3. Saddha (Pali: saddhā; Skt: śraddhā) adalah keyakinan berdasarkan
pengetahuan dari hasil verifikasi atau pemeriksaan atau penyelidikan awal
berupa hipotesis (anggapan benar) terhadap ajaran (konsep, gagasan, dll.)
yang terbentuk karena keterbatasan bukti dan merupakan titik awal yang
perlu ditindaklanjuti.
Kata saddhā memiliki makna dan pengertian yang tidak sederhana, dan tidak
memiliki padanan kata yang tepat dan sesuai dalam kosakata bahasa lain
untuk menggantikannya. Untuk itu saddhā tidak bisa hanya sekedar diartikan
sebagai “keyakinan”. Saddhā bukanlah keyakinan membuta yaitu kepercayaan
terhadap sesuatu sebagai kebenaran tanpa verifikasi dan yang tidak memicu
tindak lanjut berupa usaha membuktikan sesuatu itu.
Saddhā juga bukanlah iman (Inggris: faith) dalam agama atau kepercayaan
lain, karena saddhā memerlukan penindakan selanjutnya berupa pembuktian
dan tidak berdasarkan pada kepercayaan membuta serta rasa takut. Untuk itu
menerjemahan saddhā sebagai iman (Inggris: faith) dipertanyakan dan
ditentang para sarjana bahasa Pāli Agama Buddha Dan alih-alih
diterjemahkan sebagai iman, saddhā diterjemahkan sebagai kepercayaan diri
(Inggris: confidence).
4. Dharmayatra adalah salah satu bentuk ritual yang berkembang dari
kebutuhan umat dalam memberikan kesempatan menghormati
tempat-tempat yang disucikan atau disakralkan. Tempat yang disucikan
atau disakralkan tersebut terdapat beberapa hal yang
melatarbelakangi, diantaranya makam orang-orang suci, tempat
menyimpan relik para arahat atau para suci, tempat bersejarah dalam
perjalanan hidup Buddha, tempat bersejarah dalam pembabaran
Dhamma, dan candi-candi. Hal tersebut dapat dijadikan motivasi bagi
umat dalam mempraktekkan Dhamma serta meningkatkan
pengetahuan mengenai nilai-nilai spiritual Buddhis dalam kehidupan
sehari-hari. Hendaknya kita memiliki tujuan dharmayatra yang baik
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan pengetahuan terhadap tempat-tempat yang
disakralkan dalam agama Buddha;
2. Menumbuhkan keyakinan dalam melaksanakan Dharma;
3. Mewujudkan kader generasi muda khususnya umat Buddhis yang
berkualitas dalam membimbing umat dalam melaksanakan Dharma;
4. Menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai pentingnya
nilai-nilai luhur peninggalan bersejarah;
5. Turut melestarikan cagar budaya.
5. Dasar Teologis Dharmayatra
Secara teologis dharmayatra mengacu pada sabda Sang Buddha yang
terdapat dalam kitab Petikan Milinda Panha “Hormati relik dari mereka
yang patut dihormati. Dengan bertindak demikian engkau akan pergi
dari dunia ini ke surga” (Pesala, 2002: 100). Menghormat orang yang
patut dihormati tidak hanya dilakukan ketika masih hidup. Dalam hal
tersebut peninggalan-peninggalan agama Buddha yang disakralkan
merupakan objek untuk melakukan penghormatan.
Dasar Filosofis Dharmayatra
Kegiatan dharmayatra sangat penting untuk dilaksanakan. Begitu
banyak manfaat melaksanakan kunjungan ke tempat-tempat suci yang
ada hubungannya dengan Sang Buddha. Hal tersebut sesuai dengan
ajaran Sang Buddha, seperti petikan pada Mahaparinibbana Sutta yaitu
“Ananda, bagi mereka yang berkeyakinan kuat melakukan ziarah
ketempat-tempat itu, maka setelah mereka meninggal dunia, mereka
akan terlahir kembali kealam surga” (Walshe, 2009: 243). Kekuatan
keyakinan seseorang ketika mengunjungi objek-objek bersejarah yang
di sakralkan dalam agama Buddha akan membuat batin menjadi
tenang serta terlahir di alam surga.
