Dokumen tersebut membahas tentang adab bertamu dan menerima tamu dalam Islam. Beberapa poin pentingnya adalah memilih waktu yang tepat untuk bertamu, meminta izin kepada tuan rumah, mengenalkan diri, menyebutkan keperluan, tidak membebani tuan rumah, serta mendoakan tuan rumah.
1. ADAB BERTAMU DAN MENERIMA
TAMU
Oleh :
1.Acika Chaerunnissa (01)
2.Bunga Dahlia (07)
3.Istiqomah (21)
4.Nandha Zulyana Eka Saputri (24)
5.Rika Dewi Rosalia (29)
6.Siti Kharrisotun Nisa (36)
2. PENGERTIAN BERTAMU
Bertamu adalah salah satu cara untuk menyambung tali persahabatan yang
dianjurkan oleh Islam. Islam memberi kebebasan untuk umatnya dalam
bertamu. Tata krama dalam bertamu harus tetap dijaga agar tujuan bertamu itu
dapat tercapai. Apabila tata krama ini dilanggar maka tujuan bertamu justru
akan menjadi rusak, yakni merenggangnya hubungan persaudaraan. Islam telah
memberi bimbingan dalam bertamu, yaitu jangan bertamu pada tiga waktu
aurat.
Yang dimaksud dengan tiga waktu aurat ialah sehabis zuhur, sesudah isya’,
dan sebelum subuh. Allah SWT berfirman
yang artinya: “hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki
dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara
kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum
sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari
dan sesudah sembahyang Isya’.(Itulah) tiga ‘aurat bagi kamu. Tidak ada dosa
atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka
melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang
lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS An Nur : 58)
3. ADAB BERTAMU DALAM ISLAM
1. Memilih Waktu Berkunjung
Hendaknya bagi orang yang ingin bertamu
memilih waktu yang tepat untuk bertamu.
Karena waktu yang kurang tepat terkadang bisa
menimbulkan perasaan yang kurang enak bagi
tuan rumah bahkan terkadang mengganggunya.
Dikatakan oleh sahabat Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu,
“Rasulullah tidak pernah mengetuk pintu pada
keluarganya pada waktu malam. Beliau
biasanya datang kepada mereka pada waktu
pagi atau sore.” (HR. al-Bukhari no. 1706 dan
Muslim no. 1928)
4. 2. Meminta Izin kepada Tuan Rumah
Hal ini merupakan pengamalan dari perintah Allah subhanahu wa ta’ala di
dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang
bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada
penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu selalu
ingat.” (An-Nur: 27)
Di antara hikmah yang terkandung di dalam permintaan izin adalah untuk
menjaga pandangan mata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Meminta izin itu dijadikan suatu kewajiban karena untuk menjaga
pandangan mata.” (HR. al-Bukhari no.5887 dan Muslim no. 2156 dari
sahabat Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu)
Rumah itu seperti penutup aurat bagi segala sesuatu yang ada di dalamnya
sebagaimana pakaian sebagai penutup aurat bagi tubuh. Jika seorang tamu
meminta izin terlebih dahulu kepada penghuni rumah, maka ada
kesempatan bagi penghuni rumah untuk mempersiapkan kondisi di dalam
rumahnya. Di antara mudharat yang timbul jika seseorang tidak minta izin
kepada penghuni rumah adalah bahwa hal itu akan menimbulkan
kecurigaan dari tuan rumah, bahkan bisa-bisa dia dituduh sebagai pencuri,
perampok, atau yang semisalnya, karena masuk rumah orang lain secara
diam-diam merupakan tanda kejelekan. Oleh karena itu, Allah subhanahu
wa ta’ala melarang kaum mukminin untuk memasuki rumah orang lain
tanpa seizin penghuninya. (Lihat Taisirul Karimir Rahman)
5. Adapun tata cara meminta izin adalah
sebagai berikut:
a. Mengucapkan salam
Seseorang yang bertamu diperintahkan untuk
mengucapkan salam terlebih dahulu, sebagaimana
ayat 27 dari surah An-Nur di atas. Pernah salah
seorang sahabat dari Bani ‘Amir meminta izin
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang ketika itu sedang berada di rumahnya. Orang
