SlideShare a Scribd company logo
1 of 150
Download to read offline
Niken dan Pandu
“Pelajaran kosong”. Tanyakan pada pelajar SMA manapun, kata-kata
ini nilainya tinggi sekali, jauh lebih tinggi daripada “batal ulangan”
sekalipun. Mungkin kata-kata yang bisa menandingi nilai “pelajaran
kosong” hanyalah “dua jam pelajaran kosong”. Itulah sebabnya suasana
kelas hari ini ramai sekali. Keramaian ini dimulai saat mereka mendengar
bahwa guru biologi, Bu Tanti, tidak bisa mengajar hari ini karena sakit. Itu
berarti, dua pelajaran penuh, dua kali 45 menit, mereka bebas dari
pengawasan guru. Guru-guru yang lain sibuk mengajar. Bu Tanti
memberikan tugas meringkas dua bab dari buku diktat. Tapi rasanya
murid-murid tidak ada yang menganggap penting tugas itu sekarang.
Yang penting sekarang adalah pelajaran kosong, dan ini harus
dimanfaatkan sebaik-baiknya.
”Kalian bisa diam, tidak?” tiba-tiba saja Bu Mirna, yang sedang
mengajar ekonomi di kelas sebelah, masuk ke dalam kelas. Murid-murid
cepat-cepat kembali ke tempat duduknya masing-masing. Bertepatan
dengan itu, Pak Yusril, kepala sekolah SMA Antonius mengetuk pintu
kelas.
“Terima kasih, Bu Mirna. Saya akan jaga di kelas ini,” kata Pak Yusril.
Ada seorang laki-laki yang membuntutinya.
“Anak-anak, ini Pandu. Mulai hari ini dia akan menjadi anggota kelas
2C ini. Tolong perlakukan dia dengan baik. Pandu, ceritakan sedikit
tentang dirimu sehingga teman-teman barumu bisa mengenalmu lebih
baik,” kata Pak Yusril.
“Nama saya Pandu. Pandu Prasetya. Saya pindahan dari SMA
Mataram di Yogyakarta. Ayah saya polisi, baru saja selesai tugasnya di
Yogya, dan dipindah ke Semarang ini. Saya anak bungsu dari 5
bersaudara, kakak saya laki-laki semua. Pasti ada yang bertanya-tanya
kenapa ayah saya memberi nama Pandu padahal saya anak bungsu?
Kakak-kakak saya semua bernama Pandu. Jadi kalo ada yang naksir
saya, mau telepon ke rumah, carinya Pandu Prasetya. Kalo nggak nanti
pada bingung Pandu yang mana.” kata Pandu tanpa malu-malu dengan
gaya yang ramah dan kocak
“Huh,” gersah Niken yang duduk di samping jendela, “Pe-de benar
cowok satu ini. Lagaknya sok ganteng”, batinnya.
“Nik, cakep yach tu cowok,” Wulan yang duduk di sebelahnya berbisik.
“Cakep apanya, ah?”
“Bagaimana sih kamu? Perawakannya tegap, tinggi lagi. Rambutnya
keren. Ketahuan lah kalau bapaknya polisi. Matanya seperti mata elang…”
bisik Wulan, mulai berandai-andai.
“Seperti mata jangkrik.” sahut Niken asal-asalan.
“Niken!” panggil Pak Yusril.
“Ya Pak!” Mendengar namanya dipanggil, Niken sontak berdiri. “Aduh,
jangan-jangan Pak Yusril mendengar percakapanku dengan Wulan?”
“Kamu ketua kelas, saya ingin kamu duduk dengan Pandu. Wulan, kamu
pindah di samping Arya. Pandu, kamu duduk di samping Niken.”
“Baik, Pak.” sahut Wulan dan Pandu hampir bersamaan.
“Duh, sial! Kenapa pula si jangkrik itu musti duduk di sebelahku?
Benar-benar sial.” gerutu Niken dalam hati sambil duduk kembali.
“Kamu beruntung sekali bisa duduk di sebelah si mata elang.” bisik
Wulan sebelum berdiri.
“Kalau saja aku bisa bertukar tempat dengan kamu sekarang, aku bakal
merasa sangat beruntung.” Niken balas berbisik. Dia tidak menyangka
Pandu sudah berdiri di sebelahnya. Tapi dia tidak berkata apa-apa, hanya
menebar senyum lalu duduk.
“Niken, tugas apa yang diberikan Bu Tanti?” tanya Pak Yusril.
“Meringkas bab 3 dan bab 4 dari buku paket, Pak.” jawab Niken.
“Bagus. Sekarang kalian duduk manis dan meringkas. Saya akan duduk
di sini, menonton kalian meringkas.” kata Pak Yusril sambil duduk di
depan, di kursi guru.
Anak-anak terlihat kecewa. Hilanglah harapan mereka untuk
bersenang-senang selama 2 jam pelajaran. Seandainya saja bukan Pak
Yusril, sedikit-banyak mereka pasti protes. Mereka sangat menghormati
Pak Yusril. Bukan karena dia galak, melainkan justru karena Pak Yusril
tidak pernah marah, tapi penuh wibawa. Jadi sekarang mereka terpaksa
diam dan meringkas.
“Niken, aku boleh ikut lihat buku diktatnya? Aku belum punya buku itu.”
tanya Pandu.
Niken berpikir sejenak, lalu menjawab, “Nih, pinjam saja. Aku sudah
selesai meringkas. Kemarin malam aku nggak ada kerjaan, jadi aku
sudah meringkas separuh. Pas anak-anak ramai tadi aku terusin
meringkas yang separuhnya. Jadi kamu boleh pinjam, nih,” kata Niken
meringkas yang separuhnya. Jadi kamu boleh pinjam, nih,” kata Niken
sambil mendorongkan buku itu ke arah Pandu. Sebetulnya Niken belum
selesai, kurang satu sub-bab lagi, tapi dia malas sharing satu buku
dengan Pandu. Lagipula Pandu perlu mulai dari awal, sedangkan Niken
sudah hampir selesai, tinggal halaman terakhir.
“Terima kasih,” kata Pandu, lalu mulai menulis.
Niken mengambil buku kecil dari tasnya, menyobek secarik kertas dari
situ, lalu sibuk menulis pula.
“Kamu lantas menulis apa?” bisik Pandu.
Niken diam saja. Malas dia menjawab cowok yang satu ini.
“Niken?”
“Bukan urusanmu. Kamu meringkas saja, sana…”
“Iiih… galaknya nona ketua kelas.” kata Pandu, lalu meneruskan
ringkasannya.
Diam-diam Pandu mencoba membaca yang Niken tulis. Cuma ingin
tahu saja. Sekilas empat baris terbaca.
Berat memikul dunia
Malu menyandang nama
Iblis bertopeng cinta
Maut perangkap asmara
Pandu tercenung. Pandu bisa melihat gadis yang satu ini sangat
berbeda dari gadis kebanyakan. Sorot matanya tajam. Dia terlihat begitu
cerdas dan dapat dipastikan dia penuh percaya diri. Ketua kelas pula.
Makhluk hidup dari mana pula ini? Pandu bertekad untuk mengetahui
lebih banyak tentang gadis misterius yang galak tapi teramat manis ini.
Berkat kelincahannya dalam bermain basket, sebentar saja Pandu
mendapat banyak teman. Cewek-cewek juga sering berlama-lama di
dekat Pandu, maklum, Pandu memang ganteng dan gagah. Niken yang
duduk di sebelahnya jadi enggan tinggal di kelas tiap jam istirahat. Karena
tiap istirahat, mejanya pasti dikerumuni banyak cewek ceriwis dan centil.
Niken lebih suka ngobrol dengan Wulan di kantin.
Di pihak lain, Pandu sudah berhasil mendapatkan banyak informasi
tentang Niken. Tidak sulit untuk memperoleh keterangan sebanyak
mungkin, karena hampir semua orang mengenal Niken. Niken yang
manis, Niken yang galak, Niken yang pandai dan selalu menjadi juara
kelas. Keterlibatannya di organisasi sekolah juga sangat besar. Boleh
dibilang, Niken adalah orang nomer satu se-angkatan. Selain cerdas,
Niken rupanya juga pandai bergaul. Pergaulannya cukup luas. Pantas
saja semua orang mengenalnya. Dari cowok yang berkacamata tebal
yang selalu menyibukkan diri di laboratorium fisika, sampai cowok
gondrong yang kerjaannya tiap hari hanya menenteng-nenteng gitarnya,
mereka semua kenal Niken. Kesan yang didapat dari masing-masing pun
sangat baik terhadap Niken. Teman ceweknya pun banyak, bahkan cewekcewek itu
sengaja membuntuti dan meniru-niru Niken ke mana-mana.
Singkat cerita, Niken itu benar-benar idola di kalangan murid-murid.
Nilai sempurna diberikannya untuk Niken, karena disamping semua
kelebihan di atas, sahabat Niken yang paling dekat, Wulan, adalah anak
pembantu rumah tangga. Ini cukup menarik, mengingat Niken itu anak
konglomerat. Papanya yang keturunan Cina, pemegang saham cukup
tinggi di Pertamina, perusahaan minyak nasional di Indonesia. Selain itu,
papanya adalah direktur dari bermacam-macam perusahaan besar di
berbagai tempat di Jawa. Benar-benar gadis yang beruntung. Rumahnya
megah, seperti Gedung Putih. Di kawasan elite pula. Menurut anak-anak
yang sudah pernah ke rumahnya, rumah Niken itu seandainya nasi
goreng, komplit pake telor. Ada fasilitas gym’nya, ada kolam renang,
sauna, ruang karaoke, ruang bilyar, lapangan tenis, wah, pokoknya
katanya segala ada deh.
Meski sudah mengetahui banyak tentang Niken, tetap saja dia terlihat
misterius. Misalnya, konon sampai sekarang ini Niken belum pernah
pacaran. Ini sangat aneh, mengingat Pandu banyak mendengar
pengakuan bisik-bisik dari teman-teman cowoknya, kalo mereka naksir
Niken. Tak satupun dari mereka yang berhasil mengambil hatinya. Apa dia
tidak doyan cowok? Rasanya koq tidak mungkin. Empat baris puisi yang
sekilas dilihatnya senantiasa terbayang-bayang di ingatannya. Niken
bicara tentang asmara di puisinya. Jadi dia pasti pernah jatuh cinta, Pandu
menyimpulkan. Tapi dengan siapa? Di mana dia sekarang? Puisi itu
sendiri begitu misterius, susah menyimpulkan begitu saja dari empat
baris puisi itu.
“Aku harus berhasil mendapatkan kertas kecil itu, itu satu-satunya cara
untuk mengetahui lebih banyak tentang Niken.”
*
Sepi…
Kau, mungkin telah membusuk
Tapi tidak lebih busuk
dari si busuk penyamun itu
Suci cintamu
Pedih deritamu
Berat memikul dunia
Malu menyandang nama
Iblis bertopeng cinta
Maut perangkap asmara
Kau, tinggal kenangan
Pahit kekecewaan
Memberi seribu teladan
Kau, mewangi sepanjang hari
Mekar di dalam hati
“Huh?! Tetap saja tidak mengerti.” keluh Pandu. Dia berhasil mencuri
lihat buku mungil itu dari tas Niken. Dibacanya berulang kali. Tetap saja
penuh misteri. Siapa yang dimaksud ‘penyamun’ itu? Siapa yang tinggal di
hatinya? “Ah, benar-benar bikin penasaran cewek yang satu ini,”
gumamnya, sambil meletakkan kertas itu di atas meja.
Budi, teman sekelas, sekaligus teman main basketnya, menepuk
pundaknya.
“Hey, Ndu! Tumben kamu enggak dikerumuni cewek hari ini? Macam
James Bond saja kamu.”
“Tadi aku bilang sama mereka, aku belum buat pe-er. Jadi mereka
menyingkir.”
“Apaan nich?” tanya Budi mengambil kertas itu dari meja.
“Eh… jangan…” cegah Pandu. Tapi terlambat. Secarik kertas itu sudah
berada di tangan Budi.
“Ini tulisan tangan si Niken, kan?” Budi mengenali tulisan Niken. Pandu
diam saja.
“Iya niiiih… Wah Niken bisa puitis juga, yach?” kata Budi sambil tertawa.
Lalu membacanya keras-keras.
Teman-teman yang lain tertarik, lalu mulai berkerumun di situ.
Budi bak seorang penyair, berdiri atas meja Niken dan mulai
membaca puisinya, berulang-ulang.
Bel tanda istirahat selesai sudah berbunyi beberapa saat yang lalu, tapi
anak-anak masih berkerumun di sekitar situ sambil tertawa-tawa melihat
gaya Budi yang kocak.
Niken yang hendak masuk kelas cuma bisa berdiri kaku di depan pintu.
Malu sekali rasanya. Dengan mata geram ditatapnya Budi lekat-lekat.
Yang lain berhenti tertawa, dan bubar jalan, menyadari Niken sudah
berada di situ. Budi pelan-pelan turun dari atas meja, lalu mengembalikan
kertas itu pada Pandu, sambil tersenyum, “Terima kasih, kamu benarbenar ahli
bikin ketawa.”
Niken tidak berkata apa-apa waktu duduk. Pandu tak sanggup
menatap wajahnya. Dingin sekali tatapan matanya. Tapi dia merasa harus
meminta maaf. Biar bagaimana kejadian tadi gara-gara dia.
“Sorry, Niken. Aku nggak berniat…”
“Sudah puas kamu sekarang?” serobot Niken.
Percakapan mereka terhenti karena Bu Santi, guru matematika, sudah
masuk ke kelas. Pandu sempat melihat setitik air mata di sudut mata
Niken. Dia menyesal sekali.
Niken, di lain pihak, cuma satu kata yang ada di otaknya sekarang.
“Perang!”
*
Siang itu juga, setelah bel pulang sekolah berbunyi, Pandu berusaha
menjelaskan apa yang terjadi.
“Niken, aku serius tidak memberikan kertas itu pada Budi. Sumpah!
Memang aku yang mengambil kertas itu dari tasmu, tapi itu cuma untuk
memuaskan rasa ingin tahuku saja. Aku memang salah, aku seharusnya
mencegah Budi membaca puisi itu. Maafin aku, ya?” kata Pandu tulus.
“Kalau tujuanmu ingin mempermalukan aku, kenapa pakai menyewa
Budi sebagai aktor? Kenapa nggak kamu lakukan sendiri?” jawab Niken
sinis, sambil memberesi buku-bukunya dari laci.
“Sudah kubilang, aku sama sekali nggak berniat mempermalukan kamu.
Aku cuma ingin baca, terus aku kembalikan lagi. Budi datang pada saat
yang salah.”
“Jadi kamu menimpakan kesalahan padanya? Nol rasa tanggung
jawabmu, ya? Bapakmu yang polisi pasti bangga.”
Pandu menelan ludahnya. “Maafkan aku, Niken. Aku memang salah.
Aku tapi sama sekali nggak bermaksud untuk bikin kamu malu. Sumpah!
Lagipula, kenapa kamu mesti marah-marah begini, sih? Puisi kamu itu
bagus sekali lho… Kenapa kamu mesti malu?”
“Aku nggak butuh penilaianmu. Terserah aku dong mau marah atau
bangga. Sekarang ini aku malu dan marah. Kamu mau apa?”
“Ya sudah, ya sudah… Maaf dong…”
Niken merengut. “Permisi, aku musti pulang sekarang.” katanya
kemudian, karena Pandu masih duduk di sebelahnya, menghalangi jalan
keluarnya. Pandu berdiri dan mempersilahkannya untuk lewat. Niken
bergegas keluar menenteng tasnya.
Pandu mengejarnya. “Sudah dimaafin belum nich aku?” teriaknya.
Niken berlari menjauh, ke arah pintu gerbang luar. Malas meladeninya.
Cowok sialan. Serasa ingin menangis kalo mengingat kejadian yang tadi.
Benar-benar memalukan. Puisi tadi adalah ungkapan isi hatinya.
Bagaimana dia tidak marah? Enak saja Pandu bilang kenapa mesti malu.
Niken tidak pernah mengungkapkan emosinya pada orang-orang, jadi ini
adalah pengalaman pertamanya. Ya gara-gara si mata jangkrik itu. “Suatu
saat pasti aku balas!” janji Niken pada diri sendiri.
Untuk melakukan aksi balas dendamnya, Niken harus menggali lebih
dalam tentang cowok yang dibencinya itu. Agak susah, karena dia anak
baru pindahan dari luar kota, tidak banyak orang yang mengenalnya
dengan dekat.
Berdasarkan keterangan yang diperolehnya dari anak-anak basket
dan cewek-cewek yang sering mengerumuninya, Pandu yang orang Jawa
asli itu tinggal di rumah kontrakan di daerah Manyaran. Jabatan ayahnya di
Polri tidak begitu tinggi, jadi ibunya harus ikut menopang keluarga dengan
membuka usaha jahit pakaian. Kakaknya empat orang, laki-laki semua.
Tapi hanya Pandu yang masih tinggal bersama orang-tuanya. Hidupnya
penuh kesederhanaan, tapi kelihatannya bahagia. Kemana-mana Pandu
naik sepeda bututnya. Selain main basket, dia hobi main piano rupanya.
Cuma itu keterangan yang berhasil didapatnya dalam waktu singkat.
Kurang kuat untuk melancarkan aksi balas dendam. Niken harus
mengetahui lebih banyak tentang pribadinya. After all, this is a personal
war!
Maka dari itu, Niken mengurungkan niatnya untuk pindah tempat
duduk. Dengan duduk di sebelah Pandu, semakin mudah menyusun
siasat untuk balas dendam, bukan?
Tapi ke mana anak itu hari ini? Ini sudah jam tujuh kurang tiga menit.
Bel pertama sudah bunyi dua menit yang lalu. 3 menit lagi pelajaran
mulai. Pandu biasanya tidak pernah terlambat.
Tuh, bel sudah berbunyi lagi. Kemana dia? Mata Niken jelalatan ke luar
kelas mencari sesosok Pandu.
Bu Tanti sudah masuk kelas, langsung memperingatkan murid-murid
untuk menyusun buku catatannya, karena ringkasan mereka akan
diperiksa. Beberapa anak panik mencari buku catatannya di dalam tas
dan di laci. Beberapa lemas karena belum selesai meringkas. Yang
nekad langsung antri lapor tidak membawa buku. Niken tenang-tenang
saja. Ringkasannya sudah selesai dua hari yang lalu. Malah dia sudah
mulai meringkas bab berikutnya.
Niken melongok ke arah luar jendela. Itu dia si mata jangkrik! Dia
dihukum lari keliling lapangan tengah karena terlambat. “Hihi.. sukurin.”
“Maaf Bu, saya terlambat.” kata Pandu saat masuk kelas.
“Kamu anak baru, ya?”
“Betul, Bu. Saya Pandu.”
“Baiklah, Pandu. Silahkan duduk. Kamu sudah selesai meringkas? Bawa
kemari buku catatanmu.”
“Sudah, Bu.” Pandu lalu mencari-cari buku catatan biologi dari tas
kumalnya, lalu diletakkan di atas tumpukan buku di meja guru.
“Kenapa kamu terlambat?” tanya Niken, iseng.
“Bukan urusanmu.” jawab Pandu singkat.
“Iiih… galaknya. Ya sudah. Aku kan tanya baik-baik.”
“Aku musti mengantar ibu beli kain di pasar. Biasanya juga begitu sih, tapi
tadi sial, ban sepedaku kena paku di tengah jalan dari rumah kemari.
Makanya lama. Kamu tumben tanya-tanya?” Pandu heran. Selama ini
Niken jarang buka mulut. Paling-paling cuma bilang permisi kalau mau
lewat.
“Nggak boleh tanya-tanya?”
“Boleh, tapi nanti yah. Soalnya Bu Tanti meperhatikan kamu terus tuh.”
bisik Pandu menunjuk ke arah depan.
Oh, baik juga dia, memperingatkan dia sebelum Bu Tanti menyemprotnya.
Juga mengantar ibunya ke pasar sampai rela terlambat. Tapi itu tak cukup
untuk mengurangi rasa bencinya.
“Jadi, kamu setiap hari mengantar ibumu ke pasar?” tanya Niken
penuh selidik.
Ini jam istirahat, jadi dia bebas bertanya sekarang.
“Nggak. Cuma kalo ibu dapet orderan aja.”
“Pagi, Niken,” Jimmy mengagetkannya dari jendela. “Nih aku beliin
sate telor dari kantin buat kamu,”
“Aku nggak lapar.” jawab Niken singkat.
“Aku punya aqua juga.” tawar Jimmy sambil mengacungkan segelas
aqua.
“Enggak haus.”
Merasa kehadirannya tidak diinginkan, Jimmy pun berlalu.
“Jimmy itu anak 2A kan?” tanya Pandu hati-hati, takut kalau macan
betina ini mengaum lagi seperti hari itu.
“He eh.”
“Kamu koq ketus amat sama dia?”
“Aku nggak akan ketus sama dia kalau dia tidak berniat mau pacarin aku.
Dia terang-terangan bilang suka sama aku seminggu yang lalu.”
“Kenapa? Nggak suka sama dia?”
“Aku nggak ada niat untuk pacaran. Aku nggak punya waktu buat semua
itu.”
“Trus, kenapa kamu mesti ketus sama dia?” Pandu masih tidak
mengerti.
“Karena dia tidak mau menyerah. Kalau aku bersikap baik-baik sama dia,
nanti aku dikiranya memberi angin. Blo’on bener sih kamu?”
“Oooh… Kamu nggak boleh atau nggak ingin pacaran?”
“Nggak boleh?? Maksudmu?”
“Nggak boleh sama ortu,… biasanya anak cewek kan nggak boleh
pacaran sama ortunya.”
“Itu juga sih. Tapi aku memang sama sekali nggak ada keinginan untuk
pacaran. Apalagi sama Jimmy.”
“Apa sih jeleknya Jimmy?” pancing Pandu.
”Okay, Pandu. Kamu benar-benar usil deh. Rasa ingin tahumu itu
benar-benar segede gajah.”
Pandu ketawa. “Baiklah. Aku nggak akan tanya-tanya lagi tentang Jimmy.”
lanjutnya. Pandu membesarkan hatinya, “Pelan-pelan aku pasti bisa
mengerti. Sabar…”
Niken gantian bertanya, “Ganti topik. Yang agak asyik sedikit.
Mmmm… Siapa tokoh idolamu?”
“Wah, pertanyaanmu seperti pertanyaan buat finalis kontestan Miss World
deh.” Pandu ketawa lagi. “Okay, biasanya kalo aku bilang nama tokoh
idolaku, orang-orang pasti bilang ‘Siapa?’, jadi aku bilang Ibu Teresa
saja.”
“Jadi siapa sebenarnya tokoh idolamu itu? Pamela Lee Anderson?” goda
Niken.
“Kamu bisa becanda juga ternyata.” Pandu terheran-heran.
Niken tersenyum. “Oh, ternyata dia manis sekali kalau tersenyum.” batin
Pandu.
“Siapa dong?” desak Niken lagi.
“Sun Tzu”.
“Siapa?” kata Niken, bercanda. Tentu saja dia tau siapa Sun Tzu, karena
Sun Tzu juga salah satu idolanya.
“Tuh kan…” kata Pandu lagi.
“Sun Tzu Wu, jendral Cina yang mengarang Ping Fa, seni siasat perang
Cina itu? Atau kamu kenal Sun Tzu yang laen?” tanya Niken iseng.
“Jadi kamu tahu Sun Tzu?” Pandu terheran-heran.
“Kamu heran? Aku yang seharusnya lebih heran. Kamu koq bisa kenal
Sun Tzu? Satu, tampang kamu enggak ada Chinesenya sama sekali.
Nggak sipit seperti aku. Rasanya lebih wajar kalo aku lebih tahu tentang
Sun Tzu daripada kamu.” jawab Niken geli.
“Tidak ada orang yang tahu tentang pribadi Sun Tzu, karena dia
sangat misterius. Seperti yang dilukiskan dalam kutipan yang terkenal dari
bukunya, ‘Bergeraklah samar sehingga kau tak kasat mata. Selimuti
dirimu dengan misteri sehingga kau tak tersentuh…’” Pandu belum
sempat menyelesaikan kutipannya, Niken sudah menyeletuk.
“Maka digenggamanmulah nasib lawan-lawanmu.”
“Kamu?!…” Pandu terperanjat. “Jadi kamu bener-bener tau Sun Tzu?”
“Eeeh… dibilangin… Aku juga lagi heran tentang hal yang sama. Aku sih
punya bukunya, ‘The art of war’, dalam bahasa Inggris. Sudah aku lalap
habis. Dari mana kamu tahu tentang dia?”
“Aku nggak sengaja pinjam bukunya di perpustakaan waktu masih SMP.
Buku itu benar-benar bagus. Aku baca terjemahannya dalam bahasa
Indonesia, sih. Judulnya Falsafah Perang Sun Tzu. Karena bagus sekali
sampai aku fotocopy lho…” Pandu mengaku.
“Kalau kamu memang suka, besok aku bisa bawakan bukuku. Kamu
boleh pinjam kalu mau. Asal kamu nggak keberatan baca buku berbahasa
Inggris.”
“Wah, terima kasih sekali, Niken. Baru kali ini ada orang yang bisa
menanggapi omonganku tentang Sun Tzu.”
“Sama, aku sendiri sengaja nggak pernah bilang-bilang kalo suka Sun
Tzu, takut dikira licik, padahal memang iya!” jawab Niken tergelak-gelak.
Pandu melihat kilau indah di mata Niken saat Niken tertawa. Gadis ini
benar-benar mempesonanya. Nilai plus lagi untuk pengetahuannya
tentang Sun Tzu. Kalau dihitung-hitung, berapa nilai Niken sekarang ya?
Dalam skala satu sampai sepuluh, mungkin sudah sebelas nilainya.
“Kamu sendiri, selain Sun Tzu, siapa tokoh idolamu?” gantian Pandu
yang tanya.
“Ya Sun Tzu itu doang.” jawab Niken, seperti menutup-nutupi sesuatu.
Pandu mendesak, “Ayo dong, aku sudah jujur sama kamu tadi. Gantian
dong…”
Niken menggeleng. Untung saja bel segera berbunyi. Pak Heri, guru
bahasa Indonesia, sudah berdiri di depan pintu.
Pandu buru-buru menyobek kertas dari buku tulisnya, “Dilanjutin nanti
pulang sekolah yah!”
Niken merebut kertas itu dari tangan Pandu, lalu menulis, “Nggak ada
yang perlu dilanjutin.”
Pandu mengambil kertas itu kembali ke tangannya, “Please, tinggal
sebentar siang ini di kelas.”
Belum sempat Niken mengambil kertas itu kembali, tiba-tiba kertas itu
sudah diserobot seseorang dari belakang. dari belakang. Keduanya
terperanjat. Pak Heri! Guru yang terkenal killer itu membaca yang baru
saja ditulis Niken dan Pandu.
“Kalian berdua, nanti pulang sekolah tinggal di kelas selama satu jam.”
kata Pak Heri, sambil membuang kertas itu ke tempat sampah.
Jam dua siang. Bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Pak Heri
sudah menunggu di depan pintu kelas 2C.
“Pak, maafkan kami.” kata Pandu memelas.
“Kamu kan yang ingin bercakap-cakap? Sekarang saya berikan
kesempatan sepuas-puasnya, satu jam. Silahkan. Pintu saya tutup. Satu
jam dari sekarang, cari saya di ruang guru. Awas kalo berani keluar
sebelum satu jam.” jawab Pak Heri sambil menutup pintu.
“Sial!” gerutu Niken dalam hati, sambil menghentakkan kakinya ke lantai.
“Kamu! Selalu saja cari gara-gara.” tuduh Niken sambil menudingkan
jarinya ke arah Pandu.
“Hey, jangan bilang begitu. Kita cuma sedang bernasib jelek. Sekarang
kita enjoy saja.”
“Enjoy bagaimana? Aku baru kali ini dihukum guru. Ini gara-gara kamu.”
Niken menggerutu.
“Jadi kamu murid alim ya? Ketua kelas, panutan semua orang?
Kelihatannya kamu begitu sempurna.” jawab Pandu dengan nada sinis.
Niken diam saja. Dia masih jengkel. Dia ada les bahasa Inggris jam
setengah 3 siang ini.
“Kamu lagi mikir apa?” tanya Pandu.
“Aku ada les jam setengah 3. Sekarang aku harus kelaparan sampai jam
setengah 4 karena aku mesti les dari jam setengah 3 sampe jam
setengah 4. Sudah terlambat les, masih nggak sempat makan dulu. Aku
benci kamu.”
“Ya sudah… ya sudah… Aku yang salah. Oke? Sekarang
pertanyaanku dijawab dong… Siapa tokoh idolamu?”
“Sudah kubilang, Sun Tzu. Seandainya saja kamu tadi percaya, ini semua
nggak akan terjadi.” Niken menggerutu lagi.
“Sayang sekali aku bukan orang yang mudah ditipu. Kamu bisa menipu
semua orang, tapi kamu nggak bisa nipu aku.”
“Omong kosong apa lagi nich?”
“Baiklah kalo kamu memang nggak mau jawab. Aku tanya yang laen.
Kamu bilang kamu nggak mau pacaran, tapi kamu menyebut-nyebut
tentang asmara di puisi kamu. Apa maksudmu? Berarti kamu pernah
jatuh cinta dong?”
“Sok tau kamu. Sekadar informasi, orang tidak perlu mengalami untuk
menyelami perasaan. Belajar dari pengalaman orang lain itu terkadang
lebih baik daripada harus mengalami sendiri.”
“Jadi bukan kamu yang jatuh di perangkap cinta?” tanya Pandu, masih
penasaran.
“Bukan.”
“Lalu siapa dong?”
“Aku nggak suka kamu tanya-tanya melulu. Aku nggak akan jawab.” kata
Niken ketus.
“Jadi ini yang kamu dapat setelah baca falsafah perang Sun Tzu? Sok
misterius.” sindir Pandu.
Niken diam saja. Dia seperti ingin berpegang teguh pada prinsipnya,
untuk tidak membuka dirinya, terutama pada orang asing.
Berlama-lama mereka mengacuhkan satu sama lain. Pandu sendiri
sudah tidak bersemangat lagi untuk mengorek keterangan lebih lanjut.
Gadis yang satu ini benar-benar susah dimengerti.
Lama sekali menunggu satu jam usai. Ini bahkan baru lewat sepuluh
menit.
Pandu mengambil walkman dari tasnya, lalu mulai memutar kasetnya
sambil manggut-manggut.
“Lagu apa sih?” tanya Niken, memecah kesunyian.
Pandu tidak mendengarnya, karena volume walkmannya yang keras.
Niken lalu menyenggol kakinya. Pandu melepas salah satu ear piece-nya.
“Ada apa lagi?” tanya Pandu.
“Lagu apa?”
“Ini? Kamu gak bakal suka lah. Ini Metallica, Enter Sandman” kata Pandu.
“Aku boleh ikut dengerin?” tanya Niken.
Heran, tapi dengan sopan Pandu memberikan ear piece yang
dipegangnya ke Niken.
Niken ikut menyanyi…
Something’s wrong, shut the light
Heavy thoughts tonight and they aren’t of snow white
Dreams of war, dreams of liars, dreams of dragon’s fire
And of things that will bite
Sleep with one eye open, gripping your pillow tight…
“Heh? Kamu tahu juga lagu ini?” Pandu tak percaya. Setiap tingkah
gadis ini benar-benar membuat dia surprise.
Niken pura-pura tak mendengar yang barusan Pandu bilang. Dia asyik
dengan lagunya.
“Hey? Kamu suka Metallica juga?” tanya Pandu lagi, kali ini lebih keras,
memastikan Niken mendengarnya.
“Kamu akhir-akhir ini sering tanya-tanya ke orang-orang tentang aku kan?
Masa’ belum dengar kalo aku itu satu-satunya cewek anggota rock band
kampus? Kita sering manggung di acara-acara radio.”
Pandu meringis. “Ketahuan deh. Darimana Niken bisa tahu kalau Pandu
belakangan ini menyelediki latar belakangnya? Pasti Wulan yang melapor
saat Pandu tanya-tanya tentang Niken beberapa waktu yang lalu.” kutuknya
dalam hati.
“Nggak tuh. Nggak ada yang bilang. Kamu anggota rock band?”
Pandu semakin tak percaya. Apa sih yang tidak disukai gadis ini?
Niken mengangguk. Dari tadi dia memang sudah mengangguk-angguk
mengikuti irama lagu rock itu.
“Aku boleh ikut main band?” tanya Pandu. “Aku bisa main key board,
kalau kalian masih butuh pemain. Tapi aku nggak punya key board. Aku
cuma punya piano usang di rumah.”
“Eh, kebetulan kita memang sedang seleksi anggota baru, karena
sebagian anggota band sudah kelas tiga, mereka ingin lebih banyak
konsentrasi ke pelajaran. Termasuk Ronny, pemain keyboard kita. Kalo
kamu emang suka musik rock, kamu boleh ikut seleksi” kata Niken
menawarkan dengan gaya profesionalnya.
“Kapan seleksinya?”
“Rencananya sih minggu depan, hari Selasa abis pulang sekolah.”
“Aku pasti datang. Kamu pegang instrumen apa sih?” tanya Pandu. Kali ini
dia sudah siap mental dengan apapun jawaban Niken. Dia tak bakal kaget
kalau jawabannya ‘bass gitar’ sekalipun.
“Drummer. Merangkap backing vocal dan kadang-kadang solo.
Tergantung lagunya.”
Tuh, kan, benar… harus siap mental. Niken bisa nge-drum juga!
“Kamu bisa main musik? Maksudku selain drum.” tanya Pandu lagi.
Mengorek keterangan lebih lanjut tak ada salahnya, kan?
“Aku bisa main piano, gitar, harmonica, saxophone, trompet.” Nah lho…
bisa mati terkejut kalau nggak siap mental.
“Wah, Nik, jadi kamu bisa main band seorangan dong? Kamu bisa main
bass gitar, melodi gitar, ngedrum, main keyboard, dan vocalist. Bikin soloband
saja, lah.” goda Pandu.
“Hey, baru kali ini kamu panggil aku Nik.” kata Niken. “Cuma Wulan
yang panggil aku Nik.”
“Mama papa kamu manggil apa?”
Niken diam sejenak, lalu menjawab, “Niken, dong.”
“Bohong. Kamu kenapa sih mesti bohong sama aku?” tanya Pandu. Dia
ahli mencium kebohongan, rupanya.
“Aku dipanggil Fei Fei di rumah.” Niken mengaku.
Pandu tersenyum. Puas dia bisa mengetahui sedikit rahasia Niken.
“Koq Fei Fei?” tanya Pandu.
“Namaku Niken Tjakrawibawa. Alias Tjan Siang Fei. Awas kamu kalo
sampe ada yang tahu tentang ini. Aku harus bunuh kamu.”
“Tenang aja. Swear. Aku boleh panggil kamu Fei dong?” tanya Pandu
nakal.
“Nggak. Yang lain bakal curiga dong.”
“Baiklah, kalau sendirian, aku boleh panggil Fei?” tawar Pandu.
Setelah berpikir sebentar, Niken mengangguk.
“Kamu sendiri? Kamu waktu itu bilang serumah namanya Pandu semua.
Nggak kreatif yah ayahmu?”
“Bukan begitu. Emang sudah turun-temurun begitu. Ayahku juga Pandu.
Kakekku pun juga Pandu. Pandu laen-laen. Aku Pandu Prasetya. Mereka
kalo di rumah panggil aku Pras. Tapi di luaran namaku Pandu. Kakakkakakku juga
begitu semua.”
“Oh… Enak dong punya kakak cowok semua.” kata Niken,
mengambang.
“Kata ‘enak’ rasanya terlalu rendah untuk menggambarkan betapa
enaknya. Kita kompak, lima bersaudara. Ngirit, juga. Bajuku ya hampir
semua baju lungsuran kakak-kakakku. Aku nggak keberatan. Masih
bagus-bagus, koq. Tapi mereka di luar kota semua sekarang. Tiga di
Yogya, sudah menikah. Satu masih kuliah di Jakarta. Kamu sendiri, punya
saudara? Sori, aku belum sempat mendapat keterangan tentang kakak
atau adikmu. Researchku belum selesai.” kata Pandu tersenyum.
“Aku punya seorang kakak perempuan. Dulu… Sekarang sudah
meninggal.” kata Niken menerawang.
“Oh… sori… aku tidak bermaksud…”
“Nggak papa… Wajar kalo kamu tanya koq.”
Mereka terdiam sesaat. Tak tahu harus berkata apa.
“Kenapa kakakmu meninggal? Kecelakaan?” tanya Pandu. Dia benarbenar cocok jadi
detektif. Pertanyaannya mendetail.
Niken diam saja. Mendadak kepalanya jadi pusing, ia lalu memijitmijit
pelipisnya.
“Pusing?” tanya Pandu.
“Iya.” jawab Niken singkat.
“Kamu pasti lapar. Sorry yah gara-gara aku, kamu ikut dihukum Pak Heri.”
kata Pandu penuh penyesalan.
“Nggak papa. Kamu juga belum makan. Sama kan? Jadi kamu nggak
layak mengasihani aku. Soal kakakku…”
“Sudahlah,” cegah Pandu. “Nanti kamu tambah pusing.”
“Dia meninggal bunuh diri.” lanjut Niken.
Pandu terdiam. Sekarang ada titik terang. Berarti puisi Niken itu…
Seolah tahu yang dipikirkan Pandu, Niken melanjutkan, “Puisiku, itu
tentang cici ku. Dia meninggal tiga tahun yang lalu, saat aku masih kelas 2
SMP. Dia masih kelas 2 SMA waktu itu, seumur aku sekarang. Dia
pacaran sama anak pejabat. Sombong sekali tu anak. Aku benci sama
dia. Aku masih ingat, hari-hari terakhir sebelum kakak meninggal, dia
menangis terus di kamar. Tiap aku dekati selalu marah-marah. Baru
setelah dia meninggal aku baru tahu, ternyata dia hamil, dan cowok
bangsat itu tidak mau mengakui perbuatannya. Sejak itu aku berjanji tidak
akan jatuh cinta, nggak akan pacaran. Papa malah punya ide bagus. Dia
bilang, kalau sudah saatnya aku menikah nanti, dia akan mencarikan
jodoh untukku. Aku setuju saja. Itu lebih baik daripada pacaran.”
Kali ini Pandu betul-betul terperanjat. Benar-benar kaget. Ear piece
yang di telinga kirinya dilepas. Walkmannya dimatiin. Ini kasus berat,
pikirnya.
“Kamu tau, nggak semua cowok itu jahat.” Tidak ada yang bisa dia bilang
kecuali itu.
“Aku nggak percaya itu. Kak Tasya bukan cewek yang nakal. Jadi dia
pasti benar-benar jatuh cinta, sampai seperti itu. Aku nggak mau jadi
seperti dia. Karena itu aku menghindar setiap ada cowok yang suka sama
aku. Jimmy misalnya. Untunglah aku sendiri juga bukan orang yang
mudah jatuh cinta. Jadi aku nggak tersiksa, sama sekali.”
“Oke lah kalo kamu memang bahagia seperti ini. Aku sendiri nggak
bisa memberikan pendapat tentang cinta. Semua kakak-kakakku menikah
atas dasar cinta. Aku sih ingin seperti mereka. Tapi aku sendiri belum
pernah jatuh cinta. Belum pernah pacaran. Jadi aku nggak bisa
memberikan nasehat.” kata Pandu jujur.
“Kamu belum pernah pacaran?!” tanya Niken tidak percaya.
“Kenapa? Apa susah dipercaya?”
“Tentu saja. Kamu tau berapa biji cewek yang nempel kamu kayak
perangko? Lebih dari sepuluh. Itu yang jelas-jelas nekad. Yang nggak
nekad tapi menyimpan hasrat pun banyak. Aku yakin di Yogya kamu pasti
juga punya banyak penggemar.”
“Ya memang tuh. Nggak tau kenapa bisa begitu. Kata Ibu itu kutukan.”
kata Pandu sambil ketawa lepas. “Kakak-kakakku juga mengalami
kutukan yang sama. Tapi Ibu selalu wanti-wanti, cinta itu nggak boleh
dibuat mainan. Kamu harus bener-bener yakin, baru boleh pacaran.
Berhubung aku belum pernah merasa cocok sama satupun dari mereka,
yah, aku nggak pernah pacaran.”
Niken manggut-manggut.
“Ada kutukan lain di keluarga Pandu. Masing-masing kakakku punya
cita-cita menikah dengan wanita kaya, untuk mengangkat derajat keluarga.
Nggak serius tentu, itu muncul kalo pas lagi waktu bercandaan aja. Ibu
yang mewejangi untuk menomersatukan cinta, diatas segalanya.
Kekayaan itu tidak menjamin kebahagiaan. Walhasil, kakak-kakakku yang
sudah menikah ya menikah dengan gadis biasa-biasa saja. Walaupun
mereka dikelilingi gadis-gadis cantik waktu bujangan, gadis yang dinikahi
pada akhirnya nggak terlalu cantik. Tapi kakak-kakak iparku itu luar biasa
baek dan sabar.”
“Jadi seperti apa sih cewek yang kamu idam-idamkan?”
“Yang seperti ibuku. Sederhana, sabar, bijaksana… ngg… nggak tau ah,
Fei! Nanti kalo aku udah nemu pasti aku kasih tahu.” kata Pandu malu.
“Aku sih nggak punya tipe cowok idaman. Rasanya itu bakal ditentuin
Papa.” kata Niken.
“Aku masih nggak percaya cewek mandiri dan terpelajar seperti kamu
masih percaya perjodohan.” sahut Pandu terlihat kecewa. “Tapi aku hargai
pendirianmu. Aku ingin berteman denganmu, kalau boleh.”
“Kita cocok omong-omongan. Aku merasa klop terutama setelah
ngomongin Sun Tzu tadi.” kata Niken tersenyum.
“Tapi… terus terang saja aku masih dendam sama kamu karena
