SlideShare a Scribd company logo
1 of 22
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LatarBelakang.
Moksa merupakan tujuan terakhir dari seluruh Umat Agama Hindu. Dengan menjalankan
ajaranNya dan menjauhi laranganNya, maka manusia akan dapat mencapai tujuan hidupnya yang
tertinggi yaitu bebas dari segala ikatan keduniawian, untuk bersatunya Atman dengan Brahman.
Untuk mencapai Moksa orang harus selalu berbuat baik sesuai dengan ajaran Agamanya. Kitab
suci telah mengajarkan bagaimana caranya orang melaksanakan pelepasan dirinya dari ikatan
Maya dan akhirnya Atman dapat bersatu dengan Brahman, sehingga penderitaan dapat dilebur dan
tidak lagi menjelma atau lahir kedunia ini sebagai hukuman, tetapi sebagai penolong sesama
manusia, sebagai AWATARA.
1.2.RumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas kami selaku penulis dapat merumuskan pokok
permasalahan yaitu :
1. Apakah pengertian Moksa?
2. Bagaimana pencapaian Moksa?
3. Apa sajakan Tingkatan Moksa?
1.3.Tujuan Penulisan
Agar Umat Agama Hindu memahami pengertian moksa maupun jalan untuk mencapai moksa.
Sehingga manusia yang beragama bisa menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
1.4.Manfaat Penulisan
Agar dapat memahami ajaran moksa dalam Agama Hindu.
2
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.Definisi Moksa
Moksa adalah suatu sradha dalam Agama Hindu, yang merupakan tujuan hidup tertinggi agama
hindu .Moksa berasal dari bahasa Sansekerta dari kata “Muc” = membebaskan atau melepaskan.
Dengan demikian Moksa berarti: “Kelepasan dan Kebebasan”. “MOKSA” merupakan
terlepasnya Atman dari belenggu Maya ( bebas dari pengaruh Karma dan Punarbawa ). Moksa
bersifat Nirguna tidak ada bahasa manusia yang dapat menjelaskan bagaimana sesungguhnya
alam Moksa itu. Alam moksa hanya dapat dirasakan oleh orang yang dapat mencapainya.Yang
dimaksud kebebasan dalam ajaran Moksa adalah terlepasnya Atma dariikatan Maya, sehingga
dapat menyatu dengan Brahman. Bagi orang yang telah mencapai moksa atau ketentraman serta
kebahagiaan yang kekal abadi berarti mereka telah mencapai alam Sat Cit Ananda,
yaitukebahagiaan yang tertinggi.Menurut kitab-kitab Upanisad, moksa adalah keadaan atma
yang bebas dari segala bentuk ikatan dan bebas dari samsara. Yang dimaksud dengan atma
adalah roh, jiwa.
Dalam kehidupan kita saat ini juga dapat untuk mencapai moksa yang disebut dengan Jiwan
Mukti (Moksa semasih hidup), bukan berarti moksa hanya dapat dicapai dan dirasakan setelah
meninggal dunia, dalam kehidupan sekarangpun kita dapat merasakan moksa yaitu kebebasan
asal persyaratan-persyaratan moksa dilakukan, jadi kita mencapai moksa tidak menunggu waktu
sampai meninggal.
2.2. PencapaianMoksa
Untuk mencapai moksa seseorang harus mempunyai persyaratan-persyaratan tertentu
sehingga proses mencapai moksa dapat berjalan sesuai dengan norma-norma ajaran agama Hindu.
Dalam mencapai Moksa dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
3
1. Dharma
Dalam ajaran agama Hindu yang terdapat dalam Catur Purusa artha dijelaskan bahwa
tujuan dari kehidupan adalah bagaimana untuk menegakkan Dharma, setiap tindakan harus
berdasarkan kebenaran tidak ada dharma yang lebih tinggi dari kebenaran. Dalam Bagawad Gita
disebutkan bahwa Dharma dan Kebenaran adalah nafas kehidupan. Krisna dalam wejangannya
kepada Arjuna mengatakan bahwa dimana ada Dharma, disana ada Kebajikan dan Kesucian,
dimana Kewajiban dan Kebenaran dipatuhi disana ada kemenangan. Orang yang melindungi
dharma akan dilindungi oleh dharma maka selalu tempuhlah kehidupan yang suci dan terhormat.
Dalam zaman edan saat ini semua orang mengabaikan kebenaran, orang sudah menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuan, krisis moral sudah meraja lela dimana mana, kebenaran dan
keadilan sudah langka, orang sudah tidak mengenal budaya malu, semua perbuatannya dianggap
sudah benar dan normal. Sebenarnya Dharma tidak pernah berubah, Dharma telah ada pada zaman
dahulu, zaman sekarang dan zaman yang akan datang, ada sepanjang zaman tetapi setiap zaman
mempunyai karateristik lain-lain dalam melakukan latihan kerohanian (spiritual). Untuk Kerta
Yuga latihan kerohanian yang baik adalah melakukan Meditasi, untuk Treta Yuga latihan
kerohanian yang baik adalah dengan melakukan Yadnya atau kurban, untuk latihan kerohanian
yang baik adalah dengan melakukan Yoga yaitu upacara pemujaan dan untuk Kali Yuga latihan
kerohanian yang baik adalah dengan melakukan Nama Smarana yaitu mengulang ngulang atau
menyebut nama Tuhan yang suci.
2. Pendekatan
kepada Hyang Widhi WasaUntuk mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa ada
beberapa cara yang dilakukan Umat Hindu yaitu cara Darana (menetapkan cipta), Dhyana
(memusatkan cipta), dan Semadi (mengheningkan cipta). Dengan melakukan latihan rohani,
terutama dengan penyelidikan bathin, akan dapat menyadari kesatuan dan menikmati sifat Tuhan
yang selalu ada dalam diri kita. Apabila sifat-sifat Tuhan sudah melekat dalam diri kita maka kita
sudah dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa sehingga segala permohonan kita akan dikabulkan dan
kita selalu dapat perlindungan dan keselamatan.
4
3. Kesucian
Untuk memperoleh pengetahuan suci, dan menghayati Sang Hyang Widhi Wasa dalam
keberagaman dinyatakan dalam doa Upanishad yang termasyur : Asatoma Satgamaya, Tamasoma
Jyothir Gamaya, Mrityorma Amritan Gamaya yang artinya, Tuntunanlah kami dari yang palsu ke
yang sejati, tuntunlah kami dari yang gelap ke yang terang, tuntunlah kami dari kematian ke
kekekalan.Setiap kita melakukan kegiatan-kegiatan, kita biasakan untuk memohon tuntunan
kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa agar kita selamat dan selalu dilindungi. Pekerjaan apapun
kita lakukan, apabila kita bekerja demi Tuhan dan dipersembahkan kehadapan Sang Hyang Widhi
Wasa, maka pekerjaan tersebut mempunyai nilai yang sangat tinggi.Dengan menghubungkan
pekerjaan tersebut dengan Sang Hyang Widhi Wasa, maka ia menjadi suci dan mempunyai
kemampuan dan nilai yang tinggi.Tujuan dari kehidupan kita adalah agar atman terbebas dari
triguna dan menyatu dengan Para atman. Didalam Weda disebut yaitu Moksartham Jaga Dhitaya
Ca Iti Dharmah yang artinya adalah tujuan agama (Dharma) kita adalah untuk mencapai moksa
(moksa artham) dan kesejahteraan umat manusia (jagadhita).Ciri-ciri orang yang telah mencapai
jiwatman mukti adalah:
1. Selalu mendapat ketenangan lahir maupun bathin.
2. Tidak terpengaruh dengan suasana suka maupun duka.
3. Tidak terikat dengan keduniawian.
4. Tidak mementingkan diri sendiri, selalu mementingkan orang lain (masyarakat banyak).
Untuk mencapai moksa juga mempunyai tingkatan-tingkatan tergantung dari karma
(perbuatannya) selama hidupnya apakah sudah sesuai dengan ajaran-ajaran agama Hindu.
Tingkatan-tingkatan seseorang yang telah mencapai moksa dapat dikatagorikan sebagai berikut:
1. Apabila seorang yang sudah mencapai kebebasan rohani dengan meninggalkan mayat
disebut Moksa.
2. Apabila seorang yang sudah mencapai kebebasan rohani dengan tidak meninggalkan mayat
tetapi meninggalkan bekas-bekas misalnya abu, tulang disebut Adi Moksa.
3. Apabila seorang yang telah mencapi kebebasan rohani yang tidak meninggalkan mayat
serta tidak membekas disebut Parama Moksa.
5
4. Catur Marga.
Untuk mencapai Moksa beberapa cara yang dapat ditempuh sesuai dengan bakat dan
bidang yang digeluti saat ini yang disebut dengan Catur Marga ada juga yang menyebutkan
dengan Catur Yoga yaitu empat jalan yang ditempuh untuk mencapai Moksa. Adapun
keempat Catur Marga terdiri dari :
1. Marga Jnana Yoga
Pada saat sekarang peranan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sangat menentukan
dalam pembangunan nasional disamping ilmu pengetahuan lainnya. Setiap negara akan berusaha
sekuat tenaga dengan menggunakan resource yang ada untuk berkompetisi dalam bidang IPTEK,
siapa yang menguasai IPTEK maka merekalah yang menguasai dunia ini. Kata Jnana artinya
adalah kebijaksanaan filsafat atau pengetahuan, Yoga berasal dari urat kata YUJ yang artinya
menghubungkan diri.Jadi Janana Marga Yoga artinya jalan untuk mencapai persatuan atau
pertemuan antara Atman dengan Paramatman (Tuhan) berdasarkan atas pengetahuan
(kebijaksanaan filsafat) terutama mengenai kebenaran dan pembebasan diri dari ikatan duniawi
(maya). Dalam kehidupan ini kita memilih profesi pekerjaan kita sesuai dengan bakat yang
diberikan oleh Sang Hyang Widhi Wasa dan latar belakang pendidikan kita atau pekerjaan yang
sangat menarik yang kita geluti saat ini, sebab bakat yang diberikan oleh Tuhan adalah anugrah
yang sangat tinggi nilainya yang merupakan hasil Karma kita dahulu sebelum kita Reinkarnasi
sebagai manusia. Apabila kita ingin mengabdikan diri di bidang ilmu pengetahuan, perlu
diperhatikan adalah ilmu pengetahuan yang dapat membantu umat manusia dalam mengatasi
kehidupan ini. Sebagai ilustrasi dapat disampaikan sebagai berikut. Pada zaman sekarang banyak
manusia mengalami kesulitan dalam mengatasi penyakit, banyak penyakit yang belum
diketemukan obatnya seperti AIDS, lever hati, tumor, kanker dan lain lainnya. Perkembangan ilmu
kedokteran tidak dapat mengejar penyakit-penyakit yang timbul dalam masyarakat, peralatan
rumah sakit masih menggunakan peralatan tradisional sehingga angka kematian di negara kita
sampai sekarang masih cukup tinggi.Para dokter yang bergerak dibidang kesehatan harus terus
menerus melakukan penelitian atau Research And Development (R&D) sehingga semua kesulitan
masyarakat dapat diatasi dengan baik dan murah dengan diketemukan obat-obat yang mujarab.
Seseorang yang mempunyai profesi dalam bidang kedokteran ini disebut dengan Jnana Marga
Yoga dimana ilmu yang diabdikan demi kepentingan umat manusia.
6
2. Karma Marga Yoga
Cara atau jalan untuk mencapai moksa (bersatunya Atman dengan Brahman), dengan
selalu berbuat baik, tetapi tidak mengharapkan balasan atau hasilnya untuk kepentingan diri sendiri
(amerih sukaning awah) disebut Karma Marga Yoga. Dalam Karma Marga Yoga, kita sebagai
umat Hindu setiap tindak tanduk kita melakukan karya harus demi kepentingan masyarakat banyak
dan jangan ada suatu keinginan untuk menikmati hasilnya, sebab kalau kita selalu berpikir hasilnya
akan timbul keterikatan-keterikatan, kalau keterikatan-keterikatan telah tumbuh dalam jiwa kita,
maka ketenangan akan menjauh dari kenyataan, sehingga jiwa kita akan diracuni oleh Sad Ripu
yaitu enam musuh utama manusia yang terdiri dari Kama, Lobha, Mada, Moha, Kroda, Matsarya
(nafsu, loba, kemarahan, kemabukan, kebingungan, iri hati). Di dalam Bhagawad Gita disebutkan
bahwa berulang kali Krisna berkata kepada Arjuna, lakukan tugasmu, lakukanlah pekerjaan yang
benar tetapi jangan ingin menikmati hasil pekerjaan itu. Tujuan Krisna memberikan wejangan
kepada Arjuna agar jangan melihat hasilnya adalah, kita sebagai pelaku benar-benar dalam bekerja
semua perbuatan kita yaitu karma diubah menjadi Yoga sehingga kegiatan tersebut membawa kita
menuju persatuan dengan Tuhan maka ini disebut dengan Karma Marga Yoga. Apabila seseorang
sudah dapat melakukan pekerjaan tanpa melihat hasilnya maka ia akan menjadi orang yang benar-
benar bijaksana (Stithaprajna), yang tidak terpengaruh dengan keadaan suka dan duka atau
gembira dan sedih.Perbuatan adalah karma , setiap orang lahir dari karma, hidup dalam karma dan
mati dalam karma, karma sumber dari baik dan buruk dosa atau kebajikan, laba atau rugi,
kebahagiaan atau kesedihan, sebenarnya karmalah penyebab kelahiran, maka karma dalam
kehidupan merupakan masalah yang sangat penting.Sebagai ilustrasi dapat diceritrakan sebagai
berikut: Diumpamakan badan kita adalah sebuah jam dinding, dan nafas kita adalah pegasnya yang
menyebabkan jarum jam dapat berputar, dan baterynya adalah tenaga manusia. Tanpa nafas dan
tenaga, manusia tidak dapat berbuat apa-apa yaitu berkarma, maka perbuatan (karma) sangat
tergantung dengan nafas (pegas) dan tenaga (batery). Dengan kekuatan batery (tenaga) maka jarum
jam yang terdiri dari tiga jarum yaitu jarum yang paling panjang disebut jarum detik, jarum yang
menengah disebut dengan jarum menit dan jarum yang paling pendek disebut jarum jam. Ketiga
jarum akan berputar dengan kecepatan yang berbeda beda dan saling ketergantungan satu sama
lainnya, tetapi masing-masing jarum akan berputar sesuai dengan fungsinya.Apabila jarum detik
telah berputar 60 kali maka jarum menit akan mengikuti berputar hanya sekali, demikian saat
7
jarum menit telah berputar 60 kali maka jarum jam akan berputar sekali demikian seterusnya
dengan menggunakan kelipatan 60. Setiap gerakan jarum detik kita umpakan adalah karma
(perbuatan), untuk gerakan jarum menit kita umpamakan adalah perasaan dan untuk gerakan jarum
jam kita umpamakan adalah kebahagiaan. Untuk mencapai suatu kebahagiaan yang terus menerus
kita harus selalu berbuat (berkarma) baik, setiap tindakan kita selalu tanamkan kebaikan yang
menyebabkan perasaan kita mendapat rangsangan kebaikan tersebut sehingga kita merasa
senangzApabila perasaan kita telah mencapai kesenangan terus menerus akibat kita selalu berbuat
(karma) baik terhadap seseorang, maka menyebabkan kita akan mencapai kebahagiaan, sebab
karma (perbuatan), perasaan, dan kebahagian saling keterkaitan seperti ketiga jarum jam berputar
saling ketergantungan satu sama lainnya.Makin banyak kita berkarma baik maka perasaan dan
kebahagian akan selalu mengikuti seperti perputaran jarum jam, apabila jarum detik tidak bergerak
jangan harap jarum menit bergerak apalagi jarum jam kebahagian akan dicapai dalam kehidupan
ini apabila kita selalu berkarma baik.
3. Bakti Marga Yoga
Jalan atau cara untuk mencapai moksa atau kebebasan, yaitu bersatunya Atman dengan
Tuhan dengan melakukan sujud bakti kehadapan Hyang WidhiWasa. Bakti adalah cinta yang
mendalam kepada Tuhan, bersifat tanpa pamerih sedikitpun dan tanpa keinginan duniawi apapun
juga. Bagi umat Hindu untuk melakukan Bakti Marga Yoga dengan menyanyikan nama-nama
Tuhan secara berulang-ulang, bergaul dengan orang-orang Suci yang mempunyai bakti,
konsentrasi pikiran setiap saat kepada Tuhan, dan jalan Bakti ini adalah yang paling mudah
dilakukan. Seperti setiap hari kita melakukan Trisandya dengan mengucapkan Gayatri Mantra tiga
kali sehari.Untuk menanamkan rasa Bakti kehadapan Hyang Widhi Wasa , sebaiknya anak mulai
kecil dididik mengucapkan Mantra Gayatri dengan memberi penjelasan makna dan arti masing-
masing bait, sehingga meresap dalam pikiran mereka dan dapat menuntun ajaran-ajaran kebenaran
(Dharma). Kalau belum hafal sebaiknya dibaca saja dan usahakan dengan suara yang lembut
sehingga benar-benar meresap dalam hati sanubari kita dan bayangkan Brahman ada dalam pikiran
dan renungkan secara terus menerus selama melagukan Gayatri Mantra Dengan selalu
melantunkan Gayatri Mantra terus menerus , maka kita seolah-olah menyatu dengan Tuhan atau
bersatunya Atman dengan Tuhan., sehingga kita mendapat ketenangan, kedamaian, keselamatan
dan kesejahteraan.Dalam melakukan Bakti Marga Yoga terutama upacara piodalan di Pura-pura
8
diseluruh Indonesia, masyarakat Hindu sudah mempunyai cara upacara bakti (persembahyangan)
secara baku, dimanapun kita melakukan persembahyangan sudah tersusun sama, dan Mantra
Gayatri selalu dilantunkan sebelum persembahyangan dimulai.Pada saat Pendeta melakukan