tersebut mengatakan, “Bolehkah saya masuk?” Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
memerintahkan pembantunya dengan sabdanya,
“Keluarlah, ajari orang itu tata cara meminta izin,
katakan kepadanya, “Assalamu ‘alaikum, bolehkah
saya masuk?” Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam tersebut didengar oleh orang tadi, maka
dia mengatakan, “Assalamu ‘alaikum, bolehkah saya
masuk?” Akhirnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun mempersilakannya untuk masuk ke
rumah beliau. (HR. Abu Dawud no. 5177)
6. b. Meminta izin sebanyak tiga kali
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Meminta izin itu tiga kali, jika diizinkan maka masuklah,
jika tidak, maka pulanglah.” (HR. al-Bukhari no. 5891
dan Muslim no. 2153 dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri
radhiyallahu ‘anhu)
Hadits tersebut memberikan bimbingan kepada kita
bahwa batasan akhir meminta izin itu tiga kali. Jika
penghuni rumah mempersilahkan masuk maka masuklah,
jika tidak ada jawaban atau keberatan untuk menemui
pada waktu itu maka pulanglah. Yang demikian itu bukan
suatu aib bagi penghuni rumah tersebut dan bukan celaan
bagi orang yang hendak bertamu, jika alasan penolakan
itu dibenarkan oleh syariat. Bahkan merupakan
penerapan dari firman Allah subhanahu wa ta’ala (yang
artinya):
“Jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya,
maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat
izin. Dan jika dikatakan kepadamu, “Kembalilah, maka
hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (An-
Nur: 28)
7. c. Jangan mengintip ke dalam rumah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Barang
siapa mengintip ke dalam rumah suatu kaum tanpa izin mereka,
maka sungguh telah halal bagi mereka untuk mencungkil matanya.”
(HR. Muslim no. 2158 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu)
Dalam hadits ini, terdapat ancaman keras dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi seseorang yang bertamu dengan
mengintip atau melongok ke dalam rumah yang ingin dikunjungi.
Maka bagi tuan rumah berhak untuk mengamalkan hadits ini
ketika ada seseorang yang berbuat demikian tanpa harus memberi
peringatan terlebih dahulu pada seseorang tersebut dan tidak ada
baginya keharusan untuk membayar diyat (harta tebusan) ataupun
qishash (hukuman balas) terhadap apa yang dia lakukan terhadap
orang tersebut.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Hibban dan yang lainnya juga dari
sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa melongok ke dalam rumah suatu kaum tanpa izin
mereka, maka mereka boleh mencungkil matanya, tanpa harus
membayar diyat dan tanpa qishash.” (Lihat Syarh Shahih Muslim
dan Fathul Bari)
8. 3. Mengenalkan Diri
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menceritakan tentang kisah Isra` Mi’raj, beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kemudian
Jibril naik ke langit dunia dan meminta izin untuk
dibukakan pintu langit. Jibril ditanya, “Siapa anda?”
Jibril menjawab, “Jibril.” Kemudian ditanya lagi,
“Siapa yang bersama anda?” Jibril menjawab,
“Muhammad.” Kemudian Jibril naik ke langit kedua,
ketiga, keempat, dan seterusnya di setiap pintu langit,
Jibril ditanya, “Siapa anda?” Jibril menjawab,
“Jibril.” (Muttafaqun ‘alaihi)
9. 4. Menyebutkan Keperluannya
Di antara adab seorang tamu adalah
menyebutkan urusan atau keperluan dia kepada
tuan rumah supaya tuan rumah lebih perhatian
dan menyiapkan diri ke arah tujuan kunjungan
tersebut, serta dapat mempertimbangkan
dengan waktu dan keperluannya sendiri. Hal ini
sebagaimana kisah para malaikat yang bertamu
kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
“Ibrahim bertanya, “Apakah urusanmu wahai
para utusan?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya
kami diutus kepada kaum yang berdosa.” (Adz-
Dzariyat: 32)
10. 5. Memintakan izin untuk tamu yang tidak diundang.
