Hubungan antara agama Islam dan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Agama Islam mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dengan empat faktor: menghargai akal, mewajibkan menuntut ilmu, melarang taklid buta, dan memerintahkan memeriksa kebenaran. Keilmuan Islam didasarkan pada Al-Quran dan sunnah serta merupakan pencerminan ajaran Islam.
1. FALSAFAH KESATUAN ISLAM
ARTIKEL
OLEH :
ALDA VIRA PRAMESTI
NIM : 2205056075
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2022
2. PEMBAHASAN
Hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan tidak bisa di pisahkan, faktanya kedua
hal tersebut berjalan seiringan. Di Agama Islam sendiri mendukung umatnya dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan untuk menyelesaikan urusan di dunia yang semakin lama
semakin maju. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan, Agama Islam mendasarkan pada
empat faktor, yaitu : pertama, Agama Islam merupakan agama yang menghormati akal dan
mempergunakan akalnya untuk memikirkan hal-hal yang ada di alam semesta ini :kedua,
Islam mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu sepanjang hayatnya : ketiga, Islam melarang
umatnya untuk taklid buta, yaitu menelan mentah-mentah sesuatu tanpa di periksa dan diteliti
terlebih dahulu faktanya: keempat, Islam memerintahkan untuk memeriksa dan membuktikan
suatu kebenaran ( Anshari 1989 ; 161-165 ). Adanya dinamika internal dalam menafsirkan
Islam dalam menyelesaikan berbagai masalah menjadikan konstribusi yang nyata dan
alternatif yang menunujukkan bahwa Islam adalah agama dengan dimensi yang luas. Karena
hal tersebutlah ilmuwan-ilmuwan Islam berani mengembangkan keilmuan Islam lebih luas
lagi.
Dalam upaya memecahkan masalah keumatan yang begitu dinamis, para ilmuwan
Islam menggunakan berbagai macam upaya. Upaya tersebut di harapkan dapat digunakan
sebagai bahan untuk mengenal karakteristik ajaran Islam. Karena didalam Islam terdapat
ajaran di berbagai bidang kehidupan, mulai dari agama, ibadah dan muamalah yang di
dalamnya termasuk masalah pendidikan, ilmu pengetahuan, masalah sosial, budaya, ekonomi,
politik, lingkungan, dan berbagai bidang lainnya. Karakteristik tersebut dapat di petakan
menjadi lima ( Nata, 1998 : 80-85).
Pertama,dalam bidang agama ajaran Islam memiliki karakteristik yang mengakui
adanya pluralisme sebagai kenyataan dan juga mengakui adanya universalisme. Karena hal
itulah kemudian dijadikan sebagain landasan untuk membangun konsep toleransi kepada umat
beragama lainnya. Dapat disimpulkan bahwa Islam bersifat toleran, moderat, pemaaf, tidak
memaksakan kehendak, dan saling menghargai perbedaan. Kedua, dalam bidang ibadah
ajaran agama Islam terdapat dua bentuk ibadah. Yaitu ibadah umum dan ibadah khusus, yang
di maksud dengan ibadah umum adalah ibadah yang berkaitan dengan muamalah (hubungan
antar sesama umat Allah) sedangkan ibadah secara khusus adalah ibadah-ibadah yang sudah
ditetapkan oleh Allah SWT melalui rasul-Nya akan tata cara dan perinciannya dalam
beribadah. Ketiga, dalam bidang aqidah Islam harus berpengaruh terhadap segala aktivitas
yang di lakukan oleh manusia pada tataran lebih lanjut. Iman harus berimplikasi pada tingkah
laku dan perbuatan sehari-hari. Dengan demikian disimpulan jika aqidah bukan hanya sekedar
keyakinan tetapi acuan dasar dalam bertingkah laku. Keempat, dalam bidang ilmu dan
kebudayaan ajaran Islam bersifat terbuka, akomodif namun juga selektif. Keilmuan dan
kebudayaan Islam juga harus selektif dalam menerima sebuah kritik dan masukan. Kelima,
dalam bidang sosial dan kemasyarakatan ajaran Islam lebih menekankan kepada urusan
muamalah yang di dalam Al-Qur’an pembahasannya lebih besar dari urusan ibadah. Oleh
karena itu, Islam sangat memperhatikan aspek kehidupan sosial, membicarakan aspek
kehidupan sosial dalam pandangan Islam secara tidak langsung menolak kehidupan yang
sekularistik, yaitu kehidupan yang memisahkan urusan agama dan dunia.