kejadian puisiku waktu itu.” lanjutnya.
“Aku udah minta maaf. Kamu mau apa lagi?”
Niken berpikir keras. Lalu tersenyum licik. Niken membisikkan
sesuatu ke telinga Pandu.
Pandu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Niken mengangguk-angguk. Pandu menggeleng-gelengkan kepalanya
lagi tanda tidak setuju.
“Ayolah,” kata Niken. “Kamu harus buktikan kalo kamu memang
serius dan tulus ingin berteman denganku. Nggak mudah mendapat
kepercayaan dariku.”
“Baiklah, kalau itu memang harga yang harus aku tebus. Tapi kita
berteman mulai saat ini? Tak ada lagi dendam?” tanya Pandu akhirnya.
“Janji.” sahut Niken mantap.
Pagi itu, Niken spesial angkut-angkut podium dan microphone ke
lapangan tengah. Anak-anak sound system diam saja. Niken kalau sudah
ada maunya memang nggak ada yang bisa mencegah. Semua anak
berkumpul di lapangan tengah, sambil bertanya-tanya satu sama lain, apa
hari ini ada upacara mendadak. Ada apa pula ini? Termasuk guru-guru
tidak ada yang tahu. Mereka semua berkumpul di lapangan, seperti
prajurit menunggu komando dari jendral.
Tiba-tiba Pandu muncul dari kerumunan, menuju ke arah podium.
“Test, test… 1, 2, 3.” katanya sambil mengetuk-ngetuk microphone di
hadapannya.
“Guru-guru dan rekan-rekan sekalian,” lanjutnya, “Yang belum kenal saya,
nama saya Pandu Prasetya, dari kelas 2C. Saya ingin membacakan
sesuatu yang penting. Buat yang merasa, yah dihayati saja.”
Yayangku,…
Paras wajahmu, gerak-gerikmu, selalu terbayang di mataku.
Kamu membuat aku gelisah tiap malam, tidak bisa tidur. Aku jadi nggak
doyan makan gara-gara mikirin kamu.
Yayangku yang manis, aku cinta kamu. Aku tidak akan pernah berhenti
mencintaimu.
Aku nggak tau mesti gimana kalo aku nggak lihat wajahmu barang sehari
saja.
Kau begitu lincah, senyummu begitu menggoda.
Suaramu, indah bagaikan tiupan angin malam.
Akan aku lakukan apa saja untuk mendapatkan cintamu.
Jangan buat aku patah hati. Terimalah segala rasa cintaku.
Yang sangat mencintaimu, selamanya.
Pandu.
Semua tertawa. Terutama anak-anak cowok. Sinting benar ini anak
menyatakan cinta di depan umum, tak tahu malu. Walaupun ketawa-ketiwi,
harus diakui, gadis-gadis yang berkumpul di situ, termasuk guru-guru
wanita, sangat mengharapkan surat itu ditujukan untuk salah satu
diantara mereka. Niken ketawa di ujung koridor. Cuma dia yang tahu
bahwa surat itu sesungguhnya ditujukan untuk anjing mungil Pandu yang
memang bernama Yayang. Walaupun malu setengah mati, Pandu
merasa lega. Hari ini dia sudah berdamai dengan gadis yang bakal jadi
teman sejatinya. Dia yakin itu.
Berminggu-minggu Pandu mendapat ledekan dari teman-temannya
gara-gara proklamasi cintanya itu. Cewek-cewekpun banyak yang
nggodain, bertanya-tanya, apakah surat itu ditujukan untuk mereka. Niken
puas sekali dengan aksi balas dendamnya. Beberapa gadis jadi mundur
teratur, merasa Pandu sudah memilih salah seorang dari mereka. Namun
beberapa justru tambah getol mendekati Pandu, termasuk Ratna, cewek
cantik dari kelas 1D. Banyak cowok yang mengejarnya, tapi kelihatannya
Ratna lebih memilih untuk mendapatkan Pandu. Banyak yang
meramalkan, pasangan Pandu-Ratna kalau benar-benar jadi bakal bikin
sensasi. Cowoknya cakep, ceweknya cantik kayak bidadari. ‘Princess’,
demikian julukan yang diberikan oleh teman-temannya.
Sementara itu, nama besar Pandu jadi semakin melejit – walaupun
melejitnya diawali dengan tragedi proklamasi cinta, tapi semakin menjadijadi
setelah Pandu lolos seleksi menjadi anggota band di mana Niken
juga bergabung. Penggemarnya jadi bertambah banyak. Termasuk
cewek-cewek dari SMA-SMA lain, karena band mereka sering manggung
di acara-acara yang diselenggarakan oleh stasiun radio. Seperti hari ini,
mereka manggung di pelataran Universitas Diponegoro, sebagai bagian
dari acara unjuk band yang diadakan oleh Boss FM. Mereka melakukan
tour band ini karena hobi dan untuk cari pengalaman saja. Mumpung
masih muda ini.
Tinggal satu jam lagi sebelum mereka manggung. Aneh, Niken
belum datang. Anak-anak pada gelisah. Mereka tidak bisa tampil tanpa
drummer. Apalagi hari ini Niken bakal jadi vocalist utama di salah satu
lagu mereka. Hendro, yang pegang melodi gitar, sekaligus penanggung
jawab band, berusaha mengontak Niken ke nomer rumahnya, tapi dijawab
tidak ada di rumah. Kemana pula anak satu ini?
Mendengar Hendro ribut-ribut mencari Niken, Pandu diam-diam
menghilang. Lho? Dia berusaha mencari telepon umum. Dia tahu nomer
telepon yang ada di kamar Niken. Niken yang kasih. Tapi dia sudah
telepon yang ada di kamar Niken. Niken yang kasih. Tapi dia sudah
disumpah untuk tidak memberitahukan nomer itu ke siapapun. Cuma
Wulan dan Pandu yang tahu.
“Fei?”
“Pandu, aku sudah tunggu-tunggu telfon kamu dari tadi. Aku nggak bisa
keluar. Mama curiga kalau aku mau pergi main band. Aku sudah dilarang
dari dulu-dulu, tapi tetep aja nekad. Mama tahu dari Jimmy, sialan bener tu
anak pake acara lapor-lapor ke mama segala. Kunci mobilku disita, ada di
kamar mama nih. Kamu bisa jemput aku?” Niken sepertinya lega sekali
mendengar Pandu meneleponnya.
“Jemput kamu? Jemput pake apa?” Pandu bingung.
“Kamu kan punya sepeda. Tolong dong, aku nggak enak sama yang laen.
Aku kepengen banget manggung hari ini.” desak Niken.
“Gimana caranya kamu keluar?”
“Ngg… aku bisa keluar lewat jendela. Tepat seperempat jam lagi, aku
tunggu kamu di ujung jalan Merdeka, tau kan? Yang ada warung
baksonya? Aku bakal ada di sekitar situ. Makanya kamu cepetan jalan
sekarang.”
“Oke deh. Kamu hati-hati yah…”
Jantung Niken berdebar keras. Belum pernah dia mau melarikan diri
dari rumah seperti ini. Pelan-pelan dibukanya jendela kamarnya yang
menuju ke arah luar. Dengan berhati-hati, kakinya satu per satu keluar dari
jendela. “Huh,” gerutunya. “Mau main band saja susah amat!”
Dia tidak bisa keluar lewat pintu gerbang, karena satpam selalu jaga di
pintu depan, dia bakal ketahuan, dong. Niken harus melompat pagar
samping.
“Tinggi juga, oi…” katanya dalam hati. Setelah berdoa singkat komatkamit, Niken
mulai memanjat pagar yang tingginya dua kali lipat tingi
badannya itu.
“Sukses!” serunya dalam hati waktu melompat di atas kedua kakinya di
tanah lagi. Lari, Niken! Lari!
Belum sampai di ujung jalan, Niken sudah bisa melihat Pandu duduk
di atas sepedanya. Lega sekali dia melihat Pandu hari ini.
Pandu mengayuh sepedanya ke arah Niken. Niken langsung
melompat ke atas boncengannya waktu Pandu mendekat.
“Kita nggak punya banyak waktu. Ayo.” ajak Niken.
“Kamu nggak pernah bilang kalo kamu nggak diijinin nge-band sama
“Kamu nggak pernah bilang kalo kamu nggak diijinin nge-band sama
ortu kamu?” tanya Pandu heran.
“Wah, dari awal aku memang nggak bilang kalo aku ikut nge-band. Mereka
bisa bunuh diri kalo tau aku sudah setahun nge-band.” jawab Niken,
masih terengah-engah.
“Lantas, kenapa kamu nekad?”
“Entahlah. Mungkin karena kutukan. Boleh dibilang aku sebenarnya tipe
pemberontak. Aku benar-benar bisa enjoy dan lepas saat main band.
Nggak salah, kan? Nggak ngerti deh, kenapa mereka larang-larang aku
begitu. Aku tahu mana yang benar, mana yang salah. Menurutku, main
band bukan hal yang jelek. Makanya aku tetap lakukan walaupun tahu
mereka bakal marah besar.”
“Kamu kelihatannya diproteksi ketat sama mama-papa kamu ya?”
“Ya. Tapi sebenarnya papa-mama nggak ada di rumah tadi. Tapi rumah
dijaga ketat. Persis seperti penjara. Mama pergi sama temannya, nggak
tau ke mana, setengah jam yang lalu dia berangkat. Papa sih memang
selalu pergi ke luar kota, ngurus bisnis.”
“Kamu tau kan kalo kamu boleh telfon aku kapan aja kalo kamu
kesepian?” tanya Pandu memastikan.
“Tahu, tahu… Cepetan ah, jangan sama ngobrol melulu. Nggak sampaisampai nanti.”
“Kalo gitu, pegangan yang erat. Aku mau ngebut.” kata Pandu seraya
mengayuh sepedanya lebih kencang.
Niken pegangan di besi boncengan sepeda Pandu. Tapi tetap berasa
mau jatuh. Saat benar-benar mau jatuh, Niken meraih pinggang Pandu,
dan memegangnya erat-erat.
Pandu yang duduk di sadel cuma senyum-senyum saja.
“Belum pernah bonceng sepeda yah?” tanya Pandu geli.
“Belum. Aku bisa naik sepeda, tapi belum pernah bonceng. Apalagi
bonceng orang usil seperti kamu.”
“Aku sudah bilang tadi, pegangan yang erat. Kamu malah nggak
pegangan koq. Salah sendiri.”
“Aku nggak tahu kalau maksud kamu pegangan itu pegangan pinggang
kamu.” bela Niken.
“Mau pegang apa lagi selain pinggangku?” tanya Pandu tambah geli.
Niken diam saja. Dia sudah cukup malu dengan memegang
pinggang Pandu. Tapi dengan begitu dia merasa nyaman sekarang, tidak
pinggang Pandu. Tapi dengan begitu dia merasa nyaman sekarang, tidak
berasa mau jatuh lagi.
“Kamu udah sering boncengin cewek yah?” tanya Niken penuh selidik.
“Sering sekali.” kata Pandu ketawa.
“Siapa aja?” tanya Niken.
“Ibuku.”
Niken bermaksud menjitak kepala Pandu, kalau saja ia tak berasa
mau jatuh lagi karena lepas satu tangan dari pinggang Pandu. Buru-buru
didekapnya lagi pinggang Pandu erat-erat. “Sialan kamu Pandu!”
teriaknya.
*
Acara band tadi berlangsung dengan sukses. Mbak Merlina, salah satu
penyiar radio Boss FM yang sudah lama Niken kenal yang bilang. Hari ini
mereka luber pengunjung, band yang bersedia tampil juga banyak. Tiga
jam mendengarkan musik rock benar-benar memuaskan hati. Sekarang
ini masalah yang ada buat Niken tinggal bagaimana caranya pulang. Pasti
orang rumah sudah pada menyadari bahwa Niken raib dari rumah.
Mereka pasti juga sudah lapor ke Mama. Bukan tidak mungkin mama
sekarang ada di kamarnya, menunggunya pulang dengan penuh amarah.
“Nik, apa kamu bakal nggak nge-band lagi setelah ini?” tanya Pandu.
“Nggak dong. Aku cuma harus ekstra hati-hati mulai dari sekarang.
Masalahnya sekarang aku harus pulang.”
“Aku nggak masalah mengantar kamu pulang, Niken” kata Pandu
menjelaskan. “Tapi kamu mesti siap mental dimarahin. Walaupun
seharusnya kamu sudah siap mental dari waktu minggat tadi.”
“Iya. Kayaknya nggak ada jalan lain.” kata Niken masih berusaha berpikir
keras.
“Aku punya akal!” kata Niken tiba-tiba. “Antarkan aku pulang.” katanya
seraya memegangi boncengan sepeda Pandu, siap-siap untuk naik.
“Baiklah,” kata Pandu. “Apa rencanamu?” katanya sambil mulai mengayuh
sepedanya.
“Mereka nggak mungkin mencari di seluruh pelosok rumah. Aku akan ke
rumah tetangga sebelah, aku kenal baik sama mereka. Mereka baik
sekali. Dari tetangga sebelah, aku bisa panjat ke atap rumahku. Dari atap,
aku bisa turun lewat tangga belakang. Kalau ditanya dari mana, aku
jawab, dari atap. Merenung, cari inspirasi buat bikin puisi. Mereka pasti
percaya, deh.”
percaya, deh.”
“Kamu memang gila, Fei!”
“Niken, ini buku catatan sejarahmu yang aku pinjam…” kata Jimmy
dari luar jendela, sambil menyodorkan buku catatan Niken. Setelah Niken
menerimanya, Jimmy cepat-cepat pergi.
“Aneh. Baru kali ini dia nggak berusaha berlama-lama di dekatmu, Niken.
Kamu nggak merasa aneh?” tanya Wulan. Pandu mengiyakan.
“Pasti ada apa-apanya,” kata Pandu. “Coba dilihat bukumu.”
Niken membuka bukunya. Tidak ada apa-apa. Aman-aman saja. Eh…
tunggu… ada amplop biru yang diselipkan di sampul mikanya.
“Nah… betul kan sangkaanku?” kata Pandu berbangga hati.
Masih bingung, Niken membuka amplop kecil itu. Ada secarik kertas di
dalamnya. Dibuka dan dibacanya pelan-pelan.
Niken, kamu cantik sekali hari ini.
“Apa katanya?” tanya Wulan tidak sabar.
“Cuma sebaris” kata Niken sambil menunjukkan isi surat itu kepada
Wulan. Pandu ikut mengintip. Ditatapnya wajah Niken dengan serius dan
seksama.
“Apa-apaan kamu, Ndu?” tanya Niken jengah.
“Memastikan si Jimmy bener apa salah. Aku lihat hari ini kamu biasabiasa saja.
Sama seperti kemarin. Wajah manis, rambut dikuncir satu,
rapi di belakang, dengan pita kuning. Baju kamu juga biasa aja. Wah,
sepertinya dia salah tuh…” kata Pandu bercanda.
“Dasar mata jangkrik!” kata Niken menggerutu.
“Mata jangkrik?” tanya Pandu bingung.
Wulan tertawa terbahak-bahak. Pandu tambah bingung.
“Siapa mata jangkrik? Aku?” tanya Pandu.
“Nggak merasa tho?” tanya Niken acuh.
“Seperti apa sih mata jangkrik itu?” tanya Pandu.
“Seperti yang kamu punya!” kata Niken sambil menjitak kepala Pandu.
“Kamu masih marah sama Jimmy, Nik?” tanya Pandu kemudian,
sambil mengusap-usap kepalanya yang sebetulnya tidak begitu sakit itu.
“Nggak koq. Mama bilang, aku nggak boleh marah sama dia, karena ada
kemungkinan, kemungkinan besar malah, papa berniat menjodohkan aku
dengan Jimmy. Jimmy itu anak salah satu partner bisnis papa.”
Pandu terkejut. Wulan juga.
“Kamu suka sama Jimmy, Nik?” tanya Wulan.
“Kamu suka sama Jimmy, Nik?” tanya Wulan.
Niken mengangkat bahu. “Nggak tau. Kata mama, aku musti
mendekatkan diri padanya. Nggak harus pacaran, cuma mengenalnya
lebih dekat. Biar bagaimana dia bakal jadi calon suamiku.”
Pandu cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Pandu,” Percakapan mereka terhenti karena sapaan dari luar
jendela. Semua menoleh. Ratna rupanya.
“Aku boleh minta tolong sama kamu, Ndu?” tanya Ratna dengan nada
super-manjanya.
“Kalo aku memang bisa bantu, aku pasti bantu.” jawab Pandu ramah.
“Tolong ajari aku kalkulus dong, aku sama sekali nggak ngerti. Besok
Kamis ada ulangan matematika kalkulus.”
“Boleh,” kata Pandu yang memang jago matematika. “Di mana?”
“Aku bisa datang ke rumahmu, supaya kamu nggak usah susah-susah ke
rumahku. Sore ini bagaimana?”
“Baiklah. Jam tiga?”
“Oke. Sampai ketemu nanti sore.” kata Ratna centil, sambil berlalu.
“Ndu, ini sudah ketiga kalinya aku dengar Ratna minta tolong tentang
kalkulus. Memangnya dia benar-benar bodoh?” tanya Niken.
“Dia memang selalu begitu kalau mau ulangan. Jadi lupa semua, harus
diulang kembali. Setiap ada bahan baru juga begitu.” kata Pandu
menjelaskan.
“Cantik-cantik tapi bodoh…” kata Wulan geli.
“Kalo aku bilang, dia nggak bodoh koq. Aku pernah ambil dia di panitia
acara seminarku. Dia cukup berpotensi. Otaknya jalan. Feelingku sih ini
cuma cara dia untuk mengambil hatimu aja Ndu.” kata Niken.
“Apapun alasannya, aku cuma berbaik hati menolong dia. Aku nggak ada
maksud-maksud lain.” kata Pandu tegas.
“Aku tau kamu nggak ada maksud-maksud lain. Siapa yang nuduh? Aku
bilang, dia yang punya maksud terselubung.” kata Niken.
Pandu hanya diam saja. Kata-kata Niken masuk akal. Tapi dia tidak
mungkin menolak menolong teman. “Kata Bapak, kalau kita punya
kelebihan, kita harus menggunakan kelebihan itu untuk menolong
sesama.” demikian kata Pandu kemudian.
Hari masih pagi. Pandu bersiul-siul sambil mengayuh sepedanya
dengan riang melintasi pintu gerbang timur sekolah. Melihat Wulan berdiri
di pintu gerbang, dia mengerem sepedanya.
di pintu gerbang, dia mengerem sepedanya.
Wulan setengah berlari ke arah Pandu.
“Ada apa Wulan?”
“Niken. Dia meneleponku tadi malam. Katanya mulai hari ini dia bakal
diantar-jemput Jimmy. Setiap hari. Termasuk ke kegiatan-kegiatan
sekolah. Termasuk latihan band katanya.”
“Bukannya papa-mama Niken nggak setuju dia nge-band?” tanya Pandu
heran.
“Iya. Tapi sekarang mereka mengijinkan dengan syarat Jimmy harus ikut
kemana pun Niken pergi.”
“Oooh…” desah Pandu. “Niken yang malang. Seandainya saja aku bisa
menolongnya.”
“Salah. Aku juga tadinya berpendapat begitu. Niken ternyata sama sekali
nggak ingin aku membantunya. Dia menuruti keinginan ortu-nya itu
dengan senang hati. Aku berkali-kali tanya, apa dia suka sama Jimmy.
Jawabnya selalu nggak.”
Pandu menimpali, “Aku nggak ngerti gimana cewek sepandai Niken
bisa jadi bodoh sekali dalam masalah seperti ini. Seakan-akan dia sama
sekali tidak ingin mengenal dan merasakan apa itu cinta. Aku sendiri
memang belum pernah, tapi aku ingin sekali mengenal dan merasakan
apa itu cinta.”
“Ndu, aku memberitahumu, cuma sekedar memperingatkan, jangan
sekali-sekali kamu menentang atau mempermasalahkan hal ini di depan
Niken. Aku sudah mencoba semalaman kemarin meyakinkan dia, buntutbuntutnya dia
malah marah-marah. Ya sudah, aku akhirnya menyerah.”
“Baiklah. Kita harus dukung Niken. Walaupun aku masih tetap
merasa keyakinan Niken ini perlu diluruskan. Kalau dia memang bahagia
seperti itu, yah kita mau nggak mau sebagai temannya harus dukung dia,
kan?”
“Itu dia mobil Jimmy, Ndu.” kata Wulan sambil menunjuk ke arah luar
gerbang.
Benar saja, Niken ikut turun dari mobil itu setelah diparkir tidak jauh dari
gerbang timur itu.
Melihat kedua temannya ngumpul di dekat situ, Niken berlari kecil ke arah
mereka.
“Hallo friends…” sapa Niken.
“Punya bodyguard baru kamu yah?” Pandu meledek.
“Mama yang suruh. Mama bilang, Jimmy bisa dipercaya. Perjanjiannya,
aku tetep nggak mau pacaran. Cuma aku harus mau membiasakan diri
dengan Jimmy.”
“Jadi kamu sudah pasti akan kawin sama Jimmy?” tanya Pandu.
Niken mengangguk pelan.
Pandu berkata lagi, “Aku masih nggak mengerti…”
Wulan langsung menyeletuk, mengingatkan pembicaraan mereka
barusan, “Pandu…”
“Nggak papa, Ndu, kamu mau ngomong apa?” tanya Niken.
“Aku nggak mengerti. Kamu udah pasti kawin sama Jimmy, tapi kamu
nggak mau pacaran sama dia. Apa maksudmu?”
“Aku nggak cinta sama dia. Kenapa mesti pacaran sama dia? Karena
pada akhirnya aku bakal kawin sama Jimmy, aku harus mulai
membiasakan diri sama dia. Kawin kan gak harus saling mencintai.”
Pandu baru saja mau bilang, “Harus, dong!”, tapi Wulan sudah duluan
menonjok perut Pandu dengan sikunya.
“Sudah bikin pe-er Pak Heri, Nik?” tanya Wulan mengalihkan bahan
pembicaraan.
“Pe-er yang mana?” tanya Niken.
“Bikin essay tentang biografi seorang pahlawan?” Pandu mengingatkan.
“Aduh! Iya! Aku lupa. Mati aku. Koq bisa pikun begini sih? Gimana nich?”
kata Niken panik.
“Tenang, tenang, Nik…” kata Pandu. “Pelajaran bahasa masih jam ke
lima. Kamu masih ada waktu untuk bikin essay itu.”
“Dapat biografi pahlawan-nya dari mana dong?” kata Niken hampir putus
asa.
“Begini saja deh. Aku kebetulan punya ide lain untuk bikin essay. Kamu
boleh menyalin essayku, aku buat baru lagi dengan tokoh yang lain.” kata
Pandu menyarankan.
“Kamu baek sekali, Ndu! Kebetulan gaya nulis kamu sama Niken hampir
sama. Pasti tidak akan ketahuan. Ide bagus tuh, Nik” kata Wulan.
“Aku nggak enak, Ndu. Kamu musti nulis ulang lagi,” kata Niken.
“Ide sudah ada di kepala. Sementara kamu nyalin essayku, essay baruku
pasti sudah selesai.” kata Pandu mantap.
“Tunggu apa lagi?” tanya Wulan. “Mumpung belum bel masuk nih, cepetan
gih, bikin!”
“Pandu Prasetya, kemari!” panggil Pak Heri dengan nada galak.
“Saya, Pak.” jawab Pandu sambil melangkahkan kaki menuju ke depan
kelas.
“Aku suruh kamu mengarang tentang pahlawan, kenapa kamu
mengarang tentang ibumu?” bentak Pak Heri.
Niken menggigit bibirnya. Dia merasa bersalah sekali sudah
mengambil essay Pangeran Diponegoro-nya Pandu. Sudah terlambat
sekarang. Tapi mengapa Pandu terlihat tenang-tenang saja?
“Bapak nggak bilang kan, pahlawan-nya harus sudah mati apa masih
hidup. Ibu itu pahlawan saya. Kalau bapak baca lebih jauh, bapak bisa
merasakan jiwa kepahlawanan ibu saya. Ibu yang melahirkan saya dan
ke-empat kakak laki-laki saya. Ibu yang dengan penuh jerih-payah
membesarkan kami, dengan uang gaji bapak yang pas-pasan. Waktu
saya masih kelas satu SD, saya sering mengomel karena baju seragam
saya jelek sekali, karena lungsuran dari kakak saya yang nomer tiga.
Setiap pulang sekolah, selalu saja ada tambahan lubang di baju seragam
saya. Ibu selalu dengan hati-hati menambal lubang itu. Suatu hari, ibu
mengejutkan saya dengan membelikan baju seragam baru. Saya sangat
senang sekali. Saya tidak tahu kalau ibu menabung selama enam bulan
hanya untuk membeli baju seragam saya itu. Sekarang bapak bilang,
kalau bukan jiwa pahlawan, kata apa yang cocok untuk diberikan pada ibu
saya itu?” pertanyaan retorik Pandu itu menyudahi kotbah panjanglebarnya.
Pak Heri mengangguk-angguk puas. Ia bahkan bertepuk tangan,
diikuti oleh teman-teman sekelasnya. Niken yang paling keras tepuk
tangannya. Pandu sahabatnya ini memang tidak hanya rupawan, tapi
manis juga hatinya.
Acara Gelar Seni merupakan event tahunan yang sudah
dilangsungkan sejak jaman dahulu kala di SMA Antonius. Tahun lalu,
waktu kelas satu, Niken dipilih menjadi salah satu anggota panitia bidang
acara panggung. Tahun ini dia terpilih menjadi koordinator bidang yang
sama. Pandu jadi salah satu anggota tim perlengkapan, atau dalam
bahasa lain, tim angkut-angkut barang.
Niken mendapat banyak bantuan, terutama dalam hal promosi acara,
dari Mbak Merlina dan kawan-kawan penyiar radio Boss. Anak-anak radio
Boss 'rame-rame'. Dulu, waktu Niken masih boleh pergi keluar sendiri
naik mobil, dia sering mampir malam-malam kumpul di radio Boss.
Kadang-kadang malah jadi penyiar dadakan, kalau kebetulan ada yang
sedang sakit. Akhir-akhir ini Niken merasa kegiatannya jadi dibatasi
lantaran kemana-mana harus membawa Jimmy. Seperti tuyul saja tu anak
mengikutinya ke mana-mana. Walaupun Jimmy sering bilang, dia kapan
aja, ke mana pun, jam berapa pun, mau menemani Niken, tapi sungkan
juga mengajak-ajak Jimmy keluar malam ke radio Boss, misalnya.
Makanya, kalo mama-papa lagi keluar kota, Niken curi-curi pergi jalanjalan
sendiri ke luar. Refreshing. Seperti hari Sabtu malam ini. Dia janji
akan menjemput Pandu ke radio Boss malam ini. Wulan sebetulnya mau
ikut, tapi ibunya sedang sakit flu, jadi dia mesti menjaga dua adik kecilnya
di rumah.
Jam delapan malam. Dengan alasan mau fotocopy, Niken sukses
mengelabui satpam yang berjaga di pintu gerbang. Lolos! Niken cepatcepat tancap
gas sebelum satpam berkumis yang galak itu berubah
pikiran. Niken belum pernah ke rumah Pandu, tapi Pandu sudah berkalikali memberi
tahunya, pakai acara menggambar peta pula. Lagipula
Pandu bilang, dia akan menunggunya di depan rumah, jadi tidak susah
kan semestinya untuk menemukan anak jangkrik di gelap malam begini?
Begitu Pandu masuk mobil, langsung kena damprat.
“Sial lo Pandu ya! Masa’ kamu kasih petunjuk lewat jalan satu arah, aku
disuruh lewat arah yang berlawanan, gimana sih?”
Pandu bingung. Ngomong apaan sih Niken ini?
Niken masih ribut-ribut, “Ini jalan depan rumahmu, kan satu arah. Kamu
kasih petunjuk aku masuk dari arah gang yang salah! Tu di mulut gang
ada tanda dilarang masuk!”
“Oooooooooooooh…” Pandu menepuk dahinya. “Sori, Fei. Aku kan
biasanya naik sepeda, jadi itu route terdekat, begitu. Aku lupa kalo gang ini
arahnya dari sebelah sono,” kata Pandu geli melihat Niken komat-kamit
terus.
“Ah blo’on amat kamu, kasih petunjuk ke rumah sendiri saja salah.” Niken
masih mengomel.
“Yang penting kan sampai, ya kan? Nanti pulangnya aku lewatin jalan
mobil deh.” kata Pandu yang tak sanggup menahan gelinya melihat Niken
sewot begitu.
“Kamu punya kaset yang laen?” tanya Pandu, mendengar lagu pop
slow yang diputar Niken.
“Protes melulu sih?!”
“Ngantuk dong, dengerin lagu slow begini. Ini lagu apaan sih?” tanya
Pandu.
“John Denver. Annie’s song. Aku suka. Jangan diganti.”
“Gak punya kaset yang lain?”
“Nggak.” jawab Niken singkat.
“Ah masa?!”
“Bener. Orang ini CD-player. Kamu masukin kaset yah nggak cocok
lubangnya” kata Niken geli.
“CD yang laen dong!” Pandu tak kalah protesnya.
“Ribut amat sih? Dinikmati gitu lho…”
“Aku kirain kamu suka lagu-lagu rock. Ternyata lagu cengeng begini kamu
juga suka, ya?”
“Aku suka apa saja yang berbau musik.” kata Niken cuek sambil nyanyi.
You fill up my senses
Like a night in a forest
Like a mountain in springtime
Like a walk in the rain
Like a storm in the desert
Like a sleepy blue ocean
You fill up my senses
Come fill me again…
Diam-diam Pandu mengamati cerianya wajah Niken malam ini. Enak
juga ternyata lagunya, walaupun slow begini, apalagi kalo Niken ikut
nyanyi. Suara Niken empuk sekali, bak bantal dari busa. Makanya kontras
sekali kalo dia menyanyi lagu-lagu rock. Kontras bukan berarti jelek.
Kombinasi yang bagus. Suara lembut dan musik kasar. Niken memang
punya bakat besar di bidang musik. Dia sering melihat Niken saat latihan
bareng Hendro dan Bram, mengarahkan melodi gitar mereka. Dia pribadi
juga sering mendapat masukan positif dari Niken buat variasi
keyboardnya. Dengan hobinya menulis puisi, Niken pasti bisa jadi
komposer lagu tenar. Apalagi dengan suara dan wajahnya yang saingan
manisnya.
“Sori… kamu ngantuk ya dengerin lagu slow begini?” tanya Niken
yang jadi merasa berdosa melihat Pandu terbengong-bengong.
“Nggak. Aku ternyata bisa enjoy koq. Masih punya banyak lagu slow?”
tantang Pandu.
“Kalo mau dengerin lagu rock, lebih baik sekarang saja. Di Boss Radio,
mereka seringnya putar lagu-lagu cengeng lewat jam 9 malam.”
“Nggak masalah. Aku pengen tau gimana kehidupan penyiar yang
sebenarnya. Makanya aku langsung mau waktu kamu ajakin. Eh,
ngomong-ngomong mana bodyguard kamu?” goda Pandu.
“Jimmy? Aku bosan ngeliat dia terus. Sudah lama aku puasa nggak ke
radio Boss karena dia.” gerutu Niken.
“Nggak boleh bosan dong. Nanti kalo udah kawin musti liat dia tiap hari,
24 jam lagi!” kata Pandu geli.
“Kawin? Siapa yang mau kawin?”
“Ya kamu, dong… Aku calon saja belum ada. Kamu kan yang katanya
sudah pasti kawin sama si Jimmy?”
“Iya, tapi kan nggak dalam waktu dekat ini. Paling-paling lima belas tahun
lagi.” kata Niken dengan gaya super cueknya.
“Lima belas tahun?! Wah… semoga aja si Jimmy tahan bantingan, mau
nunggu kamu selama itu.” kata Pandu kaget. Lima belas tahun, berarti
mereka bakal berumur 32 tahun dong!
“Biarin. Nggak kawin juga nggak papa. Eehh… yang jual martabak
sukaanku masih buka. Mampir sebentar beli martabak yah…” kata Niken
sambil meminggirkan Honda civicnya.
Sebentar kemudian Niken sudah kembali dengan membawa dua
plastik besar penuh martabak.
“Banyak bener kamu belinya, Fei?” tanya Pandu heran.
“Buat anak-anak radio Boss. Kamu gak mau?”
“Mau juga sih…” Mata Pandu berbinar-binar melihat martabak. Hidungnya
peka sekali kalo mencium bau makanan enak.
Niken lalu membuka satu bungkus martabak. Di baginya menjadi dua,
separuh diberikan ke Pandu, yang separuh langsung masuk ke mulutnya.
“Kamu jago makan juga yah?” tanya Pandu dengan mulut penuh
martabak.
Niken cuma mengangguk-angguk. Mulutnya juga penuh makanan, tidak
bisa menjawab.
Tangannya yang satu di kemudi, yang satu memegang martabak.
“Persneleng tiga,” perintah Niken.
“Hah? Apa?”
“Blo’on, pindahin ke persneleng tiga, sekarang.” kata Niken.
Pandu cepat-cepat memindah persneleng dari gigi dua ke gigi tiga.
“Wah… bahaya nich sopir lagi asyik makan martabak!” kata Pandu setelah
shocknya reda.
“Gigi empat.” sahut Niken tanpa menanggapi komentar usil Pandu.
Pandu menuruti saja perintah Niken. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin
dia tanyakan pada Niken, tapi lebih baik tidak usah saja, pikirnya.
“Mbak Merlina baik yach, tadi kita dikenalin sama Jabrique, grup rock
lokal yang lumayan tenar. Gelar Seni kali ini bakal meriah banget karena
Jabrique janji mau muncul.” kata Niken sepulangnya dari Radio Boss. Dia
kelihatan girang sekali.
Pandu sibuk menggeledah semua CD koleksi Niken. Gila koleksinya dari
Mozart sampe metal ada semua.
“Setel yang ini dong…” kata Pandu sambil mengacungkan cover CD Bryan
Adams.
“Sorry, Ndu, itu covernya doang. CD-nya ada di kamarku. Kamu mau nggak
mau mesti dengerin lagu2 yang ada di jukeboxku. Ada 5 cd koq, kamu
pencet-pencet aja tombol ini sendiri, sampe nemu CD yang kamu suka.”
kata Niken sambil memencet satu tombol di car stereonya.
“Yak ini aja deh!” kata Pandu waktu mendengar intro lagu Nirvana, Come
as you are.”
“Fei…”
“Apa?”
“Aku baru aja denger tadi sore, katanya papa kamu punya simpanan di
Malang yah?”
“Ah, kalo itu aku sudah tahu dari dulu koq. Kamu baru tahu sekarang yah?”
kata Niken seakan tak peduli.
“Iya. Nggak sedih?”
Niken mendesah. “Kamu sungguh-sungguh ingin tahu?”
“Ya sungguhan dong, aku kan temen kamu. Kalo kamu sedih, aku pengen
hibur kamu…”
“Aku nggak papa koq. Awalnya sih terang sedih. Aku sudah tahu
sekitar empat tahun yang lalu, lebih malah. Sudah lama kan? Sebelum
cici ku meninggal. Cici yang bilang ke aku. Dia marah besar waktu itu.
Semua hadiah miliknya yang dari papa dibuang ke lantai. Yang barang
pecah belah ya jelas pecah. Ribut sekali rumah waktu itu. Trus dia
minggat sebulan gak balik-balik. Ya gara-gara minggat itu dia kenal sama
si Edi, anak pejabat itu. Waktu itu aku nggak sesedih cici. Cuma kecewa
saja, koq papa tega berbuat begitu. Kasian mama. Dia kuatir sekali waktu
cici minggat.”
Niken menghela napas panjang. “Tadinya aku benci sama si wanita
lain itu. Koq jahat, sudah tahu papaku sudah menikah, sudah punya anak
dua, koq ya nekad aja. Usut punya usut, ternyata wanita itu juga samasama nggak
tahu kalo papaku itu sudah punya keluarga. Jadi sama-sama
dibohongin, gitu. Yang jahat memang papaku.”
“Kamu hebat, Fei, bisa kuat begitu. Kalau saja hal seperti itu terjadi di
keluargaku, aku bisa gila.” kata Pandu jujur.
“Ya, karena kamu dibesarkan di keluarga yang harmonis. Tuhan nggak
akan kasih salib yang nggak bisa dijalani, Ndu. Sejak kecil, aku jarang
ketemu papa. Mama sih tadinya selalu di rumah. Sejak empat tahun yang
lalu itu, mama jadi jarang ada di rumah juga. Mungkin itu juga yang bikin
cici jadi gak betah di rumah, trus main sama Edi jelek itu.”
Pandu menatap mata Niken lekat-lekat. “Kamu sendiri?”
“Sejak cici meninggal, aku jadi tau kalo cici udah milih jalan yang salah.
Aku nggak mau seperti dia. Sedih itu bisa dilampiaskan ke hal-hal yang
laen. Belajar, misalnya, dengerin musik, berenang, jogging, nge-band...”
kata Niken sambil senyum.
“Aku nggak bisa bayangin betapa bosannya kamu di rumah. Abis pindah
Semarang, aku juga kesepian banget. Setidaknya aku masih ada ibu…”
kata Pandu menerawang.
Tiba-tiba ada nada bersemangat di kalimat Pandu, “Kamu ada acara
apa Jum’at tanggal 14 bulan depan?”
“Gak ada acara apa-apa. Emang kenapa?” tanya Niken.
“Hari Jum’at tanggal 14 bulan depan, ibuku ulang tahun. Kakak-kakakku
mau datang semua dari luar kota. Daripada bengong di rumah, kenapa
kamu nggak ikut ngerayain ulang tahun ibuku? Ibu belum punya banyak
teman di Semarang, jadi bakal cuma acara keluarga aja. Mau ya?” tanya
Pandu menawarkan.
“Makasih, Ndu. Kamu baek. Aku tau niatmu baik, pengen menghibur aku,
biar aku nggak kesepian. Tapi nggak usah, ah.” tolak Niken baik-baik.
”Kenapa nggak?”
“Ndak enak dong, aku nanti ngabis-abisin makanan lho?” goda Niken.
“Nggak papa. Ayolah…” ajak Pandu setengah memaksa.
“Baiklah.” kata Niken akhirnya. “Jam berapa aku harus sampe sana?”
“Jam 6 bagaimana? Kamu bisa ikut bantu-bantu nyapu, ngepel, masakmasak dulu?”
kata Pandu dengan senyumnya yang nakal.
“Serius nich…”
“Fei, kamu musti mikir, gimana kamu bisa keluar rumah tanpa Jimmy?”
tanya Pandu mengingatkan.
“Oh… iya! Aduh, anak jelek itu lagi.” keluh Niken.
“Gini deh… Aku ada akal.” kata Pandu sambil tersenyum licik. “Kali ini
kita harus jahat sedikit. Jum’at pagi itu, aku bisa bawa mobil kakakku ke
sekolah. Aku kerjain mobil Jimmy siang itu sebelum pulang sekolah, jadi
aku bakal anterin kamu dan Jimmy pulang. Aku akan pura-pura nggak
begitu bisa nyetir, apalagi ke daerah atas, jadi aku akan suruh Jimmy
nyetir mobilku sampe ke rumahmu.”
“Oh… pinter juga kamu, Ndu! Jadi satpam bakal mengira itu mobil Jimmy,
dan sorenya kamu bisa jemput aku pake mobil yang sama. Aku bakal siap
di depan pintu gerbang, jadi kamu nggak usah turun mobil. Aduh, Pandu
baek, deh!” kata Niken langsung mengerti rencana licik Pandu, sambil
mencubit pipi Pandu gemas.
“Namanya juga Pandu…” kata Pandu sambil menepuk dadanya.
Siang itu, rencana bulus mereka berjalan dengan mulus. Jimmy
sama sekali tidak menaruh curiga. Satpam apalagi. Sorenya, satpam yang
mengenali mobil yang tadi siang, membiarkan saja Niken pergi, mengira
Jimmy yang datang menjemputnya. Begitu Niken masuk mobil, Niken dan
Pandu nggak bisa menahan ketawa.
“Aduh, aku udah deg-degan terus nungguin kamu…” kata Niken.
“Aku malah santai saja. Lebih deg-degan waktu jemput kamu nge-band
itu.” kata Pandu sambil melirik Niken. Sekilas dia bisa melihat Niken pake
rok. Apa? Niken pake rok? Penasaran, kali ini dia nggak melirik lagi, tapi
menatap dengan jelas, sambil mengucek-ucek mata. Dia nggak salah
lihat. Niken sore ini pake rok katun biru muda sederhana, rambutnya
dikepang tempel di belakang. Rapi sekali. Wajahnya tampak polos sekali
dan cantik sekali walaupun tanpa make-up.
“Aku bawa kado buat ibumu” kata Niken mengagetkan lamunannya.
“Ah, kamu ngado segala. Mestinya nggak usah, Fei.”
“Nggak papa. Nggak repot koq. Cuma kain.”
“Hey, jangan gigit-gigit jari gitu dong… jelek…” kata Pandu sambil
berusaha menyingkirkan jemari Niken jauh dari mulutnya.
“Sorry… aku memang begini kalo nervous.” Niken mengaku.
“Nervous??”
“Iya… aku belum pernah ketemu ibumu, sekarang aku malah bakal
ketemu seluruh keluargamu. Gile…”
“Alaaa… mau ketemu ibuku aja nervous. Malu-maluin. Eh,aku kasih tahu
nih, untung kamu bukan pacarku. Pasti kamu bakal disorot habis-habisan
kalo kamu memang pacarku. Itu udah dialami oleh semua kakak-kakak
iparku. Jadi kamu santai saja. Ibu tahu kalau kamu cuma teman koq.”
“Iya. Kenapa sih mesti nervous begini? Kayak mau ketemu camer saja.
