Similar to (SKRIPSI) PENDIDIKAN FORMAL DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT NELAYAN SUKU BAJO DI KELURAHAN BAJOE KECAMATAN TANETE RIATTANG TIMUR KABUPATEN BONE (20)
(SKRIPSI) PENDIDIKAN FORMAL DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT NELAYAN SUKU BAJO DI KELURAHAN BAJOE KECAMATAN TANETE RIATTANG TIMUR KABUPATEN BONE
1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah salah satu aspek yang penting dalam suatu
negara yang dibutuhkan untuk meningkatkan serta memajukan suatu negara.
Selain itu, pendidikan dapat diartikan aspek penentu intelektualitas dan
sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang berkualitas dapat
diperoleh dari pendidikan yang berkualitas, sehingga secara tidak langsung
pendidikan juga dapat menentukan kesejahteraan masyarakat. Pendidikan
menjadi salah satu bagian penting seharusnya menjadi perhatian dalam
sebuah masyarakat, tidak terkecuali pada masyarakat pesisir, namun faktanya
sangat berbeda. Terbukti dengan tingkat pendidikan masyarakat pesisir yang
rendah. Rata-rata tingkat pendidikan masyarakat pesisir berhenti sampai batas
SD dan hanya sedikit yang mengenyam pendidikan sampai tingkat SMP (Ali,
2017).
Lemahnya akses pendidikan masyarakat merupakan bentuk
keterpinggiran yang sangat dirasakan, karena perhatian pemerintah yang
kurang, juga dari masyarakat sendiri dimana orang tua mereka kurang
memotivasi anak-anaknya untuk sekolah (Suardika dalam Ali, 2017).
Begitupun yang di sampaikan oleh Elisa (2013) mengungkapkan bahwa,
kesenjangannya sampai hari ini adalah masih saja ditemukan kelompok
masyarakat yang miskonsepsi terhadap pendidikan sekolah, bahkan
mayoritas dari mereka berpandangan bahwa orang masih bisa menjadi yang
2. 2
lebih baik tanpa pendidikan formal. Asumsi ini diperkuat dengan alasan
bahwa orang bersekolah hanya ingin mencari gelar yang kemudian dapat
memudahkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang
layak. Persepsi miring seperti inilah yang diduga menjadi dalang dari
rendahnya keinginan atau partisipasi mereka di dalam dunia pendidikan
formal.
Salah satu suku bangsa yang sangat terkenal sebagai pendukung
kebudayaan maritim dengan pendidikan yang rendah yaitu Suku Bajo
(Bajau). Pada beberapa literatur bahkan Suku Bajo di identifikasikan dengan
berbagai julukan di antaranya sebagai manusia perahu atau sea gypsy. Suku
Bajo banyak ditemukan di perairan selat Makassar, Teluk Bone, daerah Nusa
Tenggara Timur, Kepulauan Banggai, Teluk Tomini, Maluku Utara dan
peraian Laut Sulawesi (Suryanegara, 2015). Suku Bajo memiliki hubungan
yang sangat erat dengan laut sebagai mata pencaharian pokok mereka,.
Dalam kehidupan Suku Bajo ada sejumlah aturan-aturan atau pantangan
khusus yang harus ditaati oleh setiap nelayan pada saat melaut. Aturan atau
pantangan yang dimaksud berupa hal-hal yang tidak dapat dilakukan antara
lain tidak boleh membuang ke laut seperti air cucian beras/teripang, arang
kayu bekas memasak, ampas kopi, air cabe, air jahe, kulit jeruk, air perasan
jeruk, abu dapur dan puntung/abu rokok. Pantangan-pantangan tersebut bagi
orang Bajo diyakini akan menyebabkan datangnya malapetaka apabila aturan
atau pantangan ini dilanggar maka hasil yang diperoleh akan berkurang atau
bahkan tidak ada sama sekali (Artanto, 2017).
3. 3
Selain itu Uniawati (2011) juga menyampaikan bahwa melaut juga
merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat Bajo untuk
menunjukkan kepedulian terhadap tradisi nenek moyang mereka. Tindakan
itu merupakan bentuk penghargaan kepada para pendahulunya. Jadi, mitos
dan aktivitas melaut masyarakat Bajo dijadikan bentuk pembuktian eksistensi
diri mereka. Tradisi nelayan Suku Bajo hingga sekarang masih ada yang tetap
mempertahankan tradisi nenek moyang mereka dengan bertempat tinggal di
atas perahu. Disamping itu, seiring meningkatnya jumlah Suku Bajo yang
mendirikan rumah di tepian pantai dan mulai menetap, jumlah Suku Bajo
yang menggantungkan hidupnya di perahu-perahu kayu pun mulai berkurang.
Hal ini merupakan suatu realitas baru, dimana perkembangan ini membawa
perubahan-perubahan secara sosial dan budaya pada kehidupan nelayan Suku
Bajo yang sebelumnya sudah hidup di atas air selama berabad-abad
(Suryanegara, 2015).
Suku Bajo di kampung Bajo Kabupaten Bone memiliki keunikan
karena hanya berfokus mencari rezeki di laut saja dengan tumpuan
mendapatkan ikan atau hasil laut lainnya dalam rangka memenuhi
kebutuhannya. Suku Bajo menolak cara hidup di darat karena tidak punya
pengetahuan dan pegalaman seperti bertani, berkebun, dan berternak dengan
alasan psikologis, ekonomis, keterampilan, dan mitos kepercayaan dari nenek
moyang mereka. Kalau di darat mereka harus menunggu hasil usahanya
dalam waktu yang cukup lama, mereka tidak dapat bersabar dan lebih betah
di laut, karena usahanya hari ini dapat dinikmati hasilnya pada hari ini juga.
Kelurahan Bajoe menjadi tempat satu satunya sebagai pemukiman permanen.
4. 4
Dalam melaksanakan aktivitas sebagai nelayan. Suku Bajo di kampung Bajo
menggunakan perahu sebagai alat utama dalam kegiatan penangkapan ikan
(Abdullah, 2014). Di era ini, pendidikan belum meliputi ke semua lapisan
masyarakat. Sejak kecil anak-anak mereka sudah dikenalkan dengan
kehidupan laut dan pekerjaan sebagai nelayan. Mulanya mereka, terutama
anak laki-laki, diajak melaut untuk membantu orang tua untuk menangkap
ikan dan biota laut lainnya. Kemudian mereka mulai bekerja ikut orang tua
atau nelayan lain dan selanjutnya sebagai nelayan mandiri (Poedjowibowo,
2018).
Dalam segi pendidikan, anak-anak Kampung Bajo hanya tertarik dan
mendominasi Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Bajoe tiga tahun terakhir
dari 167 siswa, terdiri 133 siswa dari Suku Bajo (80%), selebihnya: 34 siswa
dari Suku Bugis (20%). Karena Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) satu-
satunya madrasah yang sangat dekat dengan perkampungan suku Bajo.
Demikian juga yang tamat tiga tahun terakhir mencapai 75% dari siswa Suku
Bajo. Selama tiga tahun (2010-2013) ada 59 anak-anak kampung suku Bajo
yang tamat di Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS), namun yang lanjut ke
Madrasah Tsanawiyah (MTs) hanya 9 orang yang melanjutkan ke Madrasah
Aliyah (MA) hanya 6 orang, itupun pada umumnya tidak tamat, belum ada
yang sarjana karena seringnya ikut mencari rezeki di laut. Berhenti sebelum
tamat menurut Hj. ST Narwiah (Kepala Madrasah Ibtidaiyah Swasta Bajoe)
“menjadi kebiasaan anak-anak Suku Bajo sekian lama, yang dipentingkan
adalah mampu membaca, menulis dan berhitung sudah cukup baginya,
karena mereka tidak berharap lebih dari itu, di samping alasan tidak punya
5. 5
biaya, juga desakan orang tua agar anak anak segera meringankan beban
mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan pokoknya”. Demikian juga, di
Madrasah Aliyah Negeri (MAN) II Watampone dengan jumlah peserta didik
360 orang 11 di antaranya anak-anak Suku Bajo, SMA 5 Bajoe dengan
jumlah peserta didik 662 orang hanya 17 orang Suku Bajo (2,56%). Jumlah
usia SMA/MA pada Suku Bajo adalah 196 orang, namun yang memberikan
partisipasinya sebanyak 34 orang, yang tidak sekolah 162 orang karena
menjadi tulang punggung keluarga dalam mencari rezeki di laut (Abdullah,
2014).
Kelurahan Bajoe sendiri terdiri atas 6 Lingkungan, yakni
Appasareng, Rompe, Maccedde, Bajo, Pao dan Tengnge dengan jumlah
penduduk Lingkungan Bajo sebanyak 1.288 jiwa (Data Kantor Kelurahan
Bajoe, 2017). Berdasarkan observasi awal penulis: tingkat pendidikan pada
anak nelayan Suku Bajo di Kampung Bajo hanya sebagian besar sampai
tamat SD dan SMP, padahal usia/umur mereka sudah layak untuk sekolah
dan melanjutkan ketingkat menengah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(BPS, Tahun 2018) Kecamatan Tanete Riattang Timur Kabupaten Bone
menunjukkan bahwa jumlah anak se-Kelurahan Bajoe yang sekolah ditingkat
tingkat SMP hanya 269 siswa. Selain itu, dari hasil observasi awal juga rata-
rata pendidikan terakhir nelayan Suku Bajo hanya sampai ditingkat sekolah
dasar saja. Bagi mereka untuk menjadi nelayan tidak membutuhkan
pendidikan yang tinggi sehingga mereka beranggapan hanya sampai di
tingkat SD saja itu cukup baik. Kondisi ini menandakan masyarakat Suku
Bajo memiliki partisipasi yang rendah dibidang pendidikan dan
6. 6
memungkinkan akan mempengaruhi tingkat partisipasi pendidikan bagi anak
- anak mereka. Masalah inilah yang kemudian terjadi utamanya di Suku Bajo
di Kabupaten Bone ini. Oleh karenanya peneliti tertarik untuk mengkaji dan
meneliti tentang “Pendidikan Formal Anak Dalam Perspektif Nelayan
Suku Bajo di Kampung Bajo, Kelurahan Bajoe Kecamatan Tanete
Riattang Timur Kabupaten Bone”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah
yang dapat dibuat adalah :
1. Bagaimana pendidikan anak dalam perspektif masyarakat nelayan di
kampung Bajo Kelurahan Bajoe?
2. Apa yang menjadi faktor penyebab minimnya pendidikan anak nelayan
di kampung Bajo Kelurahan Bajoe?
