BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
FIQIH NUSANTARA
1. FIQIH NUSANTARA
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Fiqih
Pengampu : Bapak Syaifudin Zuhri
Disusun Oleh:
Desti Atun Nasia (1703036014 )
Fina Dian Fransiska( 1703036016 )
Syifa Syafira ( 17030360 )
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2018
2. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran umat manusia semisal orang bayi yang berawal dalam keadaan primitif dan
sederhana, kemudian ia tumbuh dan ikut bersamaan dengan timbulnya akal pikirannya
sampai pada tingkat yang lebih tugas.
Agama yang diturunkan dari langit adalah sesuai dengan masa evolusi bahwa Allah yang
menjadi sumber agama dengan berbagai ketentuan dan aturannya yang bersifat umum dan
khas, menunjukkan bahwa Allah memberikan kebebasan pada manusia untukmengkaji dan
menganalisa segala apa yang Allah tetapkan.
Allah memberikan petunjuk dan tuntunan kepada manusia dalam menanggungnya dan
sesuai dengan pertumbuhannya, karena manusia pada awalnya hanya mengenal hal-hal apa
yang dirasakannya, sementara akalnya belum dapat memahami apa yang belum disentuhnya.
Namun pengalaman manusia mengalami , mempelajari, berdiskusidan bermasyarakat, maka
munculah pemikiran-pemikiran pembaharuan dalam kehidupan, termasuk pembaharuan
pemikiran fikih.
Di dunia islam, masih banyak orang yang terjebak pada pemikiran yangt membuat umat
tidak maju. Sementara di dunia non muslim pemikiran-pemikiran yang lebih maju
melahirkan berbagai macam peradaban. Bahkan kemajuan mereka telah mencakup juga hal-
hal yang menyangkut masalah-masalah agama, khususnya pemikiran fikih. Hal ini akhirnya
menyadarkan umat islam bahwa selama ini umat islam telah tertinggal dari umat
lainnyadalam berbagai hal. Termasuk pemikiran fikih.
Pemuka-pemuka umat islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan
kekuatan umat islam kembali. Dari perkembangan ini mulai menyebar ke seluruh dunia islam
termasuk Indonesia, walaupun pada tahun dan waktu yang tidak sama akan tetapi tetap
memberikan semangat itu dari waktu ke waktu dan akhirnya telah tiba di Indonesia dengan
berbagai perubahan.
Sebagai telah disebut pembaharuan dalam fikih Islam timbul di periode sejarah islam
yang disebut modern dan mempunyai tujuan untukmembawa umat islam kepada kemajuan.
3. B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan ulama tentang fiqih nusantara?
2. Bagaimana perkembangan fiqih nusantara?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pandangan ulama tentang fiqih nusantara
2. Mengetahui perkembangan fiqih nusantara
4. BAB II
PEMBAHASAN
A. Pandangan Ulama Tentang Fiqih Nusantara
Di dunia islam, masih banyak orang yang terjebak pada pemikiran yangt membuat umat tidak
maju. Sementara di dunia non muslim pemikiran-pemikiran yang lebih maju melahirkan
berbagai macam peradaban. Bahkan kemajuan mereka telah mencakup juga hal-hal yang
menyangkut masalah-masalah agama, khususnya pemikiran fikih. Hal ini akhirnya menyadarkan
umat islam bahwa selama ini umat islam telah tertinggal dari umat lainnyadalam berbagai hal.
Termasuk pemikiran fikih.
Pemuka-pemuka umat islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan
umat islam kembali. Dari perkembangan ini mulai menyebar ke seluruh dunia islam termasuk
Indonesia, walaupun pada tahun dan waktu yang tidak sama akan tetapi tetap memberikan
semangat itu dari waktu ke waktu dan akhirnya telah tiba di Indonesia dengan berbagai
perubahan. Pembaharuan dalam fikih Islam timbul di periode sejarah islam yang disebut modern
dan mempunyai tujuan untuk membawa umat islam kepada kemajuann.