Padahal waktu aku pertama kali mau ketemu camer malah nggak nervous
kayak gini.” kata Niken ketawa ngikik.
“Emang kamu udah pernah ketemu camer?”
“Udah. Mama-papanya Jimmy maksud kamu kan? Sudah dong. Mereka
datang ke rumah. Aku sama sekali nggak nervous. Cuek saja. Pada
dasarnya karena aku nggak respek sama papanya Jimmy, maupun sama
mamanya. Itu keluarga jauh lebih hancur-hancuran daripada keluargaku.”
“Nah… kita udah nyampe. Turun yuk.” ajak Pandu sambil turun dari
mobil.
Rupanya Niken masih belum ilang nervousnya. Pandu lalu membuka
pintu dari luar.
“Hoi, manja sekali minta dibukain pintu segala, tuan putri? Minta dituntun
masuk juga nih?” Pandu meledeknya.
“Enak saja. Aku bisa jalan sendiri.”
Pandu meraih lengan Niken, mencegahnya untuk terus jalan.
“Tunggu. Sebelum kamu masuk ke rumahku, kamu mesti maklum,
rumahku ini nggak rumah gedongan kayak rumahmu…”
“Kamu lebih baik berhenti ngomong, sebelum kamu bikin aku
tersinggung.” kata Niken.
“Aku nggak bermaksud begitu. Maksudku…”
“Aku tau koq maksudmu. Aku yakin rumahmu ini jauh lebih indah daripada
rumah gedonganku. Kamu nggak usah takut lah. Aku udah sering ke
tempat yang jauh lebih buruk dari ini, rumah Wulan misalnya. Aku malah
sering nginep sana dulu. Jadi kamu nggak usah takut aku bakal merasa
nggak nyaman.”
Pandu takjub mendengar jawaban Niken yang begitu tegas.
Belum sampe di pintu depan, ibu Pandu sudah menjemput keluar.
“Silahkan masuk, wah, senang sekali kita kedatangan tamu.” sambutnya
ramah.
“Kenalin, bu. Ini Niken, teman Pandu. Nik, ini ibuku.” kata Pandu.
“Panggil saja ibu. Nama saya Sulastri.” kata ibunya Pandu menjabat
tangan Niken.
“Selamat ulang tahun, Bu.” kata Niken sambil menyerahkan kadonya.
“Waduh, repot-repot lho, nak Niken ini. Ayo Pandu, diajak masuk dong.”
Pandu lalu mengenalkan satu-per-satu anggota keluarganya yang lagi
berkumpul di situ semua.
Ayah Pandu, Pandu Pahlawan. Kakaknya yang nomer satu, Pandu
Darmawan, dan istrinya, Sandra. Yang nomer dua, Pandu Sanjaya, dan
istrinya Marini. Kakaknya yang nomer tiga, yang minjemin mobil, Pandu
Wardhana, dan istrinya Adriana. Yang nomer empat Pandu Aditya belum
menikah dan belum punya pacar.
Kakak-kakak Pandu semua ganteng-ganteng. Terutama yang nomer
satu. Katanya dia pernah menang lomba wajah di majalah Mode. Nggak
mengherankan. Memang ganteng sih. Alisnya tebal dan tajam, tulang
rahang dan pipinya yang menonjol memberi aksen gagah di wajahnya. Itu
semua pasti didapat dari ayah Pandu yang memang gagah, dan ibunya
yang lembut dan melankolis.
Susah juga menghafal nama mereka, terutama karena namanya
Pandu semua! Kakaknya yang nomer satu sudah punya anak, masih
umur dua tahun, nggak bosen-bosen berceloteh, ngajak omong Niken.
Lagi in the mood kali. Namanya Yunita. Sebentar saja Niken sudah akrab
dengan Yunita. Rupanya Yunita sangat tertarik dengan pita rambut Niken.
Niken lalu melepas pitanya, dan Yunita menerimanya dengan senang hati.
Niken malah lalu iseng menguncir rambut Yunita dengan pitanya.
Makanan malam itu sederhana, sayur lodeh, goreng-gorengan, dan
ca kangkung. Niken sudah tambah ca kangkung dua kali. Dia sangat
menikmati suasana rumah Pandu malam itu. Mungkin karena di rumah
dia jarang, atau boleh dibilang hampir nggak pernah ada acara makan
malam bareng. Apalagi karena keluarga Pandu begitu ramah menerima
Niken. Mereka seolah-olah tidak menganggap Niken sebagai tamu,
melainkan seperti kedatangan teman lama. Melihat keluarga Pandu begitu
harmonis, Niken sebetulnya merasa rendah diri. Tapi sebentar saja rasa
rendah diri itu hilang, karena asyik mengobrol dengan Pandu dan kakakkakaknya.
Kalau sedang bersenang-senang memang waktu tidak terasa jadi
berjalan begitu cepat. Tahu-tahu saja sudah jam setengah sepuluh
malam. Niken harus pulang sekarang. Kalau tidak kereta kencananya
akan berubah menjadi labu!
Setelah berpamitan, termasuk sama si kecil Yunita, Niken dan Pandu
undur diri.
“Makasih Ndu, kamu bener-bener bikin aku seneng malam ini. Aku
udah lupa kapan terakhir kali aku merasa seperti ini.” kata Niken. Hatinya
berbunga-bunga.
“Aku juga terima kasih kamu mau datang. Suasana rumahku jadi tambah
meriah ada kamu.”
Waktu mereka sampai di depan pintu gerbang rumah Niken, Niken
terpekik kaget.
“Kenapa, Fei?”
“Tuh… papa ada di teras depan.” kata Niken menunjuk ke arah teras
rumahnya.
“Mati deh aku. Gimana nih?” lanjut Niken, seakan tidak mau turun.
Seandainya saja waktu bisa berhenti pada saat ini, berhentilah!
Papanya berdiri, menuju ke arah pintu gerbang.
“Ayo turun, Fei. Aku temeni.” kata Pandu berusaha membesarkan hati
Niken.
Keduanya lalu turun dari mobil.
“Niken! Masuk!” bentak papa Niken galak.
“Selamat malam Pak Tjakrawibawa. Hari ini ibu saya ulang tahun. Niken
saya undang karena Niken satu-satunya teman baik saya di sekolah.” kata
Pandu tanpa rasa takut.
“Hmm… Niken, masuk!” ulang papa Niken dengan nada yang sama.
“Pak, tolong jangan marahi Niken. Ini semua ide saya.” kata Pandu.
“Niken, kamu sudah lupa janji kamu untuk nggak pacaran?!”
“Nggak Pa. Kami nggak pacaran koq. Pandu cuma temen baek. Bener
Pa!” kata Niken membela diri.
“Sudah, nggak usah banyak omong. Masuk!”
Niken lalu cepat-cepat masuk.
“Selamat malam, permisi Pak.” Pandu pamitan dengan sopan.
“Jangan pernah datang-datang lagi ke sini. Niken nggak pantas sama
laki-laki seperti kamu.”
Pandu diam saja, lalu pergi.
Sampai di rumah, keluarga Pandu sudah tidak sabar menunggu
Pandu pulang. Mereka sudah ingin berkomentar tentang cewek yang baru
saja bertandang di rumah mereka.
“Ndu,” kata kakaknya begitu Pandu melewati ruang tengah. “Manis
sekali Niken itu.”
“Manis, tapi papanya galak banget.” keluh Pandu.
“Kenapa emangnya?”
“Tadi aku ketemu papanya, aku diusir, coba. Katanya, aku nggak pantas
buat Niken. Aku rasanya marah sekali sekarang. Pertama, aku kasian
sama Niken tertekan sekali di rumah. Kedua, Niken berhak menentukan
pasangannya sendiri, walaupun tololnya Niken sendiri nggak tau itu.
Ketiga, aku bukan pacarnya Niken, meski aku yakin, beruntung sekali
orang yang bisa pacaran sama orang seperti Niken.” jawab Pandu geram.
Ibunya menimpali, seolah tak mendengar keluh kesah Pandu yang
barusan. “Niken lain sekali dengan Ratna, cewek yang sering kemari itu,
Ndu.”
“Ibuuu….!” Pandu merengek. “Sudah aku bilang berkali-kali, Niken itu
bukan pacarku, dan dia nggak ada niatan untuk pacaran sama aku, atau
sama siapapun.”
"Ibu hanya berkomentar koq,” kata ibunya membela diri. “Ratna itu
orangnya lemah lembut, nggak penuh gairah hidup seperti Niken. Hal
yang paling aku suka dari Niken, dia rendah hati walaupun anak orang
kaya. Malahan, hari ini dia nggak keliatan seperti anak orang kaya. Satu
hal yang aku nggak suka dari Ratna, dia suka sekali merayu kamu. Niken
sama sekali nggak.”
“Ya jelas aja, karena Niken nggak suka hal-hal yang berbau pacaran.”
jawab Pandu.
“Kalau begitu Ratna itu pacarmu?” tanya bapaknya.
“Bukan juga. Aduh… koq jadi pada tanya yang aneh-aneh sih?” Pandu
merasa jengah.
“Kenapa kamu koq nggak suka Ratna?” tanya bapaknya lagi.
“Yah… nggak tau ya… Ratna itu, terlalu dependen sama orang. Dia nggak
pernah bisa mandiri. Lagian aku memang nggak sreg sama dia. Udah ah,
tanya-tanya melulu, orang lagi kesel abis ketemu papanya Niken itu lho!”
“Kalo kamu nggak berani pacaran sama Niken, aku boleh nyoba?”
goda Aditya.
Semua pada ketawa. “Aku sudah bilang, Niken itu orang yang unik. Dia
nggak percaya sama yang namanya pacaran. Dia sudah dijodohin koq
sama papanya.” kata Pandu sambil melepas sandalnya.
“Hah? Dan Niken menurut saja?” tanya kakak-kakak iparnya hampir
berbarengan.
“Iya. Kakaknya meninggal, bunuh diri, gara-gara pacaran terlalu bebas.
Semenjak itu dia jadi antipati sama kata ‘cinta’.”
“Lha kamu sendiri suka nggak sama Niken?” tanya bapaknya ingin tahu.
“Nggak tau ya, aku selama ini nggak pernah ngeliat Niken sebagai orang
yang bisa aku pacari, jadinya ya rasa sayang nggak pernah tercetus.”
“Wah, sayang lho… padahal Niken itu maniiiiis sekali. Mungil.
Matanya sipit, mungil. Mulutnya mungil. Idungnya juga mungil. Aku suka
deh yang mungil-mungil begitu.” kata Aditya bercanda.
“Aku juga…” gumam Pandu tanpa sadar.
“Ha ha… ! Jadi kamu suka sama Niken dong…!” Aditya menggoda
adiknya.
“Ah! Dasar! Aku capek nih. Hatiku gerah sekali rasanya. Aku mau tidur
aja.” kata Pandu menuju ke kamarnya dengan langkah gontai. Tiba-tiba
terlintas dalam pikirannya, sedang apa ya Fei Fei sekarang?
Dia lalu balik lagi ke ruang tengah, mengambil sandalnya, terus keluar
lagi.
“Ndu, mau ke mana kamu?” tanya bapaknya.
“Mau ke wartel di ujung jalan.” jawabnya sambil terus berjalan.
"Ada apa ke wartel?" tanya bapaknya lagi.
"Telepon." jawab Pandu singkat.
“Koq nggak pake telfon rumah aja?” tanya ibunya.
“Nggak, ah. Nanti aku digodain terus.”
Yang lain lalu tambah cekikikan. Sudah jam setengah 11 malam, tapi
rumah Pandu masih ramai sekali seperti pasar malam. Telepon ada di
ruang tengah. Bisa tidak dengar apa-apa kalo telepon Niken dari rumah.
“Fei Fei?” Pandu menelepon telepon kamar Niken.
“Ndu…” suara Niken kedengaran seperti barusan menangis.
“Kamu habis dimarahi ya? Sorry ya Fei… gara-gara aku, kamu jadi
disemprot papa kamu.”
“Nggak Ndu. Aku senang koq malam ini. Aku malah yang mau minta maaf,
papaku kasar sekali sama kamu tadi.”
“Udahlah, Fei. Aku udah biasa koq. Kamu jangan nangis dong… Aku
belum pernah melihat kamu nangis seperti ini. Aku jadi merasa bersalah,
kamu menangis karena aku.”
“Aku nangis karena aku baru sadar, koq bahagia tu susah amat dapatnya.
Untuk senang-senang barang semalam aja, aku mesti berbohong, mesti
dimarahi habis-habisan sama papa. Kamu beruntung sekali, Ndu.”
“Kamu welcome kapan aja ke rumahku, Fei.”
Niken terdiam. “Aku dilarang keras ke rumahmu. Papa ngancam, kalo
sampe kejadian malam ini terulang lagi, aku bakal dimasukin ke sekolah
asrama. Mending mati aku daripada masuk asrama. Jadi malam ini
adalah yang terakhir kali kamu melihat aku di rumahmu. Aku nggak berani
lagi. Terima kasih buat malam yang indah tadi, Ndu. Aku nggak akan
pernah lupa.” kata Niken setengah terisak.
“Sudah… jangan nangis lagi, dong. Fei, aku percaya, di mana ada
kemauan, pasti ada jalan. Kamu harus yang sabar. Percaya deh, banyak
jalan untuk meraih kebahagiaan. Tinggal kita mau ambil kesempatan
yang ada atau nggak. Aku pasti bantu kamu, kapan saja.”
Mendengar itu, Niken seperti mendapat separuh kekuatannya kembali.
“Benar juga yang kamu bilang, Ndu. Setidaknya aku masih punya kamu.”
“Nah… gitu dong. Supaya kamu lega, sepertinya aku musti bilang
sesuatu. Tadi, begitu aku pulang, aku langsung diinterogasi. Kayak kamu
tu pacarku aja, Fei. Semua bilang kamu cantik. Malah Mas Adit bilang dia
naksir kamu. Tapi kamu tadi memang manis deh, keliatan laen dari
biasanya. Mungkin karena kamu pakai rok. Gimana? Sudah tambah oke
sekarang?” tanya Pandu yang kata-katanya selalu terdengar manis di
telinga Niken.
Niken tertawa kecil. “Ada-ada saja, ah. Tapi makasih Ndu. Aku udah nggak
sedih lagi koq.”
“Sungguh, nih?”
“Iya iya… Jangan kuatir. Bukan Niken namanya kalau nggak tahan
banting.”
“Ya udah, kalo gitu aku udahan dulu. Ngantuk nih… Aku mesti pulang trus
langsung bobok.”
“Pulang? Emangnya kamu ini di mana?” tanya Niken bingung.
“Di wartel non! Cari mati deh kalo aku telfon dari rumah. Rumah masih
ramai sekali, lagi. Aku bisa habis digodain mereka seperti tadi. Mending
jalan sedikit ke wartel.” gerutu Pandu.
“Ya sudah, pulang sana. Makasih sekali lagi Ndu, dan maaf atas sikap
papaku tadi.”
“Nggak aku masukin hati koq. Selamat tidur, Fei Fei”
Siang itu, saat jam pulang sekolah, Wulan terengah-engah
menghampiri Niken yang sedang sibuk di theatre, mengurus gladi bersih
buat acara panggung Gelar Seni besok.
“Nik! Niken!!” panggil Wulan sambil berlari menuju panggung.
“Ada apa, sih?”
Wulan sibuk mengatur nafasnya. Niken mengisyaratkan pada anak-anak
soundsystem untuk istirahat sejenak.
“Pandu, Nik! Dia sama Jimmy ada di halaman parkir belakang, berantem
kata anak-anak. Mereka pada ramai-ramai mau nonton di sana. Cepetan
dong!”
“Hah?!” Niken spontan menaruh mapnya di tangga panggung, langsung
lari menuju ke halaman parkir motor dan sepeda di belakang sekolah.
Belum sampai halaman parkir, dari jauh sudah terdengar suara ributribut.
Niken mempercepat larinya. Wulan yang sudah kelelahan cuma bisa
mengikutinya dari belakang.
Sesampai di situ, Niken tidak bisa melihat apa-apa, karena banyak
orang berkerumun di situ. Susah payah dia berusaha menembus
kerumunan ke arah tengah.
Benar saja, Pandu dan Jimmy ada di tengah-tengah kerumunan. Pipi
Pandu merah kena jotosan. Ada darah di sudut bibirnya. Baju mereka
kotor dan amburadul. Rambut keduanya acak-acakan.
”Stop, stop! Apa-apaan sih kalian ini?” teriak Niken, karena suasana
masih begitu bising.
“Dia yang mulai.” Telunjuk Pandu mengarah ke Jimmy.
“Aku nggak mau tau siapa yang mulai. Sudah, ayo ikut aku ke UKS.”
Keduanya tidak ada yang beranjak dari tempat mereka berdiri
masing-masing. Niken mengulangi lagi, “Mau ikut aku ke UKS apa
nggak?”
“Aku nggak akan pergi dari sini sebelum masalah ini diselesaikan.” kata
Jimmy ngotot.
“Masalah apa? Dan bisakah itu diselesaikan dengan cara kayak gini?”
tanya Niken.
“Kamu masalahnya!” tuding Jimmy. Niken tersontak kaget.
“Aku?” tanya Niken.
“Iya. Kamu, Niken. Dia menuduh aku yang enggak-enggak sama kamu
kemarin malam. Katanya aku ngerebut pacarnya. Dia bilang, Niken itu hak
miliknya dia. Nggak ada orang lain yang boleh sentuh dia. Aku bilang,
Niken itu bukan hak milik siapa-siapa. Dan lagi, aku sama Niken cuma
berteman. Eh… dia nggak percaya malah nantang.” jawab Pandu emosi.
“Aku cuma bilang, kamu harus menjauhi Niken, dia milikku. Kamu ngotot
nggak mau koq. Siapa yang nggak emosi?” balas Jimmy.
“Stop. Sudah cukup. Muak aku mendengarkan argumen kalian.
Jimmy, Pandu benar. Aku sama dia cuma teman, dan aku belum menjadi
hak milik kamu. Aku juga nggak mau Pandu jauhi aku.” kata Niken
membela Pandu, setelah mengetahui duduk permasalahannya.
“Ya sudah kalo memang maumu begitu. Tapi aku nggak berani tanggungjawab kalo
papamu sampai tahu kamu belain Pandu dalam masalah ini.”
kata Jimmy setengah mengancam.
“Tunggu!” kata Pandu. “Jangan bawa-bawa papa Niken di sini. Ini
masalah antara kita. Kamu nggak boleh campur aduk begitu, dong!”
Anak-anak masih ribut. Niken merasa jengkel sekali. Apalagi setelah
mendengar ancaman Jimmy tadi.
“Bubar! Semuanya bubar!” kata Niken dengan suara lantang.
Mereka semua lalu bubar jalan, Niken kalo sudah marah gempar, deh.
Tinggal Jimmy, Pandu dan Niken yang ada di situ.
Niken merogoh saku bawahannya, lalu memberikan tissue, satu buat
Pandu, satu buat Jimmy.
“Jim, aku bener nggak ada apa-apa sama Pandu. Kita cuma teman baik.
Aku nggak pernah larang kamu bergaul dengan siapapun, kan? Kenapa
kamu nggak beri aku kebebasan yang sama?”
“Niken, akuilah. Kita pun nggak pacaran. Status kita cuma sedikit lebih
baik dari kamu dan Pandu. Kamu bisa bilang kamu nggak ada apa-apa
sama Pandu. Tapi kamu juga bisa bilang kamu nggak ada apa-apa sama
aku. Aku cuma ingin kamu hargai aku sedikit.”
“Apa yang kamu mau? Pacaran sama aku? Aku udah bilang, aku nggak
bisa pacaran sama kamu, karena aku nggak cinta sama kamu.”
“Itu karena kamu nggak pernah mau berusaha untuk itu.” sanggah Jimmy.
Niken diam saja. Demikian juga Pandu.
“Kamu sama sekali nggak pernah tersenyum kalo ketemu aku.
Apapun yang aku lakukan, kamu nggak pernah terhibur. Belakangan ini
aku perhatikan, kamu selalu ceria setiap ketemu Pandu. Siapa yang
nggak jengkel?”
“Kami punya banyak kesamaan,…”
Belum sempat Niken melanjutkan kata-katanya, Jimmy sudah
menyerobot. “Apa katamu? Banyak kesamaan? Yang aku lihat justru
banyak perbedaan. Dia anak Jawa, Niken. Bukan chinese seperti kita.”
Muka Niken memerah. Telinganya memanas.
Niken nggak bisa bilang apa-apa karena jengkel sekali, sekaligus malu
sama Pandu.
Pandu yang lalu menyahut, “Benar sekali kamu, Jim. Kamu cuma punya
satu kesamaan sama Niken. Sama-sama bermata sipit. Lain dari itu tidak.
Niken berjiwa besar, berhati mulia, temannya banyak. Kamu? Jiwamu
kerdil, hatimu busuk, temanmu cuma sebatas orang yang ingin
memanfaatkan kekayaanmu!”
Kata-kata Pandu tadi walaupun memang benar adanya, terdengar
begitu pedas di telinga. Jimmy mulai bergerak mendekati Pandu,
bermaksud menjotosnya lagi.
Niken mencegahnya. “Jimmy, sudahlah. Rasanya kita berdua nggak ada
harapan lagi. Aku akan minta mama untuk membatalkan semuanya.”
“Niken? Jangan bilang begitu dong. Maafin aku, aku tadi termakan emosi.
Kamu boleh berteman dengan Pandu, ayolah. Maafkan aku.” bujuk Pandu
yang kaget mendengar kata-kata Niken.
“Pergilah, Jimmy. Sudah nggak ada apa-apa antara kita.” Muak sekali
Niken melihat wajah Jimmy.
Merasa sudah nggak bisa berbuat apa-apa lagi, Jimmy lalu berkata,
“Baiklah, Niken. Tapi aku nggak akan pergi sebelum bilang sesuatu yang
aku mau bilang dari dulu. Kamu perlu belajar mencintai orang, Niken.
Kalau nggak, kamu nggak akan pernah bahagia.”
Setelah Jimmy pergi, Pandu duduk di trotoar dekat Niken. “Kamu
nggak papa, Fei?”
Niken diam saja. Dia masih memikirkan kata-kata Jimmy barusan.
“Fei!”
“Hah? Apa? Kamu ngaget-ngagetin aku aja, Ndu!” Niken terkaget dari
lamunannya.
“Kamu nggak papa, kan?” Pandu mengulangi pertanyaannya.
“Yang papa tu kamu. Tuh liat, bibirmu berdarah gitu. Nggak sakit, apa?”
kata Niken sambil mengambil tissue satu lagi dari sakunya. Pelan-pelan
luka di bibir Pandu dia bersihkan dengan tissuenya.
“Aduuh…!” Pandu mengerang kesakitan.
“Sakit ya? Salah sendiri, kenapa mesti berantem sama Jimmy? Sekarang
yang sisa tinggal sakitnya, kan?”
“Pelan-pelan dong!” Pandu masih mengaduh-aduh.
“Ya ini udah pelan-pelan, tahu? Kamu tahan sedikit lah. Manja bener.”
Baru kali ini Pandu melihat wajah Niken begitu dekat. Dari dekat gini
jadi tambah jelas manisnya. Wajah Niken bersih tanpa noda sedikitpun.
Nggak ada jerawat, bisul, atau kurap.
Niken jadi sadar Pandu dari tadi memperhatikannya.
“Kenapa?” tanyanya.
“Jujur aja, kamu manis sekali, Fei. Cowok yang berhasil dapetin kamu
bakal beruntung banget. Aku juga nggak nolak kalo diberi koq.”
“Heh! Kalo ngomong yang bener!”
“Duh! Jangan kasar gitu dong, perih nih!” kata Pandu memegangi
dagunya.
“Makanya jangan macem-macem.” kata Niken mengancam.
“Aduh, iya deh… Iya…” Pandu pasrah sambil memonyongkan bibirnya
untuk dibersihkan lukanya.
Niken tiba-tiba teringat sesuatu, “Oh! Iya! Aku musti segera kembali ke
theatre. Aku belum selesai ngatur gladi bersih buat besok. Aku mesti
double cek ke Jabrique apa mereka jadi tampil. Kemarin sih mereka
bilang jadi.”
“Aku boleh ikut lihat gladi bersihnya?”
“Lihat nggak boleh. Harus ikut bantu angkut-angkut.”
“Kalau nggak males, ya...” katanya sambil mengikuti Niken ke theatre.
Untung anak-anak masih sabar nunggu di dekat panggung. Juned,
salah satu anak yang tugas MC besok, melapor. “Niken, anak dekorasi
hari ini mau ngelembur sampe malem. Speaker-speaker ini mau ditaruh
dimana?”
“Ditaruh di belakang panggung aja, jadi besok gampang ngeluarinnya
lagi. Kamu udah latihan sama Heni?”
“Tuh di belakang panggung. Dia grogi banget, dia maunya semua naskah
ditulis, katanya mau dihafalin di rumah. Aku udah bilang, itu nggak baik.
Lupa satu nanti lupa semua. Mending rileks aja. Coba deh kamu yang
ngomongin.”
“Ya kamu yang sabar ngelatih dia. Maklum lah, dia kan masih kelas satu,
baru pertama kali ini dia MC di panggung. Aku nggak akan pilih dia kalo
aku nggak yakin dia mampu. Kamu mesti bisa bikin dia nyante, lebih
percaya diri. Oke?”
“Oke deh.” kata Juned menuju ke belakang panggung.
“Mber!” panggil Niken. Yang dia maksud Hengki, yang panggilan
akrabnya memang ‘comberan’. Itu gara-gara waktu perploncoan awal
masuk SMA dulu, dia memaki diri sendiri waktu jatuh di comberan.
Kebetulan salah satu orator berdiri di dekatnya. Dengan alesan itu
comberan di SMA Antonius, termasuk barang langka, harus dicintai. Terus
dia disuruh duduk di comberan, sambil minta maaf karena sudah
memaki-maki comberan. Sejak itu dia dipanggil comberan.
Hengki itu yang dia tugaskan penanggung jawab tim dekorasi panggung.
“Mber, kata Juned, anak-anak dekor mau ngelembur yah? Kamu yakin
betul mereka mau ngelembur? Aku nggak mau mereka nanti mengomel
di belakang lho…”
“Bener koq, Niken. Mereka malah merasa nggak enak sendiri karena
belum selesai sampe hari H minus satu. Mereka yang minta untuk
diijinkan kerja sampe selesai. Tapi kayaknya nggak bakal sampe malem,
koq. Paling sore nanti udah kelar semua.”
“Baiklah kalo gitu. Aku nanti bilang Mas Manto, yang jaga sekolah.”
“O, iya, Niken. Sandra baru aja pulang. Dia kan kamu tugasi mengatur
jalannya acara gladi bersih hari ini. Baru aja selesai setengah jam yang
lalu. Dia pesan ke aku, dia harus pulang cepetan. Tapi pelaksanaan
nggak jauh beda dari jadwal. Nggak molor-molor. Semua band
pendukung termasuk Jabrique juga sudah dia hubungi. Semua oke.”
“Bagus. Endang jadi menari besok?”
“Wah, nggak tau. Sandra nggak bilang. Aku sih denger kalo dia sakit. Eh,
Wulan tadi pesan, dia mau beli makanan buat anak-anak, nanti balik
kemari lagi. Tanya ke dia deh, mungkin dia tau.”
“Oke. Aku nanti pulangnya sesudah anak dekor kelar, koq.”
“Nggak usah, Niken. Kamu pulang aja. Kamu dari pagi tadi udah di sini
terus. Suara kamu aja udah serak-serak banjir begitu. Ntar besok nggak
layak tampil lho…”
“Nggak papa. Aku nggak bisa tenang sebelum segalanya selesai. Kalo
pulang bisa-bisa aku balik ke sini lagi. Lagian aku kan bisa bantu-bantu.”
“Silahkan aja. Eh, Ndu. Kita butuh tambahan tenaga dari regu
perlengkapan. Kita lagi dalam rangka mau mindah-mindahin
perlengkapan band dari panggung, biar anak-anak dekor kerjanya lebih
leluasa.”
“Siap boss. Ruangan ini juga perlu dibersihin, apalagi sesudah kalian
selesai ndekor nanti pasti tambah banyak sampahnya. Aku siap bantu
sampai kelar nanti.”
“Makan makaaaaaaann…” teriak Wulan. Dengar kata makan, anakanak menghambur ke
arah Wulan dan dengan suka rela membawakan
kantong-kantong plastiknya berisikan nasi goreng itu.
“Nggak salah kamu di seksi konsumsi, Wulan. Kamu nggak pernah biarin
kita-kita ini kelaparan…” puji Pandu.
Wulan menyeret Niken menjauh dari yang lain. “Nik, si Endang gak
jadi nari besok. Acaranya diganti Sulis yang setelah dipaksa-paksa mau
juga manggung komedi sendirian.”
“Oh… ya sudah… Sebenere nggak usah diganti juga kita udah cukup
punya banyak acara koq.”
“Nik, tadi Jimmy sama Pandu gimana? Sudah gencatan senjata?” tanya
Wulan dengan nada kuatir.
“Ruwet dah, Lan. Jimmy keterlaluan banget. Akhirnya aku suruh dia pergi.
Acara perjodohan akan aku batalkan.”
“Separah itu, heh?”
Niken mengangguk.
“Si Pandu suka sama kamu?”
“Nggak. Siapa yang bilang?” tanya Niken heran.
“Lha tadi, kenapa mereka berkelahi?”
“Itu mah karena Jimmy yang kelewat cemburu aja.”
“Nik, kalo misalnya, ini cuma misalnya lho ya. Misalnya Pandu suka sama
kamu, kamu mau nggak sama dia?”
“Nggak. Aku kan udah bilang, aku nggak mau pacaran.”
“Sungguh, nih?” tanya Wulan.
“Sungguhan. Kenapa sih? Kamu naksir dia yah…? Aaah… Wulan naksir
Pandu rupanya yah?” goda Niken.
“Bukan aku. Ratna. Dia tadi nangis waktu dengar Pandu berantem sama
Jimmy gara-gara kamu. Tau sendiri lah si Ratna. Cengengnya minta
ampun. Dia pake acara mendekam di kapel segala lho. Nangis sehabishabisnya di
situ. Sampe romo sama koster yang lagi bersih-bersih di
sakristi jadi bingung dibuatnya. Kalo kamu nggak keberatan, aku mau
kamu ngomongin Pandu soal Ratna. Soalnya dia kayaknya masih di kapel
sekarang ini. Nggak mau keluar-keluar. Nggak mau makan segala. Siapa
tau Pandu bisa bujuk dia… Tolong Nik…”
“Kenapa kamu nggak bilang ke Pandu sendiri?”
“Ayolah, gampangan kamu yang bilang ke dia. Dia pasti menurut sama
kamu.” bujuk Wulan.
“Iya deh, nanti aku bilangin. Tapi dia harus angkut-angkut speaker gedegede itu
dulu sama anak-anak. Abis itu ya…”
“Ndu…” sapa Niken waktu Pandu baru saja selesai angkut-angkut,
sambil menyodorkan tissue untuk mengelap keringatnya.
“Kamu hari ini promosi tissue apa gimana sih? Aku udah ngabisin tiga
tissuemu hari ini.”
“Kayaknya kamu butuh satu lagi deh.” kata Niken sambil menyodorkan
satu tissue lagi. “Tapi yang ini buat Ratna.”
“Ratna?” tanya Pandu bingung.
“He’eh. Dia nangis sesiangan di kapel tuh.”
“Trus apa hubungannya sama aku?”
“Erat sekali. Dia nangis lantaran tau kamu berantem sama Jimmy tadi,
dan dia tau itu gara-gara aku. Sama seperti Jimmy, dia pasti merasa
sedikit banyak cemburu. Banyak, mungkin.”
“Lantas, aku bisa apa?” tanya Pandu masih tak mengerti.
“Tu anak belum makan siang, dari tadi menangis terus, bikin bingung
orang. Kalo nggak cepat-cepat ditolong, dia bisa pingsan, kehabisan
tenaga karena belum makan, atau lebih parah, kehabisan air mata.”
“Aku nggak berminat meladeni dia hari ini. Capek.” jawab Pandu ogah-
ogahan.
“Ayo, dong. Aku juga merasa bersalah, nih. Paling nggak, temui dia.
Jelasin kalo nggak ada apa-apa antara kita. Jadi dia nggak salah paham,
dan yang penting nggak menangis terus.”
“Kamu sungguh-sungguh ingin aku deketi dia, Fei?”
“Kata Wulan sih, dia cinta sama kamu. Nggak tau gimana koq dia bisa
cinta sama orang konyol kayak kamu, tapi kenyataannya emang iya. Ratna
cantik, lembut. Itu kan kriteria cewek idamanmu, kalo nggak salah. Kenapa
nggak diembat aja?”
“Baiklah. Aku akan bujuk dia untuk pulang dan nggak nangis lagi. Rasanya
nggak bakal susah sih. Nanti aku balik ke sini lagi.”
“Ndu, nggak usah cepat-cepat kembali kesini juga nggak papa. Kamu
bakal aku butuhin lagi nanti kalo anak-anak dekor selesai.”
Pandu mengangguk ragu, lalu berlalu dari situ, menuju ke arah kapel
di depan.
Ini hari Minggu sore, hampir malam. Gelar Seni sudah secara resmi
dibuka tadi pagi. Niken seharian tadi sudah banjir keringat karena dari tadi
sibuk mondar-mandir, lari kesana kemari. Rambutnya dikuncir ekor kuda
di belakang, jadi tidak mengganggu. Dari tadi siang dia tidak sempat
pulang. Niken sengaja bawa baju ganti, jadi dia tadi bisa mandi dan ganti
baju di kamar mandi sekolah, untuk acara band nanti malam. Bandnya
akan menjadi acara pembukaan pentas band malam ini. Acara puncaknya
sih Jabrique band.
“Niken, si Heni demam panggung, tuh, aku udah berusaha nenangin
dia, tapi kayaknya gagal total. Tolong dong…” keluh Juned. Niken
mengangguk mengerti, lalu menghampiri Heni yang duduk di belakang
panggung yang sedang komat-kamit menghafal naskahnya, seperti
sedang menghafal mantera saja.
Melihat Niken datang menghampirinya, Heni langsung berdiri dan
mengeluh, “Niken, kamu gantiin aku jadi MC hari ini ya. Aku nggak
sanggup. Aku takut…”
“Kenapa mesti takut?” Niken memegangi tangan Heni. Dingin sekali
tangannya. Keringat dinginnya sudah membuat kertas naskah yang
dipegangnya jadi bergelombang dan kucel. “Aku udah bilang sama Juned,
aku nggak mungkin milih kamu jadi MC kalo aku nggak yakin sama
kemampuanmu. Aku tahu kamu bisa, Heni!” lanjut Niken dengan nada
mantap.
“Kamu sepertinya sudah salah pilih, Niken. Aku nggak bisa....”
“Kamulah yang nggak sadar sama kemampuanmu sendiri, Hen. Buang
deh itu naskah. Kamu mesti ngomong dari dalam hati kamu.”
Pandu yang juga berdiri di dekat situ, sedang mempersiapkan diri
untuk manggung di acara pertama, membisikkan sesuatu pada Niken.
Lalu dia berlalu.
Sebentar saja dia datang lagi, membawa Galih. Tanpa ba bi bu, Galih
mencium pipi Heni, lalu cuma menganggukkan kepala, terus pergi lagi.
Niken bengong. Heni apalagi. Tapi kemudian, Heni meremas kertas
naskahnya, lalu berkata, “Ayo, aku udah siap. Mana Juned?”
Niken tambah bengong. Semenit kemudian, Heni dan Juned sudah asyik
bercuap-cuap di atas panggung. Niken yang menonton dari pinggir
panggung masih terbengong-bengong.
“Itu yang namanya kekuatan cinta.” bisik Pandu.
Niken masih bengong, menatap wajah Pandu, meminta penjelasan.
“Aku tau Heni sudah lama naksir Galih. Galih juga suka sama Heni, tapi
nggak tau kalo Heni naksir dia, jadi nggak berani ngomong. Hari ini aku
sudah jadi mak comblang yang baik kan?” kata Pandu sambil
mengedipkan sebelah matanya.
Niken lalu tertawa terbahak-bahak. “Terus kenapa Galih nggak bilang apaapa sama
Heni?”
“Cinta nggak butuh kata-kata, Fei. Heni tahu sekarang kalo Galih juga cinta
sama dia. Itu saja cukup.”
Niken kembali ke kebengongannya. Pandu mau tidak mau harus
mengagetkannya, karena Heni dan Juned sudah menyebut-nyebut band
mereka.
“Hoi! Mau manggung sekarang apa tahun depan?”
“Oh…! Ya sekarang dong!” kata Niken menyambar stick drum-nya di meja.
Baru aja Niken keluar dari panggung, Sandra dengan wajah pucat
sudah menyambutnya dengan berita buruk.
“Niken, aku baru aja dikontak manager Jabrique. Mereka nggak bisa
manggung malam ini karena ada komitmen lain. Bull shit, lah. Gimana
nih? Padahal Jabrique udah dijadwalkan nyanyi 2 lagu malam ini. Gimana
dong, Niken?!”
Kepala Niken jadi pusing mendadak. Seperti drum yang dipukul-pukul
rasanya, tapi tanpa ritme yang jelas. “Kasih aku waktu buat mikir, San. Aku
keluar panggung dulu. Sumpek.”
Niken keluar lewat pintu panggung belakang. Pandu mengikutinya.
“Koq Jabrique nggak bertanggung jawab begitu, sih?” Pandu mengomel.
“Ini salahku. Mestinya aku punya back-up plan buat ini. Seharusnya aku
tahu mereka bisa membatalkan sewaktu-waktu. Mereka kan band
terkenal. Teman-teman pasti kecewa semua. Aduh, kepalaku jadi pusing
deh. Aku nggak tau mesti gimana.” sahut Niken jujur.
Baru kali ini Pandu mendengar Niken nggak tahu harus berbuat apa.
Biasanya Niken pasti punya jalan keluar.
“Rileks, Fei. Kalo rileks kita pasti nemuin jalan keluar.” kata Pandu
berusaha menghibur, sambil mendekat ke arah Niken. Kedua tangannya
diletakkan di bahu Niken, kiri dan kanan, lalu mulai memijit-mijit bahu
Niken.
Niken memejamkan matanya. Enak sekali dipijit begini. Apalagi kalau
sedang pusing seperti sekarang. Angin malam semilir membantu
menenangkan suasana hatinya. Pikirannya melayang ke ciuman Galih
tadi.
Pandu ikut memejamkan matanya, ikut berpikir, sementara tangannya
masih memijit bahu Niken. Kasihan Fei Fei, dia pasti capek seharian
sibuk terus, kata Pandu dalam hati. Hari ini dia melihat sisi lain dari Niken.
Niken bisa juga merasa tak berdaya. Entah setan dari mana, tiba-tiba saja
dia bisa merasakan sesuatu yang harusnya dia ketahui sejak pertama
ketemu Niken. Cinta!
“Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?” Pandu mengutuk dirinya
dalam hati. Walaupun belum pernah merasakan ini sebelumnya, dia yakin
ini tak lain dan tak bukan adalah cinta. Ibunya benar, cinta itu datangnya
nggak terduga-duga, dan kalau sudah datang tak bisa diusir-usir. Kalau
saja ibu ada di sini sekarang, ibu pasti tahu apa yang harus dilakukannya.
Haruskah dia bilang terus terang sama Niken? Dengan resiko berat harus
kehilangan persahabatannya? Atau tidak usah bilang, dengan resiko
kehilangan kesempatan memperoleh cinta sejati?
Aduh, kepala Pandu jadi ikut pusing.
“Ndu, kamu udah menemukan jalan keluar belum?” Niken
membuyarkan angan-angannya.
“Belum.” sahut Pandu singkat. “Tapi aku sudah menemukan yang lain,”
serunya dalam hati.
“Kita punya waktu sekitar satu jam sebelum jadwal manggung buat
Jabrique. Ide apapun aku bakal pertimbangkan deh, karena aku sama
sekali blank, aku nggak punya ide sama sekali.”
“Sssh… jangan berpikir yang buruk-buruk dulu. Cobalah menikmati
suasana malam ini.” kata Pandu masih memejamkan matanya.
“Ndu, jangan tidur kamu ya!” ancam Niken.
“Nggak nggak… jangan kuatir. Aku sedang ikut berpikir koq. Kamu coba
tenang dulu, lah.”
Setelah diam selama kurang lebih lima menit, Pandu membuka
matanya.
“Aku ada ide! Fei, apapun yang terjadi, percaya deh sama kata-kataku. Aku
bakal kembali tepat di saat yang ditentukan, dengan solusiku. Aku
sekarang harus pergi dulu. Kamu tunggu di sini.”
“Hey… tunggu. Aku ikut dong.”
”Kamu di sini aja. Anak-anak di sini butuh dukunganmu. Percaya deh. Aku
sudah punya solusi yang tepat. Kamu nggak usah kuatir, ok?” kata Pandu
sambil berlari ke arah depan.
*
Sudah saatnya. "Mata jangkrik itu di mana sih?" gerutu Niken.
“Niken, liat tuh Pandu manggung.” kata Sandra menunjuk ke arah
panggung.
Benar katanya. Dia muncul dari depan panggung dengan menenteng
keyboard.
“Gila tu anak. Tampil tanpa persiapan lagi. Moga-moga aja nggak kacaubalau.”
Well it’s been building up inside of me for oh, I don’t know how long
I don’t know why but I keep thinking something’s bound to go wrong…
Don’t worry baby… Don’t worry baby…
…But I can’t back down now because I pushed the other guys too far…
Don’t worry baby… Don’t worry baby…
Dari samping panggung Niken dapat mendengar jelas suara Pandu.
Maklum, speaker ada di dekat situ. Suaranya begitu jernih, Niken jadi
merasa tenang sekarang. Sepertinya Pandu sudah menyelamatkan
shownya malam ini. Tanggapan anak-anak yang nonton di depan
panggung pun sangat positif. Histeris, malah.
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken
ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken

