Definisi dan Klasifikasi dari Dermatofitosis & Non - Dermatofitosis
Etiologi & Faktor Risiko dari Dermatofitosis & Non -Dermatofitosis
Patogenesis Dermatofitosis & Non - Dermatofitosis
Patofisiologi dan Manifestasi Klinis Dermatofitosis & Non -Dermatofitosis
Diagnosis (Anamnesis,P.Fisik,P.Penunjang) dari Dermatofitosis & Non-Dermatofitosis
Penatalaksanaan [ Farmako & Non – farmako
( Edukasi, Pencegahan ) ] dari Dermatofitosis & Non -Dermatofitosis
7. Prognosis dari Dermatofitosis & Non-Dermatofitosis
adalah kondisi medis darurat yang dapat mengancam jiwa bila tidak ditangani secara tepat. Ketoasidosis diabetikum disebabkan oleh penurunan kadar insulin efektif di sirkulasi yang terkait dengan peningkatan sejumlah hormon seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormone.
Peran Apoteker di Apotek adalah memberikan pelayanan kefarmasian diantaranya yang utama adalah memberikan pelayanan swamedikasi dan pelayanan resep.
Dalam memberikan pelayanan resep, apoteker harus memahami Resep dan menginterpretasikan resep. Apoteker harus memahami cara melakukan compounding dan dispensing resep
.
Adapun tahapan Compounding dan Dispensing Resep sebagai berikut:
1. Menerima dan memvalidasi resep
2. Memahami dan menginterpratasikan resep
3. Penyiapan dan pemberian label
5. Melakukan Pencatatan Data
6. Pelayanan Informasi Obat
Definisi dan Klasifikasi dari Dermatofitosis & Non - Dermatofitosis
Etiologi & Faktor Risiko dari Dermatofitosis & Non -Dermatofitosis
Patogenesis Dermatofitosis & Non - Dermatofitosis
Patofisiologi dan Manifestasi Klinis Dermatofitosis & Non -Dermatofitosis
Diagnosis (Anamnesis,P.Fisik,P.Penunjang) dari Dermatofitosis & Non-Dermatofitosis
Penatalaksanaan [ Farmako & Non – farmako
( Edukasi, Pencegahan ) ] dari Dermatofitosis & Non -Dermatofitosis
7. Prognosis dari Dermatofitosis & Non-Dermatofitosis
adalah kondisi medis darurat yang dapat mengancam jiwa bila tidak ditangani secara tepat. Ketoasidosis diabetikum disebabkan oleh penurunan kadar insulin efektif di sirkulasi yang terkait dengan peningkatan sejumlah hormon seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormone.
Peran Apoteker di Apotek adalah memberikan pelayanan kefarmasian diantaranya yang utama adalah memberikan pelayanan swamedikasi dan pelayanan resep.
Dalam memberikan pelayanan resep, apoteker harus memahami Resep dan menginterpretasikan resep. Apoteker harus memahami cara melakukan compounding dan dispensing resep
.
Adapun tahapan Compounding dan Dispensing Resep sebagai berikut:
1. Menerima dan memvalidasi resep
2. Memahami dan menginterpratasikan resep
3. Penyiapan dan pemberian label
5. Melakukan Pencatatan Data
6. Pelayanan Informasi Obat
PPT PENGKAJIAN SISTEM MUSKULOSKELETAL 2.pptxEmohAsJohn
PENGKAJIAN MUSKULOSKELETAL
Gangguan neurologi sangat beragam bentuknya, banyak dari pasien yang menderita gangguan memori dan tidak mampu menjalani aktivitas sehari-hari secara normal. Penyakit-penyakit neurologi kebanyakan memiliki efek melemahkan kehidupan pasien, sehingga memberikan pengobatan neurologis sangat penting bagi kehidupan pasien.
2. KASUS…
Tn. AAM, 35 tahun, setelah dirawat 5 hari di RS kemudian
didiagnosis sebagai penderita miastenia grafis. Sampai hari ini
pasien masih belum bisa bergerak dan sering mengalami kesulitan
bernafas. Akibat kesulitan bernafas wajahnya sampai pucat dan
bibirnya kebiruan. Penderita juga kesulitan mengeluarkan lendir dari
dalam mulutnya. Hasil pemeriksaan gas darah diketahui
pO2arteri=70 mmHg; pCO2arteri=55 mmHg; pH darah<7,35.
Bagaimana penanganan penderita? Apa farmakoterapinya?
3. Problem Klinis
Myasthenia gravis
1.Subjektif: kesulitan bergerak, kesulitan bernafas, kesulitan
mengeluarkan lendir dari mulut
2.Objektif:
Respiratory Asidosis
1.Subjektif: kesulitan bernafas, wajah pucat, bibir kebiruan
2.Objektif: pO2arteri=70 mmHg, pCO2arteri=55 mmHg; pH
darah <7,35
4. Data Pasien Kadar Normal
pO2arteri=70 mmHg 80-100 mmHg
pCO2arteri=55 mmHg 35-45mmHg
pH darah <7,35 7,35 -7,45
5. Myasthenia gravis???
Adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai 0leh
suatu kelemahan abnormal dan progresif pada ott
rangka yang dipergunakan secara terus menerus
dan disertai dengan kelelahan saat beraktifitas.
Istilah Myasthenia adalah bahasa Latin untuk
kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau
serius.