7. Keyakinan atau saddhā yang mengakar secara dalam pada wawasan yang
beralasan/berdasar (Pali: ākāravatā saddhā dassanamūlika) adalah keyakinan
yang kokoh yang tidak terkalahkan oleh siapa pun. Keyakinan ini merupakan
keyakinan yang didasari oleh kebijaksanaan (Pali: pañña; Skt: prajñā). Dengan
kebijaksanaan atau disebut indria kebijaksanaan (Pali: paññindriya) maka
saddhā pada diri seseorang akan stabil.
Itulah jenis keyakinan atau saddhā yang dianjurkan dalam meyakini Tiratana
(Buddha, Dhamma, dan Sangha), karena saddhā seperti itu bermanfaat untuk
mengokohkan, menguatkan, memfokuskan, dan sebagai pedoman sebuah
niat untuk mencapai tujuan, yang dalam konteks Agama Buddha tujuan
tersebut adalah Kebebasan Sejati (Nibbana).
Untuk itu, saddhā terhadap Tiratana merupakan hal yang penting pada awal
perkembangan batin, dan karenanya saddhā diperumpamakan sebagai benih.
Dan untuk itu juga saddhā perlu dikembangkan dengan cara berlatih dan
mempraktikkan ajaran Buddha sambil mengujinya, agar seseorang dapat lebih
menguatkan dan memfokuskan diri mencapai tujuan.
8. Dalam kitab suci Tipitaka diuraikan mengenai empat
hari suci agama Buddha, yaitu :
1. Hari Suci Waisak.
2. Hari Suci Asadha.
3. Hari Suci Khatina.
4. Hari Suci Magha Puja.
Dari ke empat hari suci agama Buddha tersebut,
hanya hari suci Waisak yang telah ditetapkan
sebagai hari libur nasional di negara Indonesia oleh
Pemerintah dengan keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 3 tahun 1983. Hari suci Waisak
mulai menjadi hari libur nasional sejak Waisak 2527
yang jatuh pada tanggal 27 Mei 1983.
9. • Biasanya pada hari waisak, umat Buddha merayakannya dengan pergi ke wihara
dan melakukan ritual puja-bhakti. Harus dimengerti bahwa umat Buddha
melaksanakan ritual puja-bhakti adalah bertujuan untuk mengingat kembali ajaran
sang Buddha, menyontoh perilaku sang Buddha dan melaksanakan ajaran agama
Buddha. Bagi umat Buddha, hal tersebut berarti menaati peraturan moral, seperti
menghindari pembunuhan makhluk hidup, mencuri, berbuat asusila, berbohong
dan mabuk-mabukkan. Selain kelima larangan tersebut, umat Buddha ketika hari
Waisak biasanya mengembangkan cinta-kasih dengan cara membantu fakir-miskin
atau mereka yang membutuhkan, melepas hewan (biasanya burung) sebagai
simbol cinta-kasih dan penghargaan terhadap lingkungan, serta merenungkan
segala perbuatan yang telah dilakukan apakah baik atau buruk sehingga
diharapkan di masa mendatangkan tidak mengulangi perbuatan yang buruk yang
dapat merugikan.
• Waisak sebagai sebuah hari raya agama Buddha bisa memberikan contoh yang
positif kepada setiap orang. Contoh positif yang dapat diteladani adalah
pengembangan cinta-kasih kepada setiap makhluk hidup. Wujudnya bisa berupa
berdana membantu mereka yang membutuhkan, mendonorkan darah, menjaga
lingkungan sekitar dengan hidup sederhana atau perbuatan-perbuatan baik
lainnya. Akhirnya satu harapan besar dari hari Waisak tersebut adalah bahwa
setiap manusia diharapkan dapat merenungi segala perbuatannya dan setiap saat
selalu hidup dengan rasa cinta-kasih tanpa kebencian, seperti yang tertulis di
dalam Dhammapada, “Kebencian tidak akan selesai jika dibalas dengan kebencian,
tetapi hanya dengan memaafkan dan cinta-kasihlah maka kebencian akan lenyap.”