More Related Content

What's hot

Pantai kenangan
Pantai kenanganPantai kenangan
Pantai kenanganbubud75
 
Cerpen Tentang Sebuah Perbedaan
Cerpen Tentang Sebuah PerbedaanCerpen Tentang Sebuah Perbedaan
Cerpen Tentang Sebuah PerbedaanIrfan Rosyidin
 
Rasa ini
Rasa iniRasa ini
Rasa iniyani20
 
Cinta datang tepat waktu
Cinta datang tepat waktuCinta datang tepat waktu
Cinta datang tepat waktuHeni Handayani
 
Cendana+dan+cendini
Cendana+dan+cendiniCendana+dan+cendini
Cendana+dan+cendiniradikalzen
 
Antologi cerpen-klab-menulis
Antologi cerpen-klab-menulisAntologi cerpen-klab-menulis
Antologi cerpen-klab-menulisindi rahmayani
 
Impian Keabadian (Cerpen karya Satrio Arismunandar)
Impian Keabadian (Cerpen karya Satrio Arismunandar)Impian Keabadian (Cerpen karya Satrio Arismunandar)
Impian Keabadian (Cerpen karya Satrio Arismunandar)Satrio Arismunandar
 
Berdiri diatas impian
Berdiri diatas impianBerdiri diatas impian
Berdiri diatas impianEdis Al Arshy
 
Little story in D.S.I
Little story in D.S.ILittle story in D.S.I
Little story in D.S.IRisuka Miyako
 
CERPEN SUDUT PANDANG KETIGA "JIKA KAU SAHABAT"
CERPEN SUDUT PANDANG KETIGA "JIKA KAU SAHABAT"CERPEN SUDUT PANDANG KETIGA "JIKA KAU SAHABAT"
CERPEN SUDUT PANDANG KETIGA "JIKA KAU SAHABAT"Nur Widdya Kurniati
 
Jasamu memahat generasi gemilang
Jasamu memahat generasi gemilangJasamu memahat generasi gemilang
Jasamu memahat generasi gemilangRos Nita
 

What's hot (20)

gvgvvbyhbyb
gvgvvbyhbybgvgvvbyhbyb
gvgvvbyhbyb
 
Cinta pertama
Cinta pertamaCinta pertama
Cinta pertama
 
Cerpen
CerpenCerpen
Cerpen
 
Pantai kenangan
Pantai kenanganPantai kenangan
Pantai kenangan
 
Kliping cerpen
Kliping cerpenKliping cerpen
Kliping cerpen
 
Cerpen Tentang Sebuah Perbedaan
Cerpen Tentang Sebuah PerbedaanCerpen Tentang Sebuah Perbedaan
Cerpen Tentang Sebuah Perbedaan
 
Cerpen
CerpenCerpen
Cerpen
 
Rasa ini
Rasa iniRasa ini
Rasa ini
 
Cinta datang tepat waktu
Cinta datang tepat waktuCinta datang tepat waktu
Cinta datang tepat waktu
 
Cendana+dan+cendini
Cendana+dan+cendiniCendana+dan+cendini
Cendana+dan+cendini
 
Bahasa pdf small hway
Bahasa pdf small hwayBahasa pdf small hway
Bahasa pdf small hway
 
Antologi cerpen-klab-menulis
Antologi cerpen-klab-menulisAntologi cerpen-klab-menulis
Antologi cerpen-klab-menulis
 
Impian Keabadian (Cerpen karya Satrio Arismunandar)
Impian Keabadian (Cerpen karya Satrio Arismunandar)Impian Keabadian (Cerpen karya Satrio Arismunandar)
Impian Keabadian (Cerpen karya Satrio Arismunandar)
 
Cerpen perpisahan terakhir
Cerpen perpisahan terakhirCerpen perpisahan terakhir
Cerpen perpisahan terakhir
 
Berdiri diatas impian
Berdiri diatas impianBerdiri diatas impian
Berdiri diatas impian
 
Cerita yang gak tahu arahnya kemana
Cerita yang gak tahu arahnya kemanaCerita yang gak tahu arahnya kemana
Cerita yang gak tahu arahnya kemana
 
Little story in D.S.I
Little story in D.S.ILittle story in D.S.I
Little story in D.S.I
 
CERPEN SUDUT PANDANG KETIGA "JIKA KAU SAHABAT"
CERPEN SUDUT PANDANG KETIGA "JIKA KAU SAHABAT"CERPEN SUDUT PANDANG KETIGA "JIKA KAU SAHABAT"
CERPEN SUDUT PANDANG KETIGA "JIKA KAU SAHABAT"
 
Jasamu memahat generasi gemilang
Jasamu memahat generasi gemilangJasamu memahat generasi gemilang
Jasamu memahat generasi gemilang
 
10 cerpen
10 cerpen10 cerpen
10 cerpen
 

Similar to ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken

Revolusi Berganti Sebelum Mati
Revolusi Berganti Sebelum MatiRevolusi Berganti Sebelum Mati
Revolusi Berganti Sebelum MatiAkhmad Akbar
 
Sepasang kaos-kaki-hitam
Sepasang kaos-kaki-hitamSepasang kaos-kaki-hitam
Sepasang kaos-kaki-hitamGiffar Izzany
 
My Imaginary Story
My Imaginary StoryMy Imaginary Story
My Imaginary StoryAhnafig1
 
Rinduku kenanganku
Rinduku kenangankuRinduku kenanganku
Rinduku kenangankuMina Esmail
 
Parabola - Cerpen kewirausahaan
Parabola - Cerpen kewirausahaanParabola - Cerpen kewirausahaan
Parabola - Cerpen kewirausahaanResma Puspitasari
 
cerita tentang aku (Penghianatan cinta dan persahabatan)
cerita tentang aku (Penghianatan cinta dan persahabatan)cerita tentang aku (Penghianatan cinta dan persahabatan)
cerita tentang aku (Penghianatan cinta dan persahabatan)Mohammad Al-hamzawiyyah
 
Sayap bidadari
Sayap bidadariSayap bidadari
Sayap bidadarionessfee
 
Juara Kejujuran Jilid II
Juara Kejujuran Jilid IIJuara Kejujuran Jilid II
Juara Kejujuran Jilid IIdevunira
 
cerpen Dibalik sketsa foto ibu
cerpen Dibalik sketsa foto ibucerpen Dibalik sketsa foto ibu
cerpen Dibalik sketsa foto ibuRaya Dewinta
 
Dibalik sketsa foto ibu
Dibalik sketsa foto ibuDibalik sketsa foto ibu
Dibalik sketsa foto ibuRaya Dewinta
 
Persahabatan yang rapuh
Persahabatan yang rapuhPersahabatan yang rapuh
Persahabatan yang rapuhAmore Tsuki
 
Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia
Perempuan Yunani dan Guru Bahasa IndonesiaPerempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia
Perempuan Yunani dan Guru Bahasa IndonesiaEddy Roesdiono
 

Similar to ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken (20)

Cinta bersemi juga
Cinta bersemi jugaCinta bersemi juga
Cinta bersemi juga
 
Orang pertama
Orang pertamaOrang pertama
Orang pertama
 
Andai Ku Bercinta Lagi
Andai Ku Bercinta LagiAndai Ku Bercinta Lagi
Andai Ku Bercinta Lagi
 
Revolusi Berganti Sebelum Mati
Revolusi Berganti Sebelum MatiRevolusi Berganti Sebelum Mati
Revolusi Berganti Sebelum Mati
 
Sepasang kaos-kaki-hitam
Sepasang kaos-kaki-hitamSepasang kaos-kaki-hitam
Sepasang kaos-kaki-hitam
 
My Imaginary Story
My Imaginary StoryMy Imaginary Story
My Imaginary Story
 
Rinduku kenanganku
Rinduku kenangankuRinduku kenanganku
Rinduku kenanganku
 
Parabola - Cerpen kewirausahaan
Parabola - Cerpen kewirausahaanParabola - Cerpen kewirausahaan
Parabola - Cerpen kewirausahaan
 
cerita tentang aku (Penghianatan cinta dan persahabatan)
cerita tentang aku (Penghianatan cinta dan persahabatan)cerita tentang aku (Penghianatan cinta dan persahabatan)
cerita tentang aku (Penghianatan cinta dan persahabatan)
 
Sayap bidadari
Sayap bidadariSayap bidadari
Sayap bidadari
 
Juara Kejujuran Jilid II
Juara Kejujuran Jilid IIJuara Kejujuran Jilid II
Juara Kejujuran Jilid II
 
Para Penanti
Para PenantiPara Penanti
Para Penanti
 
cerpen Dibalik sketsa foto ibu
cerpen Dibalik sketsa foto ibucerpen Dibalik sketsa foto ibu
cerpen Dibalik sketsa foto ibu
 
Dibalik sketsa foto ibu
Dibalik sketsa foto ibuDibalik sketsa foto ibu
Dibalik sketsa foto ibu
 
Persahabatan yang rapuh
Persahabatan yang rapuhPersahabatan yang rapuh
Persahabatan yang rapuh
 
Naskah drama by Gusti Ayu Anissa Noorfaidah
Naskah drama by Gusti Ayu Anissa NoorfaidahNaskah drama by Gusti Ayu Anissa Noorfaidah
Naskah drama by Gusti Ayu Anissa Noorfaidah
 
Presentation1
Presentation1Presentation1
Presentation1
 
Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia
Perempuan Yunani dan Guru Bahasa IndonesiaPerempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia
Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia
 
The hardest word
The hardest wordThe hardest word
The hardest word
 
Cerkak
CerkakCerkak
Cerkak
 

More from Walid Umar

MODUL AJAR ADMINISTRASI INFRASTRUKTUR JARINGAN - SWITCHING & ROUTING (PPG TKI...
MODUL AJAR ADMINISTRASI INFRASTRUKTUR JARINGAN - SWITCHING & ROUTING (PPG TKI...MODUL AJAR ADMINISTRASI INFRASTRUKTUR JARINGAN - SWITCHING & ROUTING (PPG TKI...
MODUL AJAR ADMINISTRASI INFRASTRUKTUR JARINGAN - SWITCHING & ROUTING (PPG TKI...Walid Umar
 
MATERI MATERI PROGRAM PROFESI GURU PROFESIONAL - TEKNIK KOMPUTER & INFORMATIKA
MATERI MATERI PROGRAM PROFESI GURU PROFESIONAL - TEKNIK KOMPUTER & INFORMATIKAMATERI MATERI PROGRAM PROFESI GURU PROFESIONAL - TEKNIK KOMPUTER & INFORMATIKA
MATERI MATERI PROGRAM PROFESI GURU PROFESIONAL - TEKNIK KOMPUTER & INFORMATIKAWalid Umar
 
