Penyakit Diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, karena angka kesakitan dan kematian yang masih tinggi. Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih sering (biasanya tiga kali atau lebih) dalam satu hari.
Penyakit Diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, karena angka kesakitan dan kematian yang masih tinggi. Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih sering (biasanya tiga kali atau lebih) dalam satu hari.
DIAGNOSA BANDING PENURUNAN KESADARAN MANAJEMEN
Dipresentasikan oleh Jofizal Jannis | Neurologist| National Brain Centre
pada PIT VI IDI Kota Bogor | 10 Nopember 2013
DIAGNOSA BANDING PENURUNAN KESADARAN MANAJEMEN
Dipresentasikan oleh Jofizal Jannis | Neurologist| National Brain Centre
pada PIT VI IDI Kota Bogor | 10 Nopember 2013
2. RAHMAT ANDI SAPUTRO (04)
FEBRINA RISQY DAMAYANTI (11)
SITI NUR CHOLIFAH (12)
MAYDA DAHARIJJA (17)
BAGUS EKO WIDIANTO (24)
FIKA PUJI NARIANTI (27)
DIMAS MAULA ULYA (32)
FAHRUDIN ARIF R. (34)
INDAH SETYANINGSIH (41)
NI PUTU YUNI WULANDARI (43)
3. Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis
dari transmisi neuromuskular yang menghasilkan kelemahan
otot. Istilah Myasthenia adalah bahasa Latin untuk
kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau serius.
Menurut kamus kedokteran, penyakit autoimun itu sendiri
adalah suatu jenis penyakit dimana antibodi menyerang
jaringan-jaringannya sendiri.
Myasthenia Gravis dapat menyerang otot apa saja, tapi yang
paling umum terserang adalah otot yang mengontrol gerakan
mata, kelopak mata, mengunyah, menelan, batuk dan
ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg mengontrol
gerakan badan serta otot yang membantu pernafasan juga
dapat terserang.
4. Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali
dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka.
Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut
neuromuscular junction atau sambungan neuromuscular
(Howard, 2008; Newton, 2008).
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian
akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang
diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf.
Membran presinaptik (membran saraf), membran post
sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan
bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction
5. LANJUTAN..
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-
kira 125 kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk
ke dalam celah sinaps.
Bila potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka
akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam
terminal.
Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh
tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan
bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya
ke dalam celah sinaps.
Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan
berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada
membran post sinaptik
6. Myasthenia Gravis disebabkan oleh adanya antibodi
yang merintangi, merubah bahkan merusak
penerimaan zat asetilkolin, sehingga hal ini
menghalangi terjadinya kerja otot.
Antibodi ini dihasilkan oleh sistem imun tubuh
sendiri.
Itulah sebabnya Myasthenia Gravis dimasukkan dalam
golongan penyakit autoimun.
7. LANJUTAN....
Pada Myasthenia Gravis, ada sebanyak 80% penurunan
pada angka reseptor asetilkolin.
Untuk alasan yang tidak dimengerti, sistem imun pada
orang dengan Myasthenia Gravis membuat antibodi
melawan reseptor pada persimpangan neuromuscular.
Antibodi menghancurkan reseptor dengan lebih cepat
dibanding tubuh bisa menggantikan mereka lagi.
Kelemahan otot terjadi ketika asetilkolin tidak dapat
menggerakkan reseptor pada persimpangan
neuromuskular.
8. LANJUTAN..
Pada pasein dengan Myasthenia Gravis, kelenjar
thymus tidak normal. Ini mengandung beberapa
kelompok dari indikasi sel imun dari lymphoid
hyperplasia.
Beberapa orang dengan Myasthenia Gravis
menghasilkan thymoma atau tumor pada kelenjar
thymus.
Umumnya tumor ini jinak, tapi bisa menjadi
berbahaya.
Kelenjar thymus mungkin memberikan instruksi
yang salah mengenai produksi antibodi reseptor
asetilkolin sehingga menyerang transmisi
neuromuskular.
9. Miastenia Gravis menyerang semua usia, paling banyak
ditemukan pada usia 20-40 tahun.
