Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Makalah ilmu penyakit tumbuhan
1. i
MAKALAH ILMU PENYAKIT TUMBUHAN
PENYAKIT PENTING PADA TANAMAN CABAI : ANTRAKNOSA
OLEH JAMUR Colletotrichum capsici
Disusun oleh:
Taufik Hidayat
Inayatul Fitria Dewi
Rumaira Savitri
(1510401057)
(1510401057)
(1510401069)
PROGAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TIDAR
2017
2. ii
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Latar belakang ..........................................................................................1
1.2 Rumusan masalah.....................................................................................1
1.3 Tujuan.......................................................................................................2
BAB 2 ISI.................................................................................................................3
2.1 Penyakit Antraknosa.................................................................................3
2.2 Klasifikasi Colletotrichum capsici ...........................................................3
2.3 Morfologi Colletotrichum capsici ............................................................3
2.4 Bioekologi Patogen...................................................................................5
2.5 Daur hidup patogen ..................................................................................5
2.6 Mekanisme jamur Collecotrichum menginfeksi cabai .............................6
2.7 Gejala Serangan........................................................................................7
2.8 Tingkat Kerusakan ...................................................................................8
2.9 Sebaran Di Indonesia................................................................................8
2.10 Pengendalian Di Indonesia Saat Ini........................................................9
2.11 Pengendalian Efektif...............................................................................9
BAB III PENUTUP ...............................................................................................12
3.1 Kesimpulan.............................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................13
3. 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak
dibudidayakan oleh petani di Indonesia, karena memiliki harga jual yang tinggi
dan memiliki beberapa manfaat kesehatan. Namun pada saat musim hujan
menjelang musim kemarau selalu datang penyakit antraknosa yang
menyerang cabai. Penyakit tersebut menyerang bagian buah cabai sehingga
nampak seperti terbakar dan gosong. Walaupun petani sudah membeli benih yang
bermutu dan memperlakukannya dengan baik namun untuk mencegah penyakit ini
belum menemukan cara yang efektif. Akibatnya, produksi cabai menurun dan
menyebabkan harganya naik (Anonim, 2011).
Penyakit antraknosa pada tanaman cabai ini merupakan penyakit yang
menjadi salah satu kendala utama dalam usaha budidayacabai. Serangan
antraknosa disebabkan jamur genus Colletotrichum. Penyakit karena jamur
ini masih merupakan faktor pembatas produksi cabai Indonesia. Lebih
dari 90 % antraknosa yang menginfeksi cabai diakibatkan C.capsici. Jamur
patogen ini menjangkiti bagian yang berbeda dari tanaman. Walaupun infeksi
antraknosa dapat terjadi pada semua tahap perkembangan tanaman, tahap
yang paling diperhatikan dari infeksi ini dalam variasi buah setelah panen (Tri
Maryono, 2011).
Gejala pada daun berupa klorosis, dan berupa bercak kecil berwarna putih
dan lama-lama tumbuh membesar. Adapun gejala pada buah berupa bercak kecil
yang selanjutnya dapat tumbuh lebih besar. Bercak yang terbentuk umumnya
melekuk atau agak cekung, dan dimulai dari terbentuknya aservulus jamur yang
berwarna hitam pada bagian tengah yang biasanya membentuk lingkaran yang
berlapis (Martoredjo, 2009).
Antraknosa dapat dikendalikan dengan menanam kultivar tanaman cabai
rawit yang tahan terhadap penyakit antraknosa. Bagi petani cara yang paling
mudah untuk mengendalikan penyakit antraknosa adalah dengan penggunaan atau
penanaman kultivar-kultivar yang resisten (tahan), sebab dengan cara ini petani
tidak banyak menyediakan penambahan (ekstra) biaya, serta tenaga kerja untuk
mengendalikan penyakitantraknosa (Djafarudin, 2000).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud penyakit antraknosa pada cabai?
