Dokumen tersebut membahas tentang berbagai isu seputar radikalisme, termasuk definisi radikalisme, faktor-faktor penyebab munculnya radikalisme, dan karakteristik gerakan radikalisme keagamaan."
1. 2
BERBAGAI ISU SEPUTAR RADIKALISME
Disusun Oleh: Erta Mahyudin
NIM: 3.216.2.2.007
A. PENDAHULUAN
Di awal Abad 21 ini, dapat dikatakan persoalan radikalisme menjadi topik
yang paling banyak dibicarakan. Pasca-gegap gempita yang terjadi pada akhir
1980-an, ketika Uni Soviet menarik diri dari Afghanistan, dunia internasional
dikejutkan kembali oleh kenyataan munculnya serangkaian aksi-aksi kekerasan
teroristik, yang diduga kuat melibatkan kelompok-kelompok Islam radikal.
Serangan terhadap Amerika Serikat (AS), WTC dan markas Departemen
Pertahanan Amerika (Pentagon), 11 September 2001 seolah menjadi titik mula
dari serangkaian aksi teror lainnya yang menjalar di beberapa tempat belahan
dunia.
Di Indonesia, agama selalu menjadi tema yang tidak habis-habisnya
dibicarakan. Fenomena agama memang selalu menyimpan sisi-sisi yang sarat
dengan pro-kontra. sedemikian kompleksnya fenomena agama ini, sederetan
ilmuan dengan berbagai pendekatan belum mampu menyelesaikan persoalan
agama secara tuntas.
Di sisi lain, Indonesia sering dijadikan contoh bagi proyek kerukunan yang
berhasil diterapkan dalam suatu bangsa yang diapresiasikan melalui satu agama
terbesar (Islam). Indonesia menjadi model kehidupan pluralisme yang ideal dan
perlu ditiru. Ada banyak contoh seperti hidup saling berdampingan secara
harmonis dan bekerja sama dalam segala hal selama puluhan tahun lamanya
terutama antara Islam dan Kristen. Kedua agama itu sudah tidak menganggap
perbedaan keyakinan sebagai penghalang, sementara di tempat-tempat lain agama
telah memecah belah masyarakat dan menghancurkan bangsa. Apa yang
berlangsung di Palestina, Kashmir, Kosovo dan tempat-tempat lain dapat
dijadikan bukti. Di Indonesia misalnya, jalinan kerukunan yang melegenda mulai
terurai pada tahun 1998 di mana Indonesia mulai diguncang berbagai konflik
dan kekerasan agama yang sebelumnya tidak pernah muncul. Berbagai
radikalisme yang terjadi telah mencoreng citra kehidupan beragama di mata dunia
Internasional karena sebelumnya Indonesia dianggap sebagai benteng kerukunan
dan pluralisme.
Modernisasi yang ditandai dengan reformasi dalam berbagai bidang telah
memberikan ruang keterbukaan dan kebebasan. Kebebasan itu terlihat pada
beberapa aspek kehidupan sosial. Dalam masyarakat Indonesia khususnya, telah
muncul berbagai gerakan Islam yang cukup radikal. Gerakan ini disebut radikal
karena para pengikutnya terkadang melakukan aksi-aksi yang tergolong sangat
kasar karena mereka menghancurkan segala hal yang dianggap tidak sesuai
dengan norma dan ajaran yang mereka yakini. Para pengikut gerakan ini melihat
bahwa dalam kehidupan nyata di masyarakat telah terjadi jurang yang begitu
dalam antara harapan seperti yang dikonsepsikan oleh agama dengan kenyataan
yang ada. Sementara itu, upaya untuk merealisir apa yang diidealkan agama
2. 3
tersebut tidak bisa tercapai tanpa memakai kekuatan karena elemen pendukung
baik kultural maupun struktural dianggap tidak kondusif untuk merealisasikan
harapan mereka.
B. PEMBAHASAN
1. Makna Radikalisme
Radikalisme merupakan salah satu dari sekian istilah dan konsep di dalam
ilmu sosial yang penuh kontroversi dan perdebatan. Hal ini tidak lepas dari fakta
bahwa upaya untuk mendefinisikan radikalisme tidak dapat dilepaskan dari
berbagai kepentingan, termasuk kepentingan ideologi dan politik.
Perlu dibedakan antara radikal, radikalisme dan radikalisasi. Perkataan
radikal berasal dari bahasa Latin “radix” yang artinya akar, dan dalam bahasa
Inggris kata radical dapat bermakna ekstrim, menyeluruh, fanatik, revolusioner,
ultra dan fundamental. Makna kata tersebut, dapat diperluas kembali, berarti
pegangan yang kuat, keyakinan, pencipta perdamaian dan ketenteraman, dan
makna-makna lainnya. Kata ini dapat dikembangkan menjadi kata radikal, bentuk
adjektifa. Orang yang berpikir radikal pasti memiliki pemahaman yang detail dan
mendalam, layaknya akar tadi, serta keteguhan dalam mempertahankan
kepercayaannya. Setelah itu, penambahan sufiks –isme sendiri memberikan
makna tentang pandangan hidup (paradigma), sebuah faham, dan keyakinan atau
ajaran. Radikalisme adalah faham yang menginginkan perubahan total terhadap
suatu kondisi atau semua aspek kehidupan masyarakat.1
Sedangkan yang
dimaksud dengan radikalisasi adalah seseorang yang tumbuh menjadi reaktif
ketika terjadi ketidakadilan dimasyarakat.2
Lalu radikalisme keberagamaan didefinisikan sebagai implementasi faham
dan nilai ajaran agama dengan cara yang radikal, keras, fanatik, dan ekstrim.