upacara piodalan juga dinyanyikan lagu-lagu warga sari sebagai pemujaan kehadapan Hyang
Widhi Wasa yang mempunyai makna adalah agar sebelum persembahyangan dimulai kita sudah
mulai rasakan menyatunya Atman dengan Brahman.
4. Raja Marga Yoga
Jalan untuk mencapai moksa menurut agama Hindu dapat dilakukan melalui Tapa, Brata,
Yoga, dan Semadi. Untuk mengendalikan diri dengan melakukan latihan-latihan untuk mengatasi
Sad Ripu disebut dengan Tapa, Brata, sebab apabila Sad Ripu kita sudah dapat kendalikan maka
jalan mencapai moksa lebih mudah. Disamping mengendalikan Sad Ripu, kita juga melakukan
latihan-latihan untuk dapat menyatukan Atman dengan Tuhan yang disebut dengan Yoga dan
Semadi, dengan melakukan konsentrasi yang setepat tepatnya dalam ketenangan dan suasana
syandu sempurna sehingga kita dapat menyatu dengan Tuhan.Sebagai ilustrasi dapat diceritakan
sebagai berikut: Didalam suatu pesraman di Hutan rimba ada seorang Rsi yang bernama Rsi Suka
yang memberikan dharma wecana kepada murid-muridnya yaitu yoga, semadi diantara murid-
muridnya ada seorang raja bernama raja Jenaka. Raja Jenaka disamping mempunyai kerajaan yang
sangat besar dan kaya juga berkeinginan belajar spiritual (Yoga, semadi) kepada Rsi Suka yang
sangat terkenal ilmu spiritualnya. Banyak ujian-ujian yang diberikan kepada para siswanya agar
dapat mencapai moksa dalam kehidupan ini dengan meninggalkan keduniawian dengan
melepaskan semua keterikatan-keterikatan sehingga Atman menyatu dengan Brahman. Pada suatu
hari Rsi Suka agak terlambat memberikan dharma wecana sehubungan Raja Jenaka ada keperluan
kerajaan yang sangat mendesak yang tidak boleh diwakili. Rsi Suka dengan sengaja menunggu
Raja Jenaka, ingin menguji kesabaran para muridnya apakah dapat mengekang Sad Ripu sebagai
dasar pelajaran Yoga.Dari pengamatan Rsi Suka banyak para muridnya gelisah dan gusar dan
kadang-kadang timbul marah tidak sabar menunggu sampai ada yang protes bahwa pelajaran
dimulai saja, mengapa kita di beda-bedakan orang biasa dengan raja Setelah raja datang dharma
wecana baru dimulai dan Rsi Suka memberikan wejangan, kita harus dapat mengendalikan sad
ripu sehingga kita dapat ketenangan bathin. Setelah dharma wecana selesai maka pelajaran
dilanjutkan dengan yoga, semadi, dan pelajaran ini harus dilakukan dengan konsentrasi pikiran
9
secara penuh.Dengan suasana hening sepi hanya suara jangkrik yang kedengaran, para muridnya
sedang asyik melakukan yoga semadi, tiba-tiba Rsi dengan berteriak bahwa sedang ada kebakaran
di kota kerajaan, murid-muridnya pada bubar berlari lari pergi ke kota kerajaan ingin
menyelamatkan harta dan rumahnya yang kebakaran. Tetapi raja Jenaka tidak bergeming
sedikitpun, dia telah masuk dalam keadaan Semadi, beliau berbahagia dalam Atman.Rsi
mengamati wajah raja dengan perasaan sangat gembira. Setelah beberapa murid-murid yang lari
kembali bahwa dikota tidak ada kebakaran dan Rsi pun memberikan penjelasan arti dari peristiwa
tersebut. Penundaan mulainya dharma wecana adalah untuk menghormati raja, karena beliau telah
menghapuskan keakuannnya kebanggaannya dan mempunyai kerendahan hati dan melatih
mengendalikan Sad Ripu dan berhasil dengan baik dan ini perlu dicontoh oleh semua muridnya.
Dan peristiwa kebakaran di kota kerajaan sebenarnya tidak pernah terjadi, peristiwa kebakaran
adalah rekayasa Rsi dan ini merupakan ujian dari Rsi Suka. Kalau mau berhasil sebagai seorang
spiritual (Yogi) harus berani melepaskan semua keduniawian yaitu keterikatan-keterikatan, tanpa
ada kemauan untuk menghilangkan keterikatan-keterikatan ini tidak mungkin tercapai tujuannya
yaitu sebagai seorang Yogi.Semua latihan-latihan ini membutuhkan ketekunan, tulus iklas,
kesujudan iman dan tanpa pamerih. Pada akhir-akhir ini banyak generasi muda sudah melakukan
latihan-latihan Yoga dan Semadi, dan buku-buku penuntun untuk yang baru memulai belajar Yoga
dan Semadi sudah cukup banyak beredar di toko-toko buku, dan suasana ini sangat membantu bagi
umat hindu untuk belajar masalah spiritual melalui Raja Marga Yoga.Diantara keempat Marga
Yoga tersebut diatas semuanya adalah sama tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya, umat
Hindu dapat memilih dari keempat Marga Yoga tersebut tergantung dari bakat masing-masing dan
jalan yang satu akan berhubungan dengan yang lain semuanya akan mencapai tujuan yang sama
yaitu Moksa.
2.3. TingkatMoksa
1. Samipya
Samipya adalah kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya di dunia ini. Hal
ini dapat dilakukan oleh para Yogi dan Maha Rsi.
10
2. Srupya
Srupya merupakan moksa yang dilakukan di dunia ini karena kelahirannya.Kedudukan atma
pencerminan dari kemahakuasaan Tuhan, seperti halnya Sri Rama, Budha Gautama, dan Sri
Kresna.Walaupun Atma telah mencapai perwujudan tertentu namun ia tidak terikat oleh segala
sesuatu yang ada di dunia ini.
3. Slokya
Slokya adalah suatu kebebasan yang telah dicapai oleh atma dimana atma itu telah berada diposisi
dan kesadaran yang sama dengan Tuhan. Dalam keadaan seperti ini dapat dikatakan Atma telah
mencapai tingkatan Dewa yang merupakan manifestasi dari Tuhan itu sendiri.
4.Sayujna
Sayujna adalah suatu tingkatan kebebasan yang tertinggi dimana atma telah dapat bersatu dengan
Tuhan Yang Maha Esa (Brahman). Dalam keadaan seperti ini sebutan “Brahma Atma Akyam”
yang artinya Atma dan Brahma sesungguhnya Tunggal.Kalau dilihat dari kebebasan yang dicapai
oleh Atma, maka Moksa dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1. Moksa yaitu kebebasan yang dicapai oleh seseorang tetapi masih meninggalkan bekas
berupa mayat atau badan kasar.
2. Adi Moksa yaitu kebebasan yang dicapai oleh sesorang dengan meninggalkan bekas-bekas
berupa abu.Parama Moksa yaitu kebebasan yang dicapai oleh seseorang tanpa
meninggalkan bekas.
2.4. PERJALANAN DANGHYANG DWIJENDRA
Pada akhir abad ke-15, kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan. Selain disebabkan
karena faktor ari dalam, yaitu perang saudara (Perang Paregreg) untuk menjadi penguasa di
Majapahit, faktor dari luar juga menjadi penyebab keruntuhan salah satu kerajaan Hindu terbesar
ini, yakni serangan dari Kerajaan Demak yang beragama Islam. Akibat dari hal tersebut, agama
Hindu akhirnya surut oleh pengaruh agama Islam, dimana penduduk di Majapahit dan sekitarnya
serta pulau Jawa pada umumnya akhirnya beralih keyakinan ke Agama Islam. Orang-orang
11
Majapahit yang tidak mau beralih agama dari Hindu ke Islam akhirnya memilih meninggalkan
Majapahit. Mereka memilih tinggal di daerah Pasuruan, Blambangan, Banyuwangi, dimana
sebagian besar masyarakatnya masih memeluk agama Hindu. Selain itu beberapa diantara mereka
bahkan menetap di daerah pegunungan, seperti: Pegunungan Tengger, Bromo, Kelud, Gunung
Raung (Semeru). Sedangkan beberapa dari mereka yang masih tergolong arya dan para
rohaniawan memilih untuk pergi ke Bali, hal itu disebabkan karena saat itu di Bali pengaruh
Agama Hindu masih sangat kuat. Oleh karena itu mereka mencari perlindungan di Bali, selain
untuk melarikan diri dari Majapahit dan pengaruh Islam di Jawa.
Salah seorang dari rohaniawan tersebut adalah Danghyang Nirartha atau Danghyang
Dwijendra. Danghyang Nirartha datang ke Bali pada tahun 1489 M, pada masa pemerintahan Raja
Sri Dalem Waturenggong. Danghyang Nirartha datang ke Bali dalam rangka dharmayatra, akan
tetapi dharmayatranya tidak akan pernah kembali lagi ke Jawa. Karena di Jawa (Majapahit) Agama
Hindu sudah terdesak oleh Agama Islam. Namun kendatipun demikian, ternyata Danghyang
Nirartha juga mempelajari agama Islam, bahkan Beliau menguasai Agama Islam, tetapi
keislamannya tidak sempurna. Ini terbukti dari pengikut – pengikutnya, yaitu orang – orang Sasak
di Pulau Lombok yang mempelajari Islam dengan sebutan Islam Wetu Telu (Islam Tiga Waktu).
Namun Terlepas dari hal tersebut, Danghyang Nirartha adalah penganut Agama Hindu yang
sempurna. Seperti para leluhurnya, Danghyang Nirartha memeluk Agama Siwa, yang lebih
condong ke Tantrayana. Agama Siwa yang diajarkan oleh Danghyang Nirartha adalah Siwa
Sidhanta, dengan menempatkan Tri Purusa, yaitu Paramasiwa, Sadasiwa, dan Siwa. Dari tiga
aspek ini Sadasiwalah yang diagungkannya.
Perlu juga untuk diketahui bahwa perubahan nama Danghyang Nirartha menjadi
Danghyang Dwijendra terjadi setelah beliau berguru dan didiksa oleh mertuanya, yaitu Danghyang
Panawasikan. Setelahnya Danghyang Nirartha dianugerahi bhiseka kawikon dengan nama
Danghyang Dwijendra. Danghyang Dwijendra sendiri merupakan putra dari Danghyang
Asmaranata, yang merupakan tokoh rohaniawan Majapahit. Dalam perjalanan Dharma Yatranya
ke Bali, beliau pertama kali menginjakkan kakinya di pinggiran pantai barat daya daerah Jembrana
untuk sejenak beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan dharmayatra. Di tempat inilah
Danghyang Dwijendra meninggalkan pemutik (ada juga menyebut pengutik) dengan tangkai (pati)
kayu ancak. Pati kayu ancak itu ternyata hidup dan tumbuh subur menjadi pohon ancak. Sampai
12
sekarang daun kayu ancak dipergunakan sebagai kelengkapan banten di Bali. Sebagai peringatan
dan penghormatan terhadap beliau, dibangunlah sebuah pura yang diberi nama Purancak.
Danghyang Dwijendra menjadi pembaharu Agama Hindu di Bali. Danghyang Dwijendra
merupakan pencipta arsitektur padmasana untuk kuil Hindu di Bali. Kuil-kuil ini dianggap oleh
para pengikut sebagai penjelmaan dari Shiva yang agung. Semasa perjalanan Danghyang
Dwijendra, jumlah kuil-kuil di pesisir pantai di Bali bertambah dengan adanya kuil padmasana.
Pada waktu melakukan Dharmayatra ke Bali dari Daha, Jawa Timur. Danghyang Dwijendra
banyak mendirikan Pura-Pura terutama di daerah selatan pulau Bali, seperti Pura Rambut siwi,
Pura Melanting, Pura Er Jeruk, Pura Petitenget dan lain-lain. Pura-pura yang didirikan oleh
Danghyang Dwijendra ini dikenal dengan Pura Dang Kahyangan. Selain di Bali, Danghyang
Dwijendra juga melakukan dharmayatra ke Lombok dan Sumbawa. Bahkan di Sumbawa
Danghyang Dwijendra dikenal dengan sebutan Tuan Semeru. Sedangkan di Lombok dikenal
dengan sebutan Haji Duta Semu, dan di Bali Danghyang Dwijendra dikenal dengan sebutan
Pedanda Sakti Wawu Rawuh.
Terkait dengan keberadaan Danghyang Dwijendra di Jembrana diceritakan bahwa saking
aktifnya beliau melakukan dharma keagamaan, perhatian beliau pada putra/putri dan istrinya
berkurang, alhasil sesuai dengan intuisi/naluri seorang rsi, istri dan putra/putrinya meninggalkan
rumah tanpa memberitahu. Danghyang Dwijendra pun mencari anggota keluarganya, alhasil sang
rsi menemukan istri dan putra-putrinya dalam keadaan ketakutan tanpa, kecuali putrinya Dyah
Swabawa. Sang rsipun mencari putrinya dengan mengikuti sepanjang aliran Tukad Aya ke arah
hulu. Beliau akhirnya sampai di wilayah puncak gunung Merbuk di utara dan hingga akhirnya
beliau sampai pada sebuah pura tua, yaitu pura Pulaki yang berlokasi tepat di pinggir karang padas
yang menjorok ke laut. Sang rsi akhirnya mendapatkan sang putri dalam kondisi mengenaskan,
karena ada penduduk desa Pegumetan yang mengganggu sang putri dengan cara yang tidak
senonoh. Danghyang Dwijendra lalu menghukum orang-orang Pegumetan yang lancang itu
dengan kutukan agar mereka menjadi wong gamang dan kemudian menjadi pelayan dan pengikut
Dyah Swabawa yang kemudian disthanakan dan dihormati disana sebagai orang suci. Satu hal
mendasar pula yang perlu diperhatikan, bahwa keberadaan Danghyang Dwijendra di Jembrana
adalah untuk menyadarkan I Gusti Ngurah Rangsasa yang merupakan pemimpin sekte Bhairawa
di Jembarana yang terkenal kemampuannya pada saat itu.
13
Di lain kisah, diceritakan tentang bagaimana asal-usul Danghyang Dwijendra dikenal
sebagai Pedanda Sakti Wawu Rauh di Bali. Cerita berawal ketika sang Rsi bersama keluarganya
sampai di sebuah desa yang bernama Gading Wangi, penduduk disana kurus-kurus, pucat dan
penyakitan karena sedang dijangkit epidemi, atau gangguan kulit. Ketika pertama kali melihat sang
rsi mereka pada bertanya “Wawu Rauh?” dan kata itu berulang-ulang terucap dari bibir penduduk.
Sang rsi sangat terharu dan dalam benaknya hanya berpikir bagaimana menyembuhkan penduduk
desa, dan akhirnya beliau mengambil air bersih dari sumber mata air, lalu dimantrai dan
selanjutnya diberikan pada penduduk desa. Keajaiban terjadi, beberapa hari berselang para
penduduk desa sembuh dari penyakitnya, dan dari kejadian itu penduduk desa memanggil sang
Rsi Pedanda Sakti Wawu Rauh.
Setelah meninggalkan desa Gading Wangi, sang rsi melanjutnya yatranya menuju Tabanan
hingga sampai di Gunung Batukaru, yang mana disana terdapat Pura Batukaru. Namun tujuan
beliau bukan disana, melainkan menuju desa Mas sebelum ke pusat kota Gelgel. Namun setelah
perjalanan dari Tabanan, sang Rsi terlebih dahulu sampai di Tuban, dan keberadaan beliau di
Tuban sampai ke telinga penguasa Badung Arya Tegeh Kori, Tegeh Kori sangat ingin berjumpa
dengan sang Rsi. Akhirnya sang Rsi dijemput ke Tuban dan menawarkan agar sudi singgah di
purinya di Badung. Dalam perjalanan, Tegeh Kori mengiringi sang wiku menyaksikan banjir di
desa Buagan, dan penduduk yang mengetahui kehadiran sang wiku mohon bantuan agar sang wiku
dengan kekuatan gaibnya menjinakkan banjir itu. Sang Rsi memberikan sepotong kayu yang telah
dirajah, dan akhirnya banjir manjadi cepat surut.
Setelah meninggalkan Puri Badung, sang Rsi melanjutkan perjalanan ke timur hingga
sampai di desa Mas, yang mana kehadirannya telah lama dinanti-nanti oleh Pangeran Mas.
Disinilah Danghyang Dwijendra meneta. Dari sinipun Danghyang Dwijendra menikahi anak
bendesa Mas. Dari pernikahan ini Danghyang Nirartha memiliki putra: Ida Timbul, Ida
Alngkajeng, Ida Penarukan, dan Ida Sigaran. Ada dua Bhisama dari Danghyang Dwijendra kepada
seluruh keturunannya, yaitu:
1. Seluruh keturunannya tidak diperkenankan menyembah pratima (arca – arca perwujudan).
2. Seluruh keturunanya tidak diperkenankan sembahyang di Pura yang tidak memakai atau
tidak ada pelinggih Padmasana.
14
Dalam hal keyakinan (Agama Hindu) dapat dilihat peninggalannya berupa padmasana.
Walaupun dalam Bhisamanya Danghyang Dwijendra melarang semua keturunanya menyembah
pratima (arca – arca perwujudan), namun Danghyang Dwijendra mengagungkan Sadasiwa,
sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, yang Maha Segalanya dan hampir di semua pura di
Bali saat ini terdapat pelinggih padmasana untuk mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa.
Kembali mengenai keberadaan sang wiku di desa Mas, Dalem Watu Renggong yang
merupakan raja Gelgel mengutus Dauh Bale Agung untuk menjemput sang wiku, sesampainya di
Mas, Dauh Bale Agung menemui sang wiku dan berbicara panjang lebar. Saking keasyikan
bercerita dan menerima pencerahan dua hari dua malam telah berlalu dan ia baru teringat dengan
perintah sang raja. Namun dalam benaknya ia berpikir apa boleh buat, kesempatan seperti ini hanya
sekali seumur hidup dan ia sudah siap akan resiko yang akan diterima. Akhirnya keesokan harinya
barulah Danghyang Dwijendra ditemani rombongan Dauh Bale Agung (dikenal juga dengan Gusti
Penyarikan) berangkat menuju Gelgel. Rombongan sampai di ibukota Kerajaan, namun sayang
Dalem tidak ada ditempat, Dalem kesal karena lama menunggu dan memutuskan pergi berburu
ikan di Teluk Padang (Padang Bai) tempat dimana pesanggrahan Silayukti milik Mpu Kuturan.
Sang Rsi dimohon langsung bergerak kesana, akhirnya sang Rsi sampai di Teluk Padang pada