2. Apa pathogen yang menyebabkan penyakit antraknosa pada cabai?
3. Bagaimana tanda dan gejala penyakit antraknosa pada cabai?
4. Bagaimana pengendalian penyakit antraknosa pada cabai?
4. 2
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk :
1. Untuk mengetahui pengertian penyakit antraknosa pada cabai.
2. Untuk mengetahui pathogen yang menyebabkan penyakit antraknosa pada
cabai.
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala penyakit antraknosa pada cabai.
4. Untuk mengetahui pengendalian penyakit anraknosa pada cabai.
5. 3
BAB II
ISI
2.1 Penyakit Antraknosa
Antraknosa pada cabai merupakan penyakit yang paling sering ditemukan
dan hampir selalu terjadi disetiap areal tanaman cabai. Penyakit antraknosa ini
disebabkan oleh jamur Colletotrichum capsici (Syd.) Bult.et.Bisby. Penyakit ini
selain mengakibatkan penurunan hasil juga dapat merusak nilai estetika dari cabai
itu sendiri. Serangan patogen ini dapat terjadi baik sebelum maupun setelah
panen. Penurunan hasil akibat antraknosa dapat mencapai 50 persen atau lebih
(Semangun, 2004).
2.2 Klasifikasi Colletotrichum capsici
Menurut Alexopoulus dan Mims (1979) klasifikasi C. capsici adalah
sebagai berikut:
Divisio :Mycota
Sub divisio :Deuteromycota
Klas :Deuteromycetes
Sub klas :Coelomycetidae
Ordo :Melanconiales
Famili :Nectrioidaceae
Genus :Colletotrichum
Spesies :Colletotrichum capsici (Syd.) Butl. Et. Bisby.
2.3 Morfologi Colletotrichum capsici
Jamur C. capsici mempunyai banyak aservulus, tersebar, di bawah
kutikula atau pada permukaan, garis tengahnya sampai 10 μm, hitam dengan
banyak seta. Seta coklat tua, bersekat, kaku, meruncing ke atas, 75-100 x 2-6,2
μm. Konidium hialin, berbentuk tabung (silindris), 18,6-25,0 x 3,5-5,3 μm, ujung-
ujungnya tumpul, atau bengkok seperti sabit. Jamur membentuk banyak
sklerotium dalam jaringan tanaman sakit atau dalam medium biakan (Semangun,
6. 4
2000). Koloni pada media PDA saat pertama putih dengan cepat menjadi kelabu.
Pada area miselium berwarna dari terang menjadi abu-abu gelap pada seluruh
permukaan koloni, dengan aservulus yang runcing untuk seta gelapnya. Titik-titik
spora berwarna pucat kekuning-kuningan seperti salmon (ikan) (Mordue, 1971).
Penyakit ini kurang terdapat pada musim kemarau, di lahan yang
mempunyai drainasi baik, dan yang gulmanya terkendali dengan baik.
Perkembangan becak paling baik terjadi pada suhu 30° C, sedang sporulasi jamur
C. capsici pada suhu 30° C. Buah yang muda cenderung lebih rentan dari pada
yang setengah masak. Semangun (2000) menyatakan bahwa perkembangan becak
karena C.capsici lebih cepat terjadi pada buah yang tua, meskipun buah yang
muda lebih cepat gugur karena infeksi ini.
Miselium jamur berwarna keabu-abuan
A. Aservulus
B. Konidiofor
C. Konidia
Jamur C. capsici mempunyai banyak aservulus, tersebar, di bawah
kutikula atau pada permukaan, garis tengahnya sampai 10 μm, hitam dengan
banyak seta. Seta coklat tua, bersekat, kaku, meruncing ke atas, 75-100 x 2-6,2
μm. Konidium hialin, berbentuk tabung (silindris), 18,6-25,0 x 3,5-5,3 μm, ujung-
ujungnya tumpul, atau bengkok seperti sabit. Jamur membentuk banyak
sklerotium dalam jaringan tanaman sakit atau dalam medium biakan (Semangun,
2000). Koloni pada media PDA saat pertama putih dengan cepat menjadi kelabu.