Penyakit ini menyerang pria dan wanita secara
seimbang. Sedangkan bayi yang dilahirkan oleh ibu
Miastenia gravis akan memiliki Miastenia transient
dengan persentase 20%.
Penyakit ini akan muncul bersamaan dengan gangguan
sistem kekebalan dan gangguan tiroid. Sekitar 15% dari
penderita Miastenia Gravis mengalami thymoma (tumor
yang dibentuk oleh jaringan kelenjar timus).
10. PATOFISIOLOGI
Saraf besar bermielin yang berasal dari sel kornu
anterior medulla spinalis dan batang otak mempersarafi
otot rangka atau otot lurik. Saraf-saraf ini mengirimkan
aksonnya dalam bentuk saraf-saraf spinal dan kranial
menuju ke perifer.
Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan
antara saraf motorik dan serabut otot disebut sinaps
neuromuskular atau hubungan neuromuscular.
Hubungan neuromuskular merupakan suatu sinaps
kimia antara saraf dan otot yang terdiri dari tiga
komponen dasar: unsur presinaps, elemen postsinaps,
dan celah sinaps yang berukuran lebar 200Å.
11. LANJUTAN....
Unsur presinaps terdiri dari akson terminal dengan
vesikel sinaps yang berisi asetilkolin yang
merupakan neurotransmitter.
Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson
terminal (bouton).
Membran postsinaps dibentuk oleh invaginasi
selaput otot atau sarkolema yang dinamakan alur
atau palung sinaps dimana akson terminal menonjol
masuk ke dalamnya.
12. LANJUTAN....
Membran postsinaps memiliki reseptor-reseptor
asetilkolin dan mampu menghasilkan potensial
lempeng akhir yang selanjutnya dapat mencetuskan
potensial aksi otot.
Pada membran postsinaps juga terdapat suatu enzim
yang dapat menghancurkan asetilkolin yaitu
asetilkolinesterase.
Celah sinaps adalah ruang yang terdapat antara
membran presinaps dan postsinaps. Ruang tersebut
terisi semacam zat gelatin, dan melalui gelatin ini
cairan ekstrasel dapat berdifusi.
13. LANJUTAN....
Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromukular, maka
membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi
sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps.
Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung
dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps.
Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas
terhadap natrium maupun kalium pada membran
postsinaps.
Influks ion natrium dan pengeluaran ion kalium secara tiba-
tiba menyebabkan depolarisasi lempengakhir dikenal
sebagai potensial lempeng akhir (EPP).
14. LANJUTAN...
Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial
aksi dalam membrane otot yang tidak berhubungan
dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema.
Potensial ini memicu serangkaian reaksi yang
mengakibatkan kontraksi serabut otot.
Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuskular
terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetil
kolinesterase.
Pada Miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu.
Jumlah reseptor asetilkolin berkurang yang mungkin
dikarenakan cedera autoimun.
15. MANIFESTASI KLINIS
Penderita menunjukkan karakteristik khas, yaitu
kelemahan pada otot skeletal yang memburuk
ketika digerakkan dan membaik ketika
beristirahat.
Pada tahap awal, otot-otot mudah terkena
kelelahan, tetapi tidak ditemukan gejala lain.
Kemudian, gejala ini semakin parah dan dapat
menyebabkan kelumpuhan.
16. LANJUTAN
Biasanya, otot terasa kuat pada pagi hari dan
melemah sepanjang hari, terutama setelah
latihan atau pengulangan gerakan.
Gejala yang terjadi bergantung pada otot yang
diserang. Gejala ini akan semakin parah pada
masa haid dan setelah stres emosional, terlalu
lama terkena sinar matahari atau udara dingin,
serta infeksi.