KUMPULAN SOAL LATIHAN UP - PPG TKI - WALID UMAR
KUMPULAN SOAL LATIHAN UP - PPG TKI - WALID UMARKUMPULAN SOAL LATIHAN UP - PPG TKI - WALID UMAR
KUMPULAN SOAL LATIHAN UP - PPG TKI - WALID UMARWalid Umar
 
KUMPULAN SOAL LATIHAN DARI MODUL PROGRAM PROFESI GURU (PPG) TEKNIK KOMPUTER &...
KUMPULAN SOAL LATIHAN DARI MODUL PROGRAM PROFESI GURU (PPG) TEKNIK KOMPUTER &...KUMPULAN SOAL LATIHAN DARI MODUL PROGRAM PROFESI GURU (PPG) TEKNIK KOMPUTER &...
KUMPULAN SOAL LATIHAN DARI MODUL PROGRAM PROFESI GURU (PPG) TEKNIK KOMPUTER &...Walid Umar
 
KUMPULAN SOAL MODUL LATIHAN - PROGRAM PROFESI GURU (PPG) - TEKNIK KOMPUTER & ...
KUMPULAN SOAL MODUL LATIHAN - PROGRAM PROFESI GURU (PPG) - TEKNIK KOMPUTER & ...KUMPULAN SOAL MODUL LATIHAN - PROGRAM PROFESI GURU (PPG) - TEKNIK KOMPUTER & ...
KUMPULAN SOAL MODUL LATIHAN - PROGRAM PROFESI GURU (PPG) - TEKNIK KOMPUTER & ...Walid Umar
 
FILE REPORT UJIAN PENGETAHUAN (UP) PROGRAM PROFESI GURU (PPG) - TEKNIK KOMPUT...
FILE REPORT UJIAN PENGETAHUAN (UP) PROGRAM PROFESI GURU (PPG) - TEKNIK KOMPUT...FILE REPORT UJIAN PENGETAHUAN (UP) PROGRAM PROFESI GURU (PPG) - TEKNIK KOMPUT...
FILE REPORT UJIAN PENGETAHUAN (UP) PROGRAM PROFESI GURU (PPG) - TEKNIK KOMPUT...Walid Umar
 
MEMBEDAH KISI KISI UP TKI - 2020/2021
MEMBEDAH KISI KISI UP TKI - 2020/2021MEMBEDAH KISI KISI UP TKI - 2020/2021
MEMBEDAH KISI KISI UP TKI - 2020/2021Walid Umar
 
PRESENTASI CYBERSECURITY REKTOR
PRESENTASI CYBERSECURITY REKTORPRESENTASI CYBERSECURITY REKTOR
PRESENTASI CYBERSECURITY REKTORWalid Umar
 
RPP PPG TKJ (PENERAPAN PJBL & PBL) - ADMINISTRASI INFRASTRUKTUR JARINGAN (WAL...
RPP PPG TKJ (PENERAPAN PJBL & PBL) - ADMINISTRASI INFRASTRUKTUR JARINGAN (WAL...RPP PPG TKJ (PENERAPAN PJBL & PBL) - ADMINISTRASI INFRASTRUKTUR JARINGAN (WAL...
RPP PPG TKJ (PENERAPAN PJBL & PBL) - ADMINISTRASI INFRASTRUKTUR JARINGAN (WAL...Walid Umar
 
Konsep Computional Thinking
Konsep Computional ThinkingKonsep Computional Thinking
Konsep Computional ThinkingWalid Umar
 
my CV WALID UMAR
my CV WALID UMARmy CV WALID UMAR
my CV WALID UMARWalid Umar
 
Ebook Belajar Perangkat Cisco
Ebook Belajar Perangkat CiscoEbook Belajar Perangkat Cisco
Ebook Belajar Perangkat CiscoWalid Umar
 
Tips Meniti Karir dibidang Jaringan sebagai Network Engineer
Tips Meniti Karir dibidang Jaringan sebagai Network EngineerTips Meniti Karir dibidang Jaringan sebagai Network Engineer
Tips Meniti Karir dibidang Jaringan sebagai Network EngineerWalid Umar
 
Kartu soal produktif 1
Kartu soal produktif 1Kartu soal produktif 1
Kartu soal produktif 1Walid Umar
 
Kartu soal produktif 2
Kartu soal produktif 2Kartu soal produktif 2
Kartu soal produktif 2Walid Umar
 
Soal Semester Genap - Rancang Bangun Jaringan - SMK TKJ 2018/2019
Soal Semester Genap - Rancang Bangun Jaringan - SMK TKJ 2018/2019Soal Semester Genap - Rancang Bangun Jaringan - SMK TKJ 2018/2019
Soal Semester Genap - Rancang Bangun Jaringan - SMK TKJ 2018/2019Walid Umar
 
Soal USBN TKJ - Teori Kompetensi Keahlian Jaringan TP. 2019/2020
Soal USBN TKJ - Teori Kompetensi Keahlian Jaringan TP. 2019/2020Soal USBN TKJ - Teori Kompetensi Keahlian Jaringan TP. 2019/2020
Soal USBN TKJ - Teori Kompetensi Keahlian Jaringan TP. 2019/2020Walid Umar
 
Soal Ujian Semester Kelas XII Tahun 2019/2020
Soal Ujian Semester Kelas XII Tahun 2019/2020Soal Ujian Semester Kelas XII Tahun 2019/2020
Soal Ujian Semester Kelas XII Tahun 2019/2020Walid Umar
 
Soal Ujian Semester Genap - Produktif 2 | SMK TKJ
Soal Ujian Semester Genap - Produktif 2 | SMK TKJSoal Ujian Semester Genap - Produktif 2 | SMK TKJ
Soal Ujian Semester Genap - Produktif 2 | SMK TKJWalid Umar
 
Soal Ujian Semester Genap - Produktif 1 | SMK TKJ
Soal Ujian Semester Genap - Produktif 1 | SMK TKJSoal Ujian Semester Genap - Produktif 1 | SMK TKJ
Soal Ujian Semester Genap - Produktif 1 | SMK TKJWalid Umar
 

More from Walid Umar (20)

MODUL AJAR ADMINISTRASI INFRASTRUKTUR JARINGAN - SWITCHING & ROUTING (PPG TKI...
MODUL AJAR ADMINISTRASI INFRASTRUKTUR JARINGAN - SWITCHING & ROUTING (PPG TKI...MODUL AJAR ADMINISTRASI INFRASTRUKTUR JARINGAN - SWITCHING & ROUTING (PPG TKI...
MODUL AJAR ADMINISTRASI INFRASTRUKTUR JARINGAN - SWITCHING & ROUTING (PPG TKI...
 
MATERI MATERI PROGRAM PROFESI GURU PROFESIONAL - TEKNIK KOMPUTER & INFORMATIKA
MATERI MATERI PROGRAM PROFESI GURU PROFESIONAL - TEKNIK KOMPUTER & INFORMATIKAMATERI MATERI PROGRAM PROFESI GURU PROFESIONAL - TEKNIK KOMPUTER & INFORMATIKA
MATERI MATERI PROGRAM PROFESI GURU PROFESIONAL - TEKNIK KOMPUTER & INFORMATIKA
 
KUMPULAN SOAL LATIHAN UP - PPG TKI - WALID UMAR
KUMPULAN SOAL LATIHAN UP - PPG TKI - WALID UMARKUMPULAN SOAL LATIHAN UP - PPG TKI - WALID UMAR
KUMPULAN SOAL LATIHAN UP - PPG TKI - WALID UMAR
 
KUMPULAN SOAL LATIHAN DARI MODUL PROGRAM PROFESI GURU (PPG) TEKNIK KOMPUTER &...
KUMPULAN SOAL LATIHAN DARI MODUL PROGRAM PROFESI GURU (PPG) TEKNIK KOMPUTER &...KUMPULAN SOAL LATIHAN DARI MODUL PROGRAM PROFESI GURU (PPG) TEKNIK KOMPUTER &...
KUMPULAN SOAL LATIHAN DARI MODUL PROGRAM PROFESI GURU (PPG) TEKNIK KOMPUTER &...
 
KUMPULAN SOAL MODUL LATIHAN - PROGRAM PROFESI GURU (PPG) - TEKNIK KOMPUTER & ...
KUMPULAN SOAL MODUL LATIHAN - PROGRAM PROFESI GURU (PPG) - TEKNIK KOMPUTER & ...KUMPULAN SOAL MODUL LATIHAN - PROGRAM PROFESI GURU (PPG) - TEKNIK KOMPUTER & ...
KUMPULAN SOAL MODUL LATIHAN - PROGRAM PROFESI GURU (PPG) - TEKNIK KOMPUTER & ...
 
FILE REPORT UJIAN PENGETAHUAN (UP) PROGRAM PROFESI GURU (PPG) - TEKNIK KOMPUT...
FILE REPORT UJIAN PENGETAHUAN (UP) PROGRAM PROFESI GURU (PPG) - TEKNIK KOMPUT...FILE REPORT UJIAN PENGETAHUAN (UP) PROGRAM PROFESI GURU (PPG) - TEKNIK KOMPUT...
FILE REPORT UJIAN PENGETAHUAN (UP) PROGRAM PROFESI GURU (PPG) - TEKNIK KOMPUT...
 
MEMBEDAH KISI KISI UP TKI - 2020/2021
MEMBEDAH KISI KISI UP TKI - 2020/2021MEMBEDAH KISI KISI UP TKI - 2020/2021
MEMBEDAH KISI KISI UP TKI - 2020/2021
 
PRESENTASI CYBERSECURITY REKTOR
PRESENTASI CYBERSECURITY REKTORPRESENTASI CYBERSECURITY REKTOR
PRESENTASI CYBERSECURITY REKTOR
 
RPP PPG TKJ (PENERAPAN PJBL & PBL) - ADMINISTRASI INFRASTRUKTUR JARINGAN (WAL...
RPP PPG TKJ (PENERAPAN PJBL & PBL) - ADMINISTRASI INFRASTRUKTUR JARINGAN (WAL...RPP PPG TKJ (PENERAPAN PJBL & PBL) - ADMINISTRASI INFRASTRUKTUR JARINGAN (WAL...
RPP PPG TKJ (PENERAPAN PJBL & PBL) - ADMINISTRASI INFRASTRUKTUR JARINGAN (WAL...
 
Konsep Computional Thinking
Konsep Computional ThinkingKonsep Computional Thinking
Konsep Computional Thinking
 
my CV WALID UMAR
my CV WALID UMARmy CV WALID UMAR
my CV WALID UMAR
 
Ebook Belajar Perangkat Cisco
Ebook Belajar Perangkat CiscoEbook Belajar Perangkat Cisco
Ebook Belajar Perangkat Cisco
 
Tips Meniti Karir dibidang Jaringan sebagai Network Engineer
Tips Meniti Karir dibidang Jaringan sebagai Network EngineerTips Meniti Karir dibidang Jaringan sebagai Network Engineer
Tips Meniti Karir dibidang Jaringan sebagai Network Engineer
 
Kartu soal produktif 1
Kartu soal produktif 1Kartu soal produktif 1
Kartu soal produktif 1
 
Kartu soal produktif 2
Kartu soal produktif 2Kartu soal produktif 2
Kartu soal produktif 2
 
Soal Semester Genap - Rancang Bangun Jaringan - SMK TKJ 2018/2019
Soal Semester Genap - Rancang Bangun Jaringan - SMK TKJ 2018/2019Soal Semester Genap - Rancang Bangun Jaringan - SMK TKJ 2018/2019
Soal Semester Genap - Rancang Bangun Jaringan - SMK TKJ 2018/2019
 
Soal USBN TKJ - Teori Kompetensi Keahlian Jaringan TP. 2019/2020
Soal USBN TKJ - Teori Kompetensi Keahlian Jaringan TP. 2019/2020Soal USBN TKJ - Teori Kompetensi Keahlian Jaringan TP. 2019/2020
Soal USBN TKJ - Teori Kompetensi Keahlian Jaringan TP. 2019/2020
 
Soal Ujian Semester Kelas XII Tahun 2019/2020
Soal Ujian Semester Kelas XII Tahun 2019/2020Soal Ujian Semester Kelas XII Tahun 2019/2020
Soal Ujian Semester Kelas XII Tahun 2019/2020
 
Soal Ujian Semester Genap - Produktif 2 | SMK TKJ
Soal Ujian Semester Genap - Produktif 2 | SMK TKJSoal Ujian Semester Genap - Produktif 2 | SMK TKJ
Soal Ujian Semester Genap - Produktif 2 | SMK TKJ
 
Soal Ujian Semester Genap - Produktif 1 | SMK TKJ
Soal Ujian Semester Genap - Produktif 1 | SMK TKJSoal Ujian Semester Genap - Produktif 1 | SMK TKJ
Soal Ujian Semester Genap - Produktif 1 | SMK TKJ
 

Recently uploaded

Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)3HerisaSintia
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfDimanWr1
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxmawan5982
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1udin100
 
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptxGiftaJewela
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdftsaniasalftn18
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfSitiJulaeha820399
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...MarwanAnugrah
 
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdfvebronialite32
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CAbdiera
 
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptxHendryJulistiyanto
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxFuzaAnggriana
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docxbkandrisaputra
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BAbdiera
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAAndiCoc
 
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASKurniawan Dirham
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...Kanaidi ken
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfCloverash1
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKirwan461475
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5KIKI TRISNA MUKTI
 

Recently uploaded (20)

Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
Karakteristik Negara Mesir (Geografi Regional Dunia)
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
 
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docxtugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
tugas 1 anak berkebutihan khusus pelajaran semester 6 jawaban tuton 1.docx
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
 
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
421783639-ppt-overdosis-dan-keracunan-pptx.pptx
 
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdfKelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
Kelompok 2 Karakteristik Negara Nigeria.pdf
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
 
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...Wawasan Nusantara  sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, d...
 
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
 
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
 
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...PELAKSANAAN  + Link2 Materi TRAINING "Effective  SUPERVISORY &  LEADERSHIP Sk...
PELAKSANAAN + Link2 Materi TRAINING "Effective SUPERVISORY & LEADERSHIP Sk...
 
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdfKelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
Kelompok 1_Karakteristik negara jepang.pdf
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
 