Jika bertamu dalam rangka memenuhi undangan, namun ada orang lain yang
tidak diundang ikut bersamanya, maka hendaknya mengabarkan kepada tuan
rumah dan memintakan izin untuknya. Hal ini pernah dialami oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana kisah sahabat Abu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu,
“Di kalangan kaum Anshar ada seseorang yang dikenal dengan panggilan Abu
Syu’aib. Dia mempunyai seorang budak penjual daging. Abu Syu’aib berkata
kepadanya, “Buatlah makanan untukku, aku akan mengundang Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama empat orang lainnya. Maka dia pun
mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama empat orang
lainnya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang bersama 4 orang
lainnya, ternyata ada seorang lagi yang mengikuti mereka, maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya anda mengundang kami
berlima, dan orang ini telah mengikuti kami, jikalau anda berkenan anda dapat
mengizinkannya dan jika tidak anda dapat menolaknya.” Maka Abu Syu’aib
berkata, “Ya, saya mengizinkannya.”
(HR. al-Bukhari no. 5118 dan Muslim no. 2036)
11. 6. Tidak Memberatkan Tuan Rumah dan Segera Kembali
ketika Urusannya Selesai.
Bagi seorang tamu hendaknya berusaha tidak membuat repot
atau menyusahkan tuan rumah dan segera kembali ketika
urusannya selesai. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang
artinya):
“…tetapi jika kalian diundang maka masuklah, dan bila telah
selesai makan kembalilah tanpa memperbanyak percakapan…”
(Al-Ahzab: 53)
Disebutkan oleh para ulama bahwa perjamuan yang wajib
dilakukan tuan rumah kepada tamu hanya satu hari satu
malam (24 jam). Jamuan tiga hari berikutnya hukumnya
mustahab (sunnah) dan lebih utama. Adapun jika lebih dari itu
maka sebagai sedekah. Maka dari itu, bagi tamu yang
menginap kalau sudah lewat dari tiga hari hendaknya
meminta izin kepada tuan rumah. Kalau tuan rumah
mengizinkan atau menahan dirinya maka tidak mengapa bagi
si tamu tetap tinggal, dan jika sebaliknya maka wajib bagi si
tamu untuk pergi. Karena keberadaan si tamu yang lebih dari
tiga hari itu bisa mengakibatkan tuan rumah terjatuh dalam
perbuatan ghibah, atau berniat untuk menyakitinya atau
berburuk sangka. (Lihat Syarh Shahih Muslim)
12. 7. Mendoakan Tuan Rumah
Hendaknya seorang tamu mendoakan tuan
rumah atas jamuan yang dihidangkan
kepadanya. Di antara doa yang diajarkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu:
مْ䍀 هُْم مْ䍀 حَْم رْ䍀 وا اَْم ماْ䍀 هُْم لَْم ارْ䍀 فِْرغْ䍀 واَْم ماْ䍀 هُْم تَْمقْ䍀زَْم رَْم م ااَْم ياْ䍀 فِْر ماْ䍀 هُْم لَْم اكْ䍀 رِْر ب اَْم ماّ َبهُْم َلّ َبلا
“Ya Allah berikanlah barakah untuk mereka
pada apa yang telah Engkau berikan rizki
kepada mereka, ampunilah mereka, dan
rahmatilah mereka.” (HR. Muslim no. 2042 dari
sahabat Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu)
13. ADAB MENERIMA TAMU DALAM
ISLAM
a. Kewajiban Menerima Tamu
Sebagai agama yang sempurna, Islam juga memberi
tuntunan bagi umatnya dalam menerima tamu.
