SlideShare a Scribd company logo
1 of 63
PEREMPUAN YUNANI DAN GURU BAHASA INDONESIA
Episode 1
Ulang tahun ke-lima Reina, anakku semata wayang, berlangsung seru. Acara buka kado
dilakukan di depan tetamu cilik teman-teman sekelas dan tetangga. Lihatlah, pernik-pernik kado
unik menyembul dari kertas kado yang disobek beringas oleh Reina.
“Wui, boneka Barbie!” teriak Reina.
“Itu dari aku. Bagus ya?” celetuk seorang bocah, bangga.
“Yang dari aku juga keren. Buka yang ini dulu,”seorang bocah meraih kado dari meja dan
menyodorkan pada Reina. Reina meladeni teman kecil itu. Ia sobek kertas kado itu.
Membundar mata Reina melihat boneka alligator berwajah imut.
Dan selebihnya Reina sukses memenuhi lantai dengan sobekan-sobekan kertas kado. 71 kado
ditumpuk di meja.
“Ini dari ibu,” istriku mengangsurkan kado terakhir. Reina menyambutnya dan seberingas
sebelumnya, ia membetoti kertas pembungkus.
“Asyik. Ini tas yang aku mau….” heboh teriakan Reina menimang tas plastik produk impor
bergambar tokoh-tokoh Sesame Street. “Terimakasih, ya, Ibu. Eh, dari Bapak mana?” Reina
menoleh ke arahku.
“Tuh, dah gabung dengan yang dari ibu,” kataku.
“Wah, Bapak curang. Maunya gabung aja,” kata Reina. Istriku menoleh aku beberapa detik. Aku
hanya bisa tersenyum, meraih jaket, mengalungkan tas ke bahu dan mengucapkan selamat
ulang tahun pada Reina.
“Teman-teman kecil, kalian nikmati pestanya, ya. Om pergi dulu!” aku melayangkan pandangan
ke tetamu mungil itu, dan meninggalkan rumah makan cepat saji spesialis ayam goreng itu.
Sore ini aku harus mengajar. Tak bisa menemani Reini menuntaskan pesta ulangtahunnya.
Ya, perkenalkan aku, Rodi guru privat Bahasa Inggris. Perkenalkan pula istriku, Trista, finance
manager pada sebuah perusahaan multinasional. Beda pekerjaan ini yang menyebabkan
kadoku pada Reina terpaksa ‘tergabung’ dengan kado istriku. Mana bisa aku membelikan kado
dengan nilai mendekati setengah juta rupiah seperti itu. Angka di slip gaji istriku amat jauh
berbeda dengan angka uang yang kumpulkan dari mengajar privat di beberapa tempat.
Aku mengupas sore itu dengan laju sepeda motor bebek keluaran tahun 2005, berusaha tidak
iri pada mobil Suzuki Swift yang dikendarai istriku untuk pergi kerja. Aku datang ke rumah
siswa, dua anak kembar SMP yang tinggal di bilangan perumahan mewah tepat waktu.
Pulangnya, aku menerima amplop pembayaran belajar sebulan yang jumlahnya tak jauh beda
dengan nilai kado Trista untuk Reina.
***
Trista dan Reina sudah berada di rumah begitu aku sampai di rumah. Reina asyik memilah-
milah kado sambil sesekali mengomentari kado ‘jelek; yang tak sesuai seleranya. Tas
pemberian ibunya didekap Reina dengan tangan kiri.
“Reina senang banget dengan kado itu,” kataku pada Trista.
“Iya. Kamu kan baru dapat bayaran salah satu siswa. Nggak pingin belikan kado? Terlambat
sedikit tidak apa-apa,” kata Trista.
“Harusnya. Tapi besok waktunya bayar tagihan antar-jemput Reina,” ujarku.
“Tagihan itu biar aku yang bayar,” kata Trista.
“Tak usahlah. Itu kewajibanku,” aku masuk kamar dan menghitung uang. Setelah bayar tagihan
antar jemput nanti, masih tersisa Rp 80.000. Aku termangu menimang uang itu. Trista
membututi aku dari belakang.
“Mas, kamu beli kado aja sekarang buat Reina. Dia ingin kado dari kamu. Pakai uangku,” kata
Trista.
Aku menoleh.
“Nggak usahlah, Tris. Cukup sudah kado dari kamu itu. Dan lagi aku tak mau kau terus-terusan
menyokongku untuk hal-hal yang seharusnya aku bisa lakukan”
“Makanya, Mas, kau cari…..”
“Sst, boleh nggak kalau kita nggak membahas soal aku harus cari kerja yang lebih mapan? Apa
salahnya pekerjaan guru privat bahasa Inggris. Pendapatanku toh kurang lebih sama dengan
para ayah lain yang kerja kantoran?” aku menyergah.
“Itu kalau jumlah murid kamu sedang banyak. Tapi kau lihat sendiri, jumlah muridmu naik turun.
Kalau sedang turun, kamu bilang jumlah murid akan naik lagi. Nyatanya, jumlah murid privatmu
lebih sering tetap atau malah turun. Dan lagi, kamu tak pernah mau menaikkan tarif
mengajarmu,” Trista bicara. Kalau sudah begini, berikutnya adalah adu mulut yang tak
berkesudahan.
Aku meninggalkan Trista sendiri di kamar dan bergerak menuju ke ruang terbuka di belakang,
dengan taman kecil dan pancuran buatan; menikmati gemericik air jauh lebih menyejukkan
katimbang meladeni omongan Trista. Dan biasanya, setelah percakapan macam ini, Trista juga
pergi menyendiri. Seperti di sisa sore ini, dia menstart mobil, meninggalkan Reina di rumah
dengan aku dan pembantu, dan pergi keluar.
Dan ini sudah biasa. Sudah sering terjadi. Ia baru kembali nanti di atas jam sembilan malam.
Kemana ia pergi, ia tak pernah bilang, tak pernah mau beritahu aku. Tapi aku tahu kemana dia
pergi dan berada di mana ia sekarang. Aku menghitung, dalam waktu setengah jam aku akan
dapat sms dari seseorang.
Benar. HP-ku menderukan suara pesan sms. “Rod, istrimu di sini, baru saja pesan cappuccino,”
itu sms Gusti, temanku yang kerja di sebuah café di mall di pinggiran kota. Baru saja aku
hendak membalas sms itu, Gusti kirim MMS, plus teks begini, “kayaknya istrimu ketemu
seorang teman pria dan langsung gabung duduk semeja,”. Dalam gambar kiriman MMS, yang
dipotret Gusti dengan diam-diam, kulihat Trista tengah duduk berhadapan dengan seorang
bule. Karena dipotret dari belakang, tak bisa aku melihat jelas sosok dan rautnya. Siapakah
dia? Teman Trista? Kebetulan bertemu di mall itu? Ah, perduli apa aku! Sebagai perempuan
eksekutif muda dengan karir cemerlang; raga seksi, senyum menawan, alis tebal dan rambut
tebal berombak pula, Trista punya banyak teman dari berbagai kalangan. Aku yakin dia pun
punya banyak penggemar. Dan Trista tak pernah mau berbagi cerita dengan aku soal teman-
temannya, soal ketemu siapa saja, soal ngobrol apa saja dengan mereka yang dekat
dengannya. Adakah yang dekat hati dengan Trista? Ah, itu bukan urusanku, setidaknya
demikian menurutku, bila bukan Trista sendiri yang cerita padaku.
***
Agak tengah hari, sepulang mengajar, tak biasanya aku mendapat tamu. Hendra, rekan
seprofesi sesama pengajar privat, meluncur ke rumah.
“Rodi, kamu musti bantu aku. Aku dapat tawaran mengajar Bahasa Indonesia!” kata Hendra
ketika menghenyakkan pantat di kursi beranda depan sembari menebar berkeliling ke keasrian
tanaman di depan rumah.
“Bahasa Indonesia!” sambutku. “Nggak salah, tuh?”
“Nggak, ini bener. Tawaran ini dari teman. Ada sepasang suami-istri, orang Yunani, perlu
belajar bahasa Indonesia. Yang perlu sebetulnya si suami. Ia adalah quality assurance
manager di sebuah perusahaan kosmetik internasional di sini. Perusahaan mewajibkan dia
untuk menguasai bahasa Indonesia dalam waktu tiga bulan,” cerocos Hendra.
“Dan masalahnya adalah?”
“Masalahnya adalah jadwalku penuh. Aku minta kamu ambil pekerjaan ini. Rp 200 ribu perjam.
Jadwalnya Sabtu pagi dua jam, Selasa sore dua jam dan Kamis sore dua jam, total enam jam
seminggu. Mereka tinggal di apartemen. Mulai Sabtu besok. Ini alamat dan nomor teleponnya,”
kata Hendra.
Aku tak berpikir panjang. Waktu-waktu yang disebutkan Hendra itu kebetulan waktu kosongku,
kecuali yang Kamis sore, yang bisa aku negosiasikan dengan siswa untuk digeser ke waktu
lain.
“Deal,” kataku menyalami Hendra. Hendra mengangguk senang, “jangan lupa traktir aku kalau
sudah dapat bayaran” tambah Hendra.
***
Upah mengajar Rp 1.200.000 seminggu membuat aku bersemangat. Setelah Hendra
menyingkir, aku langsung menghubungi calon siswa. Teleponku diterima langsung oleh
seorang pria yang menyapaku dalam bahasa Inggris dengan aksen agak aneh. Alexandrous,
demikian pria itu memperkenalkan diri, sungguh terdengar ramah. Kami bicara sebentar soal
jadwal dan model pembayaran. Dia juga mengatakan sangat perlu belajar bahasa Indonesia
agar mudah berkomunikasi dengan rekan kerja dan bawahan di kantornya, dan agar ia sendiri
bisa enak turun meriset pasar dengan bahasa Indonesia. Semua seperti yang diomongkan
Hendra. Pelajaran pertama ditetapkan besok jam sembilan pagi, di apartemen Alexandrous.
Aku langsung menyibukkan diri dengan komputer dan mulai mempersiapkan bahan ajar dengan
mengadaptasi bahan-bahan dari pelajaran bahasa Inggris. Pekerjaan persiapan ini tak terlalu
sulit, dan sekaligus kupersiapkan untuk 6 jam pertemuan.
Jam sembilan kurang sepuluh menit, Sabtu, aku sudah berada di lobi apartemen Alexandrous.
Ia sendiri yang menyongsong aku di lobi apartemen.
“Hello. You are Rodi, right? How are you, my friend?” sapanya renyah. Huih! Seorang pria
tampan yang gagah, kuperkirakan berusia di bawah tiga puluh tahun. Rambutnya rapi, dagu
tercukur bersih, pakaian santai dan tampak mahal.
Kami naik ke lantai 12. “Saya suka Surabaya. Tidak seramai Jakarta, tapi semua tersedia,” kata
Alexandrous sepanjang perjalanan menuju apartemen-nya.
“Anda berasal dari mana di Yunani?” tanyaku.
“Athena, ibukota Yunani,” jawab Alexandrous. “Pernah ke sana?” tanyanya.
“Bahkan bermimpipun tidak,” selorohku. Alexandrous tertawa ringan.
Alexandrous mengetuk pintu apartemen. Seseorang membukakan pintu.
“Kenalkan, ini Eleni, istri saya,” kata Alexandrous.
Eleni, perempuan itu menyungging senyum dan mengulurkan tangannya. Aku menyambut
ularan tangan itu.
Astaga! Bagaimana aku bisa merangkai kata untuk menggambarkan betapa rupawannya
perempuan ini. Aku hanya bisa berkata, “Nice to meet you, Mrs Eleni,” kataku, agak sungkan
karena belum tahu nama belakang keluarga ini.
“Panggil Eleni saja,” ujar perempuan ini.
Astaga! Sekali lagi tak bisa kuungkapkan pesona perempuan ini ketika berbicara dan
menyibakkan rambut sebahunya yang kecoklatan.
Episode 2
Alexandrous langsung menggiring aku ke sebuah ruang dengan meja kaca bundar dan tiga
kursi. Ruang itu menyediakan pemandangan udara terbuka kota Surabaya di ketinggian melalui
sebuah jendela kaca yang tirainya dibuka lebar. Sebuah papan berpermukaan melamin ukuran
80 x 60 cm digantung di tembok tak jauh dari kursiku. Sementara Alexandrous sibuk mencari
buku dan pena, Eleni sudah duduk rapi di hadapanku. Harus kuakui aku suka sekali menatap
perempuan ini yang kuperkirakan usianya sedikit muda di bawah suaminya. Tak setinggi bule
pada umumnya, tubuh ramping itu diperelok dengan rambut kecoklatan terurai melebihi bahu,
plus raut muka bersih. Hidung indahnya pas dengan warna hazel di matanya. Oh ya, busana
atas terbuat dari bahan kaos berlengan panjang berwarna biru regal, rapi dan tertutup, dengan
celana panjang longgar khas rumahan warna putih, membuat perempuan ini ayu anggun. Tentu
saja aku hanya berani menatap sekilas.
“Now we are ready,” kata Alexandrous begitu duduk di dekat Eleni dengan buku tulis dan pena.
Pelajaran hari pertama itu lumayan lancar. Aku melatih mereka cara memberikan salam, cara
menyapa, cara mengatakan ‘terimakasih’, dan cara-cara menyebut ‘you’ yang dalam bahasa
Indonesia teramat ribet karena harus sesuai usia dan status sosialnya.
“Wah kalau begitu selama ini saya tak sopan menyebut rekan kerja dengan kata ‘kamu’,” ujar
Alexandrous tersenyum.
Yang lebih mengagumkan, ternyata Eleni lebih cepat menangkap pelajaran daripada
Alexandrous. Ketika berlatih bicara, Eleni sering membuat Alexandrous gelagapan dan harus
kerap kali menengok catatan.
“Saya memang payah dalam hal bahasa. Beda dengan istri saya. Ia bisa bicara bahasa
Spanyol, Prancis dan Inggris. Tak lama lagi, ia pasti akan jadi guru bahasa Indonesia saya,” puji
Alexandrous. Eleni hanya tersenyum dan menyenggol bahu suaminya dengan gerakan bahu.
Dalam hati aku memuji, pasangan suami-istri ini benar-benar serasi. Alexandrous ganteng dan
gagah, sementara Eleni teramat rupawan.
“Mohon pelajaran hari ini dihafal dengan baik. Hari Selasa nanti kita akan mulai dengan
pelajaran baru,” kataku dalam bahasa Inggris.
“Baik, pak Rodi. Sampai jumpa hari Selasa,” ujar Eleni dalam bahasa Indonesia yang bagus
pengucapannya, plus senyum manis di bibirnya.
***
“Reina minta ke mal malam ini, beli baju. Aku sekalian mau ke spa di mal itu,” kata istriku ketika
aku sampai di rumah sore itu. “Kamu nggak ada jadwal ngajar sore ini?”
Aku tak ada jadwal mengajar, dan mengiyakan.
Aku menyetir mobil. Reina asyik main dengan boneka di jok belakang dan Trista sibuk dengan
telepon Blackberry-nya, hampir tak menyisakan banyak waktu bagi aku dan dia untuk bicara.
Untuk membunuh sepi di kabin mobil, sesekali aku mengajak Reina bicara. Tapi gadis kecilku
itu lebih terserap pada bonekanya.
Trista menghabiskan waktu hampir satu jam setengah memilih pakaian untuk Reina dan untuk
dirinya sendiri. Carik-carik kertas tanda transaksi menumpuk dalam genggaman Trista.
“Kamu perlu baju atau celana?” tanya Trista padaku. Aku menggeleng. Trista tahu kenapa aku
menggeleng.
“Ayolah, baju dan celana kerjamu kelihatannya cuma itu-itu saja. Pilih sana!” kata Trista lagi.
AKu tetap menggeleng.
“Aku yang bayar,” Trista mengusap punggungku.
“Nggak, Tris. Kan aku sering bilang aku mau beli dengan uangku sendiri. Nanti akhir bulan bila
ada sisa setelah kewajibanku untuk belanja, listrik, air, telepon, internet, kartu kredit, baru aku
beli”
“Ya, sudah!” Trista melenggang ke kasir dan membayar belanjaan senilai sedikit di atas Rp
1.500.000 dengan kartu kreditnya.
“Sekarang kamu ajak Trista, makan, ya. Terus ajak main ke game zone. Aku ke spa dulu di
lantai 3, agak lama, sekitar dua jam!” kata Trista. Aku mengangguk. Sebelum berbalik, Trista
menghampiri aku dan bertanya :
“Uangmu cukup?”
“Cukup. No problem!” kataku.
Tapi tak urung ia membuka dompet dan menyerahkan dua lembar seratus ribuan. Aku
menerimanya dengan enggan. Entah kenapa perasaanku makin tak enak setiap kali Trista
memeriksa apakah aku punya uang cukup buat ini dan buat itu. Aku melihat ada semacam
aroma intimidasi dan pelecehan dalam pertanyaan-pertanyaan seperti itu, seolah menyiratkan
bahwa aku tak pernah berdaya untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan kecil gaya hidup di luar
kebutuhan utama. Repotnya lagi, aku merasa Trista sangat menikmati saat-saat ia bertanya
apakah aku punya cukup uang untuk sesuatu. Tapi aku tak bisa banyak bicara. Kantongku
sebagai guru privat bahasa Inggris memang tak berbanding lurus dengan model pengeluaran
Trista yang berpenghasilan 16 juta rupiah sebulan.
***
Aku sedikit terhibur melihat Reina tak rewel saat makan dan bisa enjoy saat main sendiri di
arena permainan. Aku duduk sendiri di kejauhan dan menatap lalu-lalang berpasang-pasang
suami istri dengan anak-anak mereka yang menghabiskan Sabtu malam di mall.
Sudah hampir dua jam berlalu. Aku membimbing Reina keluar dari arena permainan dan
menyusul ibunya di lantai 3, dan langsung menuju ke satu-satunya gerai spa di lantai itu.
“Ibu mana ya?” tanya Reina ketika kami masuk gerai.
“Ini namanya spa. Mungkin ibu masih di ruang dalam. Kita tunggu ya?” kataku pada Reina.
“Maaf, Bapak menunggu siapa?” tanya petugas resepsionis.
“Istri saya. Namanya Trista Valya. Dia biasa ke sini,” kataku. Petugas resepsionis memeriksa
layar computer.
“Kami kenal Bu Trista. Tapi hari ini beliau tidak kesini. Namanya tidak ada dalam daftar kami,”
jelas mbak petugas.
“Dua jam lalu istri saya bilang mau ke sini. Coba periksa lagi, mbak!”
SI mbak petugas memeriksa lagi layar komputer dengan cermat. Ia kemudian mendongak :
“Tidak ada, pak. Saya sudah berjaga di sini sejam jam 1 tadi. Bu Trista tidak kemari”
“Mm, ada spa lain di sekitar sini?” tanyaku.
“Ini satu-satunya!”
“Ibu kemana, Bapak?” Reina menggoyang-goyangkan tangan ketika aku membimbingnya ke
luar gerai spa.
“Wah, Bapak juga tak tahu. Tadi si mbak bilang Ibu tidak ke spa itu,” aku juga mulai bingung.
Reina mulai muncul manjanya. Ia minta digendong ketika mulai kupapah untuk berjalan
memutari lantai 3. Langkahku terhenti ketika dari lantai tiga, melalui kaca-kaca besar, bisa
kulihat sebuah taksi baru saja datang di depan lobi mal. Trista turun dari taksi tergopoh-gopoh.
Dari mana dia?
Aku berjalan menggendong Reina kembali ke gerai spa. Trista pasti menuju ke sana.
Trista sedikit terkejut melihat aku dan Reina di depan gerai spa.
“Ibu….ibu darimana?” Reina minta turun dari gendongan.
“Ibu…eh….tadi mendadak ditelepon orang kantor. Ada sedikit masalah perbedaan saldo
keuangan sepanjang minggu kemarin,” kata Trista, yang lebih merupakan penjelasan kepada
aku daripada kepada anak usia lima tahun.
“Hari Sabtu malam begini?” tanyaku.
“Ya, biasa. Kalau ada beda hitungan, boss suka tak kenal waktu. Kamu tahu dia, kan?”
Aku hanya melongo. Sepanjang pengetahuanku, Trista tak akan suka kalau aku bertanya lebih
rinci. Jadi aku diam saja dan berpura-pura memahami masalah.
“Jadi kamu tidak jadi ke spa tadi?” tanyaku di mobil.
“Baru mau daftar di resepsionis, aku dapat telepon dari boss, diminta ke kantor segera,” jelas
Trista.
“Kok nggak telepon aku dan minta kunci mobil, jadi kau tak perlu naik taksi,” kataku.
“Kelamaan. Bos bilang ini urgent banget!”
Aku mengangguk kecil menatap lurus ke jalan. Ini agak aneh. Bukankah mbak resepsionis spa
mengatakan Trista tidak ke spa sama sekali. Kalau memang Trista ke spa itu, resepsionis
setidaknya akan bilang begini tadi, “Tadi Ibu Trista memang ke sini, tapi sebelum sempat daftar,
ia sudah pergi”. Benar-benar aneh. Kenapa pula ia tak pakai mobil sendiri? Apakah ini
disengaja agar aku tak perlu tahu ia sebenarnya tidak pergi ke spa?
Ah, sudahlah! Mungkin benar si boss sangat perlu menghadirkan Trista untuk urusan
keuangan. Untuk sementara, aku pilih percaya omongan Trista.
***
“Selamat sore, pak Rodi,” Eleni menyapa dalam bahasa Indonesia ketika membuka pintu kamar
apartemennya. “Hari ini Alex agak terlambat. Maaf ya?” ia melanjutkan dalam bahasa Inggris.
“Okay, no problem. Kita mulai duluan atau menunggu Alex?” tanyaku.
“Kita tunggu sebentar. Silakan duduk dulu,” Eleni meminta aku duduk di ruang tamu sambil
menawari aku mau minum apa.
Aku kikuk duduk di hadapan perempuan ini. Tapi kucoba menemukan topik pembicaraan.
“So, Anda cuma tinggal bersama suami di apartemen ini?” tanyaku.
“Begitulah, saya sih maunya punya pembantu pulang sore. Tapi Alex lebih suka kami berdua
saja, untuk jaga privasi dan agar lebih mesra,” tutur Eleni
“Jadi Anda mengerjakan semua pekerjaan rumah?”
“Tidak juga. saya menyerahkan pekerjaan cuci baju dan setrika pada apartemen ini. Itu yang
paling repot. Selebihnya saya kerjakan sendiri, cuci dua piring dan dua gelas sehabis makan.
Selain makan di luar, kami juga suka memasak sendiri. Alex pintar masak dan rajin membantu
bersih-bersih rumah”
“Wah, keluarga kompak nih,” selorohku.
“Tell me, pak Rodi. Di mana Anda belajar bahasa Inggris. Bahasa Inggrisnya bagus sekali,” ujar
Eleni.
“Terimakasih. Saya kuliah jurusan bahasa Inggris,” kataku. “Bahasa Inggris Anda juga bagus!”
“Terimakasih!” Eleni kali ini bicara bahasa Indonesia, tetap dengan senyum ramah tersungging.
Aku membisu sesaat dan berusaha mengalihkan pandangan dari perempuan itu. Mau bicara
apa lagi, ya?
Tiba-tiba Eleni bicara lagi.
“Pak Rodi, boleh saya tanya sesuatu?”
Episode 3
“Silakan,”
“Apa yang pak Rodi ketahui tentang Yunani?”
“Yunani? Well, negara-negara lain yang lebih dikenal orang Indonesia adalah Amerika dan India
karena film dan musiknya, Inggris karena sepakbolanya, China karena produk-produknya,
Belanda karena negara bekas penjajah, Singapore karena kedekatan geografisnya. Jarang
yang kenal Yunani. Tapi saya tahu sedikit tentang Yunani”
“Tell me what you know,” Eleni menjenakkan duduknya, bersandar santai di kursi empuk
dengan satu tangan menopang kepala.
“Wah, apa ya? Saya pernah baca novel klasik Zorba the Greek karangan Nikos Kazantzakis
versi bahasa Inggris, dan suka dengar suara lembut Nana Mouskouri,”
“Zorba the Greek? Wah, itu juga kesukaan saya waktu kecil. Kalau Nana Mouskouri itu favorit
ibu saya,” mata Eleni membundar. “Hebat juga pak Rodi bisa tahu karya sastra dan musik
Yunani. Saya juga kebetulan bawa CD Yunani favorit saya. Mau dengar?”
Eleni langsung berdiri, menghampiri satu meja di sudut ruangan dan memilah-milah CD.
Dengan gerakan manis ia menyisipkan CD ke alat pemutar, dan mulai mengalun musik yang
bernuansa lembut tapi terdengar asing di telingaku.
“Ini koleksi instrumentalia komponis-komponis hebat Yunani,” Eleni menyodorkan kotak CD
dengan sopan. Aku mengamati sampul kotak itu. Tiga nama besar komponis Yunani ada di
sampul : Mikis Theodorakis, Manos Hadjithakis, Stavros Xarhakos.
“Belum pernah dengar. Tapi enak di telinga. Ini musik keren,” kataku. Tak sengaja kalimat yang
terakhir pakai bahasa Indonesia.
“Apa pak Rodi bilang barusan?” tanya Eleni.
“Oh, maaf. Itu bahasa Indonesia. Ini musik keren. This is cool music,” kataku.
“Tolong ulang sekali lagi!”
“Ini musik keren”
“I-ni mu-sik ke-ren!” ulang Eleni.
“Wow! Pintar!” kataku.
“Ini musik, keren ya?” kata Eleni lagi. Senang sekali ia bisa mengulang kata-kata itu dengan
baik.
“Sungguh pak Rodi suka musik ini. Bukan hanya basa-basi?” tanya Eleni.
“Oh, no. I really like it. Lembut, tapi ritmis dan dinamis!” aku sengaja menggerak-gerakkan
kepala mengikuti nada musik. “Ini musik keren!” kataku lagi.
“Ya…ini musik keren!” ujar Eleni dengan tawa kecil.
Dan terdengar suara ketukan. Eleni membuka pintu. Alexandrous berdiri di pintu.
“Hi, honey! You’re back!” Eleni mengecup kecil bibir Alexandrous.
“Maaf, maaf sekali. Jalanan macet seperti biasa! Sudah mulai?”
“Belum, tunggu kamu” kata Eleni. “Hai, tahu nggak, honey? Ini musik keren” ujar Eleni pada
Alexandrous.
“Ini apa…..?” Alexandrous pakai bahasa Indonesia.
“Musik keren! Nice music. Itu kata pak Rodi”
“Oh, good. Pak Rodi suka ini?” tanya Alexandrous.
“Suka sekali! Ini musik keren!”
“Well, ayo kita mulai belajarnya. Sudah terlambat setengah jam,” kata Eleni, mematikan CD
player.
***
Trista sedang berdandan ketika aku masuk kamar menjelang pukul 7 malam itu.
“Mau kemana?” tanyaku.
“Oh ya. Aku lupa. Ada pesta gathering kantor malam ini, perpisahan direktur produksi yang mau
dipindah ke Bangkok. Mendadak. Aku lupa bilang. Aku juga lupa bilang suami atau istri
diundang juga. Kamu ikut ya, Mas?”
“Aku….”
“Tuh sudah kubelikan baju dan celana baru,” Trista menunjuk setumpuk busana baru di
pinggiran tempat tidur. Aku yakin ia tahu aku bakal kesulitan mencari baju yang layak pakai
untuk mendampingi istri.
“Memangnya harus aku harus ikut?” ogah-ogahan aku menyentuh pakaian baru lengkap
dengan label harga yang masih menempel.
“Sebaiknya begitu. Biar kamu lebih kenal dengan rekan-rekan kantorku. Coba baju dan
celananya. Jam delapan kita musti sampai di lokasi,” kata Trista tak berhenti mematut-matut
wajah.
“Celananya oke, tapi bajunya kegedean,” aku menunjukkan diriku pada Trista, dalam balutan
kemeja yang salah ukuran.
“Oh, shit! Tadi kukira sudah pas!” Trista menoleh sebentar, dan selebihnya melihat lewat
pantulan cermin.
“Jadi gimana?”
“Ya, udah nggak apa-apa. Kegedean sedikit nggak masalah,” ujar Trista.
Aku duduk di ujung tempat tidur. “Boleh nggak kalau kamu saja yang berangkat? Aku di rumah
saja, sama Reina”
“Bener mau nggak ikut?”
“Bener. Aku di rumah saja. Lagian aku mau menyiapkan banyak bahan pelajaran buat besoki
ini”
“Ya sudah…..”
Dan Trista berangkat sendiri malam itu. Ia tampil sangat cantik dengan setelan baru rok ketat
dan atasn berbahan sutra dengan bagian dada rendah, membiarkan keindahan kulit dada
terbuka lebar.
Malam itu, aku dan Reina sudah lelap ketika Trista pulang. Jam dua belas kurang sedikit. Aku
enggan bertanya kenapa pesta perpisahan tema nsekantor bisa selarut itu.
***
Alexandrous dan Eleni sudah siap ketika aku datang Kamis sore itu. Pelajaran bahasa
Indonesia kali ini berkisar pada penggunaan kata tanya, beberapa kosa kata kerja, kata benda
dan kata sifat. Dan seperti biasa, Alexandrous terseok-seok sementara Eleni melaju dengan
pesat.
Sesaat sebelum waktu belajar selesai, Alexandrous memandang mereka perlu punya kamus
bahasa Indonesia.
“Apa kamus bahasa Indonesia yang bagus?” tanya Alex.
“Sepasang kamus Indonesia-Inggris dan Inggris-Indonesia karangan Hasan Shadily bagus
juga” jelasku.
“Di mana saya bisa beli?” tanya Eleni dalam bahasa Indonesia.
“Toko buku Trimedia, di Pakuwon Supermal, tak jauh dari sini,” kataku.
“Aku tahu di mana itu. Mau beli sekarang, honey?” Eleni menoleh Alexandrous.
“Hm, aku harus menyelesaikan beberapa tugas kantor dan kirim e-mail. Kalau kamu saja yang
beli gimana?” kata Alexandrous. “Lebih bagus lagi, kalau diantar Pak Rodi, sekalian kamu bisa
praktek bahasa Indonesia,” kata Alexandrous sambil menoleh aku. Eleni tidak menjawab dan
turut menoleh ke arahku.
“Tentu saja kalau ini tidak mengganggu Anda, pak Rodi,” tambah Alex.
“Oh, tidak, sama sekali tidak. Saya kosong malam ini,” kataku.
“Good! Boleh ya antar Eleni ke toko buku?” ujar Alex, “Don’t worry. Masukkan waktu yang
terpakai buat belanja buku ini sebagai waktu belajar tambahan. Setuju?”
Tentu saja aku tak bilang tidak. Eleni juga tampaknya suka dengan ide ini.
Kami memesan taksi di lobi apartemen. Aku mau duduk di kursi depan dekat supir ketika Eleni
mengatakan, “Pak Rodi duduk di belakang saja sama saya. Kita bicara bahasa Indonesia,”
kalimat terakhir diucapkan dalam bahasa Indonesia.
Aku menutup kembali pintu depan dan beralih duduk di samping Eleni. Harum tubuh
perempuan Yunani ini menyergap hidungku.
“Oke, pelajaran bahasa Indonesia tambahan. Silakan bertanya kalau Anda melihat hal-hal yang
ingin ditanyakan,” kataku.
“Kalau tidak?”
“Kalau tidak, saya yang akan bertanya. Siap-siap, ya?”
“Baik, pak guru….,” Eleni tertawa renyah, dan menoleh aku.
“Entah kenapa saya senang bisa keluar seperti ini……..” kata Eleni tiba-tiba.
“Oh ya, kenapa……….?” Aku pakai bahasa Indonesia. Eleni berpikir sejenak. Kelihatannya ia
siap menjawab pakai bahasa Indonesia. Aku siap mendengarkan; bukan mendengarkan
bahasa Indonesia-nya, tapi alasan kenapa ia senang bisa keluar seperti ini.
Episode 4
“Oh ya, kenapa……….?” Aku pakai bahasa Indonesia. Eleni berpikir sejenak. Kelihatannya ia
siap menjawab pakai bahasa Indonesia. Aku siap mendengarkan; bukan mendengarkan
bahasa Indonesia-nya, tapi alasan kenapa ia senang bisa keluar seperti ini.
“Judul instrumentalia pertama pada musik keren yang saya putar waktu itu…I am an eagle
without wings,” Eleni menoleh lagi padaku, kali ini dengan suara agar lirih.
“An eagle without wings….seekor elang tanpa sayap!” ulangku. “Kenapa begitu, Eleni?”
“Yah, seekor elang harusnya terbang bebas….terbang tinggi kesana kemari”
“Lalu, kemana sayap-sayap itu?” tanyaku memberanikan diri.
“Kuserahkan semua pada Alexandrous,” ujar Eleni. Bagi perempuan Yunani penyerahan diri
secara total pada lelaki yang dicintai adalah kehormatan. Saya sangat mencintai Alexandrous.
Pria hebat dari kalangan menengah, pekerja keras, kebanggaan keluarganya,” ujar Eleni. Aku
sedikit bertanya-tanya dalam hati kenapa Eleni tak segan berbagi cerita kehidupan pribadinya.
“Boleh ceritakan bagaimana Anda bertemu Alexandrous?” aku memberanikan diri bertanya.
“Kisah yang romantis,” Eleni menyibakkan rambutnya. “Anda tahu Alexandrous adalah salah
satu personil kunci dalam jaringan perusahaan yang bermarkas di Prancis. Dialah yang
mengerjakan semua urusan peningkatan kualitas produk-produk kosmetik perusahaan. Lima
tahun lalu, di Athena, perusahaannya menggelar semacam kontes kecantikan regional yang
disponsori perusahaannya. Peserta haruslah pengguna produk kosmetik perusahaan di mana
Alexandrous bekerja,” Eleni berhenti bicara.
“Pak Rodi bilang ya kalau mulai bosan dengan bicara saya,” katanya kemudian.
“Sama sekali tidak! Saya suka mendengarnya”
“Saya berasal dari Skiathos, sebuah kota kecil di sebuah pulau di antara laut Aegea dan laut
Mediterania, Yunani timur. Saya mendaftar ikut kontes, dan menang juara dua”
“Wah, keren!” ujarku dalam bahasa Indonesia.
“Ow, keren ya?” sergah Eleni. “Saya malah tadinya tidak mengira dapat posisi kedua. Saya
merasa tidak cantik,” Eleni tersenyum kecil.
“Tidak cantik. C’mon, Anda cantik sekali Eleni. Maaf kalau saya memuji. Tapi Anda benar-benar
perempuan berwajah sangat rupawan,” kataku, sambil berharap Eleni tak menganggap aku
macam-macam dengan pujian itu.
“Oh ya, begitu menurut Anda? Tapi waktu kontes itu saya tidak merasa cantik dan menarik.
Ratusan peserta lain jauh lebih cantik dan sexy”
“Percayalah saya, Eleni. Anda sungguh cantik. Saya belum pernah memuji perempuan Eropa
seperti ini sebelumnya. Anda menawan. Sungguh. Itulah sebabnya Alexandrous menaruh hati
pada Anda, bukan pada pemenang nomor satu,” kataku, berusaha menimbulkan kesan ucapan
ini hanyalah celetuk kasual dan tidak bertendensi macam-macam.
“Ha…ha…ha, itu karena juara satunya sudah punya pacar!” ujar Eleni tertawa. “By the way,
saya lebih suka melihat perempuan Indonesia. Mereka cantik alami, anggun dan punya aura
khas dengan kulit oriental berbalut coklat ringan yang eksotis”
“Kalau laki-laki Indonesia bagaimana?” aku bertanya dengan nada canda.
“Ahaha, saya belum punya pendapat tentang lelaki Indonesia. Saya tak banyak bertemu lelaki
Indonesia, kecuali orang-orang yang saya lihat di mall dan Anda,” Eleni tak kalah berseloroh.
“Well, tak ada yang menarik dari lelaki Indonesia,” kataku, “kebanyakan seperti saya, sangat
biasa”
Eleni tertawa lagi.
“Anda dan Alexandrous pasangan yang sangat pas. Lelaki ganteng dan perempuan cantik!” aku
meringkas pembicaraan. Taksi sudah sampai di lobi mal.
“Terimakasih!” ujar Eleni dalam bahasa Indonesia.
Aku sungguh rikuh ditatap banyak mata ketika berjalan bersama Eleni di koridor mal menuju ke
toko buku. Mereka pasti berpikir, ‘Kok mau bos bule jalan sama sopirnya yang dekil, ya?’
Tapi itu tak jadi masalah. Tugasku hanya mengantar Eleni mencari kamus di toko buku. Aku
senang karena sepanjang malam itu Eleni banyak memanfaatkan pelajaran yang kuberikan. Ia
berani mencoba bicara dengan penjaga toko atau dengan penjaga toilet dalam bahasa
Indonesia dengan hanya sedikit kesalahan.
“Well, pak Rodi, harusnya saya mentraktir Anda minum kopi atas jerih payah mengantar saya.
Tapi saya kuatit Alexandrous menantikan saya. Kita langsung pulang ya?” kata Eleni.
“Sure!” jawab saya.
***
Trista sedang tenggelam dalam kesibukan dengan BB-nya ketika aku sampai di rumah. “Aku
dan Reina sudah makan. Kau makan sendiri ya, Mas!” kata Trista tanpa menoleh.
Seorang perempuan Yunani (foto : dcgreek.com)
Aku menikmati makan malam sendiri. Eh, ya, soal elang tanpa sayap kata Eleni tadi, kok belum
ada penjelasannya, ya? Mungkin ia akan jelaskan lain waktu. Senyum ayu Eleni menari di
benakku. Tiba-tiba aku ingin hari segera meluncur ke hari Sabtu.
Masih dengan Blackberry di tangan, Trista menghampiri aku. “Mas, besok siang aku harus ke
Singapura, ada group regional meeting lima hari dengan semua finance manager se-Asia. Aku
sudah telepon adik ibuku, Tante Fitri untuk tinggal di sini dan menjaga Reina. Oke, ya?”
“Oke, Tris! Tiket sudah dipesan?” kataku berbasa-basi.
“Ya, sudah. Itu urusan kantor!” kata Trista.
“Perlu diantar ke Bandara?”
“Nggak usah. Aku berangkat dari kantor. Diantar sopir kantor. Aku sisihkan uang keperluan
seminggu di amplop di laci lemari kamar,” kata Trista kemudian. Trista lalu lenyap ke dalam
kamar. Ketika aku menyusul ke kamar setengah jam kemudian. Ia sudah lelap, membelakangi
aku.
***
Aku menyapa satpam di lobi apartement dan langsung mempersilakan aku naik ke lantai 12.
Kalau sudah dikenal Satpam, tak sulit keluar masuk apartemen ini. Aku langsung memencet bel
di pintu apartemen Alexandrous. Eleni yang membukakan pintu.
“Hai, pak Rodi. Selamat pagi! Apa kabar?”
“Baik, Eleni. Apa kabar?”
“Baik-baik juga!”
Eleni, dengan kaos T berlengan pendek warna merah maroon dan celana panjang longgar
seperti biasanya tampak segar pagi ini. Alexandrous belum tampak.
Aku menghampiri meja belajar dan mulai menata bahan pelajaran. Eleni mendekati meja
dengan buku tulis dan pena, plus secarik kertas.
“Ini dari Alexandrous,” Eleni menggeser kertas di meja ke arahku. Di kertas itu tertulis pesan
Alexandrous dalam bahasa Inggris.
“Pak Rodi. Maaf, saya harus ke Bangkok seminggu ini. Saya tidak bisa belajar. Tolong ajari
Eleni. Nanti saya belajar dari dia. Saya janji saya akan mengejar kekurangan belajar saya.
Salam!”
“Oo…well, kalau misalnya Anda keberatan belajar sendiri, it’s okay, saya bisa balik dan kembali
lagi nanti kalau Alexandrous sudah datang,” kataku.
“No…no, tidak perlu begitu. Saya mau dan bersemangat belajar sendiri. Nanti gantian saya jadi
gurunya Alex untuk mengajari pelajaran yang tertinggal. Pak Rodi tidak keberatan, ‘kan?”
“It’s okay. Tapi, saya harap Anda comfortable belajar sendiri dengan saya tanpa suami,” kataku.
“It’s not a big deal! No problem. Are you comfortable?”
“Tidak masalah!” kataku dalam bahasa Indonesia.
“Tidak masalah!” ulang Eleni dengan mimik lucu dan wajah riang; barangkali sama riangnya
dengan aku.
Episode 5
Eleni lebih banyak tersenyum pada sesi pelajaran kali ini dan tak henti aku dibuat kagum oleh
kecerdasannya dalam menangkap bahasa Indonesia. Aku mengajari berbagai variasi ucapan
