1. Tingkat pendidikan masyarakat nelayan di wilayah pesisir Sulawesi Selatan masih rendah, sebagian besar hanya lulusan SD atau buta huruf. 2. Faktor penyebab rendahnya tingkat pendidikan ini antara lain kemiskinan yang dihadapi nelayan serta pandangan mereka yang kurang menghargai pendidikan. 3. Pendidikan yang tinggi diperlukan untuk membebaskan anak nelayan dari lingkaran kemiskinan.
LAPORAN PRAKTEK LAPANGAN OCEANOGRAFI DI PULAU SAUGI
PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PERILAKU LINGKUNGAN NELAYAN DI WILAYAH PESISIR PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN
1. 1
ARTIKEL
PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP PERILAKU
LINGKUNGAN NELAYAN DI WILAYAH PESISIR PANTAI BARAT
SULAWESI SELATAN
DISUSUN OLEH
ANDI MUHAMMAD IKHSAN
1515442005
PENDIDIKAN GEOGRAFI ICP
JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2018
2. 2
Wilayah pesisir atau sering dikaitkan dengan lingkungan nelayan dimana kualitas dan
kuantitas pendidikannya masih dibawah standar. Berbagai macam persoalan diperoleh pada
keluarga pesisir, mulai dari reklamasi pantai serta anak atau siswa yang lebih memilih untuk
pergi berlayar menangkap ikan bersama keluarganya dibandingkan untuk pergi bersekolah.
Penjelasan beberapa jurnal berikut akan memberikan informasi terkait pendidikan dan
perilaku masyarakat nelayan diwilayah pesisir. Sekitar 75% dari wilayah Indonesia
merupakan lautan dengan panjang garis pantai (± 95.000,- km) dan zona Ekonomi Ekslusif
(ZEE) seluas 5.800.000 Km², dengan potensi hasil periakan sebesar 6,4 juta ton per-tahun,
70% diantaranya berasal dari perikanan tangkap. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan
negara-negara lain, maka luas perairan Indonesia merupakan terbesar kedua setelah Amerika
Serikat. Luasnya wilayah perikanan Indonesia dan hasil lautnya yang melimpah belumlah
mampu menunjang kehidupan sosial dan ekonomi nelayan di Indonesia. (Hidayat 2017). Ciri-
ciri umum dari kehidupan nelayan adalah rendahnya tingkat sosial- ekonomi mereka.
Kehidupan mereka setaraf dengan pekerja migran atau setaraf dengan petani kecil. Faktor-
faktor yang bersifat kompleks menyebabkan kemiskinan di kalangan nelayan.
Lebih spesifik lagi, Kusnadi dalam Hidayat (2017) menyatakan bahwa kemiskinan
yang diderita oleh masyarakat nelayan bersumber dari faktor-faktor sebagai berikut: “(1)
faktor alamiah, yakni berkaitan dengan fluktasi musim-musim penangkapan dan struktur
alamiah sumberdaya ekonomi dan; (2) faktor non-alamiah, yakni berhubungan dengan
keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan
tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan jaringan
pemasaran dan belum berfungsinya lembaga koperasi nelayan yang ada serta dampak negatif
kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir”.
Dengan kata lain dapat diakatakan bahwa faktor kemiskinan di kalangan nelayan dapat
sebabkan oleh faktor internal meliputi keterbatasan dibidang pendidikan, kurangnya
kesempatan akses teknologi modern dan tidak memiliki modal yang cukup. Faktor lainnya
adalah faktor eksternal yaitu terbatasnya potensi sumber daya laut yang bisa dimanfaatkan
nelayan, persaingan yang intensif, mekanisme pasar, posisi tawar nelayan yang dihadapi
tengkulak, keadaan infrastruktur pelabuhan perikanan, dan yuridiksi otonomi adalah beban
yang mempersulit keadaan kemiskinan nelayan tradisional.
Dahuri dalam Ninik S (2006) dalam Mutriani (2016) menjelaskan bahwa: Kondisi
laut yang dimiliki negara Indonesia demikian luas yang disertai dengan kekayaan sumberdaya
3. 3
alam yang begitu besar, seharusnya bangsa Indonesia mampu menjadi bangsa yang kaya dan
maju. Namun pada kenyataannya Indonesia belum mampu menjadi bangsa yang maju, salah
satu masalahnya adalah pelaku usaha perikanan yang masih didominasi nelayan tradisional.
Faktor penyebab utama rendahnya produktivitas adalah rendahnya kualitas sumberdaya
manusia yang salah satunya ditunjukkan oleh rendahnya tingkat pendidikan formal. Dari empat
juta nelayan Indonesia, 85% berpendidikan Sekolah Dasar (SD) atau buta huruf, 12%
berpendidikan Sekolah Lanjutan TIngkat Pertama (SLTP), 2,97% berpendidikan Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan 0,03% berpendidikaan Diploma. (Mutriani, 2016).
Berdasarkan pendapat di atas dapat dilihat bahwa faktor penyebab utama rendahnya
produktivitas adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang salah satu ditunjukkan
oleh rendahnya tingkat pendidikan formal. Tingkat pendidikan masyarakat nelayan yang
rendah salah satunya disebabkan oleh kemiskinan yang ada pada masyarakat nelayan, dengan
kondisi ekonomi yang lemah tidak memungkinkan bagi nelayan untuk memberikan
pendidikan yang layak bagi anak-anaknya selain itu pandangan nelayan terhadap pendidikan
juga berpengaruh terhadap tingkat pendidikan di masyarakat nelayan. Pendidikan diperlukan
di kalangan anak nelayan untuk bekal di masa yang akan datang agar nelayan tidak terus
berkutat dalam sebuah lingkaran kemiskinan yang tidak berujung. Kehidupan nelayan yang
serba kekurangan ternyata mempengaruhi perspektif mereka terhadap pendidikan. Walaupun
bagi nelayan maupun istrinya pendidikan adalah hal yang penting dan bermanfaat namun ada
kecenderungan bahwa mereka kurang berambisi untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi.
Keterbatasan ekonomi dan kenyataan yang mereka temui sehari-hari, dengan kesempatan
bekerja amat terbatas, mempengaruhi perspektif mereka terhadap manfaat pendidikan
( Mutriani 2016).
Selain permasalahan ekonomi, pendidikan orang tua juga sangat mempengaruhi
suksesnya pendidikan anak, khususnya dalam pandangan orang tua terhadap pendidikan anak,
karena dengan pendidikan orang tua yang cukup/memadai maka akan membantu memotivasi,
dan memberikan dorongan terhadap pendidikan anak. Peranan orang tua untuk menyukseskan
pendidikan anak sangat besar. Kunci keberhasilan pendidikan anak, disamping kemauan anak
itu sendiri untuk melanjutkan pendidikannya juga harus ditunjang oleh perhatian atau
kepedulian orang tuanya (Mutriani 2016).
Berdasarkan pendapat para ahli dikatakan sebagai berikut.
4. 4
The objective of sustainable 76 Sharvina / 8th International Conference on
Architecture Research and Design (AR+DC).design is to find a design solution that
can ensure the balance and the existence of the three principles of sustainability in the
architecture, (Jong-Jin & Brenda, 1998) namely:
1. The economic resources, which focused on reduce, reuse, and recycle of natural
resources
2. Life Cycle Design that provides a methodology for analyzing a process and its
impact on the environment.
3. Design humanistic, focused on the interaction between humans and nature.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menyatakan “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara”. Dalam Undang-undang ini jalur pendidikan dibedakan
menjadi tiga yaitu:
1. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang
terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
2. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan luar di luar pendidikan formal yang
dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan nonformal
diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang
berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal.
Contoh : sosialisasi, pelatihan.
3. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan secara mandiri.
Pendidikan informal dilakukan oleh orang tua kepadaanaknya. Contoh : Orang tua
mengajarkan anaknya tentang bagaimana bersikap di luar rumah seperti tidak boleh
membuang sampah sembarangan.
Ketiga jalur pendidikan diatas akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang
terhadap pengelolaan sampah. Dalam hal ini tidak seluruhnya tingkat pendidikan formal yang
dominan, namun pendidikan nonformal (sosialisasi dan pelatihan) juga akan mempengaruhi
tingkat pengetahuan dan perilaku seseorang dalam pengelolaan sampah (seseorang mengikuti
sosialisasi dan pelatihan akan berbeda dengan seseorang yang tidak mengikuti sama sekali),
5. 5
dan pendidikan informal yang telah diajarkan orang tua kepada anaknya sejak kecil.
Sedangkan Hubungan berasal dari kata dasar “hubung” yang menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti “bersambung atau berangkai (yang satu dengan yang lain), bertalian,
barkaitan, bersangkutan”. Jadi dari pengertian tersebut hubungan adalah dua hal yang saling
berkaitan satu dengan yang lain. Hubungan adalah kesinambungan interaksi antara dua orang
atau lebih yang memudahkan proses pengenalan satu akan yang lain. Hubungan terjadi
dalam setiap proses kehidupan manusia. Secara garis besar, hubungan terbagi menjadi
hubungan positif dan negatif. Hubungan positif terjadi apabila kedua pihak yang berinteraksi
merasa saling diuntungkan satu sama lain dan ditandai dengan adanya timbal balik yang
serasi.