1. Hasbi ash-Shiddqy (mantan Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta)
Fiqih Indonesia ialah fiqih yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia,
sesuai dengan tabiat dan watak Indonesia. Pandangan beliau tersebut mengisyaratkan agar
perlu diadakan pembaharuan dalam bidang hukum islam yang diistilahkan “fiqih Indonesia”
Hasbi dengan gagasan Fiqih Indonesia adalah satu keyakinan bahwa prinsip-
prinsiphukum islam sebenarnya memberikan ruang gerak yang lebar bagi pengembangan dan
ijtihad-ijtihad baru. Dasar-dasar hukum islam yang selama ini telah mapan seperti
ijma’,qiyas,muslahah mursalah, dan ‘urf justru akan menuai ketidaksesuaian ketika tidak lagi
ada ijtihad baru. Dalam orasi ilmiahnya yang bertema “Syari’at Islam Menjawab Tantangan
Jaman”, ia secara tegas mengatakan: “...Fikih yang berkembang dalam masyarakat kita
5. sekarang adalah fikih Hijazi,Misri dan Hindi, yang terbentuk atas dasar adat istiadat dan
kebiasaan masyarakat Hijaz,Mesir dan India. Dengan demikian, karakteristik yang khusus
dari masyarakat muslim menurutnya dikesampingkan, karena fikih asing tersebut dipaksakan
penerapannya ke dalam komunitas lokal melalui taqlid”.1
Hasbi mengamati bahwa hingga tahun 1961 ulam di negara ini belum mampu melhirkan fikih
yang berkepribadian Indonesia. Menurutnya, salah satu faktor yang menjadi penghambat adalah
adanya ikatan emosional yang begitu kuat (fanatik) terhadap mazhab yang dianut umat islam.
Hasbi ash-Shiddqy mengatakan fiqih sebagai produk ijtihad adalah bersifat elastis agar mampu
memenuhi kebutuhan umat di setiap tempat dan waktu. Fiqih baru berfungsi dengan baik bila
disesuaikan dengan kondisi masyarakat agar tidak dirasa usang oleh masyarakat.oleh karena itu,
fiqih yang diambil dari ‘urf yang tidak bertentangan dengan syari’at, tidak bisa dipaksakan pada
masyarakat lain yang mempunyai hukumyang berbeda.2
Suatu hal yang perlu dicatat adalah ungkapan Hasbi yang menyatakan pentingnya sebuah
metodologi bagi pembinaan Fiqih Indonesia. Karena apapun bentuk pembaharuan yang
dilakukan oleh seseorang, apabila tanpa disertai metodologi yang jelas justru akan merusak
pembaharuan itu sendiri.
Yudian Wahyudi menjelaskan bahwa Hasbi telah menawarkan beberapa perangkat metodologis
dalam fiqih Indonesia yang terdiri dari
a) Perbedaan antara Fiqih dan Syari’ah
Perbedaan antara fiqih dan syari’ah dalam pandangan Hasbi yakni bahwa syari’at itu
kumpulan perintah dan larangan yang bersifat abadi dan universal, sedangkan fiqih kumpulan
hukum-hukum yang bersifat amali yang bisa berubah dan berbeda menurut dimensi ruang
dan waktu.
1
2
6. b) Analisis kesejarahan (dirasahh tarikhiyyah)
Dirasah tarikhiyyah yakni memperhatikan pengaruh interaksi antara ide tasyri dengan
peristiwa agar dapat diketahui bagaimana cara-cara fuqaha dalam beristimbat. Dirasah
tarikhiyyah ini mencakup perkembangan masyarakat islam dalam perkembangan fiqih
islam dengan memperhatikan pengaruh masing-masing terhadap yang lainnya seperti
dalam ungakapannya: “Dengan kita memperhatikan perkembangan fiqih dari masa ke
masa, dapatlah kita mengetahui bagaimana pengaruh kenyataan-kenyataan dan peristiwa-
peristiwa yang terjadi bersama dengan aqidah-aqidah dalam menghasilkan hukum-hukum
fiqih yang telah diwariskan oleh fuqaha kita kepada kita.kita perlu mempelajari
peninggalan para fuqaha secara dirasah tarikhiyyah, mempelajari hukum menurut
pertumbuhan dan perkembangannya, agar kita dapat mengetahui bagaimana para fuqaha
memperoleh apa yang dimaksudkan dalam menghadapi masyarakat dari falsafah islam,
baik yang bersifat akhlaqiyah maupun yang bersifat tasyri’iyah”.
c) Pendekatan sosial dan kultural (dirasah waqiiyyah)
Dirasah waqiiyyah yakni studi kasus mengenai masyarakat Indonesia dan masyarakat
lain dengan menggunakan sosiologi hukum di samping studi hukum kemasyarakatan.