petang hari serta memutuskn bermalam bersama setelah bertemu Dalem. Banyak ajaran diberikan
oleh sang wiku kepada Dalem beserta iringan, dan esoknya mereka kembali ke Gelgel. Hari demi
hari berlalu, sang wiku berhasil menjadikan Dalem Watu Renggong muridnya, serta sikap Dalem
yang keras berhasil diubah menjadi lebih bijaksana dan Dalem sendiri meminta agar didiksa oleh
sang Rsi.
Setelah Dalem menjadi seorang raja Pandita, masalah-masalah dalam kerajaan Gelgel
masih terus menunggu dan mengganggu. Masalah politik yang paling mengganggu adalah masalah
dengan rivalnya di timur, yaitu Kerajaan Lombok. Penguasa Lombok yang merasa agak kuat
membiarkan pelaut-pelautnya mengganggu pelayaran di selat Lombok dan mulai berani
mengganggu pemukiman nelayan Bali. Dan diluar dugaan ternyata Danghyang Dwijendra
memohon diri agar dijadikan utusan untuk menyadarkan Sri Krahengan penguasa Lombok yang
mulai berulah itu.
Maharsi Markandeya berangkat ke Lombok dari Pantai Kusamba dengan pengawalan
perahu yang diberikan raja Gelgel. Di Lombok sang wiku bertemu dengan raja Krahengan dan
15
segera melakukan perbincangan politik, namun apa daya usaha sang wiku sia-sia dan beliau segera
balik ke Bali, dalam perjalanan ke Bali beliau selalu berpikir akan kegagalan yang telah diterima
dan dalam benaknya mulai ada timbul ada keinginan untuk meninggalkan urusan keduniawian
untuk menjadi seorangSanyasin dan mengulang kembali perjalanannya dari barat ke timur menjadi
perjalanan spiritual. Sesampainya di kerajaan Gelgel sang wiku menyampaikan kegagalan misinya
ke Lombok dan memohon izin untuk undur diri dari urusan kerajaan serta berkehendak untuk
mengulangi perjalanannya dari barat ke timur.
Dalem sebagai raja Gelgel mengizinkan keinginan sang wiku, dan beliau diantar ke
Jembrana, perjalanan spiritual beliau dimulai dari tempat yang dekat dengan Purancak yang mana
disana sudah ada Pura, dan beliau disambut oleh seorang Pemangku yang menyarankan agar beliau
selalu menyembah perhyangan yang ada untuk keselamatan. Sang wiku mendengar dengan sabar,
lalu beliau bertapa, yoga semadhi disana. Sesaat keajaiban terjadi, baru sang rsi beryoga bangunan
yang disuruh memuja runtuh dan membuat pemangku ketakutan lalu menyembah maharsi
Markandeya. Pemangku memohon agar pura itu diperbaiki sehingga ada tempat sembahyang, sang
wiku memperbaiki pura itu lalu memberikan sehelai rambutnya pada pemangku untuk disimpan
dan dijunjung di atas bangunan itu, dan sejak itu pura tersebut disebut pura Rambut Siwi.
Lepas dari Rambut Siwi sang wiku melanjutkan perjalanan ke Timur hingga tiba pada suatu
tonjolan batu karang yang ditumbuhi pohon-pohonan., tonjolan itu adalah tanjung yang menjorok
ke laut dan bagian tangahnya menyempit. Sang Wiku tertarik dengan tempat ini, lalu bergerak
menuju ke ujung tanjung diikuti beberapa nelayan disana. Baru sampai hingga malam hari sang
wiku bersama para nelayan tetap disana, para nelayan kemudian diberikan siraman rohani dan
dinasihati untuk membangun perhyangin di tempat itu agar para nelayan mendapatkan
kesejahteraan dan kemakmuran dalam usahanya. Beberapa hari selama sang Rsi disana tempat itu
selalu menjadi tempat berkumpul para nelayan menerima berbagai wejangan, dan tempat itu kini
menjadi Pura Tanah Lot di Tabanan.
Beranjak dari Pura Tanah Lot, sang Rsi melanjutkan perjalanannya menyisir pantai ke
timur, hingga akhirnya beliau sampai di sebuah ujung tonjolan dengan tangga berbatu
berbentuk cascade yang dapat dipanjatnya dengan mudah sehingga beliau mencapai bgian atas
batu itu. Penduduk menyebut tempat ini Ulu Watu (Pangkalan batu). Di tempat ini sang wiku
merenungi mengenai perjalanan yang sudah dilalui dan juga berpikir mengenai leluhurnya dari
16
negeri Hindustan, belaiau juga bermeditasi disana sehingga nuansa spiritual tampat itu semakin
meningkat, dan di tempat itu kini berdiri pura Ulu Watu. Beliau terus melakukan perjalanan ke
timur menyisir pantai selatan, kemudian beliau melakukan semadhi di suatu tempat yang memiliki
vibrasi bagus, dan sekarang tempat itu menjadi pura Goa Lawah. Dari tempat ini sang wiku
melanjutkan perjalanan dan beliau berhenti kembali di suatu tempat yang bernama Samprangan
dekat aliran sungai Sangsang, sebelum Tulikup. Selepas dari sana sang Rsi bergerak ke utara
hingga penapakan beliau sampai pada Besakih-Penulisan-Ponjok Batu. Di Ponjok Batu sang wiku
menemukan beberapa nelayan yang memerlukan bantuan beliau, para nelayan itu adalah pelaut-
pelaut Lombok yang telah terdampar beberapa hari dan keadaaannya sangat lemah.
Sang wiku merawat dan memberikan nasihat untuk memulihkan semangat para pelaut itu.
Akhirnya para pelaut sembuh, dan mereka amat berterimakasih kepada sang rsi. Mereka pun
dengan senang hati menerima permintaan sang rsi untuk ikut berlayar ke Lombok. Sang Rsi
pertama kali menginjakkan kakinya di daerah Malimbu, kemudian melanjutkan perjalanan
menyisir pantai hingga sampai di pura Kaprusan sekarang. Diceritakan disana yang masih hanya
berupa tumpukan batu beliau bermeditasi, dan untuk membuat petapakan beliau lalu masyarakat
disana membangun pura yang dinamai Pura Kaprusan (nama kaprusan berasal dari kata “kaprus”,
yaitu suara air laut yang dipecah karang). Kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke timur
sampai di Batu Bolong, kemudian sampai di Batu Layar. Selepas dari sana sang wiku menuju arah
tenggara dan sengaja menjauh dari ibu kota Sri Krahengan yaitu Cakranegara menuju Karang
Medain, Lingsar dan Suranadi.
Di Lingsar, sang Rsi memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada orang-orang sasak
yang beragama Islam, para umat islam yang menerima pencerahan dari Danghyang Dwijendra
adalah para kelompok Islam Wetu Telu dengan bangunan suci yang disebut Kemaliq. Sedangkan
untuk di Suranadi berkat sang wiku, muncul empat sumber tirta yang disebut Catur Tirta, yaitu
tirta penglukatan, tirta pembersihan, tirta pengentas dan toya racun. Selepas dari Suranadi, sang
wiku bergerak ke timur menuju pantai timur Lombok dengan mengikuti busur yang bersebelahan
dengan lereng gunung Rinjani yang meluas ke selatan. Keberadaan sang wiku di dengar oleh Sri
Selaparang dan mengajak sang wiku secara paksa untuk bertamu ke kotanya, sang wiku menolak
dengan halus dan untuk tidak mengecewakan Sri Selaparang sang wiku mengajaknya berdialog di
17
tepi pantai Labuhan Haji. Sri Selaparang diberikan nasihat yang sangat menyejukkan kemudian
pulang ke kotanya sementara sang wiku berlayar menuju Sumbawa.
Danghyang Dwijendra yang telah berusia 80 tahun setelah melaksanakan Dharmayatra di Pulau
Lombok, memutuskan berlayar menuju Pulau Sumbawa menggunakan perahu, disertai nelayan
Lombok yang pernah dibantu saat mereka terdampar di Ponjok Batu (di pantai/pura Ponjok Batu-
sekarang) di Singaraja. Selanjutnya, beliau melewati Teluk Taliwang hingga berlabuh di Teluk
Sumbawa. Kedatangan Danghyang Dwijendra disambut Kepala Desa dan tokoh masyarakat
setempat yang kebetulan saat itu kehidupan masyarakat di sana sedang kesusahan, akibat gagal
panen akibat diserang hama penyakit. Atas permohonan kepala desa itu, akhirnya Danghyang
Dwijendra terpanggil membantu masyarakat petani dimaksud. Beliau lantas memerintahkan
masyarakat setempat untuk mengisi sawah dan ladangnya dengan padupaan yang berisi api dan
kemenyan. Dengan memohon kepada Tuhan dan Dewa yang berstana di Gunung Tambora,
keesokan harinya tiba-tiba hama penyakit berupa ulat dan belalang itu lenyap tanpa bekas.
Karenanya, sejak itu masyarakat memanggil beliau dengan sebutan Tuan Semeru.
Mencermati sejarah Dharmayatra beliau, ada dua motivasi Danghyang Dwijendra
melaksanakan Dharmayatra ke Pulau Sumbawa yakni, karena rasa kekaguman dan kerinduan yang
mendalam untuk melihat Gunung Tambora ke dalam rasa keagamaannya membayangkan
bagaimana Siwa (Tuhan) menjejakkan kakinya saat membangun tiga dunia. Beliau merasa bahwa
jejak Siwa yang paling timur adalah Gunung Tambora. Beliau berharap agama Hindu masih bisa
dipertahankan keajegannya di daerah ini. Di samping itu, adanya hasrat yang besar untuk bertemu
dengan kerabat leluhurnya yang merupakan seorang Brahmana Siwa yang sebelumnya diutus dan
ditugaskan Raja Majapahit (tahun 1344 Masehi) untuk menaklukkan raja-raja di Sumbawa.
Setelah armada Majapahit di bawah pimpinan Mahasenopati Nala berhasil menaklukkan raja-raja
yang ada di pulau Sumbawa. Danghyang Dwijendra berharap dapat bertemu dengan putra-putri
beliau, atau setidaknya bisa bertemu dengan cucu seangkatannya. Setelah mendapat informasi dari
penduduk Sumbawa, bahwa kerabatnya telah lama meninggal, Beliau pun melanjutkan perjalanan
ke Gunung Tambora, masuk ke Teluk Saleh melewati celah antara pulau Sumbawa dan pulau
Moyo dan akhirnya sampai di pelabuhan di lereng selatan Gunung Tambora.
18
Saat itu, Gunung Tambora yang puncaknya tampak perkasa sesekali mulai mengeluarkan asap dan
lidah api. Di pelabuhan itu, beliau kemudian disambut penghulu kaya dan rajin. Penghulu itu
ternyata telah lama mendengar kehebatan beliau, karenanya begitu bertemu dengan beliau,
penghulu itu memelas agar bersedia membantu menyembuhkan anaknya yang telah lama
menderita suatu penyakit dan sangat sulit disembuhkan serta berbagai upaya dan usaha telah
dilakukan tetapi satu pun tidak berhasil. Selanjutnya Danghyang Dwijendra mencoba mengobati
dengan segala kemampuannya. Akhirnya anak penghulu itu pun berhasil dibantu. Sebagai
ungkapan terima kasih penghulu itu merelakan anaknya diajak ke Bali. Selama berada daerah ini,
Danghyang Nirartha kerap melakukan payogan. Salah satunya adalah di sekitar lokasi Pura Agung
Gunung Tambora dimaksud. Seperti halnya di tempat lain, di manapun beliau pernah beryoga,
tempat itu selalu menjadi tersohor karena biasanya tempat dimaksud mampu memancarkan aura
spiritual yang sangat tinggi. Tak heran jika sebagian besar jejak perjalanan beliau, kini dibangun
sebuah tempat yang megah serta banyak umat yang datang memohon anugrah sekaligus tuntunan
spiritual beliau, tak terkecuali di Pura Agung Gunung Tambora yang mampu memancarkan aura
kesejukan, kedamaian, dan ketenangan serta spiritual yang sangat kuat dan tinggi.
Setelah mengadakan dharmayatra ke Pulau Lombok dan Sumbawa, Danghyang Dwijendra
menuju barat daya ujung selatan Pulau Bali, yaitu pada daerah gersang, penuh batu yang disebut
daerah bebukitan. Setelah beberapa saat tinggal di sana, beliau merasa mendapat panggilan dari
Hyang Pencipta untuk segera kembali amoring acintia parama moksha. Di tempat inilah Ida
Pedanda Sakti Wawu Rauh teringat (icang eling) dengan samaya (janji) dirinya untuk kembali ke
asal-Nya. Itulah sebabnya tempat kejadian ini disebut Cangeling dan lambat laun menjadi
Cengiling sampai sekarang. Oleh karena itulah, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh ngulati (mencari)
tempat yang dianggap aman dan tepat untuk melakukan parama moksha. Oleh karena dianggap
tidak memenuhi syarat, beliau berpindah lagi ke lokasi lain. Di tempat ini, kemudian dibangun
sebuah pura yang diberi nama Pura Kulat. Nama itu berasal dari kata ngulati. Pura itu berlokasi di
Desa Pecatu.
Sambil berjalan untuk mendapatkan lokasi baru yang dianggap memenuhi syarat untuk
parama moksha, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh sangat sedih dan menangis dalam batinnya.
Mengapa? Oleh karena beliau merasa belum rela untuk meninggalkan dunia sekala ini karena
swadharmanya belum dirasakan tuntas, yaitu menata kehidupan agama Hindu di daerah Lombok
19
dan Sumbawa. Di tempat beliau mengangis ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura
Ngis (asal dari kata tangis). Pura Ngis ini berlokasi di Banjar Tengah Desa Adat Pecatu.
Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh belum juga menemukan tempat yang dianggap tepat untuk
parama moksha. Beliau kemudian tiba di sebuah tempat yang penuh batu-batu besar. Beliau
merasa hanya sendirian. Di tempat ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Batu Diyi.
Juga di tempat ini Danghyang Dwijendra merasa kurang aman untuk parama moksha. Dengan
perjalanan yang cukup melelahkan menahan lapar dan dahaga, akhirnya beliau tiba di daerah
bebukitan yang selalu mendapat sinar matahari terik. Untuk memayungi diri, beliau mengambil
sebidang daun kumbang dan berusaha mendapatkan sumber air minum. Setelah berkeliling tidak
menemukan sumber air minum, akhirnya Danghyang Dwijendra menancapkan tongkatnya. Maka
keluarlah air amertha. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang disebut Pura Payung dengan
sumber mata air yang dipergunakan sarana tirtha sampai sekarang.
Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh kemudian beranjak lagi ke lokasi lain, untuk menghibur
diri sebelum melaksanakan detik-detik kembali ke asal. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura
bernama Pura Selonding yang berlokasi di Banjar Kangin Desa Adat Pecatu. Setelah puas
menghibur diri, Danghyang Dwijendra merasa lelah. Maka beliau mencari tempat untuk istirahat.
Saking lelahnya sampai-sampai beliau sirep (ketiduran). Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura
yang diberi nama Pura Parerepan (parerepan artinya pasirepan, tempat penginapan) yang berlokasi
di Desa Pecatu. Mendekati detik-detik akhir untuk parama moksha, Danghyang Dwijendra
menyucikan diri dan mulat sarira terlebih dahulu. Di tempat ini sampai sekarang berdirilah sebuah
pura yang disebut Pura Pangleburan yang berlokasi di Banjar Kauh Desa Adat Pecatu. Setelah
menyucikan diri, beliau melanjutkan perjalanannya menuju lokasi ujung barat daya Pulau Bali.
Tempat ini terdiri atas batu-batu tebing. Apabila diperhatikan dari bawah permukaan laut,
kelihatan saling bertindih, berbentuk kepala bertengger di atas batu-batu tebing itu, dengan
ketinggian antara 50-100 meter dari permukaan laut. Dengan demikian disebut Uluwatu. Ulu
artinya kepala dan watu berarti batu.
Sebelum Danghyang Dwijendra parama moksha, beliau memanggil juragan perahu yang
pernah membawanya dari Sumbawa ke Pulau Bali. Juragan perahu itu bernama Ki Pacek
Nambangan Perahu. Sang Pandita minta tolong agar juragan perahu membawa pakaian dan
20
tongkatnya kepada istri beliau yang keempat di Pasraman Griya Sakti Mas di Banjar Pule, Desa
Mas, Ubud, Gianyar. Pakaian itu berupa jubah sutra berwarna hijau muda serta tongkat kayu.
Setelah Ki Pacek Nambangan Perahu berangkat menuju Pasraman Danghyang Dwijendra di Mas,
Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh segera menuju sebuah batu besar di sebelah timur onggokan batu-
batu bekas candi peninggalan Kerajaan Sri Wira Dalem Kesari. Di atas batu itulah, Ida Pedanda
Sakti Wawu Rauh beryoga mengranasika, laksana keris lepas saking urangka, hilang tanpa
bekas, amoring acintia parama moksha
21
BABIII
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Dari penjabaran diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kita dapat memahami pengertian moksa yang sebenarnya menurut Agama Hindu.
2. Pencapaian moksa dapat dilakukan dengan jalan mendekatkan diri dengan Tuhan.
3. Tingkatan moksa banyak diinginkan oleh semua orang agar tidak terikat oleh duniawi.
3.2. Saran
1. Agar semua umat Hindu memahami pengertian Moksa.
2. Semua umat Hindu selalu mendekatkan diri kepada Tuhan agar mudah pencapaian moksa.
3. Tingkatan Moksa Perlu dipahami semua umat.
22