formal dan informal dalam bahasa Indonesia.
“Supaya lebih santai, mulai sekarang panggil saya Rodi saja, tanpa ‘Pak’”, kataku.
“Boleh begitu pada guru?” Eleni tersenyum.
“Kenapa tidak? Kita juga mulai bisa pakai kata ‘kamu’ sebagai ganti ‘Anda’, kata ‘aku’ sebagai
ganti ‘saya’,” aku menjelaskan.
Kami berlanjut belajar lebih banyak materi percakapan.
“Sudah berapa lama kamu tinggal di Indonesia?” aku menguji Eleni.
“Saya sudah 6 bulan di Indonesia. Kamu sudah berapa lama tinggal di Surabaya?” tanya Eleni.
“Sudah 10 tahun!”
“Oh ya? Kamu berasal dari mana?”
“Aku berasal dari Malang!”
“Malang? Di mana itu Malang?”
“Malang sekitar 90 kilometer dari Surabaya”
“Se-ki-tar? Apa itu?”
“Oh, maaf….’about’”
“Ah, ya…..Malang sekitar 90 kilometer dari Surabaya?”
“Benar! Wah, Eleni. Kamu pintar!” pujiku.
“Terimakasih. Efharisto poli!” kata Eleni.
“Efharisto poli?” ganti aku yang bengong.
“Oh, itu ‘terimakasih banyak’ dalam bahasa Yunani,” jelas Eleni.
“Efharisto poli! Menarik!” kataku, “mudah diingat”
“Ya, struktur pengucapan dalam bahasa Indonesia tak terlalu berbeda dengan struktur
pengucapan dalam bahasa Yunani,” kerling Eleni. “Mau belajar kata-kata Yunani lainnya?”
“Boleh?”
“Oke, sekarang aku jadi gurumu. Coba tirukan ini : pos íste?”
“Pos íste? Apa artinya?”
“Apa kabar, kalau mau lebih formal ‘pos íse?’”
“Okay, Eleni, pos íse?”
“Kalá, sas efharistó. Esís? Baik, terimakasih. Kamu?”
“Kalá, sas efharistó!” jawabku.
“Bagus sekali! Wow, kamu murid cerdas, Rodi”
“Efharisto poli!”
“Ahahahah….hebat. Mau tambah lagi?”
“Sure. Ini keren!”
“Okay, sekarang coba ini : Hárika ya tin gnorimía. Senang bertemu denganmu”
“Hárika ya tin gnorimía!”
“Lalu yang ini : Miláte Elliniká? Bisa bicara Yunani”
“Bagaimana menjawab ‘ya sedikit’?”
“Ne, ligáki!”
“Tolong diulang pertanyaannya!”
“Miláte Elliniká?”
“Ne, ligáki!”
“Kerennnn!” ujar Eleni dalam dalam bahasa Indonesia.
“Oh ya, bagaimana bilang ‘tolong bicara pelan-pelan’?”
“Parakaló miláte pyo argá”
“Kalau ‘aku tidak mengerti’?”
“Den katalavéno”
Dan sepanjang sisa pelajaran bahasa Indonesia itu beralih situasi menjadi les privat bahasa
Yunani. Aku jadi murid, Eleni gurunya.
“Well, aku harus memujimu, Eleni. Kamu guru bahasa paling hebat yang pernah kukenal,”
kataku.
“Boleh percaya boleh tidak, aku meniru gayamu mengajar”
“Oh ya, gaya apa itu?”
“Sabar, tidak menekan, memahami kesulitan murid asing, dan pengucapan yang jelas!”
“Wah, wah….jangan-jangan aku harus bayar balik untuk pelajaran ini!” aku berseloroh.
“Iya nih…..mana uangnya,” Eleni bercanda mengulurkan tangan seperti meminta uang dengan
gerakan mata dan bibir yang lucu.
Dan kami tertawa bersama. Perempuan ini benar-benar teman yang hangat. Kalau saja aku tak
punya urat malu, ingin rasanya duduk berlama-lama di meja belajar dengan Eleni. Aku
menengok jam di layar HP.
“Oh, sorry, sudah waktunya selesai, ya?” kata Eleni.
“Ya, tapi tadi banyak waktu terpotong untuk belajar bahasa Yunani. Perlu saya tambah
waktunya?” kataku.
“Aku kira cukup….mhh, begini. Aku suka sekali makan gadi-gado. Kapan hari diajak Alex di
mal. Tapi kata teman-teman Alex ada yang lebih enak, biasanya di warung biasa. Aku pingin
makan gado-gado di warung biasa. Kalau ada waktu, boleh antar aku?”
“Sekarang?”
“Ya, sekarang!”
“Okay!” sambutku.
“Bagus. Tunggu sebentar, aku ganti baju!” Eleni hilang ditelan pintu kamar. Sebentar kemudian
ia keluar dengan celana jeans ketat dan kaos oblong santai produk toko souvenir di Bali.
“Nih, lihat aku pakai jeans dan kaos oblong kayak kamu. Aku suka gaya santaimu. Bagaimana
menurutmu?” tanya Eleni.
“Aku nggak mau jawab,” kataku.
“Kenapa?”
“Karena tak tahu bahasa Yunani-nya”
“Memangnya mau jawab apa?”
“Charming, beautiful!”
“O, itu ómorfí, goíteftikí!”
***
“Kamu naik apa?” tanya Eleni begitu sampai di lobi bawah.
“Sepeda motor!”
“Bisa dipakai berdua?”
“Bisa”
“Kalau begitu naik motormu saja”
“Wah, kamu tahu di luar sana matahari panas sekali”
“Aku tak masalah dengan matahari. Pingin kulitku coklat kayak kamu!” otot Eleni.
Dan motor menderu melaju di tengah terik siang kota Surabaya. Duduk di boncengan,
perempuan Yunani ayu berkacamata hitam dengan rambut terburai diterpa angin. Bisa kulihat
dari kaca spion Eleni sangat menikmati panasnya kota. Sang elang betina rupanya mulai
tumbuh bulu!
Tiba-tiba saja sebuah motor polisi menyalip dari kanan dan memerintahkan aku untuk berhenti.
“Selamat siang, mohon tunjukkan SIM dan STNK!” polisi berkumis lebat itu mendekatiku.
“Apa salah saya, pak?”
“Anda membonceng penumpang tak pakai helm!” kata pak polisi. Aku menepikan kendaraan.
Takut-takut Eleni turun dari boncengan. Pak polisi mengajak aku menepi. Sebentar kemudian
aku balik ke tempat Eleni berdiri.
“Yuk, berangkat lagi” kataku.
“Itu tadi ada apa?” Eleni heran.
“Tilang karena pembonceng tak pakai helm?”
“Problem?”
“Sama sekali tidak. Ia polisi baik, ia terima salam persahabatan dari saya, dan mengijinkan kita
pergi,” kataku sembari menjelaskan arti kata ‘salam persahabatan’.
“Selain itu, aku tadi bilang aku membonceng sekretaris Duta Besar Yunani untuk Indonesia
yang mau jajan gado-gado. Pak Polisi senang gado-gado disuka perempuan Yunani,” kataku
bercanda.
“Bener kamu bicara begitu pada polisi itu?” tanya Eleni.
“Tentu saja tidak!”
Eleni menepuk punggungku berkali-kali dengan tawa amat renyah. Sepanjang siang ini aku dan
Eleni menghabiskan waktu menyantap makanan-makanan berbasis sayuran yang menurut
Eleni sangat eksotis itu. Ngobrol santai dengan perempuan ini membuatku tak kenal waktu.
Tak kunyana ia banyak sekali bicara dan cerita; mulai dari kehidupan di kota kecil kelahirannya,
pertemuan dengan Alexandrous dan keindahan negara Yunani.
Eleni juga membawa pulang satu tas plastik besar tomat segar yang dibeli di pasar tradisional.
Tak jelas jam berapa aku sampai di rumah. Matahari sudah condong ke barat ketika Reina
menyongsong aku di pintu rumah.
“Bapak, nanti ke mal, ya?” demikian pinta Reina. Aku menggendong gadis kecilku dan
memberinya kecupan di pipi.
“Sip, kita jalan, makan dan main! Oke?”
“Oke”
Aku mengguyur tubuh dengan air shower. Air itu seperti beraroma Eleni dan titik-titik air yang
membuncah di wajahku mengirim kerling cantik perempuan berambut coklat itu.
Episode 6
Mungkin karena terbiasa ditinggal pergi ibunya, Reina tak banyak mengeluh menghabiskan
malam Minggu denganku di mal. Bisa juga ini karena bibinya, Tante Fitri ikut pula ke mal.
Perempuan paruh baya yang selalu diandalkan Trista bila harus berdinas keluar kota untuk
waktu yang cukup lama itu memang termasuk penyabar. Ia sendiri tak punya anak dan hidup
dari pensiun suaminya yang meninggal 7 tahun lalu.
Aku berkali-kali melirik layar HP. Sejak berangkat ke Singapura Jumat siang kemarin, ia belum
telepon atau kirim sms. Tidak juga kepada Tante Fitri. Kalau mungkin Trista ogah menanyakan
kabarku, setidaknya ia sms atau telepon Tante Fitri untuk menanyakan keadaan Reina. Trista
pasti terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Seperti yang ia bilang, orang-orang di kantornya itu
gila kerja. Rapat tak pernah kenal weekends, dan seperti yang sempat Trista bicarakan padaku
sebelum berangkat, rapat ini membahas soal kenaikan gaji tim manajemen, yang berarti bicara
soal kenaikan gaji Trista pula.
Okelah, kalau memang Trista bakal menjadi tulang punggung keluarga kecil ini dalam
mendulang rupiah, aku harus memberinya keleluasaan. Reina memang harus dapat kepastian
masa depan dan pendidikan yang baik. Kalau cuma mengandalkan penghasilanku sebagai
guru privat, rasanya kurang hebat. Penghasilanku, terkuras habis untuk biaya hidup sehari-hari.
Biaya gaya hidup Trista ia sendiri yang urusi.
Aku baru saja hendak berangkat mengajar bahasa Inggris jadwal jam 10 Minggu pagi tak jauh
dari perumahanku ketika seutas sms meluncur ke HP-ku, nomor tak dikenal. Aku buka sms itu.
“Kaliméra sas. Pos ise?….” Demikian pesan singkat itu, menyapa selamat pagi dan
menanyakan kabar dalam bahasa Yunani. Ini pasti dari Eleni.
“Kaliméra sas. Kalá, efharistó! Ada apa?” aku membalas sapanya.
“Aku bersemangat belajar bahasa Indonesia. Bisa dapat tambahan pelajaran hari ini, jam
10.30?” demikian sms Eleni.
Aku berpikir sesaat, dan kubalas sms itu. “Dengan senang hati. Tunggu ya?”
Selebihnya aku sibuk pencet-pencet key-pad HP untuk membatalkan jadwal mengajar bahasa
Inggris jam 10 pagi dengan siswa di perumahan sebelah.
***
Agak mengganggu pikiranku ketika Eleni membuka pintu adalah raut wajahnya yang tidak
secerah biasanya. Meski kelihatan senang dengan kehadiranku, senyum itu tidak terlalu riang.
“Apa kabar hari ini?” tanyaku.
“Baik-baik. Kamu bagaimana?”
“Baik-baik. Semalam ke mal dengan putri saya,” kataku.
“Oh ya, pasti asyik. Berapa umur putrimu?’
“5 tahun!”
“Ia pasti cantik sekali”
“Sangat cantik”
“Mirip kamu?”
“Mirip ibunya,” kataku. Ia tersenyum sedikit.
Berbeda dengan bunyi sms yang katanya bersemangat belajar hari ini, Eleni kali ini agak sulit
berkonsentrasi. Satu jam pertama dilalui dengan banyak hambatan menghafal yang mestinya
mudah bagi dia.
“Kamu baik-baik saja?” tanyaku.
“Aku baik-baik saja. Sebenarnya pingin menyendiri…..”
“Ow, kalau begitu…..aku bisa pulang sekarang!”
“No, no, nggak begitu……eh, kalau kita sudahi pelajaran bahasa Indonesia ini bagaimana? Kita
ngobrol santai saja?” kata Eleni.
“Baik, tidak apa-apa. Are you sure you don’t want me to leave?”
“Very sure. Kamu di sini saja barang sebentar!” Eleni membuka lebar jendela yang
membentang ke hamparan luas bagian barat Surabaya di bawah sana. Ia mememberi isyarat
padaku agar membantu menggeser sofa untuk menghadap ke jendela. Ia kemudian mengambil
dua gelas jus tomat dan memberikan segelas padaku.
“Ini tomat yang kita beli kemarin. Orang Yunani suka sekali tomat,” kata Eleni duduk di satu sisi
sofa. Ia menepuk-nepuk bidang duduk sofa dan berkata,” Duduklah di sini,” katanya. Ragu-ragu
aku duduk di sofa yang hanya cukup untuk berdua itu.
“Pemandangan ini, aku suka,” kata Eleni dalam bahasa Indonesia, menatap jauh ke luar
jendela.
“Ya, sama. Tak sering aku menikmati pemandangan Surabaya dari ketinggian,” kataku.
Eleni terdiam sesaat.
“Katakan padaku, Rodi, apa arti cinta bagi perempuan Indonesia?” tiba-tiba Eleni bertanya.
Aku sedikit terkejut. Pertanyaan ini terasa agak aneh bagiku.
“Well, aku kira persepsi tentang cinta di mana-mana sama saja. Perempuan Indonesia juga
sama dengan perempuan manapun. Cinta itu diikat oleh rasa, oleh nilai sosial, oleh hubungan
timbal balik yang positif dengan pasangannya,” kataku.
“Kalau cinta seorang perempuan yang sudah menikah?”
“Perempuan Indonesia juga, maksudmu?” aku menoleh Eleni, batal menyedot jus tomat.
“Ya!”
“Umumnya ikatan cinta perempuan pada suami kuat dan banyak perkawinan yang survive
sampai salah satu meninggalkannya karena kematian. Tapi cinta dalam perkawinan bisa juga
tak bertahan lama, karena kehadiran pihak ketiga dan sebab-sebab lain. Di mana-mana sama,”
kataku.
“Boleh tanya, kenapa ini kita angkat sebagai topik?” tanyaku. Aku heran saja, kenapa
perempuan yang belum terlalu lama mengenal aku, yang kenal hanya sebatas hubungan guru-
murid, berani membicarakan masalah yang menjurus pribadi. Apakah karena Eleni telah
menganggap aku sebagai teman baik? Ataukah karena memang perempuan Yunani biasa
berbagi masalah dengan teman baru sekalipun?
“Maaf kalau topik ini membosankan,” Eleni bangkit dari duduknya, menaruh gelas di meja dan
membuka komputer lap-top.
“Ingat ketika kapan hari kubilang perempuan Indonesia cantik-cantik?” tanyanya, menyalakan
laptop di meja.
“Ya, aku ingat kau bilang itu” kataku menoleh.
“Kemarilah sebentar! Lihat foto ini. Perempuan muda Indonesia ini. Bagaimana menurutmu?
Cantikkah dia?” Eleni menghadapkan layar komputer laptop ke wajahku. Darahku tersirap. Itu
foto Trista. Kenapa foto Trista ada di komputer Eleni?
Eleni menekan tombol geser gambar, menunjukkan sejumlah foto Trista dengan latar belakang
tempat-tempat umum di Singapura. Aku tak langsung menanggapi. Aku menatap foto-foto itu
tak berkedip.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Eleni.
“Dia cantik sekali….cantik sekali….” Kataku.
“Menurutku juga. Ia perempuan luar biasa. Lihat parasnya. Lihat bentuk tubuhnya yang ramping
menggoda. Lihat lekuk-lekuk badan dan senyumnya”
“Boleh tahu siapa dia?” kataku, berdebar dadaku. Apakah Eleni tahu perempuan itu istriku?
“Namanya Trista, seorang manajer di sebuah perusahaan multinasional besar di Surabaya. Aku
sungguh kagum pada keelokan perempuan ini,” kata Eleni meneguk jus tomat tanpa sedotan.
“Bagaimana kau dapatkan foto ini?” aku bertanya.
“Adik laki-lakiku tinggal di Singapura. Ia memotretnya diam-diam, dan mengirimkannya padaku
tadi pagi lewat e-mail,” kata Eleni. Makin terkejut aku dengan informasi ini.
“Memotretnya diam-diam?” ulangku. Aku jadi tak berselera meneruskan jus tomatku.
“Ya, diam-diam. Tak sengaja adikku melihat Alexandrous dari kejauhan bersama perempuan
ini.
“Alexandrous?” tanyaku.
“Ya. Alexandrous, suamiku. Dan lihat ini,” Eleni menggeser koleksi foto. Kali ini ke sebuah
pemandangan dengan dua orang bergandeng mesra di lobi sebuah hotel mewah. Foto itu tak
terlalu jelas, tapi cukup jelas untuk melihat wajah-wajahnya.
“Yang laki-laki itu Alexandrous. Yang perempuan itu Trista. Foto ini diambil tadi malam. Mereka
menginap di hotel ini,” roman muka Eleni berubah sendu.
“Bukankah Alexandrous pergi ke Bangkok?” tanyaku mirip orang bodoh di tengah kecamuk otak
dan hatiku.
“Perempuan ini hebat,” Eleni tak langsung menjawab pertanyaanku, “Ia bisa menaklukkan
Alexandrous. Bisa memalingkan cintanya dari aku, bisa membuatnya berbohong!” Eleni
mengusap hidungnya.
“Sorry, Eleni. Apakah benar-benar mereka menginap di hotel ini?” tanyaku.
“Ya, adikku tak mungkin bohong. Mereka check-in dengan nama Trista. Tadi pagi adikku
telepon ke kamar mereka. Alexandrous yang terima. Adikku menyamar sebagai orang lain
ketika menelepon.
Aku terduduk di kursi di dekat meja belajar. Jantungku berdebar-debar dan kepalaku berdenyut-
denyut.
“Are you all right?” tanya Eleni.
“Aku tak apa-apa, cuma kaget saja. Bisa kubayangkan perempuan itu pastilah bersuami!”
“Trista bersuami. Aku tahu itu!” kata Eleni.
“Kau tahu suaminya?” aku bertanya.
“Tidak perlu tahu! Aku tidak perlu tahu!” Eleni kembali ke sofa di hadapan jendela dan tersandar
lemas. Lama ia duduk dengan pandangan kosong ke luar jendela. Aku belum bisa bicara, sibuk
dengan benakku yang berputar-putar tak keruan, mungkin sama tak keruannya dengan benak
Eleni.
“Ime aitos horis ftera,” katanya dalam bahasa Yunani tiba-tiba.
“Sorry?” aku tak mengerti.
“I am an eagle without wings, aku elang tanpa sayap,” desisnya lirih. Aku menghampiri Eleni
dan duduk di dekatnya.
“Ini cobaan buatmu, Eleni. Kau harus kuat. Kau pasti bisa melaluinya. Apakah Alex telepon
kamu kemarin-kemarin?”
“Ya, tadi malam dia telepon. Dia bilang dia ada di Bangkok, mengobrol sebentar, aku bilang
baru jalan-jalan cari gado-gado dan belanja tomat dengan kamu,”
“Ime aitos horis ftera………Aku mau putar musik itu. Kamu mau dengar lagi?” Eleni berdiri dan
menghampiri rak CD player. Sebentar kemudian musik itu mengalun lagi. Eleni tak kembali ke
sofa. Ia menyimak seksama bagian awal musik itu dan mulai menggerakkan tubuhnya
mengikuti ritme musik. Denting-denting alat musik bouzouki, sejenis gitar klasik Yunani, yang
dipetik mulai ritme lambat dan menjadi cepat, diikuti Eleni dengan gerakan elang yang sulit
terbang. Liuk-liuk tubuh dengan mata terpejam itu membuatku tak mampu berbicara kecuali
memperhatikan dengan lekat.
“Thélete na horépsete mazí mu?” tiba-tiba Eleni berhenti sejenak dan menatapku.
“Apa itu?”
“Maukah kau dansa denganku?” ulang Eleni dalam bahasa Inggris.
“Aku? Aku tidak bisa berdansa!” elakku.
“Sini aku ajari. Ikuti gerakanku,” ia menyambut tangan kananku dengan tangan kirinya dengan
gerakan gemulai. Kikuk aku menyerahkan tanganku dalam genggamannya.
“Berdirilah tepat di hadapanku, lingkarkan lenganmu di pinggangku, ikuti gerakanku. Kita adalah
elang-elang tanpa sayap….”
Tak mudah bagiku mengikuti gerakan itu. Tapi Eleni adalah pengajar dansa yang baik. Gerakan
kedua tungkai kaki Eleni menyeretku ke tahap-tahap koreografi liar yang tak pernah kukenal
sebelumnya. Bila rengkuhanku di pinggangnya melemah, ia membantu merapatkannya. Terlalu
dekat dengan Eleni, harum tubuh perempuan Yunani itu sangat mengganggu pikiran dan
konsentrasi. Ketika musik usai, ia putar ulang dan sekali lagi ia menggiringku ke gerakan-
gerakan magis. Kubiarkan ia mengendalikan aku dalam tarian itu, dan kuikuti serta kuupayakan
gerakan balasan yang setimpal dengan yang ia ajarkan. Ia kelihatan senang ketika aku mulai
bisa mengimbangi gerakannya. Tiga kali kami memutar musik itu. Peluh membanjir di dahi
Eleni.
“Huih! Dansa yang hebat! Bersama guru hebat!” pujiku. Eleni hanya tersenyum singkat.
Aku menjumput dua helai tisu di meja dan memberikannya kepada Eleni. Ia mengusap peluh di
dahinya setelah mengucapkan terimakasih.
“Masih belum kering betul,” kataku asal saja melihat simbahan tipis keringat di leher di bawah
telinga. Aku mengambil beberapa helai tisu dan mengangsurkannya kepada Eleni. Ia
menerimanya dan mengusap bidang leher yang kutunjuk yang masih basah dengan gerakan
mempesona.
“Kamupun keringatan,” kata Eleni menunjuk dahiku. “Karena kau telah berbaik hati
mengambilkan tisu, biarlah aku mengusap keringatmu,” Eleni menjumput beberapa lembar tisu
dan mulai mengusap keringat di dahiku dengan lembut. Aku mundur sedikit dan menahan nas,
membiarkan tangannya bergerak lembit di seputaran dahiku. Dekat sekali wajah itu ke wajahku.
Perempuan ini lama-lama bisa membuatku gila. Eleni menatap mataku beberapa saat. Aku
balik menatapnya. Ada pancaran kuat di mata itu; sepasang mata elang yang menyorot tajam.
Tapi ia kemudian mundur beberapa langkah ketika ia mulai melihatku gugup.
“Oh, maaf, aku membuat kamu tidak nyaman….maaf!” Eleni mengusap hidung dan mematikan
CD player. Nafasnya naik turun.
“It’s okay, Eleni. Aku suka itu. Kamu baik,” nafasku tak kalah memburu. “Tapi maafkan aku. Aku
harus pulang sekarang…….,” aku mengemasi buku dan tas.
“Rodi? Kamu baik-baik saja?” Eleni terheran-heran.
“Aku baik-baik saja, Eleni. Thanks for the wonderful dance lesson! Aku benar-benar
menikmatinya”
Eleni menatapku lekat ketika mengantarku ke pintu. Aku tak menoleh lagi. Dadaku belum
benar-benar berhenti berdebar. Dalam waktu setengah jam terakhir terlalu banyak hal
bergejolak di dada ini. Trista! Eleni!
Episode 7
Selama beberapa saat aku tak mampu berpikir cermat. Siapa yang bisa tentram dalam situasi
seperti ini? Istri jelas-jelas serong dengan suami siswa les bahasa Indonesia yang kini mulai
berkawan akrab dengan aku, seorang perempuan mempesona yang tengah terguncang dan
kehilangan sayap.
Trista! Eleni!
Oke, satu persatu situasi tak mengenakkan ini harus diurus dengan baik. Aku memencet nomor
telepon Gusti, sahabatku karyawan café di satu sudut kota Surabaya.
“Gusti, aku perlu bantuanmu!” kataku.
“Katakan apa yang perlu kubantu, kawan!”
“Deskripsikan bule yang bersama istriku di café waktu itu”
“Ah, cemburu rupanya”
“Just tell me, please!”
“Oke. Bule itu ganteng, rambut rapi, sering datang ke café. Belakangan ini aku tahu ia orang
Yunani, namanya Alexandrous!. Aku pernah ngobrol dengannya sebentar dan ia kasih tips”
Aku menghempaskan nafas.
“Dua Sabtu lalu, untuk kesekian kalianya, istrimu dan Alexandrous lama mengobrol, mengambil
tempat di sofa pojok, bicara berdekatan, sesekali tertawa ringan. Dua-duanya, kerap kali kulihat
bertatapan mesra. Sayang aku pas tidak bawa HP kameraku,” jelas Gusti, sebuah penjelasan
yang membuat dadaku teriris-iris.
Benar! Berarti ada yang tidak beres. Dua Sabtu lalu, ketika Trista bilang mau ke spa dan batal
karena alasan ada panggilan darurat dari kantor, itu ternyata bohong belaka. Sejak dari rumah
Trista rupanya ada janji ketemu Aelxandrous dan memilih bermalam minggu di café bersama
Alexandrous katimbang bersamaku dan Reina. Dan agaknya Alexandrous-pun lebih suka
meninggalkan Eleni sendiri di apartemen saat itu.
Aku tercenung sesaat dan mulai percaya cinta Trista padaku telah luntur. Bila seorang
perempuan bersuami sudah menyerahkan diri kepada lelaki lain, apalagi yang tersisa? Kenapa
Trista berpaling? Ah, jawaban yang mudah. Siapa yang tidak akan berpaling dari suami yang
tak berpenampilan necis, tidak harum parfum, tidak fashionable, tidak berdompet tebal, tidak
bisa mengimbangi gaya hidup istri yang jelita dan punya pergaulan luas?
Akan halnya Alexandrous. Apa yang kurang dari Eleni? Sungguh tolol bila Alexandrous harus
mempertaruhkan kebersamaan cintanya dengan Eleni yang sangat cantik menggairahkan itu.
Ataukah sosok Trista dengan kerling menggoda dan keelokan khas Indonesia itu memang tak
mampu ditolak Alexandrous?
Aku menghabiskan hari Senin dengan kecamuk yang menjadi-jadi di dadaku. Tak tahan aku
melihat Reina bermain hanya ditemani seorang bibi sepulang sekolah. Sama sekali aku tak
ingin Reina mengalami hal-hal yang sulit dipahaminya saat ini. Apa yang akan terjadi saat Trista
balik ke rumah?
Trista tidak meneleponku, tidak kirim sms. Tidak pula ia punya waktu menanyakan kabar Reina
pada Tante Fitri. Aku yakin ia tengah asyik masyuk dalam romantisme indah dengan lelaki
Yunani itu di Singapura sana.
HP-ku menderingkan suara sms. “Aku mau belajar bahasa Indonesia sekarang. Please sisihkan
waktu untukku sore ini,” demikian isi sms Eleni.
Aku menimang HP beberapa jenak. Kini pikiranku melayang ke Eleni yang tinggal sendiri di
apartemen, dengan kegundahan hebat , yang pasti tiada henti membayangkan apa yang
sedang dilakukan suaminya bersama istriku di kamar hotel di Singapura.
Karena aku tak lekas menjawab, sms Eleni hadir lagi.
“Please jangan merasa tak enak dengan peristiwa kecil setelah dansa kemarin. Aku hanya
bermaksud menyeka keringat, tidak lebih. Saya menunggu Anda, Pak Rodi”.
Kalimat terakhir ditulis dalam bahasa Indonesia formal, pakai ‘Pak’ lagi.
Aku memutuskan melaju ke apartemen Eleni selepas senja. Eleni perlu belajar dan perlu teman
mengobrol, bukan yang lain, demikianlah aku memberi diriku sendiri pengertian. Sungguh, aku
takut berubah menjadi orang tolol, yang mengharap lebih banyak ‘good time’ bersama Eleni
pada sat-saat seperti ini, yang membuat aku lupa diri.
Eleni mungkin tidak seperti Trista. Lagian, di mata Eleni, apalah aku dibanding Alexandrous
yang punya segalanya? Aku cuma seorang guru bahasa Indonesia yang saat ini kebetulan
teman ngobrol yang pas.
***
Baju terusan batik bermotif bunga dengan warna terang itu ketat menempel indah di tubuh
Eleni. Batik tanpa lengan itu, dan garis kain di dada yang rendah, menyembulkan kulit putih
bersih bernuansa coklat ringan sepasang lengan dan dada membusung yang menambah daya
pikat tubuh itu. Inikah hasil kebiasaan perempuan Yunani yang doyan makan ikan, yang
membuat kulit mereka kenyal dan bebas bercak?
Bagian bawah terusan batik yang melebar, setinggi lebih dari 15 centimeter di atas lutut,
menyiratkan panorama yang sebaiknya tak perlu kututurkan. Semula aku mengira Eleni
membeli dress batik yang salah ukuran alias terlalu pendek bagian bawahnya, tapi kemudian
aku menyimpulkan, dress itu memang pas untuk menampilkan keindahan ragawinya dengan
cara yang mencengangkan.
“Maaf ya kalau saya minta tambahan jam pelajaran terus,” Eleni mempersilakan aku duduk, dan
menuang air dingin. Satu gelas disodorkan ke arah ku.
“It’s okay. Bagaimana suasana hatimu?” tanyaku.
“Makin tak keruan. Sekitar dua jam lalu, adikku menelepon.Ia terus mengintai Alexandrous. Ia
bilang Trista dan Alexandrous sudah seperti pasangan pengantin baru, lebih banyak
menghabiskan waktu di kamar. Tidak ada acara pertemuan bisnis itu. Mereka hanya ingin
menikmati cinta jauh dari pasangan asli masing-masing.
“Aku turut sedih kau harus mengalami ini, Eleni. Apa kau kau sudah coba meneleponnya?”
“Sudah, baru saja, Alexandrous bilang seharian ia sibuk meeting, di Bangkok. Ia bahkan tidak
tahu bahwa aku tahu ia tidak di Bangkok, melainkan di Singapura,” Eleni duduk di sofa,
menyilangkan kaki, meneguk air dingin. Sesekali ia menerawang sisa air di gelas yang buram
oleh lapisan dingin air es. Sepasang kaki indah dari singkapan kain batik yang longgar itu, oh,
maaf kawan, tak bisa kukisahkan di sini.
“Mau mulai belajar sekarang?” aku merasa perlu segera membuat Eleni berdiri dari sofa dan
pindah ke meja belajar. Tak baik pemandangan itu kalau ia terus duduk santai di sofa seperti
itu.
“Satu pertanyaan, Rodi. Aku minta pendapatmu,” kata Eleni tak lekas bangkit.
“Ya?”
“Bagaimana perasaanmu bila Trista itu istrimu?” Eleni menatapku, mempermainkan sisa air di
gelas.
Deg! Jantungku berhenti berdetak sesaat. Tak kuasa aku untuk segera menjawab. Pertanyaan
Eleni ini sungguh membawa banyak makna. Ini permisalan, pertanyaan terselubung, ataukah
pengujian?
“Bisa aku tanya sedikit soal asal mula hubungan suamimu dengan perempuan Indonesia itu?”
kataku, balik bertanya.
“Bos Trista, ekspatriat Canada, itu teman baik Alexandrous. Dalam suatu acara eksekutif tiga
bulan lalu, Trista berkenalan dengan Alexandrous melalui bos Canada itu. Aku berada di sana
juga saat itu, dan sempat pula mengobrol dengan Trista. Dari obrolan santai, aku tahu ia
bersuami, berkeluarga”
Aku menyimak setiap perkataan Eleni dengan takzim.
“Alexandrous biasanya menghabiskan malam minggu atau waktu santai keluar bersamaku.
Sebulan belakangan ini, Alex tampak lebih suka keluar sendiri. Kalaupun ia mengajak aku
keluar, itu cuma basa-basi, dan ia lebih berharap agar aku menolaknya. Seperti dua Sabtu yang
lalu, harusnya aku ingin jalan, tapi ia bilang harus bertemu klien dari India yang besoknya musti
balik ke Mumbai sehingga tak bisa menunggu sampai Senin. Ia bilang aku bisa ikut tapi
percakapan pasti bakal membosankan. Aku tahu itu artinya lebih baik aku di rumah saja. Aku
biarkan ia sendiri, dan aku menyibukkan diri menonton televisi. Aku tahu ia bertemu Trista. Ada
teman sesama anggota persatuan istri ekspatriat Surabaya yang menelponku, ia melihat
Alexandrous bersama perempuan lain” ujar Eleni, “ime aitos horis ftera…,” sekali lagi ia
menyebut dirinya elang tak bersayap. Kini aku mulai paham maksudnya.
“Boleh belajarnya nanti saja? Aku ingin dengar musik, kalau kau tak keberatan,” Eleni berdiri,
dan seperti biasa menghampiri rak CD. Aku mengiyakan. Kali ini ia menyiapkan sebuah CD
berbeda.
“Saya suka berdansa untuk mengusir sedih. Mau temani aku berdansa?” ia merentangkan
tangan padaku dengan gerakan sopan yang memukau. Ragu-ragu aku menatapnya.
“Ayolah. Aku janji nggak akan lancang mengusap keringatmu nanti. Lagian, musiknya lembut
dan tak akan bikin keringatan. Aku putar Song For Anna, karya Paul Mauriat”
Dan ketika Song For Anna mulai benar-benar mengalun lembut, seperti logam terserap magnit,
aku berdiri mendekati Eleni.
“Masih ingat caranya berdansa?”
Aku mengangguk.
Musik itu mengalun pelan, tenang, teduh dan seperti mengalir dalam jiwa raga Eleni. Gerakan
yang menghanyutkan itu merasukiku juga. Kenapa pula aku tak harus mengimbanginya?
“Kau belum menjawab pertanyaanku,” kata Eleni ketika mulai bergerak mengikuti alunan musik.
“Yang mana?”
“Bagaimana perasaanmu kalau Trista itu istrimu?”
“Hatiku akan hancur, mungkin sehancur hatimu saat ini,” hanya itu jawaban yang tersedia.
“Kamu benar. Di dalam dadaku, ada yang remuk redam,” Eleni beringsut beberapa centimeter
ke arahku. Aku menahan nafas untuk kesekian kalinya. Tidakkah ini terlalu dekat? Jika aku tak
menahan kepalaku untuk tak condong ke depan, pipi perempuan itu pasti sudah bergesek
dengan pipiku.
“Let me tell you something, Eleni. Hatiku juga tengah dalam keadaan remuk berkeping-keping,”
entah kenapa tiba-tiba aku bicara begitu.
“Buat aku percaya kenapa begitu” kata Eleni tak jauh dari telingaku. Aku diam sesaat.
“Boleh aku memelukmu, agar aku bisa merasakan hancurmu dan kau bisa percaya hancurku,”
sungguh aku nekat mengatakan ini. Ini keberanianku yang luar biasa. Eleni sudah sedekat ini.
Aku berharap ia tak akan langsung mendorong dan menamparku.
“Tadinya aku yang akan meminta begitu, ternyata kau mengatakan duluan. C’mon, peluk aku
erat-erat,” desis Eleni. Tak perlu menunggu lama, aku memindah lingkaran lengan di pinggang
dan naik beberapa centimeter. Eleni membalasnya dengan rengkuhan lebih erat. Musik
mengalun makin syahdu.
“Kini kau tahu akupun hancur lebur. Jangan kaget Eleni, Trista itu istriku,” kataku perlahan, pipi
kiri Eleni bergesek di pipi kananku.
Pelukan itu tak saling lepas. Eleni sama sekali tidak terkejut. Ia malah mengayunku lebih
lembut.
“Aku tahu itu. Sejak mula aku tahu….jangan tanya kenapa aku tahu….” kata Eleni. Dan Eleni
sama sekali tidak menolak ketika dekapanku makin mengunci rapat tubuhnya, sampai
kemudian ia merenggangkan sedikit rengkuhan itu dan menatapku dari jarak sangat dekat. Aku
tak tahu bagaimana cara merespon tatapan perempuan cantik itu. Aku melihat bibir Eleni
mengirimkan sinyal yang menggelora, dan mungkin penuh harap seperti yang aku harapkan.
Tiba-tiba saja aku bergerak dan mendaratkan kecupan mesra di bibirnya. Eleni memejamkan
mata beberapa saat dan memberikan sambutan lembut dan hangat dengan rengkuhan manis
lengannya yang melingkar di kepalaku. Lama kami saling melumat.
Tapi kemudian ia tiba-tiba mendorongku dan melepaskan pagutan itu.
“Ooi……, apa yang kita lakukan ini!” Eleni mundur beberapa tapak. Wajahnya bersemu dadu.
Dadanya naik turun.
“Aku….aku maafkan aku…..maafkan aku, Eleni…..”
Eleni tak bicara. Ia hanya menatapku dengan sorot mata yang tak bisa kutebak artinya.
“Rodi…….maaf, sebaiknya kamu pulang sekarang!” ia mendekap bibirnya sendiri, seolah baru
menyadari apa yang baru saja terjadi bisa mengarah ke banyak hal yang mungkin bakal
disesali.
Aku masih berdiri mematung. Sangat tak rela kehangatan itu tiba-tiba saja terenggut.
“Please….kumohon! Tinggalkan aku….”
Sekali lagi, seperti kemarin, aku mengemasi barang-barang dan jaketku. Eleni berdiri di pojok
ruangan masih dengan dada naik turun. Tampaknya ia sendiri tak tahu jawabannya kenapa
kami melakukan itu.
“Eleni, maaf…..maaf…..” aku membuka pintu dan meninggalkan Eleni sendiri. Hangat bibir
Eleni tak segera pudar dari bibirku.
Aku segera turun dengan lift ke tempat parkir motor. Ketika hendak membuka kunci stang
motor, HP di saku berdering. Dari Eleni.
“Rodi……..kembalilah ke apartemenku. Aku mau kita menyelesaikan apa yang kita mulai tadi!”
suara Eleni bergetar di telepon.
Episode 8
Aku segera turun dengan lift ke tempat parkir motor. Ketika hendak membuka kunci stang
motor, HP di saku berdering. Dari Eleni.
“Rodi……..kembalilah ke apartemenku. Aku mau kita menyelesaikan apa yang kita mulai tadi!”
suara Eleni bergetar di telepon.
Aku tak perlu merasa harus tahu apa yang ia maksud. Aku melesat kembali ke lift dan naik ke
lantai 12. Ketika membuka pintu, Eleni langsung menarik tanganku dan mendekapku hebat dan
memagut bibirku penuh hasrat.
“Aku menyesal terlalu banyak pertimbangan beberapa menit lalu. Aku bukan lagi elang tanpa
sayap. Kau juga bukan elang tanpa saya. Sayap kita masing-masing telah tumbuh subur. Kita
akan terbang tinggi,” desah Eleni di sela-sela serbuannya. “Itu kamarku. Ranjangku! Bawa aku
ke sana!”
“Okay, Eleni! Asal kau tidak minta dibopong!” kataku.
Eleni sekali lagi menarik kuat lenganku mengikuti gerakannya menuju ranjang itu. Sambil
menutup pintu kamar ia mendesis, “Cumbulah aku. Ucapkan kata-kata cinta dalam bahasa
Indonesia dan kau nanti akan dengar kata-kata cinta dalam bahasa Yunani”
Dan kami terbang bersama-sama; sepasang elang dengan sayap yang baru tumbuh, di langit
yang penuh gelora.
***
Jam di meja kamar Eleni menunjukkan pukul 4 pagi. Kami telah menjelajahi langit dan mereguk
hasrat dahsyat. Kepala Eleni terdampar di dadaku.
“Kenapa kita lakukan ini, Eleni?” tanyaku.
“Perlu dijawab?” tanya balik Eleni.
“Ya, aku perlu tahu. Karena aku yakin ini bukan cinta”
Eleni tersenyum. “Kamu benar, ini bukan cinta. Sebenarnya ini cara kita menyelamatkan
perkawinan masing-masing”
Aku mencoba menatap Eleni. Ia menengadah dan mengisyaratkan agar aku memberinya
kecupan kecil di bibir.
“Aku sangat mencintai Alexandrous. Aku ingin ia kembali padaku. Aku tak ingin ia merasa
bersalah. Ia harus tahu akupun melakukan kesalahan dan dosa yang sama. Klop!”
“Astaga!”
“Kok astaga?”
“Padahal….”
“Padahal apa?”
“Padahal aku mengira kita lakukan ini karena kau mencintai aku?” ujarku, takut salah bicara.
“Rodi, tidakkah kau mencintai istrimu?”
“Entahlah, aku merasa Trista tidak mencintaiku. Itulah yang membedakan situasimu dan
situasiku. Trista tidak menganggap aku sebagai suami hebat yang layak dibanggakan. Ia tidak
membutuhkan aku,” kataku.
“Aku yakin ia akan berubah. Percayalah ia akan kembali padamu, akan lebih mencintaimu!”
“Eleni! Bagaimana aku harus bilang. Aku mencintaimu!”
Eleni hanya menyungging senyum, bangkit dan membungkus tubuh dengan selimut.
