Tiga pertanyaan mengenai status pernikahan yang dilakukan dengan wali hakim. Dokumen menjelaskan bahwa wali nikah merupakan syarat sahnya pernikahan, dan wali hakim hanya berperan jika tidak ada kerabat yang lebih dekat. Wali hakim sebenarnya adalah pejabat resmi Kantor Urusan Agama. Oleh karena itu, pernikahan sirri dengan wali hakim sebenarnya tidak sah.
1. 1
Siapakah Wali Hakim Dalam ‘Nikah’?
Beberapa hari ini, saya mendapatkan tiga pertanyaan dari jamaah yang
perlu segera dijawab.
Pertanyaan Pertama: “saya telah menikah dengan suami saya secara
sirri, dan yang menikahkan kami adalah wali hakim. Sah ‘kah’ pernikahan
saya dengan suami saya ustad …?
Pertanyaan Kedua: “saya dengan dia nikah sirri, tanpa kehadiran orang
tua laki-laki , walinya wali hakim dan saksi 2 orang teman saya, karena orang
tuanya tidak setuju dengan saya, bagaimana menurut pandangan pak ustadz,
apakah sah atau tidak pernikahan saya ini!”
Pertanyaan Ketiga: “Status kakak saya janda dari suami yang ke-4,
kemudian dia menikah lagi dengan mantan suami yang ke-3 secara sirri
dengan wali hakim, tanpa sepengetahuan saya sebagai walinya yang sah,
mengingat bapak dan paman saya telah meninggal dunia.”
Dari ketiga pertanyaan ini, baiklah saya mencoba untuk menjawabnya:
Pertanyaan-pertanyaan ini menggambarkan bagaimana pemahaman
sebagian masyarakat di tempat kita tentang apa itu wali hakim? Dan siapa
yang berhak disebut wali hakim? Agar kita bisa memahami lebih baik, kami
utarakan secara bertahap sebagai berikut,
Pertama, wali nikah merupakan rukun dalam akad nikah
Keberadaan wali merupakan rukun dalam akad pernikahan. Karena itu,
tidak sah menikah tanpa wali. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan
kesimpulan, ini, diantaranya,
Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallâhu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali.” (Hadits Riwayat Abu Dawud,
Sunan Abî Dâwud, juz II, hal. 229, hadits no. 2085, At-Tirmidzi, Sunan at-
Tirmidzi, juz III, hal. 407, hadits no. 1101, dan Ibnu Majah, Sunan ibn Mâjah,
juz III, hal. 78, hadits no. 1880).
Dari ‘Aisyah radhiyallâhu anhâ, bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi
wasallam pernah bersabda:
2. 2
“Wanita mana pun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah
batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal.” (Hadist Riwayat Ahmad
bin hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal,, juz VI, hal. 66, hadits no. 24417 dan
At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, juz II, hal. 407, hadits no. 1102)
Dan keberadaan wali dalam akad nikah, merupakan salah satu
pembeda antara nikah yang sah dengan transaksi prostitusi. Dalam transaksi
zina, seorang WTS menikahkan dirinya sendiri tanpa wali, sementara harga
bercinta dengannya menjadi mahar baginya.
Kedua, tidak semua orang menjadi wali.
Allah menghargai hubungan kekeluargaan manusia. Karena itu,
kelurga lebih berhak untuk mengatur dari pada orang lain yang bukan
kerabat.
Allah berfirman,
“Orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih
berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab
Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Anfâl/8:
75)
Bagian dari hak ’mengatur’ itu adalah hak perwalian. Karena itu,
kerabat lebih berhak menjadi wali dibandingkan yang bukan kerabat. Lebih
dari itu, kerabat yang berhak menjadi wali juga ada urutannya. Sehingga
orang yang lebih dekat dengan wanita, dia lebih berhak untuk menjadi wali
bagi si wanita itu.
Urutan kerabat ayah yang berhak menjadi wali nikah, dijelaskan Al-
Buhuti berikut,
3. 3
“Lebih didahulukan bapak si wanita (pengantin putri) untuk menikahkannya.
Karena bapak adalah orang yang paling paham dan paling menyayangi
putrinya. Setelah itu, penerima wasiat dari bapaknya (mewakili bapaknya),
karena posisinya sebagaimana bapaknya. Setelah itu, kakek dari bapak ke atas,
dengan mendahulukan yang paling dekat, karena wanita ini masih
keturunannya, dalam posisi ini (kakek) disamakan dengan bapaknya. Setelah
kakek adalah anak si wanita (jika janda), kemudian cucunya, dan seterusnya
ke bawah, dengan mendahulukan yang paling dekat.” (Ar-Raudhul Murbi’,
hal. 1/100)
Dan tidak boleh kerabat yang lebih jauh menjadi wali nikah sementara
masiha ada kerabat yang lebih dekat. Karena semacam ini sama halnya dengan
merampas hak perwalian, sehingga nikahnya tidak sah.
