentric development) merupakan perembetan areal
kekotaan yang paling lambat;
2. Perembetan memanjang (ribbon development) merupakan perembetan areal
kekotaan ke semua bagian sisi luar kota utama;
3. Perembetan meloncat (leap frog development) merupakan perembetan
berpencar secara sporadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian.
Selain faktor penyebab di atas, Pontoh dan Kustiawan (2009) menambahkan faktor
penyebab proses urban sprawl lainnya yaitu :
1. Kebijakan perencanaan dari pemerintah, terutama kebijakan pembangunan
transportasi dan perumahan;
2. Pembangunan jalan besar antarkota sehingga mendorong munculnya lokasi
pemukiman baru;
3. 13
3. Pemberian subsidi bagi perumahan yang tidak memandang lokasi sehingga
banyak real estate dibangun secara lompat katak;
4. Spekulasi tanah karena pengaruh pembangunan lompat katak tadi dimana
mereka menunggu harga tanah naik terlebih dahulu baru mulai melakukan
pembangunan;
5. Peraturan guna lahan yang ketat di kota sehingga mengundang para investor
mencari tanah di luar kota;
6. Perhitungan beban biaya layanan fasilitas perkotaan yang mahal.
2.2 Compact Development dan Compact City
Compact development is increasing density of urban area allows for more efficient use
of resources, including land and energy. Compact development aims for a more efficient use
of land through higher-density planning. In light of rapid urbanization, many emerging cities
are turning to compact development as a means to more efficiently use scarce resources
required for economic and social activities. Compact development is often supplemented with
mixed-use development to incorporate a variety of functions (housing, offices, retail, etc.).
Densely located, a good combination of built infrastructure can reduce the need for driving
and promote walkability. Without strategic planning and coordination, the increased density
of single-use development might cause problems and unpleasantness due to the lack of utility
services (United Nation Economic and Social Commision for Asia and the Pacific,UN-
ESCAP)
Sebagai sebuah konsep pembangunan, Compact Develpoment menghadirkan sebuah
konsep kota yaitu compact city. Kota kompak menurut Jenks dkk (1996) diartikan sebagai
sebuah strategi kebijakan kota yang sejalan dengan usaha perwujudan pembangunan
berkelanjutan untuk mencapai sebuah sinergi antara kepadatan penduduk kota yang lebih
tinggi pada sebuah ukuran ideal sebuah kota, pengkonsetrasian semua kegiatan kota,
intensifikasi transportasi publik, perwujudan kesejahteraan sosial-ekonomi warga kota
menuju peningkatan taraf dan kualitas hidup kota.
Terdapat enam atribut yang tidak bisa dipisahkan dan semestinya saling
mendukung keberadaan kota kompak yaitu:
1. Sebuah kota yang padat dan mempunyai besaran (skala) ideal untuk mencapai
semua penjuru kotanya, tetapi memiliki ketimpangan sosial-ekonomi penduduk yang
jelas dan masih sangat tergantung pada kendaraan pribadi, belumlah cukup untuk
digolongkan sebagai kota kompak. Sebaliknya, kota dengan sistem transportasi yang
maju, dengan ekonomi warga yang tinggi pula, skala kotanya pun ideal, namun pusat
4. 14
kota itu sendiri akan menjadi senyap di malam hari dan hari libur sebab warga kota
lebih memilih tinggal di wilayah luarnya, belum bisa digolongkan ke dalam kategori
kota kompak pula. Usaha kenaikan kepadatan penduduk dan lingkungan tentunya
terkait dengan optimalisasi lahan dan infrastruktur dalam kota. Dengan demikian,
usaha ini pun akan mempunyai efek positif untuk melindungi lahan-lahan subur di
luar kota. Kenaikan penduduk ini perlu disertai dengan usaha penyatuan berbagai
macam kegiatan dalam area yang sama (mixed use development), sehingga penduduk
yang tinggal di mana pun di dalam kota akan mampu terlayani secara baik oleh sebuah
sistem unit ini. Sistem transportasi umum yang intensif akan membantu dalam
menyelesaikan masalah kerusakan lingkungan dalam kota akibat transportasi
manusia ini, selain mendorong berbagai kegiatan kota lebih aktif.
2. Pertimbangan besaran dan akses kota mutlak diperlukan. Atribut ini juga sebagai
pengendali jarak maupun waktu tempuh kegiatan kota sekaligus usaha untuk
memudahkan pengkoordinasiannya (smart urban management). Sementara itu,
adapun target kota kompak yaitu kesejahteraan sosial-ekonomi setiap penduduk kota
yang makin meningkat (better quality of life). Aspek sosial pada atribut ini pun
adalah interaksi sosial yang harmonis pada semua lapisan masyarakat di tengah kota.
3. Proses menuju sebuah keadaan yang lebih baik. Atribut ini didasari oleh
kenyataan bahwa sebuah kota kompak adalah sebuah target kondisi yang harus dilalui
tahunan karena menyangkut perubahan mendasar pada sebuah kota melalui proses
panjang penerapan serangkaian kebijakan kota.