3. A. Kekayaan Tradisi Keilmuan Islam
Keilmuan Islam memiliki tiga unsur yang sangat prinsipil, yaitu : pertama, keilmuan
Islam ciptaan orang-orang Islam; kedua, keilmuan Islam didasarkan pada ajaran-ajaran Islam,
dengan bersumberkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW; ketiga, keilmuan Islam
merupakan pencerminan dari ajaran-ajaran Islam (Abdullah, 2006:17).
Nurcholish Madjid ( Abdullah, 2006; 171) mengemukakan bahwa ilmu agama dalam
konteks ini keilmuan Islam merupakan hasil pelaksanaan perintah Allah untuk
memperhatikan dan memahami alam raya ciptaan-Nya. Oleh sebab itu, antara iman dan ilmu
tidak dapat terpisahkan, meskipun kedua hal tersebut dapat dibedakan. Ilmu dan agama tidak
dapat di pisahkan sebab dalam agama Islam sendiri terdapat perintah untuk mencari ilmu
untuk membimbing moral dan etis dalam pengaplikasiannya. Di sisi lain, ilmu berbeda
dengan iman, karena ilmu sendiri berdasarkan pada observasi terhadap alam semesta dan di
susun melalui proses berpikir dan penalaran yang masuk akal sehingga bisa di terima oleh
masyarakat. Sedangkan iman sendiri berdasarkan pada Al-Qur’an dan sunnah-sunnah rasul.
Ilmu keislaman adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan agama Islam. Ilmu
keislaman kemudian berkembang sesuai dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat. Jika
pada masa Nabi Muhammad SAW, keilmuan Islam bertujuan utama untuk menegakkan
tauhid sehingga yang ditegakkan pada masa itu adalah ilmu aqidah, ilmu ibadah, dan ilmu
qiraah. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kebutuhan umat Islam semakin lebih kompleks,
terutama untuk menjawab persoalan-persoalan yang tidak pernah ada di masa Nabi
Muhammad SAW ketika masih hidup. Seiring berkembangnya waktu dinamika dan
kebutuhan masyarakat semakin luas dan berkembang sehingga hal tersebut membuat
keilmuan Islam juga semakin berkembang dan juga berimplikasi terhadap kehidupan
masyarakat sekarang.
Kekayaan tradisi keilmuan Islam, selain berasal dari sumber yang baku Al-Qur’an dan
sunnah, juga berasal dari sumber dinamika yaitu ijtihad. Ijtihad adalah penggunaan penalaran
kritis yang mendalam untuk memahami kedalam dan keluasan isi kandungan Al-Qur’an dan
sunnah Nabi. Ijtihad merupakan penggunaan akal semaksimal mungkin untuk memahami,
memikirkan dan mencoba menafsirkan ajaran agama (wahyu). Berbeda dengan wahyu yang
bersifat mutlak, ijtihad memiliki sifat relatif. Seluruh hasil ijtihad, kebenarannya
dikembalikan kepada Allah, sebab Allahlah yang lebih mengetahui tentang kebenaran yang
hakiki (Abdullah,1995:12).
Dengan ijtihad para ulama islam, keilmuan islam semakin banyak dan berkembang.
Semakin beragam ijtihad yang dilakukan oleh para ulama, maka semakin luas dan beragam
pula keilmuan Islam.Sebagai contoh, upaya-upaya ijtihad yang dilakukan intelektual Muslim
pada zaman kebesaran Baghdad. Pada pertengahan, Baghdad menjadi pusat keilmuan karena
ijtihad yang dilakukan oleh intelektual muslim dengan memanfaatkan falsafat dan logika.
Selain itu ada contoh berijtihad yang belum pernah ada di zaman Nabi Muhammad SAW
adalah hukum Islam mengenai pasangan yang membutuhkan bayi tabung. Hal ini
diperbolehkan dengan beragam syarat yang mengiringi. Sedangkan contoh ijtihad pada masa
kekhalifahan adalah peristiwa yang terjadi di zaman Khalifah Umar bin Khattab. Pada saat iti
para pedagang muslim mengajukan suatu pertanyaan pada Khalifah, yakni berapa besar cukai
yang wajib dikenakan kepada para pedagang di wilayah Khalifah. Jawaban dari pertanyaan
tersebut belum termuat secara perinci di Al-Qur’an atau hadist, maka Umar bin Khattab
melakukan ijtihad bersama para pemuka agama Islam yang paham hukum.