More Related Content

What's hot

Power Point Bab Jenazah: Menguburkan jenazah
Power Point Bab Jenazah: Menguburkan jenazahPower Point Bab Jenazah: Menguburkan jenazah
Power Point Bab Jenazah: Menguburkan jenazahAnnis Farrida
 
PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA MODERN
PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA MODERNPERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA MODERN
PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA MODERNarifah fadlilah
 
Kebudayaan dalam islam
Kebudayaan dalam islamKebudayaan dalam islam
Kebudayaan dalam islamAbdul Hadi
 
Organisasi islam transnasional
Organisasi islam transnasionalOrganisasi islam transnasional
Organisasi islam transnasionalLu'lu Almaknuna
 
Pemuda dan Kebangkitan Islam
Pemuda dan Kebangkitan IslamPemuda dan Kebangkitan Islam
Pemuda dan Kebangkitan IslamHatta Syamsuddin
 
Manajemen pengelolaan pondok pesantren
Manajemen pengelolaan pondok pesantrenManajemen pengelolaan pondok pesantren
Manajemen pengelolaan pondok pesantrencindhi martha
 
materi Iman kepada hari akhir
materi Iman kepada hari akhirmateri Iman kepada hari akhir
materi Iman kepada hari akhirElyn_Noriin
 
Problematika, Tantangan, dan Peluang Pemuda Islam
Problematika, Tantangan, dan Peluang Pemuda IslamProblematika, Tantangan, dan Peluang Pemuda Islam
Problematika, Tantangan, dan Peluang Pemuda Islamaraditiya
 
Tarbiyatul Aulad (Simple).pptx
Tarbiyatul Aulad (Simple).pptxTarbiyatul Aulad (Simple).pptx
Tarbiyatul Aulad (Simple).pptxRosulJuned2
 
Generasi muda dan perubahan slide
Generasi muda dan perubahan slideGenerasi muda dan perubahan slide
Generasi muda dan perubahan slideNur Aisyah Radzuan
 

What's hot (20)

Konsep ketuhanan dalam islam
Konsep ketuhanan dalam islamKonsep ketuhanan dalam islam
Konsep ketuhanan dalam islam
 
Power Point Bab Jenazah: Menguburkan jenazah
Power Point Bab Jenazah: Menguburkan jenazahPower Point Bab Jenazah: Menguburkan jenazah
Power Point Bab Jenazah: Menguburkan jenazah
 
Peran pemuda islam dalam sejarah
Peran pemuda islam dalam sejarahPeran pemuda islam dalam sejarah
Peran pemuda islam dalam sejarah
 
PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA MODERN
PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA MODERNPERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA MODERN
PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA MODERN
 
Bab I Pemurnian dan pembaharuan di dunia muslim.pptx
Bab I Pemurnian dan pembaharuan di dunia muslim.pptxBab I Pemurnian dan pembaharuan di dunia muslim.pptx
Bab I Pemurnian dan pembaharuan di dunia muslim.pptx
 
Hadharah
HadharahHadharah
Hadharah
 
PPT KESBANGPOL.pptx
PPT KESBANGPOL.pptxPPT KESBANGPOL.pptx
PPT KESBANGPOL.pptx
 
Kebudayaan dalam islam
Kebudayaan dalam islamKebudayaan dalam islam
Kebudayaan dalam islam
 
IMAN DAN TAQWA
IMAN DAN TAQWAIMAN DAN TAQWA
IMAN DAN TAQWA
 
DINAMIKA ISLAM KONTEMPORER
DINAMIKA ISLAM KONTEMPORERDINAMIKA ISLAM KONTEMPORER
DINAMIKA ISLAM KONTEMPORER
 
Organisasi islam transnasional
Organisasi islam transnasionalOrganisasi islam transnasional
Organisasi islam transnasional
 
Problematika umat
Problematika umatProblematika umat
Problematika umat
 
Pemuda dan Kebangkitan Islam
Pemuda dan Kebangkitan IslamPemuda dan Kebangkitan Islam
Pemuda dan Kebangkitan Islam
 
Manajemen pengelolaan pondok pesantren
Manajemen pengelolaan pondok pesantrenManajemen pengelolaan pondok pesantren
Manajemen pengelolaan pondok pesantren
 
materi Iman kepada hari akhir
materi Iman kepada hari akhirmateri Iman kepada hari akhir
materi Iman kepada hari akhir
 
Problematika, Tantangan, dan Peluang Pemuda Islam
Problematika, Tantangan, dan Peluang Pemuda IslamProblematika, Tantangan, dan Peluang Pemuda Islam
Problematika, Tantangan, dan Peluang Pemuda Islam
 
Tarbiyatul Aulad (Simple).pptx
Tarbiyatul Aulad (Simple).pptxTarbiyatul Aulad (Simple).pptx
Tarbiyatul Aulad (Simple).pptx
 
Psikologi agama sebagai disiplin ilmu
Psikologi agama sebagai disiplin ilmuPsikologi agama sebagai disiplin ilmu
Psikologi agama sebagai disiplin ilmu
 
Tujuan Proses Pendidikan Islam PPT
Tujuan Proses Pendidikan Islam PPTTujuan Proses Pendidikan Islam PPT
Tujuan Proses Pendidikan Islam PPT
 
Generasi muda dan perubahan slide
Generasi muda dan perubahan slideGenerasi muda dan perubahan slide
Generasi muda dan perubahan slide
 