Sehingga permasalahan dan perkembangan masyarakat yang melatarbelakangi pendapat-
pendapat mazhab dihubungkan dengan kenyataan yang ada dalam suatu batasan wilayah
tertentu.
Menurut Nourouzzaman ash-Shiddqy, ada dua dalil pokok yang dikemukakan Hasbi
berdasarkan situasi dan kondisi (sosio kultur) masyarakat yaitu kaidah yang berlaku bagi
fikih yakni hukum asal bagi fikih muamalat ialah semua perbuatan diperbolehkan, kecuali
ada dalil yang melarangnya. Kemudian faktor lainnya adalah kedinamisan dan kekenyalan
hukum Islam serta filsafat hukum islam yang menghargai iradah dan ‘urf merupakan salah
satu hukum sumber.
d) Studi perbandingan (dirasah muqaranah)
7. Dirasah Muqaranah dalam rumusan Hasbi adalah: Ilmu yang memaparkan hukum syara
dalam berbagai bab dengan mengemukakan pendapat-pendapat imam mazhab yang
disepakati dan yang diperselisikan, dan menyebutkan dalil-dalil dan qaidah-qaidah
ushuliyyah yang dikemukakan oleh tiap-tiap imam mazhab itu dan sebab-sebab yang
menimbulkan perbedaan faham, dan dalil-dalil itu diteliti satu persatu, ditinjau segi-segi
kelemahanannya, dibandingkan satu sama lain, kemudian dipilih mana yang lebih kuat dan
lebih dekat kepada kebenaran, dan lebih patut diterima.
Hasbi memandang bahwa kajian komparasi secara terpadu terhadap pendapat imam-imam
mazhab serta dalil-dalil yang mendukungnya dan sebab-sebab yang menimbulkan perbedaan
merupakan hal yang sangat penting dalam berijtihad guna mencari pendapat yang paling
sesuai dengan konteks ruang,waktu,karakter dan bangsa Indonesia.3
Secara singkat Hasbi ash-Shiddiqy berpendirian bahwa syariat islam bersifat dinamis dan
elastis, sesuai dengan perkembangan masa dan tempat. Ruang lingkupnya mencakup
segalaaspek kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan sesama maupun dengan
Tuhannya. Syariat islam yang bersumber dari wahyu Allah SWT ini kemudian dipahami oleh
umat islam melalui metode ijtihad untuk dapat mengantisipasi setiap perkembangan yang
timbul dalam masyarakat. Ijtihad inilah yang kemudiam melahirkan fiqih.
2. Sahal Mahfuz
Nama lengkap beliau adalah Muhammad Achmad Sahal bin Mahfudz. Lahir di
Kajen,Margoyoso,Pati,Jawa Tengah, pada 17 desember 1937. Pengasuh Pondok Pesantren
Masiakul Huda ini adalah ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari tahun 2000 hingga
beliau meninggal.4
Secara simpel dan sederhana, jika mengacu tipologisasi bahwa dalam pemikiran hukum
islam (fikih) ada dua kecenderungan besar. “adaptabilitas hukum islam” dan “normativitas
3
4
8. hukum islam” maka, pemikiran Kiai Sahal termasuk tipe pertama, “adaptibilitas hukum
islam”. Yakni kecenderungan yang berpandangan bahwa fikih harus dan mampu beradaptasi
dengan perkembangan zaman dan perubahan tempat, fikih harus senantiasa berubah
manakala situasi dan kondisinya berubah. Sementara kecenderungan kedua adalah
sebaliknya.