3. Upaya-upaya seperti apa yang ditempuh dalam meningkatkan
pendidikan anak masyarakat nelayan suku Bajo diwilayah tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui bagaimana pendidikan anak dalam perspektif
masyarakat nelayan di kampung Bajo diKelurahan Bajoe
2. Untuk mengetahui faktor penyebab minimnya pendidikan anak di pada
masyarakat nelayan di kampung Bajo diKelurahan Bajoe
7. 7
3. Untuk mengetahui upaya yang ditempuh dalam meningkatkan
pendidikan anak masyarakat nelayan suku Bajo diwilayah tersebut
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan melalui penelitian ini, yaitu:
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai
tingkat pendidikan formal anak-anak nelayan Suku Bajo
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan atau acuan bagi
pemerintah untuk memperhatikan tentang kualitas pendidikan
formal anak-anak nelayan Suku Bajo
b. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat diharapkan menjadi pembelajaran dan
sebagai penunjang bagi peneliti selanjutnya yang meneliti tema
yang sama.
8. 8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Masyarakat Nelayan
Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan. Dalam perstatistikan perikanan umum, nelayan adalah
orang yang secara aktif melakukan operasi penangkapan ikan di perairan
umum, orang yang melakukan seperti pembuat jaring (Nisa, 2016).
Sedangkan (Mulyadi dalam Rini, 2017) nelayan adalah suatu kelompok
masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik
dengan cara melakukan penangkapan ataupun budi daya. Mereka pada
umumnya tinggal dipinggir pantai, sebuah pemukiman yang dekat dengan
lokasi kegiatannya.
Dalam perspektif antropologis, masyarakat nelayan berbeda
dengan masyarakat lain, seperti masyarakat petani, perkotaan, atau
masyarakat dataran tinggi. Perspektif antropologis ini berdasarkan pada
realitas social bahwa masyarakat nelayan memiliki pola-pola kebudayaan
yang berada di masyarakat lain sebagai hasil dari interaksi mereka dengan
lingkungan beserta sumber daya alam yang ada di dalamnya. Nelayan
dibedakan menjadi tiga kelompok yakni nelayan buruh, nelayan juragan
dan nelayan perorangan. Sumber daya nelayan dicirikan oleh pendidikan
dan keterampilan yang rendah, kemampuan manajemen terbatas (Nisa,
2016).
9. 9
Jadi dapat disimpulkan bahwa masyarakat nelayan adalah suatu
komunitas penduduk yang berfokus pada kegiatan dan produksi laut
sebagaimana memanfaatkan lingkungan laut untuk memenuhu kebutuhan
hidupnya. Selain itu, masyarakat nelayan memiliki pola interaksi yang erat
dengan lingkungannya yang sampai sekarang menjadi suatu tanda yang
masih dipertahankan. Namun, masyarakat nelayan masih rendah dalam hal
pendidikan dan keterampilan manajemen.
B. Pendidikan
Pendidikan merupakan bagian penting dalam terciptanya
kelangsungan hidup bangsa dan negara, karena dengan adanya pendidikan
akan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Secara
sederhana, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar bagi pengembangan
manusia dan masyarakat yang mendasarkan pada landasan pemikiran
tertentu sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.
Secara teknis dapat diartikan bahwa pendidikan adalah proses dimana
masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan (sekolah, perguruan
tinggi atau lembaga-lembaga lain), dengan sengaja mentransformasikan
warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-
keterampilan dari generasi ke generasi (Siswoyo dalam Rini, 2017).
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20
Tahun 2003 pasal 1 ayat 8, jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan
yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan
yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Sesuai Undang-
10. 10
Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pasal 17
disebutkan bahwa pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang
melandasi jenjang pendidikan menengah; pendidikan dasar berbentuk
sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang
sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah
tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20
Tahun 2003 pasal 18 pendidikan menengah merupakan lanjutan
pendidikan dasar; pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah
umum dan pendidikan menengah kejuruan; pendidikan menengah atas
(SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan
madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Zemudian untuk pendidikan tinggi diatur juga dalam Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pasal 19 yaitu
pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan
menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister,
spesialis, dan doktor yang diselenggarkan oleh pendidikan tinggi;
pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.
Dari uraian di atas tingkat/jenjang pendidikan formal terdiri atas
tingkat pendidikan dasar yang meliputi SD, SMP/MTs, sekolah dasar
khusus (luar biasa) dan program Kerja Paket A yang sederajat dengan SD,
Kejar Paket B yang sederajat dengan SMP; untuk tingkat pendidikan
menengah meliputi SMA/MA, SMK/MK, sekolah menengah kedinasan,
sekolah menengah luar biasa dan program Kejar Paket C yang sederajat
11. 11
dengan SMA; tingkat pendidikan tinggi terdiri atas jenjang pendidikan di
atas pendidikan menengah (Rini, 2017).
C. Persepsi
Menurut Kotler & Keller dalam Lelet (2014) menyatakan bahwa
persepsi adalah proses yang digunakan oleh individu untuk memilih,
mengorganisasi dan menginterpretasi masukan informasi guna
menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti. Berdasarkan beberapa
pendapat di atas, persepsi merupakan suatu proses dimana individu
menerima rangsang dan memberikan pandangan terhadap suatu masalah
dari hasil mengamati, menginterpretasi dan mengorganisasi rangsangan
yang diterima.
Menurut Sunaryo (2004), terdapat dua macam persepsi, yaitu (1)
external perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsang
yang datang dari luar diri individu dan (2) self-perception, yaitu persepsi
yang terjadi karena adanya rangsang yang berasal dari dalam diri
individu dalam hal ini yang menjadi obyek adalah dirinya sendiri.
Adapun indikator dari persepsi yaitu pandangan, tanggapan dan perasaan.
Persepsi dapat terjadi ketika memenuhi beberapa syarat, yaitu adanya
objek yang dipersepsi, proses perhatian terhadap objek yang di
persepsikan, adanya alat indera/reseptor, yaitu alat untuk menerima
stimulus dari objek tersebut dan syaraf sensor otak merespon dan
mengendalikan perilaku. Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan
stimulus ke otak, yang kemudian sebagai alat untuk mengadakan respon.
12. 12
1. Faktor-faktor yang Memengaruhi Persepsi
Menurut Sarwono (2016) faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi
yaitu:
a. Fisiologis
Fisiologis adalah faktor secara alat indera yang menerima
rangsangan atau stimulus. Informasi tersebut diterima oleh alat
indera lalu diterjemahkan menjadi informasi dalam kognitif
individu yang selanjutnya menerjemahkan dan meresponnya.
b. Perhatian
Perhatian adalah tingkat proses perhatian yang diberikan individu
terhadap objek tertentu. Semakin besar perhatian individu maka
semakin besar pula tingkat persepsi dan informasi yang
didapatkan.
c. Minat
Minat individu terhadap stimulus yang dipersepsikan
mempengaruhi proses persepsi. Semakin besar minat individu
berpengaruh pula mempengaruhi peluang menpersepsikan stimulus
tersebut.
d. Kebutuhan
Kebutuhan individu mengelola informasi yang diterima akan
mempengaruhi proses persepsi.
e. Pengalaman
Pengalaman individu berpengaruh pula pada proses persepsi. Jika
pengalaman individu tersebut positif maka persepsinya juga positif
13. 13
begitu juga jika pengalaman individu tersebut positif maka
persepsinya juga positif begitu.
D. Faktor – Faktor Pendidikan Formal
1. Motivasi
Motivasi menurut Sumadi Suryabrata adalah keadaan yang
terdapat dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan
aktivitas tertentu guna pencapaian suatu tujuan. Sementara itu Gates
dan kawan-kawan mengemukakan bahwa motivasi adalah suatu
kondisi fisiologis dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang
yang mengatur tindakannya dengan cara tertentu (Djali dalam Mukhlis,
2011). Motivasi berprestasi merupakan salah satu faktor yang ikut
menentukan keberhasilan dalam belajar. besar kecilnya pengaruh
tersebut tergantung pada intensitasnya. Klausmeier menyatakan bahwa
perbedaan dalam intensitas motivasi berprestasi ditunjukkan dalam
berbagai tingkatan prestasi yang dicapai oleh berbagai individu.
Semakin besar motivasi seseorang untuk terus berprestasi, maka dia
akan terus mencoba menggapai pendidikan mereka ke jejang yang
lebih tinggi (Djali dalam Mukhlis, 2011).
Bentuk motivasi pendidikan yang terdapat pada individu dapat kita
lihat dari beberapa hal, antara lain :
a. Keinginan untuk menempuh pendidikan
Keinginan untuk menempuh pendidikan merupakan modal
awal bagi seseorang untuk terus menempuh pendidikan. Tidak
14. 14
adanya unsur terpaksa pada anak untuk bersekolah menjadikan
anak menikmati dan mengerti akan pentingnya pendidikan yang
dijalaninya. Manusia pada dasarnya memiliki keinginan untuk
memperoleh kompetensi dari lingkungannya, sehingga akan
mucul suatu suatu rasa percaya diri bahwa dia mampu untuk
melakukan sesuatu. Apabila seseorang mengetahui bahwa dia
merasa mampu terhadap apa yang dia pelajari maka dia akan
percaya diri untuk menggapai kompetensi yang ingin dia
dapatkan (Rifa’i, dalam Mukhlis, 2011)
b. Cita-cita
Hal yang dapat menjadi motivasi dan tujuan seorang anak
menjalani jenjang pendidikan mereka adalah karena adanya cita-
cita yang ingin mereka raih. Cita-cita yang terdapat pada anak
akan memberikan gambaran bagi mereka jalan mana yang harus
dia tempuh untuk dapat mewujudkannya, dan salah satu
jalannya adalah dengan menempuh pendidikan. Hal ini di
tegaskan oleh Achmad Rifa’i (2010 dalam Mukhlis, 2011)
bahwa salah satu motif seseorang melakukan kegiatan belajar
adalah untuk mengarahkan pada prilaku tertentu, dan hal ini
merupakan suatu bentuk cita-cita. Motif anak yang dibawa ke
dalam suatu situasi belajar sangat berpengaruh terhadap
bagaimana mereka belajar dan apa yang mereka pelajari.
15. 15
2. Kondisi Sosial
Kondisi sosial berarti keadaan yang berkenaan dengan
kemasyarakatan yang selalu mengalami perubahan-perubahan melalui
proses sosial. Proses sosial terjadi karena adanya interaksi sosial.
Interaksi social dapat membentuk suatu norma-norma sosial tertentu
dalam kelompok masyarakat. Hal ini ditegaskan oleh Sherif, bahwa
interaksi social antaranggota suatu kelompok dapat menimbulkan
suatu norma sosial dalam masyarakat yang berlaku dalam masyarakat
tersebut (Gerungan dalam Mukhlis , 2011).