“Kita lihat saja nanti. Yang lebih harus kita pikirkan adalah apakah kita akan berterus terang
pada Alexandrous dan Trista tentang kita. Kalau aku, aku akan bicara begitu Alexandrous tiba”
Terus terang kata-kata Eleni membuat kepalaku pening. Kenapa persoalan besar ini terkesan
sangat ringan bagi Eleni? Pergumulan hebat dari semalam sampai pagi ini, bukan karena cinta?
Aku beringsut dari ranjang dan mengenakan pakaian.
“Aku harus pulang sekarang, Eleni. Aku tak bisa menentukan sekarang apakah aku harus
bicara terus terang pada Trista tentang kita,”
Eleni menghampiriku dan memelukku erat.
“Kau akan bisa mengatasinya. Percayalah padaku. Sekarang pulanglah. Dan kalau boleh
kukatakan, kamu hebat semalamam sampai pagi tadi. Sungguh aku merasa tersanjung dengan
semua kehangatan dan ketulusanmu!”
Dan percakapan berhenti di situ. Eleni melepasku di pintu dengan sapuan kecupan kecil di bibir.
Masih sulit aku memahami elang betina ini.
***
Belum ada kabar dari Trista apakah ia sudah tiba di Surabaya atau belum. Harusnya sore ini
aku mengajar bahasa Indonesia untuk Eleni. Tapi aku merasa perlu untuk tidak bertemu Eleni
dulu. HP-ku mengirim sinyal sms. Dadaku berdebar keras. Itu sms dari Alexandrous.
“Pak Rodi, kita perlu bicara,” demikian bunyi sms itu. Ia bilang ia baru tiba dari Singapura dan
minta aku menemuinya di lobi hotel Shangrila jam 5 sore.
Apakah Eleni sudah bertemu Alexandrous? Kenapa Alexandrous minta aku bertemu?
Perasaanku jadi kacau balau.
Episode 9
Eleni mengirimkan sms singkat, “Buka emailmu”
Bergegas aku menyalakan komputer. Tak ada pesan apa-apa dalam e-mail Eleni kecuali dua
link. Aku klik link-link itu satu persatu. Semuanya tentang bahasan dominasi pria Yunani dalam
kehidupan rumahtangga Yunani. Pria Yunani seenaknya, terlalu menggenggam istri, melarang
ini-itu, menjadi pihak yang selalu benar, minta dihormati, dan yang terpenting, kalau pria
selingkuh para pria menganggap sumber terjadinya perselingkuhan adalah istrinya.
Weh! Kenapa pula aku harus membaca ini? Eleni, an eagle without wings?
Aku sampai di lobi Hotel Shangrila tepat jam 5. Alexandrous sudah menungguku di sana. Ia
duduk santai di sofa, seperti biasa, tenang dan rapi. Tapi sorot matanya tajam tertancap ke
arahku.
“Duduklah,” ia menunjuk sofa tak jauh di depannya. “Kita menunggu Eleni. Sebentar lagi ia
sampai”
Aku duduk tanpa bicara dan membalas sorot matanya yang seakan ingin melibas aku dengan
sekali gerakan.
Dari jauh kulihat Eleni turun dari taksi dan langsung menghampiri kami dengan wajah datar.
“Hai,” ia menyapa Alexandrous dan mengangguk kecil padaku. Selebihnya sepi menyergap.
Alexandrous berganti-ganti menatapku dan Eleni, dan kemudian mengibaskan pandangan
berkeliling.
“Pembicaraan ini sangat penting dan kita butuh privasi. Kita bicara di kamarku saja, di lantai 9,”
kata Alexandrous dalam bahasa Inggris. Ia berdiri. Aku dan Eleni mengikuti. Di dalam lift, tak
ada suara terucap dari kami bertiga.
Alexandrous mengetuk pintu kamarnya. Pintu terbuka. Trista berdiri di balik pintu.
“Kami datang siang tadi. Aku dan Trista putuskan tidak langsung kembali ke kediaman masing-
masing,” kata Alexandrous. Trista terlihat sedikit rikuh menerima tatapanku dan tatapan Eleni
yang mungkin menikam-nikam tubuhnya.
Aku menebar pandangan ke sekeliling kamar. Ranjang double-bed itu acak-acakan; bisa jadi
bekas pergumulan.
“Well,” Eleni membuka percakapan.
“Ya, aku akan berterus terang. Aku, suami Eleni, menjalin cinta dengan Trista, istrimu,” kata
Alexandrous. Aku tidak ke Bangkok. Aku menemui Eleni di Singapura,”
“Dan aku ke Singapura bukan untuk urusan pekerjaan. Aku menemui Alexandrous,” tambah
Trista.
“Sekarang, apa ceritamu, guru privat bahasa Indonesia?” Alexandrous menatapku.
“Aku meniduri istrimu,” kataku tak perlu berlama-lama, menoleh Eleni.
“Dan itu aku yang minta, aku yang memaksa,” ujar Eleni di luar dugaan.
Alexandrous menarik nafas panjang. Trista menutup mulutnya tak percaya.
“Oke, semua ini salahku! Aku tergoda pesona istrimu!” kata Alexandrous, “dan istrimu tidak
menampikku. Ia bilang ia mencintaiku”
Aku menatap Trista.
“Benar begitu, Tris?” tanyaku.
Trista mengangguk. “Ya, sudah dua bulan kami berhubungan”
“Boleh aku tanya sejauh mana kamu kenal Rodi dan Reina?” tanyaku.
“Itu suami dan anakku!” jawab Trista polos.
“Baguslah kamu tahu,” ujarku.
“Eleni,” Alexandrous menyela, “Apakah kau mencintaiku?”
“Tadinya!” jawab Eleni.
“Tadinya!” suara Alexandrous meninggi.
“Ya, tadinya. Sekarang aku tak tahu apakah aku mencintaimu!” kata Eleni.
“My God!” kata Alexandrous. Ia kemudian bicara dalam bahasa Yunani yang langsung disela
oleh Eleni.
“Jangan pakai bahasa yang Rodi dan Trista tidak paham. Aku menolak bicara hal-hal rahasia
dengan kamu,” kata Eleni.
Alexandrous diam sesaat.
Aku bicara. “Boleh aku menanyai istriku pertanyaan yang sama,” aku menatap Trista.
“Trista, lihat mataku. Apakah kau mencintaiku?”
Trista memilih menunduk dan tidak menjawab. Agak lama kuberikan waktu bagi dia untuk
membuka mulut. Tapi tak tersedia jawaban.
“Aku tahu kau tak akan bisa menjawab ini,” ujarku.
Air mata meleleh di pipi Trista. Eleni menatapku dengan roman muka yang tak bisa kutebak.
“Rodi…..kau mencintai istrimu?” tiba-tiba saja Eleni mengajukan pertanyaan. Alexandrous dan
Trista sama-sama menantikan jawabanku
“Seharusnya! Tapi aku tidak pernah tahu apakah cinta itu dirasakan oleh Trista!”
Trista tetap bergeming. Suasana hening sesaat.
Alexandrous meneguk minuman dari meja, dan menoleh Trista.
“Trista, apakah kau ingin menanyakan hal yang sama dengan yang ingin kutanyakan pada
Eleni?” kata Alexandrous.
Kali ini Trista mengangguk. “Kau saja yang tanya,” kata Trista pada Alexandrous.
Alexandrous menatap Eleni.
“Satu pertanyaan penting, Eleni! Hanya satu pertanyaan! Tolong jawab dengan jujur!” kata
Alexandrous.
“Katakan!” ujar Eleni.
Alexandrous menghela nafas dan menyorot mata Eleni dalam-dalam.
“Apakah kau mencintai Rodi. Apakah kau melakukan itu demi cinta?” terdengar getar lemah
dalam suara Alexandrous.
Eleni tersenyum kecil dan sempat melirikku sejenak. Lirikan cantik itu membuatku galau.
Aku, Trista dan Alexandrous tak sabar menantikan jawaban Eleni.
Episode 10
“Apakah kau mencintai Rodi? Apakah kau melakukan itu demi cinta?” terdengar getar lemah
dalam suara Alexandrous.
Eleni tersenyum kecil dan sempat melirikku sejenak. Lirikan cantik itu membuatku galau.
Aku, Trista dan Alexandrous tak sabar menantikan jawaban Eleni.
“Apa bedanya?” tanya balik Eleni. “Aku bisa saja mengatakan aku mencintai Rodi atau tidak.
Tapi apa bedanya?”
“Sangat berbeda!” hentak Alexandrous. “Kalau kau lakukan itu hanya karena ingin balas
dendam, ingin menyamakan skor, aku tak tahu istri macam apa kamu!”
“Kalau memang cinta?” Eleni menohok Alexandrous.
“Jangan pakai kata ‘kalau’!” Alexandrous meradang.
“Look, Alex, my dear husband. Aku menolak menjawab ini. Lihat, tadi Trista memilih diam ketika
Rodi bertanya soal apakah ia mencintai Rodi, karena aku tahu persis Trista berpikiran seperti
aku; apa bedanya,” Eleni berdiri, “aku tak akan melanjutkan percakapan ini. Kalau kau balik ke
apartemen kita, pastikan itu adalah waktunya membuat keputusan yang jelas. Jika kau ingin
aku berkemas, akan segera kulakukan itu,” Eleni melangkah ke pintu dan menoleh Trista.
“Pastikan kau juga membuat keputusan yang cerdas yang terbaik buatmu,”
Eleni melintas melewati aku dan menyentuh bahuku sesaat. “Maafkan saya, Rodi. One thing,
kau mitra ranjang yang hangat dan hebat!”
“Eleni!” hardik Alexandrous, geramnya memuncak.
“Yia sou, good bye, Alexandrous!”
Eleni berjalan cepat keluar kamar dan menyusuri lorong. Alexandrous hendak menyusul. Tapi
rengkuhan tangan Trista di lengan Alexandrous menghambatnya.
“Biarkan ia sendiri dulu, honey!” ujar Trista. Alexandrous menurut. Aku menelan ludah.
“Okay, sebaiknya aku tinggalkan kalian berdua di sini. Bicaralah baik-baik,” kataku.
“Trista, kalau sempat pulanglah barang sebentar; bukan buat aku, buat Reina. Aku yakin ia
rindu kamu,” aku melenggang meninggalkan kamar.
Percakapan delapan mata barusan sebenarnya tak menghasilkan apa-apa, kecuali fakta-fakta
mendasar yang belum genap kejelasannya.
***
Sampai pukul 10 malam belum terdengar kabar dari Trista. Aku baru saja membacakan cerita
pengantar tidur buat Reina dan memastikan Reina sudah terlelap ketika derum taksi
membahana di depan pagar rumah. Tante Fitri membukakan pintu untuk Trista. Istriku tampak
acak-acakan, tak pernah ia kulihat sekusut masai ini. Ia membuka pintu kamar Reina yang baru
saja kututup. Kubiarkan Trista merebahkan diri di samping Reina dan menciumi pipi gadis
kecilku. Sepuluh menit kemudian ia keluar dari kamar Reina.
“Apakah ini masih kamar kita?” ia berdiri mematung di depan pintu kamar kami.
“Kau saja yang beri definisi,” kataku.
“Aku mau bicara di kamar,” ia mendahului membuka pintu. Aku mengikutinya.
“So?” aku menantangnya bicara.
“Aku salah. Aku khilaf. Aku minta maaf,” tutur Trista, berusaha tidak terhisak. Aku membisu.
“Dalam suasana seperti apa kau meninggalkan Alex di kamar hotel Shangrila baru saja?”
tanyaku setelah menemukan kata-kata yang tepat.
“Tak jelas. Ia bingung. Ia bimbang. Sama seperti aku!”
“Hm!”
“Sekarang terserah kamu!” Trista menunduk.
“Terserah aku?”
“Ya, terserah kamu. Kamu bisa pilih mencampakkan aku selamanya, atau memaafkan aku demi
Reina!”
“Lalu Alexandrous?”
“Itu urusanku. Aku akan mengatasinya. Aku yakin ia tak rela melepas Eleni begitu saja”
Aku menyeka jidat. Kelihatannya permasalahan tak semudah bicara.
“Jika aku memaafkan kamu?” kataku.
“Jika kudapatkan maafmu, aku selesai dengan Alexandrous. Tak akan ada apa-apa lagi. Dan
kau harus usai pula dengan Eleni,”
“Semudah itukah?”
“Jika kita semua sama-sama rela menyudahi dan mau membangun kembali hubungan cinta
yang yang sudah rusak,” kata Trista. “Kau bisa melupakan Eleni?”
“Entahlah!” kataku. “Kau bisa melupakan Alex?”
“Aku akan coba! Bantu aku untuk mencobanya”
Trista menghampiri aku dan memelukku erat. Aku tak tahu harus balas memeluknya atau tidak.
Wajah Eleni berdansa di mataku.
“Kau memaafkan aku?” bisik Trista.
“Aku memaafkan kamu!” jawabku.
“Dan aku memaafkan kamu, meski kamu tidak minta!” bisik Trista lagi, menengadah,
menyiapkan bibirnya.
Aku melepas dekapan itu.
“Maaf, Trista!”
“Tak ingin ciumanku? Kalau tak salah sudah lama kita tidak berciuman?”
“Tidak mudah bagiku untuk saling merapatkan bibir setelah bibir kita masing-masing
bersentuhan dengan bibir lain. Tidak, bagiku, Trista. Maaf!”
Aku meninggalkan kamar dan membiarkan Trista sendiri.
***
Seminggu penuh Trista tinggal di rumah bersama Reina. Ia mengajukan cuti. Aku berangkat
mengajar murid-muridku seperti biasa, minus kelas bahasa Indonesia Alexandrous dan Eleni.
Aku tak tahu apa yang yang terjadi dengan Alexandrous dan Eleni. Dugaanku, sama dengan
aku dan Trista, mereka juga berbenah diri dan saling bikin ikrar baru untuk tak saling
meninggalkan. Aku sendiri mati-matian berusaha menyingkirkan wajah Eleni dari benakku,
berusaha membuang jauh-jauh pesona, keelokan, harum tubuh, kerling, sibakan rambut dan
gairahnya yang membuncah-buncah. Adakah ia sedang kembali berbagi kasih dengan
suaminya?
Aku masih enggan bersentuhan dengan Trista. Belum bisa.
Minggu berikutnya Trista masuk kerja seperti biasa dan pulang kantor pada jam normal, tak
lebih dari senja.
Hampir sebulan sejak percakapan delapan mata di kamar hotel Shangrila itu, e-mail Eleni
menyeruak ke alamat e-mailku. Kubaca e-mail itu.
“Aku jadi berkemas seminggu lalu dan meninggalkan Alex di Surabaya. Pada malam setelah
percakapan di hotel, Alexandrous kembali ke apartemen. Kami bicara baik-baik, dan demi
hormatku pada lelaki Yunani dan keluarganya, kami saling bermaafan dan berusaha melupakan
yang sudah terjadi. Tapi ternyata fakta berbicara lain. Alexandrous masih bertemu Trista dan
menggunakan saat istirahat siang untuk saling melampiaskan rindu. That’s it. Tak ada lagi yang
perlu dipertahankan”
Aku tercenung membaca e-mail Eleni. Sebetulnya ini tidak mengejutkan aku. Trista tak akan
pernah bisa pegang janji dan Alexandrous tak akan pernah bisa meninggalkan pesona Trista
begitu saja. Kata orang jalinan kasih dengan selingkuhan itu lebih hebat, lebih sensasional dan
lebih menggentarkan, lahir bathin.
Aku melanjutkan e-mail Eleni.
“Kamu punya paspor? Aku sudah menulis surat ke Kedutaan Besar Yunani di Jakarta, dengan
tembusan ke alamatmu. Aku mengundang kamu untuk datang ke Yunani. Segera urus visa
Yunani begitu surat undangan datang. Sudah pula kupesankan tiket Surabaya- Singapura –
Athena via Istanbul, Turki. Kode booking penerbangan kucantumkan di email ini. Jangan
bertanya kenapa aku harus bertemu kamu. Pokoknya aku harus bertemu kamu, penting! Jauh
lebih penting dari yang kau kira. Kujemput kau di bandara Athena!”
Aku menopang kepalaku dengan kedua belahan tangan memandangi email Eleni.
Tampaknya ini makin rumit! Trista! Eleni!
Episode 11
Aku memeriksa kode booking tiket penerbangan Jetstar Surabaya-Singapura, dan Olympic
Airlines Singapura – Instanbul – Athena. Tertulis tanggal keberangkatan 20 hari dari sekarang.
Seriuskah Eleni dengan permintaannya ini? Seberapa bernilaikah pertemuan ini?
Aku memeriksa paspor yang terbit setahun lalu ketika aku harus bertugas sebagai penerjemah
untuk sejumlah karyawan sebuah perusahaan Indonesia di Singapura. Lalu aku memeriksa
buku tabunganku pribadiku. Sedikit mengkerut hatiku melihat saldo yang tak melebihi angka Rp
5 juta. Lalu kuperiksa semua persyaratan traveling ke Yunani. Harus ke Kedutaan Yunani di
Jakarta untuk wawancara visa Schengen, kawasan 25 negara Eropa dengan visa tunggal,
khusus Yunani, harus bayar premi asuransi perjalanan dan harus ini itu.
Seberapa bernilaikah pertemuan ini?
Aku tak segera membalas email Eleni selama beberapa hari. Sementara itu soal Trista yang
balik lagi dengan Alexandrous rupanya tak bisa tersembunyikan lagi. Kegetiran hubungan
dengan Trista membuatku tak berhasrat bertanya ketika ia mulai sering pulang malam. Kami tak
pernah duduk semeja makan, tak pernah bercengkerama, tak pernah saling peduli. Hidup
serumah, tapi bak orang asing satu sama lain. Dan ia memilih tidur bersama Reina di kamar
Reina. Sehari-hari ia makin kelihatan sexy dan tak henti memperhatikan penampilan.
Okay, the game restarts!
Surat undangan sponsor kunjungan ke Yunani dari Eleni tiba, hampir berbareng dengan sms
Eleni berisi kode kiriman uang lewat Western Union senilai beberapa kali lipat nilai tabunganku.
Meski aku tak membalas email Eleni, aku yakin ia tahu aku akan memenuhi undangannya.
Aku tak berpikir panjang. Segera kuisi aplikasi visa Yunani online. Beberapa hari kemudian aku
dapat panggilan wawancara visa ke Kedutaan Yunani di Jakarta. Pagi itu aku menulis pesan
singkat yang kutempel di kulkas untuk Trista.
“Aku ada urusan penting ke Jakarta dua atau tiga hari. Kamu enjoy aja!” begitu isi pesanku. Aku
tak perduli surat itu dibaca atau tidak.
Tak perlu menunggu lama persetujuan visa di Jakarta. Pasporku distempel visa Yunani dua hari
kemudian. Aku mengirim sms ke nomor HP Yunani Eleni yang disertakan pada email terdahulu.
“My dear Eleni, I’ll be there,” tulisku di sms itu.
***
“Boleh aku tahu kau sibuk apa?” tanya Trista tanpa nada menyelidik.
“Mengurus visa Yunani. Aku ke Yunani minggu depan,” kataku terus terang.
“Oh, gitu?” ujar Trista datar.
“Eleni minta aku datang ke sana. Ia bilang itu penting. Apakah ini mengusikmu?” tanyaku asal-
asalan, mengunyah apel.
“Berapa lama?”
“Dua minggu,” jawabku.
“Kalau itu maumu, kau dapat izinku, meski kau tak pernah minta izin atau paling tidak
membicarakan ini pada istrimu!”
“Aku juga membiarkan kau berhubungan lagi dengan Alexandrous meski kau sendiri yang janji
menyudahi hubungan itu. Jangan dikira aku tidak tahu”
Trista hanya mengangkat bahu.
“Baik, kubantu kau mengepak bagasi malam sebelum kamu berangkat,” kata Trista ringan.
“Tidak dibantu juga tak apa-apa. Rasanya selama ini kau tidak pernah peduli yang begituan,”
kataku, “Aku cuma minta satu hal, tolong jaga Reina baik-baik. Kau boleh sibuk, tapi Reina tak
boleh terabaikan. Aku minta maaf harus memenuhi undangan Eleni; aku yakin akan ada
penyelesaian yang lebih baik setelah ini. Ini persoalan besar sekarang. Aku harap kamu
mengerti”
Trista mengangguk tak berdaya.
Dan selebihnya aku dan Trista jarang bicara. Aku tidak tahu apakah Trista bicara pada
Alexandrous soal undangan Eleni ke Yunani. Ah, pastilah Alexandrous tahu itu. Dan aku tidak
perduli.
***
Trista tak ada di rumah ketika aku berangkat ke Singapura selepas siang hari itu. Kupeluk dan
kucium Reina, kujanjikan boneka lucu sepulangku nanti. Mata bundar Reina yang polos dan
penuh harap pada janjiku sebenarnya mencabik-cabik hatiku. Tapi aku tahu ini perjalanan
penting. Sangat penting.
Aku terbang bersama Olympic Airlines pukul 23.20, sampai di Istanbul untuk stop-over jam 5
pagi. Pesawat melayang lagi ke Athena dan mendarat di bandara Eleftherios Venizelos sedikit
sebelum pukul 8 pagi.
“I miss you. I miss you so much,” Eleni memeluk dan mendaratkan bibirnya yang hangat
menyambutku di pagi sejuk musim semi itu. Kami kemudian bermobil membelah kota Athena
yang didominiasi bangunan-bangunan berwarna putih, berselang seling antara bangunan
modern dan peninggalan sejarah.
“Perkenalkan kota Athena, ibukota Yunani. Kamu senang?” tanya Eleni di balik kemudi.
“Senang sekali! Tak kuduga bisa bertemu lagi denganmu di negeri indah ini,” kataku. Eleni
mengelus daguku.
Kami menuju ke Hotel Poseidon, di jalan Possidononos, kawasan Paleo Faliro, sekitar 30 kilo
dari bandara. Hotel ini menghadap ke hamparan laut Aegea dengan pemandangan perbukitan
yang disaput titik-titik bangunan berwarna serba putih. Kamar hotel menebarkan wangi bunga
chamomile.
“Well, katakan, bukankah ini indah? Suamiku dan istrimu lagi asyik di Surabaya, dan kita saling
melepas rindu di Athena,” kata Eleni.
“Kau benar-benar rindu aku?” tanyaku.
“Lebih dari yang kau bayangkan!” Aku merenggut pinggang Eleni dan memberikan dekapan
yang mungkin sudah ia nantikan sejak tadi.
Kali ini kami tak perlu musik. Getar-getar di dadaku dan dalam hasrat Eleni sudah cukup
menjadi musik pengiring yang menggelora, cukup membuat tempat tidur kayu berat itu bergeser
beberapa centimeter digoyang rindu dan desah-desah yang hebat.
Hanya inikah alasan Eleni mengundangku ke negerinya?
Aku menunggu-nunggu kejutan lain. Dan kejutan itu tak kunjung tiba. Tiga sore kemudian, Eleni
mengajakku terbang dari Athena ke kota Skiathos di pulau Skiathos dengan Olympic Airlines,
tiba jam 6 malam lebih sedikit. Dari Bandara Alexandros Papadiamantis di Skiathos, kami naik
taksi ke pinggiran kota Skhiatos, melewati hamparan panorama indah dunia yang tak pernah
kulihat sebelumnya. Kami sempat mampir membeli bahan-bahan makanan di sebuah toko
swalayan.
“Ini kota kelahiranku, lihat pantai yang cantik dengan gugusan bangunan serba putih ditingkah
matahari sore, khas lautan Aegea,” kata Eleni seolah tak memahami penantianku.
Kami meluncur ke sebuah rumah tinggal berdinding batu-bata yang juga didominasi warna-
warna cerah, di sebuah perbukitan yang lagi-lagi menampakkan hamparan laut dengan kelap-
kelip lampu yang mempesona di pinggiran pantai.
“Ini rumah bibiku. Ia tinggal di Norwegia bersama suaminya. Rumah ini aku yang rawat,” kata
Eleni.
Eleni membuka pintu rumah dan membiarkan aku mengagumi bagian dalam rumah kuno
dengan banyak sentuhan lokal. Perempuan Yunani itu kini sibuk menyiapkan meja di berada
terbuka, memasang taplak dan menyalakan tiga buah lilin yang ditopang dudukan berwarna
kemasan. Sejumlah makanan terhidang di meja. Manis sekali tatanan makanan di atas meja itu,
yang disandingi sebotol anggur merah.
“Well, ini bisa jadi makan malah terindah dalam hidupku. Bersanding denganmu di meja berlilin
romantik, menghadap hamparan keelokan laut di sana,” kataku.
“Percayalah, inipun akan menjadi makan malamku yang paling indah,” tutur Eleni, memelukku
dari belakang, mensejajarkan kepala dengan kepalaku yang tengah terhisap panorama cantik
pantai Skiathos senja itu.
“Rodi, mungkin kau bertanya-tanya kenapa kau harus menemuiku di sini. Dan kenapa pula kau
harus kugiring ke kota kelahiranku ini,” Eleni minta aku duduk. Ia duduk di sebelah lain
menghadapku.
“Aku ingin menunjukkan sesuatu yang sangat penting. Lihat, aku punya ini,” Eleni
mengeluarkan sepucuk surat dari tas tangannya. Perlahan ia membuka amplop dan membuka
lebar surat itu dan menebarkannya di hadapanku. Melalui temaram cahaya lilin, sekilas surat itu
terlihat ditulis di atas kertas berkop surat resmi.
“Surat dalam bahasa Yunani?” tanyaku.
“Ya, mau tahu isinya? Aku bisa menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,” Eleni memajukan
wajahnya.
Aku menggangguk.
“Beri aku ciuman dulu”
Kuturuti permintaan Eleni. Ia memejamkan mata menerima kecupan itu. Sejenak kemudian ia
mulai membacakan isi surat itu.
Tiba-tiba debar aneh menggerayangi dadaku.
Episode 12
“Dengar baik-baik,” kata Eleni dalam bahasa Indonesia. “Dengan ini, dokter Lefteris Giorgiou,
dokter pada Klinik Keffalinias di Athena, menyatakan bahwa berdasarkan pemeriksaan, nyonya
Eleni Dimitriakis, 26 tahun, dinyatakan hamil,” bahasa Indonesia Eleni, dengan aksen bule, jelas
sekali terdengar.
Darahku berhenti mengalir.
“Hamil?”
“Ya, hamil! Aku akan punya anak. Jadi ibu! Aku perempuan hebat!” Eleni merentang kedua
lengan menantikan pelukanku. Aku ragu sesaat.
“Peluk aku Rodi. Kamu ayah bayi ini!” pekik Eleni.
Eleni memutar meja dan memberikan pelukan di pundak. Aku membalik tubuh dan membalas
pelukannya.
“Aku ayah bayi ini?” tanyaku dalam pelukan Eleni.
“Seratus persen. Alexandrous tidak mungkin memberiku bayi. Ia tidak bisa. Empat tahun kami
mencoba. Dokter menyatakan Alexandrous tidak bisa punya keturunan. Ia mandul,” tentu saja
kali ini ia katakan semua ini dalam bahasa Inggris.
Aku memejamkan mata dan memeluk Eleni erat-erat. Kini aku tahu, aku datang jauh jauh dari
Surabaya ke Skiathos untuk mendapatkan kabar ini.
“Katakan kau bahagia, senang, gembira!” desis Eleni.
“Senang sekali!” kalimatku mengambang.
“Nada suaramu tidak seperti orang yang bahagia,” Eleni melepaskan pelukan dan menatap
mataku.
“Alexandrous tahu ini?” tanyaku.
“Sudah kukabari! Ia akan segera menyusul kemari!” jawab Eleni.
Alexandrous tahu! Ia akan menyusul kemari! Aku mengulang kata-kata Eleni dalam hati. Kamu
dalam masalah besar, Rodi, kataku dalam hati. Tak bisa kukatakan pada kalian, sobat,
bagaimana perasaanku saat itu. Wajah Trista dan Reina, terutama Reina, mengisi seluruh ruas
kegundahanku. Tak bisa pula kubayangkan bagaimana aku bertemu Alexandrous nanti.
Eleni tahu suasana hatiku sedang berantakan. Ia membiarkan aku melepas pelukan dan
berjalan perlahan ke hamparan rumput taman di depan rumah dan duduk di gundukan
bebatuan, menatap kerlap-kerlip lampu di pinggiran pantai Skiathos di kejauhan.
Sejenak kemudian Eleni menyusul dan duduk di sampingku, menyandarkan kepala di
pundakku.
“Katakan padaku, Eleni. Siapa kita ini?” aku bicara lirih.
“Kita adalah sepasang anak manusia yang sedang berada dalam pusaran takdir; aku percaya
takdir. Adalah takdir pula bahwa Alexandrous jatuh cinta pada Trista; dan takdir pula yang
mengantarkan kau jadi guru bahasa Indonesia bagi aku dan Alexandrous. Takdir pula yang
menyemayamkan makhluk mungil dalam perutku ini,” ujar Eleni.
“Sungguh-sungguhkah kau ingin mendapatkan bayi ini?”
“Lebih dari yang orang duga! Aku mendambakan buah hati. Alex berkali-kali menggagas kami
adopsi anak begitu tahu ia tak bisa memberiku kebahagiaan ini. Hanya saja, aku tahan dulu ide
itu untuk menunggu keajaiban!”
“Tapi anak adopsi berbeda dengan anak yang kau peroleh dengan hubungan badan dengan
lelaki lain,” kataku.
Eleni melingkarkan lengan ke bahuku.
“Keajaiban itu datang dalam bentuk lain. Takdir, Rodi. Ini takdir! Tak pernah kubayangkan aku
akan sangat menginginkanmu di kamar apartemen di Surabaya itu. Nyatanya perasaan itu tak
terelakkan. Takdir! Kau telah memberiku sayap untuk terbang”
Aku menghela nafas panjang dan mulai membayangkan tak pernah terima tawaran dari Hendra
untuk menggantikannya mengajar bahasa Indonesia pasangan Yunani itu kapan hari. Andai
saja aku tak tergiur imbalan mengajar yang jauh lebih besar daripada biasanya itu.
***
Pukul 8 pagi. Aku dan Eleni baru terbangun ketika sebuah mobil berhenti di pelataran rumah.
Alexandrous turun dari mobil. Tepat seperti yang dikatakan Eleni bahwa Alex akan menyusul.
Aku tak bisa bicara, bahkan untuk menyapanya sekalipun. Alexandrous menatapku dengan kilat
mata setajam pisau.
“Eleni! Aku harus bicara padamu!” kata Alexandrous dalam bahasa Yunani.
“Speak English, Alex!” tutur Eleni. Aku tahu itu dimaksudkan agar aku bisa turut mendengarkan
percakapan.
“Okay, I need to talk to you only,” ulang Alexandrous.
“Sorry, Alex. Rodi ada di sini. Kalau bicaramu menyangkut hubungan kita bertiga, Rodi harus
tahu,” jelas Eleni.
“It’s okay, Eleni. Kalian suami istri. Aku akan menyingkir sejenak. Hai, Alex,” aku menyapa
basa-basi, “kalian bicaralah,” aku melangkah dari beranda dan berjalan menjauh, menyusuri
rerindangan pepohonan di sekitar rumah. Aku menoleh sebentar. Alexandrous dan Eleni terlibat
dalam pembicaraan yang kelihatannya sengat serius di beranda.
Lama aku berdiri menyandarkan tubuh pada sebuah pohon dan mulai memikirkan Reina dan
Trista. Bagaimana mereka akan menerimaku kembali? Ingin sekali kupeluk Reina, gadis
kecilku, dan mengajari bagaimana cara mengampuni ayah yang brengsek ini.
Lebih dari satu jam aku berjalan tak tentu arah di sekitar perkampungan itu sampai aku tak
sadar aku telah berputar kembali ke belakang rumah. Tak sengaja kulihat Alexandrous dan
Eleni berpelukan dari kejauhan. Aku tak segera melangkah. Tapi Alexandrous tahu
kehadiranku. Ia melepaskan pelukan Eleni dan berjalan ke arahku.
“Rodi, sekarang kita perlu bicara bertiga,” kata Alexandrous. Nada bicaranya lebih santai dan
ramah. Kami duduk di beranda, bermandi sinar matahati.
“Senang tinggal di Yunani?” Alexandrous tak kalah berbasa-basi.
“Ya. Terimakasih sudah membuatku bisa ke sini,” kataku.
“Okay, aku akan bicara langsung,” kata Alexandrous. “Aku lelaki jahat, culas dan mau menang
sendiri. Aku menggoda istrimu selagi aku tahu ia bersuami. Aku memanfaatkan kelemahan dan
kekuranganmu di mata Trista. Dan itu jahat. Dan seperti yang kau tahu, aku masih menemui
Trista walau Trista sebelumnya sudah janji padamu untuk tidak menemuiku. Itupun aku yang
minta,” Alexandrous berhenti bicara.
Eleni menyeka hidungnya yang berair dan mata agak sembab.
“Aku tahu Eleni hamil, dan kau …..ayah bayi itu…..” Alexandrous mulai terbata-bata, “….dan
Eleni bilang hubungan badan itu berlangsung karena ia menyukaimu, mencintaimu!”
Aku memandang Eleni. Kali ini sang elang betina tertunduk.
“Kamu harus tahu, Aku dan Trista telah membuat keputusan untuk saling tidak bertemu lagi.
Dan itu pilihan Trista. Ia sangat berhasrat kau kembali padanya, demi Reina,” kata Alexandrous.
Bicaranya mulai tenang dan tegas lagi.
“Bayi di kandungan Eleni harusnya menjadi masalah besar bagiku, bagi nama baikku di
kalangan keluarga besarku. Ini masalah yang luar biasa. Tapi itu adalah harga yang harus
kutebus karena telah menjadi lelaki jahat,” Alexandrous menghela nafas. Aku menyimak.
“Kau ayah biologis bayi itu. Tapi aku bisa menjadi ayah legal bagi bayi itu karena ia
bersemayam dalam rahim istriku. Aku sebenarnya ingin mendapatkan Eleni kembali dan
makhluk mungin di perutnya, tapi aku tak bisa memaksa istriku kembali kepadaku, tak bisa
meraih kembali hatinya. Kini semua kuserahkan kepada kau dan Eleni,” Alexandrous menepuk
pundakku, dan bicara dalam bahasa Indonesia, “Tinggalah di sini bersama Eleni sampai
waktunya kau kembali ke Surabaya. Aku akan datang lagi sehari sebelum kau kembali ke
negerimu,” kata Alexandrous.
Dan Alexandrous mundur beberapa tapak, lalu berbalik ke mobilnya. Eleni menatap
Alexandrous tak berkedip sampai bayangan mobil menghilang di balik tikungan. Aku dan Eleni
berdiri mematung beberapa saat. Akankah Eleni segera menetapkan keputusannya?
***
Ternyata Eleni lebih suka tak membicarakan apapun soal keputusannya, sementara aku sendiri
tak pernah bisa menjelaskan pada diriku sendiri apa yang terbaik buatku dan apa yang aku
harapkan dari Eleni.
Aku dan Eleni menghabiskan sisa waktu di Skiathos dan pulau-pulau di sekelilingnya seperti
sepasang turis beda negara. Eleni memasak, menyiapkan makanan, minta digumuli seperti
biasa dan minta diantar periksa ke dokter kandungan. Dan ini malah membuat aku makin galau.
Canda tawa Reina sering mengusik tidurku. Aku rindu lukisan Donald Duck versi Reina yang
ditoreh dengan pensil warna, kangen mengajaknya jalan ke mall, dan melihatnya terlelap
sebelum aku tuntas membaca buku cerita. Kerap kali Eleni mendapatiku membuka layar HP
memandanngi foto Reina berlama-lama.
Dan Eleni seperti paham kegundahanku. Sore itu, di rumah Eleni, ia menyodorkan pesawat
telepon padaku.
“Kamu perlu menelepon Reina!” kata Eleni; bukan pertanyaan, melainkan himbauan.
“Thanks,” kataku. Aku segera memutar telepon rumah. Tante Fitri yang terima.
“Tante, ini Rodi. Dari Yunani. Reina ada?” kataku.
Kudengar Tante Fitri memanggil Reina. Minggu pagi di Indonesia, Reina pasti ada di rumah.
“Bapak! Bapak di mana?” teriak Reina.
“Di Yunani, sayang”
“Yunani itu di mana, dekat rumah kakek di Malang?”
“Bukan, Reina. Yunani jauh, jauh sekali”
“Kapan bapak pulang?”
“Bapak segera pulang. Bapak kangen kamu!”
“Bapak pulangnya bawa mainan, ya?”
“Ya, Reina. Bapak akan belikan kamu banyak mainan”
“Bapak hati-hati ya!”
“Ya, sayang. Bapak akan hati-hati. Terimakasih kamu sudah mengingatkan”
“Hihihihi!”
Aku menutup telepon. Kulihat Eleni berdiri di sudut ruangan dengan mata berkaca-kaca. Aku
yakin ia mendengar percakapan singkat dengan putriku. Eleni kemudian menghampiri aku, dan
memelukku.
“Tahu tidak? Kau telah jadi guru bahasa Indonesia yang mantap. Aku bisa faham semua kata-
kata bahasa Indonesiamu dengan anakmu. Aku bisa paham pula anakmu bicara apa. Maafkan
aku, Rodi. Maafkan aku dan Alexandrous telah menghadirkan kekacauan ini buat kalian,” Eleni
meneteskan airmata.
“Eleni….” kataku. Eleni menempelkan telunjuknya di bibirku, agar aku tak meneruskan bicara.
“Kau mau tahu jawabanku ketika aku ditanya Alexandrous apakah aku mencintaimu?” tanya
Eleni. Aku tak menjawab.
“Aku mencintaimu, dan beberapa saat lalu sangat menginginkanmu dan ingin memilikimu, ingin
kau mendampingi aku seumur hidup”
Aku hanya bisa memejamkan mata mendengar tuturan Eleni. Harus kuakui, akupun mencintai
perempuan ini dan tak terbayangkan betapa inginku berada di dekatnya setiap menit. Tapi itu
tak bisa kukatakan padanya saat ini.
“Alexandrous telah memberi pilihan itu bagiku. Ia telah menunjukkan jiwa besar. Ia akan
melepasku padamu jika aku menghendakinya, dan ia akan menunjukkan tanggungjawab
moralnya dengan menikahi Trista bila kau menceraikannya, dan ia siap jadi ayah bagi Reina,”
Eleni terhisak kecil.
“Apakah ini juga pilihan bagiku?” tanyaku. Eleni diam sesaat dan menatap mataku dalam-
dalam.
“Sebelum aku mendengar percakapanmu di telepon dengan Reina, aku ingin menyerahkan
pilihan itu padamu dan aku akan dengan senang hati mengikuti pilihanmu. Tapi setelah
mendengar percakapan itu, sebaiknya akulah yang menentukan pilihan itu”
“Katakan pilihanmu, Eleni. Aku akan mengikuti pilihanmu!” ujarku.
“Aku akan membesarkan bayi ini dan menjadikannya anak sah Alexandrous. Kami merawat
bayi ini sekuat dan sehabat yang kami bisa,”
“Membesarkan dan merawat? Semudah itukah? Bagaimana dengan kasih sayang? Terutama
kasih sayang Alexandrous pada bayi itu?”
Eleni tersenyum. “Perasaan berdosa Alexandrous karena telah mulai menyulut bara api,
menyakiti hatiku dan mengoyak perkawinan kami, ditambah dengan hancurnya ketentraman
keluarga kecilmu, akan mengubah hatinya menjadi hati ayah sebenarnya buat bayi yang
dikandung istrinya,” kata Eleni. “Ini takdir yang harus diterima, Rodi”
Aku menatap mata Eleni dalam-dalam. Lautan Aegean di depan sana mungkin dalam. Tapi
tatapan dan samudra biru di mata Eleni tak bisa kuukur dalamnya.
***
Alexandrous membantu mengurus proses check-in tiket di konter Olympic Airlines untuk
perjalananku kembali dari Athena ke Singapura lewat Istanbul. Dua jam lagi aku akan
mengarungi penerbangan 14 jam kembali ke Singapura dan plus dua jam lagi ke Surabaya.
“Sebelum kami kembali ke Surabaya, aku harus sampaikan hal penting, Rodi,” kata Alex
dengan senyum sangat tenang.
“Pertama, aku senang aku akan menjadi ayah. Kedua, aku minta pindah dari Surabaya dan kini
mendapat penugasan baru di Istanbul, Turki. Eleni akan bersamaku di mana pun aku berada.
Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia
Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia
Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