10. Pada tingkat akhir, pada diri mereka yang telah melihat, mengetahui,
menembus, mewujudkan, dan mencapai Kebenaran oleh dirinya
sendiri secara langsung terhadap sesuatu (misalnya salah satu ajaran
Buddha), maka saddhā terhadap Tiratana tersebut tidak diperlukan lagi
sehingga mereka menjadi tanpa saddhā (Pali: assaddha; Skt: aśraddhā)
Hal ini sama seperti seseorang yang telah membuktikan kebenaran,
melihat sebuah fakta yang nyata ada dan teruji, maka ia tidak
memerlukan sebuah hipotesis (anggapan benar) lagi.
Dari pengertian di atas, maka saddhā memiliki ciri-ciri, yaitu:
merupakan hasil verifikasi berupa hipotesis, bukan kebenaran final
atau akhir tetapi merupakan titik awal perjalanan menuju perwujudan
kebenaran melalui pengujian, dan perlu diiringi dengan kebijaksanaan.
Fungsi dari saddhā sendiri adalah untuk mengarahkan seseorang
melakukan sesuatu, berkomitmen, bertekad, di dalam mendapatkan
kejernihan, kejelasan, dan pembuktian kebenaran dari ajaran (konsep,
gagasan, dll.).
11. Dhamma vacana:
Meditasi untuk Memurnikan Pikiran
Hendaklah ia menjaga ucapan dan
mengendalikan pikiran dengan baik, serta tidak
melakukan perbuatan jahat melalui jasmani.
Hendaklah ia memurnikan tiga saluran
perbuatan ini, memenangkan jalan yang telah
dibabarkan oleh para suci.
(Dhammapada 281)
12. Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Hal yang paling berharga dalam hidup adalah kedamaian batin. Hal yang paling sulit untuk ditaklukkan
adalah diri sendiri. Hal yang paling mudah untuk dikomentari adalah keburukan atau kesalahan orang
lain.
Menaklukkan diri sendiri atau mengubah perilaku sendiri sangat sulit dibandingkan dengan berbuat
baik. Orang pada umumnya tidak bisa melakukan perubahan yang lebih baik dikarenakan tidak ada niat
yang baik untuk mengubahnya. Soal mudah atau sulitnya terletak pada niat dia mengubah. Apa yang
harus dilakukan dalam kehidupan? Tiada lain adalah melatih diri dengan benar. Para bhikkhu yang baru
diupasampada, bhikkhu yang sudah Thera atau bhikkhu Mahathera, tetap harus “BERLATIH”. Umat biasa
(perumah tangga), umat yang sudah di-Visudhi upāsaka/upāsikā (yang berlindung kepada Buddha,
Dhamma, Sangha, dan menerima lima latihan sila) yang baru atau yang sudah lama, tetap harus
“BERLATIH”. Makhluk suci Sotapanna, Sakadagami, Anagami juga masih berlatih, kecuali seseorang yang
sudah menjadi Arahat.
Membina diri adalah kewajiban kita sebagai umat Buddha. Kita harus selalu sadar bahwasanya hidup
sangat singkat, waktu untuk melakukan kebaikan sangat sedikit. Tentu kita tidak tahu usia kita panjang
atau pendek, yang pasti rata-rata hidup manusia zaman sekarang ini adalah 75 tahun. Apabila kurang
dari itu bagaimana?
Apa yang harus kita latih dalam mengalahkan kotoran batin kita sendiri?
Hal yang sangat penting kita lakukan adalah “menjaga pikiran kita dengan penuh kewaspadaan”. Pikiran
bisa menjurus pada dua persepsi. Persepsi yang negatif dan persepsi positif. Layaknya seperti dalam
Dhammapada Yamaka Vagga, ayat 1, 2:
“Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila
seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya, bagaikan
roda pedati mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya”.
