Kisah ini menceritakan kedua yatim piatu bersaudara bernama Cendana dan Cendini yang hidup di hutan. Suatu hari Cendana merantau untuk mencari bahan tenun sementara Cendini ditinggal menjaga kebun. Cendini lalu dimangsa oleh raksasa hutan tetapi dibangkitkan kembali oleh Cendana. Kemudian mereka berdua berkolaborasi membunuh raksasa itu dengan cara licik.
1. Cendana dan Cendini
Kisah dari Sasak, Sumatera Utara
Kisah ini menceritakan usaha dua anak yatim piatu bekerja keras menyambung
hidup. Mereka tinggal di hutan, membuka lahan, dan menanam pelbagai macam
tanaman. Pada suatu waktu, sang kakak merantau, sementara sang adik
kebagian tugas menjaga kebun. Tak disangka-sangka, sang adik dimangsa
seekor raksasa. Didasari rasa sepenanggungan dengan adiknya, sang kakak
berhasil membunuh sang raksasa dan menghidupkan jasa sang adik. Kisah ini
mengajarkan agar hidup dijalani dengan kerja keras dan tolong menolong antar
sesama, terutama saudara sendiri.
Di kaki Gunung Muteran, hiduplah sepasang kakak beradik, laki-laki dan
perempuan. Yang kakak bernama Cendana, sedangkan adiknya bernama
Cendini. Keduanya sudah lama ditinggal ibu dan bapaknya. Sehari-harinya
mereka bermain di kaki gunung itu. Rimbun dan hijau hutan itu pun mengajari
keduanya bagaimana menikmati keindahan yang disuguhkan alam.
Setiap hari mereka selalu menikmati pagi yang cerah. Mereka sudah hapal
bagaimana matahari pelan-pelan bangkit dan menelusupkan sinar kuning
keemasannya di sebalik rimbun daun pepohonan. Mereka pun sudah akrab
dengan macam-macam burung berceracau di ranting-ranting. Sesekali kawanan
burung itu terbang dan melumuri bulu-bulunya dengan embun yang tersisa di
daun-daun. Cendana, untuk sejenak terpana, melihat perilaku makhluk-makhluk
kecil yang lucu itu. Lalu ditatapnya Cendini. Sang adik masih terlelap di atas
lantai tanah yang digelari dengan tumpukan dedaun sebagai penghangat.
Setelah lama mematung dengan tatapan lurus tertuju pada rimbun huan pagi
hari di sekitar gubuknya, Cendana akhirnya bergegas masuk kembali. Ruangan
di dalam terasa sepi. Keheningan memantul antara dinding gubuk ke lantai, lalu
ke atap dan mungkin juga memantul ke dalam hatinya.
“Aku harus melakukan sesuatu,” gumamnya.
Matanya terpaku pada wajah adiknya. Cendana mendekat dan merabai kening
adiknya. Lelaki kecil itu menggeliat lemah. Kehangatan kasih sayang seorang
kakak mengalir sebegitu dalam hingga mengusik mimpi tidur Cendini.
“Kakak sudah bangun?” tanya Cendini dengan mulut yang sesekali terlihat masih
menguap.
2. Cendana mengangguk. “Sudah dari tadi. Kau tidur dengan sangat nyenyak. Aku
tak ingin mengganggu,” jawab Cendana dengan ramah.
“Kau belum cuci muka. Pergilah ke kali belakang,” suruh Cendana. Cendini
menurut. Ia segera pergi meninggalkan kakaknya yang masih asyik menikmati
udara pagi hutan dari bale-bale gubuk. Matahari semakin meninggi, namun
udara di hutan masih dingin. Cendana menghela napas dalam-dalam.
Ingatannya kembali tertuju pada kedua orangtua yang sudah lama meninggalkan
mereka.
Desau angin dari daun-daun yang bergesekan bersekutu dengan gejolak rasa di
dada Cendana. Begitu kelam. Sekelam lebat hutan yang tak bisa diselami
dengan rasa takut dan miris. Bulir air berpucuk di ujung kedua bola matanya.
Satu-satu menetes.
“Kakak menangis?”“Ah…, tidak apa-apa. Kau sudah selesai. Cepat sekali,” kata
Cendana setengah tergeragap.
Cendini tak bertanya lebih jauh perihal kakaknya pagi itu. Angin masih terus
menerpa kedua wajah mereka yang selalu menampakkan keriangan.
“Cendini, hari ini kakak mau memaras semak dan menebang beberapa pohon di
sekitar gubuk ini. Nantinya kan bisa kita gunakan untuk bertanam. Kau mau
membantu?”
“Menebangi pohon-pohon di hutan kan membahayakan, Kak?”
“Itu kalau berlebihan. Kita hanya perlu menebang beberapa batang pohon saja.