More Related Content

What's hot

Contoh naskah drama malin kundang
Contoh naskah drama malin kundangContoh naskah drama malin kundang
Contoh naskah drama malin kundangWarnet Raha
 
Drama malin kundang 5 orang
Drama malin kundang 5 orangDrama malin kundang 5 orang
Drama malin kundang 5 orangYadhi Muqsith
 
Bunga Mawar Kuning Tercinta
Bunga Mawar Kuning TercintaBunga Mawar Kuning Tercinta
Bunga Mawar Kuning TercintaNur Agustinus
 
Naskah Drama Malin Kundang
Naskah Drama Malin KundangNaskah Drama Malin Kundang
Naskah Drama Malin KundangRy Born
 
My last love
My last love My last love
My last love PT. SASA
 
Unsur intrinsik cerpen
Unsur intrinsik cerpenUnsur intrinsik cerpen
Unsur intrinsik cerpenMarina Dhewiy
 
Persahabatan yang rapuh
Persahabatan yang rapuhPersahabatan yang rapuh
Persahabatan yang rapuhAmore Tsuki
 
Cerpen: Impian Seorang Anak Jalanan
Cerpen: Impian Seorang Anak JalananCerpen: Impian Seorang Anak Jalanan
Cerpen: Impian Seorang Anak JalananEmilia Syafitri
 
Cerpen - Pelajaran Unik
Cerpen - Pelajaran UnikCerpen - Pelajaran Unik
Cerpen - Pelajaran UnikApit Nopiyanti
 
Aku ingin seperti laki laki
Aku ingin seperti laki lakiAku ingin seperti laki laki
Aku ingin seperti laki lakionessfee
 
Kado buat elisa
Kado buat elisaKado buat elisa
Kado buat elisabubud75
 
Dee perahu kertas.onessfee.blogspot.com
Dee perahu kertas.onessfee.blogspot.comDee perahu kertas.onessfee.blogspot.com
Dee perahu kertas.onessfee.blogspot.comonessfee
 

What's hot (20)

Contoh naskah drama malin kundang
Contoh naskah drama malin kundangContoh naskah drama malin kundang
Contoh naskah drama malin kundang
 
Drama malin kundang 5 orang
Drama malin kundang 5 orangDrama malin kundang 5 orang
Drama malin kundang 5 orang
 
Bunga Mawar Kuning Tercinta
Bunga Mawar Kuning TercintaBunga Mawar Kuning Tercinta
Bunga Mawar Kuning Tercinta
 
Naskah Drama Malin Kundang
Naskah Drama Malin KundangNaskah Drama Malin Kundang
Naskah Drama Malin Kundang
 
Busway im in love
Busway im in loveBusway im in love
Busway im in love
 
My last love
My last love My last love
My last love
 
Cerpenku
CerpenkuCerpenku
Cerpenku
 
Unsur intrinsik cerpen
Unsur intrinsik cerpenUnsur intrinsik cerpen
Unsur intrinsik cerpen
 
Uang jemputan (farizal sikumbang)
Uang jemputan (farizal sikumbang)Uang jemputan (farizal sikumbang)
Uang jemputan (farizal sikumbang)
 
Persahabatan yang rapuh
Persahabatan yang rapuhPersahabatan yang rapuh
Persahabatan yang rapuh
 
Cerpen: Impian Seorang Anak Jalanan
Cerpen: Impian Seorang Anak JalananCerpen: Impian Seorang Anak Jalanan
Cerpen: Impian Seorang Anak Jalanan
 
Analekta Kisah Semesta
Analekta Kisah SemestaAnalekta Kisah Semesta
Analekta Kisah Semesta
 
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
Seorang ibu menunggu (an. ismanto)
 
Cerpen - Pelajaran Unik
Cerpen - Pelajaran UnikCerpen - Pelajaran Unik
Cerpen - Pelajaran Unik
 