Kondisi sosial dalam penelitian ini adalah:
a. Kondisi lingkungan keluarga
Kondisi sosial keluarga akan diwarnai oleh bagaimana
interaksi social yang terjadi diantara anggota keluarga dan
interaksi sosial dengan masyarakat lingkungannya. Interaksi
sosial di dalam keluarga biasanya didasarkan atas rasa kasih
sayang dan tanggung jawab yang diwujudkan dengan
memperhatikan orang lain, bekerja sama, saling membantu dan
saling memperdulikan termasuk terhadap masa depan anggota
keluarga, salah satunya dalam penyelenggaraan pendidikan
anak. Interaksi sosial dalam keluarga turut menentukan pula
cara-cara tingkah laku seseorang dalam pergaulan sosial di
dalam masyarakat pada umumnya (Gerungan, dalam Mukhlis,
2011).
16. 16
b. Kondisi lingkungan masyarakat
Lingkungan masyarakat dapat mempengaruhi pola
pemikiran dan norma serta pedoman yang dianut oleh seseorang
dalam suatu masyarakat, karena di dalam masyarakat terjadi
suatu proses sosialisasi. hal ini juga terdapat dalam dunia
pendidikan, seseorang yang berada di lingkungan masyarakat
yang mementingkan pendidikan maka dia juga akan terpengaruh
untuk ikut mementingkan pendidikan. begitu juga sebaliknya,
jika seseorang berada pada lingkungan masyarakat yang
menganggap pendidikan tidak penting maka dia juga dapat
terpengaruh dan ikut beranggapan bahwa pendidikan kurang
penting. Lewat proses sosialisasi, seorang individu menghayati,
mendarahdagingkan (internalize) nilai-nilai, norma dan aturan
yang dianut kelompok dimana ia hidup (Ihromi dalam Mukhlis,
2011)
3. Kondisi Ekonomi Keluarga
Ekonomi dalam dunia pendidikan memegang peranan yang
cukup menentukan. Karena tanpa ekonomi yang memadai dunia
pendidikan tidak akan bisa berjalan dengan baik. Ini menunjukkan
bahwa meskipun ekonomi bukan merupakan pemegang peranan utama
dalam pendidikan, namun keadaan ekonomi dapat membatasi kegiatan
pendidikan (Made Pidarta dalam Mukhlis, 2011) Faktor Ekonomi
keluarga banyak menentukan dalam belajar anak. Misalnya anak dalam
17. 17
keluarga mampu dapat membeli alat-alat sekolah lengkap, sebaliknya
anak-anak dari keluarga miskin tidak dapat membeli alat alat itu.
Dengan alat serba tidak lengkap inilah maka hati anak-anak menjadi
kecewa, mundur, putus asa sehingga dorongan belajar mereka kurang
(Ahmadi dalam Mukhlis, 2011)
4. Motivasi orang tua
Menurut (Slameto dalam Mukhlis, 2011), orang tua yang
kurang/tidak memperhatikan dan memberikan dorongan atau motivasi
terhadap pendidikan anaknya, misalnya acuh tak acuh terhadap belajar
anaknya, tidak memperhatikan sama sekali akan kepentingan-
kepentingan dan kebutuhan kebutuhan anaknya dalam belajar, tidak
mengatur waktu belajarnya, tidak menyediakan/melengkapi alat
belajarnya, tidak memperhatikan apakah anak belajar atau tidak, tidak
mau tau kemajuan belajar anaknya, kesulitan yang dialami dalam
belajar dan lain-lain dapat menyebabkan anak tidak/kurang berhasil
dalam belajarnya. Mungkin hasil yang didapatkan tidak memuaskan
bahkan mungkin gagal dalam studinya. Hal ini dapat terjadi pada anak
dari keluarga yang kedua orang tuanya terlalu sibuk mengurus
pekerjaan mereka atau hal yang lain. Ini menunjukkan bahwa motivasi
yang berasal dari orang tua sangatlah dibutuhkan oleh seorang anak
dalam menempuh pendidikannya.
18. 18
Motivasi pada orang tua dapat kita ketahui dari hal-hal sebagai berikut:
a. Kesadaran orang tua akan arti penting pendidikan
Arti penting pendidikan seharusnya sudah dipahami oleh
orang tua,hal ini karena dapat berpengaruh pada pendidikan anak-
anak mereka. Kesadaran orang tua yang baik akan arti penting
pendidikan akan mengarahkan anak-anak mereka untuk
menempuh jenjang pendidikan setinggi-tingginya. Kesadaran
akan tanggung jawab mendidik dan membina anak secara terus-
menerus perlu dikembangkan kepada setiap orang tua, sehingga
pendidikan yang dilakukan tidak lagi berdasarkan kebiasaan yang
dilihat dari orang tua, tetapi telah di dasari oleh teori-teori
pendidikan modern, sesuai dengan perkembangan zaman
(Hasbullah, dalam Mukhlis, 2011).
b. Tujuan orang tua menyekolahkan anak
(Munib dalam Mukhlis, 2011), mengatakan bahwa setiap
kegiatan pendidikan baik di dalam lingkungan keluarga, sekolah,
dan masyarakat tentu memiliki tujuan tertentu yang hendak
dicapai. Misalnya supaya pandai berbicara, membaca dan
menulis, berhitung dan sebagainya, bertambah cerdas, rajin, teliti,
berani dan sebagainya, bahkan ada orang tua yang mengarahkan
anak mereka untuk menjadi apa yang mereka inginkan. Tujuan
orang tua menyekolahkan anak mereka tentunya bermacam-
macam. Hal ini dapat berpengaruh pada tingkat pendidikan yang
dapat ditempuh oleh anaknya.
19. 19
c. Kesediaan orang tua menyekolahkan anak
Kesediaaan orang tua untuk menyekolahkan anaknya
merupakan syarat mutlak bagi terlaksananya pendidikan bagi
anak. Karena secara material dan moral orang tua mempengaruhi
tingkat pendidikan anak-anaknya. Seperti yang disampaikan oleh
(Hasbullah dalam Mukhlis, 2011), salah satu tanggung jawab
orang tua dan keluarga terhadap anak-anak mereka adalah
memberikan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna
bagi kehidupan anak kelak, sehingga bila ia telah dewasa akan
mampu mandiri.
E. Penelitian Relevan
Tabel 2.1 Penelitian Relevan
No. Nama Judul Metodologi Hasil Penelitian
1 Abdullah K. Persepsi Dan
Tingkat Partisipasi
Suku Bajo
Terhadap
Pedidikan Islam
Pendekatan
Kualitatif
Persepsi Suku Bajo
tentang pendidikan
Islam, dapat dilihat
dalam bentuk sikap,
motivasi, minat,
pengetahuan dan
pengalaman, kepentingan
dan harapan yang masih
negatif, rendah dan
kurang perhatian, karena
sekolah bagi mereka
merupakan gangguan
yang menyita waktunya
untuk mencari ikan di
laut. Tingkat partisipasi
suku Bajo terhadap
pendidikan Islam sangat
rendah karena budaya
yang berkonsentrasi di
laut, anak usia lima belas
tahun ke atas diikutkan
ke laut, masih kurangnya
20. 20
sosialisasi tentang
pentingnya IPTEKS,
lamban dalam berbaur,
sebagian masih miskin
dan belum ada kesadaran
untuk berubah.
2 Elisa Pendidikan Anak
Nelayan Suku
Bajo Di Desa
Saponda Laut
Kecamatan
Soropia Kabupaten
Konawe
Kualitatif
dengan
analisis
deskriptif
Tingkat pendidikan yang
mereka miliki yakni
hanya tamat SD dan SMP
sehingga berimbas pada
rendahnya tingkat
pendidikan anak di
wilayah ini. Orang tua
berpersepi bahwa
menyekolahkan anak
akan menambah beban
ekonomi sehingga lebih
baik untuk anak-anak
tersebut pergi melaut
untuk membantu orang
tuanya.
Adapun yang menjadi
faktor penyebab
minimnya pendidikan
anak di Desa Saponda
Laut yakni :
1) Kurangnya perhatian
orang tua dalam
pendidikan.
2) Kondisi ekonomi dan
pengaruh lingkungan
yang terlampau
mendesak serta
terlalu dininya anak-
anak memperoleh
penghasilan.
3) Krisis solidaritas
antara orang-orang
yang berpendidikan
dengan orang yang
non berpendidikan
yang relatif tinggi.
4) Sikap pesimis
masyarakat yang
relatif tinggi.
Sambungan Tabel 2.1 Penelitian Relevan
21. 21
5) Minimnya kerjasama
antara guru, orang
tua, tokoh
masyarakat, dan
tokoh agama di Desa
Saponda Laut.
3 Himayatun
Nisa
Persepsi
Masyarakat
Nelayan Terhadap
Pendidikan Tinggi
(Studi Kasus di
Desa Legung
Timur Kecamatan
Batang-Batang
Kabupaten
Sumenep Madura
Deskriptif
Kualitatif
Persepsi masyarakat
nelayan terhadap
pendidikan tinggi ditinjau
dari stratifikasi sosialnya,
Nelayan juragan
mengatakan pendidikan
untuk menamba wawasan
dan pengetahuan.
Nelayan perorangan
mengatakan bahwa
pendidikan tinggi itu
penting untuk
memperoleh pengalama,
mendapat pekerjaan yang
lebih terjamin bukan
hanya bergantung pada
laut. Sedangkan menurut
nelayan buruh
pendidikan itu tidak
penting karena pekerjaan
dapat diperoleh tanpa
harus lulus sarjana.
Sambungan Tabel 2.1 Penelitian Relevan
22. 22
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Dimana peneliti
melakukan pendekatan langsung dengan subjek penelitian dimana terdapat
suatu peristiwa dan peneliti menjadi instrumen kunci dalam penelitian
tersebut (Sugiyono, 2016). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih
mendalam mengenai tingkat pendidikan formal anak, persepsi dan faktor
yang mempengaruhi pendidikan formal anak di Suku Bajo. Adapun
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan studi
kasus (Case Study). Studi kasus atau case study, adalah bagian dari metode
kualitatif yang hendak mendalami suatu kasus tertentu secara lebih mendalam
dengan melibatkan pengumpulan beraneka sumber informasi (Suryanegara,
2015).
B. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Waktu
Waktu penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 2 bulan untuk
memperoleh semua data sebagaimana yang termaktut pada rumusan
masalah.
2. Tempat
Tempat atau lokasi penelitian yang akan dilaksanakan ini yakni bertempat
di Kampung Bajo, Kelurahan Bajoe, Kecamatan Tanete Riattang Timur,
Kabupaten Bone.
23. 23
C. Sumber Data
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan
tindakan, selebihnya berupa data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.
Berkaitan dengan hal itu pada bagian ini jelas datanya dibagi ke dalam kata-
kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto dan statistic (Moleong, 2000) .
Informan kunci dan informan pendukung. Sedangkan data-data pendukung
dapat berupa dokumen-dokumen, foto-foto, dan benda-benda lain yang terkait
dengan fokus penelitian. Sedangkan yang dimaksud sumber data dalam
penelitian adalah subyek dari mana data dapat diperoleh.