4. B. Hubungan Islam dengan Sains
Pengaruh peradaban Islam Andalusia terhadap dunia barat bukan hanya dalam bidang
filsafat, melainkan dalam bidang sains juga. Pada abad ke-11 dan ke-12, Andalusia menjadi
pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan di Eropa. Pada masa itulah peradaban Islam di
Andalusia memperoleh puncak kejayaannya. Proses transfer keilmuan tidak hanya dipusatkan
di lembaga-lembaga pendidikan, melainkan juga di masjid, di istana khalifah, rumah pribadi,
kedai-kedai dan pasar buku.
Sains dan agama adalah dua entitas yang berbeda sebagai sumber pengetahuan dan
sumber nilai bagi kehidupan manusia. Meskipun secara filosofis keduanya berbeda namun
secara historis pernah dilakukan upaya-upaya konsolidatif baik dalam konteks
kontraproduktif maupun konteks mutualistik (Arifin, 2008 : 173). Langkah konsolidatif ini,
disimpulkan dalam riset Zainul Arifin, dilakukan supaya di antara keduanya tidak menjadi
instrumen dan media perseteruan dan sumber konflik bagi kehidupan manusia, namun
sebaliknya, keduanya semestinya menjadi sumber inspirasi meningkatkan kearifan dan
kesadaran dinamis diri manusia dalam hubungannya dengan alam, secara makrokosmik, dan
dengan sesama manusia, secara mikrokosmik, serta dengan Tuhann, secara transendental.
Oleh sebab itu, agama dan sains perlu meniscayakan diri untuk sama-sama mengabdi untuk
kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran manusia (2008:174)
Sebagaimana agamawan, saintis memiliki langkah kerja yang khas dengan menggunakan
berbagai tata cara yang berpola atau dengan keteraturan tertentu. Pola kerja ilmiah bisa saja
berupa pelukisan, pengamanan, penggolongan, pengukuran, penguraian, penyelidikan,
percobaan dan perbadingan. Tata cara ilmiah terdiri dari serangkaian tata langkah yang tertib,
yang pada umumnya berupa : penentuan masalah, perumusan patokan duga (hipotesis),
pengumpulan bahan keterangan, penurunan kesimpulan, dan pengujian hasil. Pelaksanaan
pola-pola dari tata cara ilmiah biasanya memerlukan rincian lebih lanjut berupa aneka tata
kerja.
Dalam diskursus relasi agama dan sains telah melahirkan sejumlah nama tokoh dan
pemikiran-pemikiran yang bisa dijadikan pertimbangan untuk memahami persoalan duniawi.
Para tokoh ini telah berusaha memetakan relasi agama dan sains berdasarkan sudut pandang
masing-masing, sehingga kita bisa menggunakannya seacra komplementaif dan komprehensif
dalam memahami persoalan anatra agama dan sains, bahkan termasuk dengan falsafat. Sebut
saja, Mikael Stenmark yang berupaya memetakan relasi sains dan agama, dengan
menawarkan tipologi yang disebutnya sebagai “model multidimensional”. di mana ia
menawarkan beberapa dimensi dalam sains dan agama terlebih dahulu, kemudian
mengeksplorasi masing-masing sains dan agama dalam dimensi-dimensi tersebut. Sementara
dari kalangan saintis berlatarkan Islam juga mengalami dinamika yang menggambarkan dan
meyakinkan. Misalnya, Mehdi Golshani mengajukan gagasan perlunya penafsiran Islam
melalui apa yang di sebut sebagai “Sains Islam”.
Pada akhirnya mengenal dan memahami tipologi-tipologi relaisonal antara sains dan
agama, termasuk dari keragaman prespektif dan latar belakang para penulis dan pemikirannya
sangat bermanfaat untuk segera menyadarkan kita bahwa ternyata ada banyak pilihan yang
bisa dipertimbangkan dan diambil dalam melihat hubungan sains dan agama sehingga kita
tidak bisa dengan mudahnya untuk melangsungkan bahwa kedua hal tersebut bertentangan
atau justru sebaliknya.