Sedangkan, hubungan yang negatif terjadi apabila suatu pihak merasa sangat
diuntungkan dan pihak yang lain merasa dirugikan. Dalam hal ini, tidak ada keselarasan
timbal balik antara pihak yang berinteraksi. Lebih lanjut, hubungan dapat menentukan tingkat
kedekatan dan kenyamanan antara pihak yang berinteraksi. Semakin dekat pihak-pihak
tersebut, hubungan tersebut akan dibawa kepada tingkatan yang lebih tinggi (Devi, 2016).
Di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
disebutkan bahwa pengertian pendidikan sebagai berikut:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses pengubahan sikap
dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik.
2. Tujuan Pendidikan Nasional
Rumusan tujuan pendidikan juga tercantum dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 yang menyatakan bahwa:
“Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi Manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
6. 6
jawab”.
3. Jenjang Pendidikan Di Indonesia
“Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang telah
ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang
akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan”.
Jenjang pendidikan seseorang adalah jenjang pendidikan formal yang pernah
ditempuh atau ijazah terakhir yang dimiliki seseorang. Jenjang pendidikan formal tersebut
adalah jenjang pendidikan sekolah sebagaimana yang telah diatur oleh pemerintah pasal 14
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa
“jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi”. Sebetulnya pendidikan dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja,
baik lingkungan keluarga, sekolah dan dalam kehidupan masyarakat. Dalam
pendidikan sehari-hari dapat dibedakan tiga jalur pendidikan, yaitu:
a) Pendidikan Formal
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional bahwa yang dimaksud pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang
terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi. Ciri yang menonjol pada pendidikan formal ini adalah dengan adanya
pengorganisasian yang ketat programnya lebih formal secara urut dan sistematis. Yang
termasuk jalur pendidikan sekolah antara lain:
1) Pendidikan Umum
Pendidikan yang mengutamakan perluasan pengetahuan dan peningkatan ketrampilan
peserta dengan mengharuskan yang diwujudkan pada tingkah laku akhir pada akhir masa
pendidikan, misalnya pendidikan SD, pendidikan SMP, pendidikan SMA.
2) Pendidikan Kejuruan
Pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk program bekerja dalam bidang
tertentu. Program Pendidikan Kejuruan dilaksanakan oleh Sekolah Menengah Kejuruan
atau sering disingkat SMK. Sekolah Menengah Kejuruan biasanya membuka beberapa
pilihan jurusan atau spesialisasi, misalnya elektronika, otomotif, Teknik Informasi dan
Komputer, akutansi, listrik.
7. 7
3) Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan yang khusus diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan
fisik atau mental, misalnya pendidikan SLB.
4) Pendidikan Kedinasan
Pendidikan Kedinasan yang berusaha menghasilkan kemampuan atau lembaga
pendidikan non-departemen misalnya prajabatan, sepala, sepadya.
5) Pendidikan Keagamaan
Pendidikan Keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk
dapat menjalankan peranan yang menurut penguasaan khusus tentang ajaran agama,
misalnya
Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA).
Pendidikan tersebut dilaksanakan di bawah naungan Kementrian Agama Republik
Indonesia.
b) Pendidikan Nonformal
Yang dimaksud Pendidikan Nonformal menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
adalah jalur pendidikan luar di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara
terstruktur dan berjenjang. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga
masyarakat
yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah,
dan/atau pelengkap pendidikan formal.
c) Pendidikan Jalur Informal
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 bahwa yang dimaksud dengan
pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Dari pengertian
tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan
lingkungan secara mandiri. Pendidikan informal dilakukan oleh orang tua kepada
anaknya.
4. Tahun Sukses Pendidikan
Tahun sukses pendidikan merupakan ukuran lamanya waktu yang ditempuh oleh
seseorang untuk mencapai pendidikan formal, terakhirnya dalam ilmu demografi
dinyatakan dengan istilah tahun sukses.Tahun sukses dihitung berdasarkan lamanya
waktu yang ditempuh oleh seseorang untuk mencapai pendidikan terakhir. Di Indonesia
8. 8
program wajib belajar yang berlaku saat ini adalah 12 tahun, yakni Sekolah Dasar
(SD/sederajat) selama 6 tahun, Sekolah Menengah Pertama (SMP/sederajat) selama 3
tahun dan Sekolah Menengah Atas (SMA/sederajat) selama 3 tahun. Maka jika seseorang
telah menempuh pendidikan sampai SMA/sederajat maka tahun suksesnya adalah 12
tahun, jika hanya sampai tingkat SMP/sederajat maka tahun suksesnya adalah 9 tahun dan
jika hanya sampai tingkat SD/sederajat maka tahun suksesnya adalah 6 tahun (Devi,
2016).
Menurut Satria dalam Fathoni (2008) nelayan sering didefinisikan sebagai orang yang
melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut. Diliiat dari status penguasaan kapitalnya,
nelayan dapat dibe'dakan menjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik
atau juragan adalah orang yang memiliki sarana penangkapan, seperti kapallperahu,
jaring dan alat tangkap lainnya. Sementara nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa
tenaga ker ja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut atau sekarang lebih
diienal sebagai anak buah kapal (ABK).
Mengenai pengertiannya, menurut Ditjen Perikanan (2000) dalam Fathoni (2008)
mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam
operasi penangkapan ikadbinatang air lainnydtanaman air. Adapun orang yang hanya
melakukan peker jaan seperti membuat jaring atau mengangkut alat-alat perlengkapan ke
dalam perahulkapal tidak dikategorikan sebagai nelayan. Sedangkan ahli mesin dan juru
masak yang bekerja di atas kapal penangkap walaupun mereka tidak secara langsung
melakukan penangkapan ikan, dapat disebut sebagai nelayan. Berdasarkan waktu yang
digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkap pemeliharaan.
Ditjen Perikanan (2002) dalam Fathoni (2008), mengklasifikasikan nelayan ke dalam
tiga kategori, yaitu :
a) Nelayan petani ikan penuh adalah orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk
melakukan peke rjaan operasi penangkap perneliharaan ikan binatang air lainnya tanaman
air.
b) Nelayan petani ikan sambilan utama adalah orang yang sebagian besar waktu
kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan ikan
binatang air lainna dalam tanaman air. Di samping melakukan pekerjaan penangkap
perneliharaan, nelayan dalam kategori ini dapat mempunyai pekerjaan lain.
9. 9
c) Nelayan petani ikan sarnbilan tambahan adalah orang yang sebagian kecil waktu ke
rjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan pemeliharan ikanl binatang
air lainnya/tanaman air.
Satria dalam Fathoni (2008) mengklasifikasikan nelayan menjadi empat
tingkatan berdasarkan kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar, clan
karakteristik hubungan produksi, yaitu :
a) Peasant-fisher
Peasant-fsher adalah nelayan tmdisional yang biasanya lebih berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan sendiri (subsistance). Umumnya masih menggunakan alat tangkap
tradisional dayung atau sampan tidak bermotor dan masih melibatkan anggota keluarga
sebagai tenaga kerja utama.
b) Post-peasantfisher
Pada tingkatan ini, dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan yang lebih maju
seperti motor tempel atau kapal motor. Pada umumnya masih beroperasi sekitar daerah
pesisir. Ciri lain, nelayan sudah berorientasi pasar dan tenaga ke rja atau ABK-nya sudah
meluas dan tidak tergantung pada anggota keluarga saja.
c) Commercialjsher
Pada tingkatan ini, nelayan telah berorientasi pada peningkatan keuntungan dengan skala
usaha yang besar dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang
berbeda. Selain itu, teknologi yang digunakan lebih modern dan membutuhkan keahlian
sendiri untuk mengoperasikan kapal dan alat tangkap.
d) Industrialfisher
Menurut Pollnac (1998) diacu dalam Satria dalam Fathoni (2008), ciri nelayan industri
adalah:
1. Diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan agroindustri di negara-
negara maju,
2. Secara relatif lebih padat modal,
3. Memberikan pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan. sederhana, baik untuk
pernilik maupun untuk awak perahu,
4. Menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor.
10. 10
Karakteristik sosial masyarakat pesisir sebagai representasi komunitas desa pantai dan
desa terisolasi dapat diliiat dari berbagai aspek, antara lain :
a) Sistem Pengetahuan
Pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan pada umumnya didapat dari warisan
orang tua atau para pendahulu mereka berdasarkan pengalaman empiris.
Pengetahuan lokal tersebut antara lain dalam sistem kalender, penunjuk arah dengan
menggunakan rasi biitang dan pengukur arus. Pengetahuan lokal tersebut sampai saat
ini masih terus dipertahankan.
b) Sistem Kepercayaan
Masyarakat nelayan masih memiliki kepercayaan yang cukup kuat bahwa laut
memiliki kekuatan magis, sehingga diperlukan adanya perlakuan-perlakuan husus
dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan. Sistem kepercayaan tersebut sampai
saat ini masih menjadi ciri kebudayaan masyarakat nelayan. Seiring dengan
peningkatan tingkat pendidikan dan intensitas pendalaman terhadap nilai-nilai agama,
bagi sebagian kelompok nelayan upacara tersebut hanya sebagai ritualisme.
c) Peran Waiia
Civitas ekonomi wanita dikalangan nelayan merupakan suatu gejala yang umum.