Apabila menggunakan wawancara dalam mengumpulkan datanya
maka sumber datanya disebut informan, yaitu orang yang merespon atau
menjawab pertanyaan-pertanyaan baik secara tertulis maupun lisan. Apabila
menggunakan observasi maka sumber datanya adalah berupa benda, gerak,
atau proses sesuatu. Apabila menggunakan dokumentasi, maka dokumen atau
catatanlah yang menjadi sumber datanya (Suharsimi, 2002). Sehingga
diharapkan dengan menerapkan teknik tersebut, tujuan dari penelitian ini
dapat tercapai.
Sumber utama data dalam penelitian ini adalah manusia (informan) dengan
segala fenomenanya. Secara rinci data penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Data Primer berupa informan, terdiri dari :
a. Informan Kunci : Nelayan Kampung Bajo, Ketua Adat
b. Informan Pendukung : Kepala Lurah, Kepala lingkungan,
dan Tokoh Masyarakat.
24. 24
2. Data Sekunder berkaitan dengan data-data berupa: dokumen-dokumen
(buku maupun literatur-literatur lain), dan gambar/foto yang berkaitan
dengan fokus penelitian.
D. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, instrumen penelitiannya adalah peneliti itu
sendiri. Sebagaimana yang disampaikan oleh (Abdullah, 2014) bahwa
instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, yang dalam
upaya memperoleh data empiris, menggunakan seperangkat instrumen dalam
bentuk pedoman interviu, catatan lapangan dengan sasaran penelitian. Peneliti
melakukan pengumpulan data, menganalisis data, lalu membuat kesimpulan
atas penelitiannya. Menurut peneliti, peneliti sebagai instrumen lebih tanggap
akan kehadiran peneliti, peneliti dapat menyesuaikan diri dengan aturan
penelitian, keputusan yang berhubungan dengan penelitian dapat diambil
dengan cara cepat dan terarah, demikian juga dengan informasi dapat
diperoleh melalui sikap dan cara informan dalam memberikan informasi.
Pelaksanaan penelitian ini menggunakan instrumen pendukung berupa
pedoman wawancara untuk menjadi pondasi awal sebelum melakukan
wawancara secara langsung.
E. Definisi Operasional
Definisi Operasional adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat variabel
yang diamati. Definisi operasional mencakup hal-hal penting dalam penelitian
yang memerlukan penjelasan. Definisi operasional hanya berlaku pada area
25. 25
penelitian yang dilakukan, Konsep yang berhubungan dengan judul penelitian
ini yakni:
1. Tingkat pendidikan formal yakni pendidikan formal merupakan
pendidikan di sekolah yang di peroleh secara teratur, sistematis,
bertingkat, dan dengan mengikuti syarat-syarat yang jelas. Tingkat
Pendidikan yang dimaksudkan yakni dimulai dari tingkat SD, SMP,
SMA hingga Perguruan Tinggi
2. Persepsi masyarakat yakni Menurut Kotler & Keller dalam Lelet
(2014) menyatakan bahwa persepsi adalah proses yang digunakan oleh
individu untuk memilih, mengorganisasi dan menginterpretasi
masukan informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memiliki
arti. Persepsi masyarakat yang dimaksudkan adalah anggapan atau
pandangan nelayan Suku Bajo terhadap pendidikan formal anak
mereka.
3. Gambaran keadaan keluarga yakni dapat menggambarkan situasi dan
kondisi yang sedang dirasakan keluarga tersebut baik dari segi
pendidikan, sosial, ekonomi, lingkungan dan hubungan mereka satu
sama lain.
4. Faktor - faktor pendidikan formal yakni merupakan berbagai unsur
yang menunjang kedalam tujuan yang akan di capai dalam pendidikan.
Unsur-unsur tersebut penting fungsinya karena dapat menunjang
dalam sebuah tujuan secara berkesinambungan dan sistematik. Faktor
– faktor yang dimaksudkan yakni faktor – faktor dalam pendidikan
formal anak Suku Bajo.
26. 26
F. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan beberapa teknik dalam mengumpulkan data
yakni :
1. Observasi
Observasi adalah pengamatan secara sistematis terhadap gejala
yang tampak pada objek penelitian (Zuriah, 2009). Berdasarkan
observasi awal yang dilakukan oleh peneliti dengan salah satu
masyarakat di daerah Suku Bajo Kecamatan Tanete Riattang Timur,
Kabupaten Bone mengatakan bahwa “banyak anak putus sekolah
ditingkat SD dan SMP sehingga menjadikan mereka susah untuk
melanjutkan ditingkat SMP dan SMA”.
2. Wawancara
Wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan
cara lisan terhadap responden, dengan menggunakan pedoman
wawancara yang telah disediakan (Moleong, 2007). Teknik
pengumpulan data dengan wawancara merupakan suatu cara
memperoleh informasi penting yang diinginkan dari informan (Zuriah,
2009). Dengan kata lain wawancara merupakan interaksi antara peneliti
dengan responden dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk
memperoleh informasi sesuai dengan data yang diperlukan dalam
penelitian. Teknik wawancara mempunyai kedudukan yang utama
sebagai metode pengumpulan data dalam penelitian ini. Tujuan
dilaksanakan wawancara dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh
keterangan informasi dan penjelasan dari subyek penelitian yang
27. 27
menjadi tujuan penelitian. Pedoman wawancara digunakan untuk
menggali lebih mendalam terhadap beberapa aspek yang mempengaruhi
angka putus sekolah dan persepsi masyarakat tentang pendidikan formal
anak di Suku Bajo.
3. Kajian Literatur.
Peneliti juga mengumpulkan informasi dan data melalui kajian literatur
dengan menemukan referensi dari jurnal nasional dan internasional
yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Dokumentasi
Dokumentasi dilakukan dengan tujuan mengumpulkan dokumen
yang diperlukan sebagai bukti dan bahan informasi dalam pelaksanaan
penelitian ini. Dokumentasi yang dikumpulkan berupa foto atau gambar
yang terkait dengan kondisi pendidikan formal anak di Suku Bajo.
Berdasarkan uraian diatas, dokumentasi yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah data-data serta catatan baik berupa dokumen resmi
maupun pribadi sesuai dengan tujan penelitian.
G. Teknik Analisis Data
Penelitian ini merupakan teknis analisis induktif, penarikan kesimpulan yang
berangkat dari fakta-fakta khusus, peristiwa-peristiwa konkrit, kemudian fakta
dan peristiwa tersebut ditarik kesimpulan yang umum yaitu dengan cara
menganalisis dan menyajikannya dalam bentuk data deskriptif (Hadi, 1997).
Adapun langkah-langkah dalam menganalisis data adalah sebagai berikut:
28. 28
1. Reduksi Data
Reduksi data yang dimaksud yaitu merangkum hal-hal pokok
dari hasil wawancara terhadap informan. Menurut Sugiyono (2009)
“Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya”.
Reduksi data dilakukan dikarenakan data yang diperoleh masih
beragam sehingga perlunya untuk merangkum seluruh hasil data
tersebut untuk memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap data
dari hasil wawancara yang diperoleh. Pada tahap ini, peneliti memilah-
milah hasil wawancara dan dokumentasi yang masih kompleks dan
tidak terstruktur sehingga peneliti memperoleh data yang relevan
dengan permasalahan penelitian. Proses reduksi data ini dilakukan oleh
peneliti dari awal penelitian sampai akhir penelitian. Hasil dari reduksi
data ini adalah memperoleh data yang benar-benar relevan seusai
dengan tujuan penelitian.
2. Kategorisasi Data
Data yang telah direduksi, kemudian disusun secara sistematis ke
dalam suatu unit dengan sifatnya masing-masing data dengan
menonjolkan hal-hal yang bersifat pokok dan penting. Data yang
diperoleh disederhanakan dan disusun secara sistematis ke dalam
kategori dengan sifat masing-masing data yang spesifik sesuai dengan
tujuan penelitian yang sifatnya penting dan pokok sehingga data dapat
memberi gambaran penelitian yang jelas (Hadi, 1997).
3. Display / Penyajian Data
29. 29
Setelah data diketegorisasi, maka selanjutnya ialah penyajian data.
Penyajian data merupakan penyajian suatu data ke dalam bentuk
laporan sistematis dengan dilengkapi tabel, bagan, dan foto yang
sesuai. Penyajian data dilakukan dengan melihat gambaran
keseluruhan data yang diperoleh selama penelitian. Dalam penelitian
ini display data yang dilakukan berupa penyajian secara deskriptif atau
naratif atas data yang telah dikategorikan dalam bentuk laporan yang
sistematis untuk selanjutnya dianalisis untuk pengambilan kesimpulan.
Display data ini dilakukan dengan melihat keseluruhan data yang
diperoleh selama penelitian.
4. Pengambilan Kesimpulan (Verifikasi).
Data yang telah diinterpretasikan secara sistematis, kemudian
dianalisis dengan perspektif tertentu untuk memperoleh kesimpulan
data (Hadi, 1997). Tetapi apabila kesimpulan awal peneliti di dukung
oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten ketika kembali ke lapangan
untuk mengumpulkan data, maka kesimpulan tersebut merupakan
kesimpulan yang kredibel (Umanailo, 2018). Kesimpulan dalam
penelitian kualitatif merupakan temuan baru yang sebelumnya belum
pernah ada.
Temuan ini dapat berubah deskriptif atau gambaran suatu objek
yang sebelumnya masih gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas,
dapat berubah hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori
(Sugiyono dalam Umanailo, 2018). Jadi secara langsung, kesimpulan
yang hendak dipaparkan dapat tertuang selama proses penyimpulan
30. 30
berdasarkan data dengan meninjau ulang catatan hasil observasi dan
wawancara yang telah dilaksanakan dilapangan. Pengambilan
kesimpulan dilakukan dengan cara berfikir induktif, yaitu dari hal-hal
yang bersifat khusus diarahkan ke hal-hal yang bersifat umum untuk
mengetahui jawaban dari permasalahan dalam penelitian ini.
31. 31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Letak Geografis dan Luas Wilayah
Kampung Bajo merupakan sebuah lingkungan/dusun yang terletak
di Kelurahan Bajoe Kabupaten Bone. Wilayah ini berada di pesisir timur
Provinsi Sulawesi selatan yang berjarak sekitar 174 km dari Kota Makassar
dengan pusat kota berada di Watampone Kecamatan Tanete Riattang. Luas
wilayahnya sekitar 4.559 km2 atau 9,78% dari luas Provinsi Sulawesi
Selatan yang terbagi dalam 27 Kecamatan, 333 Desa dan 39 Kelurahan.