7. 5
Pada area miselium berwarna dari terang menjadi abu-abu gelap pada seluruh
permukaan koloni, dengan aservulus yang runcing untuk seta gelapnya. Titik-titik
spora berwarna pucat kekuning-kuningan seperti salmon (ikan) (Mordue, 1971).
2.4 Bioekologi Patogen
Faktor yang Mempengaruhi Colletotrichum capsici
Untuk pertumbuhan jamur Colletotrichum capsici sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor lingkungan, salah satunya adalah pH. pH sangat penting dalam
mengatur metabolisme dan sisitem-sistem enzim, bila terjadi penyimpangan pH,
maka proses metabolisme jamur dapat terhenti. Sehingga untuk pertumbuhan
maksimal jamur diperlukan pH yang optimum. pH optimal untuk pertumbuhan
jamur Colletotrichum capsici yang baik adalah pH 5-7 (Yulianty, 2006). Suhu
optimum untuk pertumbuhan jamur ini antara 24-30ºC dengan kelembaban relatif
antara 80-92 % (Rompas, 2001). Periode inkubasi paling cepat muncul pada 3-8
HSI (Hari Setelah Inokulasi) (Ginting et al. 2013).
2.5 Daur hidup patogen
Pada tahap awal infeksi konidia Colletotrichum yang berada di permukaan
kulit buah cabai merah akan berkecambah dan membentuk tabung
perkecambahan. Setelah tabung perkecambahan berpenetrasi ke lapisan epidermis
kulit buah cabai merah maka akan terbentuk jaringan hifa. Kemudian hifa intra
dan interseluler menyebar ke seluruh jaringan dari buah cabai merah (Photita, et
al., 2005).
8. 6
2.6 Mekanisme jamur Collecotrichum menginfeksi cabai
Mekanisme Jamur Colletotrichum gloeosporioides yang menyerang pada
tanaman Cabai (Capsicum annum) yaitu patogen awalnya menginfeksi utuh, non-
terluka buah hijau yang belum matang di lapangan. Spora berkecambah dan
membentuk appressoria pada permukaan buah. Jamur, menggunakan
appressoriumnya, enzimatik menembus kutikula dan kemudian tetap sebagai sub-
kutikula hifa sampai klimakterik pasca tahap pertumbuhan buah dicapai. Pada titik
ini, jamur mengalami pertumbuhan pesat dan menyebabkan gejala-gejala yang
khas. Kondisi lingkungan yang menguntungkan patogen adalah suhu tinggi, 28ûC
yang optimal, dan kelembaban tinggi. Spora harus mendapat air yang cukup untuk
berkecambah, perkecambahan diabaikan bawah kelembaban relatif 97%. Spora
hanya dibebaskan dari acervuli ketika ada banyak kelembaban. Pukulan ombak
dari hujan adalah sarana umum menyebar. Keparahan penyakit ini cenderung
9. 7
menurun saat cuaca kering. Sinar matahari, kelembaban rendah dan temperatur
ekstrem dapat cepat menginaktivasi spora (Semangun,1996).
2.7 Gejala Serangan
Gejala awal penyakit ini ditandai dengan munculnya bercak yang agak
mengkilap, sedikit terbenam dan berair, berwarna hitam, orange dan coklat.
Warna hitam merupakan struktur dari cendawan (mikro skelerotia dan aservulus),
apabila kondisi lingkungan lembab tubuh buah akan berwarna orange atau merah
muda. Luka yang ditimbulkan akan semakin melebar dan membentuk sebuah
lingkaran konsentris dengan ukuran diameter sekitar 30 mm atau lebih. Dalam
waktu yang tidak lama buah akan berubah menjadi coklat kehitaman dan
membusuk, ledakan penyakit ini sangat cepat pada musim hujan. Serangan yang
berat menyebabkan seluruh buah keriput dan mengering. Warna kulit buah seperti
jerami padi (Anonim, 2014).
Keterangan
A: Gejala antraknosa pada buah.
a: gejala awal, b: gejala lanjut.
B: Gejala antraknosa pada ranting,
a: gejala awal, b: gejala lanjut.