Dalam pengertian ini maka makna radikalisme keberagamaan tidak selalu ditandai
dengan aksi kekerasan yang bersifat anarkhis atau teroris. Dalam realita memang
dapat ditemui bahwa sebagian kelompok gerakan radikal keagamaan hanya
terbatas pada pemikiran dan ideologi saja, dan tidak menggunakan cara-cara
kekerasan dalam melaksanakan faham ajarannya, tetapi kelompok radikal lainnya
menghalalkan cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan faham
keagamaannya.
Dilihat dari sudut tipologi gerakan sosial, gerakan radikalisme
keberagamaan, dapat dikategorikan sebagai transformative movements (gerakan
yang bersifat merubah secara total), yakni gerakan keagamaan yang ingin
merubah tatatan sosial secara radikal. Pada umumnya gerakan keagamaan radikal
masuk dalam tipologi ini, terutama karena gerakan keagamaan tersebut ingin
merubah tatanan atau sistem sosial yang sedang berlaku, dan berkeinginan untuk
mengganti dengan tatanan sosial yang sesuai dengan ideologi gerakan radikal
1
Husein Muhammad, Jihad dan Respon Islam Terhadap Radikalisme, www.suaraislam.co.
April 30, 2017, hlm. 1.
2
Pendapat KH. Hasyim Muzadi yang dikutip oleh Abu Rohmad, Radikalisme Islam dan
Upaya Deradikalisesi Paham Radikal, Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Volume
20, Nomor 1, 2012, hlm. 82.
3. 4
tersebut.3
Sedangkan gerakan-gerakan keagamaan yang umum, dapat masuk
dalam tipologi gerakan sosial lain, seperti redemptive movements (gerakan yang
bersifat penyelamatan), reformative movements (gerakan yang bersifat
pembaharuan) dan alternative movements (gerakan yang bersifat merubah secara
parsial).4
Istilah radikalisme atau fundamentalisme Islam sendiri sesungguhnya
merupakan istilah yang bersifat polemis.5
Dalam konteks ini Azyumardi Azra
menjelaskan bahwa radikalisme/fundamentalisme Islam dapat dikatakan
merupakan bentuk ekstrem dari gejala “revivalisme”. Jika revivalisme merupakan
intensifikasi keislaman yang lebih berorientasi ke dalam (inward oriented) dan
karenanya bersifat individual, maka fundamentalisme merupakan intensifikasi
keislaman yang juga diarahkan keluar (outward oriented), di samping juga ke
dalam.6
Namun demikian, dalam perkembangannya pemahaman terhadap
radikalisme itu sendiri mengalami pemelencengan makna, karena minimnya sudut
pandang yang digunakan, masyarakat umum hanya menyoroti apa yang
kelompok-kelompok radikal lakukan (dalam hal ini praktek kekerasan), dan tidak
pernah berusaha mencari apa yang sebenarnya mereka cari (perbaikan). Hal
serupapun dilakukan oleh pihak pemerintah, hingga praktis pendiskriminasian
terhadap paham yang satu ini tak dapat dielakkan.
Sebagai sebuah konsep yang bersifat global, radikalisme keagamaan
memiliki karakteristik: (1) cenderung menafsirkan teks-teks kitab suci secara rigid
(kaku) dan literalis (tekstual); (2) cenderung memonopoli kebenaran atas tafsir
kitab suci/agama, dan bahkan menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas
dalam penafsiran agama yang paling absah, sehingga menganggap penafsir kitab
orang atau kelompok lain yang tidak sealiran adalah sesat dan halal untuk
dimusuhi. (3) memiliki pandangan yang apriori terhadap ideologi dan budaya
Barat. Dalam kaitan ini dunia Barat dipandang sebagai musuh bebuyutan,
imperialis yang selalu mengancam akidah dan eksistensi umat Islam; (4)
menyatakan perang terhadap paham dan tindakan sekular; dan (5) cenderung dan
tidak segan-segan menggunakan cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan
nilai-nilai yang diyakininya, khususnya dalam berhadapan dengan modernitas
dan sekularitas yang dinilainya menyimpang dan merusak keimanan.
Dengan melihat karakteristik tersebut, maka image radikalisme bagi
masyarakat dan penguasa umumnya bersifat negatif pejorative meski dalam
3
Seorang Mantan Ketua umum Dewan Masjid Indonesia, Dr. dr. KH. Tarmidzi Taher
pernah memberikan komentar yang bemakna positif tentang radikalisme, menurutnya radikalisme
memiliki makna tajdid (pembaharuan) dan islah (perbaikan), suatu spirit perubahan menuju
kebaikan. Hingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara para pemikir radikal sebagai seorang
pendukung reformasi jangka panjang.
4
Antony Giddens, Sociology, (Cambridge: Polity Press, 1989), hlm.625.
5
Padanan istilah ini dalam konteks bahasa Arab adalah harakah islamiyah, muta‟asysyibîn
(kelompok fanatik) atau mutatharrifîn (kelompok ekstrim/radikalis). Dalam R. Hrair Dekmejian,
Islam and Revolution: Fundamentalism in The Arab World (Syracus: Syracus University press,
1985), hlm. 4.
6
Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999), hlm. 46-47.
4. 5
perkembangannya gerakan radikal dapat berubah menjadi positif, terutama apabila
dalam skala tertentu perubahan yang diinginkannya dapat terwujud. Dengan
image itu, gerakan radikalisme apapun dasar ideologinya bagi penguasa kurang
diterima sepenuh hati.
2. Faktor Penyebab Lahirnya Radikalisme
Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul
begitu saja tetapi memiliki latar belakang yang sekaligus menjadi faktor
pendorong munculnya gerakan radikalisme. Diantara faktor-faktor itu adalah :
a. Faktor internal.