Secara astronomis terletak pada posisi 4⁰ 13’ – 5⁰ 6’ LS dan 119⁰ 42’ – 120⁰
30’ BT dan memiliki garis pantai sepanjang 138 km dari arah selatan ke arah
utara. Lingkungan Bajo merupakan lokasi yang menjadi tempat penelitian,
dimana lokasi ini adalah tempat bermukimnya masyarakat Suku Bajo di
Kabupaten Bone. Luas wilayah permukiman masyarakat Suku Bajo di
Lingkungan Bajo yaitu 0,58 km2.
Secara administratif permukiman Suku Bajo di Lingkungan Bajo
memiliki batasan-batasan wilayah yaitu sebelah Utara berbatasan dengan
Lingkungan Appasareng, sebelah Selatan berbatasan dengan Lingkungan
Rompe, sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone, sebelah Barat
berbatasan dengan Lingkungan Pao. Secara administratif batas-batas
wilayah Kelurahan Bajoe yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan
Panyula, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kading, sebelah Timur
berbatasan dengan Teluk Bone, sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan
32. 32
Cellu. Kelurahan Bajoe terdapat 6 Lingkungan yaitu Lingkungan
Appasareng, Lingkungan Rompe, Lingkungan Maccedde, Lingkungan Bajo,
Lingkungan Pao dan Lingkungan Tengnge.
Kecamatan Tanete Riattang Timur merupakan daerah yang
konsentrasi penduduknya berada di pesisir pantai. Dari 8 Kelurahan terdapat
6 Kelurahan yang berbatasan langsung dengan laut yaitu Kelurahan Bajoe,
Kelurahan Toro, Kelurahan LonraE, Kelurahan Panyula, Kelurahan Pallette,
dan Kelurahan Waetuo, dengan keadaan yang demikian sudah tentu sangat
mendukung masyarakatnya dengan bermata pencaharian sebagai nelayan
atau petani rumput laut. Kecamatan Tanete Riattang Timur secara
administratif berbatasan dengan bagian wilayah-wilayah yaitu sebelah utara
berbatasan dengan Kecamatan Watampone, sebelah Selatan berbatasan
dengan Kecamatan Barebbo, sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone,
sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tanete Riattang. Kelurahan
Bajoe berjarak 0,5 km dari pusat pemerintahan Kecamatan dan memiliki
luas 5,58 Km2. Kelurahan Bajoe memanjang dari Utara ke Selatan pada satu
lengkungan antara Tanjung Pallette dan Tanjung Pattiro.
Secara geografis Kabupaten Bone berbatasan dengan wilayah-
wilayah yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan
Soppeng, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sinjai dan Gowa,
sebelah Timur berbatasan dengan laut Teluk Bone, sebelah Barat berbatasan
dengan Kabupaten Maros, Pangkep dan Barru. Secara topografi, wilayah ini
merupakan wilayah yang landai dikarenakan berada dekat dengan pesisir
pantai sebagian besar lahan wilayah pesisir pantai teluk Bone ini dijadikan
33. 33
sebagai lahan tambak/empang dengan luas total sebesar 11.148 Ha. Jenis
tanah yang ada di Kabupaten Bone terdiri dari tanah Aluvial Gleyhumus,
Litosol, Regosol, Mediteran, dan Renzina. Jenis tanah didominasi oleh tanah
mediteran seluas 67,6% dari total wilayahkemudian Renzina 9,59%, dan
Litosol 9%. Penyebaran jenis tanahnya yaitu sepanjang Pantai Timur Teluk
Bone ditemukan tanah Aluvial. Sedangkan pada curah hujannya wilayah
Kabupaten Bone terbagi menjadi dua tipe hujan: tipe hujan Monsoon dan
tipe hujan lokal. Tipe hujan Monsoon memiliki curah hujan tertinggi saat
bertiup angin monsun Asia yaitu bulan Januari dan Februari. Tipe ini
mencakup wilayah Kabupaten Bone bagian barat. Tipe kedua memiliki
kriteria pola hujan terbalik dengan pola monsoon, yaitu curah hujan tertinggi
terjadi pada bulan Mei-Juni.
Tipe ini mencakup sebagian besar wilayah Kabupaten Bone. Jumlah
curah hujan bulanan di Wilayah Bone bervariasi dengan rata-
rata tahunan sebesar 201,25 mm. Curah hujan tertinggi terjadi di bulan Juni
yaitu 638 mm dengan banyaknya hari hujan sebanyak 23 hari. Bagian
Timur Kabupaten Bone bertopografi pesisir menjadikan
Bone mempunyai garis pantai sepanjang 138 km dari arah selatan ke
utara. Bagian barat dan selatan terdapat pegunungan dan perbukitan
yang celah-celahnya terdapat aliran sungai.
35. 35
Tabel 4.1. Luas Lingkungan di Kelurahan Bajoe
No Nama Lingkungan Luas (Km2)
1
2
3
4
5
6
Appasareng
Rompe
Maccedde
Bajo
Pao
Tengnge
1,15
1.05
0.40
0.58
1.60
0.55
Jumlah 5,58
Sumber :Data Monografi Kantor Kelurahan Bajoe 2017
Berdasarkan table 4.1 diatas dapat kita perhatikan bahwa luas wilayah
lingkungan Bajo ialah sebesar 0,58 Km2
2. Penduduk
Jumlah Penduduk di Kelurahan Bajoe pada tahun 2016 sebanyak 9.970 jiwa
dengan jumlah laki-laki sebanyak 4.968 jiwa dan perempuan sebanyak 5.002
jiwa. Jumlah Penduduk tersebut tersebar di 6 Lingkungan yang ada di
Kelurahan Bajoe. Jumlah penduduk Lingkungan Bajo dapat di uraikan pada
tabel dibawah ini.
Tabel 4.2. Jumlah penduduk Lingkungan Bajo Kelurahan Bajoe
Kecamatan Tanete Riattang Timur berdasarkan jenis kelamin pada
tahun 2016
No Jenis Kelamin Jumlah
1 Perempuan 650
2 Laki-Laki 638
Jumlah 1.288
Sumber : Data Kantor Kelurahan Bajoe tahun 2017
36. 36
Dari Tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk di
Lingkungan Bajo pada tahun 2016 sebanyak 1.288 jiwa. Jumlah
perempuan sebanyak 650 jiwa sedangkan jumlah laki-laki sebanyak 638
jiwa. Berdasarkan keterangan dari kepala adat suku bahwa jumlah
penduduk asli suku Bajo adalah 300 orang lebih.
3. Mata Pencaharian
Arti mata pencaharian makna pengertian dan definisi berdasarkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu pekerjaan atau pencaharian
utama yang dikerjakan untuk biaya hidup sehari-hari. Letak geografis
Kelurahan Bajoe yang berada pada area dataran rendah dan pesisir pantai
Teluk Bone merupakan salah satu potensi daerah Kabupaten Bone dengan
sumber daya perikanan dan biota laut. Hal tersebut menjadikan fokus mata
pencaharian masyarakat Bajoe sebagian besar bekerja sebagai nelayan.
Selain itu, juga nenek moyang Suku Bajo adalah seorang pelaut dan
menggantungkan hidupnya dilaut Sehingga masyarakat Suku Bajo bisa di
katakan hampir semuanya bermata pencaharian di laut.
4. Pendidikan
Dalam segi pendidikan, Suku Bajo bisa di katakan dari segi
pendidikan masih sangat rendah meskipun tidak semuanya demikian.
Adapun yang mengenyam sekolah itupun sampai tamat SD bahkan banyak
yang tidak selesai, kalaupun ada yang sekolah tinggi paling sampai tamat
SMA dan itu bukan orang Bajo asli sudah mengalami campuran karena
adanya pernikahan dengan orang di luar Suku Bajo.
37. 37
Kebanyakan dari mereka kaum laki-laki yang tidak mengenyam
pendidikan mereka lebih senang bekerja melaut karena cepat mendapatkan
uang dibangdingkan sekolah, sedangkan kaum perempuan yang lebih
banyak mengenyam sekolah itupun kalau tidak segera di nikahkan.
Kebanyakan dari mereka memang malas untuk sekolah atau mengenyam
pendidikan, jadi bisa di katakan memang tidak ada dorongan dari diri
pribadi begitupun dorongan dari orangtua hanya sebagian kecil saja.
5. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang tersedia di Kelurahan Bajoe cukup memadai
meliputi perhubungan, pemerintahan, pendidikan, dan tempat ibadah
Sarana dan prasarana Kelurahan Bajoe dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.3. Sarana dan Prasarana Kelurahan Bajoe Kecamatan
Tanete Riattang Timur
No Sarana Dan Prasarana Jumlah
1
Perhubungan
a. Jalan
b. Jembatan
c. Terminal
d. Pelabuhan
3
5
1
1
2
Pemerintahan
a. Kantor Kecamatan
b. Kantor Kelurahan
1
1
3
Pendidikan
a. TK
b. SD
c. SMP
d. SMA
e. Pesantren
5
7
1
1
1
4
Tempat Ibadah
a. Masjid
b. Mushollah
9
2
5
Kesehatan
a. Puskesmas 1
Sumber : Data Kantor Kelurahan Bajoe Tahun 2017
38. 38
Berdasarkan tabel tersebut bahwa sarana dan prasarana di
Kelurahan Bajoe dari sarana perhubungan meliputi 3 jalan, 5 jembatan, 1
terminal dan 1 pelabuhan penyeberangan Bajoe. Sarana pemerintahan
yaitu kantor Kecamatan Tanete Riattang Timur dan Kantor Kelurahan
Bajoe memiliki lokasi yang strategis berada di pinggir jalan raya dengan
lokasi yang berdekatan dengan jarak antar keduanya ± 23 meter. Sarana
pendidikan yaitu 5 Taman Kanak-Kanak (TK), 7 Sekolah Dasar (SD), 1
Sekolah Menengah Pertama (SMP), 1 Sekolah Menengah Atas (SMA)
serta 1 Podok pesantren. Tempat ibadah ada 9 masjid dan 2 mushollah
dan sarana kesehatan ada 1 puskesmas.
Adapun sarana dan prasarana di Lingkungan Bajo yaitu meliputi
jalan kecil sebagai akses lewat kendaraan motor ataupun mobil, 1 masjid
yang merupakan sumbangan dari donatur yaitu Bapak H. Amir Mandu
dan 1 Sekolah Alam Suku Bajo untuk anak-anak Suku Bajo yang tidak
sekolah yang dibentuk oleh komunitas dari kota Watampone akan tetapi
sudah beberapa tahun ini tidak berjalan atau dalam keadaan vakum.