Pada awal mulanya bahwa gejala antraknosa berupa bercak kecil yang
selanjutnya dapat berkembang menjadi lebih besar. Gejala tunggal cenderung
berbentuk bulat, tetapi karena banyaknya titik awal gejala maka gejala yang satu
dengan yang lain sering bersatu hingga membentuk bercak yang besar dengan
bentuk tidak bulat. Pada gejala yang sudah cukup besar, sering di bagian tepinya
coklat dan di bagian tengahnya putih. Bercak yang terbentuk umumnya agak
10. 8
cekung atau berlekuk dan dimulai dari bagian tengahnya mulai terbentuk
aservulus jamur yang berwarna hitam, yang biasanya membentuk lingkaran yang
berlapis (Martoredjo, 2010).
Penyakit ini menyerang bagian buah cabai, baik buah yang masih muda
maupun yang sudah masak. Cendawan ini termasuk salah satu patogen yang
terbawa oleh benih. Penyebaran penyakit ini terjadi melalui percikan air, baik air
hujan maupun alat semprot. Suhu optimum bagi perkembangan cendawan ini
berkisar antara 20–24° C (Anonim, 2014)
2.8 Tingkat kerusakan
Penyakit antraknosa pada cabai besar tersebar luas di semua daerah
penanaman cabai di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Dilaporkan bahwa
setiap tahun penyakit yang menyebabkan buah busuk dan rontok ini timbul di
Sumatera Barat (Semangun, 2000). Gangguan penyakit antraknosa terhadap
tanaman cabai merah merupakan salah satu penyebab rendahnya produksi cabai
merah, baik kuantitas maupun kualitas. Antraknosa adalah penyakit yang
disebabkan oleh jamur C. capsici yang menjadi masalah penting pada
pertaniancabai merah di Indonesia, terutama pada pertanaman musim hujan. Di
Brebes, Jawa Tengah, kerugian yang disebabkan oleh penyakit ini dilaporkan
sebesar 10%-15%, di Sumatera Barat kerugian tercatat 11%-35% (Trimurti, dkk,
1983 dalam Qosim dan Setiamihardja, 1991).
Penyakit antraknosa dapat menyerang sejak dalam persemaian, karena
petogen ini dapat masuk ke dalam ruang biji dan menginfeksi biji. Penyakit ini
biasanya menyerang pada bagian biji, batang, daun, dan terutama pada buah.
Penyakit antraknosa pada daun dan batang tidak dapat menginfeki buah.
2.9 Sebaran Di Indonesia
Penyakit pada cabai yang disebabkan oleh jamur di Indonesia selalu ditulis
dalam laporan tahunan hama dan penyakit tanaman pertamian pada tahun 1930-
an. Penyakit Antraknosa pada tanaman cabai tersebar luas di semua daerah
pertanaman cabai di seluruh dunia. Di Indonesia yang beriklim tropis penyakit ini
dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar seperti di Sumatera, Jawa,
11. 9
Lampung. Irian Jaya dan daerah lainnya. Pada tahun 1983 antraknosa berkembang
sangat hebat di Kabupaten Demak pada tanaman cabai yang di tanam diluar
musimnya (Januari/Februari) dan menyebabkan terjadinya kerugian sampai 65 %
(Semangun, 2004).
2.10 Pengendalian Di Indonesia Saat Ini
Pengendalian penyakit terutama yang disebabkan oleh jamur selama ini
dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan fungisida. Cara pengendalian
penyakit antraknosa dengan menggunakan fungisida dirasakan oleh petani di
Indonesia memang lebih praktis bila dibandingkan dengan cara pengendalian lain.
Pengendalian dengan fungisida dapat menimbulkan berbagai masalah.
Pengendalian seperti ini memerlukan biaya besar dan efek residunya dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap manusia dan lingkungan. Efek residu
fungisida dapat mematikan jasad sasaran yang banyak bermanfaat bagi
kelangsungan ekosistem di alam. Banyak bahan aktif pestisida dapat menggangu
kesehatan manusia, misalnya dapat merangsang pertumbuhan sel kanker. Oleh
karena itu, penggunaan pestisida sebagai pengendali penyakit tanaman harus
ditekan sekecil mungkin. Selain dengan penggunaan fungisida, petani di Indonesia
dalam pengendalian penyakit antraknosa masih dengan menggunakan
pengendalian mekanis yaitu dengan mencabut langsung tanaman yang terserang
penyakit (Cahyono, 2003).