Similar to Moksa

3. Manusia Membutuhkan Agama.pptx
3. Manusia Membutuhkan Agama.pptx3. Manusia Membutuhkan Agama.pptx
3. Manusia Membutuhkan Agama.pptxNatasyaaRahmadani
 
Agama arti dan r lingkupnya
Agama arti dan r lingkupnyaAgama arti dan r lingkupnya
Agama arti dan r lingkupnyaSutipyo Ru'iya
 
Fungsi agama dan kepercayaan bagi individu
Fungsi agama dan kepercayaan bagi individuFungsi agama dan kepercayaan bagi individu
Fungsi agama dan kepercayaan bagi individuVJ Asenk
 
Makalah kramaning sembah
Makalah kramaning sembahMakalah kramaning sembah
Makalah kramaning sembahmangtrie
 
Konsep Agama di Indonesia
Konsep Agama di IndonesiaKonsep Agama di Indonesia
Konsep Agama di Indonesiapjj_kemenkes
 
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hariPeran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-haripjj_kemenkes
 
Modul 2 keperawatan agama kb1
Modul 2 keperawatan agama kb1Modul 2 keperawatan agama kb1
Modul 2 keperawatan agama kb1Anton Saja
 
Pertemuan 1 Tuhan YME.pptx
Pertemuan 1 Tuhan YME.pptxPertemuan 1 Tuhan YME.pptx
Pertemuan 1 Tuhan YME.pptxISNUBanyuwangi
 
Bhn bintal ad dharma yatra.pptx
Bhn bintal ad dharma yatra.pptxBhn bintal ad dharma yatra.pptx
Bhn bintal ad dharma yatra.pptxRuby Santamoko
 
Pembelajaran Matematika dalam kelas.pptx
Pembelajaran Matematika dalam kelas.pptxPembelajaran Matematika dalam kelas.pptx
Pembelajaran Matematika dalam kelas.pptxDenissarahmanda
 
Manusia dan Pandangan Hidup
Manusia dan Pandangan HidupManusia dan Pandangan Hidup
Manusia dan Pandangan HidupVinda Syakira
 
Manusiadanpandanganhidup 160502220122
Manusiadanpandanganhidup 160502220122Manusiadanpandanganhidup 160502220122
Manusiadanpandanganhidup 160502220122Must Hmpc
 
pengertian agama | kuliah semester 1 teknik mesin
pengertian agama | kuliah semester 1 teknik mesinpengertian agama | kuliah semester 1 teknik mesin
pengertian agama | kuliah semester 1 teknik mesindian haryanto
 
pengertian dan agama yg paling cocok untuk manusia
pengertian dan agama yg paling cocok untuk manusiapengertian dan agama yg paling cocok untuk manusia
pengertian dan agama yg paling cocok untuk manusiadian haryanto
 
Modul 2 keperawatan agama kb2
Modul 2 keperawatan agama kb2Modul 2 keperawatan agama kb2
Modul 2 keperawatan agama kb2Anton Saja
 
Etika dan akhidah beragama dengan kesehatan
Etika dan akhidah beragama dengan kesehatanEtika dan akhidah beragama dengan kesehatan
Etika dan akhidah beragama dengan kesehatanpjj_kemenkes
 

Similar to Moksa (20)

Moksa
Moksa Moksa
Moksa
 
3. Manusia Membutuhkan Agama.pptx
3. Manusia Membutuhkan Agama.pptx3. Manusia Membutuhkan Agama.pptx
3. Manusia Membutuhkan Agama.pptx
 
Makalah yoga
Makalah yogaMakalah yoga
Makalah yoga
 
Agama arti dan r lingkupnya
Agama arti dan r lingkupnyaAgama arti dan r lingkupnya
Agama arti dan r lingkupnya
 
Fungsi agama dan kepercayaan bagi individu
Fungsi agama dan kepercayaan bagi individuFungsi agama dan kepercayaan bagi individu
Fungsi agama dan kepercayaan bagi individu
 
Makalah kramaning sembah
Makalah kramaning sembahMakalah kramaning sembah
Makalah kramaning sembah
 
Konsep Agama di Indonesia
Konsep Agama di IndonesiaKonsep Agama di Indonesia
Konsep Agama di Indonesia
 
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hariPeran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
Peran dan Fungsi Agama dalam kehidupan sehari-hari
 
Modul 2 keperawatan agama kb1
Modul 2 keperawatan agama kb1Modul 2 keperawatan agama kb1
Modul 2 keperawatan agama kb1
 
Pertemuan 1 Tuhan YME.pptx
Pertemuan 1 Tuhan YME.pptxPertemuan 1 Tuhan YME.pptx
Pertemuan 1 Tuhan YME.pptx
 
Bhn bintal ad dharma yatra.pptx
Bhn bintal ad dharma yatra.pptxBhn bintal ad dharma yatra.pptx
Bhn bintal ad dharma yatra.pptx
 
Inti sari meditasi
Inti sari meditasiInti sari meditasi
Inti sari meditasi
 
Pembelajaran Matematika dalam kelas.pptx
Pembelajaran Matematika dalam kelas.pptxPembelajaran Matematika dalam kelas.pptx
Pembelajaran Matematika dalam kelas.pptx
 
Manusia dan Pandangan Hidup
Manusia dan Pandangan HidupManusia dan Pandangan Hidup
Manusia dan Pandangan Hidup
 
Manusiadanpandanganhidup 160502220122
Manusiadanpandanganhidup 160502220122Manusiadanpandanganhidup 160502220122
Manusiadanpandanganhidup 160502220122
 
Pai 3 kebutuhan agama 2003
Pai 3  kebutuhan agama 2003Pai 3  kebutuhan agama 2003
Pai 3 kebutuhan agama 2003
 
pengertian agama | kuliah semester 1 teknik mesin
pengertian agama | kuliah semester 1 teknik mesinpengertian agama | kuliah semester 1 teknik mesin
pengertian agama | kuliah semester 1 teknik mesin
 
pengertian dan agama yg paling cocok untuk manusia
pengertian dan agama yg paling cocok untuk manusiapengertian dan agama yg paling cocok untuk manusia
pengertian dan agama yg paling cocok untuk manusia
 
Modul 2 keperawatan agama kb2
Modul 2 keperawatan agama kb2Modul 2 keperawatan agama kb2
Modul 2 keperawatan agama kb2
 
Etika dan akhidah beragama dengan kesehatan
Etika dan akhidah beragama dengan kesehatanEtika dan akhidah beragama dengan kesehatan
Etika dan akhidah beragama dengan kesehatan
 