B. Hasil Penelitian
Setelah melakukan penelitian, maka dilakukanlah langkah selanjutnya sesuai
dengan teknik anaisis data yakni, reduksi, kategorisasi, display data lalu
kemudian dilakukanlah penarikan kesimpulan
39. 39
Tabel 4.4. Taksonomi Informan
Informan Kunci Informan Pendukung
- Nelayan
Kampung Bajo
- Ketua Adat
- Lurah Bajoe
- Kepala Lingkungan Bajoe
- Tokoh Masyarakat
Berdasarkan daftar pertanyaan sesuai dengan pedoman wawancara
yang saya gunakan untuk memperoleh data dan informasi sesuai dengan
yang menjadi tujuan penelitian, saya melakukan wawancara dengan
beberapa informan yang terbagi menjadi dua yaitu informan kunci dan
informan pendukung. Informan kunci yakni nelayan suku Bajo berjumlah 8
orang dan ketua adat yang dipercaya oleh nelayan suku Bajo yang kemudian
saya simpulkan karena jawaban yang diberikan sebagian besar memberikan
jawaban yag hampir sama sebagaimana pula yang disampaikan oleh
ketua/kepala adat nelayan suku Bajo. Sedangkan informan pendukung yakni
Ibu Kepala Lingkungan Bajo, guru pendidik dan Bpk. Ridwan selaku
pendiri sekolah alam Suku Bajo yang kemudian seluruh jawaban yang
diberikan kami analisis dan dirangkum menjadi kesimpulan. Adapun hasil
wawancara informan dapat dilihat pada bagian lampiran penelitian.
Nelayan suku Bajo memang masih kental dengan budaya nenek
moyang mereka untuk melaut Jadi sangat penting untuk mereka
menanamkan budaya tersebut ke anak-anak mereka. Suku bajo
mementingkan skill/kemampuan mereka dalam melaut sehingga sangat
besar harapan nelayan suku ini untuk memperoleh rezeki dan kebutuhannya
dari hasil laut. Hal ini pula yang diwariskan kepada anak-anak mereka.
Tidak heran anak kecil berumur 5 tahun sudah pandai berenang dilaut lepas.
40. 40
Jadi, seorang anak dalam pandangan nelayan suku ini selain sebagai pelanjut
generasi mereka juga sebagai pendamping yang membantu mereka saat
sedang melaut. Hadirnya seorang anak dalam nelayan suku ini akan
membantu memudahkan pekerjaan mereka. Sehingga aggapan bahwa
banyak anak maka akan banyak pula rezeki masih kental bagi mereka.
Berdasarkan hal tersebut, nelayan memiliki pola piker yang keliru,
mereka menganggap anak sebagai pendamping yang membantu mereka
dilaut. Namun disisi lain seorang anak juga tentunya memiliki hak untuk
mengeyam pendidikan. Nelayan suku ini menganggap pendidikan tidak
terlalu penting tapi justru kemampuan dalam melaut itu yang penting bagi
mereka. Terlebih anggapan bahwa anak nelayan ini akan pada akhirnya akan
menjadi pelaut sebagaimana moyang mereka. Pola pikir ini yang masih
dimiliki oleh para orang tua sehingga kurangnya motivasi dan semangat
untuk menyekolahkan anak mereka.
Selain itu, permasalahan yang terjadi akan kurangnya dorongan
untuk menyekolahkan anak mereka dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni
faktor motivasi diri sendiri, motivasi orang tua, faktor sosial dan faktor
ekonomi. 1) Dari segi faktor motivasi diri sendiri anak-anak suku ini tidak
ingin sekolah jika bukan arahan orang tua mereka. Sedangkan orang tua
mereka selalu memanggil mereka untuk melaut dikarenakan pengaruh dari
moyang mereka dan pola pikir orang tua yang keliru. 2). Faktor motivasi
orang tua juga demikian, orang tua jarang sekali yang ingin menyekolahkan
anak mereka, beberapa hasil wawancara mengatakan ada beberapa yang
menyekolahkan namun hanya untuk memperoleh dana bantuan BOS
41. 41
(bantuan operasioal sekolah) dan setelah diterima anak itu juga berhenti
sekolah. Yang lanjut sampai tingkat menengah hanya bisa dihitung jari
karena sedikit. Seperti perkataan pak ridwan pendiri sekolah alam suku bajo
bahwa selain kita mendidik anak, yang paling penting juga adalah
bagaimana memahamkan orang tua mereka akan arti pentingnya pendiidkan.
3). Faktor sosial juga mempengaruhi tatanan kehidupan suku ini. Suku bajo
ini merupakan suku yang minoritas yang dikelilingi oleh pemukiman-
pemukiman suku bugis. Suku bajo dengan jumlah penduduk yang sedikit
merasa minder menutup diri. Mereka hanya sering bergaul dengan suku
mereka sendiri namun hubungan mereka baik-baik saja dengan aparat
pemerintah, masyarakat suku lain dan desa tetangga hanya suku bajo yang
cenderung untuk menutup diri.
Hal ini juga dapat mengakibatkan kesenjangan sosial bagi mereka
yang minoritas. Hasil wawancara dari pak ridwan mengatakan mereka
cenderung menutup diri dan bergaul dengan sesame mereka saja. Kalau
ingin bepergian paling hanya untuk melaut, kepasar untuk membeli
perabotan rumah tangga dan kebutuhan yang lain, setelah itu mereka
kembali ke kampung bajo atau tempat suku mereka. 4). Faktor ekonomi
menjadi faktor yang dominan. Kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok
ini yang menyebabkan pendidikan dijadikan pilihan yang terbelakang.
Nelayan suku ini lebih memilih untuk mencari nafkah dilaut dibandingkan
untuk menyekolahkan anak mereka. Justru anak mereka dipanggil untuk
membantu mereka dilaut agar memperoleh hasil yang lebih. Anak nelayan
juga tidak ingin bersekolah tanpa uang jajan.
42. 42
Dari hasil wawancara mengatakan bahwa anak-anak nelayan
memilih pergi melaut bersama ayah mereka dan dari hasil laut itu mereka
mendapatkan uang jajan dibandingkan kesekolah tidak diberi uang jajan
sehingga mereka memilih melaut saja. Bukan pendidikan yang menjadi
tujuan utama mereka namun bagaimana bisa menafkahi keluarga mereka.
Ketidakmampuan biaya dan terkendala difaktor ekonomi menjadikan anak-
anak mereka putus sekolah. Membantu orang tua mereka dilaut menjadi
pilihan bagi anak-anak suku Bajo untuk memperbaiki kondisi ekonomi.
Berkaitan dengan hal tersebut, tentu dibutuhkan upaya agar
memperbaiki kondisi pendidikan di daerah nelayan ini. Terdapat beberapa
upaya yang dilakukan pemerintah dan nelayan suku Bajo agar
meningkatkan pendidikan anak mereka. Dari segi pemerintah sendiri,
pemerintah telah mendistribusikan lokasi sekolah SD dan SMP dengan
fasilitas pendidikan yang cukup dan berada di kecamatan tanete riattang
timur sesuai dengan kebutuhan tiap wilayah sehingga berada tidak terlalu
jauh dan terjangkau oleh pemukiman nelayan Kampung Bajo. Di dalam
lingkungan Kampung Bajo sendiri terdapat TK (taman kanak-kanak)
meskipun vakum / tidak difungsikan sebagaimana mestinya.
Selain itu, hal penting yang pemerintah lakukan adalah
mengadakan perbaikan bagi rumah-rumah nelayan suku yang sudah rusak
dan tidak layak huni. Namun sampai sekarang hal tersebut masih
diusahakan. Masyarakat nelayan berharap akan bantuan perbaikan rumah
ini mengingat keadaaan rumah mereka yang sudah rusak, miring dan
bahkan ada yang tidak layak huni.
43. 43
C. Pembahasan
1. Pendidikan Anak Dalam Perspektif Nelayan di Kampung Bajo
Berdasarkan hasil temuan dapat disimpulkan bahwa pendidikan
anak dalam perspektif nelayan di kampung Bajo memandang: 1)
pendidikan sebagai hal yang tidak terlalu penting sebab anak nelayan harus
membantu orang tua untuk melaut, 2) Anak nelayan di Kampung Bajo
tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena ujung-ujung nya juga mereka akan
menjadi pelaut sebagaimana nenek moyang mereka, 3) kurangnya motivasi
bagi anak nelayan untuk melanjutkan pendidikan dan mereka lebih memilih
ikut orang tua melaut untuk mencari uang, dan 4) kurangnya dorongan
orang tua kepada anak untuk melanjutkan pendidikan formal.
Sejalan dengan itu, seperti yang diungkap Soediharjoto (2008)
mengungkapkan rendahnya pendidikan orang tua memungkinkan wawasan
yang dimiliki orang tua tentang pentingnya pendidikan juga cenderung
kurang, sehingga keinginan untuk mengarahkan anaknya melanjutkan
sekolah hingga tingkat atas juga cenderung kurang. Akan tetapi semakin
tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki orang tua, kemungkinan semakin
tinggi pula wawasan orang tua mengenai pentingnya pendidikan bagi
anaknya dan keinginan untuk mengarahkan anaknya melanjutkan studi
pada tingkat tinggi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Ki Hajar Dewantara yang
menyatakan bahwa seberapapun keadaan tingkat pendidikan orang tua
menginginkan anaknya lebih tinggi pendidikannya diabnding dirinya
(Satria, 2011).Sebagaimana kondisi saat ini dan kedepannya, pendidikan
44. 44
harus menjawab tantangan perubahan, tantangan modernisasi, tantangan
iptek, tantangan demokrasi, dan reformasi haru dimulai dari pendidikan
(Tilaar dalam Suardika, 2015).
Secara umum, sebagian besar anak nelayan Kampung Bajo
dikabupaten Bone ini mengalami putus sekolah. Melihat kondisi ini
pemerintah membantu mereka dengan fasilitas yang ada, seperti membuat
sekolah alam khusus untuk anak-anak suku Bajo. Namun, berdasarkan
pernyataan Pak Ridwan selaku pendiri sekolah alam suku Bajo bahwa
anak-anak mereka kadang sementara bermain disekolah ini, orang tua
mereka datang dan memanggil anaknya untuk pergi kelaut sehingga
membatasi proses belajar mereka dengan sekolah alam. Maka dari itu,
selain bentuk pendidikan diberikan kepada anak nelayan suku Bajo, bentuk
pendidikan diberikan pula kepada orang tua seperti halnya Pak Ridwan
mengatakan bahwa para nelayan suku Bajo harusnya diberi pemahaman
akan arti penting pendidikan.
Selain itu, dari segi kesadaran mereka untuk mulai peduli untuk
menyekolahkan anak mereka masih belum terlihat, para nelayan suku Bajo
terlebih dahulu harus sadar akan pentingnya pendidikan sehingga nantinya
berdampak kepada anak cucu mereka. Orang tua mereka belum mengerti
akan pentingnya pendidikan sehingga hanya segelintir orang saja yang
menyekolahkan anak mereka meskipun hanya tamat hingga SD dan SMP
saja. Hal ini membuktikan bahwa kepedulian mereka terhadap pendidikan
sangatlah minim dan di era dulu dan sekarang masih sangat sedikit pula
anak nelayan kampong Bajo yang melanjutkan pendidikan.