Demikian pentingnya masalah ini (menerima tamu)
sehingga Rasulullah SAW menjadikannya sebagai
ukuran kesempurnaan iman. Artinya, salah satu
tolak ukur kesempurnaan iman seseorang ialah sikap
dalam menerima tamu. Sabda Rasulullah SAW:
ها )رواهاُْم فَْميْ䍀ضَْم ماْ䍀 رِْر كْ䍀 يُْملْ䍀 افَْم راِْر خِْر الَْم ما اِْروْ䍀 يَْملْ䍀اوَْم هللاِْر ب اا اِْر ناُْم مِْر ؤْ䍀 يُْم ناَْم اَْمكَْم ناْ䍀 مَْم
)البخ ارى
Artinya: “Barang siapa beriman kepada Allah dan
hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya.”(HR
Bukhari)
14. . Contoh Menerima Tamu
1. Berpakaian yang pantas
Sebagaimana orang yang bertamu, tuan rumah hendaknya
mengenakan pakaian yang pantas pula dalam menerima
kedatangan tamunya. Berpakaian pantas dalam menerima
kedatangan tamu berarti menghormati tamu dan dirinya
sendiri. Islam menghargai kepada seorang yang berpakain
rapi, bersih dan sopan. Rasulullah SAW bersabda yang
artinya: “ Makan dan Minumlah kamu, bersedekah kamu
dan berpakaianlah kamu, tetapi tidak dengan sombong
dan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah amat senang
melihat bekas nikmatnya pada hambanya.” (HR Baihaqi)
2. Menerima tamu dengan sikap yang baik
Tuan rumah hendaknya menerima kedatangan tamu
dengan sikap yang baik, misalnya dengann wajah yang
cerah, muka senyum dan sebagainya. Sekali-kali jangan
acuh, apalagi memalingkan muka dan tidak mau
memandangnya secara wajar. Memalingkan muka atau
tidak melihat kepada tamu berarti suatu sikap sombong
yang harus dijauhi sejauh-jauhnya.
15.
3. Menjamu tamu sesuai kemampuan
Termasuk salah satu cara menghormati tamu ialah
memberi jamuan kepadanya.
4. Tidak perlu mengada-adakan
Kewajiban menjamu tamu yang ditentukan oleh
Islam hanyalah sebatas kemampuan tuan rumah.
Oleh sebab itu, tuan rumah tidak perlu terlalu repot
dalam menjamu tamunya. Bagi tuan rumah yang
mampu hendaknya menyediakan jamuan yang
pantas, sedangkan bagi yang kurang mampu
hendaknya menyesuaikan kesanggupannya. Jika
hanya mampu memberi air putih maka air putih
itulah yang disuguhkan. Apabila air putih tidak ada,
cukuplah menjamu tamunya dengan senyum dan
sikap yang ramah.
16.
5. Lama waktu
Sesuai dengan hak tamu, kewajiban memuliakan
tamu adalah tiga hari, termasuk hari istimewanya.
Selebihnya dari waktu itu adalah sedekah baginya.
Sabda Rasulullah SAW:
(عليه )متفق هِ ) يِْهلَْيعَْي ةُ ع قَْيدَْيصَْي وَْي هُ ع فَْي كَْي لِ )لاذَْي ءَْي رلاَْي وَْي نَْي كناَْي مناَْي فَْي مٍ َيناٍّمالاَْي ةُ ع ثَْيالَْي ثَْي ةُ ع فَْييناَْيِضَّي لالَْي
Artinya: “ Menghormati tamu itu sampai tiga hari.
Adapun selebihnya adalah merupakan sedekah
baginya.” (HR Muttafaqu Alaihi)
6. Antarkan sampai ke pintu halaman jika tamu
pulang
Salah satu cara terpuji yang dapat menyenangkan
tamu adalah apabila tuan rumah mengantarkan
tamunya sampai ke pintu halaman. Tamu akan
merasa lebih semangat karena merasa dihormati
tuan rumah dan kehadirannya diterima dengan baik.
17. Hikmah dan Tujuan Menerima Tamu
Hikmah dan Tujuan Bertamu yaitu mempererat
tali silaturrahim dan semangat kebersamaaan
antar sesama manusia.