Para isteri nelayan menjalankan fiillgsi domestik dan fungsi ekononmi dalam
keluarga. Narnun tidak sampai pada wilayah sosial politik.
d) Posisi Sosial Nelayan
Posisi sosial nelayan dalam masyarakat memiliki status yang relatif rendah yang
diakibatkan oleh keterasingan nelayan. Keterasingan tersebut disebabkan oleh
sediitnya waktu dan kesempatan untuk berikteraksi dengan masyarakat lainnya.
Dalam hal pendidikan, D. Marimba (1987) diacu dalam Hasbullah dalam Fathoni
(2008), menyebutkan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidi menuju terbenthya
kepribadian yang utama. Unsur-unsur yang terdapat dalam pendidikan dalam hal ini
adalah :
a) Usaha (kegiatan), usaha itu bersifat bimbingan (pinlpinan atau pertolongan)
dan dilakukan secara sadar,
b) Ada pendidii, pembiibing, atau penolong
c) Ada yang dididik atau si terdidik,
d) Bimbingan itu mempunyai dasar dan tujuan.
11. 11
Dengan memperhatikan batasan-batasan pendidikan yang telah dijelaskan para ahli,
Hasbullah (2006) memberikan pengertian dsar yang perlu dipahami yaitu, pendidikan
merupakan perbuatan manusiawi. Pendidikan lahir dari pergaulan antar orang dewasa dan
oarang yang belum dewasa dalam suatu kesatuan hidup, sehingga menyebabkan oarng yang
belum dewasa menjadi dewasa dengan memliki nilai-nilai kemanusiaan, dan hidup menurut
nilai-nilai tersebut. Kedewasaan diri mempakan tujuan pendidikan yang hendak dicapai
melalui perbuatan atau tindakan pendidi. Selain itu, Langeveld (1971) diacu dalam Hasbullah
(2006) juga mengemukakan macam-macam tujuan pendidikan, yaitu :
1) Tujuan Umum
Ini mempakan tujuan yang menjiwai peke rja mendidi dalam segala waktu dan
keadaa. Tujuan mum ini dirumuskan dengan memperhatikan hakikat kemanusiaan
yang universal.
2) Tujuan Khusus Tujuan ini merupakan pengkhususan dari tujuan umum di atas dasar
beberapa hal, diantaranya :
(a) Terdapatnya perbedaan individual anak didii, misalnya perbedaan dalam bakat,
jenis kelamin, intelegensi, minat dan sebagainya,
(b) perbedaan lingkungan keluarga atau masyarakat, misahya tujuan khusus untuk
masyarakat pertanian, perikanan, dan lain-lain,
(c) perbedaan yang berhubungan dengan tugas lembaga pendidikan, misahya tujuan
khusus untuk pendidikan keluarga, pendidikan sekolah pendidikan dalam
perkembangan pemuda,
(d) perbedaan yang berhubungan dengan pandangan atau falsafat hidup suatu bangsa.
3) Tujuan Tak Lengkap
Ini adalah tujuan yang mencakup salah satu dari aspek kepribadian, misalnya : tujuan
khusus pembentukan kecerdasan saja, tanpa memperhatikan yang lainnya.
4) Tujuan Sementara
Per jalanan untuk mencapai tujuan umum tidak dapat dicapai secara sekaligus,
karenanya perlu ditempuh setingkat demi setingkat. Tiatan demi tingkatan yang
diupayakan untuk menuju tujuan akhir itulah yang dimaksud dengan tujuan
sementara.
5) Tujuan Insidentil
12. 12
Ini merupakan tujuan yang bersifat sesaat karena adanya situasi yang terjadi secar
kebetulan, kendatipun demikian, tujuan ini tidak terlepas dari tujuan mum. Misalnya :
seorang ayah memanggil anaknya dengan tujuan anak mencapai kepatuhan.
6) Tujuan Intermedier
Disebut juga tujuan perantara, merupakan tujuan yang dilihat sebagai alat dan hams
dicapai lebii dahulu demi kelancaran pendidikan selanjutnya.
Sedangkan keluarga atau rumah tangga mempakan kesatuan sosial terkecil yang
membentuk masyarakat. Sebagai pranata sosial yang usianya sudah sangat tua, keluarga atau
rumah tangga hanya dapat berfimgsi dengan baik bila mendapatkan dukungan dari
masyarakat (Kusnadi 2000). Menurut Depdikbud (1995) bagi setiap orang keluarga (suami,
isteri dan anak-an&) mempunyai arti penting dalam sepanjang hidupnya. Dalam keluarga
inilah seseorang proses sosialisasinya untuk dapat memahami, menghayati budaya yang
berlaku dalam masyarakat. Menurut Hasbullah dalam Fathoni (2008) sumbangan keluarga
bagi pendidikan anak adalah sebagai berikut.
1) Cara orang tua mefatih anak untuk menguasai cara-cara mengurus diri,
seperti cara makan, buang air, berbicara, berjalan, berdoa, sungguh-sungguh
membekas dalam dii anak karena berkaitan erat dengan perkembangan dirinya
sebagai pribadi.
2) Sikap orang tua sangat mempengaruhi perkembangan anak. Sikap
menerima atau menolak, sikap kasih sayang atau acuh talc acuh, sikap sabar atau
tergesa gesa, sikap melindungi atau membiarkan secar langsung mempengaruhi
reaksi emosional anak.
Beberapa factor yang mempengaruhi pendidikan adalah (Fathoni, 2008)
1. Faktor Internal
Faktor internal yang mempengaruhi pendidiian dalam penelitian ini antara
lain umur, tingkat pendidikan kepala keluarga, jumlah tanggungan, pendapatan
keluarga, pengeluaran keluarga, persepsi masyarakat terhadap pendidikan, dan status
sosial dalam masyarakat.
13. 13
1). Umur
Kedewasaan dii merupakan tujuan pendidii yang hendak dicapai melalui
perbuatan atau tindakan pendidikan (Hasbullah 2006). Hal ini berkaitan dengan
pendapat Siagian (1989) bahwa semakin lanjut usia sesorang, diiarapkan akan
semakin mampu menunjukkan kematangan jiwa (semakin bijaksana), semakin
mampu berfikir secara rasional dan semakin mampu mengendalikan emosi dan sifat-
sifat lainnya yang menunjukkan kematangan intelektual dalam psokologis, sehingga
semakin tua usia seseorang, motivasi yang diiliki akan
semakin tinggi.
2). Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga
Menurut Heryanto dalam Fathoni (2008), dengan dasar pendidikan yang relatif
memadai untuk mampu memberikan makna terhadap nilai, kegunaan dan pentingnya
pendidikan bagi masa depan anaknya, sehingga kesungguhan menambah wawasan
clan bekerja keras untuk menyekolahkan anaknya menjadi cita-cita dan harapan
hidupnya. Menurut Sriyanti (2006) dalam hasil penelitiannya di Desa Tasikagung dan
Desa Pasarbanggi Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah,
responden yang memiliki pendidikan tinggi akan memiliki persepsi yang tinggi
tentang pendidikan formal. Hal ini disebabkan karena nelayan yang memili tingkat
pendidikan tinggi biasanya lebih rasional dalam menyekolahkan anak, sehingga
secara tidak langsung mereka menganggap bahwa sekolah merupakan salah satu
kebutuhan anak untuk bekal di masa yang akan datang.
3). Jumlah Tanggungan
Banyaknya tanggungan dalam suatu keluarga akan berimplikasi pada besar
kecilnya pengeluaran suatu keluarga Berdasarkan hasil penelitian Yuniarti (2000) di
Pantai Pamayang, sermakin besar jumlah tanggungan mengakibatkan persepsi
masyarakat nelayan terhadap pendidikan formal semakin rendah.
4). Pendapatan Keluarga
Pendapatan nelayan dapat diperoleh dari usaha perikanan (usaha penangkapan
dan usaha non penangkapan) maupun dari usaha non perikanan yang dilakukan.
Pendapatan keluarga dapat menggambarkan kualitas kehidupan suatu keluarga, hal
ini disebabkan karena dengan tingkat pendapatan yang diperoleh suatu rumah tangga
maka rumah tangga itu akan mengatur pengeluarannya sesuai dengan pendapatan
14. 14
yang dimiliki. Sebagian besar responden menganggap bahwa salah satu yang
menyebabkan rendahnya tingkat pendidiian anak adalah semakin besarnya biaya
pendidikan dengan tingkat pendidiian anak yang semakin tinggi maka biaya yang
harus dikeluarkan untuk biaya pendidikan juga semakin meningkat, sehingga
responden yang memiliki tingkat pendapatan rendah, cenderung memiliki tingkat
persepsi yang kurang baik tentang pendidikan formal.