Asal cukup untuk kebutuhan kita berkebun,” jawab Cendana datar.
Demikianlah, keduanya hari itu saling membantu merambas semak, menebang
beberapa batang pohon. Semak yang terkumpul kemudian mereka bakar agar
nantinya bisa digunakan sebagai penyubur tanah. Cendana tersenyum melihat
hasil usahanya hari itu. Matanya berbinar cerah selaksa warna langit yang
sanggup menampung kilau-kilau bintang dan warna pelangi. Kedua tangannya
berkacak.
“Lihatlah, Cendini. Aku telah melakukan yang terbaik hari ini.”
Cendini diam tak menanggap. Sesungging senyumnya terbias dari bibirnya yang
mungil. Matanya berkilatan memendam binar-binar yang serupa. Hatinya terasa
tenteram oleh sepuhan kasih yang begitu besar dari kakaknya. Aih, hari yang
mempesona untuk dilewati. Meski hanya hidup berdua dengan kakaknya, namun
Cendini merasa telah memiliki semuanya. Kepada Yang Maha Kuasa ia mesti
mengucap syukur yang teramat dalam.
Namun sesuatu terjadi pada suatu malam yang lengang dan kelam. Bintang-
bintang malas muncul. Cendana duduk di depan perapian yang ia buat sejak
sore tadi. Hangat menjalar dari pori-pori kulitnya hingga ke kedalaman sumsum.
Malam itu Cendana tak memakai baju. Demikian pula Cendini. Mereka hanya
menutup bagian-bagian tertentu dari tubuhnya dengan rajutan daun-daun.
3. “Cendini, rasanya tak ada lagi pakaian yang layak untuk kita pakai,” kata
Cendana sambil membalik ubi dan singkong yang dibakarnya. Kebun yang
mereka garap sudah memberikan hasil yang memuaskan.
“Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Cendini.
“Besok, tanamlah kapas di kebun. Sedangkan aku akan pergi ke Jawa dan Bali
untuk membeli keperluan menenunmu kelak.”
“Apa?” suara Cendini meninggi berbaur dengan rasa kagetnya. “Aku akan
ditinggal sendirian di hutan ini. Tidak, Kakak. Aku takut. Kalau boleh aku akan
menemani Kakak ke sana,” bantah Cendini dengan wajah sedikit menghiba.
“Kalau kau ikut, lalu siapa yang akan menjaga dan merawat kebun-kebun kita
yang hampir panen itu,” Cendana menolak. Dan Cendini pun terdiam. Raut
mukanya segetas batu-batu yang terhampar di seantero hutan. Di lubuk hatinya,
teramat inginnya Cendini memaksa kakaknya agar ia bisa ikut serta. Namun, kali
ini rasanya memang tidak mungkin, karena kebun sudah hampir panen. Ia harus
menjaganya kalau masih ingin bertahan hidup di rimba hutan.
Waktu pun ditentukan. Cendana sudah siap berangkat. Namun sebelum
berangkat, ia membuatkan adiknya rumah panggung yang bisa digunakan untuk
berteduh. Dangau itu ia letakkan di dekat kebun agar Cendini bisa terus luluasa
mengawasi kebun-kebunnya dari gangguan binatang. Maka diikatkanlah dua
utas tali yang satu ujung tersangkut di dangau, ujung yang lain diikat pada
pohon-pohon yang ada di seberang kebun. Dengan menarik tali itu saja, maka
hewan-hewan itu akan berlarian. Pacak-pacak bambu mirip kincir angin berdiri di
tengah kebun.
“Sebelum Kakak datang, Cendini jangan turun dari dangau.”
Perempuan muda itu mengangguk dan menyalami kakaknya yang segera
berangkat.
Hari berganti dengan begitu rupa. Cendini tetap setia menanti kakaknya dengan
terus menjaga kebun-kebunnya dari atas dangau. Walau sudah lama tinggal di
hutan ini, toh Cendini was-was juga tinggal sendiri di tempat yang begini sunyi.
Puas menikmati cericit burung-burung kecil yang hinggap di ranting-ranting
pohon lebat, mata Cendini sesekali mendongak ke atas langit biru. Berlarik-larik
awan tampak bagai siput berjalan sedang beriringan menuju ke arah barat.
“Pergi, pergilah wahai burung. Jangan kalian makan padiku. Kakakku sedang
pergi ke Jawa-Bali. Ia pasti membelikanku setuk mas, jajak mas, dan terompong
mas,” begitu Cendini bersenandung diiringi ricik air sungai dan suara dedaun
yang bergesek lambat. Suaranya merdu dan sudah cukup membius segala
penghuni makhluk yang bersemayam di lebat hutan. Tangannya terus menarik-
narik tali dan mulutnya terus bernyanyi. Suaranya mengalun menggasak
kesunyian yang mulai tak lagi tahan ditanggungnya.
