1. PORNOGRAFI PELAJAR
Oleh: Prof. Suyanto, Ph.D
Baru-baru ini media massa digital, elektronik, dan cetak ramai-ramai
memberitakan bencana moral yang menimpa pendidikan dasar di salah satu
Sekolah Menengah Pertama di Jakarta. Sebuah vedio adegan mesum
“tingkat tinggi” yang dilakukan sepasang siswa-siswi sekolah tersebut, FP
dan AE, diberitakan telah beredar melalui You Yube, BB dan HP. Adegan
mereka terjadi di ruang kelas kosong setelah mata pelajaran usai. Anehnya,
adegan amat sangat tabu itu rame-rame ditonton dan direkam oleh kawan-
kawan mereka dengan menggunakan smart phone.
Adegan porno mereka itu menghentak hati dan pikiran kita
semua, dan sekaligus sangat memprihatinkan bagi pendidik, orangtua,
sekolah, tokoh agama, dan pemerintah. Perilaku menyimpang mereka itu
sungguh menjadikan kita semua mau tidak mau harus merefleksikan diri dan
bertanya apa sebenarnya yang salah pada sistem kehidupan kita baik di
bidang pendidikan, pemerintahan, dan juga sistem sosial politik dan budaya
yang menjadi konteks bagi tumbuh-kembangnya kehidupan anak-anak kita.
Siapa sebenarnya yang mereka tiru? Apakah para pemimpin? Para politisi?
Ataukah para artis yang membuat berita di seputar adegan porno beberapa
tahun lalu? Dari sisi pemerintah juga sudah mengundangkan undang-
undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Pasal
1
2. pencegahannya juga dirumuskan jelas. Dalam Pasal 17 ditegaskan:
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi”. Pertanyaannya,
mengapa pornografi di kalangan pelajar di berbagai kota tetap saja muncul?
Bisakah ini diartikan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah belum
berhasil menyosialisasikan UU Prnografi? Itulah pemtingnya bagi semua
fihak untuk melakukan refleksi terhadap setiap ada kejadian pornografi di
kalangan pelajar kita, dilihat dari kacamata UU dan hukum yang berlaku.
Apa artinya sebuah UU kalau tidak efektif mencegah terjadinya pronografi.
Apalagi UU pornografi itu telah dibicarakan oleh banyak fihak secara luas
dan intensif karena terbentuknya UU itu melalui uji materi yang mengundang
pro-kontra. Ternyata setelah menjadi UU tidak mampu mencegah terjadinya
pornografi di kalangan pelajar kita. Memang UU nya tidak salah. Mungkin
yang salah kita semua yang gagal menyosialisasikan UU itu di kalangan
para pelajar.
Kejadian adegan mesum di kalangan pelajar berikut dampak
ikutannya berupa penyebarluasan vedio nya di dunia maya, sungguh hal ini
juga menjadi batu uji yang sangat kritis terhadap Gerakan Nasional
Pembangunan Karakter Bangsa yang telah dicanangkan tiga tahun lalu.
Gerakan ini mewajibkan semua kementerian dan lembaga pemerintah untuk
melakukan pembangunan karakter di lingkungannya masing-masing.
Kemudian pada gilirannya, dari Gerakan Nasional ini, telah dirumuskan pula
2
3. prgram nasional pendidikan karakter di semua jenjang pendidikan kita.
Bahkan dalam Kurikulum 2013, pendidikan Karakter harus diintegrasikan ke
dalam berbagai mata pelajaran. Dengan kejadian mesum “kelas tinggi” di
kalangan pelajar kita, bisakah dikatakan bahwa Gerakan Nasional
Pembangunan Karakter Bangsa dan juga Pendidikan Karakter belum
menyentuh masalah yang ingin kita pecahkan terkait dengan pembangunan
dan pendidikan karakter? Tentu tidak mudah untuk menjawab pertanyaan
itu, namun apapun faktanya semua komponen bangsa ini memang perlu
bergerak serentak, bersatu padu, untuk menggalang kebersamaan agar
pembangunan karakter bangsa dan pendidikan karakter dapat mencegah
terjadinya perilaku yang tidak mencerminkan keunggulan karakter bagi
seluruh pelajar kita. Kalau saja komponen bangsa ini tidak bersatu padu
dalam mendukung pembangunan karakter dan pendidikan karakter, niscaya
nilai-nilai terpuji yang diajarkan di sekolah akan terkontaminasi oleh nilai-
nilai negatif yang terjadi di masyarakat, keluarga, dan juga media massa.
Jadi, pada akhirnya semua komponen bangsa akan harus menjadi guru dan
pendidik di lingkungannya untuk penanaman karakter yang mulia melalui
berbagai modalitas sesuai dengan sifat, hakikat dan entitas masing-masing
komponen itu. Modalitas itu bisa berbentuk habituasi, modeling, regulasi,
values clarification, dan sebagainya, agar kita bisa saling mengisi dan
menopang satu sama lain dalam memahamkan dan menanamkan karakter
terpuji kepada seluruh siswa di semua jenis dan jenjang pendidikan.
3