Dokumen ini membahas tentang anomali perilaku siswa yang menyebabkan tindakan kekerasan dan pembunuhan. Perilaku abnormal ini telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia dan dilakukan oleh siswa dari berbagai jenjang pendidikan. Untuk mencegah perilaku ini, dokumen ini menyarankan pendekatan hukum, program preventif, pendidikan karakter di sekolah, dan kerja sama antara sekolah dan masyarakat.
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 3 KURIKULUM MERDEKA.pdf
Anomali perilaku siswa kr
1. ANOMALI PERILAKU SISWA
Oleh Prof. Suyanto, Ph.D
Dunia pendidikan kembali berduka. Jatuh korban sadisme baru pada
tanggal 8 Juli 2013 di kawasan Sleman. Tindakan sadis itu berakibat
melayangnya nyawa seorang siswi SMP kelas 9 di kawasan Grogol,
Purwomartani, Kalasan, Sleman. Perilaku yang tidak normal itu tidak saja
terjadi di Yogyakarta, tetapi juga telah terjadi di tempat-tempat lain seperti
Jakarta, Bogor, Medan, Nusa Tenggara Barat (Lombok Timur), Tangerang,
dan tempat-tempat lain di negeri ini. Perilaku abnormal itu, bahkan sudah
terjadi dan dilakukan oleh siswa dari berbagai jenjang, baik itu sekolah umum
maupun sekolah yang berbasis keagamaan. Memang tidak banyak yang
melakukan kekerasan dilihat dari populasi siswa kita yang mencapai kurang
lebih 50 juta. Paling jumlah mereka yang memiliki anomali perilaku itu tidak
akan mencapai seribu. Namun, kaualitas abnormalitas negatifnya semakin
meningkat. Tidak saja sekadar bullying, tetapi sudah berada pada suatu
tingkat yang mana mereka rela dan berani menghabisi nyawa kawan
1
2. sesekolahnya. Jumlah mereka tidak banyak, tetapi kalau sudah berani
menghilangkan nyawa kawannya sendiri, kita para pendidik, orangtua, dan
masyarakat harus turun tangan ikut mencari solusi agar anomalitas perilaku
siswa seperti itu tidak menyebar dan tidak menular ke siswa-siwa lainnya.
Kemudian pertanyaanya, apa yang bisa kita lakukan dengan peristiwa
naas yang selalu minta korban siswi itu? Dari sisi hukum jelas, mereka para
pelaku itu mungkin bisa dijerat dengan Pasal 340 Undang-Undang Pidana
dengan tuntutan hukuman yang tinggi pula jika terbukti ada unsur
pembunuhan berencana. Bahkan Pasal 82 dan 181 Undang-Undang
Perlindungan Anak juga bisa dikenakan secara brsamaan kepada para
pembunuh sadis yang memiliki perilaku abnormal itu. Itu semua urusan para
penegak hukum, dan sudah jelas aturan normatifnya. Pendekatan itu perlu
dibarengi dengan langkah dan program lain yang bersifat preventif,
pemberdayaan, edukatif-pedagogis agar di masa yag akan datang tidak
terulang lagi. Dari modus operandi yang telah terjadi, para siswa pembunuh
ternyata tidak saja melibatkan komunitas sekolah, tetapi juga ada yang
berasal dari anggota masyarakat orang dewasa. Oleh karena itu sudah
2
3. saatnya para kepala sekolah kita mulai memiliki program bersama yang bisa
dilakukan oleh sekolah dan masyarakat sekitar sekolah. Dalam program itu
perlu ada satu bahasa mengenai tujuan bersama dalam bidang pendidikan
yang dimiliki sekolah dan yang dicita-citakan oleh masyarakat. Dengan
adanya common goals yang dipegang oleh sekolah dan masyarkat, akan
terjadi kohesifitas sosiologis antara sekolah dan masarakat. Akhirnya
masyarakat akan ikut merasa memiliki sekolah itu secara fisik maupun secara
kelembagaan. Dengan demikian masyarakat akan ikut mengawai, menjaga,
dan membantu sekolah untuk mencapai tujuan bersama.
Dari sisi sekolah, juga sudah saatnya pendidikan karakter
dimanfaatkan untuk membangun kesadaran siswa akan rasa empati, simpati,
toleransi, saling mencintai, saling menghargai sesama siswa dalam ranah
tidak saja pengetahuan, tetapi juga dalam tataran praksis. Kalau berbicara
praksis berarti siswa harus diajak untuk menginternalisasi dan meng-
aplikasikan nilai nilai mulia yang diajarkan dalam pendidikan karakter.
Caranya bagaimana? Gampang saja. Siswa bisa diajak untuk melihat best
practice yang dimiliki oleh institusi lain yang memang bisa dijadikan model.
3
4. Ajak anak-anak ke tempat publik yang memiliki sistem pelayanan yang baik,
agar mereka mengenal dan melihat bagaimana antri yang teratur, tidak
memotong hak orang lain, melayani dengan baik, tersenyum tulus, dsb. Pada
saat lain ajak para siswa kita ke rumah sakit untuk melihat pasien-pasien
korban kekerasan agar mereka tumbuh rasa empatinya. Di lain hari ajak
siswa ke tempat panti asuhan yatim piatu, agar tergerak rasa syukurnya,
sehingga tumbuh rasa kasih sayang kepada sesama. Pada kesempatan lain
siswa bisa juga diajak masuk ke lembaga pemasyarakatan agar mereka tahu
betapa terkungkungnya kebebasan jika seorang merampas hak orang secara
pidana. Dengan cara seperti itu kita bisa mencegah sadisme secara preventif,
pedagogis, dan edukatif. Semoga.
Prof. Suyanto, Ph.D.,
Guru Besar FE Universitas Negeri Yogyakarta,
Alumnus Boston dan Michigan State University.
4