Moksa

  • 1. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang. Moksa merupakan tujuan terakhir dari seluruh Umat Agama Hindu. Dengan menjalankan ajaranNya dan menjauhi laranganNya, maka manusia akan dapat mencapai tujuan hidupnya yang tertinggi yaitu bebas dari segala ikatan keduniawian, untuk bersatunya Atman dengan Brahman. Untuk mencapai Moksa orang harus selalu berbuat baik sesuai dengan ajaran Agamanya. Kitab suci telah mengajarkan bagaimana caranya orang melaksanakan pelepasan dirinya dari ikatan Maya dan akhirnya Atman dapat bersatu dengan Brahman, sehingga penderitaan dapat dilebur dan tidak lagi menjelma atau lahir kedunia ini sebagai hukuman, tetapi sebagai penolong sesama manusia, sebagai AWATARA. 1.2.RumusanMasalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas kami selaku penulis dapat merumuskan pokok permasalahan yaitu : 1. Apakah pengertian Moksa? 2. Bagaimana pencapaian Moksa? 3. Apa sajakan Tingkatan Moksa? 1.3.Tujuan Penulisan Agar Umat Agama Hindu memahami pengertian moksa maupun jalan untuk mencapai moksa. Sehingga manusia yang beragama bisa menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. 1.4.Manfaat Penulisan Agar dapat memahami ajaran moksa dalam Agama Hindu.
  • 2. 2 BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Definisi Moksa Moksa adalah suatu sradha dalam Agama Hindu, yang merupakan tujuan hidup tertinggi agama hindu .Moksa berasal dari bahasa Sansekerta dari kata “Muc” = membebaskan atau melepaskan. Dengan demikian Moksa berarti: “Kelepasan dan Kebebasan”. “MOKSA” merupakan terlepasnya Atman dari belenggu Maya ( bebas dari pengaruh Karma dan Punarbawa ). Moksa bersifat Nirguna tidak ada bahasa manusia yang dapat menjelaskan bagaimana sesungguhnya alam Moksa itu. Alam moksa hanya dapat dirasakan oleh orang yang dapat mencapainya.Yang dimaksud kebebasan dalam ajaran Moksa adalah terlepasnya Atma dariikatan Maya, sehingga dapat menyatu dengan Brahman. Bagi orang yang telah mencapai moksa atau ketentraman serta kebahagiaan yang kekal abadi berarti mereka telah mencapai alam Sat Cit Ananda, yaitukebahagiaan yang tertinggi.Menurut kitab-kitab Upanisad, moksa adalah keadaan atma yang bebas dari segala bentuk ikatan dan bebas dari samsara. Yang dimaksud dengan atma adalah roh, jiwa. Dalam kehidupan kita saat ini juga dapat untuk mencapai moksa yang disebut dengan Jiwan Mukti (Moksa semasih hidup), bukan berarti moksa hanya dapat dicapai dan dirasakan setelah meninggal dunia, dalam kehidupan sekarangpun kita dapat merasakan moksa yaitu kebebasan asal persyaratan-persyaratan moksa dilakukan, jadi kita mencapai moksa tidak menunggu waktu sampai meninggal. 2.2. PencapaianMoksa Untuk mencapai moksa seseorang harus mempunyai persyaratan-persyaratan tertentu sehingga proses mencapai moksa dapat berjalan sesuai dengan norma-norma ajaran agama Hindu. Dalam mencapai Moksa dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
  • 3. 3 1. Dharma Dalam ajaran agama Hindu yang terdapat dalam Catur Purusa artha dijelaskan bahwa tujuan dari kehidupan adalah bagaimana untuk menegakkan Dharma, setiap tindakan harus berdasarkan kebenaran tidak ada dharma yang lebih tinggi dari kebenaran. Dalam Bagawad Gita disebutkan bahwa Dharma dan Kebenaran adalah nafas kehidupan. Krisna dalam wejangannya kepada Arjuna mengatakan bahwa dimana ada Dharma, disana ada Kebajikan dan Kesucian, dimana Kewajiban dan Kebenaran dipatuhi disana ada kemenangan. Orang yang melindungi dharma akan dilindungi oleh dharma maka selalu tempuhlah kehidupan yang suci dan terhormat. Dalam zaman edan saat ini semua orang mengabaikan kebenaran, orang sudah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, krisis moral sudah meraja lela dimana mana, kebenaran dan keadilan sudah langka, orang sudah tidak mengenal budaya malu, semua perbuatannya dianggap sudah benar dan normal. Sebenarnya Dharma tidak pernah berubah, Dharma telah ada pada zaman dahulu, zaman sekarang dan zaman yang akan datang, ada sepanjang zaman tetapi setiap zaman mempunyai karateristik lain-lain dalam melakukan latihan kerohanian (spiritual). Untuk Kerta Yuga latihan kerohanian yang baik adalah melakukan Meditasi, untuk Treta Yuga latihan kerohanian yang baik adalah dengan melakukan Yadnya atau kurban, untuk latihan kerohanian yang baik adalah dengan melakukan Yoga yaitu upacara pemujaan dan untuk Kali Yuga latihan kerohanian yang baik adalah dengan melakukan Nama Smarana yaitu mengulang ngulang atau menyebut nama Tuhan yang suci. 2. Pendekatan kepada Hyang Widhi WasaUntuk mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa ada beberapa cara yang dilakukan Umat Hindu yaitu cara Darana (menetapkan cipta), Dhyana (memusatkan cipta), dan Semadi (mengheningkan cipta). Dengan melakukan latihan rohani, terutama dengan penyelidikan bathin, akan dapat menyadari kesatuan dan menikmati sifat Tuhan yang selalu ada dalam diri kita. Apabila sifat-sifat Tuhan sudah melekat dalam diri kita maka kita sudah dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa sehingga segala permohonan kita akan dikabulkan dan kita selalu dapat perlindungan dan keselamatan.
  • 4. 4 3. Kesucian Untuk memperoleh pengetahuan suci, dan menghayati Sang Hyang Widhi Wasa dalam keberagaman dinyatakan dalam doa Upanishad yang termasyur : Asatoma Satgamaya, Tamasoma Jyothir Gamaya, Mrityorma Amritan Gamaya yang artinya, Tuntunanlah kami dari yang palsu ke yang sejati, tuntunlah kami dari yang gelap ke yang terang, tuntunlah kami dari kematian ke kekekalan.Setiap kita melakukan kegiatan-kegiatan, kita biasakan untuk memohon tuntunan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa agar kita selamat dan selalu dilindungi. Pekerjaan apapun kita lakukan, apabila kita bekerja demi Tuhan dan dipersembahkan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa, maka pekerjaan tersebut mempunyai nilai yang sangat tinggi.Dengan menghubungkan pekerjaan tersebut dengan Sang Hyang Widhi Wasa, maka ia menjadi suci dan mempunyai kemampuan dan nilai yang tinggi.Tujuan dari kehidupan kita adalah agar atman terbebas dari triguna dan menyatu dengan Para atman. Didalam Weda disebut yaitu Moksartham Jaga Dhitaya Ca Iti Dharmah yang artinya adalah tujuan agama (Dharma) kita adalah untuk mencapai moksa (moksa artham) dan kesejahteraan umat manusia (jagadhita).Ciri-ciri orang yang telah mencapai jiwatman mukti adalah: 1. Selalu mendapat ketenangan lahir maupun bathin. 2. Tidak terpengaruh dengan suasana suka maupun duka. 3. Tidak terikat dengan keduniawian. 4. Tidak mementingkan diri sendiri, selalu mementingkan orang lain (masyarakat banyak). Untuk mencapai moksa juga mempunyai tingkatan-tingkatan tergantung dari karma (perbuatannya) selama hidupnya apakah sudah sesuai dengan ajaran-ajaran agama Hindu. Tingkatan-tingkatan seseorang yang telah mencapai moksa dapat dikatagorikan sebagai berikut: 1. Apabila seorang yang sudah mencapai kebebasan rohani dengan meninggalkan mayat disebut Moksa. 2. Apabila seorang yang sudah mencapai kebebasan rohani dengan tidak meninggalkan mayat tetapi meninggalkan bekas-bekas misalnya abu, tulang disebut Adi Moksa. 3. Apabila seorang yang telah mencapi kebebasan rohani yang tidak meninggalkan mayat serta tidak membekas disebut Parama Moksa.
  • 5. 5 4. Catur Marga. Untuk mencapai Moksa beberapa cara yang dapat ditempuh sesuai dengan bakat dan bidang yang digeluti saat ini yang disebut dengan Catur Marga ada juga yang menyebutkan dengan Catur Yoga yaitu empat jalan yang ditempuh untuk mencapai Moksa. Adapun keempat Catur Marga terdiri dari : 1. Marga Jnana Yoga Pada saat sekarang peranan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sangat menentukan dalam pembangunan nasional disamping ilmu pengetahuan lainnya. Setiap negara akan berusaha sekuat tenaga dengan menggunakan resource yang ada untuk berkompetisi dalam bidang IPTEK, siapa yang menguasai IPTEK maka merekalah yang menguasai dunia ini. Kata Jnana artinya adalah kebijaksanaan filsafat atau pengetahuan, Yoga berasal dari urat kata YUJ yang artinya menghubungkan diri.Jadi Janana Marga Yoga artinya jalan untuk mencapai persatuan atau pertemuan antara Atman dengan Paramatman (Tuhan) berdasarkan atas pengetahuan (kebijaksanaan filsafat) terutama mengenai kebenaran dan pembebasan diri dari ikatan duniawi (maya). Dalam kehidupan ini kita memilih profesi pekerjaan kita sesuai dengan bakat yang diberikan oleh Sang Hyang Widhi Wasa dan latar belakang pendidikan kita atau pekerjaan yang sangat menarik yang kita geluti saat ini, sebab bakat yang diberikan oleh Tuhan adalah anugrah yang sangat tinggi nilainya yang merupakan hasil Karma kita dahulu sebelum kita Reinkarnasi sebagai manusia. Apabila kita ingin mengabdikan diri di bidang ilmu pengetahuan, perlu diperhatikan adalah ilmu pengetahuan yang dapat membantu umat manusia dalam mengatasi kehidupan ini. Sebagai ilustrasi dapat disampaikan sebagai berikut. Pada zaman sekarang banyak manusia mengalami kesulitan dalam mengatasi penyakit, banyak penyakit yang belum diketemukan obatnya seperti AIDS, lever hati, tumor, kanker dan lain lainnya. Perkembangan ilmu kedokteran tidak dapat mengejar penyakit-penyakit yang timbul dalam masyarakat, peralatan rumah sakit masih menggunakan peralatan tradisional sehingga angka kematian di negara kita sampai sekarang masih cukup tinggi.Para dokter yang bergerak dibidang kesehatan harus terus menerus melakukan penelitian atau Research And Development (R&D) sehingga semua kesulitan masyarakat dapat diatasi dengan baik dan murah dengan diketemukan obat-obat yang mujarab. Seseorang yang mempunyai profesi dalam bidang kedokteran ini disebut dengan Jnana Marga Yoga dimana ilmu yang diabdikan demi kepentingan umat manusia.
  • 6. 6 2. Karma Marga Yoga Cara atau jalan untuk mencapai moksa (bersatunya Atman dengan Brahman), dengan selalu berbuat baik, tetapi tidak mengharapkan balasan atau hasilnya untuk kepentingan diri sendiri (amerih sukaning awah) disebut Karma Marga Yoga. Dalam Karma Marga Yoga, kita sebagai umat Hindu setiap tindak tanduk kita melakukan karya harus demi kepentingan masyarakat banyak dan jangan ada suatu keinginan untuk menikmati hasilnya, sebab kalau kita selalu berpikir hasilnya akan timbul keterikatan-keterikatan, kalau keterikatan-keterikatan telah tumbuh dalam jiwa kita, maka ketenangan akan menjauh dari kenyataan, sehingga jiwa kita akan diracuni oleh Sad Ripu yaitu enam musuh utama manusia yang terdiri dari Kama, Lobha, Mada, Moha, Kroda, Matsarya (nafsu, loba, kemarahan, kemabukan, kebingungan, iri hati). Di dalam Bhagawad Gita disebutkan bahwa berulang kali Krisna berkata kepada Arjuna, lakukan tugasmu, lakukanlah pekerjaan yang benar tetapi jangan ingin menikmati hasil pekerjaan itu. Tujuan Krisna memberikan wejangan kepada Arjuna agar jangan melihat hasilnya adalah, kita sebagai pelaku benar-benar dalam bekerja semua perbuatan kita yaitu karma diubah menjadi Yoga sehingga kegiatan tersebut membawa kita menuju persatuan dengan Tuhan maka ini disebut dengan Karma Marga Yoga. Apabila seseorang sudah dapat melakukan pekerjaan tanpa melihat hasilnya maka ia akan menjadi orang yang benar- benar bijaksana (Stithaprajna), yang tidak terpengaruh dengan keadaan suka dan duka atau gembira dan sedih.Perbuatan adalah karma , setiap orang lahir dari karma, hidup dalam karma dan mati dalam karma, karma sumber dari baik dan buruk dosa atau kebajikan, laba atau rugi, kebahagiaan atau kesedihan, sebenarnya karmalah penyebab kelahiran, maka karma dalam kehidupan merupakan masalah yang sangat penting.Sebagai ilustrasi dapat diceritrakan sebagai berikut: Diumpamakan badan kita adalah sebuah jam dinding, dan nafas kita adalah pegasnya yang menyebabkan jarum jam dapat berputar, dan baterynya adalah tenaga manusia. Tanpa nafas dan tenaga, manusia tidak dapat berbuat apa-apa yaitu berkarma, maka perbuatan (karma) sangat tergantung dengan nafas (pegas) dan tenaga (batery). Dengan kekuatan batery (tenaga) maka jarum jam yang terdiri dari tiga jarum yaitu jarum yang paling panjang disebut jarum detik, jarum yang menengah disebut dengan jarum menit dan jarum yang paling pendek disebut jarum jam. Ketiga jarum akan berputar dengan kecepatan yang berbeda beda dan saling ketergantungan satu sama lainnya, tetapi masing-masing jarum akan berputar sesuai dengan fungsinya.Apabila jarum detik telah berputar 60 kali maka jarum menit akan mengikuti berputar hanya sekali, demikian saat
  • 7. 7 jarum menit telah berputar 60 kali maka jarum jam akan berputar sekali demikian seterusnya dengan menggunakan kelipatan 60. Setiap gerakan jarum detik kita umpakan adalah karma (perbuatan), untuk gerakan jarum menit kita umpamakan adalah perasaan dan untuk gerakan jarum jam kita umpamakan adalah kebahagiaan. Untuk mencapai suatu kebahagiaan yang terus menerus kita harus selalu berbuat (berkarma) baik, setiap tindakan kita selalu tanamkan kebaikan yang menyebabkan perasaan kita mendapat rangsangan kebaikan tersebut sehingga kita merasa senangzApabila perasaan kita telah mencapai kesenangan terus menerus akibat kita selalu berbuat (karma) baik terhadap seseorang, maka menyebabkan kita akan mencapai kebahagiaan, sebab karma (perbuatan), perasaan, dan kebahagian saling keterkaitan seperti ketiga jarum jam berputar saling ketergantungan satu sama lainnya.Makin banyak kita berkarma baik maka perasaan dan kebahagian akan selalu mengikuti seperti perputaran jarum jam, apabila jarum detik tidak bergerak jangan harap jarum menit bergerak apalagi jarum jam kebahagian akan dicapai dalam kehidupan ini apabila kita selalu berkarma baik. 3. Bakti Marga Yoga Jalan atau cara untuk mencapai moksa atau kebebasan, yaitu bersatunya Atman dengan Tuhan dengan melakukan sujud bakti kehadapan Hyang WidhiWasa. Bakti adalah cinta yang mendalam kepada Tuhan, bersifat tanpa pamerih sedikitpun dan tanpa keinginan duniawi apapun juga. Bagi umat Hindu untuk melakukan Bakti Marga Yoga dengan menyanyikan nama-nama Tuhan secara berulang-ulang, bergaul dengan orang-orang Suci yang mempunyai bakti, konsentrasi pikiran setiap saat kepada Tuhan, dan jalan Bakti ini adalah yang paling mudah dilakukan. Seperti setiap hari kita melakukan Trisandya dengan mengucapkan Gayatri Mantra tiga kali sehari.Untuk menanamkan rasa Bakti kehadapan Hyang Widhi Wasa , sebaiknya anak mulai kecil dididik mengucapkan Mantra Gayatri dengan memberi penjelasan makna dan arti masing- masing bait, sehingga meresap dalam pikiran mereka dan dapat menuntun ajaran-ajaran kebenaran (Dharma). Kalau belum hafal sebaiknya dibaca saja dan usahakan dengan suara yang lembut sehingga benar-benar meresap dalam hati sanubari kita dan bayangkan Brahman ada dalam pikiran dan renungkan secara terus menerus selama melagukan Gayatri Mantra Dengan selalu melantunkan Gayatri Mantra terus menerus , maka kita seolah-olah menyatu dengan Tuhan atau bersatunya Atman dengan Tuhan., sehingga kita mendapat ketenangan, kedamaian, keselamatan dan kesejahteraan.Dalam melakukan Bakti Marga Yoga terutama upacara piodalan di Pura-pura