1) Emosi keagamaan yang berdasarkan interpretasi ajaran agama. Dalam hal
ini, jika gerakan radikalisme berbasis pada interpretasi ajaran agama maka
jalan yang perlu ditempuh untuk meminimalisir gerakan radikalisme agama
(khususnya Islam) harus mulai dengan rekontruksi terhadap pemahaman
agama, dari yang bersifar simbolik-normatif menuju pemahaman yang etik,
substansial dan universal.
2) Sentimen keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan
untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan tertentu. Hal ini terjadi pada
peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh negara Israel terhadap palestina,
kejadian ini memicu adanya sikap radikal di kalangan umat islam terhadap
Israel, yani menginginkan agar negara Israel diisolasi agar tidak dapat
beroperasi dalam hal ekspor impor.
3) Mengalami frustasi yang mendalam karena belum mampu mewujudkan cita-
cita berdirinya ”negara islam internasional” sehingga pelampiasannya
dengan cara anarkis; mengebom fasilitas publik dan terorisme.
b. Faktor eksternal.
1) Aspek ekonomi-politik, kekuasaan depostik pemerintah yang menyeleweng
dari nilai-nilai fundamental islam. Itu artinya, rejim di negara-negara islam
gagal menjalankan nilai-nilai idealistik islam. Pengembalian hak-hak politik
umat Islam yang selama ini di”penjara” oleh Barat, seperti dihentikannya
perang media atas Islam yang menjadikan umat Islam terpojok oleh
propaganda media Barat, pengembalian wilayah teritori milik komunitas
umat Islam yang “dijajah” Barat atau sekutu-sekutunya, dihentikannya
penjajahan dan dominasi ekonomi, kultur maupun militer yang dilakukan
oleh barat atas negeri-negeri muslim yang dianggap militan. Pengembalian
hak-hak muslim merupakan syarat utama dalam meminimalisisr gerakan
radikalisme. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra bahwa
memburuknya posisi negara-negara muslim dalam konflik utara-selatan
menjadi penopong utama munculnya radikalisme.7
2) Faktor budaya, faktor ini menekankan pada budaya barat yang mendominasi
kehidupan saat ini, budaya sekularisme yang dianggap sebagai musuh besar
yang harus dihilangkan dari bumi. faktor kultural ini juga memiliki andil
7
Azyumardi Azra, Pergolakan politik Islam, Dari Fundamentalis, Modernisme Hingga
Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 18.
5. 6
yang cukup besar yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Hal ini
wajar karena memang secara kultural, sebagaimana diungkapkan Musa
Asy’ari bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan usaha untuk
melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu yang
dianggap tidak sesuai.8
Sedangkan yang dimaksud faktor kultural di sini
adalah sebagai anti tesa terhadap budaya sekularisme.
3) Faktor sosial politik, pemerintah yang kurang tegas dalam mengendalikan
masalah teroris ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu faktor masih
maraknya radikalisme di kalangan umat islam.9
4) Faktor ideologis anti westernisme. Westernisme merupakan suatu pemikiran
yang membahayakan muslim dalam mengaplikasikan syari’at Islam.
Sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan demi penegakan syari’at
Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa disalahkan
dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh
kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam
memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.
5) Faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan pemerintahn di negara-
negara Islam untuk bertindak memperbaiki situasi atas berkembangnya
frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam disebabkan dominasi ideologi,
militer maupun ekonomi dari negera-negara besar. Dalam hal ini elit-elit
pemerintah di negeri-negeri muslim belum atau kurang dapat mencari akar
yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga
tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat.10
6) Faktor media massa (pers) Barat yang selalu memojokkan umat Islam juga
menjadi faktor munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh
umat Islam. Propaganda-propaganda lewat pers memang memiliki kekuatan
dahsyat dan sangat sulit untuk ditangkis sehingga sebagian “ekstrim” yaitu
perilaku radikal sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada komunitas
muslim11
3. Radikalisme dan Fundamentalisme
Istilah radikalisme oleh sebagian orang juga sering disamakan dengan
faham fundamentalisme, yakni suatu faham yang pada mulanya lebih dilekatkan
pada sebuah gerakan teologi dalam Agama Kristen di Barat, yang nampak
8
Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-qur‟an, (LESFI, Yogyakarta,
1992), hlm. 95.
9
Sumanto Alqurtuby, Jihad Melawan Ekstremisme Agama, Membangkitkan Islam
Progresif, (Semarang: Borobudur Indonesia Publishing), hlm. 47.
10
Hal yang demikian diungkapkan oleh Mahathir Muhammad dalam sambutannya pada
acara pertemuan negara-negara OKI di Kuala Lumpuir Malaysia tanggal 1 – 3 April 2002. Lihat,
SOLO POS, Edisi Selasa 2 April 2002, hlm. 4.
11
Kelompok Radikal Dalam Kristen. telegraph.co.uk. Bila ada yang menganggap
kelompok radikal tak pernah ada dalam tubuh Kristen, maka anggapan itu salah. Sebab nyatanya
ada pembantaian umat Muslim yang pernah dilakukan oleh kelompok radikal Kristen di Republik
Afrika Tengah (Center Africa Republic) pada 2014 silam. Namun sayangnya, minimnya
pemberitaan terkait peristiwa tersebut tak membuat kelompok radikal Kristen itu mendapatkan
sorotan dunia.