Aku ingin seperti laki laki
Aku ingin seperti laki lakiAku ingin seperti laki laki
Aku ingin seperti laki laki
 
Post 1
Post 1Post 1
Post 1
 
Kado buat elisa
Kado buat elisaKado buat elisa
Kado buat elisa
 
saung pandawa
saung pandawasaung pandawa
saung pandawa
 
Indri xii a3
Indri xii a3Indri xii a3
Indri xii a3
 
Dee perahu kertas.onessfee.blogspot.com
Dee perahu kertas.onessfee.blogspot.comDee perahu kertas.onessfee.blogspot.com
Dee perahu kertas.onessfee.blogspot.com
 

Similar to Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

Similar to Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia (20)

Cinta dan tahajud terakhirku satu
Cinta dan tahajud terakhirku satuCinta dan tahajud terakhirku satu
Cinta dan tahajud terakhirku satu
 
Cinta dan tahajud terakhir
Cinta dan tahajud terakhirCinta dan tahajud terakhir
Cinta dan tahajud terakhir
 
Cerpen
CerpenCerpen
Cerpen
 
Cuti sekolah telah bermula
Cuti sekolah telah bermulaCuti sekolah telah bermula
Cuti sekolah telah bermula
 
Niken & Pandu
Niken & PanduNiken & Pandu
Niken & Pandu
 
Cerpen
CerpenCerpen
Cerpen
 
Tugas pebi
Tugas pebiTugas pebi
Tugas pebi
 
Dialog amik
Dialog amikDialog amik
Dialog amik
 
Oh, begitu (sunaryono basuki ks)
Oh, begitu (sunaryono basuki ks)Oh, begitu (sunaryono basuki ks)
Oh, begitu (sunaryono basuki ks)
 
Winna eff-rememberwhen
Winna eff-rememberwhenWinna eff-rememberwhen
Winna eff-rememberwhen
 
85242 aku dan kamu
85242 aku dan kamu85242 aku dan kamu
85242 aku dan kamu
 
Sudah sewindu
Sudah sewinduSudah sewindu
Sudah sewindu
 
naskah drama lentera hati di tengah gelapnya dunia
naskah drama lentera hati di tengah gelapnya dunianaskah drama lentera hati di tengah gelapnya dunia
naskah drama lentera hati di tengah gelapnya dunia
 
Orang pertama
Orang pertamaOrang pertama
Orang pertama
 
Banyuwangi jenggirat tangi
Banyuwangi jenggirat tangiBanyuwangi jenggirat tangi
Banyuwangi jenggirat tangi
 
Revolusi Berganti Sebelum Mati
Revolusi Berganti Sebelum MatiRevolusi Berganti Sebelum Mati
Revolusi Berganti Sebelum Mati
 
Tentang aku
Tentang akuTentang aku
Tentang aku
 
Remember when winna efendi pdf
Remember when   winna efendi pdfRemember when   winna efendi pdf
Remember when winna efendi pdf
 
Cerpen
CerpenCerpen
Cerpen
 
Cc 1
Cc 1Cc 1
Cc 1
 

Recently uploaded

Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docxModul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docxherisriwahyuni
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdfShintaNovianti1
 
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdfvebronialite32
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxRezaWahyuni6
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...Kanaidi ken
 
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxMODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxarnisariningsih98
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docxbkandrisaputra
 
Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024
Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024
Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024budimoko2
 
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiEdukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiIntanHanifah4
 
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptxPPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptxalalfardilah
 
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptxMateri Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptxc9fhbm7gzj
 
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxKesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxDwiYuniarti14
 
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxPrakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxSyaimarChandra1
 
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxPPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxnerow98
 
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam KelasMembuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam KelasHardaminOde2
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfSitiJulaeha820399
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisNazla aulia
 
Modul 9 Penjas kelompok 7 (evaluasi pembelajaran penjas).ppt
Modul 9 Penjas kelompok 7 (evaluasi pembelajaran penjas).pptModul 9 Penjas kelompok 7 (evaluasi pembelajaran penjas).ppt
Modul 9 Penjas kelompok 7 (evaluasi pembelajaran penjas).pptYanseBetnaArte
 
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional Dunia
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional DuniaKarakteristik Negara Brazil, Geografi Regional Dunia
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional DuniaNadia Putri Ayu
 
implementasu Permendikbudristek no 53 2023
implementasu Permendikbudristek no 53 2023implementasu Permendikbudristek no 53 2023
implementasu Permendikbudristek no 53 2023DodiSetiawan46
 

Recently uploaded (20)

Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docxModul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
Modul Ajar Bahasa Indonesia - Menulis Puisi Spontanitas - Fase D.docx
 
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
1.2.a.6. Demonstrasi Konstektual - Modul 1.2 (Shinta Novianti - CGP A10).pdf
 
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
Demonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdfDemonstrasi Kontekstual  Modul 1.2.  pdf
Demonstrasi Kontekstual Modul 1.2. pdf
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
 
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptxMODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
MODUL 2 BAHASA INDONESIA-KELOMPOK 1.pptx
 
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docxLembar Observasi Pembelajaran di  Kelas.docx
Lembar Observasi Pembelajaran di Kelas.docx
 
Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024
Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024
Petunjuk Teknis Aplikasi Pelaksanaan OSNK 2024
 
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajiiEdukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
Edukasi Haji 2023 pembinaan jemaah hajii
 
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptxPPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
PPT_AKUNTANSI_PAJAK_ATAS_ASET_TETAP.pptx
 
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptxMateri Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
Materi Bimbingan Manasik Haji Tarwiyah.pptx
 
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptxKesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
Kesebangunan Segitiga matematika kelas 7 kurikulum merdeka.pptx
 
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptxPrakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
Prakarsa Perubahan dengan Kanvas ATAP & BAGJA.pptx
 
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptxPPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
PPT Integrasi Islam & Ilmu Pengetahuan.pptx
 
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam KelasMembuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
 
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara InggrisKelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
Kelompok 4 : Karakteristik Negara Inggris
 
Modul 9 Penjas kelompok 7 (evaluasi pembelajaran penjas).ppt
Modul 9 Penjas kelompok 7 (evaluasi pembelajaran penjas).pptModul 9 Penjas kelompok 7 (evaluasi pembelajaran penjas).ppt
Modul 9 Penjas kelompok 7 (evaluasi pembelajaran penjas).ppt
 
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional Dunia
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional DuniaKarakteristik Negara Brazil, Geografi Regional Dunia
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional Dunia
 
implementasu Permendikbudristek no 53 2023
implementasu Permendikbudristek no 53 2023implementasu Permendikbudristek no 53 2023
implementasu Permendikbudristek no 53 2023
 