Untuk Hal tersebut guru Buddha telah memberikan jalan dengan Meditasi Vipassana
13. Vipassana dalam bahasa Sansekerta berarti melihat sesuatu
seperti apa adanya dan bukan seperti apa yang dikehendaki.
meditasi ini bersifat universal dan tidak ada hubungannya
dengan sekte maupun agama tertentu. Tujuannya untuk
mencapai kehidupan yang harmonis dan bahagia. Meditasi ini
berasal dari India. Setelah lama menghilang, meditasi
Vipassana ditemukan kembali oleh Buddha Gautama lebih
dari 2.500 tahun lalu. Teknik ini adalah proses pemurnian diri
melalui pengamatan diri sendiri. Kita dapat memulainya
dengan mengamati pernapasan alamiah untuk memusatkan
pikiran. Dengan kesadaran yang dipertajam, selanjutnya kita
mengamati sifat jasmani dan batin yang senantiasa berubah
dan mengalami kebenaran universal tentang ketidakkekalan,
penderitaan, dan tanpa ego. Merealisasi kebenaran dengan
pengalaman langsung itulah yang disebut proses pemurnian.
14. Dikatakan, seluruh jalan (Dhamma) adalah obat untuk mengatasi
masalah-masalah universal dan tidak ada sangkut pautnya dengan
sesuatu organisasi keagamaan atau sekte. Karena alasan itulah
Vipassana dapat dipraktikkan oleh setiap orang, kapan pun, dan di
mana pun tempatnya, tanpa ada konflik dengan ras, suku, dan agama.
Teknik Vipassana bertujuan mencabut secara total kekotoran mental
dan menghasilkan kebahagiaan tertinggi. Penyembuhan bukan hanya
pada penyakit. Pembebasan penderitaan manusia adalah tujuan
utamanya. Hal ini bisa dialami langsung dengan perhatian yang serius
pada sensasi tubuh, pada yang membentuk kehidupan tubuh ini, serta
pada yang terus-menerus berhubungan dan membentuk kehidupan
batin. Perjalanan dengan dasar pengamatan, penjelajahan diri sendiri
inilah yang membawa ke akar batin dan tubuh, melarutkan kekotoran
mental, dan menghasilkan batin yang seimbang, penuh cinta dan kasih.
15. seorang siswa berupaya mengembangkan kedermawanan sebagai awal dalam berlatih, berusaha
melawan sifat kikir yang menghalangi kemurahan hati, selanjutnya melatih diri dalam praktik
pengendalian diri, menjaga moralitas supaya segala tindakan jasmani, tutur kata, serta pikirannya jernih,
bebas dari segala noda kejahatan, dengan suatu harapan untuk memperoleh kesenangan indria, terlahir
di alam kedewaan menikmati kesenangan surgawi. Namun kemudian menjadi ‘kecewa’ karena
kesenangan indrawi itu bersifat mengikat dan menghalangi kemajuan latihannya dan sebaliknya
berusaha untuk meninggalkannya. Berupaya mencari kebahagiaan yang lebih tinggi, Nibbāna (nibbānaṁ
paramaṁ sukhaṁ).
Dengan memiliki sikap batin ini, seseorang yang mempunyai niat untuk berlatih tidak mempunyai
kesukaran dalam upayanya mengerti ajaran-ajaran yang mendalam. Pada tahap ini seseorang akan
merasa siap untuk melatih dirinya dalam mengerti ajaran yang lebih dalam yaitu memahami empat
kebenaran mulia sebagai cara untuk membuka mata batin, merealisasi Nibbāna seperti Buddha dan
para siswa ariya.
Renungan:
Sewaktu rumahku terbakar, aku akan menyelamatkan benda-benda yang berharga, bukan barang-
barang yang tidak berharga. Sama seperti ketika usiaku semakin lama semakin melaju pada batas akhir,
aku berupaya menyelamatkan benda-benda berhargaku, harta berupa kebajikan, sehingga ketika
rumahku (jasmani) ini terbakar dan hancur, aku bisa membawa harta kebajikan sebagai bekal dalam
kehidupan selanjutnya hingga tercapainya kebahagiaan tertinggi Nibbāna.