45. 45
2. Faktor – Faktor Minimnya Pendidikan Formal Anak di Suku Bajo
a. Motivasi
Dari segi memotivasi anak mereka untuk sekolah, nelayan suku
Bajo hanya sebagian kecil saja yang memerhatikan anak mereka untuk
sekolah. Terlebih jika mereka sudah melaut beberapa hari orang tua
tidak memperhatikan anaknya apakah mereka ke sekolah atau tidak.
Orang tua mereka lebih memilih untuk dibantu mencari nafkah di laut
sehingga anak-anak mereka banyak yang putus sekolah sejak SD.
Sejalan yang disampaikan Djali dalam Mukhlis (2011) bahwa Motivasi
merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan keberhasilan dalam
belajar. besar kecilnya pengaruh tersebut tergantung pada intensitasnya.
Juga disampaikan oleh Sakheraeni (2012) Pendidikan orang tua yang
hanya tamat sekolah dasar bahkan tidak tamat. Hal ini sangat
berpengaruh terhadap terhadap cara berpikir orangtua untuk
menyekolahkan anaknya dan cara pandangan orangtua tentu tidak
sejauh dan seluas orangtua yang berpendidikan lebih tinggi.
Nelayan Bajo yang selama ini sangat kental dengan komunitas
yang sangat menghargai lingkungan dan tradisinya, sekarang tampak
lebih banyak berpikir materi, bahkan orientasi sekolah hanya untuk
kepentingan materi semata. Jika sekolah dianggap tidak
menguntungkan bagi masa kedepannya maka mereka cenderung tidak
begitu kuat mendorong anaknya untuk sekolah (Suardika, 2015).
46. 46
b. Kondisi Sosial
Kondisi sosial suku Bajo dikabupaten bone ini mengalami
sentuhan dari pemerintahan termasuk pengadaan sekolah SD yang
mampu diakses. Namun orang tua mereka sendiri menganggap
pendidikan adalah hal yang kurang penting dan kurang sadar untuk
menyekolahkan anaknya karena ujung-ujung nya anak mereka akan
menggantungkan hidupnya kelaut. Orang tua mereka juga banyak yang
buta huruf dan berimbaslah ke anak mereka. Selain itu, Gerungan dalam
Mukhlis, (2011) menjelaskan bahwa interaksi sosial di dalam keluarga
biasanya didasarkan atas rasa kasih sayang dan tanggung jawab yang
diwujudkan dengan memperhatikan orang lain, bekerja sama, saling
membantu dan saling memperdulikan termasuk terhadap masa depan
anggota keluarga, salah satunya dalam penyelenggaraan pendidikan
anak.
Juga yang disampaikan oleh Elisa (2013) bahwa untuk
meningkatkan kerjasama antara unsur masyarakat yang ada, dengan
jalan musyawarah, penyuluhan, bakti sosial, dan rapat pertemuan.
Upaya ini di lakukan oleh berbagai komponen terkait (guru-guru, tokoh
masyarakat, dan tokoh agama) bersama para orang tua anak di wilayah
ini sebagai bentuk interaksi dalam upaya memberi pemahaman serta
meningkatkan partisipasi dan kerjasama dalam peningkatan kualitas
pendidikan.
Dari segi lingkungan masyarakat suku Bajo memiliki hubungan
yang baik dengan suku bugis dan para pemerintah desa yang sebagian
47. 47
besar juga suku bugis. Pemberian raskin (beras miskin) kepada
masyarakat Kelurahan Bajoe sudah dirasakan oleh suku Bajo yang
banyak yang kurang mampu. Namun suku Bajo terkesan minoritas
sehingga enggan dan menutup diri kepada sebagian besar suku bugis
dan semata-semata menjalankan rutinitas hariannya dilaut saja sehingga
muncul perasaan minder kepada suku lain. Sebagaimana yang diungkap
dalam Risqa (2015) bahwa menyatakan bahwa pendidikan adalah lahan
yang ampuh untuk mengangkat manusia dari kegagalan, termasuk
dalam lembah kemiskinan, melalui pendidikan selain memperoleh
kepandaian berupa keterampilan berolah pikir, manusia juga
memperoleh wawasan baru yang dapat membantu upaya meningkatkan
harkat hidup mereka
c. Kondisi Ekonomi Keluarga
Secara ekonomi dan kemampuan suku Bajo untuk membiayai
anak mereka untuk bersekolah terbilang masih cukup rendah. Bukan
pendidikan yang menjadi tujuan utama mereka namun bagaimana bisa
menafkahi keluarga mereka. Selain itu anak-anak mereka tidak ingin
bersekolah tanpa ada uang jajan. Jadi anak-anak mereka memilih
membantu orang tua mereka dilaut dengan harapan memperoleh uang
jajan. Sebagaimana yang diungkap Harmin (2009) bahwa pendidikan
seringkali dikaitkan denganpermasalahan ekonomi dalam suatu
masyarakat. Suatu kelompok masyarakat berpendidikan tinggi dalam
hal ini dikaitkan dengan pendidikan formal yaitu sekolah) maka
semakin bagus keadaan ekonomi dalam kelompok masyarakat tersebut.
48. 48
Keterkaitan antara pendidikan dan ekonomi ini pada akhirnya
membentuk pola pikir masyarakat yang melahirkan sebuah persepsi.
Persoalan pendidikan tidak hanya terkait dengan pengetahuan tetapi
juga dapat mengubah suatu persepsi dimasyarakat secara kultural
Ketidakmampuan biaya dan terkendala difaktor ekonomi
menjadikan anak-anak mereka putus sekolah. Membantu orang tua
mereka dilaut menjadi pilihan bagi anak-anak suku Bajo untuk
memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Sebagian besar anak-anak suku
Bajo merasakan hal yang sama yakni putus sekolah dikarenakan faktor
ekonomi. Anak-anak lebih suka bermain dan pergi melaut bersama
orang tuanya sehingga kesadaran akan arti penting pendidikan belum
sepenuhnya tertanam dalam diri mereka, termasuk orang tuanya.
Sejalan dengan yang disampaikan oleh Ahmadi dalam Mukhlis (2011)
Faktor ekonomi keluarga banyak menentukan dalam belajar
anak. Misalnya anak dalam keluarga mampu dapat membeli alat-alat
sekolah lengkap, sebaliknya anak-anak dari keluarga miskin tidak dapat
membeli alat alat itu. Dengan alat serba tidak lengkap inilah maka hati
anak-anak menjadi kecewa, mundur, putus asa sehingga dorongan
belajar mereka kurang. Juga yang disampaikan oleh Elisa (2013) bahwa
masalah ekonomi memang ikut menunjang kelangsungan kehidupan
semua kalangan. Walaupun demikian, bukan berarti kondisi ekonomi
yang tidak memadai lantas menjadi batu sandungan (garis penghalang)
bagi setiap anak untuk menikmati kegiatan pendidikan secara formal.
Anak-anak memiliki kewajiban secara penuh untuk memperoleh ilmu
49. 49
pengetahuan oleh sebab itulah maka kewajiban orang tua pula untuk
berusaha memberikan pendidikan yang layak bagi anaknya. Selain itu,
sebagian besar kondisi rumah mereka juga sudah ada yang tidak layak
huni. Namun juga telah ada yang sudah memperbaiki keaddan rumah
mereka sehingga menjadi layak huni. Bahkan beberapa diantaranya
sudah membangun rumah dengan dinding semen.
d. Motivasi orang tua
Orang tua masih belum sadar akan arti penting pendidikan dan
enggan memotivasi anak mereka untuk pergi bersekolah. Sehingga
kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan perlu ditanamkan
kepada nelayan suku Bajo Orang tua juga belum mengerti tujuan anak
mereka disekolahkan untuk memperoleh pengetahuan dan
keterampilan. Bukan hanya semata-mata menggantungkan hidup
mereka dilaut saja. Hal penting inilah yang perlu dipahamkan kepada
setiap orang tua. Selain itu, nelayan suku Bajo juga masih dipengaruhi
oleh moyangnya yang memang seorang pelaut dan menggantungkan
hidupnya hanya dilaut saja.
Sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Slameto dalam Mukhlis,
(2011) bahwa orang tua yang kurang/tidak memperhatikan dan
memberikan dorongan atau motivasi terhadap pendidikan anaknya,
misalnya acuh tak acuh terhadap belajar anaknya, tidak memperhatikan
sama sekali akan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan kebutuhan
anaknya dalam belajar, tidak mengatur waktu belajarnya, tidak
menyediakan/melengkapi alat belajarnya, tidak memperhatikan apakah
50. 50
anak belajar atau tidak, tidak mau tau kemajuan belajar anaknya,
kesulitan yang dialami dalam belajar dan lain-lain dapat menyebabkan
anak tidak/kurang berhasil dalam belajarnya.
Orang tua mereka hanya sebagian kecil saja yang sadar akan
pentingnya pendidikan. Itu pun anak mereka sendiri yang malas untuk
sekolah meskipun orang tua mereka mulai ingin menyekolahkan
anaknya dan membelikan mereka perlengkapan sekolah jika
memperoleh rezeki yang cukup mengingat pendapatan suku Bajo tidak
selamanya membaik tergantung keadaan cuaca saat melaut. Jadi,
kesadaran akan arti penting pendidikan telah mulai muncul dibeberapa
kepala keluarga yang menyekolahkan anak mereka. Termasuk
kesanggupan mereka menyekolahkan dan melengkapi kebutuhan
sekolah anak mereka.
Mengingat anak berhak memperoleh ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang memadai seiring dengan berkembangnya era ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan yang diungkap oleh Risqa
(2015) bahwa orang tua yang memiliki endidikan tinggi akan
memberikan pertimbangan yang rasional dalam menghadapi suatu
masalah, yang berpengaruh terhadap pandangan dan wawasannya.
Pendidikan anak-anak mereka, orang tua akan memberikan dorongan
dan motivasi yang besar untuk menyekolahkan anak-anak mereka.
51. 51
3. Upaya Yang Ditempuh Dalam Meningkatkan Pendidikan Anak
Nelayan Suku Bajo
Terdapat beberapa upaya yang dilakukan pemerintah dan
nelayan suku Bajo agar meningkatkan pendidikan anak mereka. Dari
segi pemerintah sendiri, pemerintah telah mendistribusikan lokasi
sekolah SD dan SMP dengan fasilitas pendidikan yang cukup dan
berada di kecamatan tanete riattang timur sesuai dengan kebutuhan tiap
wilayah sehingga berada tidak terlalu jauh dan terjangkau oleh
pemukiman nelayan Kampung Bajo. Di dalam lingkungan Kampung
Bajo sendiri terdapat TK (taman kanak-kanak) meskipun vakum / tidak
difungsikan sebagaimana mestinya.