Perempuan Yunani dan Guru Bahasa Indonesia

  • 1. PEREMPUAN YUNANI DAN GURU BAHASA INDONESIA Episode 1 Ulang tahun ke-lima Reina, anakku semata wayang, berlangsung seru. Acara buka kado dilakukan di depan tetamu cilik teman-teman sekelas dan tetangga. Lihatlah, pernik-pernik kado unik menyembul dari kertas kado yang disobek beringas oleh Reina. “Wui, boneka Barbie!” teriak Reina. “Itu dari aku. Bagus ya?” celetuk seorang bocah, bangga. “Yang dari aku juga keren. Buka yang ini dulu,”seorang bocah meraih kado dari meja dan menyodorkan pada Reina. Reina meladeni teman kecil itu. Ia sobek kertas kado itu. Membundar mata Reina melihat boneka alligator berwajah imut. Dan selebihnya Reina sukses memenuhi lantai dengan sobekan-sobekan kertas kado. 71 kado ditumpuk di meja. “Ini dari ibu,” istriku mengangsurkan kado terakhir. Reina menyambutnya dan seberingas sebelumnya, ia membetoti kertas pembungkus. “Asyik. Ini tas yang aku mau….” heboh teriakan Reina menimang tas plastik produk impor bergambar tokoh-tokoh Sesame Street. “Terimakasih, ya, Ibu. Eh, dari Bapak mana?” Reina menoleh ke arahku. “Tuh, dah gabung dengan yang dari ibu,” kataku. “Wah, Bapak curang. Maunya gabung aja,” kata Reina. Istriku menoleh aku beberapa detik. Aku hanya bisa tersenyum, meraih jaket, mengalungkan tas ke bahu dan mengucapkan selamat ulang tahun pada Reina. “Teman-teman kecil, kalian nikmati pestanya, ya. Om pergi dulu!” aku melayangkan pandangan ke tetamu mungil itu, dan meninggalkan rumah makan cepat saji spesialis ayam goreng itu. Sore ini aku harus mengajar. Tak bisa menemani Reini menuntaskan pesta ulangtahunnya.
  • 2. Ya, perkenalkan aku, Rodi guru privat Bahasa Inggris. Perkenalkan pula istriku, Trista, finance manager pada sebuah perusahaan multinasional. Beda pekerjaan ini yang menyebabkan kadoku pada Reina terpaksa ‘tergabung’ dengan kado istriku. Mana bisa aku membelikan kado dengan nilai mendekati setengah juta rupiah seperti itu. Angka di slip gaji istriku amat jauh berbeda dengan angka uang yang kumpulkan dari mengajar privat di beberapa tempat. Aku mengupas sore itu dengan laju sepeda motor bebek keluaran tahun 2005, berusaha tidak iri pada mobil Suzuki Swift yang dikendarai istriku untuk pergi kerja. Aku datang ke rumah siswa, dua anak kembar SMP yang tinggal di bilangan perumahan mewah tepat waktu. Pulangnya, aku menerima amplop pembayaran belajar sebulan yang jumlahnya tak jauh beda dengan nilai kado Trista untuk Reina. *** Trista dan Reina sudah berada di rumah begitu aku sampai di rumah. Reina asyik memilah- milah kado sambil sesekali mengomentari kado ‘jelek; yang tak sesuai seleranya. Tas pemberian ibunya didekap Reina dengan tangan kiri. “Reina senang banget dengan kado itu,” kataku pada Trista. “Iya. Kamu kan baru dapat bayaran salah satu siswa. Nggak pingin belikan kado? Terlambat sedikit tidak apa-apa,” kata Trista. “Harusnya. Tapi besok waktunya bayar tagihan antar-jemput Reina,” ujarku. “Tagihan itu biar aku yang bayar,” kata Trista. “Tak usahlah. Itu kewajibanku,” aku masuk kamar dan menghitung uang. Setelah bayar tagihan antar jemput nanti, masih tersisa Rp 80.000. Aku termangu menimang uang itu. Trista membututi aku dari belakang. “Mas, kamu beli kado aja sekarang buat Reina. Dia ingin kado dari kamu. Pakai uangku,” kata Trista. Aku menoleh.
  • 3. “Nggak usahlah, Tris. Cukup sudah kado dari kamu itu. Dan lagi aku tak mau kau terus-terusan menyokongku untuk hal-hal yang seharusnya aku bisa lakukan” “Makanya, Mas, kau cari…..” “Sst, boleh nggak kalau kita nggak membahas soal aku harus cari kerja yang lebih mapan? Apa salahnya pekerjaan guru privat bahasa Inggris. Pendapatanku toh kurang lebih sama dengan para ayah lain yang kerja kantoran?” aku menyergah. “Itu kalau jumlah murid kamu sedang banyak. Tapi kau lihat sendiri, jumlah muridmu naik turun. Kalau sedang turun, kamu bilang jumlah murid akan naik lagi. Nyatanya, jumlah murid privatmu lebih sering tetap atau malah turun. Dan lagi, kamu tak pernah mau menaikkan tarif mengajarmu,” Trista bicara. Kalau sudah begini, berikutnya adalah adu mulut yang tak berkesudahan. Aku meninggalkan Trista sendiri di kamar dan bergerak menuju ke ruang terbuka di belakang, dengan taman kecil dan pancuran buatan; menikmati gemericik air jauh lebih menyejukkan katimbang meladeni omongan Trista. Dan biasanya, setelah percakapan macam ini, Trista juga pergi menyendiri. Seperti di sisa sore ini, dia menstart mobil, meninggalkan Reina di rumah dengan aku dan pembantu, dan pergi keluar. Dan ini sudah biasa. Sudah sering terjadi. Ia baru kembali nanti di atas jam sembilan malam. Kemana ia pergi, ia tak pernah bilang, tak pernah mau beritahu aku. Tapi aku tahu kemana dia pergi dan berada di mana ia sekarang. Aku menghitung, dalam waktu setengah jam aku akan dapat sms dari seseorang. Benar. HP-ku menderukan suara pesan sms. “Rod, istrimu di sini, baru saja pesan cappuccino,” itu sms Gusti, temanku yang kerja di sebuah café di mall di pinggiran kota. Baru saja aku hendak membalas sms itu, Gusti kirim MMS, plus teks begini, “kayaknya istrimu ketemu seorang teman pria dan langsung gabung duduk semeja,”. Dalam gambar kiriman MMS, yang dipotret Gusti dengan diam-diam, kulihat Trista tengah duduk berhadapan dengan seorang bule. Karena dipotret dari belakang, tak bisa aku melihat jelas sosok dan rautnya. Siapakah dia? Teman Trista? Kebetulan bertemu di mall itu? Ah, perduli apa aku! Sebagai perempuan eksekutif muda dengan karir cemerlang; raga seksi, senyum menawan, alis tebal dan rambut tebal berombak pula, Trista punya banyak teman dari berbagai kalangan. Aku yakin dia pun punya banyak penggemar. Dan Trista tak pernah mau berbagi cerita dengan aku soal teman-
  • 4. temannya, soal ketemu siapa saja, soal ngobrol apa saja dengan mereka yang dekat dengannya. Adakah yang dekat hati dengan Trista? Ah, itu bukan urusanku, setidaknya demikian menurutku, bila bukan Trista sendiri yang cerita padaku. *** Agak tengah hari, sepulang mengajar, tak biasanya aku mendapat tamu. Hendra, rekan seprofesi sesama pengajar privat, meluncur ke rumah. “Rodi, kamu musti bantu aku. Aku dapat tawaran mengajar Bahasa Indonesia!” kata Hendra ketika menghenyakkan pantat di kursi beranda depan sembari menebar berkeliling ke keasrian tanaman di depan rumah. “Bahasa Indonesia!” sambutku. “Nggak salah, tuh?” “Nggak, ini bener. Tawaran ini dari teman. Ada sepasang suami-istri, orang Yunani, perlu belajar bahasa Indonesia. Yang perlu sebetulnya si suami. Ia adalah quality assurance manager di sebuah perusahaan kosmetik internasional di sini. Perusahaan mewajibkan dia untuk menguasai bahasa Indonesia dalam waktu tiga bulan,” cerocos Hendra. “Dan masalahnya adalah?” “Masalahnya adalah jadwalku penuh. Aku minta kamu ambil pekerjaan ini. Rp 200 ribu perjam. Jadwalnya Sabtu pagi dua jam, Selasa sore dua jam dan Kamis sore dua jam, total enam jam seminggu. Mereka tinggal di apartemen. Mulai Sabtu besok. Ini alamat dan nomor teleponnya,” kata Hendra. Aku tak berpikir panjang. Waktu-waktu yang disebutkan Hendra itu kebetulan waktu kosongku, kecuali yang Kamis sore, yang bisa aku negosiasikan dengan siswa untuk digeser ke waktu lain. “Deal,” kataku menyalami Hendra. Hendra mengangguk senang, “jangan lupa traktir aku kalau sudah dapat bayaran” tambah Hendra. ***
  • 5. Upah mengajar Rp 1.200.000 seminggu membuat aku bersemangat. Setelah Hendra menyingkir, aku langsung menghubungi calon siswa. Teleponku diterima langsung oleh seorang pria yang menyapaku dalam bahasa Inggris dengan aksen agak aneh. Alexandrous, demikian pria itu memperkenalkan diri, sungguh terdengar ramah. Kami bicara sebentar soal jadwal dan model pembayaran. Dia juga mengatakan sangat perlu belajar bahasa Indonesia agar mudah berkomunikasi dengan rekan kerja dan bawahan di kantornya, dan agar ia sendiri bisa enak turun meriset pasar dengan bahasa Indonesia. Semua seperti yang diomongkan Hendra. Pelajaran pertama ditetapkan besok jam sembilan pagi, di apartemen Alexandrous. Aku langsung menyibukkan diri dengan komputer dan mulai mempersiapkan bahan ajar dengan mengadaptasi bahan-bahan dari pelajaran bahasa Inggris. Pekerjaan persiapan ini tak terlalu sulit, dan sekaligus kupersiapkan untuk 6 jam pertemuan. Jam sembilan kurang sepuluh menit, Sabtu, aku sudah berada di lobi apartemen Alexandrous. Ia sendiri yang menyongsong aku di lobi apartemen. “Hello. You are Rodi, right? How are you, my friend?” sapanya renyah. Huih! Seorang pria tampan yang gagah, kuperkirakan berusia di bawah tiga puluh tahun. Rambutnya rapi, dagu tercukur bersih, pakaian santai dan tampak mahal. Kami naik ke lantai 12. “Saya suka Surabaya. Tidak seramai Jakarta, tapi semua tersedia,” kata Alexandrous sepanjang perjalanan menuju apartemen-nya. “Anda berasal dari mana di Yunani?” tanyaku. “Athena, ibukota Yunani,” jawab Alexandrous. “Pernah ke sana?” tanyanya. “Bahkan bermimpipun tidak,” selorohku. Alexandrous tertawa ringan. Alexandrous mengetuk pintu apartemen. Seseorang membukakan pintu. “Kenalkan, ini Eleni, istri saya,” kata Alexandrous. Eleni, perempuan itu menyungging senyum dan mengulurkan tangannya. Aku menyambut ularan tangan itu.
  • 6. Astaga! Bagaimana aku bisa merangkai kata untuk menggambarkan betapa rupawannya perempuan ini. Aku hanya bisa berkata, “Nice to meet you, Mrs Eleni,” kataku, agak sungkan karena belum tahu nama belakang keluarga ini. “Panggil Eleni saja,” ujar perempuan ini. Astaga! Sekali lagi tak bisa kuungkapkan pesona perempuan ini ketika berbicara dan menyibakkan rambut sebahunya yang kecoklatan. Episode 2 Alexandrous langsung menggiring aku ke sebuah ruang dengan meja kaca bundar dan tiga kursi. Ruang itu menyediakan pemandangan udara terbuka kota Surabaya di ketinggian melalui sebuah jendela kaca yang tirainya dibuka lebar. Sebuah papan berpermukaan melamin ukuran 80 x 60 cm digantung di tembok tak jauh dari kursiku. Sementara Alexandrous sibuk mencari buku dan pena, Eleni sudah duduk rapi di hadapanku. Harus kuakui aku suka sekali menatap perempuan ini yang kuperkirakan usianya sedikit muda di bawah suaminya. Tak setinggi bule pada umumnya, tubuh ramping itu diperelok dengan rambut kecoklatan terurai melebihi bahu, plus raut muka bersih. Hidung indahnya pas dengan warna hazel di matanya. Oh ya, busana atas terbuat dari bahan kaos berlengan panjang berwarna biru regal, rapi dan tertutup, dengan celana panjang longgar khas rumahan warna putih, membuat perempuan ini ayu anggun. Tentu saja aku hanya berani menatap sekilas. “Now we are ready,” kata Alexandrous begitu duduk di dekat Eleni dengan buku tulis dan pena. Pelajaran hari pertama itu lumayan lancar. Aku melatih mereka cara memberikan salam, cara menyapa, cara mengatakan ‘terimakasih’, dan cara-cara menyebut ‘you’ yang dalam bahasa Indonesia teramat ribet karena harus sesuai usia dan status sosialnya. “Wah kalau begitu selama ini saya tak sopan menyebut rekan kerja dengan kata ‘kamu’,” ujar Alexandrous tersenyum. Yang lebih mengagumkan, ternyata Eleni lebih cepat menangkap pelajaran daripada Alexandrous. Ketika berlatih bicara, Eleni sering membuat Alexandrous gelagapan dan harus kerap kali menengok catatan.
  • 7. “Saya memang payah dalam hal bahasa. Beda dengan istri saya. Ia bisa bicara bahasa Spanyol, Prancis dan Inggris. Tak lama lagi, ia pasti akan jadi guru bahasa Indonesia saya,” puji Alexandrous. Eleni hanya tersenyum dan menyenggol bahu suaminya dengan gerakan bahu. Dalam hati aku memuji, pasangan suami-istri ini benar-benar serasi. Alexandrous ganteng dan gagah, sementara Eleni teramat rupawan. “Mohon pelajaran hari ini dihafal dengan baik. Hari Selasa nanti kita akan mulai dengan pelajaran baru,” kataku dalam bahasa Inggris. “Baik, pak Rodi. Sampai jumpa hari Selasa,” ujar Eleni dalam bahasa Indonesia yang bagus pengucapannya, plus senyum manis di bibirnya. *** “Reina minta ke mal malam ini, beli baju. Aku sekalian mau ke spa di mal itu,” kata istriku ketika aku sampai di rumah sore itu. “Kamu nggak ada jadwal ngajar sore ini?” Aku tak ada jadwal mengajar, dan mengiyakan. Aku menyetir mobil. Reina asyik main dengan boneka di jok belakang dan Trista sibuk dengan telepon Blackberry-nya, hampir tak menyisakan banyak waktu bagi aku dan dia untuk bicara. Untuk membunuh sepi di kabin mobil, sesekali aku mengajak Reina bicara. Tapi gadis kecilku itu lebih terserap pada bonekanya. Trista menghabiskan waktu hampir satu jam setengah memilih pakaian untuk Reina dan untuk dirinya sendiri. Carik-carik kertas tanda transaksi menumpuk dalam genggaman Trista. “Kamu perlu baju atau celana?” tanya Trista padaku. Aku menggeleng. Trista tahu kenapa aku menggeleng. “Ayolah, baju dan celana kerjamu kelihatannya cuma itu-itu saja. Pilih sana!” kata Trista lagi. AKu tetap menggeleng. “Aku yang bayar,” Trista mengusap punggungku.
  • 8. “Nggak, Tris. Kan aku sering bilang aku mau beli dengan uangku sendiri. Nanti akhir bulan bila ada sisa setelah kewajibanku untuk belanja, listrik, air, telepon, internet, kartu kredit, baru aku beli” “Ya, sudah!” Trista melenggang ke kasir dan membayar belanjaan senilai sedikit di atas Rp 1.500.000 dengan kartu kreditnya. “Sekarang kamu ajak Trista, makan, ya. Terus ajak main ke game zone. Aku ke spa dulu di lantai 3, agak lama, sekitar dua jam!” kata Trista. Aku mengangguk. Sebelum berbalik, Trista menghampiri aku dan bertanya : “Uangmu cukup?” “Cukup. No problem!” kataku. Tapi tak urung ia membuka dompet dan menyerahkan dua lembar seratus ribuan. Aku menerimanya dengan enggan. Entah kenapa perasaanku makin tak enak setiap kali Trista memeriksa apakah aku punya uang cukup buat ini dan buat itu. Aku melihat ada semacam aroma intimidasi dan pelecehan dalam pertanyaan-pertanyaan seperti itu, seolah menyiratkan bahwa aku tak pernah berdaya untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan kecil gaya hidup di luar kebutuhan utama. Repotnya lagi, aku merasa Trista sangat menikmati saat-saat ia bertanya apakah aku punya cukup uang untuk sesuatu. Tapi aku tak bisa banyak bicara. Kantongku sebagai guru privat bahasa Inggris memang tak berbanding lurus dengan model pengeluaran Trista yang berpenghasilan 16 juta rupiah sebulan. *** Aku sedikit terhibur melihat Reina tak rewel saat makan dan bisa enjoy saat main sendiri di arena permainan. Aku duduk sendiri di kejauhan dan menatap lalu-lalang berpasang-pasang suami istri dengan anak-anak mereka yang menghabiskan Sabtu malam di mall. Sudah hampir dua jam berlalu. Aku membimbing Reina keluar dari arena permainan dan menyusul ibunya di lantai 3, dan langsung menuju ke satu-satunya gerai spa di lantai itu. “Ibu mana ya?” tanya Reina ketika kami masuk gerai. “Ini namanya spa. Mungkin ibu masih di ruang dalam. Kita tunggu ya?” kataku pada Reina.
  • 9. “Maaf, Bapak menunggu siapa?” tanya petugas resepsionis. “Istri saya. Namanya Trista Valya. Dia biasa ke sini,” kataku. Petugas resepsionis memeriksa layar computer. “Kami kenal Bu Trista. Tapi hari ini beliau tidak kesini. Namanya tidak ada dalam daftar kami,” jelas mbak petugas. “Dua jam lalu istri saya bilang mau ke sini. Coba periksa lagi, mbak!” SI mbak petugas memeriksa lagi layar komputer dengan cermat. Ia kemudian mendongak : “Tidak ada, pak. Saya sudah berjaga di sini sejam jam 1 tadi. Bu Trista tidak kemari” “Mm, ada spa lain di sekitar sini?” tanyaku. “Ini satu-satunya!” “Ibu kemana, Bapak?” Reina menggoyang-goyangkan tangan ketika aku membimbingnya ke luar gerai spa. “Wah, Bapak juga tak tahu. Tadi si mbak bilang Ibu tidak ke spa itu,” aku juga mulai bingung. Reina mulai muncul manjanya. Ia minta digendong ketika mulai kupapah untuk berjalan memutari lantai 3. Langkahku terhenti ketika dari lantai tiga, melalui kaca-kaca besar, bisa kulihat sebuah taksi baru saja datang di depan lobi mal. Trista turun dari taksi tergopoh-gopoh. Dari mana dia? Aku berjalan menggendong Reina kembali ke gerai spa. Trista pasti menuju ke sana. Trista sedikit terkejut melihat aku dan Reina di depan gerai spa. “Ibu….ibu darimana?” Reina minta turun dari gendongan. “Ibu…eh….tadi mendadak ditelepon orang kantor. Ada sedikit masalah perbedaan saldo keuangan sepanjang minggu kemarin,” kata Trista, yang lebih merupakan penjelasan kepada aku daripada kepada anak usia lima tahun. “Hari Sabtu malam begini?” tanyaku.
  • 10. “Ya, biasa. Kalau ada beda hitungan, boss suka tak kenal waktu. Kamu tahu dia, kan?” Aku hanya melongo. Sepanjang pengetahuanku, Trista tak akan suka kalau aku bertanya lebih rinci. Jadi aku diam saja dan berpura-pura memahami masalah. “Jadi kamu tidak jadi ke spa tadi?” tanyaku di mobil. “Baru mau daftar di resepsionis, aku dapat telepon dari boss, diminta ke kantor segera,” jelas Trista. “Kok nggak telepon aku dan minta kunci mobil, jadi kau tak perlu naik taksi,” kataku. “Kelamaan. Bos bilang ini urgent banget!” Aku mengangguk kecil menatap lurus ke jalan. Ini agak aneh. Bukankah mbak resepsionis spa mengatakan Trista tidak ke spa sama sekali. Kalau memang Trista ke spa itu, resepsionis setidaknya akan bilang begini tadi, “Tadi Ibu Trista memang ke sini, tapi sebelum sempat daftar, ia sudah pergi”. Benar-benar aneh. Kenapa pula ia tak pakai mobil sendiri? Apakah ini disengaja agar aku tak perlu tahu ia sebenarnya tidak pergi ke spa? Ah, sudahlah! Mungkin benar si boss sangat perlu menghadirkan Trista untuk urusan keuangan. Untuk sementara, aku pilih percaya omongan Trista. *** “Selamat sore, pak Rodi,” Eleni menyapa dalam bahasa Indonesia ketika membuka pintu kamar apartemennya. “Hari ini Alex agak terlambat. Maaf ya?” ia melanjutkan dalam bahasa Inggris. “Okay, no problem. Kita mulai duluan atau menunggu Alex?” tanyaku. “Kita tunggu sebentar. Silakan duduk dulu,” Eleni meminta aku duduk di ruang tamu sambil menawari aku mau minum apa. Aku kikuk duduk di hadapan perempuan ini. Tapi kucoba menemukan topik pembicaraan. “So, Anda cuma tinggal bersama suami di apartemen ini?” tanyaku.
  • 11. “Begitulah, saya sih maunya punya pembantu pulang sore. Tapi Alex lebih suka kami berdua saja, untuk jaga privasi dan agar lebih mesra,” tutur Eleni “Jadi Anda mengerjakan semua pekerjaan rumah?” “Tidak juga. saya menyerahkan pekerjaan cuci baju dan setrika pada apartemen ini. Itu yang paling repot. Selebihnya saya kerjakan sendiri, cuci dua piring dan dua gelas sehabis makan. Selain makan di luar, kami juga suka memasak sendiri. Alex pintar masak dan rajin membantu bersih-bersih rumah” “Wah, keluarga kompak nih,” selorohku. “Tell me, pak Rodi. Di mana Anda belajar bahasa Inggris. Bahasa Inggrisnya bagus sekali,” ujar Eleni. “Terimakasih. Saya kuliah jurusan bahasa Inggris,” kataku. “Bahasa Inggris Anda juga bagus!” “Terimakasih!” Eleni kali ini bicara bahasa Indonesia, tetap dengan senyum ramah tersungging. Aku membisu sesaat dan berusaha mengalihkan pandangan dari perempuan itu. Mau bicara apa lagi, ya? Tiba-tiba Eleni bicara lagi. “Pak Rodi, boleh saya tanya sesuatu?” Episode 3 “Silakan,” “Apa yang pak Rodi ketahui tentang Yunani?” “Yunani? Well, negara-negara lain yang lebih dikenal orang Indonesia adalah Amerika dan India karena film dan musiknya, Inggris karena sepakbolanya, China karena produk-produknya,
  • 12. Belanda karena negara bekas penjajah, Singapore karena kedekatan geografisnya. Jarang yang kenal Yunani. Tapi saya tahu sedikit tentang Yunani” “Tell me what you know,” Eleni menjenakkan duduknya, bersandar santai di kursi empuk dengan satu tangan menopang kepala. “Wah, apa ya? Saya pernah baca novel klasik Zorba the Greek karangan Nikos Kazantzakis versi bahasa Inggris, dan suka dengar suara lembut Nana Mouskouri,” “Zorba the Greek? Wah, itu juga kesukaan saya waktu kecil. Kalau Nana Mouskouri itu favorit ibu saya,” mata Eleni membundar. “Hebat juga pak Rodi bisa tahu karya sastra dan musik Yunani. Saya juga kebetulan bawa CD Yunani favorit saya. Mau dengar?” Eleni langsung berdiri, menghampiri satu meja di sudut ruangan dan memilah-milah CD. Dengan gerakan manis ia menyisipkan CD ke alat pemutar, dan mulai mengalun musik yang bernuansa lembut tapi terdengar asing di telingaku. “Ini koleksi instrumentalia komponis-komponis hebat Yunani,” Eleni menyodorkan kotak CD dengan sopan. Aku mengamati sampul kotak itu. Tiga nama besar komponis Yunani ada di sampul : Mikis Theodorakis, Manos Hadjithakis, Stavros Xarhakos. “Belum pernah dengar. Tapi enak di telinga. Ini musik keren,” kataku. Tak sengaja kalimat yang terakhir pakai bahasa Indonesia. “Apa pak Rodi bilang barusan?” tanya Eleni. “Oh, maaf. Itu bahasa Indonesia. Ini musik keren. This is cool music,” kataku. “Tolong ulang sekali lagi!” “Ini musik keren” “I-ni mu-sik ke-ren!” ulang Eleni. “Wow! Pintar!” kataku. “Ini musik, keren ya?” kata Eleni lagi. Senang sekali ia bisa mengulang kata-kata itu dengan baik. “Sungguh pak Rodi suka musik ini. Bukan hanya basa-basi?” tanya Eleni.
  • 13. “Oh, no. I really like it. Lembut, tapi ritmis dan dinamis!” aku sengaja menggerak-gerakkan kepala mengikuti nada musik. “Ini musik keren!” kataku lagi. “Ya…ini musik keren!” ujar Eleni dengan tawa kecil. Dan terdengar suara ketukan. Eleni membuka pintu. Alexandrous berdiri di pintu. “Hi, honey! You’re back!” Eleni mengecup kecil bibir Alexandrous. “Maaf, maaf sekali. Jalanan macet seperti biasa! Sudah mulai?” “Belum, tunggu kamu” kata Eleni. “Hai, tahu nggak, honey? Ini musik keren” ujar Eleni pada Alexandrous. “Ini apa…..?” Alexandrous pakai bahasa Indonesia. “Musik keren! Nice music. Itu kata pak Rodi” “Oh, good. Pak Rodi suka ini?” tanya Alexandrous. “Suka sekali! Ini musik keren!” “Well, ayo kita mulai belajarnya. Sudah terlambat setengah jam,” kata Eleni, mematikan CD player. *** Trista sedang berdandan ketika aku masuk kamar menjelang pukul 7 malam itu. “Mau kemana?” tanyaku. “Oh ya. Aku lupa. Ada pesta gathering kantor malam ini, perpisahan direktur produksi yang mau dipindah ke Bangkok. Mendadak. Aku lupa bilang. Aku juga lupa bilang suami atau istri diundang juga. Kamu ikut ya, Mas?” “Aku….” “Tuh sudah kubelikan baju dan celana baru,” Trista menunjuk setumpuk busana baru di pinggiran tempat tidur. Aku yakin ia tahu aku bakal kesulitan mencari baju yang layak pakai untuk mendampingi istri.
  • 14. “Memangnya harus aku harus ikut?” ogah-ogahan aku menyentuh pakaian baru lengkap dengan label harga yang masih menempel. “Sebaiknya begitu. Biar kamu lebih kenal dengan rekan-rekan kantorku. Coba baju dan celananya. Jam delapan kita musti sampai di lokasi,” kata Trista tak berhenti mematut-matut wajah. “Celananya oke, tapi bajunya kegedean,” aku menunjukkan diriku pada Trista, dalam balutan kemeja yang salah ukuran. “Oh, shit! Tadi kukira sudah pas!” Trista menoleh sebentar, dan selebihnya melihat lewat pantulan cermin. “Jadi gimana?” “Ya, udah nggak apa-apa. Kegedean sedikit nggak masalah,” ujar Trista. Aku duduk di ujung tempat tidur. “Boleh nggak kalau kamu saja yang berangkat? Aku di rumah saja, sama Reina” “Bener mau nggak ikut?” “Bener. Aku di rumah saja. Lagian aku mau menyiapkan banyak bahan pelajaran buat besoki ini” “Ya sudah…..” Dan Trista berangkat sendiri malam itu. Ia tampil sangat cantik dengan setelan baru rok ketat dan atasn berbahan sutra dengan bagian dada rendah, membiarkan keindahan kulit dada terbuka lebar. Malam itu, aku dan Reina sudah lelap ketika Trista pulang. Jam dua belas kurang sedikit. Aku enggan bertanya kenapa pesta perpisahan tema nsekantor bisa selarut itu. *** Alexandrous dan Eleni sudah siap ketika aku datang Kamis sore itu. Pelajaran bahasa Indonesia kali ini berkisar pada penggunaan kata tanya, beberapa kosa kata kerja, kata benda dan kata sifat. Dan seperti biasa, Alexandrous terseok-seok sementara Eleni melaju dengan pesat.
  • 15. Sesaat sebelum waktu belajar selesai, Alexandrous memandang mereka perlu punya kamus bahasa Indonesia. “Apa kamus bahasa Indonesia yang bagus?” tanya Alex. “Sepasang kamus Indonesia-Inggris dan Inggris-Indonesia karangan Hasan Shadily bagus juga” jelasku. “Di mana saya bisa beli?” tanya Eleni dalam bahasa Indonesia. “Toko buku Trimedia, di Pakuwon Supermal, tak jauh dari sini,” kataku. “Aku tahu di mana itu. Mau beli sekarang, honey?” Eleni menoleh Alexandrous. “Hm, aku harus menyelesaikan beberapa tugas kantor dan kirim e-mail. Kalau kamu saja yang beli gimana?” kata Alexandrous. “Lebih bagus lagi, kalau diantar Pak Rodi, sekalian kamu bisa praktek bahasa Indonesia,” kata Alexandrous sambil menoleh aku. Eleni tidak menjawab dan turut menoleh ke arahku. “Tentu saja kalau ini tidak mengganggu Anda, pak Rodi,” tambah Alex. “Oh, tidak, sama sekali tidak. Saya kosong malam ini,” kataku. “Good! Boleh ya antar Eleni ke toko buku?” ujar Alex, “Don’t worry. Masukkan waktu yang terpakai buat belanja buku ini sebagai waktu belajar tambahan. Setuju?” Tentu saja aku tak bilang tidak. Eleni juga tampaknya suka dengan ide ini. Kami memesan taksi di lobi apartemen. Aku mau duduk di kursi depan dekat supir ketika Eleni mengatakan, “Pak Rodi duduk di belakang saja sama saya. Kita bicara bahasa Indonesia,” kalimat terakhir diucapkan dalam bahasa Indonesia. Aku menutup kembali pintu depan dan beralih duduk di samping Eleni. Harum tubuh perempuan Yunani ini menyergap hidungku. “Oke, pelajaran bahasa Indonesia tambahan. Silakan bertanya kalau Anda melihat hal-hal yang ingin ditanyakan,” kataku. “Kalau tidak?”
  • 16. “Kalau tidak, saya yang akan bertanya. Siap-siap, ya?” “Baik, pak guru….,” Eleni tertawa renyah, dan menoleh aku. “Entah kenapa saya senang bisa keluar seperti ini……..” kata Eleni tiba-tiba. “Oh ya, kenapa……….?” Aku pakai bahasa Indonesia. Eleni berpikir sejenak. Kelihatannya ia siap menjawab pakai bahasa Indonesia. Aku siap mendengarkan; bukan mendengarkan bahasa Indonesia-nya, tapi alasan kenapa ia senang bisa keluar seperti ini. Episode 4 “Oh ya, kenapa……….?” Aku pakai bahasa Indonesia. Eleni berpikir sejenak. Kelihatannya ia siap menjawab pakai bahasa Indonesia. Aku siap mendengarkan; bukan mendengarkan bahasa Indonesia-nya, tapi alasan kenapa ia senang bisa keluar seperti ini. “Judul instrumentalia pertama pada musik keren yang saya putar waktu itu…I am an eagle without wings,” Eleni menoleh lagi padaku, kali ini dengan suara agar lirih. “An eagle without wings….seekor elang tanpa sayap!” ulangku. “Kenapa begitu, Eleni?” “Yah, seekor elang harusnya terbang bebas….terbang tinggi kesana kemari” “Lalu, kemana sayap-sayap itu?” tanyaku memberanikan diri. “Kuserahkan semua pada Alexandrous,” ujar Eleni. Bagi perempuan Yunani penyerahan diri secara total pada lelaki yang dicintai adalah kehormatan. Saya sangat mencintai Alexandrous. Pria hebat dari kalangan menengah, pekerja keras, kebanggaan keluarganya,” ujar Eleni. Aku sedikit bertanya-tanya dalam hati kenapa Eleni tak segan berbagi cerita kehidupan pribadinya. “Boleh ceritakan bagaimana Anda bertemu Alexandrous?” aku memberanikan diri bertanya. “Kisah yang romantis,” Eleni menyibakkan rambutnya. “Anda tahu Alexandrous adalah salah satu personil kunci dalam jaringan perusahaan yang bermarkas di Prancis. Dialah yang mengerjakan semua urusan peningkatan kualitas produk-produk kosmetik perusahaan. Lima tahun lalu, di Athena, perusahaannya menggelar semacam kontes kecantikan regional yang disponsori perusahaannya. Peserta haruslah pengguna produk kosmetik perusahaan di mana Alexandrous bekerja,” Eleni berhenti bicara. “Pak Rodi bilang ya kalau mulai bosan dengan bicara saya,” katanya kemudian. “Sama sekali tidak! Saya suka mendengarnya” “Saya berasal dari Skiathos, sebuah kota kecil di sebuah pulau di antara laut Aegea dan laut Mediterania, Yunani timur. Saya mendaftar ikut kontes, dan menang juara dua”
  • 17. “Wah, keren!” ujarku dalam bahasa Indonesia. “Ow, keren ya?” sergah Eleni. “Saya malah tadinya tidak mengira dapat posisi kedua. Saya merasa tidak cantik,” Eleni tersenyum kecil. “Tidak cantik. C’mon, Anda cantik sekali Eleni. Maaf kalau saya memuji. Tapi Anda benar-benar perempuan berwajah sangat rupawan,” kataku, sambil berharap Eleni tak menganggap aku macam-macam dengan pujian itu. “Oh ya, begitu menurut Anda? Tapi waktu kontes itu saya tidak merasa cantik dan menarik. Ratusan peserta lain jauh lebih cantik dan sexy” “Percayalah saya, Eleni. Anda sungguh cantik. Saya belum pernah memuji perempuan Eropa seperti ini sebelumnya. Anda menawan. Sungguh. Itulah sebabnya Alexandrous menaruh hati pada Anda, bukan pada pemenang nomor satu,” kataku, berusaha menimbulkan kesan ucapan ini hanyalah celetuk kasual dan tidak bertendensi macam-macam. “Ha…ha…ha, itu karena juara satunya sudah punya pacar!” ujar Eleni tertawa. “By the way, saya lebih suka melihat perempuan Indonesia. Mereka cantik alami, anggun dan punya aura khas dengan kulit oriental berbalut coklat ringan yang eksotis” “Kalau laki-laki Indonesia bagaimana?” aku bertanya dengan nada canda. “Ahaha, saya belum punya pendapat tentang lelaki Indonesia. Saya tak banyak bertemu lelaki Indonesia, kecuali orang-orang yang saya lihat di mall dan Anda,” Eleni tak kalah berseloroh. “Well, tak ada yang menarik dari lelaki Indonesia,” kataku, “kebanyakan seperti saya, sangat biasa” Eleni tertawa lagi. “Anda dan Alexandrous pasangan yang sangat pas. Lelaki ganteng dan perempuan cantik!” aku meringkas pembicaraan. Taksi sudah sampai di lobi mal. “Terimakasih!” ujar Eleni dalam bahasa Indonesia. Aku sungguh rikuh ditatap banyak mata ketika berjalan bersama Eleni di koridor mal menuju ke toko buku. Mereka pasti berpikir, ‘Kok mau bos bule jalan sama sopirnya yang dekil, ya?’ Tapi itu tak jadi masalah. Tugasku hanya mengantar Eleni mencari kamus di toko buku. Aku senang karena sepanjang malam itu Eleni banyak memanfaatkan pelajaran yang kuberikan. Ia berani mencoba bicara dengan penjaga toko atau dengan penjaga toilet dalam bahasa Indonesia dengan hanya sedikit kesalahan. “Well, pak Rodi, harusnya saya mentraktir Anda minum kopi atas jerih payah mengantar saya. Tapi saya kuatit Alexandrous menantikan saya. Kita langsung pulang ya?” kata Eleni. “Sure!” jawab saya.
  • 18. *** Trista sedang tenggelam dalam kesibukan dengan BB-nya ketika aku sampai di rumah. “Aku dan Reina sudah makan. Kau makan sendiri ya, Mas!” kata Trista tanpa menoleh. Seorang perempuan Yunani (foto : dcgreek.com) Aku menikmati makan malam sendiri. Eh, ya, soal elang tanpa sayap kata Eleni tadi, kok belum ada penjelasannya, ya? Mungkin ia akan jelaskan lain waktu. Senyum ayu Eleni menari di benakku. Tiba-tiba aku ingin hari segera meluncur ke hari Sabtu. Masih dengan Blackberry di tangan, Trista menghampiri aku. “Mas, besok siang aku harus ke Singapura, ada group regional meeting lima hari dengan semua finance manager se-Asia. Aku sudah telepon adik ibuku, Tante Fitri untuk tinggal di sini dan menjaga Reina. Oke, ya?” “Oke, Tris! Tiket sudah dipesan?” kataku berbasa-basi. “Ya, sudah. Itu urusan kantor!” kata Trista. “Perlu diantar ke Bandara?” “Nggak usah. Aku berangkat dari kantor. Diantar sopir kantor. Aku sisihkan uang keperluan seminggu di amplop di laci lemari kamar,” kata Trista kemudian. Trista lalu lenyap ke dalam kamar. Ketika aku menyusul ke kamar setengah jam kemudian. Ia sudah lelap, membelakangi aku. *** Aku menyapa satpam di lobi apartement dan langsung mempersilakan aku naik ke lantai 12. Kalau sudah dikenal Satpam, tak sulit keluar masuk apartemen ini. Aku langsung memencet bel di pintu apartemen Alexandrous. Eleni yang membukakan pintu.
  • 19. “Hai, pak Rodi. Selamat pagi! Apa kabar?” “Baik, Eleni. Apa kabar?” “Baik-baik juga!” Eleni, dengan kaos T berlengan pendek warna merah maroon dan celana panjang longgar seperti biasanya tampak segar pagi ini. Alexandrous belum tampak. Aku menghampiri meja belajar dan mulai menata bahan pelajaran. Eleni mendekati meja dengan buku tulis dan pena, plus secarik kertas. “Ini dari Alexandrous,” Eleni menggeser kertas di meja ke arahku. Di kertas itu tertulis pesan Alexandrous dalam bahasa Inggris. “Pak Rodi. Maaf, saya harus ke Bangkok seminggu ini. Saya tidak bisa belajar. Tolong ajari Eleni. Nanti saya belajar dari dia. Saya janji saya akan mengejar kekurangan belajar saya. Salam!” “Oo…well, kalau misalnya Anda keberatan belajar sendiri, it’s okay, saya bisa balik dan kembali lagi nanti kalau Alexandrous sudah datang,” kataku. “No…no, tidak perlu begitu. Saya mau dan bersemangat belajar sendiri. Nanti gantian saya jadi gurunya Alex untuk mengajari pelajaran yang tertinggal. Pak Rodi tidak keberatan, ‘kan?” “It’s okay. Tapi, saya harap Anda comfortable belajar sendiri dengan saya tanpa suami,” kataku. “It’s not a big deal! No problem. Are you comfortable?” “Tidak masalah!” kataku dalam bahasa Indonesia. “Tidak masalah!” ulang Eleni dengan mimik lucu dan wajah riang; barangkali sama riangnya dengan aku. Episode 5 Eleni lebih banyak tersenyum pada sesi pelajaran kali ini dan tak henti aku dibuat kagum oleh kecerdasannya dalam menangkap bahasa Indonesia. Aku mengajari berbagai variasi ucapan formal dan informal dalam bahasa Indonesia. “Supaya lebih santai, mulai sekarang panggil saya Rodi saja, tanpa ‘Pak’”, kataku. “Boleh begitu pada guru?” Eleni tersenyum.