6. 7
menguat pada perempat abad 20. Inti faham kelompok fundamentalisme ini
adalah bahwa semua yang tertulis dalam kitab Bible itu benar dan tidak pernah
salah, dan wajib dipahami secara tekstual, literer, apa adanya dan tidak perlu
ditafsirkan. Dalam perkembangan lebih lanjut, terutama karena adanya kemajuan
di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, faham fundamentalisme agama ini
kemudian berkembang kearah nuansa yang lebih politis (menjadi
fundamentalisme politik), terutama ketika para penganut agama Kristen
berkepentingan untuk memperjuangkan posisi mereka pada sektor publik, seperti
penolakannya terhadap teori Darwin dan teori evolusi kejadian alam yang
dikembangka dalam dunia pendidikan. 12
Di antara intelektual yang menggunakan kedua istilah tersebut secara
bergantian dengan maksud yang sama antara lain Azyumardi Azra.13
Sementara
banyak juga orientalis tidak sepakat dengan penggunaan istilah fundamentalisme
terhadap fenomena radikalisme Islam, bahkan penggunaannya dinilai problematis
karena istilah tersebut (fundamentalisme) sangat problematis.14
M. Abid al-Jabiri menganggap bahwa terminologi fundamentalisme Islam
atau Muslim fundamentalis pada awalnya dicetuskan sebagai signifier bagi
gerakan Salafiyyah Jamal al-Din al-Afghani. Menurut al-Jabiri, terminologi ini
dicetuskan karena bahasa Eropa tidak memiliki padanan istilah yang tepat untuk
menterjemahkan istilah Salafiyyah.15
Sebagai istilah, salafi dimanfaatkan oleh
setiap gerakan yang ingin mengklaim bahwa gerakan itu berakar pada autentisitas
Islam.
Memahami fenomena fundamentalisme Islam tidak akan bisa perfect tanpa
memahami ideologi dan tema-tema umum fundamentalisme itu sendiri. Menurut
Bassam Tibi, fundamentalisme, apapun garis perjuangannya, bukanlah merupakan
ekspresi dari kebangkitan agama, tetapi lebih merefleksikan ideologi yang berasal
dari agama untuk memperbaiki dunia, sehingga jelas-jelas bertujuan politik.16
Menjejak konsepsi Tibi tersebut, maka menjadi wajar jika kemudian mudah
dipahami bahwa gagasan besar kaum fundamentalis adalah nizam, yakni tujuan
mereka adalah islamisasi tatanan politik, yang serupa dengan penggulingan rezim-
rezim yang ada, dengan implikasi dewesternisasi. Sehingga, setiap tema dalam
ideologi fundamentalisme selalu berhubungan dengan sepasang dikotomi: tatanan
Tuhan vs tatanan sekuler, nizam Islami vs negara-bangsa sekuler, shura vs hukum
12
Lionel Caplan, Studies in Religious Fundamentalism (Albany: State University of New
York Press, 1987), hlm. 76.
13
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga
Post-modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 108-110.
14
William E. Shepard, “Islam and Ideology: Toward a Typology” dalam Syafiq A. Mughni,
ed. An Anthology of Contemporary Middle Eastern History (Montreal: McGill-CIDA, t.t.), hlm.
416-419.
15
M. Abid al-Jabiri, Dharurah al-Bahts an Niqath al-Iltiqa li Muwajahah al-Mashir al-
Mustyarak, dalam Hassan Hanafi & M. Abid al-Jabiri, Hiwar al-Masyriq wa al-Maghrib (Beirut:
Muassasah al-Arabiyyah, 1990), hlm. 32-34.
16
Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme: Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia
Baru (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 241.
7. 8
positif atau legislasi manusia,dan yang terpenting, hakimiyyat Allah vs
pemerintahan rakyat.17
Istilah radikalisme untuk menyebut kelompok garis keras dipandang lebih
tepat ketimbang fundamentalisme karena fundamentalisme sendiri memiliki
makna yang interpretable.18
Dalam tradisi pemikiran teologi keagamaan,
fundamentalisme merupakan gerakan untuk mengembalikan seluruh perilaku
dalam tatanan kehidupan umat Islam kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits.19
Sebutan
fundamentalis memang terkadang bermaksud untuk menunjuk kelompok
pengembali (revivalis) Islam.20
Tetapi terkadang istilah fundamentalis juga
ditujukan untuk menyebut gerakan radikalisme Islam.
Pengertian fundamentalisme dapat memiliki arti-arti lain yang terkadang
mengaburkan makna yang dimaksudkan, sedangkan istilah radikalisme dipandang
lebih jelas makna yang ditunjuknya yaitu gerakan yang menggunakan kekerasan
untuk mencapai target politik yang ditopang oleh sentiment atau emosi
keagamaan. Sebutan untuk memberikan label bagi gerakan radikalisme bagi
kelompok Islam garis keras juga bermacam-macam seperti ekstrim kanan,
fundamentalis, militant, konservatif, khawarij abad ke dua puluh satu atau neo-
khawarij karena memang jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan adalah
dengan menggunakan kekerasan sebagaimana dilakukan khawarij pada masa
pasca tahkim.
4. Radikalimse dan Terorisme
Potensi berpikir, bersikap dan bertindak radikal, berideologi radikal
(radikalisme) dan tumbuh reaktif menjadi radikal (radikalisasi) adalah modal awal
seseorang menjadi pelaku teror (teroris) atau orang yang berpaham teror
(terorisme). Tidak ada teror tanpa radikalisme. Sebaliknya penganut radikalisme
belum tentu menyukai jalan kekerasan (teror).21
Dari perspektif bahasa, sebenarnya radikal jauh berbeda dengan teroris.