ini menggunakan kata kunci "Misteri Niken

  • 1. Niken dan Pandu “Pelajaran kosong”. Tanyakan pada pelajar SMA manapun, kata-kata ini nilainya tinggi sekali, jauh lebih tinggi daripada “batal ulangan” sekalipun. Mungkin kata-kata yang bisa menandingi nilai “pelajaran kosong” hanyalah “dua jam pelajaran kosong”. Itulah sebabnya suasana kelas hari ini ramai sekali. Keramaian ini dimulai saat mereka mendengar bahwa guru biologi, Bu Tanti, tidak bisa mengajar hari ini karena sakit. Itu berarti, dua pelajaran penuh, dua kali 45 menit, mereka bebas dari pengawasan guru. Guru-guru yang lain sibuk mengajar. Bu Tanti memberikan tugas meringkas dua bab dari buku diktat. Tapi rasanya murid-murid tidak ada yang menganggap penting tugas itu sekarang. Yang penting sekarang adalah pelajaran kosong, dan ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. ”Kalian bisa diam, tidak?” tiba-tiba saja Bu Mirna, yang sedang mengajar ekonomi di kelas sebelah, masuk ke dalam kelas. Murid-murid cepat-cepat kembali ke tempat duduknya masing-masing. Bertepatan dengan itu, Pak Yusril, kepala sekolah SMA Antonius mengetuk pintu kelas. “Terima kasih, Bu Mirna. Saya akan jaga di kelas ini,” kata Pak Yusril. Ada seorang laki-laki yang membuntutinya. “Anak-anak, ini Pandu. Mulai hari ini dia akan menjadi anggota kelas 2C ini. Tolong perlakukan dia dengan baik. Pandu, ceritakan sedikit tentang dirimu sehingga teman-teman barumu bisa mengenalmu lebih baik,” kata Pak Yusril. “Nama saya Pandu. Pandu Prasetya. Saya pindahan dari SMA Mataram di Yogyakarta. Ayah saya polisi, baru saja selesai tugasnya di Yogya, dan dipindah ke Semarang ini. Saya anak bungsu dari 5 bersaudara, kakak saya laki-laki semua. Pasti ada yang bertanya-tanya kenapa ayah saya memberi nama Pandu padahal saya anak bungsu? Kakak-kakak saya semua bernama Pandu. Jadi kalo ada yang naksir saya, mau telepon ke rumah, carinya Pandu Prasetya. Kalo nggak nanti pada bingung Pandu yang mana.” kata Pandu tanpa malu-malu dengan gaya yang ramah dan kocak “Huh,” gersah Niken yang duduk di samping jendela, “Pe-de benar cowok satu ini. Lagaknya sok ganteng”, batinnya. “Nik, cakep yach tu cowok,” Wulan yang duduk di sebelahnya berbisik.
  • 2. “Cakep apanya, ah?” “Bagaimana sih kamu? Perawakannya tegap, tinggi lagi. Rambutnya keren. Ketahuan lah kalau bapaknya polisi. Matanya seperti mata elang…” bisik Wulan, mulai berandai-andai. “Seperti mata jangkrik.” sahut Niken asal-asalan. “Niken!” panggil Pak Yusril. “Ya Pak!” Mendengar namanya dipanggil, Niken sontak berdiri. “Aduh, jangan-jangan Pak Yusril mendengar percakapanku dengan Wulan?” “Kamu ketua kelas, saya ingin kamu duduk dengan Pandu. Wulan, kamu pindah di samping Arya. Pandu, kamu duduk di samping Niken.” “Baik, Pak.” sahut Wulan dan Pandu hampir bersamaan. “Duh, sial! Kenapa pula si jangkrik itu musti duduk di sebelahku? Benar-benar sial.” gerutu Niken dalam hati sambil duduk kembali. “Kamu beruntung sekali bisa duduk di sebelah si mata elang.” bisik Wulan sebelum berdiri. “Kalau saja aku bisa bertukar tempat dengan kamu sekarang, aku bakal merasa sangat beruntung.” Niken balas berbisik. Dia tidak menyangka Pandu sudah berdiri di sebelahnya. Tapi dia tidak berkata apa-apa, hanya menebar senyum lalu duduk. “Niken, tugas apa yang diberikan Bu Tanti?” tanya Pak Yusril. “Meringkas bab 3 dan bab 4 dari buku paket, Pak.” jawab Niken. “Bagus. Sekarang kalian duduk manis dan meringkas. Saya akan duduk di sini, menonton kalian meringkas.” kata Pak Yusril sambil duduk di depan, di kursi guru. Anak-anak terlihat kecewa. Hilanglah harapan mereka untuk bersenang-senang selama 2 jam pelajaran. Seandainya saja bukan Pak Yusril, sedikit-banyak mereka pasti protes. Mereka sangat menghormati Pak Yusril. Bukan karena dia galak, melainkan justru karena Pak Yusril tidak pernah marah, tapi penuh wibawa. Jadi sekarang mereka terpaksa diam dan meringkas. “Niken, aku boleh ikut lihat buku diktatnya? Aku belum punya buku itu.” tanya Pandu. Niken berpikir sejenak, lalu menjawab, “Nih, pinjam saja. Aku sudah selesai meringkas. Kemarin malam aku nggak ada kerjaan, jadi aku sudah meringkas separuh. Pas anak-anak ramai tadi aku terusin meringkas yang separuhnya. Jadi kamu boleh pinjam, nih,” kata Niken
  • 3. meringkas yang separuhnya. Jadi kamu boleh pinjam, nih,” kata Niken sambil mendorongkan buku itu ke arah Pandu. Sebetulnya Niken belum selesai, kurang satu sub-bab lagi, tapi dia malas sharing satu buku dengan Pandu. Lagipula Pandu perlu mulai dari awal, sedangkan Niken sudah hampir selesai, tinggal halaman terakhir. “Terima kasih,” kata Pandu, lalu mulai menulis. Niken mengambil buku kecil dari tasnya, menyobek secarik kertas dari situ, lalu sibuk menulis pula. “Kamu lantas menulis apa?” bisik Pandu. Niken diam saja. Malas dia menjawab cowok yang satu ini. “Niken?” “Bukan urusanmu. Kamu meringkas saja, sana…” “Iiih… galaknya nona ketua kelas.” kata Pandu, lalu meneruskan ringkasannya. Diam-diam Pandu mencoba membaca yang Niken tulis. Cuma ingin tahu saja. Sekilas empat baris terbaca. Berat memikul dunia Malu menyandang nama Iblis bertopeng cinta Maut perangkap asmara Pandu tercenung. Pandu bisa melihat gadis yang satu ini sangat berbeda dari gadis kebanyakan. Sorot matanya tajam. Dia terlihat begitu cerdas dan dapat dipastikan dia penuh percaya diri. Ketua kelas pula. Makhluk hidup dari mana pula ini? Pandu bertekad untuk mengetahui lebih banyak tentang gadis misterius yang galak tapi teramat manis ini. Berkat kelincahannya dalam bermain basket, sebentar saja Pandu mendapat banyak teman. Cewek-cewek juga sering berlama-lama di dekat Pandu, maklum, Pandu memang ganteng dan gagah. Niken yang duduk di sebelahnya jadi enggan tinggal di kelas tiap jam istirahat. Karena tiap istirahat, mejanya pasti dikerumuni banyak cewek ceriwis dan centil. Niken lebih suka ngobrol dengan Wulan di kantin. Di pihak lain, Pandu sudah berhasil mendapatkan banyak informasi tentang Niken. Tidak sulit untuk memperoleh keterangan sebanyak mungkin, karena hampir semua orang mengenal Niken. Niken yang manis, Niken yang galak, Niken yang pandai dan selalu menjadi juara kelas. Keterlibatannya di organisasi sekolah juga sangat besar. Boleh dibilang, Niken adalah orang nomer satu se-angkatan. Selain cerdas,
  • 4. Niken rupanya juga pandai bergaul. Pergaulannya cukup luas. Pantas saja semua orang mengenalnya. Dari cowok yang berkacamata tebal yang selalu menyibukkan diri di laboratorium fisika, sampai cowok gondrong yang kerjaannya tiap hari hanya menenteng-nenteng gitarnya, mereka semua kenal Niken. Kesan yang didapat dari masing-masing pun sangat baik terhadap Niken. Teman ceweknya pun banyak, bahkan cewekcewek itu sengaja membuntuti dan meniru-niru Niken ke mana-mana. Singkat cerita, Niken itu benar-benar idola di kalangan murid-murid. Nilai sempurna diberikannya untuk Niken, karena disamping semua kelebihan di atas, sahabat Niken yang paling dekat, Wulan, adalah anak pembantu rumah tangga. Ini cukup menarik, mengingat Niken itu anak konglomerat. Papanya yang keturunan Cina, pemegang saham cukup tinggi di Pertamina, perusahaan minyak nasional di Indonesia. Selain itu, papanya adalah direktur dari bermacam-macam perusahaan besar di berbagai tempat di Jawa. Benar-benar gadis yang beruntung. Rumahnya megah, seperti Gedung Putih. Di kawasan elite pula. Menurut anak-anak yang sudah pernah ke rumahnya, rumah Niken itu seandainya nasi goreng, komplit pake telor. Ada fasilitas gym’nya, ada kolam renang, sauna, ruang karaoke, ruang bilyar, lapangan tenis, wah, pokoknya katanya segala ada deh. Meski sudah mengetahui banyak tentang Niken, tetap saja dia terlihat misterius. Misalnya, konon sampai sekarang ini Niken belum pernah pacaran. Ini sangat aneh, mengingat Pandu banyak mendengar pengakuan bisik-bisik dari teman-teman cowoknya, kalo mereka naksir Niken. Tak satupun dari mereka yang berhasil mengambil hatinya. Apa dia tidak doyan cowok? Rasanya koq tidak mungkin. Empat baris puisi yang sekilas dilihatnya senantiasa terbayang-bayang di ingatannya. Niken bicara tentang asmara di puisinya. Jadi dia pasti pernah jatuh cinta, Pandu menyimpulkan. Tapi dengan siapa? Di mana dia sekarang? Puisi itu sendiri begitu misterius, susah menyimpulkan begitu saja dari empat baris puisi itu. “Aku harus berhasil mendapatkan kertas kecil itu, itu satu-satunya cara untuk mengetahui lebih banyak tentang Niken.” * Sepi… Kau, mungkin telah membusuk
  • 5. Tapi tidak lebih busuk dari si busuk penyamun itu Suci cintamu Pedih deritamu Berat memikul dunia Malu menyandang nama Iblis bertopeng cinta Maut perangkap asmara Kau, tinggal kenangan Pahit kekecewaan Memberi seribu teladan Kau, mewangi sepanjang hari Mekar di dalam hati “Huh?! Tetap saja tidak mengerti.” keluh Pandu. Dia berhasil mencuri lihat buku mungil itu dari tas Niken. Dibacanya berulang kali. Tetap saja penuh misteri. Siapa yang dimaksud ‘penyamun’ itu? Siapa yang tinggal di hatinya? “Ah, benar-benar bikin penasaran cewek yang satu ini,” gumamnya, sambil meletakkan kertas itu di atas meja. Budi, teman sekelas, sekaligus teman main basketnya, menepuk pundaknya. “Hey, Ndu! Tumben kamu enggak dikerumuni cewek hari ini? Macam James Bond saja kamu.” “Tadi aku bilang sama mereka, aku belum buat pe-er. Jadi mereka menyingkir.” “Apaan nich?” tanya Budi mengambil kertas itu dari meja. “Eh… jangan…” cegah Pandu. Tapi terlambat. Secarik kertas itu sudah berada di tangan Budi. “Ini tulisan tangan si Niken, kan?” Budi mengenali tulisan Niken. Pandu diam saja. “Iya niiiih… Wah Niken bisa puitis juga, yach?” kata Budi sambil tertawa. Lalu membacanya keras-keras. Teman-teman yang lain tertarik, lalu mulai berkerumun di situ. Budi bak seorang penyair, berdiri atas meja Niken dan mulai membaca puisinya, berulang-ulang. Bel tanda istirahat selesai sudah berbunyi beberapa saat yang lalu, tapi anak-anak masih berkerumun di sekitar situ sambil tertawa-tawa melihat
  • 6. gaya Budi yang kocak. Niken yang hendak masuk kelas cuma bisa berdiri kaku di depan pintu. Malu sekali rasanya. Dengan mata geram ditatapnya Budi lekat-lekat. Yang lain berhenti tertawa, dan bubar jalan, menyadari Niken sudah berada di situ. Budi pelan-pelan turun dari atas meja, lalu mengembalikan kertas itu pada Pandu, sambil tersenyum, “Terima kasih, kamu benarbenar ahli bikin ketawa.” Niken tidak berkata apa-apa waktu duduk. Pandu tak sanggup menatap wajahnya. Dingin sekali tatapan matanya. Tapi dia merasa harus meminta maaf. Biar bagaimana kejadian tadi gara-gara dia. “Sorry, Niken. Aku nggak berniat…” “Sudah puas kamu sekarang?” serobot Niken. Percakapan mereka terhenti karena Bu Santi, guru matematika, sudah masuk ke kelas. Pandu sempat melihat setitik air mata di sudut mata Niken. Dia menyesal sekali. Niken, di lain pihak, cuma satu kata yang ada di otaknya sekarang. “Perang!” * Siang itu juga, setelah bel pulang sekolah berbunyi, Pandu berusaha menjelaskan apa yang terjadi. “Niken, aku serius tidak memberikan kertas itu pada Budi. Sumpah! Memang aku yang mengambil kertas itu dari tasmu, tapi itu cuma untuk memuaskan rasa ingin tahuku saja. Aku memang salah, aku seharusnya mencegah Budi membaca puisi itu. Maafin aku, ya?” kata Pandu tulus. “Kalau tujuanmu ingin mempermalukan aku, kenapa pakai menyewa Budi sebagai aktor? Kenapa nggak kamu lakukan sendiri?” jawab Niken sinis, sambil memberesi buku-bukunya dari laci. “Sudah kubilang, aku sama sekali nggak berniat mempermalukan kamu. Aku cuma ingin baca, terus aku kembalikan lagi. Budi datang pada saat yang salah.” “Jadi kamu menimpakan kesalahan padanya? Nol rasa tanggung jawabmu, ya? Bapakmu yang polisi pasti bangga.” Pandu menelan ludahnya. “Maafkan aku, Niken. Aku memang salah. Aku tapi sama sekali nggak bermaksud untuk bikin kamu malu. Sumpah! Lagipula, kenapa kamu mesti marah-marah begini, sih? Puisi kamu itu bagus sekali lho… Kenapa kamu mesti malu?”
  • 7. “Aku nggak butuh penilaianmu. Terserah aku dong mau marah atau bangga. Sekarang ini aku malu dan marah. Kamu mau apa?” “Ya sudah, ya sudah… Maaf dong…” Niken merengut. “Permisi, aku musti pulang sekarang.” katanya kemudian, karena Pandu masih duduk di sebelahnya, menghalangi jalan keluarnya. Pandu berdiri dan mempersilahkannya untuk lewat. Niken bergegas keluar menenteng tasnya. Pandu mengejarnya. “Sudah dimaafin belum nich aku?” teriaknya. Niken berlari menjauh, ke arah pintu gerbang luar. Malas meladeninya. Cowok sialan. Serasa ingin menangis kalo mengingat kejadian yang tadi. Benar-benar memalukan. Puisi tadi adalah ungkapan isi hatinya. Bagaimana dia tidak marah? Enak saja Pandu bilang kenapa mesti malu. Niken tidak pernah mengungkapkan emosinya pada orang-orang, jadi ini adalah pengalaman pertamanya. Ya gara-gara si mata jangkrik itu. “Suatu saat pasti aku balas!” janji Niken pada diri sendiri. Untuk melakukan aksi balas dendamnya, Niken harus menggali lebih dalam tentang cowok yang dibencinya itu. Agak susah, karena dia anak baru pindahan dari luar kota, tidak banyak orang yang mengenalnya dengan dekat. Berdasarkan keterangan yang diperolehnya dari anak-anak basket dan cewek-cewek yang sering mengerumuninya, Pandu yang orang Jawa asli itu tinggal di rumah kontrakan di daerah Manyaran. Jabatan ayahnya di Polri tidak begitu tinggi, jadi ibunya harus ikut menopang keluarga dengan membuka usaha jahit pakaian. Kakaknya empat orang, laki-laki semua. Tapi hanya Pandu yang masih tinggal bersama orang-tuanya. Hidupnya penuh kesederhanaan, tapi kelihatannya bahagia. Kemana-mana Pandu naik sepeda bututnya. Selain main basket, dia hobi main piano rupanya. Cuma itu keterangan yang berhasil didapatnya dalam waktu singkat. Kurang kuat untuk melancarkan aksi balas dendam. Niken harus mengetahui lebih banyak tentang pribadinya. After all, this is a personal war! Maka dari itu, Niken mengurungkan niatnya untuk pindah tempat duduk. Dengan duduk di sebelah Pandu, semakin mudah menyusun siasat untuk balas dendam, bukan? Tapi ke mana anak itu hari ini? Ini sudah jam tujuh kurang tiga menit. Bel pertama sudah bunyi dua menit yang lalu. 3 menit lagi pelajaran
  • 8. mulai. Pandu biasanya tidak pernah terlambat. Tuh, bel sudah berbunyi lagi. Kemana dia? Mata Niken jelalatan ke luar kelas mencari sesosok Pandu. Bu Tanti sudah masuk kelas, langsung memperingatkan murid-murid untuk menyusun buku catatannya, karena ringkasan mereka akan diperiksa. Beberapa anak panik mencari buku catatannya di dalam tas dan di laci. Beberapa lemas karena belum selesai meringkas. Yang nekad langsung antri lapor tidak membawa buku. Niken tenang-tenang saja. Ringkasannya sudah selesai dua hari yang lalu. Malah dia sudah mulai meringkas bab berikutnya. Niken melongok ke arah luar jendela. Itu dia si mata jangkrik! Dia dihukum lari keliling lapangan tengah karena terlambat. “Hihi.. sukurin.” “Maaf Bu, saya terlambat.” kata Pandu saat masuk kelas. “Kamu anak baru, ya?” “Betul, Bu. Saya Pandu.” “Baiklah, Pandu. Silahkan duduk. Kamu sudah selesai meringkas? Bawa kemari buku catatanmu.” “Sudah, Bu.” Pandu lalu mencari-cari buku catatan biologi dari tas kumalnya, lalu diletakkan di atas tumpukan buku di meja guru. “Kenapa kamu terlambat?” tanya Niken, iseng. “Bukan urusanmu.” jawab Pandu singkat. “Iiih… galaknya. Ya sudah. Aku kan tanya baik-baik.” “Aku musti mengantar ibu beli kain di pasar. Biasanya juga begitu sih, tapi tadi sial, ban sepedaku kena paku di tengah jalan dari rumah kemari. Makanya lama. Kamu tumben tanya-tanya?” Pandu heran. Selama ini Niken jarang buka mulut. Paling-paling cuma bilang permisi kalau mau lewat. “Nggak boleh tanya-tanya?” “Boleh, tapi nanti yah. Soalnya Bu Tanti meperhatikan kamu terus tuh.” bisik Pandu menunjuk ke arah depan. Oh, baik juga dia, memperingatkan dia sebelum Bu Tanti menyemprotnya. Juga mengantar ibunya ke pasar sampai rela terlambat. Tapi itu tak cukup untuk mengurangi rasa bencinya. “Jadi, kamu setiap hari mengantar ibumu ke pasar?” tanya Niken penuh selidik. Ini jam istirahat, jadi dia bebas bertanya sekarang.
  • 9. “Nggak. Cuma kalo ibu dapet orderan aja.” “Pagi, Niken,” Jimmy mengagetkannya dari jendela. “Nih aku beliin sate telor dari kantin buat kamu,” “Aku nggak lapar.” jawab Niken singkat. “Aku punya aqua juga.” tawar Jimmy sambil mengacungkan segelas aqua. “Enggak haus.” Merasa kehadirannya tidak diinginkan, Jimmy pun berlalu. “Jimmy itu anak 2A kan?” tanya Pandu hati-hati, takut kalau macan betina ini mengaum lagi seperti hari itu. “He eh.” “Kamu koq ketus amat sama dia?” “Aku nggak akan ketus sama dia kalau dia tidak berniat mau pacarin aku. Dia terang-terangan bilang suka sama aku seminggu yang lalu.” “Kenapa? Nggak suka sama dia?” “Aku nggak ada niat untuk pacaran. Aku nggak punya waktu buat semua itu.” “Trus, kenapa kamu mesti ketus sama dia?” Pandu masih tidak mengerti. “Karena dia tidak mau menyerah. Kalau aku bersikap baik-baik sama dia, nanti aku dikiranya memberi angin. Blo’on bener sih kamu?” “Oooh… Kamu nggak boleh atau nggak ingin pacaran?” “Nggak boleh?? Maksudmu?” “Nggak boleh sama ortu,… biasanya anak cewek kan nggak boleh pacaran sama ortunya.” “Itu juga sih. Tapi aku memang sama sekali nggak ada keinginan untuk pacaran. Apalagi sama Jimmy.” “Apa sih jeleknya Jimmy?” pancing Pandu. ”Okay, Pandu. Kamu benar-benar usil deh. Rasa ingin tahumu itu benar-benar segede gajah.” Pandu ketawa. “Baiklah. Aku nggak akan tanya-tanya lagi tentang Jimmy.” lanjutnya. Pandu membesarkan hatinya, “Pelan-pelan aku pasti bisa mengerti. Sabar…” Niken gantian bertanya, “Ganti topik. Yang agak asyik sedikit. Mmmm… Siapa tokoh idolamu?” “Wah, pertanyaanmu seperti pertanyaan buat finalis kontestan Miss World
  • 10. deh.” Pandu ketawa lagi. “Okay, biasanya kalo aku bilang nama tokoh idolaku, orang-orang pasti bilang ‘Siapa?’, jadi aku bilang Ibu Teresa saja.” “Jadi siapa sebenarnya tokoh idolamu itu? Pamela Lee Anderson?” goda Niken. “Kamu bisa becanda juga ternyata.” Pandu terheran-heran. Niken tersenyum. “Oh, ternyata dia manis sekali kalau tersenyum.” batin Pandu. “Siapa dong?” desak Niken lagi. “Sun Tzu”. “Siapa?” kata Niken, bercanda. Tentu saja dia tau siapa Sun Tzu, karena Sun Tzu juga salah satu idolanya. “Tuh kan…” kata Pandu lagi. “Sun Tzu Wu, jendral Cina yang mengarang Ping Fa, seni siasat perang Cina itu? Atau kamu kenal Sun Tzu yang laen?” tanya Niken iseng. “Jadi kamu tahu Sun Tzu?” Pandu terheran-heran. “Kamu heran? Aku yang seharusnya lebih heran. Kamu koq bisa kenal Sun Tzu? Satu, tampang kamu enggak ada Chinesenya sama sekali. Nggak sipit seperti aku. Rasanya lebih wajar kalo aku lebih tahu tentang Sun Tzu daripada kamu.” jawab Niken geli. “Tidak ada orang yang tahu tentang pribadi Sun Tzu, karena dia sangat misterius. Seperti yang dilukiskan dalam kutipan yang terkenal dari bukunya, ‘Bergeraklah samar sehingga kau tak kasat mata. Selimuti dirimu dengan misteri sehingga kau tak tersentuh…’” Pandu belum sempat menyelesaikan kutipannya, Niken sudah menyeletuk. “Maka digenggamanmulah nasib lawan-lawanmu.” “Kamu?!…” Pandu terperanjat. “Jadi kamu bener-bener tau Sun Tzu?” “Eeeh… dibilangin… Aku juga lagi heran tentang hal yang sama. Aku sih punya bukunya, ‘The art of war’, dalam bahasa Inggris. Sudah aku lalap habis. Dari mana kamu tahu tentang dia?” “Aku nggak sengaja pinjam bukunya di perpustakaan waktu masih SMP. Buku itu benar-benar bagus. Aku baca terjemahannya dalam bahasa Indonesia, sih. Judulnya Falsafah Perang Sun Tzu. Karena bagus sekali sampai aku fotocopy lho…” Pandu mengaku. “Kalau kamu memang suka, besok aku bisa bawakan bukuku. Kamu boleh pinjam kalu mau. Asal kamu nggak keberatan baca buku berbahasa
  • 11. Inggris.” “Wah, terima kasih sekali, Niken. Baru kali ini ada orang yang bisa menanggapi omonganku tentang Sun Tzu.” “Sama, aku sendiri sengaja nggak pernah bilang-bilang kalo suka Sun Tzu, takut dikira licik, padahal memang iya!” jawab Niken tergelak-gelak. Pandu melihat kilau indah di mata Niken saat Niken tertawa. Gadis ini benar-benar mempesonanya. Nilai plus lagi untuk pengetahuannya tentang Sun Tzu. Kalau dihitung-hitung, berapa nilai Niken sekarang ya? Dalam skala satu sampai sepuluh, mungkin sudah sebelas nilainya. “Kamu sendiri, selain Sun Tzu, siapa tokoh idolamu?” gantian Pandu yang tanya. “Ya Sun Tzu itu doang.” jawab Niken, seperti menutup-nutupi sesuatu. Pandu mendesak, “Ayo dong, aku sudah jujur sama kamu tadi. Gantian dong…” Niken menggeleng. Untung saja bel segera berbunyi. Pak Heri, guru bahasa Indonesia, sudah berdiri di depan pintu. Pandu buru-buru menyobek kertas dari buku tulisnya, “Dilanjutin nanti pulang sekolah yah!” Niken merebut kertas itu dari tangan Pandu, lalu menulis, “Nggak ada yang perlu dilanjutin.” Pandu mengambil kertas itu kembali ke tangannya, “Please, tinggal sebentar siang ini di kelas.” Belum sempat Niken mengambil kertas itu kembali, tiba-tiba kertas itu sudah diserobot seseorang dari belakang. dari belakang. Keduanya terperanjat. Pak Heri! Guru yang terkenal killer itu membaca yang baru saja ditulis Niken dan Pandu. “Kalian berdua, nanti pulang sekolah tinggal di kelas selama satu jam.” kata Pak Heri, sambil membuang kertas itu ke tempat sampah. Jam dua siang. Bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Pak Heri sudah menunggu di depan pintu kelas 2C. “Pak, maafkan kami.” kata Pandu memelas. “Kamu kan yang ingin bercakap-cakap? Sekarang saya berikan kesempatan sepuas-puasnya, satu jam. Silahkan. Pintu saya tutup. Satu jam dari sekarang, cari saya di ruang guru. Awas kalo berani keluar sebelum satu jam.” jawab Pak Heri sambil menutup pintu. “Sial!” gerutu Niken dalam hati, sambil menghentakkan kakinya ke lantai.
  • 12. “Kamu! Selalu saja cari gara-gara.” tuduh Niken sambil menudingkan jarinya ke arah Pandu. “Hey, jangan bilang begitu. Kita cuma sedang bernasib jelek. Sekarang kita enjoy saja.” “Enjoy bagaimana? Aku baru kali ini dihukum guru. Ini gara-gara kamu.” Niken menggerutu. “Jadi kamu murid alim ya? Ketua kelas, panutan semua orang? Kelihatannya kamu begitu sempurna.” jawab Pandu dengan nada sinis. Niken diam saja. Dia masih jengkel. Dia ada les bahasa Inggris jam setengah 3 siang ini. “Kamu lagi mikir apa?” tanya Pandu. “Aku ada les jam setengah 3. Sekarang aku harus kelaparan sampai jam setengah 4 karena aku mesti les dari jam setengah 3 sampe jam setengah 4. Sudah terlambat les, masih nggak sempat makan dulu. Aku benci kamu.” “Ya sudah… ya sudah… Aku yang salah. Oke? Sekarang pertanyaanku dijawab dong… Siapa tokoh idolamu?” “Sudah kubilang, Sun Tzu. Seandainya saja kamu tadi percaya, ini semua nggak akan terjadi.” Niken menggerutu lagi. “Sayang sekali aku bukan orang yang mudah ditipu. Kamu bisa menipu semua orang, tapi kamu nggak bisa nipu aku.” “Omong kosong apa lagi nich?” “Baiklah kalo kamu memang nggak mau jawab. Aku tanya yang laen. Kamu bilang kamu nggak mau pacaran, tapi kamu menyebut-nyebut tentang asmara di puisi kamu. Apa maksudmu? Berarti kamu pernah jatuh cinta dong?” “Sok tau kamu. Sekadar informasi, orang tidak perlu mengalami untuk menyelami perasaan. Belajar dari pengalaman orang lain itu terkadang lebih baik daripada harus mengalami sendiri.” “Jadi bukan kamu yang jatuh di perangkap cinta?” tanya Pandu, masih penasaran. “Bukan.” “Lalu siapa dong?” “Aku nggak suka kamu tanya-tanya melulu. Aku nggak akan jawab.” kata Niken ketus. “Jadi ini yang kamu dapat setelah baca falsafah perang Sun Tzu? Sok
  • 13. misterius.” sindir Pandu. Niken diam saja. Dia seperti ingin berpegang teguh pada prinsipnya, untuk tidak membuka dirinya, terutama pada orang asing. Berlama-lama mereka mengacuhkan satu sama lain. Pandu sendiri sudah tidak bersemangat lagi untuk mengorek keterangan lebih lanjut. Gadis yang satu ini benar-benar susah dimengerti. Lama sekali menunggu satu jam usai. Ini bahkan baru lewat sepuluh menit. Pandu mengambil walkman dari tasnya, lalu mulai memutar kasetnya sambil manggut-manggut. “Lagu apa sih?” tanya Niken, memecah kesunyian. Pandu tidak mendengarnya, karena volume walkmannya yang keras. Niken lalu menyenggol kakinya. Pandu melepas salah satu ear piece-nya. “Ada apa lagi?” tanya Pandu. “Lagu apa?” “Ini? Kamu gak bakal suka lah. Ini Metallica, Enter Sandman” kata Pandu. “Aku boleh ikut dengerin?” tanya Niken. Heran, tapi dengan sopan Pandu memberikan ear piece yang dipegangnya ke Niken. Niken ikut menyanyi… Something’s wrong, shut the light Heavy thoughts tonight and they aren’t of snow white Dreams of war, dreams of liars, dreams of dragon’s fire And of things that will bite Sleep with one eye open, gripping your pillow tight… “Heh? Kamu tahu juga lagu ini?” Pandu tak percaya. Setiap tingkah gadis ini benar-benar membuat dia surprise. Niken pura-pura tak mendengar yang barusan Pandu bilang. Dia asyik dengan lagunya. “Hey? Kamu suka Metallica juga?” tanya Pandu lagi, kali ini lebih keras, memastikan Niken mendengarnya. “Kamu akhir-akhir ini sering tanya-tanya ke orang-orang tentang aku kan? Masa’ belum dengar kalo aku itu satu-satunya cewek anggota rock band kampus? Kita sering manggung di acara-acara radio.” Pandu meringis. “Ketahuan deh. Darimana Niken bisa tahu kalau Pandu belakangan ini menyelediki latar belakangnya? Pasti Wulan yang melapor
  • 14. saat Pandu tanya-tanya tentang Niken beberapa waktu yang lalu.” kutuknya dalam hati. “Nggak tuh. Nggak ada yang bilang. Kamu anggota rock band?” Pandu semakin tak percaya. Apa sih yang tidak disukai gadis ini? Niken mengangguk. Dari tadi dia memang sudah mengangguk-angguk mengikuti irama lagu rock itu. “Aku boleh ikut main band?” tanya Pandu. “Aku bisa main key board, kalau kalian masih butuh pemain. Tapi aku nggak punya key board. Aku cuma punya piano usang di rumah.” “Eh, kebetulan kita memang sedang seleksi anggota baru, karena sebagian anggota band sudah kelas tiga, mereka ingin lebih banyak konsentrasi ke pelajaran. Termasuk Ronny, pemain keyboard kita. Kalo kamu emang suka musik rock, kamu boleh ikut seleksi” kata Niken menawarkan dengan gaya profesionalnya. “Kapan seleksinya?” “Rencananya sih minggu depan, hari Selasa abis pulang sekolah.” “Aku pasti datang. Kamu pegang instrumen apa sih?” tanya Pandu. Kali ini dia sudah siap mental dengan apapun jawaban Niken. Dia tak bakal kaget kalau jawabannya ‘bass gitar’ sekalipun. “Drummer. Merangkap backing vocal dan kadang-kadang solo. Tergantung lagunya.” Tuh, kan, benar… harus siap mental. Niken bisa nge-drum juga! “Kamu bisa main musik? Maksudku selain drum.” tanya Pandu lagi. Mengorek keterangan lebih lanjut tak ada salahnya, kan? “Aku bisa main piano, gitar, harmonica, saxophone, trompet.” Nah lho… bisa mati terkejut kalau nggak siap mental. “Wah, Nik, jadi kamu bisa main band seorangan dong? Kamu bisa main bass gitar, melodi gitar, ngedrum, main keyboard, dan vocalist. Bikin soloband saja, lah.” goda Pandu. “Hey, baru kali ini kamu panggil aku Nik.” kata Niken. “Cuma Wulan yang panggil aku Nik.” “Mama papa kamu manggil apa?” Niken diam sejenak, lalu menjawab, “Niken, dong.” “Bohong. Kamu kenapa sih mesti bohong sama aku?” tanya Pandu. Dia ahli mencium kebohongan, rupanya. “Aku dipanggil Fei Fei di rumah.” Niken mengaku.
  • 15. Pandu tersenyum. Puas dia bisa mengetahui sedikit rahasia Niken. “Koq Fei Fei?” tanya Pandu. “Namaku Niken Tjakrawibawa. Alias Tjan Siang Fei. Awas kamu kalo sampe ada yang tahu tentang ini. Aku harus bunuh kamu.” “Tenang aja. Swear. Aku boleh panggil kamu Fei dong?” tanya Pandu nakal. “Nggak. Yang lain bakal curiga dong.” “Baiklah, kalau sendirian, aku boleh panggil Fei?” tawar Pandu. Setelah berpikir sebentar, Niken mengangguk. “Kamu sendiri? Kamu waktu itu bilang serumah namanya Pandu semua. Nggak kreatif yah ayahmu?” “Bukan begitu. Emang sudah turun-temurun begitu. Ayahku juga Pandu. Kakekku pun juga Pandu. Pandu laen-laen. Aku Pandu Prasetya. Mereka kalo di rumah panggil aku Pras. Tapi di luaran namaku Pandu. Kakakkakakku juga begitu semua.” “Oh… Enak dong punya kakak cowok semua.” kata Niken, mengambang. “Kata ‘enak’ rasanya terlalu rendah untuk menggambarkan betapa enaknya. Kita kompak, lima bersaudara. Ngirit, juga. Bajuku ya hampir semua baju lungsuran kakak-kakakku. Aku nggak keberatan. Masih bagus-bagus, koq. Tapi mereka di luar kota semua sekarang. Tiga di Yogya, sudah menikah. Satu masih kuliah di Jakarta. Kamu sendiri, punya saudara? Sori, aku belum sempat mendapat keterangan tentang kakak atau adikmu. Researchku belum selesai.” kata Pandu tersenyum. “Aku punya seorang kakak perempuan. Dulu… Sekarang sudah meninggal.” kata Niken menerawang. “Oh… sori… aku tidak bermaksud…” “Nggak papa… Wajar kalo kamu tanya koq.” Mereka terdiam sesaat. Tak tahu harus berkata apa. “Kenapa kakakmu meninggal? Kecelakaan?” tanya Pandu. Dia benarbenar cocok jadi detektif. Pertanyaannya mendetail. Niken diam saja. Mendadak kepalanya jadi pusing, ia lalu memijitmijit pelipisnya. “Pusing?” tanya Pandu. “Iya.” jawab Niken singkat. “Kamu pasti lapar. Sorry yah gara-gara aku, kamu ikut dihukum Pak Heri.”
  • 16. kata Pandu penuh penyesalan. “Nggak papa. Kamu juga belum makan. Sama kan? Jadi kamu nggak layak mengasihani aku. Soal kakakku…” “Sudahlah,” cegah Pandu. “Nanti kamu tambah pusing.” “Dia meninggal bunuh diri.” lanjut Niken. Pandu terdiam. Sekarang ada titik terang. Berarti puisi Niken itu… Seolah tahu yang dipikirkan Pandu, Niken melanjutkan, “Puisiku, itu tentang cici ku. Dia meninggal tiga tahun yang lalu, saat aku masih kelas 2 SMP. Dia masih kelas 2 SMA waktu itu, seumur aku sekarang. Dia pacaran sama anak pejabat. Sombong sekali tu anak. Aku benci sama dia. Aku masih ingat, hari-hari terakhir sebelum kakak meninggal, dia menangis terus di kamar. Tiap aku dekati selalu marah-marah. Baru setelah dia meninggal aku baru tahu, ternyata dia hamil, dan cowok bangsat itu tidak mau mengakui perbuatannya. Sejak itu aku berjanji tidak akan jatuh cinta, nggak akan pacaran. Papa malah punya ide bagus. Dia bilang, kalau sudah saatnya aku menikah nanti, dia akan mencarikan jodoh untukku. Aku setuju saja. Itu lebih baik daripada pacaran.” Kali ini Pandu betul-betul terperanjat. Benar-benar kaget. Ear piece yang di telinga kirinya dilepas. Walkmannya dimatiin. Ini kasus berat, pikirnya. “Kamu tau, nggak semua cowok itu jahat.” Tidak ada yang bisa dia bilang kecuali itu. “Aku nggak percaya itu. Kak Tasya bukan cewek yang nakal. Jadi dia pasti benar-benar jatuh cinta, sampai seperti itu. Aku nggak mau jadi seperti dia. Karena itu aku menghindar setiap ada cowok yang suka sama aku. Jimmy misalnya. Untunglah aku sendiri juga bukan orang yang mudah jatuh cinta. Jadi aku nggak tersiksa, sama sekali.” “Oke lah kalo kamu memang bahagia seperti ini. Aku sendiri nggak bisa memberikan pendapat tentang cinta. Semua kakak-kakakku menikah atas dasar cinta. Aku sih ingin seperti mereka. Tapi aku sendiri belum pernah jatuh cinta. Belum pernah pacaran. Jadi aku nggak bisa memberikan nasehat.” kata Pandu jujur. “Kamu belum pernah pacaran?!” tanya Niken tidak percaya. “Kenapa? Apa susah dipercaya?” “Tentu saja. Kamu tau berapa biji cewek yang nempel kamu kayak perangko? Lebih dari sepuluh. Itu yang jelas-jelas nekad. Yang nggak
  • 17. nekad tapi menyimpan hasrat pun banyak. Aku yakin di Yogya kamu pasti juga punya banyak penggemar.” “Ya memang tuh. Nggak tau kenapa bisa begitu. Kata Ibu itu kutukan.” kata Pandu sambil ketawa lepas. “Kakak-kakakku juga mengalami kutukan yang sama. Tapi Ibu selalu wanti-wanti, cinta itu nggak boleh dibuat mainan. Kamu harus bener-bener yakin, baru boleh pacaran. Berhubung aku belum pernah merasa cocok sama satupun dari mereka, yah, aku nggak pernah pacaran.” Niken manggut-manggut. “Ada kutukan lain di keluarga Pandu. Masing-masing kakakku punya cita-cita menikah dengan wanita kaya, untuk mengangkat derajat keluarga. Nggak serius tentu, itu muncul kalo pas lagi waktu bercandaan aja. Ibu yang mewejangi untuk menomersatukan cinta, diatas segalanya. Kekayaan itu tidak menjamin kebahagiaan. Walhasil, kakak-kakakku yang sudah menikah ya menikah dengan gadis biasa-biasa saja. Walaupun mereka dikelilingi gadis-gadis cantik waktu bujangan, gadis yang dinikahi pada akhirnya nggak terlalu cantik. Tapi kakak-kakak iparku itu luar biasa baek dan sabar.” “Jadi seperti apa sih cewek yang kamu idam-idamkan?” “Yang seperti ibuku. Sederhana, sabar, bijaksana… ngg… nggak tau ah, Fei! Nanti kalo aku udah nemu pasti aku kasih tahu.” kata Pandu malu. “Aku sih nggak punya tipe cowok idaman. Rasanya itu bakal ditentuin Papa.” kata Niken. “Aku masih nggak percaya cewek mandiri dan terpelajar seperti kamu masih percaya perjodohan.” sahut Pandu terlihat kecewa. “Tapi aku hargai pendirianmu. Aku ingin berteman denganmu, kalau boleh.” “Kita cocok omong-omongan. Aku merasa klop terutama setelah ngomongin Sun Tzu tadi.” kata Niken tersenyum. “Tapi… terus terang saja aku masih dendam sama kamu karena kejadian puisiku waktu itu.” lanjutnya. “Aku udah minta maaf. Kamu mau apa lagi?” Niken berpikir keras. Lalu tersenyum licik. Niken membisikkan sesuatu ke telinga Pandu. Pandu menggeleng-gelengkan kepalanya. Niken mengangguk-angguk. Pandu menggeleng-gelengkan kepalanya lagi tanda tidak setuju.