5). Persepsi Terhadap Pendidikan
Menurut Wahjoetomo dalam fathoni (2008) terdapat dua masalah pokok yang
cenderung menjadi penghambat pemasyarakatan dan penyuksesan Program Wajib
Belajar Pendidii Dasar 9 Tahun. Pertama, persepsi dan pandangan masyarakat yang
menganggap bahwa "sekolah dan tidak sekolah sama saja. Kedua, budaya kawin
muda Pada beberapa masyarakat kita kebiasaan para orang tua untuk segera
menikahkan anak-anaknya pada usia yang relatif muda, terutama perempuan. Mereka
beranggapan bahwa apabila anak perempuan tidak segera dinikahkan akan
membuahkan aib dan malu bagi keluarga karena dianggap tidak laku.
6). Status Sosial dalam Masyarakat
Secara tidak langsung kedudukan (status) dapat mencenninkan adanya pelapisan
(stratifikasi sosial). Untuk mempelajari stratifikasi sosial menurut Zenden (1990)
diacu dalam Satria (2001) terdapat tiga pendekatan yang harus dilakukan, yaitu :
a) Pendekatan objektif, yaitu menggunakan ukuran obyektif berupa variabel yang
mudah diukur secara statistik seperti pekerjaan, pendidikan, atau penghasilan.
b) Pendekatan subjektif (self-placement), yaitu kelas diliiat sebagai kategori
sosial dan disusun dengan meminta responden untuk menilai statusnya sendiri.
c) Pendekatan reputasional, yaitu subyek penelitian dimiiu ntuk menilai status
orang lain dan menempatkannya pada posisi tertentu.
15. 15
Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pendidikan antara lain kebijakan
pemerintah, informasi terhadap pendidikan, sarana pendidikan, jarak sarana pendidi
dan biaya pendidikan
1) Kebijakan Pemerintah
Salah satu kebijakan Pemerintah terhadap pendidiian yaitu Program Wajib Belajar
yang pada hakikatnya merupakan upaya Pemerintah yang secara sistematis
menginginkan terjadinya peningkatan kualitas manusia Indonesia, sehingga dapat
aktif dalam keseluruhan pembangunan nasional serta adaptif dalam penyerapan
informasi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) (Wahjoetomo, dalam Fathoni
2008). Sementara itu, kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Rembang mengenai masalah lowongan pekerjaan dengan persyaratan
lulus pada tingkat pendidikan tertentu, menyebabkan peningkatan tingkat pendidikan
pada masyarakat Kabupaten Rembang, sehingga secara langsung dengan adanya
kebijakan tersebut, persepsi masyarakat tentang pendidikan formal akan semakin
positif.
2) Informasi Terhadap Pendidikan Formal
Informasi sangat mempengaruhi tingkat pendidikan anak pada kelurga nelayan.
Informasi yang didapat oleh para nelayan terutam dalam ha1 pendidikan sangat
terbatas. Penggunaan media elektronik seperti radio dan televisi tidak dipergunakan
sebagai sarana untuk mendapatkan informasi-informasi aktual tetapi bagi kebanyakan
nelayan alat tersebut hanya berfungsi sebagai sarana hiburan saja.
3) Sarana Pendidikan
Menurut Wahjoetomo dalam Fathoni (20080 bahwa upaya peningkatan kualitas
pendidii memerlukan sarana yang memadai, baik dalam kuantitas kelengkapannya
maupun kualitasnya. Sementara itu, hasil penelitian Sriyanti (2006) di Desa
Tasikagung dan Desa Pasarbanggi Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Jawa
Tengah, menyebutkan bahwa jumlah fasilitas pendidikan di kedua desa tersebut
te~tama Sekolah Dasar cukup memadai meskipun kondisinya tidak cukup bays.
Hal ini tidak mempengaruhi persepsi responden tentang pendidik formal,
disebabkan karena sebagian besar responden tetap menginginkan anaknya bersekolah
(lchususnya Sekolah Dasar) yang dekat dengan rumah responden, sehingga meskipun
16. 16
kondisi gedung sekolah tidak cukup bagus, responden tetap berantusias untuk
menyekolahkan anaknya disekolah itu.
4) Jarak Sarana Pendidikan
Menurut Heryanto (1998) diacu dalam Suryani kemudian dalam Fathoni (2008) jarak
tempat tinggal ke sarana pendidikan dan pusat informasi pendidikan penting dijadiian
pertimbangan untuk menyekolahkan anak, karena terkait dengan transportasi, biaya
dan waktu pengawasan kemajuan prestasi anak. Selain itu, menurut Ihsan (1995)
diacu dalam Sukmawan kemudian dalam Fathoni (2008) bahwa disamping faktor-
faktor lain yang menjadi penyebab kesulitan belajar yaitu kepemimpinan yang
otoriter ata Zaizes faire, gaduh, jauh dari tempat tinggal dan sulit transportasi.
5) Biaya Pendidikan
Sekolah sangat berkaitan dengan biaya, meskipun seseorang memiliki penilaian yang
positif terhadap pendidikan formal, tetapi jika tidak ada biaya maka mereka tidak
akan mampu menyekolahkan anaknya apalagi ke tingkat pendidi yang lebih tinggi
lagi. Dapat dikatakan bahwa biaya pendidikan merupakan faktor penentu utarna
seorang anak disekolahkan pada tingkat pendidikan tertentu.
Menurut hasil penelitian Sriyanti (2006) dalam Fathoni (2008) di Desa
Tasikagung dan DesaPasarbanggi Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Jawa
Tengah bahwa sebagian besar nelayan di Desa Tasikagung dan Desa Pasarbanggi
yang menjadi responden menilai bahwa biaya pendidikan yang mereka keluarkan
untuk biaya pendidikan anak-anak termasuk mahal, yaitu sebanyak 65,71%, dan
sebanyak 27,14% menilai bahwa biaya pendidikan murah. Sebagian besar responden
yang menilai bahwa biaya pendidikan mahal, mengeluhkan besarnya uang SPP yang
ham mereka bayar setiap bulannya, ditambah lagi pengeluaran untuk uang saku,
ongkos ke sekolah dan uang buku yang besarnya melebihi uang SPP, juga
membuat mereka semakin merasa bahwa biaya pendidikan mahal.
Masyarakat pesisir sejauh ini dianggap sebagai bagian dari kelompok
masyarakat termiskin dan termarginalkan (Maria 2012) dalam Wantah (2017). Kelompok ma-
syarakat ini sebagian besar bekerja pada sektor perikanan atau berprofesi sebagai nelayan.
Program pembangunan perikanan yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi lewat
industrialisasi perikanan tangkap tidak selalu memberikan dampak positif terhadap
pendapatan ekonomi nelayan kecil (Nazmar 2012) dalam Wantah (2017). Program
17. 17
pemberdayaan masya-rakat pesisir merupakan keniscayaan bagi pem-bangunan sumberdaya
pesisir secara komprehensif (Maria,2012) dalam (Wantah 2017). Salah satu gagasan proses
pemberdayaan tersebut adalah melalui pengem-bangan sumberdaya manusia yang pada
gilirannya mampu mengelola sumberdaya lingkungan pesisir yang mereka geluti selama ini.
Pada dasarnya masyarakat pesisir memiliki karakteristik yang beragam, akan tetapi
ecara umum bekerja sebagai nelayan dengan berbagai tingkat teknologi perikanan yang
igunakan. Mata pencaharian masyarakat pesisir dominan pada sektor pemanfaatan sumber
daya kelautan (marine based resources) yaitu nelayan, petani ikan budidaya tambak dan laut
(Fauzi, 2000) dalam Wantah (2017). Karakteristik lainya adalah sebagian besar nelayan
pesisir adalah nelayan tradisional yang umumnya memiliki ciri sama, yaitu tingkat pendidikan
yang masih rendah, karena mereka menganggap tidak perlu pendidikan tinggi untuk mencari
ikan dilaut dan lebih mementingkan atau mengandalkan tenaga serta pengalaman mereka
(Maria,2012) dalam Wantah (2017). Dengan tingkat pendidikan yang rendah maka nelayan
mengalami kesulitan untuk beralih profesi diluar profesinya sebagai nelayan.
Kemiskinan dan keterbatasan ekonomi yang menjadi persoalan utama nelayan pesisir
khususnya nelayan tradisional diakibatkan banyak faktor. Selain faktor tingkat pendidikan
yang rendah, faktor lainnya yaitu alam seperti cuaca dan musim tangkap ikan, faktor
teknologi penangkapan ikan yang masih sangat sederhana, persaingan dengan nelayan modern
atau korporasi perikanan, biaya melaut yang tinggi diakibatkan oleh mahalnya sarana dan pra-
sarana produksi, harga bahan bakar minyak untuk melaut yang tinggi, ketergantungan nelayan
tra-disional pada rentenir atau tengkulak ikan, tidak adanya alternatif mata pencaharian lain
selain sebagai nelayan tradisional, pendapatan ekonomi nelayan tradisional yang tidak
menentu dan jauh dari kehidupan yang layak (Ferdriansyah dalam Indarti dan Wardana, 2013)
dalam Wantah (2017)
Penyebab kemiskinan nelayan diakibatkan juga oleh faktor-faktor ekstenal dan internal.
