Dokumen ini membahas masalah kekerasan yang menimpa siswa di sekolah, di mana tiga siswi menjadi korban pembunuhan oleh pelajar lain dalam kurun waktu beberapa bulan. Dokumen ini menganalisis peristiwa tersebut dari sisi hukum dan juga memberikan saran untuk mencegah kejadian serupa di masa depan, antara lain dengan melibatkan masyarakat dalam program sekolah dan menanamkan pendidikan karakter untuk
1. SISWA KORBAN KEKERASAN PIDANA
Oleh Prof. Suyanto, Ph.D
Dunia pendidikan kembali berduka. Jatuh korban sadisme baru pada
tanggal 8 Juli 2013 yang baru lalu. Tindakan sadis itu berakibat melayangnya
nyawa seorang siswi SMP kelas 9 di kawasan Grogol, Purwomartani,
Kalasan, Sleman. Seorang siswa SMP yang bercita-cita ingin menjadi
seorang dokter, Nanda Amalia Setyowati (15) menjadi korban kekerasan
pidana, dihabisi nyawanya oleh beberapa pelajar pula, yaitu para siswa dari
kelas 1 SMK, kelas 3 MTs, dan siswa kelas 2 SMA. Pembunuhan ini sungguh
menyakitkan perasaann kita, baik bagi orang tua korban, para guru, warga
masyarakat, dan juga bagi komunitas sekolah yang menjadi korban maupun
bagi sekolah-sekolah dari mana sang pembunuh itu berasal. Belum sembuh
duka kita ketika seorang siswi sebuah SMK di kawasan Maguwaharjo
Sleman, Ria Puspita Ristanti (16) pada 10 April 2013 juga dihabisi nyawanya
setelah melalui penistaan: diperkosa, dibunuh, dan kemudian jazatnya
dibakar dua kali dalam dua hari berturut-turut oleh para pelakunya. Dalam
1
2. kasus pembunuhan siswa SMK ini pelakunya juga para siswa teman korban,
dan bahkan ayah salah satu pelaku, serta seorang petugas penegak hukum
juga ikut terlibat di dalamnya. Sungguh sangat menyedihkan, hanya selang
empat bulan dari pembunuhan siswi SMK itu jatuh korban lagi di awal minggu
kedua bulan juli ini.
Kemudian pertanyaanya, apa yang bisa kita lakukan dengan peristiwa
naas yang selalu minta korban siswi itu? Dari sisi hukum jelas, mereka para
pelaku itu mungkin bisa dijerat dengan Pasal 340 Undang-Undang Pidana
dengan tuntutan hukuman yang tinggi pula jika terbukti ada unsur
pembunuhan berencana. Bahkan Pasal 82 dan 181 Undang-Undang
Perlindungan Anak juga bisa dikenakan secara brsamaan kepada para
pembunuh sadis itu. Itu semua urusan para penegak hukum, dan sudah jelas
aturan normatifnya. Pendekatan hukum bersifat kuratif. Pendekatan itu perlu
dibarengi dengan langkah dan program lain yang bersifat preventif,
pemberdayaan, edukatif-pedagogis agar di masa yag akan datang tidak
terulang lagi. Dari modus operandi yang telah terjadi, para pembunuh
ternyata tidak saja melibatkan komunitas sekolah, tetapi juga ada yang
2
3. berasal dari anggota masyarakat orang dewasa. Oleh karena itu sudah
saatnya para kepala sekolah kita mulai memiliki program bersamaa yang bisa
dilakukan oleh sekolah dan masyarakat sekitar sekolah. Dalam program itu
perlu ada satu bahasa mengenai tujuan bersama pendidikan yang dimiliki
sekolah dan yang dicita-citakan oleh masyarakat. Dengan adanya common
goals yang dipegang oleh sekolah dan masyarkat, akan terjadi kohesifitas
sosiologis antara sekolah dan masarakat. Akhirnya masyarakat akan ikut
merasa memiliki sekolah itu secara fisik maupun secara kelembagaan.
Dengan demikian masyarakat akan ikut mengawai, menjaga, dan membantu
sekolah untuk mencapai tujuan bersama.
Dari sisi sekolah, juga sudah saatnya pendidikan karakter
dimanfaatkan untuk membangun kesadaran siswa akan rasa empati, simpati,
toleransi, saling mencintai, saling menghargai sesama siswa dalam ranah
tidak saja pengetahuan, tetapi juga dalam tataran praksis. Kalau berbicara
praksis berarti siswa harus diajak untuk menginternalisasi dan meng-
aplikasikan nilai nilai mulia yang diajarkan dalam pendidikan karakter.
Caranya bagaimana? Gampang saja. Siswa bisa diajak untuk melihat best
3
4. practice yang dimiliki oleh institusi lain yang memang bisa dijadikan model.
Ajak anak-anak ke tempat publik yang memiliki sistem pelayanan yang baik,
agar mereka mengenal dan melihat bagaimana antri yang teratur, tidak
memotong hak orang lain, melayani dengan baik, tersenyum tulus, dsb. Pada
saat lain ajak para siswa kita ke rumah sakit untuk melihat pasien-pasien
korban kekerasan agar mereka tumbuh rasa empatinya. Di lain hari ajak
siswa ke tempat panti asuhan yatim piatu, agar tergerak rasa syukurnya,
sehingga tumbuh rasa kasih sayang kepada sesama. Pada kesempatan lain
siswa bisa juga diajak masuk ke lembaga pemasyarakatan agar mereka tahu
betapa terkungkungnya kebebasan jika seorang merampas hak orang secara
pidana. Dengan cara seperti itu kita bisa mencegah sadisme secara preventif,
pedagogis, dan edukatif. Semoga.
Prof. Suyanto, Ph.D.,
Guru Besar FE Universitas Negeri Yogyakarta,
Alumnus Boston dan Michigan State University.
4