  • 18. “Ayolah,” kata Niken. “Kamu harus buktikan kalo kamu memang serius dan tulus ingin berteman denganku. Nggak mudah mendapat kepercayaan dariku.” “Baiklah, kalau itu memang harga yang harus aku tebus. Tapi kita berteman mulai saat ini? Tak ada lagi dendam?” tanya Pandu akhirnya. “Janji.” sahut Niken mantap. Pagi itu, Niken spesial angkut-angkut podium dan microphone ke lapangan tengah. Anak-anak sound system diam saja. Niken kalau sudah ada maunya memang nggak ada yang bisa mencegah. Semua anak berkumpul di lapangan tengah, sambil bertanya-tanya satu sama lain, apa hari ini ada upacara mendadak. Ada apa pula ini? Termasuk guru-guru tidak ada yang tahu. Mereka semua berkumpul di lapangan, seperti prajurit menunggu komando dari jendral. Tiba-tiba Pandu muncul dari kerumunan, menuju ke arah podium. “Test, test… 1, 2, 3.” katanya sambil mengetuk-ngetuk microphone di hadapannya. “Guru-guru dan rekan-rekan sekalian,” lanjutnya, “Yang belum kenal saya, nama saya Pandu Prasetya, dari kelas 2C. Saya ingin membacakan sesuatu yang penting. Buat yang merasa, yah dihayati saja.” Yayangku,… Paras wajahmu, gerak-gerikmu, selalu terbayang di mataku. Kamu membuat aku gelisah tiap malam, tidak bisa tidur. Aku jadi nggak doyan makan gara-gara mikirin kamu. Yayangku yang manis, aku cinta kamu. Aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu. Aku nggak tau mesti gimana kalo aku nggak lihat wajahmu barang sehari saja. Kau begitu lincah, senyummu begitu menggoda. Suaramu, indah bagaikan tiupan angin malam. Akan aku lakukan apa saja untuk mendapatkan cintamu. Jangan buat aku patah hati. Terimalah segala rasa cintaku. Yang sangat mencintaimu, selamanya. Pandu. Semua tertawa. Terutama anak-anak cowok. Sinting benar ini anak menyatakan cinta di depan umum, tak tahu malu. Walaupun ketawa-ketiwi, harus diakui, gadis-gadis yang berkumpul di situ, termasuk guru-guru
  • 19. wanita, sangat mengharapkan surat itu ditujukan untuk salah satu diantara mereka. Niken ketawa di ujung koridor. Cuma dia yang tahu bahwa surat itu sesungguhnya ditujukan untuk anjing mungil Pandu yang memang bernama Yayang. Walaupun malu setengah mati, Pandu merasa lega. Hari ini dia sudah berdamai dengan gadis yang bakal jadi teman sejatinya. Dia yakin itu. Berminggu-minggu Pandu mendapat ledekan dari teman-temannya gara-gara proklamasi cintanya itu. Cewek-cewekpun banyak yang nggodain, bertanya-tanya, apakah surat itu ditujukan untuk mereka. Niken puas sekali dengan aksi balas dendamnya. Beberapa gadis jadi mundur teratur, merasa Pandu sudah memilih salah seorang dari mereka. Namun beberapa justru tambah getol mendekati Pandu, termasuk Ratna, cewek cantik dari kelas 1D. Banyak cowok yang mengejarnya, tapi kelihatannya Ratna lebih memilih untuk mendapatkan Pandu. Banyak yang meramalkan, pasangan Pandu-Ratna kalau benar-benar jadi bakal bikin sensasi. Cowoknya cakep, ceweknya cantik kayak bidadari. ‘Princess’, demikian julukan yang diberikan oleh teman-temannya. Sementara itu, nama besar Pandu jadi semakin melejit – walaupun melejitnya diawali dengan tragedi proklamasi cinta, tapi semakin menjadijadi setelah Pandu lolos seleksi menjadi anggota band di mana Niken juga bergabung. Penggemarnya jadi bertambah banyak. Termasuk cewek-cewek dari SMA-SMA lain, karena band mereka sering manggung di acara-acara yang diselenggarakan oleh stasiun radio. Seperti hari ini, mereka manggung di pelataran Universitas Diponegoro, sebagai bagian dari acara unjuk band yang diadakan oleh Boss FM. Mereka melakukan tour band ini karena hobi dan untuk cari pengalaman saja. Mumpung masih muda ini. Tinggal satu jam lagi sebelum mereka manggung. Aneh, Niken belum datang. Anak-anak pada gelisah. Mereka tidak bisa tampil tanpa drummer. Apalagi hari ini Niken bakal jadi vocalist utama di salah satu lagu mereka. Hendro, yang pegang melodi gitar, sekaligus penanggung jawab band, berusaha mengontak Niken ke nomer rumahnya, tapi dijawab tidak ada di rumah. Kemana pula anak satu ini? Mendengar Hendro ribut-ribut mencari Niken, Pandu diam-diam menghilang. Lho? Dia berusaha mencari telepon umum. Dia tahu nomer telepon yang ada di kamar Niken. Niken yang kasih. Tapi dia sudah
  • 20. telepon yang ada di kamar Niken. Niken yang kasih. Tapi dia sudah disumpah untuk tidak memberitahukan nomer itu ke siapapun. Cuma Wulan dan Pandu yang tahu. “Fei?” “Pandu, aku sudah tunggu-tunggu telfon kamu dari tadi. Aku nggak bisa keluar. Mama curiga kalau aku mau pergi main band. Aku sudah dilarang dari dulu-dulu, tapi tetep aja nekad. Mama tahu dari Jimmy, sialan bener tu anak pake acara lapor-lapor ke mama segala. Kunci mobilku disita, ada di kamar mama nih. Kamu bisa jemput aku?” Niken sepertinya lega sekali mendengar Pandu meneleponnya. “Jemput kamu? Jemput pake apa?” Pandu bingung. “Kamu kan punya sepeda. Tolong dong, aku nggak enak sama yang laen. Aku kepengen banget manggung hari ini.” desak Niken. “Gimana caranya kamu keluar?” “Ngg… aku bisa keluar lewat jendela. Tepat seperempat jam lagi, aku tunggu kamu di ujung jalan Merdeka, tau kan? Yang ada warung baksonya? Aku bakal ada di sekitar situ. Makanya kamu cepetan jalan sekarang.” “Oke deh. Kamu hati-hati yah…” Jantung Niken berdebar keras. Belum pernah dia mau melarikan diri dari rumah seperti ini. Pelan-pelan dibukanya jendela kamarnya yang menuju ke arah luar. Dengan berhati-hati, kakinya satu per satu keluar dari jendela. “Huh,” gerutunya. “Mau main band saja susah amat!” Dia tidak bisa keluar lewat pintu gerbang, karena satpam selalu jaga di pintu depan, dia bakal ketahuan, dong. Niken harus melompat pagar samping. “Tinggi juga, oi…” katanya dalam hati. Setelah berdoa singkat komatkamit, Niken mulai memanjat pagar yang tingginya dua kali lipat tingi badannya itu. “Sukses!” serunya dalam hati waktu melompat di atas kedua kakinya di tanah lagi. Lari, Niken! Lari! Belum sampai di ujung jalan, Niken sudah bisa melihat Pandu duduk di atas sepedanya. Lega sekali dia melihat Pandu hari ini. Pandu mengayuh sepedanya ke arah Niken. Niken langsung melompat ke atas boncengannya waktu Pandu mendekat. “Kita nggak punya banyak waktu. Ayo.” ajak Niken. “Kamu nggak pernah bilang kalo kamu nggak diijinin nge-band sama
  • 21. “Kamu nggak pernah bilang kalo kamu nggak diijinin nge-band sama ortu kamu?” tanya Pandu heran. “Wah, dari awal aku memang nggak bilang kalo aku ikut nge-band. Mereka bisa bunuh diri kalo tau aku sudah setahun nge-band.” jawab Niken, masih terengah-engah. “Lantas, kenapa kamu nekad?” “Entahlah. Mungkin karena kutukan. Boleh dibilang aku sebenarnya tipe pemberontak. Aku benar-benar bisa enjoy dan lepas saat main band. Nggak salah, kan? Nggak ngerti deh, kenapa mereka larang-larang aku begitu. Aku tahu mana yang benar, mana yang salah. Menurutku, main band bukan hal yang jelek. Makanya aku tetap lakukan walaupun tahu mereka bakal marah besar.” “Kamu kelihatannya diproteksi ketat sama mama-papa kamu ya?” “Ya. Tapi sebenarnya papa-mama nggak ada di rumah tadi. Tapi rumah dijaga ketat. Persis seperti penjara. Mama pergi sama temannya, nggak tau ke mana, setengah jam yang lalu dia berangkat. Papa sih memang selalu pergi ke luar kota, ngurus bisnis.” “Kamu tau kan kalo kamu boleh telfon aku kapan aja kalo kamu kesepian?” tanya Pandu memastikan. “Tahu, tahu… Cepetan ah, jangan sama ngobrol melulu. Nggak sampaisampai nanti.” “Kalo gitu, pegangan yang erat. Aku mau ngebut.” kata Pandu seraya mengayuh sepedanya lebih kencang. Niken pegangan di besi boncengan sepeda Pandu. Tapi tetap berasa mau jatuh. Saat benar-benar mau jatuh, Niken meraih pinggang Pandu, dan memegangnya erat-erat. Pandu yang duduk di sadel cuma senyum-senyum saja. “Belum pernah bonceng sepeda yah?” tanya Pandu geli. “Belum. Aku bisa naik sepeda, tapi belum pernah bonceng. Apalagi bonceng orang usil seperti kamu.” “Aku sudah bilang tadi, pegangan yang erat. Kamu malah nggak pegangan koq. Salah sendiri.” “Aku nggak tahu kalau maksud kamu pegangan itu pegangan pinggang kamu.” bela Niken. “Mau pegang apa lagi selain pinggangku?” tanya Pandu tambah geli. Niken diam saja. Dia sudah cukup malu dengan memegang pinggang Pandu. Tapi dengan begitu dia merasa nyaman sekarang, tidak
  • 22. pinggang Pandu. Tapi dengan begitu dia merasa nyaman sekarang, tidak berasa mau jatuh lagi. “Kamu udah sering boncengin cewek yah?” tanya Niken penuh selidik. “Sering sekali.” kata Pandu ketawa. “Siapa aja?” tanya Niken. “Ibuku.” Niken bermaksud menjitak kepala Pandu, kalau saja ia tak berasa mau jatuh lagi karena lepas satu tangan dari pinggang Pandu. Buru-buru didekapnya lagi pinggang Pandu erat-erat. “Sialan kamu Pandu!” teriaknya. * Acara band tadi berlangsung dengan sukses. Mbak Merlina, salah satu penyiar radio Boss FM yang sudah lama Niken kenal yang bilang. Hari ini mereka luber pengunjung, band yang bersedia tampil juga banyak. Tiga jam mendengarkan musik rock benar-benar memuaskan hati. Sekarang ini masalah yang ada buat Niken tinggal bagaimana caranya pulang. Pasti orang rumah sudah pada menyadari bahwa Niken raib dari rumah. Mereka pasti juga sudah lapor ke Mama. Bukan tidak mungkin mama sekarang ada di kamarnya, menunggunya pulang dengan penuh amarah. “Nik, apa kamu bakal nggak nge-band lagi setelah ini?” tanya Pandu. “Nggak dong. Aku cuma harus ekstra hati-hati mulai dari sekarang. Masalahnya sekarang aku harus pulang.” “Aku nggak masalah mengantar kamu pulang, Niken” kata Pandu menjelaskan. “Tapi kamu mesti siap mental dimarahin. Walaupun seharusnya kamu sudah siap mental dari waktu minggat tadi.” “Iya. Kayaknya nggak ada jalan lain.” kata Niken masih berusaha berpikir keras. “Aku punya akal!” kata Niken tiba-tiba. “Antarkan aku pulang.” katanya seraya memegangi boncengan sepeda Pandu, siap-siap untuk naik. “Baiklah,” kata Pandu. “Apa rencanamu?” katanya sambil mulai mengayuh sepedanya. “Mereka nggak mungkin mencari di seluruh pelosok rumah. Aku akan ke rumah tetangga sebelah, aku kenal baik sama mereka. Mereka baik sekali. Dari tetangga sebelah, aku bisa panjat ke atap rumahku. Dari atap, aku bisa turun lewat tangga belakang. Kalau ditanya dari mana, aku jawab, dari atap. Merenung, cari inspirasi buat bikin puisi. Mereka pasti percaya, deh.”
  • 23. percaya, deh.” “Kamu memang gila, Fei!” “Niken, ini buku catatan sejarahmu yang aku pinjam…” kata Jimmy dari luar jendela, sambil menyodorkan buku catatan Niken. Setelah Niken menerimanya, Jimmy cepat-cepat pergi. “Aneh. Baru kali ini dia nggak berusaha berlama-lama di dekatmu, Niken. Kamu nggak merasa aneh?” tanya Wulan. Pandu mengiyakan. “Pasti ada apa-apanya,” kata Pandu. “Coba dilihat bukumu.” Niken membuka bukunya. Tidak ada apa-apa. Aman-aman saja. Eh… tunggu… ada amplop biru yang diselipkan di sampul mikanya. “Nah… betul kan sangkaanku?” kata Pandu berbangga hati. Masih bingung, Niken membuka amplop kecil itu. Ada secarik kertas di dalamnya. Dibuka dan dibacanya pelan-pelan. Niken, kamu cantik sekali hari ini. “Apa katanya?” tanya Wulan tidak sabar. “Cuma sebaris” kata Niken sambil menunjukkan isi surat itu kepada Wulan. Pandu ikut mengintip. Ditatapnya wajah Niken dengan serius dan seksama. “Apa-apaan kamu, Ndu?” tanya Niken jengah. “Memastikan si Jimmy bener apa salah. Aku lihat hari ini kamu biasabiasa saja. Sama seperti kemarin. Wajah manis, rambut dikuncir satu, rapi di belakang, dengan pita kuning. Baju kamu juga biasa aja. Wah, sepertinya dia salah tuh…” kata Pandu bercanda. “Dasar mata jangkrik!” kata Niken menggerutu. “Mata jangkrik?” tanya Pandu bingung. Wulan tertawa terbahak-bahak. Pandu tambah bingung. “Siapa mata jangkrik? Aku?” tanya Pandu. “Nggak merasa tho?” tanya Niken acuh. “Seperti apa sih mata jangkrik itu?” tanya Pandu. “Seperti yang kamu punya!” kata Niken sambil menjitak kepala Pandu. “Kamu masih marah sama Jimmy, Nik?” tanya Pandu kemudian, sambil mengusap-usap kepalanya yang sebetulnya tidak begitu sakit itu. “Nggak koq. Mama bilang, aku nggak boleh marah sama dia, karena ada kemungkinan, kemungkinan besar malah, papa berniat menjodohkan aku dengan Jimmy. Jimmy itu anak salah satu partner bisnis papa.” Pandu terkejut. Wulan juga. “Kamu suka sama Jimmy, Nik?” tanya Wulan.
  • 24. “Kamu suka sama Jimmy, Nik?” tanya Wulan. Niken mengangkat bahu. “Nggak tau. Kata mama, aku musti mendekatkan diri padanya. Nggak harus pacaran, cuma mengenalnya lebih dekat. Biar bagaimana dia bakal jadi calon suamiku.” Pandu cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. “Pandu,” Percakapan mereka terhenti karena sapaan dari luar jendela. Semua menoleh. Ratna rupanya. “Aku boleh minta tolong sama kamu, Ndu?” tanya Ratna dengan nada super-manjanya. “Kalo aku memang bisa bantu, aku pasti bantu.” jawab Pandu ramah. “Tolong ajari aku kalkulus dong, aku sama sekali nggak ngerti. Besok Kamis ada ulangan matematika kalkulus.” “Boleh,” kata Pandu yang memang jago matematika. “Di mana?” “Aku bisa datang ke rumahmu, supaya kamu nggak usah susah-susah ke rumahku. Sore ini bagaimana?” “Baiklah. Jam tiga?” “Oke. Sampai ketemu nanti sore.” kata Ratna centil, sambil berlalu. “Ndu, ini sudah ketiga kalinya aku dengar Ratna minta tolong tentang kalkulus. Memangnya dia benar-benar bodoh?” tanya Niken. “Dia memang selalu begitu kalau mau ulangan. Jadi lupa semua, harus diulang kembali. Setiap ada bahan baru juga begitu.” kata Pandu menjelaskan. “Cantik-cantik tapi bodoh…” kata Wulan geli. “Kalo aku bilang, dia nggak bodoh koq. Aku pernah ambil dia di panitia acara seminarku. Dia cukup berpotensi. Otaknya jalan. Feelingku sih ini cuma cara dia untuk mengambil hatimu aja Ndu.” kata Niken. “Apapun alasannya, aku cuma berbaik hati menolong dia. Aku nggak ada maksud-maksud lain.” kata Pandu tegas. “Aku tau kamu nggak ada maksud-maksud lain. Siapa yang nuduh? Aku bilang, dia yang punya maksud terselubung.” kata Niken. Pandu hanya diam saja. Kata-kata Niken masuk akal. Tapi dia tidak mungkin menolak menolong teman. “Kata Bapak, kalau kita punya kelebihan, kita harus menggunakan kelebihan itu untuk menolong sesama.” demikian kata Pandu kemudian. Hari masih pagi. Pandu bersiul-siul sambil mengayuh sepedanya dengan riang melintasi pintu gerbang timur sekolah. Melihat Wulan berdiri di pintu gerbang, dia mengerem sepedanya.
  • 25. di pintu gerbang, dia mengerem sepedanya. Wulan setengah berlari ke arah Pandu. “Ada apa Wulan?” “Niken. Dia meneleponku tadi malam. Katanya mulai hari ini dia bakal diantar-jemput Jimmy. Setiap hari. Termasuk ke kegiatan-kegiatan sekolah. Termasuk latihan band katanya.” “Bukannya papa-mama Niken nggak setuju dia nge-band?” tanya Pandu heran. “Iya. Tapi sekarang mereka mengijinkan dengan syarat Jimmy harus ikut kemana pun Niken pergi.” “Oooh…” desah Pandu. “Niken yang malang. Seandainya saja aku bisa menolongnya.” “Salah. Aku juga tadinya berpendapat begitu. Niken ternyata sama sekali nggak ingin aku membantunya. Dia menuruti keinginan ortu-nya itu dengan senang hati. Aku berkali-kali tanya, apa dia suka sama Jimmy. Jawabnya selalu nggak.” Pandu menimpali, “Aku nggak ngerti gimana cewek sepandai Niken bisa jadi bodoh sekali dalam masalah seperti ini. Seakan-akan dia sama sekali tidak ingin mengenal dan merasakan apa itu cinta. Aku sendiri memang belum pernah, tapi aku ingin sekali mengenal dan merasakan apa itu cinta.” “Ndu, aku memberitahumu, cuma sekedar memperingatkan, jangan sekali-sekali kamu menentang atau mempermasalahkan hal ini di depan Niken. Aku sudah mencoba semalaman kemarin meyakinkan dia, buntutbuntutnya dia malah marah-marah. Ya sudah, aku akhirnya menyerah.” “Baiklah. Kita harus dukung Niken. Walaupun aku masih tetap merasa keyakinan Niken ini perlu diluruskan. Kalau dia memang bahagia seperti itu, yah kita mau nggak mau sebagai temannya harus dukung dia, kan?” “Itu dia mobil Jimmy, Ndu.” kata Wulan sambil menunjuk ke arah luar gerbang. Benar saja, Niken ikut turun dari mobil itu setelah diparkir tidak jauh dari gerbang timur itu. Melihat kedua temannya ngumpul di dekat situ, Niken berlari kecil ke arah mereka. “Hallo friends…” sapa Niken. “Punya bodyguard baru kamu yah?” Pandu meledek.
  • 26. “Mama yang suruh. Mama bilang, Jimmy bisa dipercaya. Perjanjiannya, aku tetep nggak mau pacaran. Cuma aku harus mau membiasakan diri dengan Jimmy.” “Jadi kamu sudah pasti akan kawin sama Jimmy?” tanya Pandu. Niken mengangguk pelan. Pandu berkata lagi, “Aku masih nggak mengerti…” Wulan langsung menyeletuk, mengingatkan pembicaraan mereka barusan, “Pandu…” “Nggak papa, Ndu, kamu mau ngomong apa?” tanya Niken. “Aku nggak mengerti. Kamu udah pasti kawin sama Jimmy, tapi kamu nggak mau pacaran sama dia. Apa maksudmu?” “Aku nggak cinta sama dia. Kenapa mesti pacaran sama dia? Karena pada akhirnya aku bakal kawin sama Jimmy, aku harus mulai membiasakan diri sama dia. Kawin kan gak harus saling mencintai.” Pandu baru saja mau bilang, “Harus, dong!”, tapi Wulan sudah duluan menonjok perut Pandu dengan sikunya. “Sudah bikin pe-er Pak Heri, Nik?” tanya Wulan mengalihkan bahan pembicaraan. “Pe-er yang mana?” tanya Niken. “Bikin essay tentang biografi seorang pahlawan?” Pandu mengingatkan. “Aduh! Iya! Aku lupa. Mati aku. Koq bisa pikun begini sih? Gimana nich?” kata Niken panik. “Tenang, tenang, Nik…” kata Pandu. “Pelajaran bahasa masih jam ke lima. Kamu masih ada waktu untuk bikin essay itu.” “Dapat biografi pahlawan-nya dari mana dong?” kata Niken hampir putus asa. “Begini saja deh. Aku kebetulan punya ide lain untuk bikin essay. Kamu boleh menyalin essayku, aku buat baru lagi dengan tokoh yang lain.” kata Pandu menyarankan. “Kamu baek sekali, Ndu! Kebetulan gaya nulis kamu sama Niken hampir sama. Pasti tidak akan ketahuan. Ide bagus tuh, Nik” kata Wulan. “Aku nggak enak, Ndu. Kamu musti nulis ulang lagi,” kata Niken. “Ide sudah ada di kepala. Sementara kamu nyalin essayku, essay baruku pasti sudah selesai.” kata Pandu mantap. “Tunggu apa lagi?” tanya Wulan. “Mumpung belum bel masuk nih, cepetan gih, bikin!”
  • 27. “Pandu Prasetya, kemari!” panggil Pak Heri dengan nada galak. “Saya, Pak.” jawab Pandu sambil melangkahkan kaki menuju ke depan kelas. “Aku suruh kamu mengarang tentang pahlawan, kenapa kamu mengarang tentang ibumu?” bentak Pak Heri. Niken menggigit bibirnya. Dia merasa bersalah sekali sudah mengambil essay Pangeran Diponegoro-nya Pandu. Sudah terlambat sekarang. Tapi mengapa Pandu terlihat tenang-tenang saja? “Bapak nggak bilang kan, pahlawan-nya harus sudah mati apa masih hidup. Ibu itu pahlawan saya. Kalau bapak baca lebih jauh, bapak bisa merasakan jiwa kepahlawanan ibu saya. Ibu yang melahirkan saya dan ke-empat kakak laki-laki saya. Ibu yang dengan penuh jerih-payah membesarkan kami, dengan uang gaji bapak yang pas-pasan. Waktu saya masih kelas satu SD, saya sering mengomel karena baju seragam saya jelek sekali, karena lungsuran dari kakak saya yang nomer tiga. Setiap pulang sekolah, selalu saja ada tambahan lubang di baju seragam saya. Ibu selalu dengan hati-hati menambal lubang itu. Suatu hari, ibu mengejutkan saya dengan membelikan baju seragam baru. Saya sangat senang sekali. Saya tidak tahu kalau ibu menabung selama enam bulan hanya untuk membeli baju seragam saya itu. Sekarang bapak bilang, kalau bukan jiwa pahlawan, kata apa yang cocok untuk diberikan pada ibu saya itu?” pertanyaan retorik Pandu itu menyudahi kotbah panjanglebarnya. Pak Heri mengangguk-angguk puas. Ia bahkan bertepuk tangan, diikuti oleh teman-teman sekelasnya. Niken yang paling keras tepuk tangannya. Pandu sahabatnya ini memang tidak hanya rupawan, tapi manis juga hatinya. Acara Gelar Seni merupakan event tahunan yang sudah dilangsungkan sejak jaman dahulu kala di SMA Antonius. Tahun lalu, waktu kelas satu, Niken dipilih menjadi salah satu anggota panitia bidang acara panggung. Tahun ini dia terpilih menjadi koordinator bidang yang sama. Pandu jadi salah satu anggota tim perlengkapan, atau dalam bahasa lain, tim angkut-angkut barang. Niken mendapat banyak bantuan, terutama dalam hal promosi acara, dari Mbak Merlina dan kawan-kawan penyiar radio Boss. Anak-anak radio Boss 'rame-rame'. Dulu, waktu Niken masih boleh pergi keluar sendiri
  • 28. naik mobil, dia sering mampir malam-malam kumpul di radio Boss. Kadang-kadang malah jadi penyiar dadakan, kalau kebetulan ada yang sedang sakit. Akhir-akhir ini Niken merasa kegiatannya jadi dibatasi lantaran kemana-mana harus membawa Jimmy. Seperti tuyul saja tu anak mengikutinya ke mana-mana. Walaupun Jimmy sering bilang, dia kapan aja, ke mana pun, jam berapa pun, mau menemani Niken, tapi sungkan juga mengajak-ajak Jimmy keluar malam ke radio Boss, misalnya. Makanya, kalo mama-papa lagi keluar kota, Niken curi-curi pergi jalanjalan sendiri ke luar. Refreshing. Seperti hari Sabtu malam ini. Dia janji akan menjemput Pandu ke radio Boss malam ini. Wulan sebetulnya mau ikut, tapi ibunya sedang sakit flu, jadi dia mesti menjaga dua adik kecilnya di rumah. Jam delapan malam. Dengan alasan mau fotocopy, Niken sukses mengelabui satpam yang berjaga di pintu gerbang. Lolos! Niken cepatcepat tancap gas sebelum satpam berkumis yang galak itu berubah pikiran. Niken belum pernah ke rumah Pandu, tapi Pandu sudah berkalikali memberi tahunya, pakai acara menggambar peta pula. Lagipula Pandu bilang, dia akan menunggunya di depan rumah, jadi tidak susah kan semestinya untuk menemukan anak jangkrik di gelap malam begini? Begitu Pandu masuk mobil, langsung kena damprat. “Sial lo Pandu ya! Masa’ kamu kasih petunjuk lewat jalan satu arah, aku disuruh lewat arah yang berlawanan, gimana sih?” Pandu bingung. Ngomong apaan sih Niken ini? Niken masih ribut-ribut, “Ini jalan depan rumahmu, kan satu arah. Kamu kasih petunjuk aku masuk dari arah gang yang salah! Tu di mulut gang ada tanda dilarang masuk!” “Oooooooooooooh…” Pandu menepuk dahinya. “Sori, Fei. Aku kan biasanya naik sepeda, jadi itu route terdekat, begitu. Aku lupa kalo gang ini arahnya dari sebelah sono,” kata Pandu geli melihat Niken komat-kamit terus. “Ah blo’on amat kamu, kasih petunjuk ke rumah sendiri saja salah.” Niken masih mengomel. “Yang penting kan sampai, ya kan? Nanti pulangnya aku lewatin jalan mobil deh.” kata Pandu yang tak sanggup menahan gelinya melihat Niken sewot begitu. “Kamu punya kaset yang laen?” tanya Pandu, mendengar lagu pop
  • 29. slow yang diputar Niken. “Protes melulu sih?!” “Ngantuk dong, dengerin lagu slow begini. Ini lagu apaan sih?” tanya Pandu. “John Denver. Annie’s song. Aku suka. Jangan diganti.” “Gak punya kaset yang lain?” “Nggak.” jawab Niken singkat. “Ah masa?!” “Bener. Orang ini CD-player. Kamu masukin kaset yah nggak cocok lubangnya” kata Niken geli. “CD yang laen dong!” Pandu tak kalah protesnya. “Ribut amat sih? Dinikmati gitu lho…” “Aku kirain kamu suka lagu-lagu rock. Ternyata lagu cengeng begini kamu juga suka, ya?” “Aku suka apa saja yang berbau musik.” kata Niken cuek sambil nyanyi. You fill up my senses Like a night in a forest Like a mountain in springtime Like a walk in the rain Like a storm in the desert Like a sleepy blue ocean You fill up my senses Come fill me again… Diam-diam Pandu mengamati cerianya wajah Niken malam ini. Enak juga ternyata lagunya, walaupun slow begini, apalagi kalo Niken ikut nyanyi. Suara Niken empuk sekali, bak bantal dari busa. Makanya kontras sekali kalo dia menyanyi lagu-lagu rock. Kontras bukan berarti jelek. Kombinasi yang bagus. Suara lembut dan musik kasar. Niken memang punya bakat besar di bidang musik. Dia sering melihat Niken saat latihan bareng Hendro dan Bram, mengarahkan melodi gitar mereka. Dia pribadi juga sering mendapat masukan positif dari Niken buat variasi keyboardnya. Dengan hobinya menulis puisi, Niken pasti bisa jadi komposer lagu tenar. Apalagi dengan suara dan wajahnya yang saingan manisnya. “Sori… kamu ngantuk ya dengerin lagu slow begini?” tanya Niken yang jadi merasa berdosa melihat Pandu terbengong-bengong.
  • 30. “Nggak. Aku ternyata bisa enjoy koq. Masih punya banyak lagu slow?” tantang Pandu. “Kalo mau dengerin lagu rock, lebih baik sekarang saja. Di Boss Radio, mereka seringnya putar lagu-lagu cengeng lewat jam 9 malam.” “Nggak masalah. Aku pengen tau gimana kehidupan penyiar yang sebenarnya. Makanya aku langsung mau waktu kamu ajakin. Eh, ngomong-ngomong mana bodyguard kamu?” goda Pandu. “Jimmy? Aku bosan ngeliat dia terus. Sudah lama aku puasa nggak ke radio Boss karena dia.” gerutu Niken. “Nggak boleh bosan dong. Nanti kalo udah kawin musti liat dia tiap hari, 24 jam lagi!” kata Pandu geli. “Kawin? Siapa yang mau kawin?” “Ya kamu, dong… Aku calon saja belum ada. Kamu kan yang katanya sudah pasti kawin sama si Jimmy?” “Iya, tapi kan nggak dalam waktu dekat ini. Paling-paling lima belas tahun lagi.” kata Niken dengan gaya super cueknya. “Lima belas tahun?! Wah… semoga aja si Jimmy tahan bantingan, mau nunggu kamu selama itu.” kata Pandu kaget. Lima belas tahun, berarti mereka bakal berumur 32 tahun dong! “Biarin. Nggak kawin juga nggak papa. Eehh… yang jual martabak sukaanku masih buka. Mampir sebentar beli martabak yah…” kata Niken sambil meminggirkan Honda civicnya. Sebentar kemudian Niken sudah kembali dengan membawa dua plastik besar penuh martabak. “Banyak bener kamu belinya, Fei?” tanya Pandu heran. “Buat anak-anak radio Boss. Kamu gak mau?” “Mau juga sih…” Mata Pandu berbinar-binar melihat martabak. Hidungnya peka sekali kalo mencium bau makanan enak. Niken lalu membuka satu bungkus martabak. Di baginya menjadi dua, separuh diberikan ke Pandu, yang separuh langsung masuk ke mulutnya. “Kamu jago makan juga yah?” tanya Pandu dengan mulut penuh martabak. Niken cuma mengangguk-angguk. Mulutnya juga penuh makanan, tidak bisa menjawab. Tangannya yang satu di kemudi, yang satu memegang martabak. “Persneleng tiga,” perintah Niken.
  • 31. “Hah? Apa?” “Blo’on, pindahin ke persneleng tiga, sekarang.” kata Niken. Pandu cepat-cepat memindah persneleng dari gigi dua ke gigi tiga. “Wah… bahaya nich sopir lagi asyik makan martabak!” kata Pandu setelah shocknya reda. “Gigi empat.” sahut Niken tanpa menanggapi komentar usil Pandu. Pandu menuruti saja perintah Niken. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin dia tanyakan pada Niken, tapi lebih baik tidak usah saja, pikirnya. “Mbak Merlina baik yach, tadi kita dikenalin sama Jabrique, grup rock lokal yang lumayan tenar. Gelar Seni kali ini bakal meriah banget karena Jabrique janji mau muncul.” kata Niken sepulangnya dari Radio Boss. Dia kelihatan girang sekali. Pandu sibuk menggeledah semua CD koleksi Niken. Gila koleksinya dari Mozart sampe metal ada semua. “Setel yang ini dong…” kata Pandu sambil mengacungkan cover CD Bryan Adams. “Sorry, Ndu, itu covernya doang. CD-nya ada di kamarku. Kamu mau nggak mau mesti dengerin lagu2 yang ada di jukeboxku. Ada 5 cd koq, kamu pencet-pencet aja tombol ini sendiri, sampe nemu CD yang kamu suka.” kata Niken sambil memencet satu tombol di car stereonya. “Yak ini aja deh!” kata Pandu waktu mendengar intro lagu Nirvana, Come as you are.” “Fei…” “Apa?” “Aku baru aja denger tadi sore, katanya papa kamu punya simpanan di Malang yah?” “Ah, kalo itu aku sudah tahu dari dulu koq. Kamu baru tahu sekarang yah?” kata Niken seakan tak peduli. “Iya. Nggak sedih?” Niken mendesah. “Kamu sungguh-sungguh ingin tahu?” “Ya sungguhan dong, aku kan temen kamu. Kalo kamu sedih, aku pengen hibur kamu…” “Aku nggak papa koq. Awalnya sih terang sedih. Aku sudah tahu sekitar empat tahun yang lalu, lebih malah. Sudah lama kan? Sebelum cici ku meninggal. Cici yang bilang ke aku. Dia marah besar waktu itu. Semua hadiah miliknya yang dari papa dibuang ke lantai. Yang barang
  • 32. pecah belah ya jelas pecah. Ribut sekali rumah waktu itu. Trus dia minggat sebulan gak balik-balik. Ya gara-gara minggat itu dia kenal sama si Edi, anak pejabat itu. Waktu itu aku nggak sesedih cici. Cuma kecewa saja, koq papa tega berbuat begitu. Kasian mama. Dia kuatir sekali waktu cici minggat.” Niken menghela napas panjang. “Tadinya aku benci sama si wanita lain itu. Koq jahat, sudah tahu papaku sudah menikah, sudah punya anak dua, koq ya nekad aja. Usut punya usut, ternyata wanita itu juga samasama nggak tahu kalo papaku itu sudah punya keluarga. Jadi sama-sama dibohongin, gitu. Yang jahat memang papaku.” “Kamu hebat, Fei, bisa kuat begitu. Kalau saja hal seperti itu terjadi di keluargaku, aku bisa gila.” kata Pandu jujur. “Ya, karena kamu dibesarkan di keluarga yang harmonis. Tuhan nggak akan kasih salib yang nggak bisa dijalani, Ndu. Sejak kecil, aku jarang ketemu papa. Mama sih tadinya selalu di rumah. Sejak empat tahun yang lalu itu, mama jadi jarang ada di rumah juga. Mungkin itu juga yang bikin cici jadi gak betah di rumah, trus main sama Edi jelek itu.” Pandu menatap mata Niken lekat-lekat. “Kamu sendiri?” “Sejak cici meninggal, aku jadi tau kalo cici udah milih jalan yang salah. Aku nggak mau seperti dia. Sedih itu bisa dilampiaskan ke hal-hal yang laen. Belajar, misalnya, dengerin musik, berenang, jogging, nge-band...” kata Niken sambil senyum. “Aku nggak bisa bayangin betapa bosannya kamu di rumah. Abis pindah Semarang, aku juga kesepian banget. Setidaknya aku masih ada ibu…” kata Pandu menerawang. Tiba-tiba ada nada bersemangat di kalimat Pandu, “Kamu ada acara apa Jum’at tanggal 14 bulan depan?” “Gak ada acara apa-apa. Emang kenapa?” tanya Niken. “Hari Jum’at tanggal 14 bulan depan, ibuku ulang tahun. Kakak-kakakku mau datang semua dari luar kota. Daripada bengong di rumah, kenapa kamu nggak ikut ngerayain ulang tahun ibuku? Ibu belum punya banyak teman di Semarang, jadi bakal cuma acara keluarga aja. Mau ya?” tanya Pandu menawarkan. “Makasih, Ndu. Kamu baek. Aku tau niatmu baik, pengen menghibur aku, biar aku nggak kesepian. Tapi nggak usah, ah.” tolak Niken baik-baik. ”Kenapa nggak?”
  • 33. “Ndak enak dong, aku nanti ngabis-abisin makanan lho?” goda Niken. “Nggak papa. Ayolah…” ajak Pandu setengah memaksa. “Baiklah.” kata Niken akhirnya. “Jam berapa aku harus sampe sana?” “Jam 6 bagaimana? Kamu bisa ikut bantu-bantu nyapu, ngepel, masakmasak dulu?” kata Pandu dengan senyumnya yang nakal. “Serius nich…” “Fei, kamu musti mikir, gimana kamu bisa keluar rumah tanpa Jimmy?” tanya Pandu mengingatkan. “Oh… iya! Aduh, anak jelek itu lagi.” keluh Niken. “Gini deh… Aku ada akal.” kata Pandu sambil tersenyum licik. “Kali ini kita harus jahat sedikit. Jum’at pagi itu, aku bisa bawa mobil kakakku ke sekolah. Aku kerjain mobil Jimmy siang itu sebelum pulang sekolah, jadi aku bakal anterin kamu dan Jimmy pulang. Aku akan pura-pura nggak begitu bisa nyetir, apalagi ke daerah atas, jadi aku akan suruh Jimmy nyetir mobilku sampe ke rumahmu.” “Oh… pinter juga kamu, Ndu! Jadi satpam bakal mengira itu mobil Jimmy, dan sorenya kamu bisa jemput aku pake mobil yang sama. Aku bakal siap di depan pintu gerbang, jadi kamu nggak usah turun mobil. Aduh, Pandu baek, deh!” kata Niken langsung mengerti rencana licik Pandu, sambil mencubit pipi Pandu gemas. “Namanya juga Pandu…” kata Pandu sambil menepuk dadanya. Siang itu, rencana bulus mereka berjalan dengan mulus. Jimmy sama sekali tidak menaruh curiga. Satpam apalagi. Sorenya, satpam yang mengenali mobil yang tadi siang, membiarkan saja Niken pergi, mengira Jimmy yang datang menjemputnya. Begitu Niken masuk mobil, Niken dan Pandu nggak bisa menahan ketawa. “Aduh, aku udah deg-degan terus nungguin kamu…” kata Niken. “Aku malah santai saja. Lebih deg-degan waktu jemput kamu nge-band itu.” kata Pandu sambil melirik Niken. Sekilas dia bisa melihat Niken pake rok. Apa? Niken pake rok? Penasaran, kali ini dia nggak melirik lagi, tapi menatap dengan jelas, sambil mengucek-ucek mata. Dia nggak salah lihat. Niken sore ini pake rok katun biru muda sederhana, rambutnya dikepang tempel di belakang. Rapi sekali. Wajahnya tampak polos sekali dan cantik sekali walaupun tanpa make-up. “Aku bawa kado buat ibumu” kata Niken mengagetkan lamunannya. “Ah, kamu ngado segala. Mestinya nggak usah, Fei.”