Mengacu tipologisasi yang lebih rinci, diantaranya tipologi yang dibangun Al Qaradhawi
dalam bukunya Dirasah fi Fikih Maqashid Syari’ah, bahwa dalam pemikiran fikih
kontemporer ini ada tiga madrasah pemikiran:
a) Pertama, literalis-tekstualis (al-harfiyyun) yang memahami teks-teks keagamaan secara
literal-tekstual,tanpa mempertimbangkan makna atau tujuan dibalik teks. Madrasah ini
disebut oleh Al Qaradhawi sebagai al-Dhahiriyyah al-Judud (neo-literalis) yang
mewarisi Dhahiriyyah klasik dalam kejumudan dan pemahaman literal-tekstual terhadap
teks, bukan dalam keluasan ilmuannya.
b) Kedua, adalah kebalikan dari madrasah pertama. Ketika madrasah pertama cenderung
literalistik-tekstualistik maka, madrasah kedua ini justru terlalu kontekstual,
mengesampingkan teks, mendewakan makna dibalik teks, berpandangan bahwa agama
adalah substansinya, bukan bentuk lahirnya, tak segan meninggalkan teks-teks yang
bersifat qth’iy (definitif). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa madrasah kedua ini
adalah madrasah yang cenderung abai terhadap teks dan mendewakan makna dibalik
teks.
c) Ketiga, adalah madrasah wasathiyyah (moderat) yang menengah-nengahi dua madrasah
di atas. Madrasah ini tak memahami teks secara literal-tekstual namun juga tidak
mendewakan makna dibalik teks sehingga mengesampingkan teks. Akan tetapi, berusaha
memberikan kepada keduanya porsinya masing-masing secara seimbang. Ke dalam
madrasah ketika inilah pemikiran fikih Kiai Sahal dapat dikelompokkan.5
5
9. Diantaranya beliau mengatakan: ”Bagaimanapun rumusan fikih yang dikonstruksikan ratusan
tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi
sosial, politik dan kebudayaannya sudah berbeda. Dan hukum sendiri harus berputar sesuai
ruang dan waktu. Jika hanya melulu berdasarkan pada rumusan teks (klasik) , bagaimana jika
ada masalah hukumyang tidak ditemukan dalam rumusan tekstual fikih? Apakah harus mauquf
(tak terjawab)? Padahal memauqufkan hukum, hukumnya tidak boleh bagi ulama (fuqaha). Di
sinilah perlunya “fikih baru” yang mengakomodir permasalahan-permasalahan baru yang
muncul dalam masyarakat. Dan untuk itu kita harus kembali ke manhaj, yakni mengambil
metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fikih serta “qawa’id” (kaqidah-kaidah fikih).
Pemikiran tentang perlunya “fikih baru”ini.....karena adanya keterbatasan kitab-kitab fikih
klasik dalam menjawab persoalan kontemporer di samping muncul ide kointekstualisasi kitab
kuning”. (Sahal Mahfud dalam Kritik Nalar Fikih NU,2002 : xiv-xv).
Pemikiran fikih Kiai Sahal adalah dengan metode “kontekstualisasi-mazhabi”. Yakni,
sebuah upaya membangun “fikih baru” dan mengembangkannya melalui: mengkontekstualkan
pendapat-pendapat verbal ulama klasik (qauliy) yang masih dianggap relevan, mau pun dengan
mengaplikasikan metodologi yang dirumuskan ulama klasik seperti: ushul fikih dan qawa’id
fikihiyah (manhajiy).
Melalui metode “kontekstualisasi-mazhabi qauliy-manhajiy”ini Kiai Sahal ingin
memperbarui (tajdid) fikih dan mengemaskannya menjadi paket “fikih baru” yang sesuai
dengan tuntutan ruang dan waktu sehingga layak dikonsumsi.
Oleh sebab itu, menurut beliau disamping kita bermazhab secara qauliy (tekstual) juga
harus bermazhab manhajiy (metodologis). Beliau juga menuturkan “keputusan fikih bukan
barang sakral yang tidak boleh diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju
kencang. Pemahaman yang mengsyakralkan fikih jelas keliru”.
Beliau ingin mendesakralisasi fikih. Sebab, di samping sakralisme terhadap fikih
berpotensi melahirkan taklid buta dan fanatisme bermazhab yang akan berdampak
terkikisnya kepekaan kita terhadap perkembangan zaman, juga menjadi salah satu penyebab
10. kerenggangan kita untuk lebih memperhatikan ushul fikih yang notabene lebih penting
daripada fikih itu sendiri.