Kusnadi (2003) dalam Wantah (2017) menyatakan bahwa kemiskinan nelayan diakibatkan
faktor internal yaitu keterbatasan kualitas sumber daya manusia nelayan, keterbatasan modal
usaha, keterbatasan teknologi penangkapan, hubu-ngan kerja pemilik perahu tangkap dan
nelayan serta buruh nelayan yang kurang harmonis, keter-gantungan pada musim melaut, dan
gaya hidup atau perilaku konsumtif nelayan. Untuk faktor eksternal Kusnadi (2005) dalam
Wantah (2017) menyatakan bahwa persoalan ke-miskinan nelayan banyak diakibatkan oleh
kebijakan pembangunan perikanan yang masih belum berpihak pada nelayan, sistem
18. 18
pemasaran hasil perikanan yang hanya menguntungkan pedagang perantara, serta masalah
kerusakan ekosistem laut lewat pencemaran air laut, pengrusakan terumbu karang,
penggunaan alat tangkap yang tak ramah ling-kungan, terbatasnya teknologi pengolahan
pasca panen dan terbatasnya peluang kerja disektor non perikanan (off fishing) di desa-desa
nelayan. Kehidupan nelayan masih menggantungkan nasib kepada hasil laut, yang semakin
sulit sebagai sarana para nelayan memperbaiki kualitas hidupnya. Persoalan tingkat
pendidikan masyarakat pesisir dalam hal ini nelayan pesisir seringkali menjadi persoalan
utama kemiskinan nelayan. Dengan tingkat pendidikan yang rendah maka nelayan mengalami
kesulitan untuk beralih profesi diluar profesinya sebagai nelayan. Perlu diketahui pen-didikan
sangat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia nelayan (Udon, Tipyan, 2014) dalam
Wantah (2017).
Secara sosial ekonomi, wilayah pesisir dan laut memiliki arti penting dalam
pembangunan nasional karena sebagian besar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah wilayah laut. Sekitar 75 persen wilayah Indonesia adalah perairan, dengan jumlah
pulau 17. 508 pulau yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dan dengan panjang
garis pantai kedua terpanjang setelah kanada yaitu 81. 000 km. Dengan diapit oleh dua benua
asia dan australia dan dua samudera yaitu pasifik dan hindia menjadikan Indonesia sebagai
suatu negara yang sangat strategis serta memiliki kekayaan alam laut yang melimpah mulai
berbagai jenis ikan, mineral, terumbu karang yang beraneka ragam, minyak bumi serta banyak
lagi kekayaan laut lainnya (Apridar, 2011) dalam Wantah (2017). Potensi sumber daya
maritim yang melimpah ini kemudian tidak diikuti dengan adanya peningkatan kesejahteraan
masyarakat pesisir pantai dan laut, sebagai akibat dari adanya pengelolahan sumber daya laut
yang belum maksimal dan berpihak pada masyarakat pesisir. Potensi sumber daya pesisir
yang melimpah juga di miliki oleh Kabupaten Minahasa Utara Propinsi Sulawesi Utara, tetapi
belum di kelola maksimal sehingga belum banyak berdampak bagi pendapatan nelayan
pesisir.
Permasalahan-permasalahan yang di hadapi oleh masyarakat pesisir dalam hal ini
nelayan pesisir di wilayah lainya di Indonesia, dialami juga oleh nelayan pesisir yang ada
diKabupaten Minahasa utara. Selain pendapatan rendah dan sangat tergantung musim ikan,
permasalahan yang dihadapi oleh nelayan pesisirkhususnya nelayan tradisional di Kabupaten
Minahasa utara terkendala dengan mahalnya biaya sarana prasarana nelayan, harga bahan
bakar untuk melaut yang tinggi, umumnya dari nelayan ini terlilit dengan hutang pada rentenir
19. 19
atau pemberi pinjaman dan banyak dari mereka juga telah meminjam uang dan harus
dikembalikan atau diganti dengan hasil tangkapan ikan, teknologi penangkapan ikan yang
sederhana, teknologi pasca panen pengolahan ikan yang masih sederhana, kelem-bagaan
ekonomi nelayan dan permodalan yang tidak ada, akses terhadap pasar yang belum memadai,
kecenderungan nelayan tradisional menghasilkan jenis ikan yang relatif sama dengan nelayan
moderen sehingga ketika over produksi harga ikan nelayan tradisional menjadi jatuh akibat
mereka hanya biasa menjual pada pedagang ikan (tibo) dengan harga murah, kemudian
persoalan perilaku konsumtif yang masih tinggi (Wantah, 2017).
Dalam Jurnal Abdusysyahid, (2014) dikatakan “According to Gulland (1983), the tandardized
gears is high productivity or dominant gear in capturing fishery resource being studied or
having highest average CPUE at a period of time and having fishing power index equals to
one. Mathematically, the input gear to be standardized is calculated from fishing power index
multiplies with input (effort) of standardized gear (Fauzi, 2004 on Abdusysyahid 2014 ).
Sedangkan dalam International Jurnal of Fisheries and Aquaculture dikatakan.
Fisheries enhancement, through stocking, is carred out for a number of purposes. To Increase
fish food production, to increase depleted stocks, to flight against eutrophication fot
improving water quality and to develop recreational fisheries ( Da Silva, 2003 on IJFA 2014)
Selain itu, Peran wanita sangat penting dalam rumah tangga nelayan sehingga
memungkinkan mereka mengisi peran sebagai nelayan dalam hal pengolahan, pemasaran,
serta kontrol keuangan rumah tangga.Lebih lanjut, menurut Mubyarto,dkk.(1984) dalam
Romdhon (2017), keterlibatan istri dan juga anak dalam kegiatan mencari nafkah sudah
menjadi model strategi adaptasi penghidupan yang banyak dilakukan masyarakat nelayan
seperti di Madura. Ini mengindisikan kondisi ketidakcukupan kebutuhan hidup rumah tangga
nelayan. Artinya peran perempuan terdistribusikan dengan baik dalam menambah pendapatan
ekonomi keluarga.
Keterlibatan wanita dalam kegiatan produktif memberi kontribusi yang berarti bagi
kesejahteraan keluarga, dalam kaitannya dengan kontribusi pendapatan rumah tangga
(Susilowati, 2006) dalam Romdhon (2017). Dengan demikian, kebutuhan harian rumah
tangga akan sandang, pangan, kesehatan, dan kebutuhan pendidikan dapat terpenuhi. Konsep
pembagian kerja berkembang dewasa ini, tidak membatasi peran wanita hanya dalam rumah
tangga, tapi hal ini tidak serta merta mengabaikan kewajibannya dalam urusan rumah tangga.
Bahkan dalam beberapa kasus ditemukan bahwa fungsi dan peranmereka dalam suatu rumah
tangga menjadi bertambah sebagai akibat dari keterlibatan mereka dalam kegiatan yang
20. 20
produktif. Seiring waktu, wanita dituntut beradaptasi terhadap peruahan lingkungan sosial
sekitar, sehingga wanita memainkan pula peran sosial dimasyarakat.
Ilmuwan sosial telah lama menegaskan perbedaan signifikan antara posisi ekonomi anggota
rumah tangga yang patriarki berdasarkan jenis kelamin dan usia (Blumberg dan Coleman
1989; Folbre 1986; Seiz 1995) dalam Romdhon (2017). Mereka mengkritik pendekatan
homogen dan tunggal dalam pengambilan keputusan dan berpendapat bahwa rumah tangga
bukan suatu unit homogen. Variasi preferensi dan adanya tawar – menawar di antara anggota
keluarga merupakan proses penyatuan perbedaan tersebut. Model tawar-menawar
dikembangkan antara lain oleh Manser dan Brown (1980) dan McElroy dan Horney (1981)
diikuti oleh Lundberg dan Pollak (1996) dan Ott (1992) serta Doss (1996). Sayogjo (1983)
berpendapat, model pengambilan keputusan dalam rumah tangga nelayan dibuat oleh:
(a) isteri tanpa melibatkan suami,
(b) suami tanpa melibatkan isteri,
(c) suami – isteri terlibat,
(d) suami – isteri dan orang lain terlibat, sehingga wewenangnyabisa setara atau tidak setara.
Ketidak setaraan ini dapat dilihat dari dominasi keduanya dalam pengambilan
keputusan, bahkan menurut Purwoko (2011) dalam Romdhon (2017) tidak jarang kondisi ini
menyebabkan kekerasan rumah tangga. Sukiyono (2008) dalam Romdhon (2017)
berpendapat, kesetaraan status wanita dalam pengambilan keputusan terlihat dari keputusan
bersama, meskipun masih ada dominasi diantara keduanya (Romdhon (2017).
Model pengambilan keputusan ini ditentukan sejumah faktor seperti pekerjaan, tingkat
pendidikan, dan karakteristik sosial, ekonomi, budaya dan kondisi alam setempat,agro-ekologi
serta model politik sering mempengaruhi alokasi tenaga kerja dan tanggung jawab antara laki
– laki dan perempuan di rumah tangga. Untuk kasus di Indonesia, penelitian Handayani, dkk
(2015) dalam Romdhon (2017) menunjukkan bahwa aktivitas nelayan pada kegiatan melaut
semua dilakukan oleh laki-laki, keterlibatan perempuan hanya pada persiapan bekal makanan,
dan kegiatan pasca tangkap yaitu pelelangan, pengolahan serta pemasaran. Artinya,
pembagian kerja jender masih berdasarkan kepantasan pekerjaan perempuan dan laki-laki.