Sebab, radikal adalah proses secara sungguh-sungguh untuk melatih keberhasilan
Atau cita-cita yang dilakukan dengan cara-cara yang positif. Sementara itu,
terorisme berasal dari kata teror yang bermakna menakut-nakuti pihak lain. Oleh
17
Bassam Tibi, Ibid., hlm. 240.
18
Dalam perspektif barat fundamentalisme berarti faham orang-orang kaku ekstrim serta
tidak segan-segan berperilaku dengan kekerasan dalam mempertahankan ideologinya. Sementara
dalam perspektif Islam, fundamentalisme berarti tadjid berdasarkan pesan moral Al-Qur’an dan
as-Sunnah. Lihat Muhammad Imarah, Fundamentalisme Dalam Perspektif Barat dan Islam,
Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm.22.
19
William Montgmery Watt, Islamic Fundamentalism And Nodernity, (London: T.J. Press
Ltd, 1998), hlm.2. Fundamentalisme juga berarti anti-pembaratan (westernisme). Lihat Fazlur
rahman, Islam And Modernity, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hlm.136.
Terkadang fundamentalisme diartikan sebagai radikalisme dan terrorisme disebabkan gerakan
fundamentalisme memiliki implikasi politik yang membahayakan negara-negara industri di Barat.
Lihat Kuntowijoyo, Identitas politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 49.
20
H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Moderen Dalam Islam, Terjemahan Machnun Husein,
(Jakarta: Rajawali Press, 1990), hlm. 52.
21
Abu Rokhmad, Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal,
(Semarang: Unversitas Diponegoro, 2012), hlm. 82-83.
8. 9
sebab itu, teror selalu dilakukan dengan cara-cara negatif dan menakutkan pihak
lain. Seiring dengan dinamika dan pola gerakan kelompok-kelompok di
masyarakat, akhirnya antara radikal dan teror menjadi satu makna, yaitu radikal
merupakan embrio dari gerakan teror. Jika memiliki pola pikir radikal, maka
berpeluang besar untuk melahirkan aksi teror. Banyak peristiwa di Indonesia
dimana terorisme dan radikal menjadi satu sehingga masyarakat umum tidak usah
repot-repot membedakan antara radikalisme dan terorisme.22
Radikalisme dapat mengerahkan kepada bentuk teror, sehingga dikenal
sebagai teroris. Terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan
peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya
terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat.
Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik, dan
digolongkan sebagai kejahatan luar biasa yang tidak membeda-bedakan sasaran.
Terorisme sifaatnya merusak (ifsad) dan anarkhis (faudha). Tujuannya untuk
menciptakan rasa takut dan menghancurkan pihak lain yang dilakukan tanpa
aturan dan sasaran tanpa batas.
Beberapa waktu setelah terjadinya peristiwa pengeboman di dua gedung
kembar di New York, Organisasi Konferensi Islam (OKI) mengadakan
pertemuan di Kuala Lumpur, Malaysia. Di antara bahasan penting yang menjadi
perbincangan hangat adalah mengenai masalah terorisme. Meskipun OKI
merupakan negara-negara Islam, yang berarti terdapat benang merah yang
mengikat mereka, OKI gagal melakukan pendefinisian mengenai terorisme. Di
samping karena pendefinisian itu tidak lepas dari bias-bias kepentingan politik
dan ideologi, sebagian peserta menolak melakukan pendefinisian karena masalah
ini sudah menjadi masalah besar dari komunitas internasional, bukan hanya
masalah dari OKI. Selain itu, keengganan ini tidak lepas dari fakta bahwa aksi-
aksi terorisme yang mengemuka di dalam tahun-tahun terakhir ini melibatkan
orang Islam.
Menurut Kacung Marijan,23
kata teror disebutkan dengan istilah system,
regime de terreur yang kali pertama muncul pada tahun 1789 di dalam The
Dictionnaire of The Academic Francaise. Konteks revolusi Prancis lekat di dalam
penggunaan istilah itu. Karena itu, istilah terorisme pada waktu itu memiliki
konotasi positif, yakni aksi-aksi yang dilakukan untuk menggulingkan penguasa
yang lalim dan aksi-aksi itu berhasil dilakukan. Namun, praktik-praktik terorisme
sudah lama terjadi sejak sekitar 66 - 67 sebelum Masehi, ketika kelompok ekstrem
Yahudi melakukan aksi teror, termasuk di dalamnya pembunuhan, terhadap
bangsa Romawi yang melakukan pendudukan di wilayahnya (kira-kira di wilayah
yang dipersengketakan oleh Israel dan Palestina sekarang). Sejak saat itu, aksi-
aksi terorisme di berbagai belahan dunia, yang melibatkan beragam etnik dan
agama terus terjadi.24
22
M. Saekan Muchith, Radikalisme dalam Dunia Pendidikan, ADDIN, Vol. 10, No. 1,
Februari 2016, hlm. 171.
23
Dikutip dari Zulfi Mubarak Zulfi Mubarak, Fenomena Terorisme di Indonesia: Kajian
Aspek Teologi, Ideologi dan Gerakan, SALAM Jurnal Studi Masyarakat Islam, Volume 15
Nomor 2 Desember 2012.
24
Zulfi Mubarak, Fenomena Terorisme di Indonesia: Kajian Aspek Teologi, Ideologi dan
9. 10
Definisi yang digunakan oleh kalangan penguasa cenderung memaknai
istilah terorisme lebih ekstrem, karena mereka secara aktif berkewajiban
memberantas aktifitas terorisme, dan bahkan menjadi korban dari terorisme.