  • 8. 8 diseluruh Indonesia, masyarakat Hindu sudah mempunyai cara upacara bakti (persembahyangan) secara baku, dimanapun kita melakukan persembahyangan sudah tersusun sama, dan Mantra Gayatri selalu dilantunkan sebelum persembahyangan dimulai.Pada saat Pendeta melakukan upacara piodalan juga dinyanyikan lagu-lagu warga sari sebagai pemujaan kehadapan Hyang Widhi Wasa yang mempunyai makna adalah agar sebelum persembahyangan dimulai kita sudah mulai rasakan menyatunya Atman dengan Brahman. 4. Raja Marga Yoga Jalan untuk mencapai moksa menurut agama Hindu dapat dilakukan melalui Tapa, Brata, Yoga, dan Semadi. Untuk mengendalikan diri dengan melakukan latihan-latihan untuk mengatasi Sad Ripu disebut dengan Tapa, Brata, sebab apabila Sad Ripu kita sudah dapat kendalikan maka jalan mencapai moksa lebih mudah. Disamping mengendalikan Sad Ripu, kita juga melakukan latihan-latihan untuk dapat menyatukan Atman dengan Tuhan yang disebut dengan Yoga dan Semadi, dengan melakukan konsentrasi yang setepat tepatnya dalam ketenangan dan suasana syandu sempurna sehingga kita dapat menyatu dengan Tuhan.Sebagai ilustrasi dapat diceritakan sebagai berikut: Didalam suatu pesraman di Hutan rimba ada seorang Rsi yang bernama Rsi Suka yang memberikan dharma wecana kepada murid-muridnya yaitu yoga, semadi diantara murid- muridnya ada seorang raja bernama raja Jenaka. Raja Jenaka disamping mempunyai kerajaan yang sangat besar dan kaya juga berkeinginan belajar spiritual (Yoga, semadi) kepada Rsi Suka yang sangat terkenal ilmu spiritualnya. Banyak ujian-ujian yang diberikan kepada para siswanya agar dapat mencapai moksa dalam kehidupan ini dengan meninggalkan keduniawian dengan melepaskan semua keterikatan-keterikatan sehingga Atman menyatu dengan Brahman. Pada suatu hari Rsi Suka agak terlambat memberikan dharma wecana sehubungan Raja Jenaka ada keperluan kerajaan yang sangat mendesak yang tidak boleh diwakili. Rsi Suka dengan sengaja menunggu Raja Jenaka, ingin menguji kesabaran para muridnya apakah dapat mengekang Sad Ripu sebagai dasar pelajaran Yoga.Dari pengamatan Rsi Suka banyak para muridnya gelisah dan gusar dan kadang-kadang timbul marah tidak sabar menunggu sampai ada yang protes bahwa pelajaran dimulai saja, mengapa kita di beda-bedakan orang biasa dengan raja Setelah raja datang dharma wecana baru dimulai dan Rsi Suka memberikan wejangan, kita harus dapat mengendalikan sad ripu sehingga kita dapat ketenangan bathin. Setelah dharma wecana selesai maka pelajaran dilanjutkan dengan yoga, semadi, dan pelajaran ini harus dilakukan dengan konsentrasi pikiran
  • 9. 9 secara penuh.Dengan suasana hening sepi hanya suara jangkrik yang kedengaran, para muridnya sedang asyik melakukan yoga semadi, tiba-tiba Rsi dengan berteriak bahwa sedang ada kebakaran di kota kerajaan, murid-muridnya pada bubar berlari lari pergi ke kota kerajaan ingin menyelamatkan harta dan rumahnya yang kebakaran. Tetapi raja Jenaka tidak bergeming sedikitpun, dia telah masuk dalam keadaan Semadi, beliau berbahagia dalam Atman.Rsi mengamati wajah raja dengan perasaan sangat gembira. Setelah beberapa murid-murid yang lari kembali bahwa dikota tidak ada kebakaran dan Rsi pun memberikan penjelasan arti dari peristiwa tersebut. Penundaan mulainya dharma wecana adalah untuk menghormati raja, karena beliau telah menghapuskan keakuannnya kebanggaannya dan mempunyai kerendahan hati dan melatih mengendalikan Sad Ripu dan berhasil dengan baik dan ini perlu dicontoh oleh semua muridnya. Dan peristiwa kebakaran di kota kerajaan sebenarnya tidak pernah terjadi, peristiwa kebakaran adalah rekayasa Rsi dan ini merupakan ujian dari Rsi Suka. Kalau mau berhasil sebagai seorang spiritual (Yogi) harus berani melepaskan semua keduniawian yaitu keterikatan-keterikatan, tanpa ada kemauan untuk menghilangkan keterikatan-keterikatan ini tidak mungkin tercapai tujuannya yaitu sebagai seorang Yogi.Semua latihan-latihan ini membutuhkan ketekunan, tulus iklas, kesujudan iman dan tanpa pamerih. Pada akhir-akhir ini banyak generasi muda sudah melakukan latihan-latihan Yoga dan Semadi, dan buku-buku penuntun untuk yang baru memulai belajar Yoga dan Semadi sudah cukup banyak beredar di toko-toko buku, dan suasana ini sangat membantu bagi umat hindu untuk belajar masalah spiritual melalui Raja Marga Yoga.Diantara keempat Marga Yoga tersebut diatas semuanya adalah sama tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya, umat Hindu dapat memilih dari keempat Marga Yoga tersebut tergantung dari bakat masing-masing dan jalan yang satu akan berhubungan dengan yang lain semuanya akan mencapai tujuan yang sama yaitu Moksa. 2.3. TingkatMoksa 1. Samipya Samipya adalah kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya di dunia ini. Hal ini dapat dilakukan oleh para Yogi dan Maha Rsi.
  • 10. 10 2. Srupya Srupya merupakan moksa yang dilakukan di dunia ini karena kelahirannya.Kedudukan atma pencerminan dari kemahakuasaan Tuhan, seperti halnya Sri Rama, Budha Gautama, dan Sri Kresna.Walaupun Atma telah mencapai perwujudan tertentu namun ia tidak terikat oleh segala sesuatu yang ada di dunia ini. 3. Slokya Slokya adalah suatu kebebasan yang telah dicapai oleh atma dimana atma itu telah berada diposisi dan kesadaran yang sama dengan Tuhan. Dalam keadaan seperti ini dapat dikatakan Atma telah mencapai tingkatan Dewa yang merupakan manifestasi dari Tuhan itu sendiri. 4.Sayujna Sayujna adalah suatu tingkatan kebebasan yang tertinggi dimana atma telah dapat bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa (Brahman). Dalam keadaan seperti ini sebutan “Brahma Atma Akyam” yang artinya Atma dan Brahma sesungguhnya Tunggal.Kalau dilihat dari kebebasan yang dicapai oleh Atma, maka Moksa dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu: 1. Moksa yaitu kebebasan yang dicapai oleh seseorang tetapi masih meninggalkan bekas berupa mayat atau badan kasar. 2. Adi Moksa yaitu kebebasan yang dicapai oleh sesorang dengan meninggalkan bekas-bekas berupa abu.Parama Moksa yaitu kebebasan yang dicapai oleh seseorang tanpa meninggalkan bekas. 2.4. PERJALANAN DANGHYANG DWIJENDRA Pada akhir abad ke-15, kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan. Selain disebabkan karena faktor ari dalam, yaitu perang saudara (Perang Paregreg) untuk menjadi penguasa di Majapahit, faktor dari luar juga menjadi penyebab keruntuhan salah satu kerajaan Hindu terbesar ini, yakni serangan dari Kerajaan Demak yang beragama Islam. Akibat dari hal tersebut, agama Hindu akhirnya surut oleh pengaruh agama Islam, dimana penduduk di Majapahit dan sekitarnya serta pulau Jawa pada umumnya akhirnya beralih keyakinan ke Agama Islam. Orang-orang
  • 11. 11 Majapahit yang tidak mau beralih agama dari Hindu ke Islam akhirnya memilih meninggalkan Majapahit. Mereka memilih tinggal di daerah Pasuruan, Blambangan, Banyuwangi, dimana sebagian besar masyarakatnya masih memeluk agama Hindu. Selain itu beberapa diantara mereka bahkan menetap di daerah pegunungan, seperti: Pegunungan Tengger, Bromo, Kelud, Gunung Raung (Semeru). Sedangkan beberapa dari mereka yang masih tergolong arya dan para rohaniawan memilih untuk pergi ke Bali, hal itu disebabkan karena saat itu di Bali pengaruh Agama Hindu masih sangat kuat. Oleh karena itu mereka mencari perlindungan di Bali, selain untuk melarikan diri dari Majapahit dan pengaruh Islam di Jawa. Salah seorang dari rohaniawan tersebut adalah Danghyang Nirartha atau Danghyang Dwijendra. Danghyang Nirartha datang ke Bali pada tahun 1489 M, pada masa pemerintahan Raja Sri Dalem Waturenggong. Danghyang Nirartha datang ke Bali dalam rangka dharmayatra, akan tetapi dharmayatranya tidak akan pernah kembali lagi ke Jawa. Karena di Jawa (Majapahit) Agama Hindu sudah terdesak oleh Agama Islam. Namun kendatipun demikian, ternyata Danghyang Nirartha juga mempelajari agama Islam, bahkan Beliau menguasai Agama Islam, tetapi keislamannya tidak sempurna. Ini terbukti dari pengikut – pengikutnya, yaitu orang – orang Sasak di Pulau Lombok yang mempelajari Islam dengan sebutan Islam Wetu Telu (Islam Tiga Waktu). Namun Terlepas dari hal tersebut, Danghyang Nirartha adalah penganut Agama Hindu yang sempurna. Seperti para leluhurnya, Danghyang Nirartha memeluk Agama Siwa, yang lebih condong ke Tantrayana. Agama Siwa yang diajarkan oleh Danghyang Nirartha adalah Siwa Sidhanta, dengan menempatkan Tri Purusa, yaitu Paramasiwa, Sadasiwa, dan Siwa. Dari tiga aspek ini Sadasiwalah yang diagungkannya. Perlu juga untuk diketahui bahwa perubahan nama Danghyang Nirartha menjadi Danghyang Dwijendra terjadi setelah beliau berguru dan didiksa oleh mertuanya, yaitu Danghyang Panawasikan. Setelahnya Danghyang Nirartha dianugerahi bhiseka kawikon dengan nama Danghyang Dwijendra. Danghyang Dwijendra sendiri merupakan putra dari Danghyang Asmaranata, yang merupakan tokoh rohaniawan Majapahit. Dalam perjalanan Dharma Yatranya ke Bali, beliau pertama kali menginjakkan kakinya di pinggiran pantai barat daya daerah Jembrana untuk sejenak beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan dharmayatra. Di tempat inilah Danghyang Dwijendra meninggalkan pemutik (ada juga menyebut pengutik) dengan tangkai (pati) kayu ancak. Pati kayu ancak itu ternyata hidup dan tumbuh subur menjadi pohon ancak. Sampai
  • 12. 12 sekarang daun kayu ancak dipergunakan sebagai kelengkapan banten di Bali. Sebagai peringatan dan penghormatan terhadap beliau, dibangunlah sebuah pura yang diberi nama Purancak. Danghyang Dwijendra menjadi pembaharu Agama Hindu di Bali. Danghyang Dwijendra merupakan pencipta arsitektur padmasana untuk kuil Hindu di Bali. Kuil-kuil ini dianggap oleh para pengikut sebagai penjelmaan dari Shiva yang agung. Semasa perjalanan Danghyang Dwijendra, jumlah kuil-kuil di pesisir pantai di Bali bertambah dengan adanya kuil padmasana. Pada waktu melakukan Dharmayatra ke Bali dari Daha, Jawa Timur. Danghyang Dwijendra banyak mendirikan Pura-Pura terutama di daerah selatan pulau Bali, seperti Pura Rambut siwi, Pura Melanting, Pura Er Jeruk, Pura Petitenget dan lain-lain. Pura-pura yang didirikan oleh Danghyang Dwijendra ini dikenal dengan Pura Dang Kahyangan. Selain di Bali, Danghyang Dwijendra juga melakukan dharmayatra ke Lombok dan Sumbawa. Bahkan di Sumbawa Danghyang Dwijendra dikenal dengan sebutan Tuan Semeru. Sedangkan di Lombok dikenal dengan sebutan Haji Duta Semu, dan di Bali Danghyang Dwijendra dikenal dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Terkait dengan keberadaan Danghyang Dwijendra di Jembrana diceritakan bahwa saking aktifnya beliau melakukan dharma keagamaan, perhatian beliau pada putra/putri dan istrinya berkurang, alhasil sesuai dengan intuisi/naluri seorang rsi, istri dan putra/putrinya meninggalkan rumah tanpa memberitahu. Danghyang Dwijendra pun mencari anggota keluarganya, alhasil sang rsi menemukan istri dan putra-putrinya dalam keadaan ketakutan tanpa, kecuali putrinya Dyah Swabawa. Sang rsipun mencari putrinya dengan mengikuti sepanjang aliran Tukad Aya ke arah hulu. Beliau akhirnya sampai di wilayah puncak gunung Merbuk di utara dan hingga akhirnya beliau sampai pada sebuah pura tua, yaitu pura Pulaki yang berlokasi tepat di pinggir karang padas yang menjorok ke laut. Sang rsi akhirnya mendapatkan sang putri dalam kondisi mengenaskan, karena ada penduduk desa Pegumetan yang mengganggu sang putri dengan cara yang tidak senonoh. Danghyang Dwijendra lalu menghukum orang-orang Pegumetan yang lancang itu dengan kutukan agar mereka menjadi wong gamang dan kemudian menjadi pelayan dan pengikut Dyah Swabawa yang kemudian disthanakan dan dihormati disana sebagai orang suci. Satu hal mendasar pula yang perlu diperhatikan, bahwa keberadaan Danghyang Dwijendra di Jembrana adalah untuk menyadarkan I Gusti Ngurah Rangsasa yang merupakan pemimpin sekte Bhairawa di Jembarana yang terkenal kemampuannya pada saat itu.
  • 13. 13 Di lain kisah, diceritakan tentang bagaimana asal-usul Danghyang Dwijendra dikenal sebagai Pedanda Sakti Wawu Rauh di Bali. Cerita berawal ketika sang Rsi bersama keluarganya sampai di sebuah desa yang bernama Gading Wangi, penduduk disana kurus-kurus, pucat dan penyakitan karena sedang dijangkit epidemi, atau gangguan kulit. Ketika pertama kali melihat sang rsi mereka pada bertanya “Wawu Rauh?” dan kata itu berulang-ulang terucap dari bibir penduduk. Sang rsi sangat terharu dan dalam benaknya hanya berpikir bagaimana menyembuhkan penduduk desa, dan akhirnya beliau mengambil air bersih dari sumber mata air, lalu dimantrai dan selanjutnya diberikan pada penduduk desa. Keajaiban terjadi, beberapa hari berselang para penduduk desa sembuh dari penyakitnya, dan dari kejadian itu penduduk desa memanggil sang Rsi Pedanda Sakti Wawu Rauh. Setelah meninggalkan desa Gading Wangi, sang rsi melanjutnya yatranya menuju Tabanan hingga sampai di Gunung Batukaru, yang mana disana terdapat Pura Batukaru. Namun tujuan beliau bukan disana, melainkan menuju desa Mas sebelum ke pusat kota Gelgel. Namun setelah perjalanan dari Tabanan, sang Rsi terlebih dahulu sampai di Tuban, dan keberadaan beliau di Tuban sampai ke telinga penguasa Badung Arya Tegeh Kori, Tegeh Kori sangat ingin berjumpa dengan sang Rsi. Akhirnya sang Rsi dijemput ke Tuban dan menawarkan agar sudi singgah di purinya di Badung. Dalam perjalanan, Tegeh Kori mengiringi sang wiku menyaksikan banjir di desa Buagan, dan penduduk yang mengetahui kehadiran sang wiku mohon bantuan agar sang wiku dengan kekuatan gaibnya menjinakkan banjir itu. Sang Rsi memberikan sepotong kayu yang telah dirajah, dan akhirnya banjir manjadi cepat surut. Setelah meninggalkan Puri Badung, sang Rsi melanjutkan perjalanan ke timur hingga sampai di desa Mas, yang mana kehadirannya telah lama dinanti-nanti oleh Pangeran Mas. Disinilah Danghyang Dwijendra meneta. Dari sinipun Danghyang Dwijendra menikahi anak bendesa Mas. Dari pernikahan ini Danghyang Nirartha memiliki putra: Ida Timbul, Ida Alngkajeng, Ida Penarukan, dan Ida Sigaran. Ada dua Bhisama dari Danghyang Dwijendra kepada seluruh keturunannya, yaitu: 1. Seluruh keturunannya tidak diperkenankan menyembah pratima (arca – arca perwujudan). 2. Seluruh keturunanya tidak diperkenankan sembahyang di Pura yang tidak memakai atau tidak ada pelinggih Padmasana.
  • 14. 14 Dalam hal keyakinan (Agama Hindu) dapat dilihat peninggalannya berupa padmasana. Walaupun dalam Bhisamanya Danghyang Dwijendra melarang semua keturunanya menyembah pratima (arca – arca perwujudan), namun Danghyang Dwijendra mengagungkan Sadasiwa, sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, yang Maha Segalanya dan hampir di semua pura di Bali saat ini terdapat pelinggih padmasana untuk mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa. Kembali mengenai keberadaan sang wiku di desa Mas, Dalem Watu Renggong yang merupakan raja Gelgel mengutus Dauh Bale Agung untuk menjemput sang wiku, sesampainya di Mas, Dauh Bale Agung menemui sang wiku dan berbicara panjang lebar. Saking keasyikan bercerita dan menerima pencerahan dua hari dua malam telah berlalu dan ia baru teringat dengan perintah sang raja. Namun dalam benaknya ia berpikir apa boleh buat, kesempatan seperti ini hanya sekali seumur hidup dan ia sudah siap akan resiko yang akan diterima. Akhirnya keesokan harinya barulah Danghyang Dwijendra ditemani rombongan Dauh Bale Agung (dikenal juga dengan Gusti Penyarikan) berangkat menuju Gelgel. Rombongan sampai di ibukota Kerajaan, namun sayang Dalem tidak ada ditempat, Dalem kesal karena lama menunggu dan memutuskan pergi berburu ikan di Teluk Padang (Padang Bai) tempat dimana pesanggrahan Silayukti milik Mpu Kuturan. Sang Rsi dimohon langsung bergerak kesana, akhirnya sang Rsi sampai di Teluk Padang pada petang hari serta memutuskn bermalam bersama setelah bertemu Dalem. Banyak ajaran diberikan oleh sang wiku kepada Dalem beserta iringan, dan esoknya mereka kembali ke Gelgel. Hari demi hari berlalu, sang wiku berhasil menjadikan Dalem Watu Renggong muridnya, serta sikap Dalem yang keras berhasil diubah menjadi lebih bijaksana dan Dalem sendiri meminta agar didiksa oleh sang Rsi. Setelah Dalem menjadi seorang raja Pandita, masalah-masalah dalam kerajaan Gelgel masih terus menunggu dan mengganggu. Masalah politik yang paling mengganggu adalah masalah dengan rivalnya di timur, yaitu Kerajaan Lombok. Penguasa Lombok yang merasa agak kuat membiarkan pelaut-pelautnya mengganggu pelayaran di selat Lombok dan mulai berani mengganggu pemukiman nelayan Bali. Dan diluar dugaan ternyata Danghyang Dwijendra memohon diri agar dijadikan utusan untuk menyadarkan Sri Krahengan penguasa Lombok yang mulai berulah itu. Maharsi Markandeya berangkat ke Lombok dari Pantai Kusamba dengan pengawalan perahu yang diberikan raja Gelgel. Di Lombok sang wiku bertemu dengan raja Krahengan dan