6. Myasthenia Gravis bisa juga diklasifikasikan dengan lebih
singkat dan sederhana menjadi :
Golongan I = Gejala-gejalanya hanya terdapatpada otot-otot
ocular
Golongan II A = Myasthenia Gravis umum ringan
Golongan II B = Myasthenia Gravis umum berat
Golongan III = Myasthenia Gravis akut yang berat, yang juga
mengenai otot-otot pernafasan
Golongan IV = Myasthenia Gravis kronik yang berat
7. Diagnosis MG
Diagnosis miastenia gravis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit
dan gambaran klinis, serta tes diagnostik yang terdiri atas:
•Test Single Fiber Electromyography (EMG)
•Tes Darah
•Tes Wartenberg
•Tes prostigmin atau neostigmin
•Test Edrophonium Chloride (Tensilon)
•Computed Tomography Scan (CT Scan) atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI)
•Pulmory Function Test (Test Fungsi Paru-Paru)
8. Respiratory Asidosis
Asidosis Respiratorik (Kelebihan Asam Karbonat).
Asidosis Respiratorik adalah gangguan klinis dimana PH
kurang dari 7,35 dan tekanan parsial karbondioksida arteri
(PaCO2) lebih besar dari 42 mmHg.
Kondisi ini terjadi akibat tidak adekuatnya ekskresi CO2
dengan tidak adekuatnya ventilasi sehingga mengakibatkan
kenaikan kadar CO2 plasma.
9. Epidemiologi
Miastenia grafis merupakan penyakit yang jarang ditemui dan dapat
terjadi pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak
pada usia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini
dibanding pria. Rasionya adalah 6:4.
13. Tujuan Terapi MG
Menurunkan progresivitas penyakit
Mencegah komplikasi
Memperbaiki status klinis pasien (dari asidosis normal)
Meningkatkan kualitas hidup pasien
14. Standar Terapi
Anticholinesterase
upaya untuk memperkuat transmisi neuromuskuler dengan
penggunaan obat-obatan seperti bromida pyridostigmine
(Mestinon, Mestinon lepas lambat) dan neostigmine
(Prostigmin).
Corticosteroid dan Immunosuppressant
Kortikosteroid (contohnya prednisone) dan immunosupresan
(contohnya imuran)
Intravena Immunoglobulin
Plasmapheresis (penarikan plasma)
Thymectomy (pembedahan menghilangkan kelenjar thymus)
15. Terapi untuk respiratori asidosis
Pengobatan Diarahkan Untuk Memperbaiki Ventilasi Efektif
Secepatnya Dengan (non-farmakologi):
Pengubahan posisi dengan kepala tempat tidur keatas atau posisi
pasien dalam posisi semi fowler (memfasilitasi ekspansi dinding dada).
Latih untuk nafas dalam dengan ekspirasi memanjang (meningkatkan
ekshalosi CO2).
Membantu dalam ekspektorasi mucus diikuti dengan penghisapan jika
diperlukan (memperbaiki fentilasi perfusi).
17. Tindakan lain..
Tindakan hygiene pulmonary
Hidrasi yang adekuat (2-3e/hari)
Kadar O2 yang tinggi (750%) selama 1-2 hari
Ventilasi mekanik,
Pemantauan gas darah arteri secara ketat selama
perawatan
18. Penatalaksanaan Terapi
pyridostigmine 60 mg p.o
Slow-release pyridostigmine (180 mg before bedtime) bisa
sangat membantu
prednisolone 25 mg orally, 1 x 1, increasing by 5 mg every
2 to 3 days until a dose of 1 mg/kg/day is achieved; dan atau
azathioprine 1.5 to 2.5 mg/kg orally, daily.
21. Ask?
Fahrurrazy : faktor resiko dewasa dan anak
perbandingannya?? Dan terapi tsb apa bisa utk anak2 dn
dewasa??
M rafi’i: hubungan antara MG dan respiratory asidosis??
22. answer:
Prednisolone: Dosis awalnya harus kecil (10 mg) untuk semua usia
dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari
eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan dosis
tinggi. Untuk anak-anak dilakukan penyesuaian dosis dengan
menghitung dosis mg/kgBB, sehingga tercapai dosisi 1mg/kg/hari.
Prdnisolone dibantu dengan azatioprin 1.5 to 2.5 mg/kg untuk
membantu mempercepat terapi dan mengurangi efek samping.
Piridostigmin: untuk terapi MG Dewasa,dosis 0,30-1,32 g secara oral
dan dosis dibagi dalam satu hari, kemudian dosis harus didasarkan
pada respon individu.
Anak-anak : 7 mg / kg bb dalam 5 atau 6 dosis terbagi.
23. Faktor resiko MG terhadap
respiratori asidosis
Pada miastenia gravis, konduksi
neuromuskular terganggu. Abnormalitas
dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada
endplate motorik dan bukan pada membran
presinaps. Membran postsinaptiknya rusak
akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu
maka jarak antara membran presinaps dan
postsinaps menjadi besar sehingga lebih
banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke
arah motor endplate dapat dipecahkan oleh
kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin
yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan
membran postsinaps motor end plate menjadi
lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka
kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama.
Hal ini dapat berdampak pada otot-otot
pernapasan sehingga tidak terjadinya
respirasi yg adekuat respiratori asidosis.