  • 20. “Kenapa tidak? Kita juga mulai bisa pakai kata ‘kamu’ sebagai ganti ‘Anda’, kata ‘aku’ sebagai ganti ‘saya’,” aku menjelaskan. Kami berlanjut belajar lebih banyak materi percakapan. “Sudah berapa lama kamu tinggal di Indonesia?” aku menguji Eleni. “Saya sudah 6 bulan di Indonesia. Kamu sudah berapa lama tinggal di Surabaya?” tanya Eleni. “Sudah 10 tahun!” “Oh ya? Kamu berasal dari mana?” “Aku berasal dari Malang!” “Malang? Di mana itu Malang?” “Malang sekitar 90 kilometer dari Surabaya” “Se-ki-tar? Apa itu?” “Oh, maaf….’about’” “Ah, ya…..Malang sekitar 90 kilometer dari Surabaya?” “Benar! Wah, Eleni. Kamu pintar!” pujiku. “Terimakasih. Efharisto poli!” kata Eleni. “Efharisto poli?” ganti aku yang bengong. “Oh, itu ‘terimakasih banyak’ dalam bahasa Yunani,” jelas Eleni. “Efharisto poli! Menarik!” kataku, “mudah diingat” “Ya, struktur pengucapan dalam bahasa Indonesia tak terlalu berbeda dengan struktur pengucapan dalam bahasa Yunani,” kerling Eleni. “Mau belajar kata-kata Yunani lainnya?” “Boleh?”
  • 21. “Oke, sekarang aku jadi gurumu. Coba tirukan ini : pos íste?” “Pos íste? Apa artinya?” “Apa kabar, kalau mau lebih formal ‘pos íse?’” “Okay, Eleni, pos íse?” “Kalá, sas efharistó. Esís? Baik, terimakasih. Kamu?” “Kalá, sas efharistó!” jawabku. “Bagus sekali! Wow, kamu murid cerdas, Rodi” “Efharisto poli!” “Ahahahah….hebat. Mau tambah lagi?” “Sure. Ini keren!” “Okay, sekarang coba ini : Hárika ya tin gnorimía. Senang bertemu denganmu” “Hárika ya tin gnorimía!” “Lalu yang ini : Miláte Elliniká? Bisa bicara Yunani” “Bagaimana menjawab ‘ya sedikit’?” “Ne, ligáki!” “Tolong diulang pertanyaannya!” “Miláte Elliniká?” “Ne, ligáki!” “Kerennnn!” ujar Eleni dalam dalam bahasa Indonesia. “Oh ya, bagaimana bilang ‘tolong bicara pelan-pelan’?”
  • 22. “Parakaló miláte pyo argá” “Kalau ‘aku tidak mengerti’?” “Den katalavéno” Dan sepanjang sisa pelajaran bahasa Indonesia itu beralih situasi menjadi les privat bahasa Yunani. Aku jadi murid, Eleni gurunya. “Well, aku harus memujimu, Eleni. Kamu guru bahasa paling hebat yang pernah kukenal,” kataku. “Boleh percaya boleh tidak, aku meniru gayamu mengajar” “Oh ya, gaya apa itu?” “Sabar, tidak menekan, memahami kesulitan murid asing, dan pengucapan yang jelas!” “Wah, wah….jangan-jangan aku harus bayar balik untuk pelajaran ini!” aku berseloroh. “Iya nih…..mana uangnya,” Eleni bercanda mengulurkan tangan seperti meminta uang dengan gerakan mata dan bibir yang lucu. Dan kami tertawa bersama. Perempuan ini benar-benar teman yang hangat. Kalau saja aku tak punya urat malu, ingin rasanya duduk berlama-lama di meja belajar dengan Eleni. Aku menengok jam di layar HP. “Oh, sorry, sudah waktunya selesai, ya?” kata Eleni. “Ya, tapi tadi banyak waktu terpotong untuk belajar bahasa Yunani. Perlu saya tambah waktunya?” kataku. “Aku kira cukup….mhh, begini. Aku suka sekali makan gadi-gado. Kapan hari diajak Alex di mal. Tapi kata teman-teman Alex ada yang lebih enak, biasanya di warung biasa. Aku pingin makan gado-gado di warung biasa. Kalau ada waktu, boleh antar aku?” “Sekarang?”
  • 23. “Ya, sekarang!” “Okay!” sambutku. “Bagus. Tunggu sebentar, aku ganti baju!” Eleni hilang ditelan pintu kamar. Sebentar kemudian ia keluar dengan celana jeans ketat dan kaos oblong santai produk toko souvenir di Bali. “Nih, lihat aku pakai jeans dan kaos oblong kayak kamu. Aku suka gaya santaimu. Bagaimana menurutmu?” tanya Eleni. “Aku nggak mau jawab,” kataku. “Kenapa?” “Karena tak tahu bahasa Yunani-nya” “Memangnya mau jawab apa?” “Charming, beautiful!” “O, itu ómorfí, goíteftikí!” *** “Kamu naik apa?” tanya Eleni begitu sampai di lobi bawah. “Sepeda motor!” “Bisa dipakai berdua?” “Bisa” “Kalau begitu naik motormu saja” “Wah, kamu tahu di luar sana matahari panas sekali” “Aku tak masalah dengan matahari. Pingin kulitku coklat kayak kamu!” otot Eleni.
  • 24. Dan motor menderu melaju di tengah terik siang kota Surabaya. Duduk di boncengan, perempuan Yunani ayu berkacamata hitam dengan rambut terburai diterpa angin. Bisa kulihat dari kaca spion Eleni sangat menikmati panasnya kota. Sang elang betina rupanya mulai tumbuh bulu! Tiba-tiba saja sebuah motor polisi menyalip dari kanan dan memerintahkan aku untuk berhenti. “Selamat siang, mohon tunjukkan SIM dan STNK!” polisi berkumis lebat itu mendekatiku. “Apa salah saya, pak?” “Anda membonceng penumpang tak pakai helm!” kata pak polisi. Aku menepikan kendaraan. Takut-takut Eleni turun dari boncengan. Pak polisi mengajak aku menepi. Sebentar kemudian aku balik ke tempat Eleni berdiri. “Yuk, berangkat lagi” kataku. “Itu tadi ada apa?” Eleni heran. “Tilang karena pembonceng tak pakai helm?” “Problem?” “Sama sekali tidak. Ia polisi baik, ia terima salam persahabatan dari saya, dan mengijinkan kita pergi,” kataku sembari menjelaskan arti kata ‘salam persahabatan’. “Selain itu, aku tadi bilang aku membonceng sekretaris Duta Besar Yunani untuk Indonesia yang mau jajan gado-gado. Pak Polisi senang gado-gado disuka perempuan Yunani,” kataku bercanda. “Bener kamu bicara begitu pada polisi itu?” tanya Eleni. “Tentu saja tidak!” Eleni menepuk punggungku berkali-kali dengan tawa amat renyah. Sepanjang siang ini aku dan Eleni menghabiskan waktu menyantap makanan-makanan berbasis sayuran yang menurut Eleni sangat eksotis itu. Ngobrol santai dengan perempuan ini membuatku tak kenal waktu.
  • 25. Tak kunyana ia banyak sekali bicara dan cerita; mulai dari kehidupan di kota kecil kelahirannya, pertemuan dengan Alexandrous dan keindahan negara Yunani. Eleni juga membawa pulang satu tas plastik besar tomat segar yang dibeli di pasar tradisional. Tak jelas jam berapa aku sampai di rumah. Matahari sudah condong ke barat ketika Reina menyongsong aku di pintu rumah. “Bapak, nanti ke mal, ya?” demikian pinta Reina. Aku menggendong gadis kecilku dan memberinya kecupan di pipi. “Sip, kita jalan, makan dan main! Oke?” “Oke” Aku mengguyur tubuh dengan air shower. Air itu seperti beraroma Eleni dan titik-titik air yang membuncah di wajahku mengirim kerling cantik perempuan berambut coklat itu. Episode 6 Mungkin karena terbiasa ditinggal pergi ibunya, Reina tak banyak mengeluh menghabiskan malam Minggu denganku di mal. Bisa juga ini karena bibinya, Tante Fitri ikut pula ke mal. Perempuan paruh baya yang selalu diandalkan Trista bila harus berdinas keluar kota untuk waktu yang cukup lama itu memang termasuk penyabar. Ia sendiri tak punya anak dan hidup dari pensiun suaminya yang meninggal 7 tahun lalu. Aku berkali-kali melirik layar HP. Sejak berangkat ke Singapura Jumat siang kemarin, ia belum telepon atau kirim sms. Tidak juga kepada Tante Fitri. Kalau mungkin Trista ogah menanyakan kabarku, setidaknya ia sms atau telepon Tante Fitri untuk menanyakan keadaan Reina. Trista pasti terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Seperti yang ia bilang, orang-orang di kantornya itu gila kerja. Rapat tak pernah kenal weekends, dan seperti yang sempat Trista bicarakan padaku sebelum berangkat, rapat ini membahas soal kenaikan gaji tim manajemen, yang berarti bicara soal kenaikan gaji Trista pula.
  • 26. Okelah, kalau memang Trista bakal menjadi tulang punggung keluarga kecil ini dalam mendulang rupiah, aku harus memberinya keleluasaan. Reina memang harus dapat kepastian masa depan dan pendidikan yang baik. Kalau cuma mengandalkan penghasilanku sebagai guru privat, rasanya kurang hebat. Penghasilanku, terkuras habis untuk biaya hidup sehari-hari. Biaya gaya hidup Trista ia sendiri yang urusi. Aku baru saja hendak berangkat mengajar bahasa Inggris jadwal jam 10 Minggu pagi tak jauh dari perumahanku ketika seutas sms meluncur ke HP-ku, nomor tak dikenal. Aku buka sms itu. “Kaliméra sas. Pos ise?….” Demikian pesan singkat itu, menyapa selamat pagi dan menanyakan kabar dalam bahasa Yunani. Ini pasti dari Eleni. “Kaliméra sas. Kalá, efharistó! Ada apa?” aku membalas sapanya. “Aku bersemangat belajar bahasa Indonesia. Bisa dapat tambahan pelajaran hari ini, jam 10.30?” demikian sms Eleni. Aku berpikir sesaat, dan kubalas sms itu. “Dengan senang hati. Tunggu ya?” Selebihnya aku sibuk pencet-pencet key-pad HP untuk membatalkan jadwal mengajar bahasa Inggris jam 10 pagi dengan siswa di perumahan sebelah. *** Agak mengganggu pikiranku ketika Eleni membuka pintu adalah raut wajahnya yang tidak secerah biasanya. Meski kelihatan senang dengan kehadiranku, senyum itu tidak terlalu riang. “Apa kabar hari ini?” tanyaku. “Baik-baik. Kamu bagaimana?” “Baik-baik. Semalam ke mal dengan putri saya,” kataku. “Oh ya, pasti asyik. Berapa umur putrimu?’ “5 tahun!” “Ia pasti cantik sekali”
  • 27. “Sangat cantik” “Mirip kamu?” “Mirip ibunya,” kataku. Ia tersenyum sedikit. Berbeda dengan bunyi sms yang katanya bersemangat belajar hari ini, Eleni kali ini agak sulit berkonsentrasi. Satu jam pertama dilalui dengan banyak hambatan menghafal yang mestinya mudah bagi dia. “Kamu baik-baik saja?” tanyaku. “Aku baik-baik saja. Sebenarnya pingin menyendiri…..” “Ow, kalau begitu…..aku bisa pulang sekarang!” “No, no, nggak begitu……eh, kalau kita sudahi pelajaran bahasa Indonesia ini bagaimana? Kita ngobrol santai saja?” kata Eleni. “Baik, tidak apa-apa. Are you sure you don’t want me to leave?” “Very sure. Kamu di sini saja barang sebentar!” Eleni membuka lebar jendela yang membentang ke hamparan luas bagian barat Surabaya di bawah sana. Ia mememberi isyarat padaku agar membantu menggeser sofa untuk menghadap ke jendela. Ia kemudian mengambil dua gelas jus tomat dan memberikan segelas padaku. “Ini tomat yang kita beli kemarin. Orang Yunani suka sekali tomat,” kata Eleni duduk di satu sisi sofa. Ia menepuk-nepuk bidang duduk sofa dan berkata,” Duduklah di sini,” katanya. Ragu-ragu aku duduk di sofa yang hanya cukup untuk berdua itu. “Pemandangan ini, aku suka,” kata Eleni dalam bahasa Indonesia, menatap jauh ke luar jendela. “Ya, sama. Tak sering aku menikmati pemandangan Surabaya dari ketinggian,” kataku. Eleni terdiam sesaat. “Katakan padaku, Rodi, apa arti cinta bagi perempuan Indonesia?” tiba-tiba Eleni bertanya.
  • 28. Aku sedikit terkejut. Pertanyaan ini terasa agak aneh bagiku. “Well, aku kira persepsi tentang cinta di mana-mana sama saja. Perempuan Indonesia juga sama dengan perempuan manapun. Cinta itu diikat oleh rasa, oleh nilai sosial, oleh hubungan timbal balik yang positif dengan pasangannya,” kataku. “Kalau cinta seorang perempuan yang sudah menikah?” “Perempuan Indonesia juga, maksudmu?” aku menoleh Eleni, batal menyedot jus tomat. “Ya!” “Umumnya ikatan cinta perempuan pada suami kuat dan banyak perkawinan yang survive sampai salah satu meninggalkannya karena kematian. Tapi cinta dalam perkawinan bisa juga tak bertahan lama, karena kehadiran pihak ketiga dan sebab-sebab lain. Di mana-mana sama,” kataku. “Boleh tanya, kenapa ini kita angkat sebagai topik?” tanyaku. Aku heran saja, kenapa perempuan yang belum terlalu lama mengenal aku, yang kenal hanya sebatas hubungan guru- murid, berani membicarakan masalah yang menjurus pribadi. Apakah karena Eleni telah menganggap aku sebagai teman baik? Ataukah karena memang perempuan Yunani biasa berbagi masalah dengan teman baru sekalipun? “Maaf kalau topik ini membosankan,” Eleni bangkit dari duduknya, menaruh gelas di meja dan membuka komputer lap-top. “Ingat ketika kapan hari kubilang perempuan Indonesia cantik-cantik?” tanyanya, menyalakan laptop di meja. “Ya, aku ingat kau bilang itu” kataku menoleh. “Kemarilah sebentar! Lihat foto ini. Perempuan muda Indonesia ini. Bagaimana menurutmu? Cantikkah dia?” Eleni menghadapkan layar komputer laptop ke wajahku. Darahku tersirap. Itu foto Trista. Kenapa foto Trista ada di komputer Eleni?
  • 29. Eleni menekan tombol geser gambar, menunjukkan sejumlah foto Trista dengan latar belakang tempat-tempat umum di Singapura. Aku tak langsung menanggapi. Aku menatap foto-foto itu tak berkedip. “Bagaimana menurutmu?” tanya Eleni. “Dia cantik sekali….cantik sekali….” Kataku. “Menurutku juga. Ia perempuan luar biasa. Lihat parasnya. Lihat bentuk tubuhnya yang ramping menggoda. Lihat lekuk-lekuk badan dan senyumnya” “Boleh tahu siapa dia?” kataku, berdebar dadaku. Apakah Eleni tahu perempuan itu istriku? “Namanya Trista, seorang manajer di sebuah perusahaan multinasional besar di Surabaya. Aku sungguh kagum pada keelokan perempuan ini,” kata Eleni meneguk jus tomat tanpa sedotan. “Bagaimana kau dapatkan foto ini?” aku bertanya. “Adik laki-lakiku tinggal di Singapura. Ia memotretnya diam-diam, dan mengirimkannya padaku tadi pagi lewat e-mail,” kata Eleni. Makin terkejut aku dengan informasi ini. “Memotretnya diam-diam?” ulangku. Aku jadi tak berselera meneruskan jus tomatku. “Ya, diam-diam. Tak sengaja adikku melihat Alexandrous dari kejauhan bersama perempuan ini. “Alexandrous?” tanyaku. “Ya. Alexandrous, suamiku. Dan lihat ini,” Eleni menggeser koleksi foto. Kali ini ke sebuah pemandangan dengan dua orang bergandeng mesra di lobi sebuah hotel mewah. Foto itu tak terlalu jelas, tapi cukup jelas untuk melihat wajah-wajahnya. “Yang laki-laki itu Alexandrous. Yang perempuan itu Trista. Foto ini diambil tadi malam. Mereka menginap di hotel ini,” roman muka Eleni berubah sendu. “Bukankah Alexandrous pergi ke Bangkok?” tanyaku mirip orang bodoh di tengah kecamuk otak dan hatiku.
  • 30. “Perempuan ini hebat,” Eleni tak langsung menjawab pertanyaanku, “Ia bisa menaklukkan Alexandrous. Bisa memalingkan cintanya dari aku, bisa membuatnya berbohong!” Eleni mengusap hidungnya. “Sorry, Eleni. Apakah benar-benar mereka menginap di hotel ini?” tanyaku. “Ya, adikku tak mungkin bohong. Mereka check-in dengan nama Trista. Tadi pagi adikku telepon ke kamar mereka. Alexandrous yang terima. Adikku menyamar sebagai orang lain ketika menelepon. Aku terduduk di kursi di dekat meja belajar. Jantungku berdebar-debar dan kepalaku berdenyut- denyut. “Are you all right?” tanya Eleni. “Aku tak apa-apa, cuma kaget saja. Bisa kubayangkan perempuan itu pastilah bersuami!” “Trista bersuami. Aku tahu itu!” kata Eleni. “Kau tahu suaminya?” aku bertanya. “Tidak perlu tahu! Aku tidak perlu tahu!” Eleni kembali ke sofa di hadapan jendela dan tersandar lemas. Lama ia duduk dengan pandangan kosong ke luar jendela. Aku belum bisa bicara, sibuk dengan benakku yang berputar-putar tak keruan, mungkin sama tak keruannya dengan benak Eleni. “Ime aitos horis ftera,” katanya dalam bahasa Yunani tiba-tiba. “Sorry?” aku tak mengerti. “I am an eagle without wings, aku elang tanpa sayap,” desisnya lirih. Aku menghampiri Eleni dan duduk di dekatnya. “Ini cobaan buatmu, Eleni. Kau harus kuat. Kau pasti bisa melaluinya. Apakah Alex telepon kamu kemarin-kemarin?”
  • 31. “Ya, tadi malam dia telepon. Dia bilang dia ada di Bangkok, mengobrol sebentar, aku bilang baru jalan-jalan cari gado-gado dan belanja tomat dengan kamu,” “Ime aitos horis ftera………Aku mau putar musik itu. Kamu mau dengar lagi?” Eleni berdiri dan menghampiri rak CD player. Sebentar kemudian musik itu mengalun lagi. Eleni tak kembali ke sofa. Ia menyimak seksama bagian awal musik itu dan mulai menggerakkan tubuhnya mengikuti ritme musik. Denting-denting alat musik bouzouki, sejenis gitar klasik Yunani, yang dipetik mulai ritme lambat dan menjadi cepat, diikuti Eleni dengan gerakan elang yang sulit terbang. Liuk-liuk tubuh dengan mata terpejam itu membuatku tak mampu berbicara kecuali memperhatikan dengan lekat. “Thélete na horépsete mazí mu?” tiba-tiba Eleni berhenti sejenak dan menatapku. “Apa itu?” “Maukah kau dansa denganku?” ulang Eleni dalam bahasa Inggris. “Aku? Aku tidak bisa berdansa!” elakku. “Sini aku ajari. Ikuti gerakanku,” ia menyambut tangan kananku dengan tangan kirinya dengan gerakan gemulai. Kikuk aku menyerahkan tanganku dalam genggamannya. “Berdirilah tepat di hadapanku, lingkarkan lenganmu di pinggangku, ikuti gerakanku. Kita adalah elang-elang tanpa sayap….” Tak mudah bagiku mengikuti gerakan itu. Tapi Eleni adalah pengajar dansa yang baik. Gerakan kedua tungkai kaki Eleni menyeretku ke tahap-tahap koreografi liar yang tak pernah kukenal sebelumnya. Bila rengkuhanku di pinggangnya melemah, ia membantu merapatkannya. Terlalu dekat dengan Eleni, harum tubuh perempuan Yunani itu sangat mengganggu pikiran dan konsentrasi. Ketika musik usai, ia putar ulang dan sekali lagi ia menggiringku ke gerakan- gerakan magis. Kubiarkan ia mengendalikan aku dalam tarian itu, dan kuikuti serta kuupayakan gerakan balasan yang setimpal dengan yang ia ajarkan. Ia kelihatan senang ketika aku mulai bisa mengimbangi gerakannya. Tiga kali kami memutar musik itu. Peluh membanjir di dahi Eleni. “Huih! Dansa yang hebat! Bersama guru hebat!” pujiku. Eleni hanya tersenyum singkat.
  • 32. Aku menjumput dua helai tisu di meja dan memberikannya kepada Eleni. Ia mengusap peluh di dahinya setelah mengucapkan terimakasih. “Masih belum kering betul,” kataku asal saja melihat simbahan tipis keringat di leher di bawah telinga. Aku mengambil beberapa helai tisu dan mengangsurkannya kepada Eleni. Ia menerimanya dan mengusap bidang leher yang kutunjuk yang masih basah dengan gerakan mempesona. “Kamupun keringatan,” kata Eleni menunjuk dahiku. “Karena kau telah berbaik hati mengambilkan tisu, biarlah aku mengusap keringatmu,” Eleni menjumput beberapa lembar tisu dan mulai mengusap keringat di dahiku dengan lembut. Aku mundur sedikit dan menahan nas, membiarkan tangannya bergerak lembit di seputaran dahiku. Dekat sekali wajah itu ke wajahku. Perempuan ini lama-lama bisa membuatku gila. Eleni menatap mataku beberapa saat. Aku balik menatapnya. Ada pancaran kuat di mata itu; sepasang mata elang yang menyorot tajam. Tapi ia kemudian mundur beberapa langkah ketika ia mulai melihatku gugup. “Oh, maaf, aku membuat kamu tidak nyaman….maaf!” Eleni mengusap hidung dan mematikan CD player. Nafasnya naik turun. “It’s okay, Eleni. Aku suka itu. Kamu baik,” nafasku tak kalah memburu. “Tapi maafkan aku. Aku harus pulang sekarang…….,” aku mengemasi buku dan tas. “Rodi? Kamu baik-baik saja?” Eleni terheran-heran. “Aku baik-baik saja, Eleni. Thanks for the wonderful dance lesson! Aku benar-benar menikmatinya” Eleni menatapku lekat ketika mengantarku ke pintu. Aku tak menoleh lagi. Dadaku belum benar-benar berhenti berdebar. Dalam waktu setengah jam terakhir terlalu banyak hal bergejolak di dada ini. Trista! Eleni! Episode 7 Selama beberapa saat aku tak mampu berpikir cermat. Siapa yang bisa tentram dalam situasi seperti ini? Istri jelas-jelas serong dengan suami siswa les bahasa Indonesia yang kini mulai
  • 33. berkawan akrab dengan aku, seorang perempuan mempesona yang tengah terguncang dan kehilangan sayap. Trista! Eleni! Oke, satu persatu situasi tak mengenakkan ini harus diurus dengan baik. Aku memencet nomor telepon Gusti, sahabatku karyawan café di satu sudut kota Surabaya. “Gusti, aku perlu bantuanmu!” kataku. “Katakan apa yang perlu kubantu, kawan!” “Deskripsikan bule yang bersama istriku di café waktu itu” “Ah, cemburu rupanya” “Just tell me, please!” “Oke. Bule itu ganteng, rambut rapi, sering datang ke café. Belakangan ini aku tahu ia orang Yunani, namanya Alexandrous!. Aku pernah ngobrol dengannya sebentar dan ia kasih tips” Aku menghempaskan nafas. “Dua Sabtu lalu, untuk kesekian kalianya, istrimu dan Alexandrous lama mengobrol, mengambil tempat di sofa pojok, bicara berdekatan, sesekali tertawa ringan. Dua-duanya, kerap kali kulihat bertatapan mesra. Sayang aku pas tidak bawa HP kameraku,” jelas Gusti, sebuah penjelasan yang membuat dadaku teriris-iris. Benar! Berarti ada yang tidak beres. Dua Sabtu lalu, ketika Trista bilang mau ke spa dan batal karena alasan ada panggilan darurat dari kantor, itu ternyata bohong belaka. Sejak dari rumah Trista rupanya ada janji ketemu Aelxandrous dan memilih bermalam minggu di café bersama Alexandrous katimbang bersamaku dan Reina. Dan agaknya Alexandrous-pun lebih suka meninggalkan Eleni sendiri di apartemen saat itu. Aku tercenung sesaat dan mulai percaya cinta Trista padaku telah luntur. Bila seorang perempuan bersuami sudah menyerahkan diri kepada lelaki lain, apalagi yang tersisa? Kenapa Trista berpaling? Ah, jawaban yang mudah. Siapa yang tidak akan berpaling dari suami yang
  • 34. tak berpenampilan necis, tidak harum parfum, tidak fashionable, tidak berdompet tebal, tidak bisa mengimbangi gaya hidup istri yang jelita dan punya pergaulan luas? Akan halnya Alexandrous. Apa yang kurang dari Eleni? Sungguh tolol bila Alexandrous harus mempertaruhkan kebersamaan cintanya dengan Eleni yang sangat cantik menggairahkan itu. Ataukah sosok Trista dengan kerling menggoda dan keelokan khas Indonesia itu memang tak mampu ditolak Alexandrous? Aku menghabiskan hari Senin dengan kecamuk yang menjadi-jadi di dadaku. Tak tahan aku melihat Reina bermain hanya ditemani seorang bibi sepulang sekolah. Sama sekali aku tak ingin Reina mengalami hal-hal yang sulit dipahaminya saat ini. Apa yang akan terjadi saat Trista balik ke rumah? Trista tidak meneleponku, tidak kirim sms. Tidak pula ia punya waktu menanyakan kabar Reina pada Tante Fitri. Aku yakin ia tengah asyik masyuk dalam romantisme indah dengan lelaki Yunani itu di Singapura sana. HP-ku menderingkan suara sms. “Aku mau belajar bahasa Indonesia sekarang. Please sisihkan waktu untukku sore ini,” demikian isi sms Eleni. Aku menimang HP beberapa jenak. Kini pikiranku melayang ke Eleni yang tinggal sendiri di apartemen, dengan kegundahan hebat , yang pasti tiada henti membayangkan apa yang sedang dilakukan suaminya bersama istriku di kamar hotel di Singapura. Karena aku tak lekas menjawab, sms Eleni hadir lagi. “Please jangan merasa tak enak dengan peristiwa kecil setelah dansa kemarin. Aku hanya bermaksud menyeka keringat, tidak lebih. Saya menunggu Anda, Pak Rodi”. Kalimat terakhir ditulis dalam bahasa Indonesia formal, pakai ‘Pak’ lagi. Aku memutuskan melaju ke apartemen Eleni selepas senja. Eleni perlu belajar dan perlu teman mengobrol, bukan yang lain, demikianlah aku memberi diriku sendiri pengertian. Sungguh, aku takut berubah menjadi orang tolol, yang mengharap lebih banyak ‘good time’ bersama Eleni pada sat-saat seperti ini, yang membuat aku lupa diri.
  • 35. Eleni mungkin tidak seperti Trista. Lagian, di mata Eleni, apalah aku dibanding Alexandrous yang punya segalanya? Aku cuma seorang guru bahasa Indonesia yang saat ini kebetulan teman ngobrol yang pas. *** Baju terusan batik bermotif bunga dengan warna terang itu ketat menempel indah di tubuh Eleni. Batik tanpa lengan itu, dan garis kain di dada yang rendah, menyembulkan kulit putih bersih bernuansa coklat ringan sepasang lengan dan dada membusung yang menambah daya pikat tubuh itu. Inikah hasil kebiasaan perempuan Yunani yang doyan makan ikan, yang membuat kulit mereka kenyal dan bebas bercak? Bagian bawah terusan batik yang melebar, setinggi lebih dari 15 centimeter di atas lutut, menyiratkan panorama yang sebaiknya tak perlu kututurkan. Semula aku mengira Eleni membeli dress batik yang salah ukuran alias terlalu pendek bagian bawahnya, tapi kemudian aku menyimpulkan, dress itu memang pas untuk menampilkan keindahan ragawinya dengan cara yang mencengangkan. “Maaf ya kalau saya minta tambahan jam pelajaran terus,” Eleni mempersilakan aku duduk, dan menuang air dingin. Satu gelas disodorkan ke arah ku. “It’s okay. Bagaimana suasana hatimu?” tanyaku. “Makin tak keruan. Sekitar dua jam lalu, adikku menelepon.Ia terus mengintai Alexandrous. Ia bilang Trista dan Alexandrous sudah seperti pasangan pengantin baru, lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Tidak ada acara pertemuan bisnis itu. Mereka hanya ingin menikmati cinta jauh dari pasangan asli masing-masing. “Aku turut sedih kau harus mengalami ini, Eleni. Apa kau kau sudah coba meneleponnya?” “Sudah, baru saja, Alexandrous bilang seharian ia sibuk meeting, di Bangkok. Ia bahkan tidak tahu bahwa aku tahu ia tidak di Bangkok, melainkan di Singapura,” Eleni duduk di sofa, menyilangkan kaki, meneguk air dingin. Sesekali ia menerawang sisa air di gelas yang buram oleh lapisan dingin air es. Sepasang kaki indah dari singkapan kain batik yang longgar itu, oh, maaf kawan, tak bisa kukisahkan di sini.
  • 36. “Mau mulai belajar sekarang?” aku merasa perlu segera membuat Eleni berdiri dari sofa dan pindah ke meja belajar. Tak baik pemandangan itu kalau ia terus duduk santai di sofa seperti itu. “Satu pertanyaan, Rodi. Aku minta pendapatmu,” kata Eleni tak lekas bangkit. “Ya?” “Bagaimana perasaanmu bila Trista itu istrimu?” Eleni menatapku, mempermainkan sisa air di gelas. Deg! Jantungku berhenti berdetak sesaat. Tak kuasa aku untuk segera menjawab. Pertanyaan Eleni ini sungguh membawa banyak makna. Ini permisalan, pertanyaan terselubung, ataukah pengujian? “Bisa aku tanya sedikit soal asal mula hubungan suamimu dengan perempuan Indonesia itu?” kataku, balik bertanya. “Bos Trista, ekspatriat Canada, itu teman baik Alexandrous. Dalam suatu acara eksekutif tiga bulan lalu, Trista berkenalan dengan Alexandrous melalui bos Canada itu. Aku berada di sana juga saat itu, dan sempat pula mengobrol dengan Trista. Dari obrolan santai, aku tahu ia bersuami, berkeluarga” Aku menyimak setiap perkataan Eleni dengan takzim. “Alexandrous biasanya menghabiskan malam minggu atau waktu santai keluar bersamaku. Sebulan belakangan ini, Alex tampak lebih suka keluar sendiri. Kalaupun ia mengajak aku keluar, itu cuma basa-basi, dan ia lebih berharap agar aku menolaknya. Seperti dua Sabtu yang lalu, harusnya aku ingin jalan, tapi ia bilang harus bertemu klien dari India yang besoknya musti balik ke Mumbai sehingga tak bisa menunggu sampai Senin. Ia bilang aku bisa ikut tapi percakapan pasti bakal membosankan. Aku tahu itu artinya lebih baik aku di rumah saja. Aku biarkan ia sendiri, dan aku menyibukkan diri menonton televisi. Aku tahu ia bertemu Trista. Ada teman sesama anggota persatuan istri ekspatriat Surabaya yang menelponku, ia melihat Alexandrous bersama perempuan lain” ujar Eleni, “ime aitos horis ftera…,” sekali lagi ia menyebut dirinya elang tak bersayap. Kini aku mulai paham maksudnya.
  • 37. “Boleh belajarnya nanti saja? Aku ingin dengar musik, kalau kau tak keberatan,” Eleni berdiri, dan seperti biasa menghampiri rak CD. Aku mengiyakan. Kali ini ia menyiapkan sebuah CD berbeda. “Saya suka berdansa untuk mengusir sedih. Mau temani aku berdansa?” ia merentangkan tangan padaku dengan gerakan sopan yang memukau. Ragu-ragu aku menatapnya. “Ayolah. Aku janji nggak akan lancang mengusap keringatmu nanti. Lagian, musiknya lembut dan tak akan bikin keringatan. Aku putar Song For Anna, karya Paul Mauriat” Dan ketika Song For Anna mulai benar-benar mengalun lembut, seperti logam terserap magnit, aku berdiri mendekati Eleni. “Masih ingat caranya berdansa?” Aku mengangguk. Musik itu mengalun pelan, tenang, teduh dan seperti mengalir dalam jiwa raga Eleni. Gerakan yang menghanyutkan itu merasukiku juga. Kenapa pula aku tak harus mengimbanginya? “Kau belum menjawab pertanyaanku,” kata Eleni ketika mulai bergerak mengikuti alunan musik. “Yang mana?” “Bagaimana perasaanmu kalau Trista itu istrimu?” “Hatiku akan hancur, mungkin sehancur hatimu saat ini,” hanya itu jawaban yang tersedia. “Kamu benar. Di dalam dadaku, ada yang remuk redam,” Eleni beringsut beberapa centimeter ke arahku. Aku menahan nafas untuk kesekian kalinya. Tidakkah ini terlalu dekat? Jika aku tak menahan kepalaku untuk tak condong ke depan, pipi perempuan itu pasti sudah bergesek dengan pipiku. “Let me tell you something, Eleni. Hatiku juga tengah dalam keadaan remuk berkeping-keping,” entah kenapa tiba-tiba aku bicara begitu. “Buat aku percaya kenapa begitu” kata Eleni tak jauh dari telingaku. Aku diam sesaat.
  • 38. “Boleh aku memelukmu, agar aku bisa merasakan hancurmu dan kau bisa percaya hancurku,” sungguh aku nekat mengatakan ini. Ini keberanianku yang luar biasa. Eleni sudah sedekat ini. Aku berharap ia tak akan langsung mendorong dan menamparku. “Tadinya aku yang akan meminta begitu, ternyata kau mengatakan duluan. C’mon, peluk aku erat-erat,” desis Eleni. Tak perlu menunggu lama, aku memindah lingkaran lengan di pinggang dan naik beberapa centimeter. Eleni membalasnya dengan rengkuhan lebih erat. Musik mengalun makin syahdu. “Kini kau tahu akupun hancur lebur. Jangan kaget Eleni, Trista itu istriku,” kataku perlahan, pipi kiri Eleni bergesek di pipi kananku. Pelukan itu tak saling lepas. Eleni sama sekali tidak terkejut. Ia malah mengayunku lebih lembut. “Aku tahu itu. Sejak mula aku tahu….jangan tanya kenapa aku tahu….” kata Eleni. Dan Eleni sama sekali tidak menolak ketika dekapanku makin mengunci rapat tubuhnya, sampai kemudian ia merenggangkan sedikit rengkuhan itu dan menatapku dari jarak sangat dekat. Aku tak tahu bagaimana cara merespon tatapan perempuan cantik itu. Aku melihat bibir Eleni mengirimkan sinyal yang menggelora, dan mungkin penuh harap seperti yang aku harapkan. Tiba-tiba saja aku bergerak dan mendaratkan kecupan mesra di bibirnya. Eleni memejamkan mata beberapa saat dan memberikan sambutan lembut dan hangat dengan rengkuhan manis lengannya yang melingkar di kepalaku. Lama kami saling melumat. Tapi kemudian ia tiba-tiba mendorongku dan melepaskan pagutan itu. “Ooi……, apa yang kita lakukan ini!” Eleni mundur beberapa tapak. Wajahnya bersemu dadu. Dadanya naik turun. “Aku….aku maafkan aku…..maafkan aku, Eleni…..” Eleni tak bicara. Ia hanya menatapku dengan sorot mata yang tak bisa kutebak artinya. “Rodi…….maaf, sebaiknya kamu pulang sekarang!” ia mendekap bibirnya sendiri, seolah baru menyadari apa yang baru saja terjadi bisa mengarah ke banyak hal yang mungkin bakal disesali.
  • 39. Aku masih berdiri mematung. Sangat tak rela kehangatan itu tiba-tiba saja terenggut. “Please….kumohon! Tinggalkan aku….” Sekali lagi, seperti kemarin, aku mengemasi barang-barang dan jaketku. Eleni berdiri di pojok ruangan masih dengan dada naik turun. Tampaknya ia sendiri tak tahu jawabannya kenapa kami melakukan itu. “Eleni, maaf…..maaf…..” aku membuka pintu dan meninggalkan Eleni sendiri. Hangat bibir Eleni tak segera pudar dari bibirku. Aku segera turun dengan lift ke tempat parkir motor. Ketika hendak membuka kunci stang motor, HP di saku berdering. Dari Eleni. “Rodi……..kembalilah ke apartemenku. Aku mau kita menyelesaikan apa yang kita mulai tadi!” suara Eleni bergetar di telepon. Episode 8 Aku segera turun dengan lift ke tempat parkir motor. Ketika hendak membuka kunci stang motor, HP di saku berdering. Dari Eleni. “Rodi……..kembalilah ke apartemenku. Aku mau kita menyelesaikan apa yang kita mulai tadi!” suara Eleni bergetar di telepon. Aku tak perlu merasa harus tahu apa yang ia maksud. Aku melesat kembali ke lift dan naik ke lantai 12. Ketika membuka pintu, Eleni langsung menarik tanganku dan mendekapku hebat dan memagut bibirku penuh hasrat. “Aku menyesal terlalu banyak pertimbangan beberapa menit lalu. Aku bukan lagi elang tanpa sayap. Kau juga bukan elang tanpa saya. Sayap kita masing-masing telah tumbuh subur. Kita akan terbang tinggi,” desah Eleni di sela-sela serbuannya. “Itu kamarku. Ranjangku! Bawa aku ke sana!” “Okay, Eleni! Asal kau tidak minta dibopong!” kataku.
  • 40. Eleni sekali lagi menarik kuat lenganku mengikuti gerakannya menuju ranjang itu. Sambil menutup pintu kamar ia mendesis, “Cumbulah aku. Ucapkan kata-kata cinta dalam bahasa Indonesia dan kau nanti akan dengar kata-kata cinta dalam bahasa Yunani” Dan kami terbang bersama-sama; sepasang elang dengan sayap yang baru tumbuh, di langit yang penuh gelora. *** Jam di meja kamar Eleni menunjukkan pukul 4 pagi. Kami telah menjelajahi langit dan mereguk hasrat dahsyat. Kepala Eleni terdampar di dadaku. “Kenapa kita lakukan ini, Eleni?” tanyaku. “Perlu dijawab?” tanya balik Eleni. “Ya, aku perlu tahu. Karena aku yakin ini bukan cinta” Eleni tersenyum. “Kamu benar, ini bukan cinta. Sebenarnya ini cara kita menyelamatkan perkawinan masing-masing” Aku mencoba menatap Eleni. Ia menengadah dan mengisyaratkan agar aku memberinya kecupan kecil di bibir. “Aku sangat mencintai Alexandrous. Aku ingin ia kembali padaku. Aku tak ingin ia merasa bersalah. Ia harus tahu akupun melakukan kesalahan dan dosa yang sama. Klop!” “Astaga!” “Kok astaga?” “Padahal….” “Padahal apa?” “Padahal aku mengira kita lakukan ini karena kau mencintai aku?” ujarku, takut salah bicara. “Rodi, tidakkah kau mencintai istrimu?”