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Suardika (2015)
bahwa pihak sekolah sebaiknya harus banyak berperan, pemerintah
harus memahami kondisi-kondisi masyarakat seperti ini, harus banyak
membuat instrument sebagai stimulasi sehingga akses pendidikan
secara utuh dapat diperoleh masyarakat. Jika sarana dan prasarana
pendidikan tidak tersedia atau tidak disediakan dengan baik oleh pihak
yang bertanggung jawab dalam hal ini pemerintah, maka kondisi ini
merupakan bentuk keterpinggiran yang secara nyata dialami, baik oleh
masyarakat setempat maupun guru-guru yang bertugas didaerah
tersebut.
Begitupun juga penjelasan dari Ali (2017) bahwa pendidikan
yang ada pada masyarakat Bajo memiliki keunikan tersendiri, selain
mereka mengakui bahwa mereka hanya mengenal, meyakini, dan
52. 52
berpedoman pada ajaran Islam, akan tetapi kesadaran mereka untuk
mengenyam pendidikan ke arah yang lebih tinggi sangatlah susah
terrealisasi dalam pemahaman masyarakat. Sementara pendidikan
formal dapat ditempuh cukup menamatkan sekolah dasar (SD) saja.
Selain itu, pelaksanaan proses belajar dan bermain di sekolah alam
kampung Bajo ini kurang optimal dikarenakan orang tua mereka
kadang memanggil anaknya yang sementara bermain disekolah alam
untuk membantunya melaut. Bahkan sekolah alam mereka juga
diberhentikan untuk sementara waktu dikarenakan keterbatasan tenaga
pengajar sukarela.
Keterpinggiran sarana pendidikan termasuk fasilitas
pembelajaran akan berdampak pada rendahnya prestasi hasil belajar.
Dari aspek ketersediaan guru atau pendidik hanya bisa diatasi jika
pemerintah memiliki komitmen dengan memberikan perhatian berupa
program khusus disetiap wilayah. Pemaparan Elisa (2013) mengatakan
bahwa upaya peningkatan kualitas dan tingkat pendidikan perlu di
adakan untuk memberikan solusi yang bisa menanggulangi
problematika pendidikan yang ada.
Adapun usaha-usaha yang di maksud adalah seperti di bawah
ini : 1) Meningkatkan perhatian orang tua dalam pendidikan melalui
penyuluhan. 2) Orang tua hendaknya memberi pemahaman kepada anak
untuk lebih mengutamakan bersekolah daripada ikut mencari nafkah di
laut serta menanamkan anjuran untuk tidak mudah terpengaruh dengan
kondisi lingkungan yang ada. 3) Meningkatkan solidaritas di antara
53. 53
sesama masyarakat dalam upaya meminimalisir sikap pesimis di dalam
jiwa orang yang masih awam tentang urgensi pendidikan. 4) Selalu
melibatkan masyarakat dan orang tua yang masih kurang faham dalam
masalah pendidikan agar mereka senantiasa memiliki keinginan untuk
berpartisipasi dalam pendidikan. 5) Meningkatkan kerjasama antara
guru, orang tua, tokoh masyarakat dan tokoh agama.
54. 54
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang di lakukan tentang Pendidikan Formal Anak dalam
Perspektif Nelayan Suku Bajo di Kampung Bajo Kec. Tanete Riattang Timur
Kabupaten Bone ini, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu :
1. Perspektif nelayan di kampung Bajo memandang: 1) pendidikan sebagai
hal yang tidak terlalu penting sebab anak nelayan harus membantu orang
tua untuk melaut, 2) Anak nelayan di Kampung Bajo tidak perlu sekolah
tinggi-tinggi karena ujung-ujung nya juga mereka akan menjadi pelaut
sebagaimana nenek moyang mereka, 3) kurangnya motivasi bagi anak
nelayan untuk melanjutkan pendidikan dan mereka lebih memilih ikut
orang tua melaut untuk mencari uang, dan 4) kurangnya dorongan orang
tua kepada anak untuk melanjutkan pendidikan formal.
2. Terdapat 4 faktor penyebab putus sekolah dan rendahnya tingkat
pendidikan di suku Bajo yakni faktor motivasi, sosial, ekonomi dan
motivasi orang tua.. Dari segi memotivasi anak mereka untuk sekolah,
nelayan suku Bajo hanya sebagian kecil saja yang memerhatikan anak
mereka untuk sekolah dan tidak memperhatikan anaknya apakah mereka
ke sekolah atau tidak. Ketidakmampuan biaya dan terkendala difaktor
ekonomi menjadikan anak-anak mereka putus sekolah.Sehingga aktivitas
belajar mereka kurang optimal Secara ekonomi dan kemampuan suku Bajo
untuk membiayai anak mereka untuk bersekolah terbilang masih cukup
55. 55
rendah. Bukan pendidikan yang menjadi tujuan utama mereka namun
bagaimana bisa menafkahi keluarga mereka.
3. Terdapat beberapa upaya yang dilakukan pemerintah dan nelayan suku
Bajo agar meningkatkan pendidikan anak mereka. Dari segi pemerintah
sendiri, pemerintah telah mendistribusikan lokasi sekolah SD dan SMP
dengan fasilitas pendidikan yang cukup dan berada di kecamatan tanete
riattang timur sesuai dengan kebutuhan tiap wilayah sehingga berada tidak
terlalu jauh dan terjangkau oleh pemukiman nelayan kampung Bajo.
Selain itu juga telah ada sekolah alam khusus anak nelayan kampung Bajo
sebagai sarana mereka untuk belajar dan bermain.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, peneliti hendak menyampaikan dan
menuangkan beberapa pandangan sebagai saran yaitu.
1. Diharapkan kepada pemerintah untuk memperhatikan beberapa kawasan
kumuh dan rumah-rumah kampung Bajo yang tidak layak huni. Pemberian
bantuan kepada mereka sangat diharapkan demi tercapainya pemerataan
ekonomi
2. Memperhatikan generasi muda dan orang tua Suku Bajo di kampung Bajo
yang kurang memahami arti penting pendidikan dengan memberikan
sosialisasi ataupun sehingga keinginan untuk menjadi orang yang terdidik.
3. Menyediakan fasilitas yang layak dan memadai bagi sekolah alam Suku
Bajo di kabupaten Bone agar anak-anak betah belajar dan bermain disana.
56. 56
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, 2014. Persepsi dan Tingkat Partisipasi Suku Bajo Terhadap
Pendidikan Islam. Jurnal “Al-Qalam” Volume 20 Nomor 1 Juni 2014.
STAIN Watampone. Bone
Ali, Mukti, 2017. Mengkomunikasikan Pendidikan dan Melestarikan Kearifan
Lokal Orang Bajo. Jurnal Volume 11 No. 1. IAIN Salatiga
Artanto, Yohanes Kristiawan. 2017. Bapongka, Sistem Budaya Suku Bajo Dalam
Menjaga Kelestarian Sumber Daya Pesisir. Jurnal Sabda Volume 12,
Nomor 1. Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil
Perikanan Kelas II. Semarang
BPS Kecamatan Tanete Riattang Timur Kabupaten Bone Dalam Angka 2018.
Katalog : 1102001.7311.730. Nomor Publikasi : 73110.1832.
Data Kantor Kelurahan Bajoe Tahun 2017.
Elisa, 2013. Pendidikan Anak Dalam Perspektif Masyarakat Nelayan Suku Bajo
Di Desa Saponda Laut Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe. Skripsi.
STAIN Sultan Qaimuddin. Kendari.
Hadi, Sutrisno 1997. Metode Penelitian. UGM Press. Yogyakarta
Harmin. 2009.Persepsi Masyarakat Suku Bajo terhadap pendidikan. UGM
Yogyakarta.
Https://bone.go.id/2013/04/26/geografi-dan-iklim/. Sumber Data Internet. Di
akses pada Minggu, 3 Agustus 2019 Pukul 14.00 WITA
Suardika, I Ketut, 2015. Problematika Pendidikan Suku Bajo. Penerbit Ombak.
Yogyakarta.
Lelet, Feydi H. 2014. Motivasi dan Persepsi Terhadap Keputusan Pembelian pada
KFC Cabang Boulevard Manado. Motivasi dan Persepsi: 2 (1): 551-552.
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000), hlm, 112.
57. 57
Mukhlis, Ainuddin. 2011. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Rendahnya
Tingkat Pendidikan Masyarakat Di Desa Dieng Wetan Kecamatan Kejajar
Kabupaten Wonosobo. Skripsi.Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Nisa, Himayatun, 2016. Persepsi Masyarakat Nelayan Terhadap Pendidikan
Tinggi. Skripsi. UIN Maulana Malik Ibrahim. Malang
Poedjowibowo, 2018. Permukiman Suku Bajo Di Desa Tumbak Kecamatan
Posumaen Kabupaten Minahasa Tenggara. Minahasa
Rini, Intan Puspa. 2017. Analisis Tingkat Pendidikan Anak Nelayan Pantai
Sadeng Dilihat Dari Kondisi Sosial Ekonomi Orang TUA (Studi pada
Nelayan Pantai Sadeng, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul).
Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
Risqa, Noor. 2015. Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah Pada Tingkat Smp Di
Desa Bumi Rejo Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan Tahun 2014.
Skripsi. FKIP. Universitas Lampung. Lampung.
Sakheraeni. 2012. Masalah Sosial Anak Putus Sekolah (Studi Kasus Di kecamatan
Tamalate Kota Makassar).Skripsi. Fakultas Dakwah dan Komunikasi.
UINAM Makassar.
Satria A. 2011. Dinamika Modernisasi Perikanan Formasi Sosial dan Mobilitas
Nelayan. Humaniora Utama Press. Bandung.
Sugiyono.2016. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D). Alfabeta: Bandung.
Sugiyono. 2013. Variabel Penelitian. Alfabeta. Bandung.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta :
PT. Rineka Cipta, 2002, Cet.XII), hlm. 107.
Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. EGC: Jakarta.
Suryanegara, Ellen, dkk. 2015. Perubahan Sosial Pada Kehidupan Suku Bajo : Di
Kepulauan Wakatobi. Maj. Globe. Vol. 17 Juni 2015: 067–078. Wakatobi.
58. 58
Soedarjito. 2008. Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita,. Kompas Media
Nusantara. Jakarta.
Umanailo, M Chairul Basrun. 2018. Teknik Praktis Riset Fenomenologi.
Publikasi Researcgate. Universitas Iqra Buru. Maluku.
Uniawati. 2011. Mitos Dan Aktivitas Melaut Masyarakat Bajo Di Buton (Myth
and Sailing Activities of Bajo Community in Buton). Naskah Publikasi Juni
2011. Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari.
W. Sarwono Sarlito, 2016. Pengantar Psikologi Umum. Raja Grafindo Persada
(Rajawali Perss): Jakarta.
Zuriah, Nasrullah. 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. PT Bumi
Aksara: Jakarta.