17. Miastenia gravis berdasarkan Golongannya
(Price &Wilson, 2005), yaitu
Miastenia Okular
Miastenia umum
a. Miastenia Ringan
b.Miastenia Sedang
c. Miastenia Berat
18. Miastenia gravis dikatakan berada dalam keadaan krisis jika tidak
dapat menelan, membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat
tanpa bantuan alat-alat. Terdapat dua jenis krisis yang terjadi sebagai
komplikasi dari miastenia gravis (Corwin, 2009), yaitu:
a. Krisis Miastenik
Ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang memuncak
pada gawat napas dan kematian.
b. Krisis Kolinergik
Disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan,
atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi
spontan
19. Perbedaan kedua krisis diantaranya:
Krisis Miastenik Krisis Kolinergik
Meningkatnyatekanan darah
Takikardia
Gelisah
Ketakutan
Meningkatnya sekresi bronkhial,
air mata dan keringat
Kelemahan otot umum
Kehilangan refleks batuk
Kesulitan bernafas, menelan dan
bicara
Penurunan output urine
Menurunnya tekanan darah
Bradikardia
Gelisah
Ketakutan
Meningkatnya sekresi bronkhial,
air mata dan keringat
Kelemahan otot umum
Kesultan bernapas, menelan dan
bicara
Mual, muntah
Diare
Kram abdomen
20. Menurut Corwin (2009), penatalaksanaan pada pasien
dengan miastenia gravis adalah:
Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk
menghemat energi.
Timektomi (pengangkatan timus melalui pembedahan).
Perawatan pasca operasi dan pengontrolan jalan napas.
Krisis miastenik dapat diatasi dengan obat tambahan
dan bantuan pernapasan jika perlu
Krisis kolinergik diatasi dengan atropin (penyekat
asetilkolin) dan bantuan pernapasan, sampai gejala
hilang
21. Plasmaferesis (dialisis darah dengan pengeluaran
antibodi IgG).
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8
kali dengan dosis 50 ml/kg BB
Terapi farmakologi
a. Antikolinesterase, memperpanjang waktu paruh
asetilkolin pada neuromuskular
b. Steroid (prednisolon sekali sehari secara selang-
seling atau alternate days)
c. Azatioprin merupakan obat imunosupresif
d. Obat anti-inflamasi untuk membatasi serangan
autoimun
22. 1. Pencegahan Primer
Bentuk pencegahan yang dilakukan pada saat
individu belum menderita sakit
Bentuk upaya yang dilakukan yaitu dengan cara
promosi kesehatan atau penyuluhan
Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam
melakukan pekerjaan dan menjaga kondisi untuk
tidak stres.
23. LANJUTAN...
2. Pencegahan Sekunder
Ditujukan pada individu yang sudah mulai sakit
dan menunjukkan adanya tanda dan gejala
Dilakukan dengan pengobatan antara lain dengan
mempengaruhi proses imunologik pada tubuh
individu, yang bisa dilaksanakan dengan;
Timektomi, Kortikosteroid, Imunosupresif yang
biasanya menggunakan Azathioprine.
24. LANJUTAN....
3. Pencegahan Tersier (Rehabilitasi)
Mengusahakan agar penyakit yang di derita tidak
menjadi hambatan bagi individu serta tidak terjadi
komplikasi pada individu
Mencegah untuk tidak terjadinya penyakit infeksi pada
pernafasan
Istirahat yang cukup
Pemberian kacamata khusus yang dilengkapi dengan
pengait kelopak mata
Mengontrol pasien Miastenia gravis untuk tidak minum
obat-obatan tikolinesterase secara berlebihan
26. PENGKAJIAN
Identitas klien yang meliputi nama, alamat, umur, jenis
kelamin,dan status
Keluhan utama : kelemahan otot
Riwayat kesehatan : diagnosa miastenia gravis didasarkan
pada riwayat dan presentasi klinis. Riwayat kelemahan otot
setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial setelah
istirahat sangatlah menunjukkan miastenia gravis, pasien
mungkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan
fisik yang sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak mata
pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti
tentang kelemahan otot.
27. PEMERIKSAAN FISIK
B1 (Breating)
Inspeksi : adanya penurunan batuk efektif, produksi
sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan
peningkatan frekuensi pernafasan.
Auskultasi : bunyi nafas tambahan seperti ronchi atau
stridor
B2 (Blood)
untuk memantau perkembangan status kardiovaskular,
terutama denyut nadi dan tekanan darah yang secara
progresif akan berubah.
28. B3 (Brain)
Kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi
ocular, jatuhnya kelopak mata atau dislopia intermien,
bicara klien mungkin disatrik.
B4 (Bladder)
Adanya penurunan fungsi, retensi urine, hilangnya
sensasi saat berkemih.