  • 34. “Nggak papa. Nggak repot koq. Cuma kain.” “Hey, jangan gigit-gigit jari gitu dong… jelek…” kata Pandu sambil berusaha menyingkirkan jemari Niken jauh dari mulutnya. “Sorry… aku memang begini kalo nervous.” Niken mengaku. “Nervous??” “Iya… aku belum pernah ketemu ibumu, sekarang aku malah bakal ketemu seluruh keluargamu. Gile…” “Alaaa… mau ketemu ibuku aja nervous. Malu-maluin. Eh,aku kasih tahu nih, untung kamu bukan pacarku. Pasti kamu bakal disorot habis-habisan kalo kamu memang pacarku. Itu udah dialami oleh semua kakak-kakak iparku. Jadi kamu santai saja. Ibu tahu kalau kamu cuma teman koq.” “Iya. Kenapa sih mesti nervous begini? Kayak mau ketemu camer saja. Padahal waktu aku pertama kali mau ketemu camer malah nggak nervous kayak gini.” kata Niken ketawa ngikik. “Emang kamu udah pernah ketemu camer?” “Udah. Mama-papanya Jimmy maksud kamu kan? Sudah dong. Mereka datang ke rumah. Aku sama sekali nggak nervous. Cuek saja. Pada dasarnya karena aku nggak respek sama papanya Jimmy, maupun sama mamanya. Itu keluarga jauh lebih hancur-hancuran daripada keluargaku.” “Nah… kita udah nyampe. Turun yuk.” ajak Pandu sambil turun dari mobil. Rupanya Niken masih belum ilang nervousnya. Pandu lalu membuka pintu dari luar. “Hoi, manja sekali minta dibukain pintu segala, tuan putri? Minta dituntun masuk juga nih?” Pandu meledeknya. “Enak saja. Aku bisa jalan sendiri.” Pandu meraih lengan Niken, mencegahnya untuk terus jalan. “Tunggu. Sebelum kamu masuk ke rumahku, kamu mesti maklum, rumahku ini nggak rumah gedongan kayak rumahmu…” “Kamu lebih baik berhenti ngomong, sebelum kamu bikin aku tersinggung.” kata Niken. “Aku nggak bermaksud begitu. Maksudku…” “Aku tau koq maksudmu. Aku yakin rumahmu ini jauh lebih indah daripada rumah gedonganku. Kamu nggak usah takut lah. Aku udah sering ke tempat yang jauh lebih buruk dari ini, rumah Wulan misalnya. Aku malah sering nginep sana dulu. Jadi kamu nggak usah takut aku bakal merasa
  • 35. nggak nyaman.” Pandu takjub mendengar jawaban Niken yang begitu tegas. Belum sampe di pintu depan, ibu Pandu sudah menjemput keluar. “Silahkan masuk, wah, senang sekali kita kedatangan tamu.” sambutnya ramah. “Kenalin, bu. Ini Niken, teman Pandu. Nik, ini ibuku.” kata Pandu. “Panggil saja ibu. Nama saya Sulastri.” kata ibunya Pandu menjabat tangan Niken. “Selamat ulang tahun, Bu.” kata Niken sambil menyerahkan kadonya. “Waduh, repot-repot lho, nak Niken ini. Ayo Pandu, diajak masuk dong.” Pandu lalu mengenalkan satu-per-satu anggota keluarganya yang lagi berkumpul di situ semua. Ayah Pandu, Pandu Pahlawan. Kakaknya yang nomer satu, Pandu Darmawan, dan istrinya, Sandra. Yang nomer dua, Pandu Sanjaya, dan istrinya Marini. Kakaknya yang nomer tiga, yang minjemin mobil, Pandu Wardhana, dan istrinya Adriana. Yang nomer empat Pandu Aditya belum menikah dan belum punya pacar. Kakak-kakak Pandu semua ganteng-ganteng. Terutama yang nomer satu. Katanya dia pernah menang lomba wajah di majalah Mode. Nggak mengherankan. Memang ganteng sih. Alisnya tebal dan tajam, tulang rahang dan pipinya yang menonjol memberi aksen gagah di wajahnya. Itu semua pasti didapat dari ayah Pandu yang memang gagah, dan ibunya yang lembut dan melankolis. Susah juga menghafal nama mereka, terutama karena namanya Pandu semua! Kakaknya yang nomer satu sudah punya anak, masih umur dua tahun, nggak bosen-bosen berceloteh, ngajak omong Niken. Lagi in the mood kali. Namanya Yunita. Sebentar saja Niken sudah akrab dengan Yunita. Rupanya Yunita sangat tertarik dengan pita rambut Niken. Niken lalu melepas pitanya, dan Yunita menerimanya dengan senang hati. Niken malah lalu iseng menguncir rambut Yunita dengan pitanya. Makanan malam itu sederhana, sayur lodeh, goreng-gorengan, dan ca kangkung. Niken sudah tambah ca kangkung dua kali. Dia sangat menikmati suasana rumah Pandu malam itu. Mungkin karena di rumah dia jarang, atau boleh dibilang hampir nggak pernah ada acara makan malam bareng. Apalagi karena keluarga Pandu begitu ramah menerima Niken. Mereka seolah-olah tidak menganggap Niken sebagai tamu,
  • 36. melainkan seperti kedatangan teman lama. Melihat keluarga Pandu begitu harmonis, Niken sebetulnya merasa rendah diri. Tapi sebentar saja rasa rendah diri itu hilang, karena asyik mengobrol dengan Pandu dan kakakkakaknya. Kalau sedang bersenang-senang memang waktu tidak terasa jadi berjalan begitu cepat. Tahu-tahu saja sudah jam setengah sepuluh malam. Niken harus pulang sekarang. Kalau tidak kereta kencananya akan berubah menjadi labu! Setelah berpamitan, termasuk sama si kecil Yunita, Niken dan Pandu undur diri. “Makasih Ndu, kamu bener-bener bikin aku seneng malam ini. Aku udah lupa kapan terakhir kali aku merasa seperti ini.” kata Niken. Hatinya berbunga-bunga. “Aku juga terima kasih kamu mau datang. Suasana rumahku jadi tambah meriah ada kamu.” Waktu mereka sampai di depan pintu gerbang rumah Niken, Niken terpekik kaget. “Kenapa, Fei?” “Tuh… papa ada di teras depan.” kata Niken menunjuk ke arah teras rumahnya. “Mati deh aku. Gimana nih?” lanjut Niken, seakan tidak mau turun. Seandainya saja waktu bisa berhenti pada saat ini, berhentilah! Papanya berdiri, menuju ke arah pintu gerbang. “Ayo turun, Fei. Aku temeni.” kata Pandu berusaha membesarkan hati Niken. Keduanya lalu turun dari mobil. “Niken! Masuk!” bentak papa Niken galak. “Selamat malam Pak Tjakrawibawa. Hari ini ibu saya ulang tahun. Niken saya undang karena Niken satu-satunya teman baik saya di sekolah.” kata Pandu tanpa rasa takut. “Hmm… Niken, masuk!” ulang papa Niken dengan nada yang sama. “Pak, tolong jangan marahi Niken. Ini semua ide saya.” kata Pandu. “Niken, kamu sudah lupa janji kamu untuk nggak pacaran?!” “Nggak Pa. Kami nggak pacaran koq. Pandu cuma temen baek. Bener Pa!” kata Niken membela diri. “Sudah, nggak usah banyak omong. Masuk!”
  • 37. Niken lalu cepat-cepat masuk. “Selamat malam, permisi Pak.” Pandu pamitan dengan sopan. “Jangan pernah datang-datang lagi ke sini. Niken nggak pantas sama laki-laki seperti kamu.” Pandu diam saja, lalu pergi. Sampai di rumah, keluarga Pandu sudah tidak sabar menunggu Pandu pulang. Mereka sudah ingin berkomentar tentang cewek yang baru saja bertandang di rumah mereka. “Ndu,” kata kakaknya begitu Pandu melewati ruang tengah. “Manis sekali Niken itu.” “Manis, tapi papanya galak banget.” keluh Pandu. “Kenapa emangnya?” “Tadi aku ketemu papanya, aku diusir, coba. Katanya, aku nggak pantas buat Niken. Aku rasanya marah sekali sekarang. Pertama, aku kasian sama Niken tertekan sekali di rumah. Kedua, Niken berhak menentukan pasangannya sendiri, walaupun tololnya Niken sendiri nggak tau itu. Ketiga, aku bukan pacarnya Niken, meski aku yakin, beruntung sekali orang yang bisa pacaran sama orang seperti Niken.” jawab Pandu geram. Ibunya menimpali, seolah tak mendengar keluh kesah Pandu yang barusan. “Niken lain sekali dengan Ratna, cewek yang sering kemari itu, Ndu.” “Ibuuu….!” Pandu merengek. “Sudah aku bilang berkali-kali, Niken itu bukan pacarku, dan dia nggak ada niatan untuk pacaran sama aku, atau sama siapapun.” "Ibu hanya berkomentar koq,” kata ibunya membela diri. “Ratna itu orangnya lemah lembut, nggak penuh gairah hidup seperti Niken. Hal yang paling aku suka dari Niken, dia rendah hati walaupun anak orang kaya. Malahan, hari ini dia nggak keliatan seperti anak orang kaya. Satu hal yang aku nggak suka dari Ratna, dia suka sekali merayu kamu. Niken sama sekali nggak.” “Ya jelas aja, karena Niken nggak suka hal-hal yang berbau pacaran.” jawab Pandu. “Kalau begitu Ratna itu pacarmu?” tanya bapaknya. “Bukan juga. Aduh… koq jadi pada tanya yang aneh-aneh sih?” Pandu merasa jengah. “Kenapa kamu koq nggak suka Ratna?” tanya bapaknya lagi.
  • 38. “Yah… nggak tau ya… Ratna itu, terlalu dependen sama orang. Dia nggak pernah bisa mandiri. Lagian aku memang nggak sreg sama dia. Udah ah, tanya-tanya melulu, orang lagi kesel abis ketemu papanya Niken itu lho!” “Kalo kamu nggak berani pacaran sama Niken, aku boleh nyoba?” goda Aditya. Semua pada ketawa. “Aku sudah bilang, Niken itu orang yang unik. Dia nggak percaya sama yang namanya pacaran. Dia sudah dijodohin koq sama papanya.” kata Pandu sambil melepas sandalnya. “Hah? Dan Niken menurut saja?” tanya kakak-kakak iparnya hampir berbarengan. “Iya. Kakaknya meninggal, bunuh diri, gara-gara pacaran terlalu bebas. Semenjak itu dia jadi antipati sama kata ‘cinta’.” “Lha kamu sendiri suka nggak sama Niken?” tanya bapaknya ingin tahu. “Nggak tau ya, aku selama ini nggak pernah ngeliat Niken sebagai orang yang bisa aku pacari, jadinya ya rasa sayang nggak pernah tercetus.” “Wah, sayang lho… padahal Niken itu maniiiiis sekali. Mungil. Matanya sipit, mungil. Mulutnya mungil. Idungnya juga mungil. Aku suka deh yang mungil-mungil begitu.” kata Aditya bercanda. “Aku juga…” gumam Pandu tanpa sadar. “Ha ha… ! Jadi kamu suka sama Niken dong…!” Aditya menggoda adiknya. “Ah! Dasar! Aku capek nih. Hatiku gerah sekali rasanya. Aku mau tidur aja.” kata Pandu menuju ke kamarnya dengan langkah gontai. Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya, sedang apa ya Fei Fei sekarang? Dia lalu balik lagi ke ruang tengah, mengambil sandalnya, terus keluar lagi. “Ndu, mau ke mana kamu?” tanya bapaknya. “Mau ke wartel di ujung jalan.” jawabnya sambil terus berjalan. "Ada apa ke wartel?" tanya bapaknya lagi. "Telepon." jawab Pandu singkat. “Koq nggak pake telfon rumah aja?” tanya ibunya. “Nggak, ah. Nanti aku digodain terus.” Yang lain lalu tambah cekikikan. Sudah jam setengah 11 malam, tapi rumah Pandu masih ramai sekali seperti pasar malam. Telepon ada di ruang tengah. Bisa tidak dengar apa-apa kalo telepon Niken dari rumah. “Fei Fei?” Pandu menelepon telepon kamar Niken.
  • 39. “Ndu…” suara Niken kedengaran seperti barusan menangis. “Kamu habis dimarahi ya? Sorry ya Fei… gara-gara aku, kamu jadi disemprot papa kamu.” “Nggak Ndu. Aku senang koq malam ini. Aku malah yang mau minta maaf, papaku kasar sekali sama kamu tadi.” “Udahlah, Fei. Aku udah biasa koq. Kamu jangan nangis dong… Aku belum pernah melihat kamu nangis seperti ini. Aku jadi merasa bersalah, kamu menangis karena aku.” “Aku nangis karena aku baru sadar, koq bahagia tu susah amat dapatnya. Untuk senang-senang barang semalam aja, aku mesti berbohong, mesti dimarahi habis-habisan sama papa. Kamu beruntung sekali, Ndu.” “Kamu welcome kapan aja ke rumahku, Fei.” Niken terdiam. “Aku dilarang keras ke rumahmu. Papa ngancam, kalo sampe kejadian malam ini terulang lagi, aku bakal dimasukin ke sekolah asrama. Mending mati aku daripada masuk asrama. Jadi malam ini adalah yang terakhir kali kamu melihat aku di rumahmu. Aku nggak berani lagi. Terima kasih buat malam yang indah tadi, Ndu. Aku nggak akan pernah lupa.” kata Niken setengah terisak. “Sudah… jangan nangis lagi, dong. Fei, aku percaya, di mana ada kemauan, pasti ada jalan. Kamu harus yang sabar. Percaya deh, banyak jalan untuk meraih kebahagiaan. Tinggal kita mau ambil kesempatan yang ada atau nggak. Aku pasti bantu kamu, kapan saja.” Mendengar itu, Niken seperti mendapat separuh kekuatannya kembali. “Benar juga yang kamu bilang, Ndu. Setidaknya aku masih punya kamu.” “Nah… gitu dong. Supaya kamu lega, sepertinya aku musti bilang sesuatu. Tadi, begitu aku pulang, aku langsung diinterogasi. Kayak kamu tu pacarku aja, Fei. Semua bilang kamu cantik. Malah Mas Adit bilang dia naksir kamu. Tapi kamu tadi memang manis deh, keliatan laen dari biasanya. Mungkin karena kamu pakai rok. Gimana? Sudah tambah oke sekarang?” tanya Pandu yang kata-katanya selalu terdengar manis di telinga Niken. Niken tertawa kecil. “Ada-ada saja, ah. Tapi makasih Ndu. Aku udah nggak sedih lagi koq.” “Sungguh, nih?” “Iya iya… Jangan kuatir. Bukan Niken namanya kalau nggak tahan banting.”
  • 40. “Ya udah, kalo gitu aku udahan dulu. Ngantuk nih… Aku mesti pulang trus langsung bobok.” “Pulang? Emangnya kamu ini di mana?” tanya Niken bingung. “Di wartel non! Cari mati deh kalo aku telfon dari rumah. Rumah masih ramai sekali, lagi. Aku bisa habis digodain mereka seperti tadi. Mending jalan sedikit ke wartel.” gerutu Pandu. “Ya sudah, pulang sana. Makasih sekali lagi Ndu, dan maaf atas sikap papaku tadi.” “Nggak aku masukin hati koq. Selamat tidur, Fei Fei” Siang itu, saat jam pulang sekolah, Wulan terengah-engah menghampiri Niken yang sedang sibuk di theatre, mengurus gladi bersih buat acara panggung Gelar Seni besok. “Nik! Niken!!” panggil Wulan sambil berlari menuju panggung. “Ada apa, sih?” Wulan sibuk mengatur nafasnya. Niken mengisyaratkan pada anak-anak soundsystem untuk istirahat sejenak. “Pandu, Nik! Dia sama Jimmy ada di halaman parkir belakang, berantem kata anak-anak. Mereka pada ramai-ramai mau nonton di sana. Cepetan dong!” “Hah?!” Niken spontan menaruh mapnya di tangga panggung, langsung lari menuju ke halaman parkir motor dan sepeda di belakang sekolah. Belum sampai halaman parkir, dari jauh sudah terdengar suara ributribut. Niken mempercepat larinya. Wulan yang sudah kelelahan cuma bisa mengikutinya dari belakang. Sesampai di situ, Niken tidak bisa melihat apa-apa, karena banyak orang berkerumun di situ. Susah payah dia berusaha menembus kerumunan ke arah tengah. Benar saja, Pandu dan Jimmy ada di tengah-tengah kerumunan. Pipi Pandu merah kena jotosan. Ada darah di sudut bibirnya. Baju mereka kotor dan amburadul. Rambut keduanya acak-acakan. ”Stop, stop! Apa-apaan sih kalian ini?” teriak Niken, karena suasana masih begitu bising. “Dia yang mulai.” Telunjuk Pandu mengarah ke Jimmy. “Aku nggak mau tau siapa yang mulai. Sudah, ayo ikut aku ke UKS.” Keduanya tidak ada yang beranjak dari tempat mereka berdiri
  • 41. masing-masing. Niken mengulangi lagi, “Mau ikut aku ke UKS apa nggak?” “Aku nggak akan pergi dari sini sebelum masalah ini diselesaikan.” kata Jimmy ngotot. “Masalah apa? Dan bisakah itu diselesaikan dengan cara kayak gini?” tanya Niken. “Kamu masalahnya!” tuding Jimmy. Niken tersontak kaget. “Aku?” tanya Niken. “Iya. Kamu, Niken. Dia menuduh aku yang enggak-enggak sama kamu kemarin malam. Katanya aku ngerebut pacarnya. Dia bilang, Niken itu hak miliknya dia. Nggak ada orang lain yang boleh sentuh dia. Aku bilang, Niken itu bukan hak milik siapa-siapa. Dan lagi, aku sama Niken cuma berteman. Eh… dia nggak percaya malah nantang.” jawab Pandu emosi. “Aku cuma bilang, kamu harus menjauhi Niken, dia milikku. Kamu ngotot nggak mau koq. Siapa yang nggak emosi?” balas Jimmy. “Stop. Sudah cukup. Muak aku mendengarkan argumen kalian. Jimmy, Pandu benar. Aku sama dia cuma teman, dan aku belum menjadi hak milik kamu. Aku juga nggak mau Pandu jauhi aku.” kata Niken membela Pandu, setelah mengetahui duduk permasalahannya. “Ya sudah kalo memang maumu begitu. Tapi aku nggak berani tanggungjawab kalo papamu sampai tahu kamu belain Pandu dalam masalah ini.” kata Jimmy setengah mengancam. “Tunggu!” kata Pandu. “Jangan bawa-bawa papa Niken di sini. Ini masalah antara kita. Kamu nggak boleh campur aduk begitu, dong!” Anak-anak masih ribut. Niken merasa jengkel sekali. Apalagi setelah mendengar ancaman Jimmy tadi. “Bubar! Semuanya bubar!” kata Niken dengan suara lantang. Mereka semua lalu bubar jalan, Niken kalo sudah marah gempar, deh. Tinggal Jimmy, Pandu dan Niken yang ada di situ. Niken merogoh saku bawahannya, lalu memberikan tissue, satu buat Pandu, satu buat Jimmy. “Jim, aku bener nggak ada apa-apa sama Pandu. Kita cuma teman baik. Aku nggak pernah larang kamu bergaul dengan siapapun, kan? Kenapa kamu nggak beri aku kebebasan yang sama?” “Niken, akuilah. Kita pun nggak pacaran. Status kita cuma sedikit lebih baik dari kamu dan Pandu. Kamu bisa bilang kamu nggak ada apa-apa
  • 42. sama Pandu. Tapi kamu juga bisa bilang kamu nggak ada apa-apa sama aku. Aku cuma ingin kamu hargai aku sedikit.” “Apa yang kamu mau? Pacaran sama aku? Aku udah bilang, aku nggak bisa pacaran sama kamu, karena aku nggak cinta sama kamu.” “Itu karena kamu nggak pernah mau berusaha untuk itu.” sanggah Jimmy. Niken diam saja. Demikian juga Pandu. “Kamu sama sekali nggak pernah tersenyum kalo ketemu aku. Apapun yang aku lakukan, kamu nggak pernah terhibur. Belakangan ini aku perhatikan, kamu selalu ceria setiap ketemu Pandu. Siapa yang nggak jengkel?” “Kami punya banyak kesamaan,…” Belum sempat Niken melanjutkan kata-katanya, Jimmy sudah menyerobot. “Apa katamu? Banyak kesamaan? Yang aku lihat justru banyak perbedaan. Dia anak Jawa, Niken. Bukan chinese seperti kita.” Muka Niken memerah. Telinganya memanas. Niken nggak bisa bilang apa-apa karena jengkel sekali, sekaligus malu sama Pandu. Pandu yang lalu menyahut, “Benar sekali kamu, Jim. Kamu cuma punya satu kesamaan sama Niken. Sama-sama bermata sipit. Lain dari itu tidak. Niken berjiwa besar, berhati mulia, temannya banyak. Kamu? Jiwamu kerdil, hatimu busuk, temanmu cuma sebatas orang yang ingin memanfaatkan kekayaanmu!” Kata-kata Pandu tadi walaupun memang benar adanya, terdengar begitu pedas di telinga. Jimmy mulai bergerak mendekati Pandu, bermaksud menjotosnya lagi. Niken mencegahnya. “Jimmy, sudahlah. Rasanya kita berdua nggak ada harapan lagi. Aku akan minta mama untuk membatalkan semuanya.” “Niken? Jangan bilang begitu dong. Maafin aku, aku tadi termakan emosi. Kamu boleh berteman dengan Pandu, ayolah. Maafkan aku.” bujuk Pandu yang kaget mendengar kata-kata Niken. “Pergilah, Jimmy. Sudah nggak ada apa-apa antara kita.” Muak sekali Niken melihat wajah Jimmy. Merasa sudah nggak bisa berbuat apa-apa lagi, Jimmy lalu berkata, “Baiklah, Niken. Tapi aku nggak akan pergi sebelum bilang sesuatu yang aku mau bilang dari dulu. Kamu perlu belajar mencintai orang, Niken. Kalau nggak, kamu nggak akan pernah bahagia.”
  • 43. Setelah Jimmy pergi, Pandu duduk di trotoar dekat Niken. “Kamu nggak papa, Fei?” Niken diam saja. Dia masih memikirkan kata-kata Jimmy barusan. “Fei!” “Hah? Apa? Kamu ngaget-ngagetin aku aja, Ndu!” Niken terkaget dari lamunannya. “Kamu nggak papa, kan?” Pandu mengulangi pertanyaannya. “Yang papa tu kamu. Tuh liat, bibirmu berdarah gitu. Nggak sakit, apa?” kata Niken sambil mengambil tissue satu lagi dari sakunya. Pelan-pelan luka di bibir Pandu dia bersihkan dengan tissuenya. “Aduuh…!” Pandu mengerang kesakitan. “Sakit ya? Salah sendiri, kenapa mesti berantem sama Jimmy? Sekarang yang sisa tinggal sakitnya, kan?” “Pelan-pelan dong!” Pandu masih mengaduh-aduh. “Ya ini udah pelan-pelan, tahu? Kamu tahan sedikit lah. Manja bener.” Baru kali ini Pandu melihat wajah Niken begitu dekat. Dari dekat gini jadi tambah jelas manisnya. Wajah Niken bersih tanpa noda sedikitpun. Nggak ada jerawat, bisul, atau kurap. Niken jadi sadar Pandu dari tadi memperhatikannya. “Kenapa?” tanyanya. “Jujur aja, kamu manis sekali, Fei. Cowok yang berhasil dapetin kamu bakal beruntung banget. Aku juga nggak nolak kalo diberi koq.” “Heh! Kalo ngomong yang bener!” “Duh! Jangan kasar gitu dong, perih nih!” kata Pandu memegangi dagunya. “Makanya jangan macem-macem.” kata Niken mengancam. “Aduh, iya deh… Iya…” Pandu pasrah sambil memonyongkan bibirnya untuk dibersihkan lukanya. Niken tiba-tiba teringat sesuatu, “Oh! Iya! Aku musti segera kembali ke theatre. Aku belum selesai ngatur gladi bersih buat besok. Aku mesti double cek ke Jabrique apa mereka jadi tampil. Kemarin sih mereka bilang jadi.” “Aku boleh ikut lihat gladi bersihnya?” “Lihat nggak boleh. Harus ikut bantu angkut-angkut.” “Kalau nggak males, ya...” katanya sambil mengikuti Niken ke theatre. Untung anak-anak masih sabar nunggu di dekat panggung. Juned,
  • 44. salah satu anak yang tugas MC besok, melapor. “Niken, anak dekorasi hari ini mau ngelembur sampe malem. Speaker-speaker ini mau ditaruh dimana?” “Ditaruh di belakang panggung aja, jadi besok gampang ngeluarinnya lagi. Kamu udah latihan sama Heni?” “Tuh di belakang panggung. Dia grogi banget, dia maunya semua naskah ditulis, katanya mau dihafalin di rumah. Aku udah bilang, itu nggak baik. Lupa satu nanti lupa semua. Mending rileks aja. Coba deh kamu yang ngomongin.” “Ya kamu yang sabar ngelatih dia. Maklum lah, dia kan masih kelas satu, baru pertama kali ini dia MC di panggung. Aku nggak akan pilih dia kalo aku nggak yakin dia mampu. Kamu mesti bisa bikin dia nyante, lebih percaya diri. Oke?” “Oke deh.” kata Juned menuju ke belakang panggung. “Mber!” panggil Niken. Yang dia maksud Hengki, yang panggilan akrabnya memang ‘comberan’. Itu gara-gara waktu perploncoan awal masuk SMA dulu, dia memaki diri sendiri waktu jatuh di comberan. Kebetulan salah satu orator berdiri di dekatnya. Dengan alesan itu comberan di SMA Antonius, termasuk barang langka, harus dicintai. Terus dia disuruh duduk di comberan, sambil minta maaf karena sudah memaki-maki comberan. Sejak itu dia dipanggil comberan. Hengki itu yang dia tugaskan penanggung jawab tim dekorasi panggung. “Mber, kata Juned, anak-anak dekor mau ngelembur yah? Kamu yakin betul mereka mau ngelembur? Aku nggak mau mereka nanti mengomel di belakang lho…” “Bener koq, Niken. Mereka malah merasa nggak enak sendiri karena belum selesai sampe hari H minus satu. Mereka yang minta untuk diijinkan kerja sampe selesai. Tapi kayaknya nggak bakal sampe malem, koq. Paling sore nanti udah kelar semua.” “Baiklah kalo gitu. Aku nanti bilang Mas Manto, yang jaga sekolah.” “O, iya, Niken. Sandra baru aja pulang. Dia kan kamu tugasi mengatur jalannya acara gladi bersih hari ini. Baru aja selesai setengah jam yang lalu. Dia pesan ke aku, dia harus pulang cepetan. Tapi pelaksanaan nggak jauh beda dari jadwal. Nggak molor-molor. Semua band pendukung termasuk Jabrique juga sudah dia hubungi. Semua oke.” “Bagus. Endang jadi menari besok?”
  • 45. “Wah, nggak tau. Sandra nggak bilang. Aku sih denger kalo dia sakit. Eh, Wulan tadi pesan, dia mau beli makanan buat anak-anak, nanti balik kemari lagi. Tanya ke dia deh, mungkin dia tau.” “Oke. Aku nanti pulangnya sesudah anak dekor kelar, koq.” “Nggak usah, Niken. Kamu pulang aja. Kamu dari pagi tadi udah di sini terus. Suara kamu aja udah serak-serak banjir begitu. Ntar besok nggak layak tampil lho…” “Nggak papa. Aku nggak bisa tenang sebelum segalanya selesai. Kalo pulang bisa-bisa aku balik ke sini lagi. Lagian aku kan bisa bantu-bantu.” “Silahkan aja. Eh, Ndu. Kita butuh tambahan tenaga dari regu perlengkapan. Kita lagi dalam rangka mau mindah-mindahin perlengkapan band dari panggung, biar anak-anak dekor kerjanya lebih leluasa.” “Siap boss. Ruangan ini juga perlu dibersihin, apalagi sesudah kalian selesai ndekor nanti pasti tambah banyak sampahnya. Aku siap bantu sampai kelar nanti.” “Makan makaaaaaaann…” teriak Wulan. Dengar kata makan, anakanak menghambur ke arah Wulan dan dengan suka rela membawakan kantong-kantong plastiknya berisikan nasi goreng itu. “Nggak salah kamu di seksi konsumsi, Wulan. Kamu nggak pernah biarin kita-kita ini kelaparan…” puji Pandu. Wulan menyeret Niken menjauh dari yang lain. “Nik, si Endang gak jadi nari besok. Acaranya diganti Sulis yang setelah dipaksa-paksa mau juga manggung komedi sendirian.” “Oh… ya sudah… Sebenere nggak usah diganti juga kita udah cukup punya banyak acara koq.” “Nik, tadi Jimmy sama Pandu gimana? Sudah gencatan senjata?” tanya Wulan dengan nada kuatir. “Ruwet dah, Lan. Jimmy keterlaluan banget. Akhirnya aku suruh dia pergi. Acara perjodohan akan aku batalkan.” “Separah itu, heh?” Niken mengangguk. “Si Pandu suka sama kamu?” “Nggak. Siapa yang bilang?” tanya Niken heran. “Lha tadi, kenapa mereka berkelahi?” “Itu mah karena Jimmy yang kelewat cemburu aja.”
  • 46. “Nik, kalo misalnya, ini cuma misalnya lho ya. Misalnya Pandu suka sama kamu, kamu mau nggak sama dia?” “Nggak. Aku kan udah bilang, aku nggak mau pacaran.” “Sungguh, nih?” tanya Wulan. “Sungguhan. Kenapa sih? Kamu naksir dia yah…? Aaah… Wulan naksir Pandu rupanya yah?” goda Niken. “Bukan aku. Ratna. Dia tadi nangis waktu dengar Pandu berantem sama Jimmy gara-gara kamu. Tau sendiri lah si Ratna. Cengengnya minta ampun. Dia pake acara mendekam di kapel segala lho. Nangis sehabishabisnya di situ. Sampe romo sama koster yang lagi bersih-bersih di sakristi jadi bingung dibuatnya. Kalo kamu nggak keberatan, aku mau kamu ngomongin Pandu soal Ratna. Soalnya dia kayaknya masih di kapel sekarang ini. Nggak mau keluar-keluar. Nggak mau makan segala. Siapa tau Pandu bisa bujuk dia… Tolong Nik…” “Kenapa kamu nggak bilang ke Pandu sendiri?” “Ayolah, gampangan kamu yang bilang ke dia. Dia pasti menurut sama kamu.” bujuk Wulan. “Iya deh, nanti aku bilangin. Tapi dia harus angkut-angkut speaker gedegede itu dulu sama anak-anak. Abis itu ya…” “Ndu…” sapa Niken waktu Pandu baru saja selesai angkut-angkut, sambil menyodorkan tissue untuk mengelap keringatnya. “Kamu hari ini promosi tissue apa gimana sih? Aku udah ngabisin tiga tissuemu hari ini.” “Kayaknya kamu butuh satu lagi deh.” kata Niken sambil menyodorkan satu tissue lagi. “Tapi yang ini buat Ratna.” “Ratna?” tanya Pandu bingung. “He’eh. Dia nangis sesiangan di kapel tuh.” “Trus apa hubungannya sama aku?” “Erat sekali. Dia nangis lantaran tau kamu berantem sama Jimmy tadi, dan dia tau itu gara-gara aku. Sama seperti Jimmy, dia pasti merasa sedikit banyak cemburu. Banyak, mungkin.” “Lantas, aku bisa apa?” tanya Pandu masih tak mengerti. “Tu anak belum makan siang, dari tadi menangis terus, bikin bingung orang. Kalo nggak cepat-cepat ditolong, dia bisa pingsan, kehabisan tenaga karena belum makan, atau lebih parah, kehabisan air mata.” “Aku nggak berminat meladeni dia hari ini. Capek.” jawab Pandu ogah-
  • 47. ogahan. “Ayo, dong. Aku juga merasa bersalah, nih. Paling nggak, temui dia. Jelasin kalo nggak ada apa-apa antara kita. Jadi dia nggak salah paham, dan yang penting nggak menangis terus.” “Kamu sungguh-sungguh ingin aku deketi dia, Fei?” “Kata Wulan sih, dia cinta sama kamu. Nggak tau gimana koq dia bisa cinta sama orang konyol kayak kamu, tapi kenyataannya emang iya. Ratna cantik, lembut. Itu kan kriteria cewek idamanmu, kalo nggak salah. Kenapa nggak diembat aja?” “Baiklah. Aku akan bujuk dia untuk pulang dan nggak nangis lagi. Rasanya nggak bakal susah sih. Nanti aku balik ke sini lagi.” “Ndu, nggak usah cepat-cepat kembali kesini juga nggak papa. Kamu bakal aku butuhin lagi nanti kalo anak-anak dekor selesai.” Pandu mengangguk ragu, lalu berlalu dari situ, menuju ke arah kapel di depan. Ini hari Minggu sore, hampir malam. Gelar Seni sudah secara resmi dibuka tadi pagi. Niken seharian tadi sudah banjir keringat karena dari tadi sibuk mondar-mandir, lari kesana kemari. Rambutnya dikuncir ekor kuda di belakang, jadi tidak mengganggu. Dari tadi siang dia tidak sempat pulang. Niken sengaja bawa baju ganti, jadi dia tadi bisa mandi dan ganti baju di kamar mandi sekolah, untuk acara band nanti malam. Bandnya akan menjadi acara pembukaan pentas band malam ini. Acara puncaknya sih Jabrique band. “Niken, si Heni demam panggung, tuh, aku udah berusaha nenangin dia, tapi kayaknya gagal total. Tolong dong…” keluh Juned. Niken mengangguk mengerti, lalu menghampiri Heni yang duduk di belakang panggung yang sedang komat-kamit menghafal naskahnya, seperti sedang menghafal mantera saja. Melihat Niken datang menghampirinya, Heni langsung berdiri dan mengeluh, “Niken, kamu gantiin aku jadi MC hari ini ya. Aku nggak sanggup. Aku takut…” “Kenapa mesti takut?” Niken memegangi tangan Heni. Dingin sekali tangannya. Keringat dinginnya sudah membuat kertas naskah yang dipegangnya jadi bergelombang dan kucel. “Aku udah bilang sama Juned, aku nggak mungkin milih kamu jadi MC kalo aku nggak yakin sama kemampuanmu. Aku tahu kamu bisa, Heni!” lanjut Niken dengan nada
  • 48. mantap. “Kamu sepertinya sudah salah pilih, Niken. Aku nggak bisa....” “Kamulah yang nggak sadar sama kemampuanmu sendiri, Hen. Buang deh itu naskah. Kamu mesti ngomong dari dalam hati kamu.” Pandu yang juga berdiri di dekat situ, sedang mempersiapkan diri untuk manggung di acara pertama, membisikkan sesuatu pada Niken. Lalu dia berlalu. Sebentar saja dia datang lagi, membawa Galih. Tanpa ba bi bu, Galih mencium pipi Heni, lalu cuma menganggukkan kepala, terus pergi lagi. Niken bengong. Heni apalagi. Tapi kemudian, Heni meremas kertas naskahnya, lalu berkata, “Ayo, aku udah siap. Mana Juned?” Niken tambah bengong. Semenit kemudian, Heni dan Juned sudah asyik bercuap-cuap di atas panggung. Niken yang menonton dari pinggir panggung masih terbengong-bengong. “Itu yang namanya kekuatan cinta.” bisik Pandu. Niken masih bengong, menatap wajah Pandu, meminta penjelasan. “Aku tau Heni sudah lama naksir Galih. Galih juga suka sama Heni, tapi nggak tau kalo Heni naksir dia, jadi nggak berani ngomong. Hari ini aku sudah jadi mak comblang yang baik kan?” kata Pandu sambil mengedipkan sebelah matanya. Niken lalu tertawa terbahak-bahak. “Terus kenapa Galih nggak bilang apaapa sama Heni?” “Cinta nggak butuh kata-kata, Fei. Heni tahu sekarang kalo Galih juga cinta sama dia. Itu saja cukup.” Niken kembali ke kebengongannya. Pandu mau tidak mau harus mengagetkannya, karena Heni dan Juned sudah menyebut-nyebut band mereka. “Hoi! Mau manggung sekarang apa tahun depan?” “Oh…! Ya sekarang dong!” kata Niken menyambar stick drum-nya di meja. Baru aja Niken keluar dari panggung, Sandra dengan wajah pucat sudah menyambutnya dengan berita buruk. “Niken, aku baru aja dikontak manager Jabrique. Mereka nggak bisa manggung malam ini karena ada komitmen lain. Bull shit, lah. Gimana nih? Padahal Jabrique udah dijadwalkan nyanyi 2 lagu malam ini. Gimana dong, Niken?!” Kepala Niken jadi pusing mendadak. Seperti drum yang dipukul-pukul
  • 49. rasanya, tapi tanpa ritme yang jelas. “Kasih aku waktu buat mikir, San. Aku keluar panggung dulu. Sumpek.” Niken keluar lewat pintu panggung belakang. Pandu mengikutinya. “Koq Jabrique nggak bertanggung jawab begitu, sih?” Pandu mengomel. “Ini salahku. Mestinya aku punya back-up plan buat ini. Seharusnya aku tahu mereka bisa membatalkan sewaktu-waktu. Mereka kan band terkenal. Teman-teman pasti kecewa semua. Aduh, kepalaku jadi pusing deh. Aku nggak tau mesti gimana.” sahut Niken jujur. Baru kali ini Pandu mendengar Niken nggak tahu harus berbuat apa. Biasanya Niken pasti punya jalan keluar. “Rileks, Fei. Kalo rileks kita pasti nemuin jalan keluar.” kata Pandu berusaha menghibur, sambil mendekat ke arah Niken. Kedua tangannya diletakkan di bahu Niken, kiri dan kanan, lalu mulai memijit-mijit bahu Niken. Niken memejamkan matanya. Enak sekali dipijit begini. Apalagi kalau sedang pusing seperti sekarang. Angin malam semilir membantu menenangkan suasana hatinya. Pikirannya melayang ke ciuman Galih tadi. Pandu ikut memejamkan matanya, ikut berpikir, sementara tangannya masih memijit bahu Niken. Kasihan Fei Fei, dia pasti capek seharian sibuk terus, kata Pandu dalam hati. Hari ini dia melihat sisi lain dari Niken. Niken bisa juga merasa tak berdaya. Entah setan dari mana, tiba-tiba saja dia bisa merasakan sesuatu yang harusnya dia ketahui sejak pertama ketemu Niken. Cinta! “Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?” Pandu mengutuk dirinya dalam hati. Walaupun belum pernah merasakan ini sebelumnya, dia yakin ini tak lain dan tak bukan adalah cinta. Ibunya benar, cinta itu datangnya nggak terduga-duga, dan kalau sudah datang tak bisa diusir-usir. Kalau saja ibu ada di sini sekarang, ibu pasti tahu apa yang harus dilakukannya. Haruskah dia bilang terus terang sama Niken? Dengan resiko berat harus kehilangan persahabatannya? Atau tidak usah bilang, dengan resiko kehilangan kesempatan memperoleh cinta sejati? Aduh, kepala Pandu jadi ikut pusing. “Ndu, kamu udah menemukan jalan keluar belum?” Niken membuyarkan angan-angannya. “Belum.” sahut Pandu singkat. “Tapi aku sudah menemukan yang lain,”
  • 50. serunya dalam hati. “Kita punya waktu sekitar satu jam sebelum jadwal manggung buat Jabrique. Ide apapun aku bakal pertimbangkan deh, karena aku sama sekali blank, aku nggak punya ide sama sekali.” “Sssh… jangan berpikir yang buruk-buruk dulu. Cobalah menikmati suasana malam ini.” kata Pandu masih memejamkan matanya. “Ndu, jangan tidur kamu ya!” ancam Niken. “Nggak nggak… jangan kuatir. Aku sedang ikut berpikir koq. Kamu coba tenang dulu, lah.” Setelah diam selama kurang lebih lima menit, Pandu membuka matanya. “Aku ada ide! Fei, apapun yang terjadi, percaya deh sama kata-kataku. Aku bakal kembali tepat di saat yang ditentukan, dengan solusiku. Aku sekarang harus pergi dulu. Kamu tunggu di sini.” “Hey… tunggu. Aku ikut dong.” ”Kamu di sini aja. Anak-anak di sini butuh dukunganmu. Percaya deh. Aku sudah punya solusi yang tepat. Kamu nggak usah kuatir, ok?” kata Pandu sambil berlari ke arah depan. * Sudah saatnya. "Mata jangkrik itu di mana sih?" gerutu Niken. “Niken, liat tuh Pandu manggung.” kata Sandra menunjuk ke arah panggung. Benar katanya. Dia muncul dari depan panggung dengan menenteng keyboard. “Gila tu anak. Tampil tanpa persiapan lagi. Moga-moga aja nggak kacaubalau.” Well it’s been building up inside of me for oh, I don’t know how long I don’t know why but I keep thinking something’s bound to go wrong… Don’t worry baby… Don’t worry baby… …But I can’t back down now because I pushed the other guys too far… Don’t worry baby… Don’t worry baby… Dari samping panggung Niken dapat mendengar jelas suara Pandu. Maklum, speaker ada di dekat situ. Suaranya begitu jernih, Niken jadi merasa tenang sekarang. Sepertinya Pandu sudah menyelamatkan shownya malam ini. Tanggapan anak-anak yang nonton di depan panggung pun sangat positif. Histeris, malah.