5. KESIMPULAN
Hubungan sains dan agama tidak dapat dipisahkan, karena kedua hal tersebut berjalan
beriringan. Dalam pengembangan agama Islam terdapat empat faktor pendukung yaitu :
pertama, Agama Islam merupakan agama yang menghormati akal dan mempergunakan
akalnya untuk memikirkan hal-hal yang ada di alam semesta ini :kedua, Islam mewajibkan
umatnya untuk menuntut ilmu sepanjang hayatnya : ketiga, Islam melarang umatnya untuk
taklid buta, yaitu menelan mentah-mentah sesuatu tanpa di periksa dan diteliti terlebih dahulu
faktanya: keempat, Islam memerintahkan untuk memeriksa dan membuktikan suatu
kebenaran ( Anshari 1989 ; 161-165 ). Didalam Islam juga terdapat ajaran diberbagai bidang
kehidupan, mulai dari agama, ibadah dan muammalah. Karakteristik tersebut dapat di petakan
menjadi lima, yaitu : pertama, didalam bidang agama Islam memiliki karakteristik yang
mengakui adanya pluralisme sebagai kenyataan dan mengakui juga adanya universalisme;
kedua, dalam bidang ibadah ajaran agama Islam terdapat dua ibadah, yaitu : ibadah umum dan
ibadah khusus; ketiga, dalam bidang aqidah Islam berpengaruh terhadap segala aktivitas yang
dilakukan oleh manusia; keempat, dalam bidang ilmu kebudayaan Islam juga harus selektif
menerima sebuah kritikan; kelima, dalam bidang sosial dan kemasyarakatan ajaran Islam
lebih menekankan kepada urusan muammalah. Keilmuan Islam memiliki tiga unsur yang
sangat prinsipil, pertama, keilmuan Islam ciptaan orang-orang Islam; kedua, keilmuan Islam
didasarkan pada ajaran-ajaran Islam, dengan bersumberkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi
Muhammad SAW; ketiga, keilmuan Islam merupakan pencerminan dari ajaran-ajaran Islam
(Abdullah, 2006:17). Ilmu dan agama tidak dapat dipisahlkan namun kedua hal tersebut dapat
dibedakan. Karena di dalam Islam sendiri terdapat perintah untuk menuntut ilmu.
Ilmu keislaman adalah sesuatu yang berkaitan dengan agama Islam yang berkembang
sesuai dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat. Kekayaan sumber Islam selain berasal
dari Al-Qur’an dan sunnah, juga berasal dari ijtihad para ulama Islam. Berbeda dengan wahyu
yang bersifat mutlak maka ijtihad bersifat dinamis, karena seluruh hasil ijtihad kebenarannya
dikembalikan ke Allah, sebab Allahlah yang lebih mengetahui tentang kebenarannya. Sains
dan agama adalah dua entitas yang berbeda sebagai sumber pengetahuan dan sumber nilai
bagi kehidupan manusia. Meskipun secara filosofis keduanya berbeda namun secara historis
pernah dilakukan upaya-upaya konsolidatif baik dalam konteks kontraproduktif maupun
konteks mutualistik (Arifin, 2008 : 173). Langkah konsolidatif ini, disimpulkan dalam riset
Zainul Arifin, dilakukan supaya di antara keduanya tidak menjadi instrumen dan media
perseteruan dan sumber konflik bagi kehidupan manusia, namun sebaliknya, keduanya
semestinya menjadi sumber inspirasi meningkatkan kearifan dan kesadaran dinamis diri
manusia dalam hubungannya dengan alam, secara makrokosmik, dan dengan sesama
manusia, secara mikrokosmik, serta dengan Tuhann, secara transendental. Oleh sebab itu,
agama dan sains perlu meniscayakan diri untuk sama-sama mengabdi untuk kepentingan
kesejahteraan dan kemakmuran manusia (2008:174). Dalam diskursus relasi agama dan sains
telah melahirkan sejumlah nama tokoh dan pemikiran-pemikiran yang bisa dijadikan
pertimbangan untuk memahami persoalan duniawi. Para tokoh ini telah berusaha memetakan
relasi agama dan sains berdasarkan sudut pandang masing-masing, sehingga kita bisa
menggunakannya secara komplemantif dan komprehensif dalam memahami persoalan antara
agama dan sains, bahkan termasuk dengan falsafat.
6. DAFTAR PUSTAKA
M.Phil, Badrul Munir Chair. 2020. Falsafah Kesatuan Ilmu. Semarang : SeAP (Southeast
Asia Publishing)
Hidayatullah, Syarif. 2019. Agama dan Sains : Sebuah kajian tentang relasi dan metodologi.
Jurnal Filsafat. Vol.29. No 1 Februari 2019.