B5 (Bowel)
adanya kesulitan menelan-mengunyah, disfagia,
kelemahan otot diafragma dan peristaltic usus turun.
B6 (Bone)
adanya gangguan aktifitas atau mobilitas fisik,
kelemahan otot yang berlebihan.
29. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Laboratorium
Anti-acetylcholine receptor antibody
Anti-striated muscle
Interleukin-2 receptor
Imaging
X-ray thoraks
Foto polos posisi AP dan Lateral dapat
mengidentifikasi timoma sebagai massa mediatinum
anterior
CT scan thoraks
Identifikasi timoma
MRI otak dan orbita
30. PEMERIKSAAN KLINIS
Menatap tanpa kedip pada suatu benda yg terletak
diatas bidang kedua mata selama 30 detik, akan terjadi
ptosis
Melirik ke samping terus menerus akan terjadi diplopia
Menghitung atau membaca keras-keras selama 3 menit
akan terjadi kelemahan pita suara hilang
Tes untuk otot leher dengan mengangkat kepala selama
1 menit dalam posisi berbaring
Tes exercise untuk otot ekstremitas, dengan
mempertahankan posisi saat mengangkat kaki dengan
sudut 45° pd posisi tidur telentang 3 menit, atau
duduk-berdiri 20-30 kali.
32. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Ketidakefektifan pola nafas yang
berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan
Gangguan persepsi sensori berhubungan
dengan ptosis,dipoblia
Resiko tinggi cedera berhubungan dengan
fungsi indra penglihatan tidak optimal
33. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Gangguan aktivitas hidup sehari-hari yang
berhubungan dengan kelemahan fisik umum,
keletihan
Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan
disfonia,gangguan pengucapan kata, gangguan
neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot fasial
atau oral
Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis,
ketidakmampuan komunikasi verbal
34. INTERVENSI
Ketidakefektifanpola nafas yang berhubungan
dengan kelemahan otot pernafasan
Tujuan
Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi
pola pernapasan klien kembali efektif
Kriteria hasil :
Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam
batas normal
Bunyi nafas terdengar jelas
Respirator terpasang dengan optimal
35. LANJUTAN....
Rencana Tindakan
1. Kaji Kemampuan ventilasi
2. Kaji kualitas, frekuensi,dan kedalaman
pernapasan,laporkan setiap perubahan yang terjadi.
3. Baringkan klien dalam posisi yang nyaman dalam
posisi duduk
4. Observasi tanda-tanda vital (nadi,RR)
36. Gangguan persepsi sensori b.d ptosis,dipoblia
Tujuan
Meningkatnya persepsi sensorik secara optimal.
Kriteria hasil :
Adanya perubahan kemampuan yang nyata
Tidak terjadi disorientasi waktu, tempat, orang
Rencana Tindakan
Tentukan kondisi patologis klien
Kaji gangguan penglihatan terhadap perubahan
persepsi
Latih klien untuk melihat suatu obyek dengan telaten
dan seksama
Observasi respon perilaku klien, seperti menangis,
bahagia, bermusuhan, halusinasi setiap saat.
Berbicaralah dengan klien secara tenang dan gunakan
kalimat-kalimat pendek.
37. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan fungsi
indra penglihatan yang tidak optimal
Tujuan
Menyatakan pemahaman terhadap faktor yang terlibat
dalam kemungkinan cedera.
Kriteria hasil :
Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk
menurunkan faktor resiko dan melindungi diri dari
cedera.
Mengubah lingkungan sesuai dengan indikasi untuk
meningkatkan keamanan
Rencana Tindakan
Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas
Atur cara beraktivitas klien sesuai kemampuan
Evaluasi Kemampuan aktivitas motorik
38. IMPLEMENTASI EVALUASI
Tahap ini
merupakan pengelolaan,
perwujudan, serta bentuk
tindakan nyata dari
rencana keperawatan
yang telah disusun pada
tahap intervensi.
• Keefektifan fungsi
pernapasan.
• Batuk secara optimal
bisa dilakukan.
• Fungsi komunikasi
sudah adekuat
ditunjukkan dengan
penggunaan baik dengan
bahasa isyarat maupun
verbal secara optimal.