  • 15. 15 segera melakukan perbincangan politik, namun apa daya usaha sang wiku sia-sia dan beliau segera balik ke Bali, dalam perjalanan ke Bali beliau selalu berpikir akan kegagalan yang telah diterima dan dalam benaknya mulai ada timbul ada keinginan untuk meninggalkan urusan keduniawian untuk menjadi seorangSanyasin dan mengulang kembali perjalanannya dari barat ke timur menjadi perjalanan spiritual. Sesampainya di kerajaan Gelgel sang wiku menyampaikan kegagalan misinya ke Lombok dan memohon izin untuk undur diri dari urusan kerajaan serta berkehendak untuk mengulangi perjalanannya dari barat ke timur. Dalem sebagai raja Gelgel mengizinkan keinginan sang wiku, dan beliau diantar ke Jembrana, perjalanan spiritual beliau dimulai dari tempat yang dekat dengan Purancak yang mana disana sudah ada Pura, dan beliau disambut oleh seorang Pemangku yang menyarankan agar beliau selalu menyembah perhyangan yang ada untuk keselamatan. Sang wiku mendengar dengan sabar, lalu beliau bertapa, yoga semadhi disana. Sesaat keajaiban terjadi, baru sang rsi beryoga bangunan yang disuruh memuja runtuh dan membuat pemangku ketakutan lalu menyembah maharsi Markandeya. Pemangku memohon agar pura itu diperbaiki sehingga ada tempat sembahyang, sang wiku memperbaiki pura itu lalu memberikan sehelai rambutnya pada pemangku untuk disimpan dan dijunjung di atas bangunan itu, dan sejak itu pura tersebut disebut pura Rambut Siwi. Lepas dari Rambut Siwi sang wiku melanjutkan perjalanan ke Timur hingga tiba pada suatu tonjolan batu karang yang ditumbuhi pohon-pohonan., tonjolan itu adalah tanjung yang menjorok ke laut dan bagian tangahnya menyempit. Sang Wiku tertarik dengan tempat ini, lalu bergerak menuju ke ujung tanjung diikuti beberapa nelayan disana. Baru sampai hingga malam hari sang wiku bersama para nelayan tetap disana, para nelayan kemudian diberikan siraman rohani dan dinasihati untuk membangun perhyangin di tempat itu agar para nelayan mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran dalam usahanya. Beberapa hari selama sang Rsi disana tempat itu selalu menjadi tempat berkumpul para nelayan menerima berbagai wejangan, dan tempat itu kini menjadi Pura Tanah Lot di Tabanan. Beranjak dari Pura Tanah Lot, sang Rsi melanjutkan perjalanannya menyisir pantai ke timur, hingga akhirnya beliau sampai di sebuah ujung tonjolan dengan tangga berbatu berbentuk cascade yang dapat dipanjatnya dengan mudah sehingga beliau mencapai bgian atas batu itu. Penduduk menyebut tempat ini Ulu Watu (Pangkalan batu). Di tempat ini sang wiku merenungi mengenai perjalanan yang sudah dilalui dan juga berpikir mengenai leluhurnya dari
  • 16. 16 negeri Hindustan, belaiau juga bermeditasi disana sehingga nuansa spiritual tampat itu semakin meningkat, dan di tempat itu kini berdiri pura Ulu Watu. Beliau terus melakukan perjalanan ke timur menyisir pantai selatan, kemudian beliau melakukan semadhi di suatu tempat yang memiliki vibrasi bagus, dan sekarang tempat itu menjadi pura Goa Lawah. Dari tempat ini sang wiku melanjutkan perjalanan dan beliau berhenti kembali di suatu tempat yang bernama Samprangan dekat aliran sungai Sangsang, sebelum Tulikup. Selepas dari sana sang Rsi bergerak ke utara hingga penapakan beliau sampai pada Besakih-Penulisan-Ponjok Batu. Di Ponjok Batu sang wiku menemukan beberapa nelayan yang memerlukan bantuan beliau, para nelayan itu adalah pelaut- pelaut Lombok yang telah terdampar beberapa hari dan keadaaannya sangat lemah. Sang wiku merawat dan memberikan nasihat untuk memulihkan semangat para pelaut itu. Akhirnya para pelaut sembuh, dan mereka amat berterimakasih kepada sang rsi. Mereka pun dengan senang hati menerima permintaan sang rsi untuk ikut berlayar ke Lombok. Sang Rsi pertama kali menginjakkan kakinya di daerah Malimbu, kemudian melanjutkan perjalanan menyisir pantai hingga sampai di pura Kaprusan sekarang. Diceritakan disana yang masih hanya berupa tumpukan batu beliau bermeditasi, dan untuk membuat petapakan beliau lalu masyarakat disana membangun pura yang dinamai Pura Kaprusan (nama kaprusan berasal dari kata “kaprus”, yaitu suara air laut yang dipecah karang). Kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke timur sampai di Batu Bolong, kemudian sampai di Batu Layar. Selepas dari sana sang wiku menuju arah tenggara dan sengaja menjauh dari ibu kota Sri Krahengan yaitu Cakranegara menuju Karang Medain, Lingsar dan Suranadi. Di Lingsar, sang Rsi memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada orang-orang sasak yang beragama Islam, para umat islam yang menerima pencerahan dari Danghyang Dwijendra adalah para kelompok Islam Wetu Telu dengan bangunan suci yang disebut Kemaliq. Sedangkan untuk di Suranadi berkat sang wiku, muncul empat sumber tirta yang disebut Catur Tirta, yaitu tirta penglukatan, tirta pembersihan, tirta pengentas dan toya racun. Selepas dari Suranadi, sang wiku bergerak ke timur menuju pantai timur Lombok dengan mengikuti busur yang bersebelahan dengan lereng gunung Rinjani yang meluas ke selatan. Keberadaan sang wiku di dengar oleh Sri Selaparang dan mengajak sang wiku secara paksa untuk bertamu ke kotanya, sang wiku menolak dengan halus dan untuk tidak mengecewakan Sri Selaparang sang wiku mengajaknya berdialog di
  • 17. 17 tepi pantai Labuhan Haji. Sri Selaparang diberikan nasihat yang sangat menyejukkan kemudian pulang ke kotanya sementara sang wiku berlayar menuju Sumbawa. Danghyang Dwijendra yang telah berusia 80 tahun setelah melaksanakan Dharmayatra di Pulau Lombok, memutuskan berlayar menuju Pulau Sumbawa menggunakan perahu, disertai nelayan Lombok yang pernah dibantu saat mereka terdampar di Ponjok Batu (di pantai/pura Ponjok Batu- sekarang) di Singaraja. Selanjutnya, beliau melewati Teluk Taliwang hingga berlabuh di Teluk Sumbawa. Kedatangan Danghyang Dwijendra disambut Kepala Desa dan tokoh masyarakat setempat yang kebetulan saat itu kehidupan masyarakat di sana sedang kesusahan, akibat gagal panen akibat diserang hama penyakit. Atas permohonan kepala desa itu, akhirnya Danghyang Dwijendra terpanggil membantu masyarakat petani dimaksud. Beliau lantas memerintahkan masyarakat setempat untuk mengisi sawah dan ladangnya dengan padupaan yang berisi api dan kemenyan. Dengan memohon kepada Tuhan dan Dewa yang berstana di Gunung Tambora, keesokan harinya tiba-tiba hama penyakit berupa ulat dan belalang itu lenyap tanpa bekas. Karenanya, sejak itu masyarakat memanggil beliau dengan sebutan Tuan Semeru. Mencermati sejarah Dharmayatra beliau, ada dua motivasi Danghyang Dwijendra melaksanakan Dharmayatra ke Pulau Sumbawa yakni, karena rasa kekaguman dan kerinduan yang mendalam untuk melihat Gunung Tambora ke dalam rasa keagamaannya membayangkan bagaimana Siwa (Tuhan) menjejakkan kakinya saat membangun tiga dunia. Beliau merasa bahwa jejak Siwa yang paling timur adalah Gunung Tambora. Beliau berharap agama Hindu masih bisa dipertahankan keajegannya di daerah ini. Di samping itu, adanya hasrat yang besar untuk bertemu dengan kerabat leluhurnya yang merupakan seorang Brahmana Siwa yang sebelumnya diutus dan ditugaskan Raja Majapahit (tahun 1344 Masehi) untuk menaklukkan raja-raja di Sumbawa. Setelah armada Majapahit di bawah pimpinan Mahasenopati Nala berhasil menaklukkan raja-raja yang ada di pulau Sumbawa. Danghyang Dwijendra berharap dapat bertemu dengan putra-putri beliau, atau setidaknya bisa bertemu dengan cucu seangkatannya. Setelah mendapat informasi dari penduduk Sumbawa, bahwa kerabatnya telah lama meninggal, Beliau pun melanjutkan perjalanan ke Gunung Tambora, masuk ke Teluk Saleh melewati celah antara pulau Sumbawa dan pulau Moyo dan akhirnya sampai di pelabuhan di lereng selatan Gunung Tambora.
  • 18. 18 Saat itu, Gunung Tambora yang puncaknya tampak perkasa sesekali mulai mengeluarkan asap dan lidah api. Di pelabuhan itu, beliau kemudian disambut penghulu kaya dan rajin. Penghulu itu ternyata telah lama mendengar kehebatan beliau, karenanya begitu bertemu dengan beliau, penghulu itu memelas agar bersedia membantu menyembuhkan anaknya yang telah lama menderita suatu penyakit dan sangat sulit disembuhkan serta berbagai upaya dan usaha telah dilakukan tetapi satu pun tidak berhasil. Selanjutnya Danghyang Dwijendra mencoba mengobati dengan segala kemampuannya. Akhirnya anak penghulu itu pun berhasil dibantu. Sebagai ungkapan terima kasih penghulu itu merelakan anaknya diajak ke Bali. Selama berada daerah ini, Danghyang Nirartha kerap melakukan payogan. Salah satunya adalah di sekitar lokasi Pura Agung Gunung Tambora dimaksud. Seperti halnya di tempat lain, di manapun beliau pernah beryoga, tempat itu selalu menjadi tersohor karena biasanya tempat dimaksud mampu memancarkan aura spiritual yang sangat tinggi. Tak heran jika sebagian besar jejak perjalanan beliau, kini dibangun sebuah tempat yang megah serta banyak umat yang datang memohon anugrah sekaligus tuntunan spiritual beliau, tak terkecuali di Pura Agung Gunung Tambora yang mampu memancarkan aura kesejukan, kedamaian, dan ketenangan serta spiritual yang sangat kuat dan tinggi. Setelah mengadakan dharmayatra ke Pulau Lombok dan Sumbawa, Danghyang Dwijendra menuju barat daya ujung selatan Pulau Bali, yaitu pada daerah gersang, penuh batu yang disebut daerah bebukitan. Setelah beberapa saat tinggal di sana, beliau merasa mendapat panggilan dari Hyang Pencipta untuk segera kembali amoring acintia parama moksha. Di tempat inilah Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh teringat (icang eling) dengan samaya (janji) dirinya untuk kembali ke asal-Nya. Itulah sebabnya tempat kejadian ini disebut Cangeling dan lambat laun menjadi Cengiling sampai sekarang. Oleh karena itulah, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh ngulati (mencari) tempat yang dianggap aman dan tepat untuk melakukan parama moksha. Oleh karena dianggap tidak memenuhi syarat, beliau berpindah lagi ke lokasi lain. Di tempat ini, kemudian dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Kulat. Nama itu berasal dari kata ngulati. Pura itu berlokasi di Desa Pecatu. Sambil berjalan untuk mendapatkan lokasi baru yang dianggap memenuhi syarat untuk parama moksha, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh sangat sedih dan menangis dalam batinnya. Mengapa? Oleh karena beliau merasa belum rela untuk meninggalkan dunia sekala ini karena swadharmanya belum dirasakan tuntas, yaitu menata kehidupan agama Hindu di daerah Lombok
  • 19. 19 dan Sumbawa. Di tempat beliau mengangis ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Ngis (asal dari kata tangis). Pura Ngis ini berlokasi di Banjar Tengah Desa Adat Pecatu. Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh belum juga menemukan tempat yang dianggap tepat untuk parama moksha. Beliau kemudian tiba di sebuah tempat yang penuh batu-batu besar. Beliau merasa hanya sendirian. Di tempat ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Batu Diyi. Juga di tempat ini Danghyang Dwijendra merasa kurang aman untuk parama moksha. Dengan perjalanan yang cukup melelahkan menahan lapar dan dahaga, akhirnya beliau tiba di daerah bebukitan yang selalu mendapat sinar matahari terik. Untuk memayungi diri, beliau mengambil sebidang daun kumbang dan berusaha mendapatkan sumber air minum. Setelah berkeliling tidak menemukan sumber air minum, akhirnya Danghyang Dwijendra menancapkan tongkatnya. Maka keluarlah air amertha. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang disebut Pura Payung dengan sumber mata air yang dipergunakan sarana tirtha sampai sekarang. Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh kemudian beranjak lagi ke lokasi lain, untuk menghibur diri sebelum melaksanakan detik-detik kembali ke asal. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura bernama Pura Selonding yang berlokasi di Banjar Kangin Desa Adat Pecatu. Setelah puas menghibur diri, Danghyang Dwijendra merasa lelah. Maka beliau mencari tempat untuk istirahat. Saking lelahnya sampai-sampai beliau sirep (ketiduran). Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Parerepan (parerepan artinya pasirepan, tempat penginapan) yang berlokasi di Desa Pecatu. Mendekati detik-detik akhir untuk parama moksha, Danghyang Dwijendra menyucikan diri dan mulat sarira terlebih dahulu. Di tempat ini sampai sekarang berdirilah sebuah pura yang disebut Pura Pangleburan yang berlokasi di Banjar Kauh Desa Adat Pecatu. Setelah menyucikan diri, beliau melanjutkan perjalanannya menuju lokasi ujung barat daya Pulau Bali. Tempat ini terdiri atas batu-batu tebing. Apabila diperhatikan dari bawah permukaan laut, kelihatan saling bertindih, berbentuk kepala bertengger di atas batu-batu tebing itu, dengan ketinggian antara 50-100 meter dari permukaan laut. Dengan demikian disebut Uluwatu. Ulu artinya kepala dan watu berarti batu. Sebelum Danghyang Dwijendra parama moksha, beliau memanggil juragan perahu yang pernah membawanya dari Sumbawa ke Pulau Bali. Juragan perahu itu bernama Ki Pacek Nambangan Perahu. Sang Pandita minta tolong agar juragan perahu membawa pakaian dan
  • 20. 20 tongkatnya kepada istri beliau yang keempat di Pasraman Griya Sakti Mas di Banjar Pule, Desa Mas, Ubud, Gianyar. Pakaian itu berupa jubah sutra berwarna hijau muda serta tongkat kayu. Setelah Ki Pacek Nambangan Perahu berangkat menuju Pasraman Danghyang Dwijendra di Mas, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh segera menuju sebuah batu besar di sebelah timur onggokan batu- batu bekas candi peninggalan Kerajaan Sri Wira Dalem Kesari. Di atas batu itulah, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh beryoga mengranasika, laksana keris lepas saking urangka, hilang tanpa bekas, amoring acintia parama moksha
  • 21. 21 BABIII PENUTUP 3.1.Kesimpulan Dari penjabaran diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kita dapat memahami pengertian moksa yang sebenarnya menurut Agama Hindu. 2. Pencapaian moksa dapat dilakukan dengan jalan mendekatkan diri dengan Tuhan. 3. Tingkatan moksa banyak diinginkan oleh semua orang agar tidak terikat oleh duniawi. 3.2. Saran 1. Agar semua umat Hindu memahami pengertian Moksa. 2. Semua umat Hindu selalu mendekatkan diri kepada Tuhan agar mudah pencapaian moksa. 3. Tingkatan Moksa Perlu dipahami semua umat.
  • 22. 22