Selanjutnya diperkuat oleh Roychansyah (2006) yang mengungkapkan bahwa kota
kompak didesain dengan tata guna lahan yang heterogen dan menyatu. Idealnya, setiap
bagian kota menyediakan aneka fasilitas seperti sarana pendidikan, kesehatan, serta pusat
ekonomi yang mudah diakses oleh penduduknya. Dengan demikian, penggunaan lahan
menjadi lebih efektif, penggunaan energi fosil untuk mobilitas warga berkurang, dan
kerekatan sosial dapat terbangun. Langkah lain menuju kota berkelanjutan juga dapat
dimulai dengan dengan melibatkan masyarakat. Setiap kelompok masyarakat di tingkat
terkecil, mulai diperkenalkan dengan konsep reduce, reuse, dan recycle sampah. Desain
kompak ini akan mengatasi masalah urban sprawl.
5. 15
2.3 Perancangan Kota
Perancagan kota merupakan suatu jembatan antara profesi perencana kota dengan
arsitektur yang memiliki fous perhatian pada bentuk fisik kota (catanese, 1986:42).
Berdasarkan disiplin keilmuan, perancangan kota merupakan bagian dari proses
perencanaan yang berhubungan dengan kualitas lingkungan fisik kota (Shirvani,1985:6).
Perancangan kota memiliki elemen-elemen yang harus diperhatikan yaitu;
1. Tata Guna Lahan
Tujuannya adalah untuk menentukan:
Tipe penggunaan yang diperbolehkan dalam area tertentu
Menciptakan adanya hubungan fungsional antar berbagai area
Floor Area yang memungkinkan untuk setiap penggunaan yang diijinkan
Skala pembangunan baru
Tipe insentif pembangunan yang sesuai untuk area tertentu
2. Bentuk dan Massa Bangunan
Tujuannya adalah untuk menentukan:
Mengatur penampilan bangun-bangunan di antaranya adalah ketinggian
(height), sempadan (setback) dan ketutupan (coverage), bulk, dan
konfigurasinya.
Skala (terkait dengan human vision, sirkulasi, ketetanggaan antar bangunan
dan ukuran ketetanggaan/distrik/bangun-bangunan)
Sumber: http://www.google.com
Gambar II.2
Kemang Village dengan konsep Compact City
antara hunian, perbelanjaan dan perkantoran
6. 16
"Ruang kota" (bentuk dan tipenya, keterkaitan dengan bangunan
pembentuknya, elemen yang ada di dalamnya dll.)
"Massa kota" (urban mass: bangun-bangunan, permukaan lansekap dan
besar atau kecilnya objek dalam kota
3. Sirkulasi dan Parkir
Parkir mempunyai 3 dampak penting:
Keberhasilan atau ketidakberhasilan suatu fasilitas (terutama komersial)
Dampak visual yang memperburuk kualitas fisik suatu ruang
Alat yang paling kuat dalam menstrukturkan ruang kota dapat membentuk
(shape), mengarahkan (direct) dan mengatur pola aktifitas (activity pattern
control)dampak visual dan lingkungan (terutama dengan perkembangan
jalan ekspress - tol)
4. Ruang Terbuka
Ruang terbuka mempunyai banyak makna:
Softspace (semua elemen lansekap dalam kota)
Hardscape (jalan, jalur jalan kaki dan sejenisnya, tempat parkir terbuka dan
sejenisnya)
Taman-taman, alun-alun (square)
Ruang rekreasional lainnya
5. Jalur Pejalan Kaki
Jalur pedestrian merupakan bagian penting sejalan dengan sirkulasi dan parkir
kendaraan yang memiliki fungsi sebagai berikut
Mereduksi ketergantungan pada mobil
Memperbaiki kualitas lingkungan terutama udara!
Mempromosikan skala kota yang lebih manusia
Memungkinkan adanya integrasi yang lebih baik antara fungsi bangunan
satu dengan yang lain (fasilitas rest room publik, amenities, atau bahkan para
penjual di antara kantor-kantor besar misalnya) perlu adanya street
furniture yang menjadi "pengisi" antar bangun-bangunan
6. Kegiatan Pendukung (Activity Support)
Semua penggunaan dan aktifitas yang membantu memperkuat ruang-ruang publik
kota, termasuk di dalamnya adalah semua fungsi dan penggunaan yang menimbulkan
aktifitas seperti pasar, tempat rekreasi, perpustakaan umum dll.
7. 17
Activity support harus diintegrasikan dan dikoordinasikan melalui
pengaturan antar kegiatan
Activity support harus diarahkan untuk mixed use, keragaman dan intensitas
penggunaan
7. Signage
Pada perancangan kota, signage yang ada harus mampu berfungsi untuk;
Mengatur kompatibilitas anatara media dengan ruang yang ada
Mengurangi dampak visual negatif
Mengurangi kebingungan informasi
8. Preservasi
Bukan hanya untuk bangunan lama tetapi memperhatikan seluruh struktur
(bangun-bangunan) dan tempat (place) yang ada dalam kota baik permanen maupun
temporer sepanjang ekonomis dan signifikan secara kultural.