Pemerintah Inggris adalah yang pertama merumuskan definisi resmi yang
membedakan antara tindakan teroris dan kriminal. Pada tahun 1974, definisi itu
menjelaskan bahwa “terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk tujuan politik,
dan termasuk penggunaan kekerasan untuk menjadikan masyarakat dalam
ketakutan.” Pada tahun 1980, CIA (Central Intelligence Agency) mendefinisikan
terorisme sama dengan “ancaman atau penggunaan kekerasan untuk tujuan politik
yang dilakukan oleh individu atau kelompok, atas nama atau menentang
pemerintah yang sah, dengan menakut-takuti masyarakat yang lebih luas daripada
korban langsung teroris”25
Mereka yang terlibat terorisme memiliki pandangan yang berbeda dari para
pengamat yang lain. Sementara pada akhir abad ke-19 banyak pelempar bom dari
kaum anarkis dan sosialis Rusia tidak merasa kecil hati dilabeli sebagai kaum
teroris, namun tidak demikian halnya dengan kaum teroris kontemporer. Mereka
yang disebut terakhir ini sadar akan stigma panggilan teroris dan karena itu
berusaha untuk menghidari label teroris. Pada waktu diselenggarakan konferensi
mengenai terorisme di Leiden pada 1989, sebuah kelompok yang menamakan diri
Revolutionary Commando Marinus van de Lubbe, mengirimkan sepucuk surat
pada surat kabar lokal dengan menyatakan simpatinya kepada masyarakat yang
mereka klaim sebagai tertindas seperti: Palestina, Irlandia, Amerika Tengah, dan
Kurdistan. Mereka mengatakan bahwa yang dinamakan terorisme sebenarnya
merupakan perlawanan yang logis dan adil dari rakyat terhadap terorisme
pemerintah, kapitalisme, rasisme, dan imperialisme.” Pemerintah Israel sekarang
memandang para pejuang Palestina sebagai kaum teroris, sebaliknya rakyat
Palestina menyebut diri mereka sebagai pejuang yang membebaskan diri mereka
dari pendudukan teroris negara, Israel.
5. Radikalisme dan Islam
Radikalisme dalam arti gerakan yang menggunakan kekerasan dalam
mengajarkan keyakinan mereka26
dianggap bertentangan dengan Islam sebagai
agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian.27
Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan kekerasan dalam
menyebarkan agama, faham keagamaan serta faham politik. Tetapi memang tidak
bisa dibantah bahwa dalam fenomena historis terdapat kelompok-kelompok Islam
tertentu yang menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan politis atau
mempertahankan faham keagamaannya secara kaku yang dalam bahasa peradaban
global sering disebut kaum radikalisme Islam.
Gerakan, SALAM Jurnal Studi Masyarakat Islam, Volume 15 Nomor 2 Desember 2012.
25
www.twf.org.
26
Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 124.
27
Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban, Mencari Makna Dan Relevansi Doktrin
Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 260.
10. 11
Dalam wacana Islam, banyak orang mengkaitkan ideologi terorisme dengan
doktrin jihad, yang dalam Kristen disamakan dengan perang salib. Ada 35 kali
kata jihad disebutkan dalam al-Qur’an.28
Dalam tradisi Islam, jihad memiliki
makna beragam. Namun, secara garis besar jihad dibagi menjadi dua konsep:
Pertama, konsep moral, diartikan sebagai perjuangan kaum Muslimin melawan
hawa nafsu atau perjuangan melawan diri sendiri (jihad al-nafs), yang disebut
jihad akbar. Kedua, konsep politik, diartikan sebagai konsep “perang yang adil,”
jihad asghar.
Kemudian ulama fiqih membagi Jihad menjadi tiga bentuk, yaitu (1)
berjihad memerangi musuh secara nyata, (2) berjihad melawan setan dan, (3)
berjihad melawan diri sendiri.29
Tujuan dari jihad itu sendiri adalah terlaksananya
syariat Islam dalam arti yang sebenarnya serta tercitanya suasana yang damai dan
tenteram. Tanpa motivasi jihad seperti itu, Islam tidak membenarkan pemeluknya
untuk menyerang musuh-musuhnya.30
Ibnu Qayyim menguraikan bila jihad dilihat dari sudut pelaksanaannya
dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu jihad mutlaq (perang melawan musuh di medan
pertempuran, jihad hujjah (dilakukan dalam berhadapan dengan pemeluk agama
lain dengan mengemukakan argumentasi yang kuat) dan jihad „amm.31
Dalam
berjihad juga dapat dilakukan dengan cara berdakwah seperti yang diajarkan oleh
nabi Muhammad SAW. Para ahli dan pakar ajaran Islam menyebutkan bahwa
dalam Alquran memuat dua terminologi tentang jihad, yaitu (1) jihad fi sabilillah,
sebagai usaha sungguh-sungguh dalam menempuh jalan Allah, termasuk di
dalamnya pengorbanan harta dan nyawa, dan (2) jihad fillah suatu usaha sungguh-
sungguh untuk memperdalam aspek spiritual sehingga terjalin hubungan yang erat
antara Allah dan hamba-Nya.32
Namun dalam perkembangannya, pengertian Jihad sering disalahartikan
oleh para pelaku terorisme, dalam melakukan aksi terornya kerap menggunakan
bom bunuh diri sebagai implementasi dari berjihad. Dalam pemikiran mereka,
Jihad merupakan sebuah kewajiban untuk berperang secara fisik melawan orang-
orang kafir.33
Kemudian dari pengertian tersebut timbul makna menjadi perang
antara Islam dengan Amerika Serikat dan Yahudi, mereka berpandangan bahwa
orang-orang Yahudi dan Kristenlah yang ingin menghancurkan Islam, saat ini
dipresentasikan oleh Israel dan AS. Dalam pandangannya dalam berjihad satu-
28
Kassis, H. E. A, Concordance of the Qur‟an. (Berkeley, CA.: University of California
Press, 1983), hlm. 93.