Aktifitas sosial ekonomi rumah tangga nelayan terutama dalam memanfaatkan
sumberdaya lingkungan sekitarnya sebagai sumber penghidupan sangat menentukan peringkat
kesejahteraan rumah tangga nelayan yang hidup di kawasan pesisir. Struktur sosial ekonomi
skala kecil dan orientasi subsisten dan teknologi yang sederhana (Zein, 2000 dalam Khodijah
21. 21
2013) menjadikan rumah tangga nelayan selalu terpinggirkan dan terjerat kemiskinan
sehingga keuntungan ekonomi dari pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut lebih dinikmati
kelompok masyarakat tertentu (Anggraini, 2006 dalam Khodijah 2013) bahkan akhir-akhir ini
telah terjadi kerentanan sosial ekonomi pada anak perempuan dan kaum ibu di desa pesisir
(Sara, H dan P. Krishnan., 2006 dalam Khodijah 2013). Kemiskinan tersebut turut mendorong
perempuan ikut melakukan peran ganda yaitu peran sosial, produktif dan reproduktif sebagai
peran utamanya, hingga menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga. Menurut
Thompson, P (1985) dan Kusnadi (2003) jika tidak mendapat perhatian yang serius maka
yang paling terbebani dan bertanggung jawab untuk mengatasi dan menjaga kelangsungan
hidup rumah tangga nelayan miskin di desa pesisir adalah kaum perempuan.
Karena itu dapat dipahami bahwa apabila potensi sumber daya lingkungan yang sangat
mendukung penghidupan masyarakat setempat tersebut bisa diakses dengan baik oleh rumah
tangga nelayan yang dikepalai perempuan, ini diharapkan dapat membantu peningkatkan
peringkat kesejahteraan mereka. Sedangkan untuk memanfaatkan sumberdaya lingkungan
tersebut diperlukan intervensi dari pemerintah yang lebih memfokuskan pada pemberdayaan
kaum perempuan di desa pesisir melalui program-program yang membangun kapasitas
mereka. Sebaliknya jika hal ini tidak mendapat perhatian yang serius dikhawatirkan akan
meningkatkan jumlah rumah tangga nelayan yang miskin di desa pesisir (Khodijah, 2013).
Selain itu dibutuhkan keterampilan bagi keluarga nelayan dengan memperkuat
kompetensi nelayan dalam industri kelautan. Upaya memperkuat kompetensi nelayan tentang
industri kelautan, maka dilaksanakan kegiatan pendampingan. Kegiatan pendampingan pada
dasarnya memberikan bimbingan secara teknis untuk enindak-lanjuti pemahaman tentang
materi yang telah disampaikan pada saat kegiatan pelatihan.
Kegiatan pendampingan pada kedua jenis industri tersebut masing-masing dilaksanakan
selama 3 hari. Secara teknis kegiatan pendampingan pada hari pertama akan diberikan
penerapan langsung oleh para narasumber, pada hari kedua mitra menerapkan tahapan
kegiatan industri secara kolektif dan pada hari ketiga mitra menerapkan tahapan kegiatan
secara mandiri (Wesnawa, 2017).
Kegiatan Pendampingan Jasa Pembuatan dan Perbaikan Perahu
Kegiatan pendampingan pada hari pertama diawali dengan persiapan berbagai alat dan bahan
yangdiperlukan untuk membuat dan memperbaiki perahu, kemudian narasumber
mendemonstrasikan proses pengerjaan. Kegiatan pendampingan pertama ini
22. 22
mendemonstrasikan proses pembuatan perahu, terutama pada tahap perakitan. Hal ini
dikarenakan tahap perakitan merupakan tahap pembuatan kapal yang sangat rentan kesalahan,
terutama pada proses pembuatan tempat pasak dan penyambungan badan perahu. Kegiatan
pendampingan pada hari kedua mengutamakan kerja-sama kelompok dalam bekerja. Kerja-
sama kelompok sangat diperlukan, terutama dalam merakit bagian-bagian perahu menjadi
satu.
Hal ini dikarenakan beban dari badan perahu relatif berat, dan harus dikerjakan secara
bersama. Kegiatan pendampingan pada hari ketiga dilaksanakan untuk menilai keterampilan
kerja mitra secara individu. eterampilan individu diperlukan khususnya dalam tahap
persiapan untuk membentuk pelat atau badanperahu. Keterampilan dari setiap nelayan
dimaksudkan untuk memperlancar pembagian kerja kelompok dan mempercepat masa
pengerjaan pembuatan perahu. Adapun kendala yang dihadapi nelayan dalam proses
pembuatan perahu terutama dalam perakitan badan perahu. Seringkali badan yang dirakitkan
belum terpasang secara simetris. Melihat kendala tersebut, narasumber dan tim pelaksana
turun langsung untuk mendampingi mitra dalam memperbaiki posisi badan perahu untuk
dirakit ulang sesuai dengan instruksi narasumber (Wesnawa, 2017)
Kegiatan Pendampingan Jasa Perawatan dan Perbaikan Mesin Perahu.
Kegiatan pendampingan pada hari pertama ini diawali dengan persiapan berbagai alat
dan bahan yang diperlukan untuk merawat dan memperbaiki mesin perahu. Kegiatan
pendampingan pertama ini narasumber mendemonstrasikan proses perwatan mesin motor,
khususnya motor bensin. Hal ini dikarenakan gangguan pada mesin motor berdampak sangat
fatal apabila tidak diantisipasi sejak dini, terutama ketika sudah berada di tengah laut.
Perawatan mesin motor bensin harus dilakukan secara berkala, dan juga pada saat sebelum
melaut. Kegiatan pendampingan pada hari kedua mengutamakankerja-sama kelompok dalam
bekerja. Kerja-sama kelompok sangat diperlukan, terutama dalam prosesperbaikan dalam
kasus motor tidak dapat hidup mesin perahu.
Hal ini dikarenakan proses perbaikanmesin motor yang tidak dapat hidup sangat
kompleks, dari mengencangkan busi, mengganti piston hingga membersihkan katup. Kegiatan
pendampingan pada hari ketiga dilaksanakan untuk menilai keterampilan kerja mitra secara
individu. Keterampilan individu diperlukan khususnya dalam kasus gangguan padasistem
23. 23
pengapian. Keterampilan dari setiap nelayan dimaksudkan untuk memperlancar pembagian
kerjakelompok dan mempercepat masa pengerjaan perbaikan mesin perahu (Wesnawa ,2017).
Pendidikan
Kualitas sumber daya manusia antara lain ditentukan oleh mutu dan tingkat pendidikan.
Kualitas pendidikan yang rendah menyebabkan kualitas sumber daya manusia rendah, makin
tinggi tingkat pendidikan maka makin tinggi pula kualitas sumber daya manusia. Hal ini
berpengaruh terhadap cara pikir, nalar, wawasan, keleluasaan, dan kedalaman pengetahuan.
Dengan tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan akan lebih mudah memperoleh
kesempatan guna mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dengan penghasilan yang relatif
lebih tinggi, dan akan dengan sendirinya dapat memlihara kesehatan yang relatif lebih baik.
Dan kesehatan yang baik hanya dapat diperoleh dan ditingkatkan apabila memiliki
penghasilan yang mencukup, dan akhirnya pekerjaan dan penghasilan yang cukup ditentukan
oleh tingkat pendidikan.
Bagaimanapun kondisi pendidikan nasional saat ini tetapi yang paling utama adalah kesadaran
masyarkat akan pentingnya pendidikan dan komitmen pemerintah dalam menjamin
pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi setiap warga negaranya.Hak untuk memperoleh
pendidikan bagi setiap warga negara sudah dijamin oleh hukum yang pasti dan bersifat
mengikat. Artinya pihak manapun tidak boleh meringtangi atau menghalangi maksud
seseorang untuk belajar dan mendapatkan pelajaran.
Dalam konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh pemerintah indonesia sebenarnya telah
disebutkan dan diakui bahwa anak pada hakekatnya berhak untuk memperoleh pendidikan
yang layak dan mereka seyogiannya tidak terlibat dalam akktifitas ekonomi secara dini.
Namun demikian akibat tekanan kemiskinan, kurangnya animo orang tua terhadap arti
penting pendidikan dan sejumlah faktor lain, maka secara suka rela maupun terpaksa anak
menjadi salah satu sumber pendapatan keluarga yang penting. Dari segi pendidikan, anak
anak yang bekerja di sinyalir cenderung mudah putus sekolah, baik putus sekolah karena
bekerja terlebih dahulu atau putus sekolah dahulu baru kemudian bekerja. Bagi anak anak
sekolah dan bekerja adalah beban ganda yang sering kali dinilai terlalu berat, sehingga setelah
ditambah tekanan ekonomi dan faktor lain yang sifatnya struktural, tak pelak mereka terpaksa
memlih putus sekolah ditengah jalan (Masri, 2017).