2.11 Pengendalian Efektif
Pengendalian Patogen
Beberapa cara pengendalian Colletotrichum yang telah dilakukan yaitu
1. Kontrol budidaya,
Pengetahuan akan teknik budidaya penting dilakukan dalam mengatasi
penyakit antraknosa pada tanaman cabai. Teknik budidaya tanaman cabai dapat
menerapkan SOP yang sudah dibuat. Maksud dari penerapan SOP adalah untuk
menjadi panduan umum dalam melaksanakan budidaya tanaman hortikultura
secara benar dan tepat, sehingga diperoleh produktivitas tinggi, mutu produk yang
baik, keuntungan optimum, ramah lingkungan dan memperhatikan aspek
12. 10
keamanan, keselamatan dan kesejahteraan petani, serta usaha produksi yang
berkelanjutan. Standar operasional prosedur (SOP) meliputi penyediaan benih,
persiapan lahan, penanaman, pemasangan ajir, perempelan, pengairan,
pemupukan, dan pengendalian OPT (Anonim, 2016).
2. Menggunakan kultivar resisten
Salah satu penentu keberhasilan dalam suatu usaha budidaya tanaman
adalah faktor penggunaan benih yang berasal dari varietas unggul (Syukur, dkk.
2010). Penggunaan kultivar yang resisten dapat mengurasi pengendalian secara
mekanik dan kimia, sehingga lebih menghemat waktu dan biaya. Beberapa
varietas unggul cabai merah yang beredar di pasaran saat ini adalah varietas
Malika, Jetset, Inco dan Persada. Selain itu ada beberapa varietas cabai lain seperti
Tit Super Lv yang merupakan cabai dataran rendah yang cocok ditanam sepanjang
tahun pada musim hujan. Kemudian jenis keriting lokal yang tahan tanam
dimusim hujan antara lain, varietas lokal daerah Kudus, Rembang, Lampung,
Sumatera Barat, Karo, Garut dan varietas lokal daerah yang benihnya telah
diseleksi oleh perusahaan benih, seperti jenis Laris. Varietas cabai jenis Cemeti
juga dinilai sangat tahan terhadap penyakit ketika ditanam di musim hujan. Jenis
lainnya, yakni Maraton, dapat ditanam pada ketinggian 0-800 mdpl, tahan
terhadap penyakit layu Pseudomonas, patek/antraknosa dan bercak daun bakteri,
baik ditanam pada musim hujan dengan berat buah 12,5-14,3 gram. Dapat dipanen
pada umur 70-75 hari setelah tanam. Menghasilkan 1-1,5 kg/tanaman atau 18-27
ton/Ha.
3. Kontrol secara biologi.
Kontrol biologi dilakukan dengan memanfaatkan makhluk hidup lain
untuk mengendalikan patogen. Misalnya dengan pemanfaatan Trichoderma spp
dan Gliocladium spp. Selain itu kontrol biologi juga dapat menggunakan mikroba
Pseudomonas fluorescens dan Bacillus subtilis (Cahyono, 2003).
4. Pengendalian dengan fungisida
Apabila gejala serangan penyakit semakin meluas dapat digunakan
fungisida yang efektif dan sudah terdaftar. Fungisida prockloraz serta kombinasi
13. 11
benomyl dan mancozeb efektif untuk pengendalian penyakit antraknosa yang
disebabkan oleh C. Capsici. Fungisida Petronil 75 WP dengan bahan aktif
klorotalonil 75% merupakan fungisida protektif berbentuk tepung yang dapat
disuspensikan, berwarna putih, bekerja secara preventif dan kuratif untuk
melindungi tanaman terhadap penyakit yang disebabkan oleh jamur (Hikmah,
2012).