Al-Buhuti mengatakan,
“Jika wali yang lebih jauh menikahkannya, atau orang lain menjadi walinya,
meskipun dia hakim (pejabat KUA), sementara tidak ada izin dari wali yang
lebih dekat maka nikahnya tidak sah, karena tidak perwalian ketika proses
akad, sementara orang yang lebih berhak (untuk jadi wali) masih ada.” (Ar-
Raudhul Murbi’, 1/10)
Ketiga, kapan wali hakim berperan?
Dalam hadits dari A’isyah radhiyallâhu ‘anhâ, Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika terjadi sengketa antara mereka, maka penguasa menjadi wali untuk orang
yang tidak memiliki wali.” (Hadits Riwayat Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad
ibn Hanbal, juz VI, hal. 47, hadits no. 24251 dan At-Tirmidzi, Sunan at-
Tirmidzi, juz III, hal. 407, hadits no.1102)
Dr. Ahmad Rayan mengatakan,
”Penguasa punya hak untuk menikahkan, namun setelah tidak adanya wali
khusus (kerabat).” (Fiqih Usrah, hlm. 115).
4. 4
Berdasarkan hadits dan keterangan di atas, maka penguasa, dalam hal
ini pejabat negara yang bertugas mengurusi pernikahan, berhak menjadi wali
nikah, jika wali khusus, yaitu kerabat tidak ada yang memenuhi syarat.
Sebagai contoh, anak dari hasil hubungan zina tidak memiliki bapak
nasab. Bapak biologis bukanlah bapaknya. Karena itu, tidak boleh dinasabkan
ke bapak biologisnya. Dengan demikian, dia tidak memiliki keluarga dari pihak
bapak. Siapakah wali nikahnya? Jika pengantin wanita tidak memiliki anak,
wali nikahnya adalah hakim.
Selanjutnya, Siapa Wali Hakim itu?
Dalam hadits A’isyah di atas, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam
menyebut wali hakim dengan Sulthân [arab: ], yang artinya penguasa.
Ibnu Qudamah mengatakan,
“Sulthân dalam perwalian nikah adalah pemimpin, hakim atau orang yang
dipasrahi untuk menangani masalah pernikahan.” (Al-Mughni, 7/17).
Di negara kita, pemerintah telah membentuk KUA sebagai petugas
resmi yang menangani masalah pernikahan. Sehingga dalam hal ini, pejabat
resmi KUA merupakan hakim yang berhak menjadi wali pernikahan, ketika
wali kerabat tidak ada, atau terjadi sengketa.
Dengan demikian, siapa pun yang TIDAK berstatus sebagai pejabat
resmi KUA atau yang sepadan dengannya dalam hirarki pemerintahan, dia
tidak bisa disebut sebagai wali hakim.
Kiyai, Ustad, guru ngaji, apalagi teman, tidak bisa disebut wali hakim.
Termasuk juga pejabat KUA yang datang atas nama pribadi, bukan atas nama
instansi, TIDAK bisa disebut sebagai wali hakim. Karena yang berstatus sebagai
wali hakim adalah pejabat terkait yang datang resmi atas nama LEMBAGA dan
BUKAN atas nama PRIBADI.
Jika mereka tetap nekat mengajukan diri menjadi wali, maka statusnya
wali gadungan dan tidak sah menjadi wali. Dengan demikian, pernikahan yang
dilakukan adalah pernikahan tanpa wali dan itu statusnya tidak sah.
Pertanyaan yang Unik!
Berdasarkan keterangan di atas, seseorang TIDAK mungkin bisa
menikah dengan wali hakim, kecuali pernikahan yang resmi dan tercatat.
Artinya, TIDAK mungkin ada orang yang melakukan nikah siri dengan wali
hakim.
5. 5
Karena itu, ada bagian yang unik dari pertanyaan di atas, yaitu kalimat,
”nikah sirih dengan wali hakim”. Ini kalimat yang bertentangan, karena yang
namanya nikah siri pasti tidak tercatat, dan tidak mungkin dilakukan dengan
wali hakim.
Sehingga bisa dipastikan, wali hakim yang disebutkan dalam
pertanyaan BUKAN petugas resmi KUA, atau dengan kata lain ‘wali gadungan’.
Dan, yang tidak kalah penting dari itu semua, pihak-pihak yang
berinisiatif menjadi dan menjadikan ‘wali gadungan’ itu bisa ‘dipidanakan’,
kalau pihak yang merasa dirugikan, misalnya kedua orang-tua mempelai
wanita itu, melaporkan ke pihak (yang) berwajib.
Wallâhu A’lamu bish-Shawâb.
Yogyakarta, Jumat – 25 Maret 2016
(Dikutip dan diselaraskan dari https://konsultasisyariah.com/21785-
siapakah-wali-hakim-dalam-nikah.html)