Ketika kita telah terbelenggu keyakinan bahwa produk fikih (klasik) adalah kebenaran
mutlak yang telah menyentuh segala persoalan klasik dan modern maka, entah disadari atau
tidak, akan mengurangi perhatian kita kepada ushul fikih. Lalu karena kurang perhatian
inilah kemudian ushul fikih bisa stagnan. Dan, jika ushul fikih stagnasi maka, bisa dipastikan
fikih tak akan pernah berkembang dan tak akan pernah ditemukan “fikih baru” seperti yang
Kiai Sahal harapkan. Sebab ushul fikih adalah pabrik pemproduksi fikih. Jika pabriknya
mandek, tak lagi beroperasi, maka dipastikan di sana tidak akan ada produksi. Sehingga
yang akan terjadi adalah “krisis bukan hukum fikih”. Sementara produk lama telah usang.
B. Perkembangan Fikih Nusantara
Fiqih Indonesia ialah fiqih yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia,
sesuai dengan tabiat dan watak Indonesia (Fiqih atau hukum islam yang sesuai dengan
karakter bangsa Indonesia).
Fiqih nusantara berkembang seiring dengan masuknya islam di bumi nusantara., mulai
zaman penyiar islam awal (walisongo), masa kolonialisme, masa kebangkitan pasca
kemerdekaan, masa orde baru dengan gencarnya arus modernisasi sampai masa milinium
sekarang ini. Dari sekian fase atau periodesasi berkembangnya islam di Indonesia, nampak
ajaran islam dapat dipraktikkan dengan subur oleh para pemeluknya. Walaupun juga
mengalami dinamika ke Indonesiaan yang sangat kental.
Misalnya pada masa peyiar islam nuansa sinkretisme ajaran islam mewarnai pengalaman
islam. Ini tidak lepas dari kultur dan keyakinan masyarakat penganut agama-agama sebelum
islam. Misalnya Kejawen,Hindu,Budha,dan aliran-aliran keagaamaan yang lain. Maka
dengan kondisi semacam ini para penyiar islam juga menyampaikan islam dengan
pendekatan kultural,agar islam bisa dipahami dan diamalkan secara sederhana tanpa
meninggalkan pelan ajaran islam yang asasi. Artinya pilihan fiqih yang diterapkan oleh para
penyiar islam kala itu juga fiqih-fiqih moderat yang dapat bersanding dengan budaya
Nusantara.
Kita dapat melihat ketika acara resepsi pernikahan, syawalan, kupatan, sunatan
(khitan),slametan, syukuran dan lain sebagainya. Di dalam acara-acara itu nuansa fiqih
11. nusantara sangat kentara kalau tidak bisa dikatakan dominan. Artinya nilai-nilai budaya atau
adat kebiasaan masyarakat nusantara berkolaborasi dengan nilai-nilai ke Islaman.
Pada masa kolonialisme di Bumi Nusantara,praktik fiqih sebagai bagaian dari islam juga
berhadapan dengan penguasa kolonial kala itu. Sebut saja tarik ulur kebijakan recepie oleh
pemerintah Belanda sehingga fiqih masa itu berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum
adat. Atau teori sebaliknya “recepie in contrario” yang menyatakan sebaliknyabahwa hukum
adat dan praktik hukum islam (fiqih) bisa berjalan beriringan untuk masyarakat Nusantara.
Baru pasca kemerdekaan dan orde baru ketika islam sudah semakin kuatdan kondisi
struktural sosial masyarakat Indonesia juga tertata kemudian muncul fiqih ke-Indonesiaan
oleh Hasbi ash-shiddiqiy, Fiqih Sosial oleh Raim Am NU, KH. Sahal Mahfudz dan KH Ali
Yafie. Tidak berhenti di situ saja upaya pribumisasi Islam oleh KH.Abdurrahman Wahid,
Reformasi bermadzab oleh Prof.Qadri Azizi, menyempurnakan ikhtiyar para pejuang islam
nusantara dalam rangka menjalankan fiqih sesuai dengan kondisi masyarakat Nusantara.