5. Pengendalian dengan Biopestisida
Penggunaan fungisida yang berlebihan dan ketergantungan terhadapnya
tidak memecahkan masalah penyakit tanaman tetapi menimbulkan masalah baru
baru dan dampak negatif. Penggunaan fungisida yang berlebihan dapat
menyebabkan gangguan pada kesehatan manusia, polusi lingkungan dan
berkembangnya jamur patogen yang resisten terhadap fungisida. Untuk
menghindari efek samping yang tidak diinginkan, dikembangkan biopestisida
yang diperoleh dari senyawa yang dihasilkan oleh tanaman. Terdapat berbagai
macam spesies tumbuhan yang dapat menghasilkan berbagai produk senyawa
metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, steroid, terpenoid, golongan fenol,
feromon, saponin, dan tanin. Penggunaan bahan-bahan yang berasal dari
tumbuhan sebagai biopestisida bersifat ramah lingkungan karena mudah
terdegradasi sehingga tidak menimbulkan residu. Biopestisida juga mempunyai
sifat yaitu daya urai cepat dan tidak ada residu pada produk pertanian sehingga
lebih aman dikonsumsi. Namun karena penurunan daya racun cepat, maka perlu
diaplikasikan secara berulang-ulang (Kardinan, 2002).
14. 12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari makalah di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit antraknosa yang
disebabkan oleh jamur Colletotrichum capsici merupakan salah satu penyakit
penting yang menyerang pada tanaman cabai. Penyakit ini lebih dikenal dengan
penyakit patek. Hampir sebagian besar pertanaman di Indonesia diserang penyakit
ini menurunkan hasil hingga 50%. Sehingga perlu adanya pecegahan untuk
meminimalkan adanya serangan penyakit ini.
15. 13
DAFTAR PUSTAKA
Alexopoulos dan Mims. 1979. Introductory mycology. Champman and hall.
London.
Anonim. 2014. Hama dan Penyakit pada tanaman cabai serta pengendaliannya.
Jambi: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh. 2016. Standar Operasional Prosedur
(SOP) Tanaman Cabai. Banda Aceh.
Cahyono, Bambang, 2003. Cabai Rawit Teknik Budidaya & Analisis Usaha Tani.
Kanisisus. jakarta.
Djafaruddin. 2000. Dasar - dasar Pengendalian Penyakit Tanaman. PT Bumi
Aksara.Jakarta.
Hikmah, N. 2012. Ringkasan Jenis-jenis Pestisida. FMIPA ITB.
Kardinan. 2002. Pestisida Nabati ramuan dan Aplikasi. FMIPA ITB.
Martoredjo, T. 2009. Ilmu Penyakit Pascapanen. PT Bumi Aksara. Jakarta.
Martoredjo, T. 2010. Ilmu Penyakit Pasca Panen. Bumi aksara. Jakarta.
Maryono, Tri. 2011. Colletotrichum Pada Antraknosa Cabai Di Lampung dan
Patogenesitas. Universitas Lampung. Lampung.
Mordue. 1971. Colletotrichum capsici CM.1. Description of pathogenic fungi and
bacteria No. 371, Commonwealth mycology institute. Kew
Photita, W., Taylor, P.W.J., Ford, R., Lumyong, P. McKenzie, H.C. and Hyde,
K.D. 2005. Morphological and molecular characterization of
Colletotrichum species from herbaceous plants in Thailand. Fungal
Divers. 18, 117 -133.
Semangun, H. 1996.Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gajah Mada Univ
Press.Yogyakarta.
Semangun. 2000. Penyakit-penyakit tanaman hortikultura di Indonesia. Gajah
mada university press. Yogyakarta
Semangun, H. 2004. Penyakit-penyakit tanaman hortikultura di Indonesia.
Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta
16. 14
Syukur, M., Sujiprihati, S., Yunianti, R., dan Kusumah, D. A., 2010. Evaluasi
Daya Hasil Cabai Hibrida dan Daya Adaptasinya di Empat Lokasi dalam
Dua Tahun. J. Agron. Indonesia., 38(1): 43-51.