1. Renungan ini membahas tentang pentingnya mengakui dosa dan memohon ampunan kepada Allah. Penyair Arab Abu Nawas dikutip sebagai contoh yang jujur mengakui dosanya dan memohon ampunan.
2. Penulis menyadari bahwa seringkali manusia tidak menyadari dosa-dosa yang dilakukan dan enggan mengakuinya serta meminta maaf. Hal ini mirip sifat Iblis yang sombong dan enggan taat kepada Allah.
1. 1
Renungan Subuh: “I’tirâf1
Yang Tertunda”2
BERKALI-KALI kucermati satu pernyataan populer dari seorang
penyair ‘bijak’ dari dunia Arab, yang terkenal dengan sebutan Abu Nawas3
,
yang menyatakan bahwa dirinya telah banyak melakukan perbuatan dosa,
dan oleh karenanya ia pun bersungguh-sungguh untuk memohon ampunan
dari Allah atas semua dosanya dengan sikap ‘harap dan cemas’ (rajâ’ wa
khauf).
َلِإَ ِهََلَتْسََ ِسْودْرِف
ْ
لِلََ
ا
ل
ْ
هأَ#َلوََ
ْ
قأَوىَََعََّانلَِارََِيم ِحاجلَ
Wahai Tuhanku, Aku bukanlah ahli (surga) Firdaus, namun aku tidak kuat berada
dalam neraka Jahim
َْبفهََ ِلََ
ا
ةبْوتََْرِف
ْ
اغوََذَنَْوَ ِبََ#َك
ّ
إنفََرِفَغََِب
ْ
اذلنََِمْيِظالعَ
Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku, sesungguhnya Engkau
adalah Maha Pengampun (atas) dosa yang besar
َذَنَْوَ ِبََثلِمََادد
ْ
عأََِالمّالرََ#َْبهفََ ِلََ
ا
ةبْوتَللااجلاذيَ
Dosaku bagaikan bilangan pasir, maka berilah aku taubat (ampunan) wahai
Tuhanku yang memiliki keagungan
يِرْمعوََصِقانََ ِفََ
ّ
ِكََمْويََ#َذوَ ِب
ْ
نََدِئازََيفكََ ِالمِت
ْ
احَ
Umurku ini setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku
menanggungnya
1
I’tirâf, arti: “pengakuan”
2
Renungan ini saya tulis di rumah, setelah usai melaksanakan shalat jamaah
subuh di Masjid Ngadisuryan Yogyakarta.
3
Abu Nawas adalah pujangga Arab dan merupakan salah satu penyair
terbesar sastra Arab klasik. Penyair ulung sekaligus tokoh sufi ini mempunyai nama
lengkap Abu Ali Al Hasan bin Hani al-Hakami dan hidup pada zaman Khalifah
Harun al-Rasyid di Baghdad (806-814 M). Oleh masyarakat luas Abu Nawas dikenal
terutama karena kecerdasan dan kecerdikan dalam melontarkan kata-kata, sehingga
banyak lahir anekdot jenaka yang sarat dengan hikmah.
2. 2
َِإَلَ ِهََكدْبعََ ِاصالعََاكتأََ#اّارِقمََ
ّ
اذلِبَنَْوَِبََ
ْ
دقوََكَعدَ
Wahai, Tuhanku, hambaMu yang berbuat dosa (ini) telah datang kepadaMu dengan
mengakui segala dosa, dan telah memohon (ampunan) kepadaMu
َ
ْ
نِإفَََْرِف
ْ
غتََت
ْ
أنفََِذلَاكََل
ْ
هأََ#َ
ْ
إنفََ
ْ
در ْطتََْنمفَوجْرنََاكوِسَ
Maka jika Engkau mengampuni, maka Engkaulah yang berhak mengampuni. Jika
Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau?
Abu Nawas adalah contoh nyata ‘hamba Allah yang jujur dengan
pengakuannya”, dan dia benar-sadar bahwa dirinya telah bergelimang
dengan) dosa, dan oleh karena dia pun beristighfâr (memohon ampunan)
kepada Allah.
Dalam renunganku, aku berkesimpulan, bahwa ‘ternyata’ aku, dan
mungkin juga ‘kita’ -- umat manusia -- seringkali tak menyadari bahwa
diriku dan ‘diri kita’ telah melakukan banyak dosa, dan (juga) tak sedikit
yang enggan untuk mengakuinya, dan akhirnya: “tak bersedia untuk
memohon ampun atas dosa-dosanya”. Bukan saja dosaku dan ‘kita’ kepada
Allah secara langsung. Bahkan dosaku dan ‘kita’ terhadap sesama makhluk
pun ‘seringkali’ tak ‘ku’ dan ‘kita’ sadari dan (tak ‘ku’ dan ‘kita’) akui, dan
oleh karenanya ‘aku’ dan ‘kita’ pun (menjadi) enggan untuk meminta maaf
karenanya.
Manusia, seringkali mewarisi sikap Iblis, yang karena keengganan
dan kesombongannya, tak bersedia patuh kepada Allah. Dirinya merasa
paling ’hebat’ dan mengganggap remeh yang lain, hanya karena ‘merasa’,
dan bukan karena menyadari dengan kesadaran penuh. Hingga lambat laun
dia telah bergelimang (dengan) dosa, dan akhirnya ‘hati’-nya pun kotor
karenanya.
Aku, yang berkali-kali merenung di setiap usai melaksanakan shalat,
termasuk pagi hari ini, setelah menunaikan shalat subuh, bahkan pernah
dengan sangat menyesal menyatakan: “mengapa ‘diriku’ yang terlalu
banyak berbuati dosa, dengan segala keengganan dan kesombonganku, tak
segera mau bertaubat?” Apakah ini sebuah pertanda bahwa ‘hatiku’ masih
terlalu kotor, hingga aku tak segera mau mengakui dan menyadari
kesalahanku, dan selanjutnya berubah menjadi seseorang yang lebih baik?
Benarkah ‘hatiku’ masih terlalu kotor untuk menjadi sebuah cermin?
Di pagi yang cerah ini, dengan ketulusan hati, aku benar-benar
bermohon kepadaMu, “Ya Allah, berikan hidayah dan taufiqMu kepada
3. 3
diriku yang dha’îf (lemah) ini segera ‘bersedia’ untuk bertaubat. Hingga diri
aku benar-benar memiliki hati yang bersih, yang dengan kebersihan hati ini,
aku sangat berharap pada saat yang telah Engkau takdirkan, ‘diriku’ menjadi
‘diri’ yang tenang dan damai (nafsun muthmainah), untuk kemudian bersedia
mendekatkan diri kepadaMu kapan pun dan dimana pun diriku berada. Dan
jangan sekejap pun Engkau biarkan diriku ini menunda-nunda pengakuan
dosa, yang oleh karenanya ‘diriku’ menjadi semakin jauh dariMu.”
Āmîn Yâ Mujîbas Sâilîn.
Masjid Ngadisuryan-Yogyakarta, Senin - 7 Februari 2016