Maknanya upaya-upaya para pemikir muslim Indonesia untuk mensosialisasikan Islam
dan Hukum Islamdalam bingkai masyarakat Nusantara bergerak, dinamis, mewujudkan
bentuk-bentuk ajaran yang menyandingkan antara aspek ke-Islaman dan ke-Nusantaraan.
12. BAB III
PENUTUP
Simpulan
Para pemuka-pemuka umat Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan
kekuatan umat islam kembali. Dari perkembangan ini mulai mwenyebar ke seluruh dunia
islam menyebar keseluruh dunia islam termasuk Indonesia. Walaupun pada tahun dan waktu
yang tidak sama, akan tetapi tetap memberikan semangat itu dari waktu ke waktu dan
akhirnya telah tiba di Indonesia. Pembaharuan dalam fikih islam timbul di periode sejarah
islam yang disebut modern dan mempunyai tujuan untuk membawa umat islam kepada
kemajuan.
1) Hasbi ash-Shiddqiy
Fiqih Indonesia ialah fiqih yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian Indonesia,
sesuai dengan tabiat dan watak Indonesia. Pandangan beliau tersebut mengisyaratkan
agar perlu diadakan pembaharuan dalam bidang hukum islam yang diistilahkan “fiqih
Indonesia”
Hasbi dengan gagasan Fiqih Indonesia adalah satu keyakinan bahwa prinsip-
prinsiphukum islam sebenarnya memberikan ruang gerak yang lebar bagi pengembangan
dan ijtihad-ijtihad baru. Dasar-dasar hukum islam yang selama ini telah mapan seperti
ijma’,qiyas,muslahah mursalah, dan ‘urf justru akan menuai ketidaksesuaian ketika tidak
lagi ada ijtihad baru.
Hasbi ash-Shiddqy mengatakan fiqih sebagai produk ijtihad adalah bersifat elastis
agar mampu memenuhi kebutuhan umat di setiap tempat dan waktu. Fiqih baru berfungsi
dengan baik bila disesuaikan dengan kondisi masyarakat agar tidak dirasa usang oleh
masyarakat.oleh karena itu, fiqih yang diambil dari ‘urf yang tidak bertentangan dengan
syari’at, tidak bisa dipaksakan pada masyarakat lain yang mempunyai hukumyang
berbeda.
2) Sahal Mahfuz
Pemikiran fikih Kiai Sahal adalah dengan metode “kontekstualisasi-mazhabi”.
Yakni, sebuah upaya membangun “fikih baru” dan mengembangkannya melalui:
mengkontekstualkan pendapat-pendapat verbal ulama klasik (qauliy) yang masih
13. dianggap relevan, mau pun dengan mengaplikasikan metodologi yang dirumuskan ulama
klasik seperti: ushul fikih dan qawa’id fikihiyah (manhajiy).
Melalui metode “kontekstualisasi-mazhabi qauliy-manhajiy”ini Kiai Sahal ingin
memperbarui (tajdid) fikih dan mengemaskannya menjadi paket “fikih baru” yang sesuai
dengan tuntutan ruang dan waktu sehingga layak dikonsumsi.
Oleh sebab itu, menurut beliau disamping kita bermazhab secara qauliy (tekstual)
juga harus bermazhab manhajiy (metodologis). Beliau juga menuturkan “keputusan fikih
bukan barang sakral yang tidak boleh diubah meskipun situasi sosial budayanya sudah
melaju kencang. Pemahaman yang mengsyakralkan fikih jelas keliru”.
3) Perkembangan Fiqih Nusantara
Fiqih Indonesia ialah fiqih yang ditetapkan sesuai dengan kepribadian bangsa
Indonesia, sesuai dengan tabiat dan watak Indonesia (Fiqih atau hukum islam yang sesuai
dengan karakter bangsa Indonesia).
Fiqih nusantara berkembang seiring dengan masuknya islam di bumi nusantara., mulai
zaman penyiar islam awal (walisongo), masa kolonialisme, masa kebangkitan pasca
kemerdekaan, masa orde baru dengan gencarnya arus modernisasi sampai masa milinium
sekarang ini. Dari sekian fase atau periodesasi berkembangnya islam di Indonesia,
nampak ajaran islam dapat dipraktikkan dengan subur oleh para pemeluknya. Walaupun
juga mengalami dinamika ke Indonesiaan yang sangat kental