29
Achmad Fachruddin, Jihad Sang Demonstran. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000),
hlm. 30.
30
Abdul Azis Dahlan (editor). Ensiklopedia Islam. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), hlm. 316.
31
Abdul Azis Dahlan (editor). Ibid. hlm, 32.
32
Alwi Sihab. Islam Insklusif; Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama. (Jakarta: Mizan,
1998), hlm. 282.
33
Petrus R. Golose. Deradikalisasi Terorisme Humanis, Soul Approach dan Menyentuh
Akar Rumput. (Jakarta: YPKIK, 2009), hlm. 37.
11. 12
satunya cara untuk mengimplementasikan Islam adalah dengan cara
menghancurkan AS, Israel dan sekutu-sekutunya.34
Menurut Bonney,35
konsep jihad dalam Islam selalu berubah dan
berkembang sepanjang waktu. Pertama, pada awal Islam ketika batas daerah
kekuasaan Islam belum ada, jihad diartikan sebagai sebuah konsep perang.
Namun arti jihad ini berubah ketika pemerintahan Islam berdiri dan telah
menentukan batas willayah kekuasaannya. Proses selanjutnya, dunia Islam diakui
dan kenyataannya hidup rukun dengan negara tetangga yang bukan Muslim.
Bonney menegaskan bahwa penggunaan konsep jihad masa awal Islam untuk
mendefinisikan arti “perang” dalam era modern Islam merupakan suatu yang
anakronistis, sekaligus merusak reputasi Islam.36
Dalam perspektif hukum Islam, perilaku yang melahirkan paham ekstrim
dengan meluapkannya melalui kekerasan demi mempertahankan ideologinya bisa
dianggap sebagai al-baghyu (pemberontak). Dalam hukum Islam, pemberontak
(al-baghyu) masuk dalam kategori kejahatan (jarimah) yang bisa jadi dikenakan
sanksi pidana mati, al-Baghy (makar) diartikan sebagai akal busuk, tipu muslihat,
perbuatan/usaha dengan maksud hendak menyerang /membunuh orang,
Perbuatan/usaha menjatuhkan pemerintah yang sah.37
6. Propaganda Radikalisme Berkedok Agama
Berdasarkan data Pusat Media Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT) yang tidak dipublikasi, situs dan akun media sosial radikal melakukan
sejumlah upaya untuk melancarkan bentuk propaganda kelompok mereka.
Umunya, upaya propaganda yang mereka bangun selalu menyiratkan bahwa
kelompok mereka merupakan golongan eksklusif dan memiliki pemahaman
sebagai pihak yang paling benar. Sementara pihak lain yang tidak mendukung
aksi mereka, dianggap telah keluar dari jalur agama dan layak disudutkan di
media sosial. Seperti halnya beberapa aksi propaganda kelompok radikal yang
terdeteksi melakukan teknik operasi di dunia maya.
Pertama, mendeskreditkan hingga menghancurkan reputasi para ulama yang
dinilai tidak sejalan dengan pemikiran dan gagasan radikal dengan sejumlah fitnah
dan tuduhan di dunia maya. Seperti halnya salah satu nama ulama besar di
Indonesia yakni Quraish Shihab, Said Aqil Siradj, Mustofa Bisri dan lain-lain
yang merupakan beberapa nama yang masuk dalam daftar pembunuhan karakter
oleh kelompok radikal. Sepertihalnya tuduhan Syiah, liberal, hingga tuduhan
negatif lainnya yang intinya dinilai tidak islami. Padahal secara umum, reputasi
mereka dimata umat Islam secara luas sudah tidak diragukan lagi.
Kedua, sikap saling mengkafirkan kepada kelompok lain (kelompok yang
tidak sejalan dengan kelompok-kelompok radikal). Dari segi pola pikir sejatinya
34
Sarlito W. Sarwono. Terorisme di Indonesia Dalam Tinjauan Psikologi. (Jakarta:
Alvabet, 2012), hlm. 10.
35
Bonney, R. Jihad: From the Qur‟an to Bin Laden. (New York: Palgrave Macmillan,
2004), hlm. 57 .
36
Bonney, R. Op.cit
37
Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Kemendikbud RI, 2017), hlm. 618.
12. 13
sikap seperti itu bukan barang baru didunia Islam. Di masa awal perkembangan
peradaban Islam, sesaat setelah mangkatnya Nabi, muncul sebuah kelompok
radikal atau yang saat ini dikenal sebagai kelompok Khawarij, datang dengan
sebuah gagasan ekstrim perihal agama dan menganggap kelompok-kelompok
diluar mereka sebagai kafir. Bahkan hal yang paling parah, mereka tidak segan-
segan melakukan eksekusi secara lugas dan main hakim sendiri.
Ketiga, tidak hanya umat seagama yang menjadi target kebencian kelompok
khawarij, namun demikian, umat agama lain acapkali dianggap sebagai sumber
malapetaka di muka bumi. Kesesatan umat lain karena tidak mau menyembah
Tuhan yang satu. Permusuhan terhadap agama lain terus dan selalu dikembangkan
oleh kelompok radikal.
Keempat, setelah berhasil membentuk semangat juang dan perlawanan
sasaran berikutnya adalah ajakan melawan pemerintah dan antek-anteknya yang
dianggap zalim. Perlawanan terhadap kezaliman ini mereka kategorikan sebagai
perang suci alias jihad dengan alasan akan mendapatkan surga dikemudian hari.
Pemerintah yang dinilai tidak mendukung radikalisme, menurut mereka
merupakan kaum yang harus dimusnahkan dan diganti dengan pemerintahan yang
pro terhadap kekerasan (sejalan dengan mereka).
