Dokumen tersebut membahas tentang pencegahan budaya kekerasan di sekolah. Sekolah sebagai lembaga pendidikan harus mampu merekonstruksi nilai-nilai sosial untuk mencegah penyimpangan perilaku, antara lain melalui inovasi kurikulum dan peran guru yang membudayakan sikap anti kekerasan. Kekerasan dapat berkembang jika sekolah tidak aktif memerangi budaya tersebut karena dapat memicu tumbuhnya pemikiran
1. 1
CEGAH BUDAYA KEKERASAN DI SEKOLAH
Oleh: Prof. Suyanto, Ph.D
Akhir-akhir ini budaya kekerasan sering terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Beberapa bentuk kekerasan dapat kita saksikan melalui berita di
media elektronik maupun cetak. Perkelahian antar kampung, antar desa juga
sering terjadi dengan memakan korban hilangnya nyawa dengan sia-sia.
Bahkan baru-baru ini kekerasan fisik juga terjadi antar dua organisasi massa
di Jakarta. Pertikaian itu sungguh mencekam masyarakat di lokasi kejadian
karena juga telah merenggut nyawa dari salah satu anggota organisasi massa
yang bentrok fisik itu.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh sekolah sebagai institusi pendidikan
terkait dengan maraknya budaya kekerasan? Jawabnya tidak mudah, karena
pendidikan dan persekolahan memang harus memiliki misi jangka pendek,
dan visi jangka panjang. Sekolah harus mampu mengantar semua anak
didiknya untuk hidup saat ini, dan juga mampu hidup di masa datang yang
sulit diprediksi apa yang akan terjadi. Meski demikian, manakala di dalam
masyarakat terjadi ketidakberesan sosial, pendidikan dan persekolahan
memang harus mampu sebagai agen rekonstruksi sosial. Ada jastifikasi
filosofisnya, yaitu aliran atau School of Thought: Social Reconstructionism.
Pendek kata jika di dalam masyarakat ada penyimpangan-penyimpangan
perilaku sosial, maka pendidikan dengan institusi persekolahannya harus
melakukan rekonstruksi nilai nilai sosial, sehingga penyimpangan-
penyimpangan itu bisa diluruskan, bisa dicegah, dan bisa hilang di masa-
masa yang akan datang. Jika demikian halnya, bagaimana caranya? Tentu
kurikulum adalah instrumen penting untuk itu. Dengan demikian harus ada
inovasi dalam desain kurikulum di tingkat sekolah. Mengapa demikian?
Karena sekolahlah yang lebih tahu kondisi lingkungan masyarakatnya di
tingkat lokal. Kalau berbicara kurikulum, bukan harus berarti kurikulum dalam
pengertian produk semata, akan tetapi juga, yang lebih penting, kurikulum
dalam arti proses dan program. Tidak berhenti di situ saja. Bahkan ketika kita
berbicara inovasi desain kurikulum, tidak boleh kita hanhya mengandalkan
2. 2
kurikulum yang tertulis semata, tetapi juga harus mempertimbangkan adanya
kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) dalam setiap praksis yang terjadi
di persekolahan. Dalam konteks rekonstruksi sosial, terkait dengan budaya
kekerasan, kurikulum sekolah harus memiliki kompetensi lulusan yang
mencerminkan dimilikinya kecerdasan sosial bagi para siswa. Untuk dapat
demikian faktor guru sangat menentukan dalam proses pembelajaran di
setiap kelas. Guru harus mampu membudayakan dan membiasakan
tumbuhnya budaya anti kekerasan. Dengan demikian, guru harus mampu
mengamati perilaku sosial anak didiknya baik di kelas maupun di luar kelas.
Para siswa harus dibudayakan untuk memiliki pemikiran yang serba plural
dalam proses belajar. Setiap pemaksaan pendapat terhadap orang lain harus
tidak boleh terjadi dalam proses belajar-mengajar di kelas. Begitu juga guru
harus mampu membangun budaya saling menghargai pendapat dan sikap
orang lain, dengan membuat pakta integritas di antara para siswa yang
berlaku di dalam tata pergaulan di kelas. Misalnya: setiap siswa yang akan
bertanya harus mengangkat tangannya, tidak diperkenankan memotong
pembicaraan siswa yang sedang bicara. Praktek bullying di sekolah juga
harus dihilangkan. Terlebih-lebih ketika ada Masa Orientasi Studi (MOS)
sekolah harus bisa mengendalikan bahwa program MOS semata-mata hanya
berorientasi pada kepentingan akademik, bukan kepentingan untuk balas
dendam, atau kegiatan-kegiatan yang secara pedagogis tidak masuk akal
seperti: berpakaian seragam aneh-aneh, harus membawa barang barang
yang sulit dicari keberadaannya, bagi siswa rambutnya harus dikucir lebih dari
lima, dsb.
Sekolah harus aktif dan proaktif dalam memerangi budaya kekerasan.
Mengapa demikian? Karena kalau tidak, radikalisme akan tumbuh subur di
sekolah-sekolah. Jika terjadi radikalisme, para siswa akan mudah masuk ke
ranah pemikiran yang ekstrim sehingga seolah-olah orang lain tidak ada yang
benar kecuali kelompoknya sendiri. Benih-benih radikalisme memang tidak
mudah dideteksi, karena tidak disadari justru menyelundup melalui organisasi
kesiswaan yang ada di sekolah. Oleh karena itu sekolah harus tidak henti-
hentinya melakukan dialog yang mencerahkan di dalam semua kegiatan
3. 3
keorganisasian siswa di sekolah. Peran alumni sekolah harus dibina dan diberi
wadah yang jelas. Sebab sangat sering para alumni sekolah itu merupakan
pemasuk berbagai pemikiran dan perilaku radikalisme, yang manifestasinya
juga melahirkan budaya kekerasan.
Prof. Suyanto, Ph.D
Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta,
Plt. Dirjen Pendidikan Dasar, Kemdikbud.