  • 41. “Entahlah, aku merasa Trista tidak mencintaiku. Itulah yang membedakan situasimu dan situasiku. Trista tidak menganggap aku sebagai suami hebat yang layak dibanggakan. Ia tidak membutuhkan aku,” kataku. “Aku yakin ia akan berubah. Percayalah ia akan kembali padamu, akan lebih mencintaimu!” “Eleni! Bagaimana aku harus bilang. Aku mencintaimu!” Eleni hanya menyungging senyum, bangkit dan membungkus tubuh dengan selimut. “Kita lihat saja nanti. Yang lebih harus kita pikirkan adalah apakah kita akan berterus terang pada Alexandrous dan Trista tentang kita. Kalau aku, aku akan bicara begitu Alexandrous tiba” Terus terang kata-kata Eleni membuat kepalaku pening. Kenapa persoalan besar ini terkesan sangat ringan bagi Eleni? Pergumulan hebat dari semalam sampai pagi ini, bukan karena cinta? Aku beringsut dari ranjang dan mengenakan pakaian. “Aku harus pulang sekarang, Eleni. Aku tak bisa menentukan sekarang apakah aku harus bicara terus terang pada Trista tentang kita,” Eleni menghampiriku dan memelukku erat. “Kau akan bisa mengatasinya. Percayalah padaku. Sekarang pulanglah. Dan kalau boleh kukatakan, kamu hebat semalamam sampai pagi tadi. Sungguh aku merasa tersanjung dengan semua kehangatan dan ketulusanmu!” Dan percakapan berhenti di situ. Eleni melepasku di pintu dengan sapuan kecupan kecil di bibir. Masih sulit aku memahami elang betina ini. *** Belum ada kabar dari Trista apakah ia sudah tiba di Surabaya atau belum. Harusnya sore ini aku mengajar bahasa Indonesia untuk Eleni. Tapi aku merasa perlu untuk tidak bertemu Eleni dulu. HP-ku mengirim sinyal sms. Dadaku berdebar keras. Itu sms dari Alexandrous.
  • 42. “Pak Rodi, kita perlu bicara,” demikian bunyi sms itu. Ia bilang ia baru tiba dari Singapura dan minta aku menemuinya di lobi hotel Shangrila jam 5 sore. Apakah Eleni sudah bertemu Alexandrous? Kenapa Alexandrous minta aku bertemu? Perasaanku jadi kacau balau. Episode 9 Eleni mengirimkan sms singkat, “Buka emailmu” Bergegas aku menyalakan komputer. Tak ada pesan apa-apa dalam e-mail Eleni kecuali dua link. Aku klik link-link itu satu persatu. Semuanya tentang bahasan dominasi pria Yunani dalam kehidupan rumahtangga Yunani. Pria Yunani seenaknya, terlalu menggenggam istri, melarang ini-itu, menjadi pihak yang selalu benar, minta dihormati, dan yang terpenting, kalau pria selingkuh para pria menganggap sumber terjadinya perselingkuhan adalah istrinya. Weh! Kenapa pula aku harus membaca ini? Eleni, an eagle without wings? Aku sampai di lobi Hotel Shangrila tepat jam 5. Alexandrous sudah menungguku di sana. Ia duduk santai di sofa, seperti biasa, tenang dan rapi. Tapi sorot matanya tajam tertancap ke arahku. “Duduklah,” ia menunjuk sofa tak jauh di depannya. “Kita menunggu Eleni. Sebentar lagi ia sampai” Aku duduk tanpa bicara dan membalas sorot matanya yang seakan ingin melibas aku dengan sekali gerakan. Dari jauh kulihat Eleni turun dari taksi dan langsung menghampiri kami dengan wajah datar. “Hai,” ia menyapa Alexandrous dan mengangguk kecil padaku. Selebihnya sepi menyergap. Alexandrous berganti-ganti menatapku dan Eleni, dan kemudian mengibaskan pandangan berkeliling. “Pembicaraan ini sangat penting dan kita butuh privasi. Kita bicara di kamarku saja, di lantai 9,” kata Alexandrous dalam bahasa Inggris. Ia berdiri. Aku dan Eleni mengikuti. Di dalam lift, tak ada suara terucap dari kami bertiga. Alexandrous mengetuk pintu kamarnya. Pintu terbuka. Trista berdiri di balik pintu. “Kami datang siang tadi. Aku dan Trista putuskan tidak langsung kembali ke kediaman masing- masing,” kata Alexandrous. Trista terlihat sedikit rikuh menerima tatapanku dan tatapan Eleni yang mungkin menikam-nikam tubuhnya.
  • 43. Aku menebar pandangan ke sekeliling kamar. Ranjang double-bed itu acak-acakan; bisa jadi bekas pergumulan. “Well,” Eleni membuka percakapan. “Ya, aku akan berterus terang. Aku, suami Eleni, menjalin cinta dengan Trista, istrimu,” kata Alexandrous. Aku tidak ke Bangkok. Aku menemui Eleni di Singapura,” “Dan aku ke Singapura bukan untuk urusan pekerjaan. Aku menemui Alexandrous,” tambah Trista. “Sekarang, apa ceritamu, guru privat bahasa Indonesia?” Alexandrous menatapku. “Aku meniduri istrimu,” kataku tak perlu berlama-lama, menoleh Eleni. “Dan itu aku yang minta, aku yang memaksa,” ujar Eleni di luar dugaan. Alexandrous menarik nafas panjang. Trista menutup mulutnya tak percaya. “Oke, semua ini salahku! Aku tergoda pesona istrimu!” kata Alexandrous, “dan istrimu tidak menampikku. Ia bilang ia mencintaiku” Aku menatap Trista. “Benar begitu, Tris?” tanyaku. Trista mengangguk. “Ya, sudah dua bulan kami berhubungan” “Boleh aku tanya sejauh mana kamu kenal Rodi dan Reina?” tanyaku. “Itu suami dan anakku!” jawab Trista polos. “Baguslah kamu tahu,” ujarku. “Eleni,” Alexandrous menyela, “Apakah kau mencintaiku?” “Tadinya!” jawab Eleni. “Tadinya!” suara Alexandrous meninggi. “Ya, tadinya. Sekarang aku tak tahu apakah aku mencintaimu!” kata Eleni. “My God!” kata Alexandrous. Ia kemudian bicara dalam bahasa Yunani yang langsung disela oleh Eleni. “Jangan pakai bahasa yang Rodi dan Trista tidak paham. Aku menolak bicara hal-hal rahasia dengan kamu,” kata Eleni.
  • 44. Alexandrous diam sesaat. Aku bicara. “Boleh aku menanyai istriku pertanyaan yang sama,” aku menatap Trista. “Trista, lihat mataku. Apakah kau mencintaiku?” Trista memilih menunduk dan tidak menjawab. Agak lama kuberikan waktu bagi dia untuk membuka mulut. Tapi tak tersedia jawaban. “Aku tahu kau tak akan bisa menjawab ini,” ujarku. Air mata meleleh di pipi Trista. Eleni menatapku dengan roman muka yang tak bisa kutebak. “Rodi…..kau mencintai istrimu?” tiba-tiba saja Eleni mengajukan pertanyaan. Alexandrous dan Trista sama-sama menantikan jawabanku “Seharusnya! Tapi aku tidak pernah tahu apakah cinta itu dirasakan oleh Trista!” Trista tetap bergeming. Suasana hening sesaat. Alexandrous meneguk minuman dari meja, dan menoleh Trista. “Trista, apakah kau ingin menanyakan hal yang sama dengan yang ingin kutanyakan pada Eleni?” kata Alexandrous. Kali ini Trista mengangguk. “Kau saja yang tanya,” kata Trista pada Alexandrous. Alexandrous menatap Eleni. “Satu pertanyaan penting, Eleni! Hanya satu pertanyaan! Tolong jawab dengan jujur!” kata Alexandrous. “Katakan!” ujar Eleni. Alexandrous menghela nafas dan menyorot mata Eleni dalam-dalam. “Apakah kau mencintai Rodi. Apakah kau melakukan itu demi cinta?” terdengar getar lemah dalam suara Alexandrous. Eleni tersenyum kecil dan sempat melirikku sejenak. Lirikan cantik itu membuatku galau. Aku, Trista dan Alexandrous tak sabar menantikan jawaban Eleni. Episode 10
  • 45. “Apakah kau mencintai Rodi? Apakah kau melakukan itu demi cinta?” terdengar getar lemah dalam suara Alexandrous. Eleni tersenyum kecil dan sempat melirikku sejenak. Lirikan cantik itu membuatku galau. Aku, Trista dan Alexandrous tak sabar menantikan jawaban Eleni. “Apa bedanya?” tanya balik Eleni. “Aku bisa saja mengatakan aku mencintai Rodi atau tidak. Tapi apa bedanya?” “Sangat berbeda!” hentak Alexandrous. “Kalau kau lakukan itu hanya karena ingin balas dendam, ingin menyamakan skor, aku tak tahu istri macam apa kamu!” “Kalau memang cinta?” Eleni menohok Alexandrous. “Jangan pakai kata ‘kalau’!” Alexandrous meradang. “Look, Alex, my dear husband. Aku menolak menjawab ini. Lihat, tadi Trista memilih diam ketika Rodi bertanya soal apakah ia mencintai Rodi, karena aku tahu persis Trista berpikiran seperti aku; apa bedanya,” Eleni berdiri, “aku tak akan melanjutkan percakapan ini. Kalau kau balik ke apartemen kita, pastikan itu adalah waktunya membuat keputusan yang jelas. Jika kau ingin aku berkemas, akan segera kulakukan itu,” Eleni melangkah ke pintu dan menoleh Trista. “Pastikan kau juga membuat keputusan yang cerdas yang terbaik buatmu,” Eleni melintas melewati aku dan menyentuh bahuku sesaat. “Maafkan saya, Rodi. One thing, kau mitra ranjang yang hangat dan hebat!” “Eleni!” hardik Alexandrous, geramnya memuncak. “Yia sou, good bye, Alexandrous!” Eleni berjalan cepat keluar kamar dan menyusuri lorong. Alexandrous hendak menyusul. Tapi rengkuhan tangan Trista di lengan Alexandrous menghambatnya. “Biarkan ia sendiri dulu, honey!” ujar Trista. Alexandrous menurut. Aku menelan ludah. “Okay, sebaiknya aku tinggalkan kalian berdua di sini. Bicaralah baik-baik,” kataku.
  • 46. “Trista, kalau sempat pulanglah barang sebentar; bukan buat aku, buat Reina. Aku yakin ia rindu kamu,” aku melenggang meninggalkan kamar. Percakapan delapan mata barusan sebenarnya tak menghasilkan apa-apa, kecuali fakta-fakta mendasar yang belum genap kejelasannya. *** Sampai pukul 10 malam belum terdengar kabar dari Trista. Aku baru saja membacakan cerita pengantar tidur buat Reina dan memastikan Reina sudah terlelap ketika derum taksi membahana di depan pagar rumah. Tante Fitri membukakan pintu untuk Trista. Istriku tampak acak-acakan, tak pernah ia kulihat sekusut masai ini. Ia membuka pintu kamar Reina yang baru saja kututup. Kubiarkan Trista merebahkan diri di samping Reina dan menciumi pipi gadis kecilku. Sepuluh menit kemudian ia keluar dari kamar Reina. “Apakah ini masih kamar kita?” ia berdiri mematung di depan pintu kamar kami. “Kau saja yang beri definisi,” kataku. “Aku mau bicara di kamar,” ia mendahului membuka pintu. Aku mengikutinya. “So?” aku menantangnya bicara. “Aku salah. Aku khilaf. Aku minta maaf,” tutur Trista, berusaha tidak terhisak. Aku membisu. “Dalam suasana seperti apa kau meninggalkan Alex di kamar hotel Shangrila baru saja?” tanyaku setelah menemukan kata-kata yang tepat. “Tak jelas. Ia bingung. Ia bimbang. Sama seperti aku!” “Hm!” “Sekarang terserah kamu!” Trista menunduk. “Terserah aku?” “Ya, terserah kamu. Kamu bisa pilih mencampakkan aku selamanya, atau memaafkan aku demi Reina!”
  • 47. “Lalu Alexandrous?” “Itu urusanku. Aku akan mengatasinya. Aku yakin ia tak rela melepas Eleni begitu saja” Aku menyeka jidat. Kelihatannya permasalahan tak semudah bicara. “Jika aku memaafkan kamu?” kataku. “Jika kudapatkan maafmu, aku selesai dengan Alexandrous. Tak akan ada apa-apa lagi. Dan kau harus usai pula dengan Eleni,” “Semudah itukah?” “Jika kita semua sama-sama rela menyudahi dan mau membangun kembali hubungan cinta yang yang sudah rusak,” kata Trista. “Kau bisa melupakan Eleni?” “Entahlah!” kataku. “Kau bisa melupakan Alex?” “Aku akan coba! Bantu aku untuk mencobanya” Trista menghampiri aku dan memelukku erat. Aku tak tahu harus balas memeluknya atau tidak. Wajah Eleni berdansa di mataku. “Kau memaafkan aku?” bisik Trista. “Aku memaafkan kamu!” jawabku. “Dan aku memaafkan kamu, meski kamu tidak minta!” bisik Trista lagi, menengadah, menyiapkan bibirnya. Aku melepas dekapan itu. “Maaf, Trista!” “Tak ingin ciumanku? Kalau tak salah sudah lama kita tidak berciuman?” “Tidak mudah bagiku untuk saling merapatkan bibir setelah bibir kita masing-masing bersentuhan dengan bibir lain. Tidak, bagiku, Trista. Maaf!”
  • 48. Aku meninggalkan kamar dan membiarkan Trista sendiri. *** Seminggu penuh Trista tinggal di rumah bersama Reina. Ia mengajukan cuti. Aku berangkat mengajar murid-muridku seperti biasa, minus kelas bahasa Indonesia Alexandrous dan Eleni. Aku tak tahu apa yang yang terjadi dengan Alexandrous dan Eleni. Dugaanku, sama dengan aku dan Trista, mereka juga berbenah diri dan saling bikin ikrar baru untuk tak saling meninggalkan. Aku sendiri mati-matian berusaha menyingkirkan wajah Eleni dari benakku, berusaha membuang jauh-jauh pesona, keelokan, harum tubuh, kerling, sibakan rambut dan gairahnya yang membuncah-buncah. Adakah ia sedang kembali berbagi kasih dengan suaminya? Aku masih enggan bersentuhan dengan Trista. Belum bisa. Minggu berikutnya Trista masuk kerja seperti biasa dan pulang kantor pada jam normal, tak lebih dari senja. Hampir sebulan sejak percakapan delapan mata di kamar hotel Shangrila itu, e-mail Eleni menyeruak ke alamat e-mailku. Kubaca e-mail itu. “Aku jadi berkemas seminggu lalu dan meninggalkan Alex di Surabaya. Pada malam setelah percakapan di hotel, Alexandrous kembali ke apartemen. Kami bicara baik-baik, dan demi hormatku pada lelaki Yunani dan keluarganya, kami saling bermaafan dan berusaha melupakan yang sudah terjadi. Tapi ternyata fakta berbicara lain. Alexandrous masih bertemu Trista dan menggunakan saat istirahat siang untuk saling melampiaskan rindu. That’s it. Tak ada lagi yang perlu dipertahankan” Aku tercenung membaca e-mail Eleni. Sebetulnya ini tidak mengejutkan aku. Trista tak akan pernah bisa pegang janji dan Alexandrous tak akan pernah bisa meninggalkan pesona Trista begitu saja. Kata orang jalinan kasih dengan selingkuhan itu lebih hebat, lebih sensasional dan lebih menggentarkan, lahir bathin. Aku melanjutkan e-mail Eleni.
  • 49. “Kamu punya paspor? Aku sudah menulis surat ke Kedutaan Besar Yunani di Jakarta, dengan tembusan ke alamatmu. Aku mengundang kamu untuk datang ke Yunani. Segera urus visa Yunani begitu surat undangan datang. Sudah pula kupesankan tiket Surabaya- Singapura – Athena via Istanbul, Turki. Kode booking penerbangan kucantumkan di email ini. Jangan bertanya kenapa aku harus bertemu kamu. Pokoknya aku harus bertemu kamu, penting! Jauh lebih penting dari yang kau kira. Kujemput kau di bandara Athena!” Aku menopang kepalaku dengan kedua belahan tangan memandangi email Eleni. Tampaknya ini makin rumit! Trista! Eleni! Episode 11 Aku memeriksa kode booking tiket penerbangan Jetstar Surabaya-Singapura, dan Olympic Airlines Singapura – Instanbul – Athena. Tertulis tanggal keberangkatan 20 hari dari sekarang. Seriuskah Eleni dengan permintaannya ini? Seberapa bernilaikah pertemuan ini? Aku memeriksa paspor yang terbit setahun lalu ketika aku harus bertugas sebagai penerjemah untuk sejumlah karyawan sebuah perusahaan Indonesia di Singapura. Lalu aku memeriksa buku tabunganku pribadiku. Sedikit mengkerut hatiku melihat saldo yang tak melebihi angka Rp 5 juta. Lalu kuperiksa semua persyaratan traveling ke Yunani. Harus ke Kedutaan Yunani di Jakarta untuk wawancara visa Schengen, kawasan 25 negara Eropa dengan visa tunggal, khusus Yunani, harus bayar premi asuransi perjalanan dan harus ini itu. Seberapa bernilaikah pertemuan ini? Aku tak segera membalas email Eleni selama beberapa hari. Sementara itu soal Trista yang balik lagi dengan Alexandrous rupanya tak bisa tersembunyikan lagi. Kegetiran hubungan dengan Trista membuatku tak berhasrat bertanya ketika ia mulai sering pulang malam. Kami tak pernah duduk semeja makan, tak pernah bercengkerama, tak pernah saling peduli. Hidup serumah, tapi bak orang asing satu sama lain. Dan ia memilih tidur bersama Reina di kamar Reina. Sehari-hari ia makin kelihatan sexy dan tak henti memperhatikan penampilan. Okay, the game restarts!
  • 50. Surat undangan sponsor kunjungan ke Yunani dari Eleni tiba, hampir berbareng dengan sms Eleni berisi kode kiriman uang lewat Western Union senilai beberapa kali lipat nilai tabunganku. Meski aku tak membalas email Eleni, aku yakin ia tahu aku akan memenuhi undangannya. Aku tak berpikir panjang. Segera kuisi aplikasi visa Yunani online. Beberapa hari kemudian aku dapat panggilan wawancara visa ke Kedutaan Yunani di Jakarta. Pagi itu aku menulis pesan singkat yang kutempel di kulkas untuk Trista. “Aku ada urusan penting ke Jakarta dua atau tiga hari. Kamu enjoy aja!” begitu isi pesanku. Aku tak perduli surat itu dibaca atau tidak. Tak perlu menunggu lama persetujuan visa di Jakarta. Pasporku distempel visa Yunani dua hari kemudian. Aku mengirim sms ke nomor HP Yunani Eleni yang disertakan pada email terdahulu. “My dear Eleni, I’ll be there,” tulisku di sms itu. *** “Boleh aku tahu kau sibuk apa?” tanya Trista tanpa nada menyelidik. “Mengurus visa Yunani. Aku ke Yunani minggu depan,” kataku terus terang. “Oh, gitu?” ujar Trista datar. “Eleni minta aku datang ke sana. Ia bilang itu penting. Apakah ini mengusikmu?” tanyaku asal- asalan, mengunyah apel. “Berapa lama?” “Dua minggu,” jawabku. “Kalau itu maumu, kau dapat izinku, meski kau tak pernah minta izin atau paling tidak membicarakan ini pada istrimu!” “Aku juga membiarkan kau berhubungan lagi dengan Alexandrous meski kau sendiri yang janji menyudahi hubungan itu. Jangan dikira aku tidak tahu” Trista hanya mengangkat bahu.
  • 51. “Baik, kubantu kau mengepak bagasi malam sebelum kamu berangkat,” kata Trista ringan. “Tidak dibantu juga tak apa-apa. Rasanya selama ini kau tidak pernah peduli yang begituan,” kataku, “Aku cuma minta satu hal, tolong jaga Reina baik-baik. Kau boleh sibuk, tapi Reina tak boleh terabaikan. Aku minta maaf harus memenuhi undangan Eleni; aku yakin akan ada penyelesaian yang lebih baik setelah ini. Ini persoalan besar sekarang. Aku harap kamu mengerti” Trista mengangguk tak berdaya. Dan selebihnya aku dan Trista jarang bicara. Aku tidak tahu apakah Trista bicara pada Alexandrous soal undangan Eleni ke Yunani. Ah, pastilah Alexandrous tahu itu. Dan aku tidak perduli. *** Trista tak ada di rumah ketika aku berangkat ke Singapura selepas siang hari itu. Kupeluk dan kucium Reina, kujanjikan boneka lucu sepulangku nanti. Mata bundar Reina yang polos dan penuh harap pada janjiku sebenarnya mencabik-cabik hatiku. Tapi aku tahu ini perjalanan penting. Sangat penting. Aku terbang bersama Olympic Airlines pukul 23.20, sampai di Istanbul untuk stop-over jam 5 pagi. Pesawat melayang lagi ke Athena dan mendarat di bandara Eleftherios Venizelos sedikit sebelum pukul 8 pagi. “I miss you. I miss you so much,” Eleni memeluk dan mendaratkan bibirnya yang hangat menyambutku di pagi sejuk musim semi itu. Kami kemudian bermobil membelah kota Athena yang didominiasi bangunan-bangunan berwarna putih, berselang seling antara bangunan modern dan peninggalan sejarah. “Perkenalkan kota Athena, ibukota Yunani. Kamu senang?” tanya Eleni di balik kemudi. “Senang sekali! Tak kuduga bisa bertemu lagi denganmu di negeri indah ini,” kataku. Eleni mengelus daguku. Kami menuju ke Hotel Poseidon, di jalan Possidononos, kawasan Paleo Faliro, sekitar 30 kilo dari bandara. Hotel ini menghadap ke hamparan laut Aegea dengan pemandangan perbukitan
  • 52. yang disaput titik-titik bangunan berwarna serba putih. Kamar hotel menebarkan wangi bunga chamomile. “Well, katakan, bukankah ini indah? Suamiku dan istrimu lagi asyik di Surabaya, dan kita saling melepas rindu di Athena,” kata Eleni. “Kau benar-benar rindu aku?” tanyaku. “Lebih dari yang kau bayangkan!” Aku merenggut pinggang Eleni dan memberikan dekapan yang mungkin sudah ia nantikan sejak tadi. Kali ini kami tak perlu musik. Getar-getar di dadaku dan dalam hasrat Eleni sudah cukup menjadi musik pengiring yang menggelora, cukup membuat tempat tidur kayu berat itu bergeser beberapa centimeter digoyang rindu dan desah-desah yang hebat. Hanya inikah alasan Eleni mengundangku ke negerinya? Aku menunggu-nunggu kejutan lain. Dan kejutan itu tak kunjung tiba. Tiga sore kemudian, Eleni mengajakku terbang dari Athena ke kota Skiathos di pulau Skiathos dengan Olympic Airlines, tiba jam 6 malam lebih sedikit. Dari Bandara Alexandros Papadiamantis di Skiathos, kami naik taksi ke pinggiran kota Skhiatos, melewati hamparan panorama indah dunia yang tak pernah kulihat sebelumnya. Kami sempat mampir membeli bahan-bahan makanan di sebuah toko swalayan. “Ini kota kelahiranku, lihat pantai yang cantik dengan gugusan bangunan serba putih ditingkah matahari sore, khas lautan Aegea,” kata Eleni seolah tak memahami penantianku. Kami meluncur ke sebuah rumah tinggal berdinding batu-bata yang juga didominasi warna- warna cerah, di sebuah perbukitan yang lagi-lagi menampakkan hamparan laut dengan kelap- kelip lampu yang mempesona di pinggiran pantai. “Ini rumah bibiku. Ia tinggal di Norwegia bersama suaminya. Rumah ini aku yang rawat,” kata Eleni. Eleni membuka pintu rumah dan membiarkan aku mengagumi bagian dalam rumah kuno dengan banyak sentuhan lokal. Perempuan Yunani itu kini sibuk menyiapkan meja di berada terbuka, memasang taplak dan menyalakan tiga buah lilin yang ditopang dudukan berwarna
  • 53. kemasan. Sejumlah makanan terhidang di meja. Manis sekali tatanan makanan di atas meja itu, yang disandingi sebotol anggur merah. “Well, ini bisa jadi makan malah terindah dalam hidupku. Bersanding denganmu di meja berlilin romantik, menghadap hamparan keelokan laut di sana,” kataku. “Percayalah, inipun akan menjadi makan malamku yang paling indah,” tutur Eleni, memelukku dari belakang, mensejajarkan kepala dengan kepalaku yang tengah terhisap panorama cantik pantai Skiathos senja itu. “Rodi, mungkin kau bertanya-tanya kenapa kau harus menemuiku di sini. Dan kenapa pula kau harus kugiring ke kota kelahiranku ini,” Eleni minta aku duduk. Ia duduk di sebelah lain menghadapku. “Aku ingin menunjukkan sesuatu yang sangat penting. Lihat, aku punya ini,” Eleni mengeluarkan sepucuk surat dari tas tangannya. Perlahan ia membuka amplop dan membuka lebar surat itu dan menebarkannya di hadapanku. Melalui temaram cahaya lilin, sekilas surat itu terlihat ditulis di atas kertas berkop surat resmi. “Surat dalam bahasa Yunani?” tanyaku. “Ya, mau tahu isinya? Aku bisa menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,” Eleni memajukan wajahnya. Aku menggangguk. “Beri aku ciuman dulu” Kuturuti permintaan Eleni. Ia memejamkan mata menerima kecupan itu. Sejenak kemudian ia mulai membacakan isi surat itu. Tiba-tiba debar aneh menggerayangi dadaku.
  • 54. Episode 12 “Dengar baik-baik,” kata Eleni dalam bahasa Indonesia. “Dengan ini, dokter Lefteris Giorgiou, dokter pada Klinik Keffalinias di Athena, menyatakan bahwa berdasarkan pemeriksaan, nyonya Eleni Dimitriakis, 26 tahun, dinyatakan hamil,” bahasa Indonesia Eleni, dengan aksen bule, jelas sekali terdengar. Darahku berhenti mengalir. “Hamil?” “Ya, hamil! Aku akan punya anak. Jadi ibu! Aku perempuan hebat!” Eleni merentang kedua lengan menantikan pelukanku. Aku ragu sesaat. “Peluk aku Rodi. Kamu ayah bayi ini!” pekik Eleni. Eleni memutar meja dan memberikan pelukan di pundak. Aku membalik tubuh dan membalas pelukannya. “Aku ayah bayi ini?” tanyaku dalam pelukan Eleni. “Seratus persen. Alexandrous tidak mungkin memberiku bayi. Ia tidak bisa. Empat tahun kami mencoba. Dokter menyatakan Alexandrous tidak bisa punya keturunan. Ia mandul,” tentu saja kali ini ia katakan semua ini dalam bahasa Inggris. Aku memejamkan mata dan memeluk Eleni erat-erat. Kini aku tahu, aku datang jauh jauh dari Surabaya ke Skiathos untuk mendapatkan kabar ini. “Katakan kau bahagia, senang, gembira!” desis Eleni. “Senang sekali!” kalimatku mengambang. “Nada suaramu tidak seperti orang yang bahagia,” Eleni melepaskan pelukan dan menatap mataku. “Alexandrous tahu ini?” tanyaku.
  • 55. “Sudah kukabari! Ia akan segera menyusul kemari!” jawab Eleni. Alexandrous tahu! Ia akan menyusul kemari! Aku mengulang kata-kata Eleni dalam hati. Kamu dalam masalah besar, Rodi, kataku dalam hati. Tak bisa kukatakan pada kalian, sobat, bagaimana perasaanku saat itu. Wajah Trista dan Reina, terutama Reina, mengisi seluruh ruas kegundahanku. Tak bisa pula kubayangkan bagaimana aku bertemu Alexandrous nanti. Eleni tahu suasana hatiku sedang berantakan. Ia membiarkan aku melepas pelukan dan berjalan perlahan ke hamparan rumput taman di depan rumah dan duduk di gundukan bebatuan, menatap kerlap-kerlip lampu di pinggiran pantai Skiathos di kejauhan. Sejenak kemudian Eleni menyusul dan duduk di sampingku, menyandarkan kepala di pundakku. “Katakan padaku, Eleni. Siapa kita ini?” aku bicara lirih. “Kita adalah sepasang anak manusia yang sedang berada dalam pusaran takdir; aku percaya takdir. Adalah takdir pula bahwa Alexandrous jatuh cinta pada Trista; dan takdir pula yang mengantarkan kau jadi guru bahasa Indonesia bagi aku dan Alexandrous. Takdir pula yang menyemayamkan makhluk mungil dalam perutku ini,” ujar Eleni. “Sungguh-sungguhkah kau ingin mendapatkan bayi ini?” “Lebih dari yang orang duga! Aku mendambakan buah hati. Alex berkali-kali menggagas kami adopsi anak begitu tahu ia tak bisa memberiku kebahagiaan ini. Hanya saja, aku tahan dulu ide itu untuk menunggu keajaiban!” “Tapi anak adopsi berbeda dengan anak yang kau peroleh dengan hubungan badan dengan lelaki lain,” kataku. Eleni melingkarkan lengan ke bahuku. “Keajaiban itu datang dalam bentuk lain. Takdir, Rodi. Ini takdir! Tak pernah kubayangkan aku akan sangat menginginkanmu di kamar apartemen di Surabaya itu. Nyatanya perasaan itu tak terelakkan. Takdir! Kau telah memberiku sayap untuk terbang”
  • 56. Aku menghela nafas panjang dan mulai membayangkan tak pernah terima tawaran dari Hendra untuk menggantikannya mengajar bahasa Indonesia pasangan Yunani itu kapan hari. Andai saja aku tak tergiur imbalan mengajar yang jauh lebih besar daripada biasanya itu. *** Pukul 8 pagi. Aku dan Eleni baru terbangun ketika sebuah mobil berhenti di pelataran rumah. Alexandrous turun dari mobil. Tepat seperti yang dikatakan Eleni bahwa Alex akan menyusul. Aku tak bisa bicara, bahkan untuk menyapanya sekalipun. Alexandrous menatapku dengan kilat mata setajam pisau. “Eleni! Aku harus bicara padamu!” kata Alexandrous dalam bahasa Yunani. “Speak English, Alex!” tutur Eleni. Aku tahu itu dimaksudkan agar aku bisa turut mendengarkan percakapan. “Okay, I need to talk to you only,” ulang Alexandrous. “Sorry, Alex. Rodi ada di sini. Kalau bicaramu menyangkut hubungan kita bertiga, Rodi harus tahu,” jelas Eleni. “It’s okay, Eleni. Kalian suami istri. Aku akan menyingkir sejenak. Hai, Alex,” aku menyapa basa-basi, “kalian bicaralah,” aku melangkah dari beranda dan berjalan menjauh, menyusuri rerindangan pepohonan di sekitar rumah. Aku menoleh sebentar. Alexandrous dan Eleni terlibat dalam pembicaraan yang kelihatannya sengat serius di beranda. Lama aku berdiri menyandarkan tubuh pada sebuah pohon dan mulai memikirkan Reina dan Trista. Bagaimana mereka akan menerimaku kembali? Ingin sekali kupeluk Reina, gadis kecilku, dan mengajari bagaimana cara mengampuni ayah yang brengsek ini. Lebih dari satu jam aku berjalan tak tentu arah di sekitar perkampungan itu sampai aku tak sadar aku telah berputar kembali ke belakang rumah. Tak sengaja kulihat Alexandrous dan Eleni berpelukan dari kejauhan. Aku tak segera melangkah. Tapi Alexandrous tahu kehadiranku. Ia melepaskan pelukan Eleni dan berjalan ke arahku.
  • 57. “Rodi, sekarang kita perlu bicara bertiga,” kata Alexandrous. Nada bicaranya lebih santai dan ramah. Kami duduk di beranda, bermandi sinar matahati. “Senang tinggal di Yunani?” Alexandrous tak kalah berbasa-basi. “Ya. Terimakasih sudah membuatku bisa ke sini,” kataku. “Okay, aku akan bicara langsung,” kata Alexandrous. “Aku lelaki jahat, culas dan mau menang sendiri. Aku menggoda istrimu selagi aku tahu ia bersuami. Aku memanfaatkan kelemahan dan kekuranganmu di mata Trista. Dan itu jahat. Dan seperti yang kau tahu, aku masih menemui Trista walau Trista sebelumnya sudah janji padamu untuk tidak menemuiku. Itupun aku yang minta,” Alexandrous berhenti bicara. Eleni menyeka hidungnya yang berair dan mata agak sembab. “Aku tahu Eleni hamil, dan kau …..ayah bayi itu…..” Alexandrous mulai terbata-bata, “….dan Eleni bilang hubungan badan itu berlangsung karena ia menyukaimu, mencintaimu!” Aku memandang Eleni. Kali ini sang elang betina tertunduk. “Kamu harus tahu, Aku dan Trista telah membuat keputusan untuk saling tidak bertemu lagi. Dan itu pilihan Trista. Ia sangat berhasrat kau kembali padanya, demi Reina,” kata Alexandrous. Bicaranya mulai tenang dan tegas lagi. “Bayi di kandungan Eleni harusnya menjadi masalah besar bagiku, bagi nama baikku di kalangan keluarga besarku. Ini masalah yang luar biasa. Tapi itu adalah harga yang harus kutebus karena telah menjadi lelaki jahat,” Alexandrous menghela nafas. Aku menyimak. “Kau ayah biologis bayi itu. Tapi aku bisa menjadi ayah legal bagi bayi itu karena ia bersemayam dalam rahim istriku. Aku sebenarnya ingin mendapatkan Eleni kembali dan makhluk mungin di perutnya, tapi aku tak bisa memaksa istriku kembali kepadaku, tak bisa meraih kembali hatinya. Kini semua kuserahkan kepada kau dan Eleni,” Alexandrous menepuk pundakku, dan bicara dalam bahasa Indonesia, “Tinggalah di sini bersama Eleni sampai waktunya kau kembali ke Surabaya. Aku akan datang lagi sehari sebelum kau kembali ke negerimu,” kata Alexandrous.
  • 58. Dan Alexandrous mundur beberapa tapak, lalu berbalik ke mobilnya. Eleni menatap Alexandrous tak berkedip sampai bayangan mobil menghilang di balik tikungan. Aku dan Eleni berdiri mematung beberapa saat. Akankah Eleni segera menetapkan keputusannya? *** Ternyata Eleni lebih suka tak membicarakan apapun soal keputusannya, sementara aku sendiri tak pernah bisa menjelaskan pada diriku sendiri apa yang terbaik buatku dan apa yang aku harapkan dari Eleni. Aku dan Eleni menghabiskan sisa waktu di Skiathos dan pulau-pulau di sekelilingnya seperti sepasang turis beda negara. Eleni memasak, menyiapkan makanan, minta digumuli seperti biasa dan minta diantar periksa ke dokter kandungan. Dan ini malah membuat aku makin galau. Canda tawa Reina sering mengusik tidurku. Aku rindu lukisan Donald Duck versi Reina yang ditoreh dengan pensil warna, kangen mengajaknya jalan ke mall, dan melihatnya terlelap sebelum aku tuntas membaca buku cerita. Kerap kali Eleni mendapatiku membuka layar HP memandanngi foto Reina berlama-lama. Dan Eleni seperti paham kegundahanku. Sore itu, di rumah Eleni, ia menyodorkan pesawat telepon padaku. “Kamu perlu menelepon Reina!” kata Eleni; bukan pertanyaan, melainkan himbauan. “Thanks,” kataku. Aku segera memutar telepon rumah. Tante Fitri yang terima. “Tante, ini Rodi. Dari Yunani. Reina ada?” kataku. Kudengar Tante Fitri memanggil Reina. Minggu pagi di Indonesia, Reina pasti ada di rumah. “Bapak! Bapak di mana?” teriak Reina. “Di Yunani, sayang” “Yunani itu di mana, dekat rumah kakek di Malang?” “Bukan, Reina. Yunani jauh, jauh sekali”
  • 59. “Kapan bapak pulang?” “Bapak segera pulang. Bapak kangen kamu!” “Bapak pulangnya bawa mainan, ya?” “Ya, Reina. Bapak akan belikan kamu banyak mainan” “Bapak hati-hati ya!” “Ya, sayang. Bapak akan hati-hati. Terimakasih kamu sudah mengingatkan” “Hihihihi!” Aku menutup telepon. Kulihat Eleni berdiri di sudut ruangan dengan mata berkaca-kaca. Aku yakin ia mendengar percakapan singkat dengan putriku. Eleni kemudian menghampiri aku, dan memelukku. “Tahu tidak? Kau telah jadi guru bahasa Indonesia yang mantap. Aku bisa faham semua kata- kata bahasa Indonesiamu dengan anakmu. Aku bisa paham pula anakmu bicara apa. Maafkan aku, Rodi. Maafkan aku dan Alexandrous telah menghadirkan kekacauan ini buat kalian,” Eleni meneteskan airmata. “Eleni….” kataku. Eleni menempelkan telunjuknya di bibirku, agar aku tak meneruskan bicara. “Kau mau tahu jawabanku ketika aku ditanya Alexandrous apakah aku mencintaimu?” tanya Eleni. Aku tak menjawab. “Aku mencintaimu, dan beberapa saat lalu sangat menginginkanmu dan ingin memilikimu, ingin kau mendampingi aku seumur hidup” Aku hanya bisa memejamkan mata mendengar tuturan Eleni. Harus kuakui, akupun mencintai perempuan ini dan tak terbayangkan betapa inginku berada di dekatnya setiap menit. Tapi itu tak bisa kukatakan padanya saat ini. “Alexandrous telah memberi pilihan itu bagiku. Ia telah menunjukkan jiwa besar. Ia akan melepasku padamu jika aku menghendakinya, dan ia akan menunjukkan tanggungjawab
  • 60. moralnya dengan menikahi Trista bila kau menceraikannya, dan ia siap jadi ayah bagi Reina,” Eleni terhisak kecil. “Apakah ini juga pilihan bagiku?” tanyaku. Eleni diam sesaat dan menatap mataku dalam- dalam. “Sebelum aku mendengar percakapanmu di telepon dengan Reina, aku ingin menyerahkan pilihan itu padamu dan aku akan dengan senang hati mengikuti pilihanmu. Tapi setelah mendengar percakapan itu, sebaiknya akulah yang menentukan pilihan itu” “Katakan pilihanmu, Eleni. Aku akan mengikuti pilihanmu!” ujarku. “Aku akan membesarkan bayi ini dan menjadikannya anak sah Alexandrous. Kami merawat bayi ini sekuat dan sehabat yang kami bisa,” “Membesarkan dan merawat? Semudah itukah? Bagaimana dengan kasih sayang? Terutama kasih sayang Alexandrous pada bayi itu?” Eleni tersenyum. “Perasaan berdosa Alexandrous karena telah mulai menyulut bara api, menyakiti hatiku dan mengoyak perkawinan kami, ditambah dengan hancurnya ketentraman keluarga kecilmu, akan mengubah hatinya menjadi hati ayah sebenarnya buat bayi yang dikandung istrinya,” kata Eleni. “Ini takdir yang harus diterima, Rodi” Aku menatap mata Eleni dalam-dalam. Lautan Aegean di depan sana mungkin dalam. Tapi tatapan dan samudra biru di mata Eleni tak bisa kuukur dalamnya. *** Alexandrous membantu mengurus proses check-in tiket di konter Olympic Airlines untuk perjalananku kembali dari Athena ke Singapura lewat Istanbul. Dua jam lagi aku akan mengarungi penerbangan 14 jam kembali ke Singapura dan plus dua jam lagi ke Surabaya. “Sebelum kami kembali ke Surabaya, aku harus sampaikan hal penting, Rodi,” kata Alex dengan senyum sangat tenang. “Pertama, aku senang aku akan menjadi ayah. Kedua, aku minta pindah dari Surabaya dan kini mendapat penugasan baru di Istanbul, Turki. Eleni akan bersamaku di mana pun aku berada.