24. 24
Menurut penelitian masyarakat nelayan di Jawa sama halnya dengan masyarakat tani
di Jawa. Di mana istri dan anggota rumah tangga lainnya terlibat dalam menopang ekonomi
rumah tangga. Dengan melakukan berbagai pekerjaan seperti berdagang ikan hasil tangkapan
suami, berkebun atau membuka warung. Hal tersebut dapat dilihat dari pekerjaan yang
dilakukan oleh istri nelayan seperti jual ikan, berdagang, dan lain sebagainya. Sedangkan
peran anak membantu ayah bagi anak laki laki, dan membantu ibu bagi anak perempuan. Hal
tersebut dikarenakan tingginya angka putus sekolah pada keluarga nelayan, sehingga
menyebabkan mereka lebih memilih membantu menambah pendapatan ekonomi rumah
tangga. Beberapa faktor yang berkaitan dengan pendidikan anak nelayan sebagai berikut:
1. Rendahnya mutu dan relevansi pendidikan dipengaruhi jumlah faktor, di antaranya
ketidak mampuan menciptakan proses pembelajaran yanga berkualitas. Hasil-hasil
pendidikan belum didukung oleh sistem pengujian dan penilaian yang melembaga dan
independent, sehingga mutu pendidikan belum dapat dimonitor secara objektif dan
teratur. Distribusi guru tidak merata, pendayagunaannya tidak efesien menyebabkan
kinerja guru tidak optimal. Profesionalisme guru masih dirasakan rendah, terutama
karena rendahnya komitmen penyiapan pendidik guru dan pengelolaannya. Kinerja
guru yang hanya berorientasi pada penguasaan teori dan hafalan menyebabkan
kemampuan siswa tidak berkembang secara optimal dan utuh. Evaluasi kinerja belum
ditata dalam suatu sistem akuntabilitas publik, sehingga output pendidikan belum
akuntabel dan belum mencapai kualitas pendidikan yang diinginkan.
2. Program pendidikan lifeskill merupakan pendidikan yang dapat memberikan bekal
ketrampilan yang praktis, terpakai, terkait dengan kebutuhan proses kerja peluang
usaha dan potensi ekonomi atau industri yang ada di masyarakat. Pada masyarakat
pesisir pendidikan kecakapan hidup yang diajarkan adalah berupa cara menangkap
ikan yang baik tanpa merusak ekosistem laut. (Masri, 2017)
Bagi para nelayan memang tidak ada pilihan lain, karena pekerjaan yang berhadapan
dengan ancaman gelombang laut, ombak cuaca, dan kemungkinan terjadi karam saat akan
melaut ke tengah lautan untuk menangkap ikan adalah merupakan pekerjaan turun temurun
tanpa pernah belajar sebagai nelayan yang moden. Pada usia meningkat remaja anak nelayan
mulai diajak berlayar dan ikut melaut. Anak nelayan turun melaut pada pagi dan sore hari
25. 25
sesuai kondisi yang ditentukan juragan laut. Dengan demikian bahwa masalah sosial budaya
yang terdapat pada kehidupan nelayan adalah :
1) Rendahnya tingkat pendidikan.
2) miskin pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pekerjaanya.
3) kurang tersedia wadah pekerjaan informal.
4) kurangnya daya kreativitas, serta belum adanya perlindungan terhadap nelayan dari
jeratan para tengkulak.
Arif Satria (2003) dalam Masri (2017) mengatakan karena mayoritas masyarakat nelayan
adalah kalangan yang berpendidikan rendah yang sering kali tidak mengerti tentang
perkembangan prodak perundangan dan tata pemerintahan.
Hubungan Sosial Anak Nelayan
Kondisi lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum
tertata dengan baik dan terkesan kumuh. Dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang
relatif berada dalam tingkat kesejahteraan rendah, maka dalam jangka panjang tekanan
terhadap sumber daya pesisir akan semakin besar guna pemenuhan keperluan pokoknya.
Sebagian besar penduduk di wilayah pesisir bermata pencaharian di sektor pemanfaatan
sumberdaya kelautan. Masyarakat nelayan akrab dengan ketidak pastian yang tinggi karena
secara alamiah sumberdaya perikanan bersifat invisible sehingga sulit untuk diprediksi,
sementara masyarakat agraris misalnya memiliki sumberdaya yang lebih pasti dan visible
sehingga relatif lebih mudah untuk diprediksi terkait sosial ekonomi masyarakat. Dalam
kondisi seperti ini maka tidak jarang ditemui karakteristik masyarakat nelayan yang keras,
sebagian tempramental dan tidak jarang boros karena ada persepsi bahwa sumberdaya
perikanan “tinggal diambil” di laut.
Di sisi lain, dari aspek kepercayaan masyarakat pesisir masih menganggap bahwa laut
memiliki kekuatan magik sehingga mereka masih sering melakukan adat yang berkaitan
dengan pesta laut, namun demikian bahwa dewasa ini sudah ada sebagian penduduk yang
tidak percaya terhadap adat-adat tersebut sehingga anak nelayan pesisir memerlukan
pendekatan yang berbeda dengan pendidikan formal pada umumnya. Pola pendidikan yang
sesuai dengan keperluan Anak nelayan pesisir yang mengutamakan kepentingan pemenuhan
hidup yang dapat meningkatkan kesejahteraan anak dan atau dapat meningkatkan pemenuhan
26. 26
kualitas pembelajaran Anak sehingga diperlukan sebuah sistem pembelajaran yang sesuai
dengan kondisi masayarakat pesisir. Materi pembelajaran kepada peserta didik, jadual
pembelajaran dan sistem pembelajaran. Dengan demikian bahwa pola pendidikan kecakapan
hidup masyarakat pesisir dan model pendidikan dasar yang sesuai atau alternatif model
pendidikan dasar perlu menjadi perhatian. Sehingga beralasan jika anak nelayan perlu
dicarikan model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi dan keperluan kehidupan mereka
(Masri, 2017).
Faktor yang biasa menjadi alasan adalah mahalnya biaya pendidikan untuk sekolah
terutama sekolah menengah, sehingga para orang tua lebih cenderung menyekolahkan
anaknya hingga pendidikan dasar saja. Nasution (2010 dalam Rini, 2017) menyebutkan
bahwa “pendidikan memerlukan uang, tidak hanya untuk uang sekolah, akan tetapi juga
untuk pakaian, buku, transport, kegiatan ekstra-kurikuler dan lain-lain”. Banyaknya biaya
yang harus dikeluarkan untuk menyekolahkan anak menjadi persoalan kompleks bagi orang
tua yang memiliki kondisi sosial ekonomi yang rendah.
Bagi mereka untuk menjadi seorang nelayan tidak dibutuhkan pendidikan yang tinggi
sehingga mereka beranggapan bahwa hanya sampai tingkat sekolah dasar itu sudah cukup
baik. Kondisi ini menandakan bahwa nelayan di kawasan Pantai Sadeng kurang memiliki
partisipasi di bidang pendidikan mereka dan kemungkinan juga akan mempengaruhi tingkat
partisipasi pedidikan bagi anak-anak mereka. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh
Basrowi dan Juariyah (2010 dalam Rini, 2017), yang menjelaskan bahwa “masyarakat yang
mempunyai tingkat sosial ekonomi yang rendah cenderung memiliki tingkat pendidikan yang
rendah pula”.
Menurut Abdulsyani (2007 dalam 2017 Rini) kondisi sosial ekonomi merupakan
kedudukan atau posisi seseorang dalam kelompok manusia yang ditentukan oleh jenis
aktivitas ekonomi, pendapatan, tingkat pendidikan, umur, jenis rumah tinggal, dan jenis
jabatan dalam berbagai oraganisasi dan sebagainya. Dengan kata lain untuk melihat tinggi
rendahnya sosial ekonomi seseorang menggunakan indikator tingkat pendidikan, umur,
pendapatan, jenis rumah tinggal, jabatan dalam organisasi dan kekayaan yang dimiliki (Rini,
2017).
27. 27
Pendidikan merupakan bagian penting dalam terciptanya kelangsungan hidup bangsa dan
negara, karena dengan adanya pendidikan akan menciptakan sumber daya manusia yang
berkualitas. Secara sederhana, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar bagi pengembangan
manusia dan masyarakat yang mendasarkan pada landasan pemikiran tertentu sesuai dengan
nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Secara teknis dapat diartikan bahwa
pendidikan adalah proses dimana masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan (sekolah,
perguruan tinggi atau lembaga-lembaga lain), dengan sengaja mentransformasikan warisan
budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan dari generasi ke
generasi (Siswoyo 2011 dalam Rini, 2017). Sedangkan nelayan Menurut Imron dalam
Mulyadi (2007 dalam Rini, 2017) nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang
kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan
ataupun budi daya. Mereka pada umumnya tinggal dipinggir pantai, sebuah pemukiman yang
dekat dengan lokasi kegiatannya.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa nelayan merupakan suatu
kelompok masyarakat atau orang yang memiliki mata pencaharian sebagai penangkap hasil
laut untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan biasanya hidup dipinggir pantai atau sebuah
pemukiman yang dekat dengan lokasi kegaiatannya. Dalam melaksanakan kegiatannya
nelayan bukanlah suatu entitas tunggal melainkan terdiri dari beberapa kelompok. Jika dilihat
dari segi kepemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu
nelayan buruh, nelayan juragan, dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang
bekerja dengan alat tangkap miliki orang lain. Sebaliknya, nelayan juragan adalah nelayan
yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain Sedangkan nelayan perorangan
adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri dan dalam pengoperasiannya tidak
melibatkan orang lain Mulyadi (2007 dalam Rini, 2017).
Berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan
ikan, nelayan diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Nelayan penuh yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk
melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/hewan air lainnya/tanaman air.
28. 28
b. Nelayan sambilan utama yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya
digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/hewan air
lainnya/tanaman air. Nelayan dalam kategori ini memiliki pekerjaan lainnya.
c. Nelayan sambilan tambahan yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu kerjanya
digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/hewan air
lainnya/tanaman air. Nelayan dalam kategori ini juga memiliki pekerjaan lainnya.
Kehidupan para nelayan tidak terlepas dari pranata sosial budaya yang berfungsi
untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. terdapat dua
pranata strategis yang dianggap penting untuk memahami kehidupan sosial ekonomi
masyarakat nelayan yaitu pranata penangkapan dan pemasaran ikan.
Kedua pranata tersebut memiliki peran besar untuk membentuk corak
pelapisan sosial ekonomi secara umum dalam kehidupan masyarakat nelayan.
Mereka yang menempati lapisan sosial atas adalah para pemilik perahu dan pedagang
ikan yang sukses, lapisan tengah ditempati oleh juragan laut atau pemimpin awak
perahu, lapisan terbawah ditempati oleh nelayan buruh. Mereka yang menempati
lapisan atas hanya sebagian kecil dari masyarakat nelayan, sedangkan sebagian besar
warga masyarakat nelayan berada pada lapisan terbawah. Pelapisan sosial ekonomi
ini mencerminkan bahwa penguasaan alat-alat produksi perikanan, akses modal, dan
akses pasar hanya menjadi sebagian kecil masyarakat, yaitu mereka yang berada pada
lapisan atas (Kusnadi, 2008 dalam Rini, 2017)
Kehidupan keluarga nelayan menggunakan sistem gender yaitu sistem pembagian kerja
secara seksual (the division of labor by sex) dalam masyarakat nelayan yang didasarkan pada
persepsi kebudayan yang ada. sebagai produk budaya, sistem gender diwariskan secara sosial
dari generasi ke generasi. Berdasarkan sistem gender masyarakat nelayan, pekerjaan-
pekerjaan yang terkait dengan “laut” merupakan ranah kerja “kaum laki-laki”, sedangkan
wilayah “darat” adalah ranah kerja “kaum perempuan”. Pekerjaan di laut, seperti melakukan
kegiatan penangkapan, menjadi ranah laki-laki karena karakteristik pekerjaan ini
membutuhkan kemampuan fisik yang kuat, kecepatan bertindak, dan berisiko tinggi.
Sedangkan untuk perempuan, menangani pekerjaan-pekerjaan yang ada di darat, seperti
mengurus pekerjaan rumah tangga, serta aktivitas sosial-budaya dan ekonomi. Dalam rumah
29. 29
tangga nelayan miskin, kaum perempuan, istri nelayan, mengambil peranan yang strategis
untuk menjaga rumah tangganya. (Kusnadi, 2010 dalam Rini, 2017). Sebagian nelayan di
Pantai Sadeng dikategorikan sebagai nelayan penuh, karena seluruh waktu mereka digunakan
untuk bekerja sebagai nelayan sehingga mereka hanya mengandalkan kehidupan dari hasil
tangkapan laut. Ketika cuaca sedang buruk maka para nelayan di daerah ini hanya berdiam
diri dirumah dan melakukan aktivitas untuk membenahi peralatan melaut yang rusak. Hal
tersebut terjadi karena terbatasnya keterampilan dan pendidikan formal yang dimiliki oleh
para nelayan (Rini, 2017).
Senada pula yang dijelaskan dalam jurnal International Journal of Fisheries and
Aquaculture (IJFA, 2014). Dikatakan.
This is integrated process of information gathering, analysis, planning,
consultation, decision-making, allocation of resources and formulation and
implementation, with enforcement as necessary, of regulations or rules which
govern fisheries activities in order to ensure the continued productivity of the
resources and the accomplishment of other fisheries objectives (FAO, 1995 on IJFA
2014)
Berbagai proses pembangunan nelayan yang berkelanjutan dapat diterapkan dengan
menggunakan informasi jurnal berikut.
According to (Do iad , 19 on Sharvina 2016), the settlement would go
well if associated with several elements, namely: natural, human, social life,
shell (space), and network (relationship):
1. Housing is where the individuals that exist interact and influence one
another, and have a sense of belonging on the neighborhood. (Abrams, 1969
on Sharvina 2016)
2. Housing can be interpreted as a reflection and manifestation of the human
self, either individually or in a unity and togetherness with the natural
environment and can also reflect the standard of living, welfare,
personalities, and human civilization inhabitants, community and
nationalities (Yudohusodo, 1991 on Sharvina 2016)
30. 30
3. Neigboorhod area is a group of houses, which is also a part of the
settlement, both urban and rural neighboorhods areas are equipped with
basic infrastructure, public facilities and utilities as a result of the efforts to
provide an adequete and liveable neighborhoods area. On the other hands,
settlement area is defined as a part of the environment outside protected
areas (namely national park and military zone), either urban or a rural area
that serves as a residential environment and activities that support life and
livelihood (laws of the republic of Indonesia No. 1, 2011) on Sharvina
(2016).
31. 31
Daftar Pustaka
Abdusyssyahid, Said. Et al 2014. The Distribution of Capture Fisheries Based Small Pelagic-
Mackerel Fish Species In Balikpapan Waters, East Kalimantan. International Journal
of Science and Engineering(IJSE Vol. 6(2)pp. 149-153). ISSN: 2086-502. Fisheries
and Marine Science Faculty of Mulawarman University. Samarinda.
Badr, Laamiri Mohamed, Et All. 2014. Implemeting A Unified Methodology For Fisheries
Management (Umfm) In Fresh Water Morocco. International Journal Of Fisheries And
Aquaculture. Academic Journal Vol. 6(8). Pp.94-103. Issn 2006-9839. Chouaib
Doukkali University. Morocco.
Devi, Rifka Charisa. 2016. Hubungan Tingkat Pendidikan Masyarakat Dengan Perilaku
Pengelolaan Sampah Di Pemukiman Nelayan Kelurahan Bandengan Kecamatan Kota
Kendal. Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
Semarang.
Fathoni, Rifki. 2008. Tingkat Pendidikan Keluarga Nelayan Di Kecamatan Palab-Tu,
Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Program Studi Manajemen Bisnis Dan
Ekonomi Perikanan-Kelautan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Bogor
Agricultural University. Bogor.
Hidayat, Muhammad. 2017. Problematika Internal Nelayan Tradisional Kota Padang: Studi
Faktor-Faktor Sosial Budaya Penyebab Kemiskinan Jurnal Socius Vol. 4, No.1.
Universitas Negeri Padang. Padang.
Khodijah, 2013. Peringkat Kesejahteraan Rumah Tangga Nelayan Yang Dikepalai
Perempuan (Studi Kasus Desa Malangrapat Kabupaten Bintan Kepulauan Riau.
Jurnal Dinamika Maritim Vol.3 No. 1. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji,
Tanjungpinang.
Masri, Amiruddin. 2017. Pendidikan Anak Nelayan Pesisir Pantai Donggala ( The
Education For Coastal Fishermen Children In Donggala). Asian Journal of
Environment, History and Heritage September 2017, Vol. 1, Issue. 1, p. 223-227 ISSN
2590-4213 (Print) 2590-4310 (Online) Published by Malay Arts, Culture and
Civilization Research Centre, Institute of the Malay World and Civilization. Malaysia.
Mutriani, 2016. Pendidikan Anak Dalam Perspektif Masyarakat Nelayan Di Desa Lero Tatari
Kecamatan Sindue Kabupaten Donggala. E- Journal Geo- Tadulako. Fkip Universitas
Tadulako. Palu.
32. 32
Rini, Intan Puspa. 2017. Analisis Tingkat Pendidikan Anak Nelayan Pantai Sadeng Dilihat
Dari Kondisi Sosial Ekonomi Orang Tua (Studi Pada Nelayan Pantai Sadeng,
Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul. Program Studi Pendidikan Ekonomi
Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.
Yogyakarta.
Romdhon, M. Mustopa Dkk. Socio Economic Characteristics And Patterns Of Decision
Making Women’ Fi hermen In The City Bengkulu. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian,
Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Sharvina, Ainun Nurin Dkk. 2016. Sustainable Fisherman Settlement Development8th
International Conference On Architecture Research And Design (Ar+Dc. Department
Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya.
Wantah, Edwin. 2017. Pemberdayaan Nelayan Berbasis Pendidikan Ekonomi Dan Potensi
Pesisir Di Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Teori dan Praksis Pembelajaran IPS P-
ISSN 2503-1201 | E-ISSN 2503-5307. FIS, Universitas Negeri Malang 2017. Fakultas
Ekonomi. Universitas Negeri Manado. Manado.
Wesnawa, I Gede Astra. Dkk. 2017. Membangun Kompetensi Nelayan Dalam Industri
Kelautan. International Journal of Community Service Learning Vol. 1(3) pp. 127-
132. Universitas Pendidikan Ganesha. Bali.