4. Angin berhembus dengan begitu cepat. Menderu. Mendesau-desau. Melandai-
landaikan pucuk pohon yang menjulang tinggi. Tak henti-henti Cendini menyanyi.
Matanya menatap lurus ke dapan. Dia menatap hamparan kebun padi yang tak
lama lagi panen. Tali ditariknya kembali. Dari rimbun dan lebatnya pohon
sesosok makhluk besar dan asing datang mendekat. Langkahnya lebar dan
bergemuruh.
“Nyam, nyam, gerdi, gerda. Siapa di tepi hendak kumakan,” suara makhluk besar
itu sesekali mendesis. Mengaum. Melolong-lolong dengan gigi taring dan lidah
merah yang dijulur-julurkan. Makhluk itu tampak rakus dan beringas. Cendini
merunduk dan menatapnya. Persis seperti ciri-ciri sesosok ibu yang pernah
diceritakan kakaknya.
“O, Ibu! Ke mana saja selama ini. Aku kangen,” sapa Cendini.
“Yah. Nyam, nyam, nyam. Ibu juga kangen. Turunlaaah!” suara makhluk itu
menggelegar.
Tanpa pikir panjang, Cendini turun dari dangaunya. Makhluk di bawah itu girang.
Menari-nari dan menjulurkan lidah. Menjelang kaki Cendini berpijak di tanah,
makhluk itu menyambar dan menelannya. Hening. Mencekam. Dan aroma hutan
begitu penuh dengan ketakutan. Darah menetes-netes membasahi rumputan.
Matahari kembali menyembul di ufuk timur. Dengan langkah yang ringan dan
riang serta bibir yang tak sudah-sudah tersungging memendam senang,
Cendana melangkah mendekati dangau. Namun yang didapatinya cuma hening.
Suara angin membeku di pendengaran. Kebun-kebun seperti runduk
menanggung kesedihan tak bertara.
“Lihatlaaah! Apa yang Kakak bawakan, Cendini!” suara Cendana memantul
lembut. Namun tak ada sahutan. Samar-samar dilihatnya bekas-bekas darah di
rumputan dan tangga dangau. Hatinya berdesir. Perih nyinyir. Persendiannya
guyah seperti mau copot.
“Ia telah binasa. Ia telah binasa. Oh... tidaaaak!” serunya sambil melompat-
lompat seperti kesurupan. Tak lama kemudian, tubuh Cendana pun rubuh.
Pandangannya gelap. Tak ada kebun. Tak ada hutan. Tak ada langit, tanah, dan
dangau. Buntalan yang berisi barang-barang yang dibeli dari seberang
terhempas. Berhambur. Namun tak ia hiraukan. Hatinya berdesir dengan sebuah
pengharapan yang diucapkan.
“Ya Tuhan! Kalau benar aku bukan manusia sembarangan, maka wujudkanlah
semua kata-kataku menjadi kebenaran yang nyata,” rintih Cendana dalam
hatinya. Lalu kedua matanya kembali melihat bekas darah yang ia yakini adalah
darah adiknya sendiri.
“Bangkitlah Cendini dari kematianmu. Hadirmu di sini teramat aku rindu,” seru
Cendana perlahan. Sementara itu, angin perlahan berkesiuran. Menggoyang
dedaunan dan hinggap di bekas-bekas darah. Mata Cendana pun tiba-tiba
menangkap keajaiban yang tak kepalang mengherankan. Darah itu menyembul-
5. nyembul seperti air mendidih di atas perapian. Lalu darah itu mengepul dan
menjelma sosok manusia yang sempurna.
“Cendini, engkau akhirnya hidup lagi,” teriak Cendana kegirangan. Dirangkulnya
adik tersayang semata wayang itu. Mata Cendini berkerejap pelan. Dia lalu
bercerita perihal sosok makhluk besar yang merupa ibunya.
Tak lama berselang, sebuah rencana mula dirancang. Cendini menaiki kembali
dangaunya. Sementara Cendana memanaskan air di sampingnya. Dan tak salah
di duga, makhluk besar dengan ludah menjulur kembali datang. Ia meminta
Cendini turun seperti dulu.
“Ambilkan dulu sisirku yang terjatuh. Aku tak akan turun dengan rambut
berantakan begini,” pinta Cendini kepada makhluk besar itu. Makhluk besar itu
menurut. Ia memasuki kolong dangau dengan santainya. Cendana pun girang
melambung. Dituangnya air panas ke kolong dangau. Terdengar jerit sayat
memintal maut. Senyum keduanya berhambur. Pertanda menang dan rasa
syukur. Tulang-tulang makhluk besar itu berserakan di Bumi Leong.