Kelima, kelompok radikal selalu menurunkan materi tentang ketertindasan
umat islam di dunia. Umat Islam dalam propaganda mereka selalu ditempatkan
sebagai kelompok marjinal dan tertindas. Adapun tujuan memarjinalisasikan
Islam dalam propaganda adalah untuk menumbuhkan semangat juang dan
perlawanan.
Keenam, propaganda juga dilakukan dengan cara merilis gambar, foto,
video, meme, hingga seruan-seruan dalam bentuk rilisan secara umum atau go
public. Materi visual dan audio inilah yang di share atau disebar kebanyak media.
Materi ini pula yang mengandung slogan dan jargon radikalisme. Dengan
tersebarnya audio dan video tersebut, besar harapan dapat menarik respon dan
pandangan masyarakat awam hingga diterima dengan mudah oleh kalangan
masyarakat.
Ketujuh, upaya kampanye sikap permusuhan kepada negara-negara barat
yang dianggap terus melukai dan membantai umat Islam. Barat dalam hal ini
acapkali menjadi sasaran empuk kelompok radikal lantaran rasa dendam sejarah
dimasa lampau yang konon masih membekas. Sikap fobia dan diskriminasi barat
terhadap Islam selalu dibesar-besarkan hingga menciptakan perlawanan dan
membangkitkan rasa ketertindasan umat.
Tak sedikit dari ketujuh fakta diatas dapat kita temui dewasa ini dibeberapa
kelompok yang mendengungkan semangat juang ekstrimis dan radikal. Meskipun
dengan kriteria tersebut kita tidak dapat melabel suatu kelompok secara gamblang,
namun demikian, melalui ketujuh kriteria tersebut, kita selaku masyarakat yang
cerdas harus paham dan pintar dalam bersikap, pintar dalam memfilter, dan pintar
dalam mengadobsi segala macam informasi yang berkembang didunia maya
maupun dunia nyata. Mari lindungi Indonesia dari hagemoni kelompok radikal
dan ekstrimis.
13. 14
7. Radikalisme Bukan Karena Agama
Akhir-akhir ini radikalisme dan terorisme terus mencuat di permukaan bumi
Indonesia. Celakanya, aksi tersebut seringkali dikaitkan dengan agama. Tak
terkecuali Indonesia. Pemahaman keagamaan yang minim musabab maraknya
paham yang menggerakkan kekerasan itu. Gerakan radikalisme sesungguhnya
telah berlangsung sejak lama dan bukan sebuah gerakan yang muncul begitu saja,
akan tetapi memiliki latar belakang yang sekaligus menjadi faktor pendorong.
Radikalisme di kalangan masyarakat bisa muncul karena banyak hal. Salah
satunya adalah karena lemahnya pemahaman agama.38
Penguasaan ilmu agama
yang sempit berpotensi untuk menjadikan seseorang jadi radikal dan menjadi
teroris.39
Umat yang lemah dari segi pemahaman agama biasanya mudah tergiur
dengan bujukan material untuk melakukan hal-hal yang menyimpang dari ajaran
agama. Ditambah lagi bahwa kelompok gerakan radikal yang tertutup enggan
untuk berdialog dan menerima pendapat serta masukan dari penganut faham lain.
Padahal, dengan berdialog akan semakin menambah cakrawala berpikir yang
dengan sendirinya meningkatkan pemahaman terhadap ajaran agama.40
Salah satu benteng dari paham yang menyesatkan itu adalah menghindari
dari pemahaman Islam yang parsial. Lebih dari itu, hal yang paling penting untuk
dilakukan adalah aksi nyata untuk menangkal paham tersebut. Jalan keluar dan
sekaligus upaya ampuh dalam mengatasi aksi-aksi radikal tersebut ialah
penguatan pemahaman agama Islam sebagai rahmatan lil alamin.41
Pemahaman
agama yang baik merupakan benteng mencegah dan menangkal masuknya paham
radikal.42
Islam adalah agama yang memberikan kebaikan bagi alam semesta dan
isinya. Oleh karena itu, Islam hanya menggunakan kekerasan jika memang sudah
tak ada jalan lain lagi. Walaupun demikian, Nabi Muhammad SAW memberikan
batasan-batasan penggunaannya. Nabi Muhammad SAW tidak memperbolehkan
pengrusakan peradaban, seperti dengan larangan membunuh orang-orang tua dan
anak-anak serta wanita yang tidak terlibat dalam peperangan. Pasukan Beliau saat
itu pun juga tidak boleh merusak tanaman, memerangi mereka yang sedang
38
KH Dian Nafi, Pengasuh Pondok Pesantren Windan Surakarta dalam kegiatan Halaqoh
Kebangsaan bagi Mubaligh dan Pengasuh Pondok Pesantren di Ponpes Darul Falah, Jekulo Kudus
Jateng, Selasa (7/7) yang digagas oleh Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jateng
dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
39
Syamsuddin, tokoh Muhammadiyyah Banten, saat menjadi narasumber pada
Mudzakarah Kebangsaan Alim Ulama dan Pimpinan Pondok Pesantren se-Provinsi Banten di
Pondok Pesantren Arrahman, Cidadap, Serang, Kamis (30/11/2017).
http://islamnusantara.com/radikalisme-dan-terorisme-muncul-dari-sempitnya-pemahaman-
keagamaan/
40
Prof Dr Zainal Abidin, Radikalisme disebabkan pemahaman sempit agama, ANTARA,
Senin, 25 Januari 2016
41
Muhammad Arif, Seminar Islam rahmatan lil alamin. UIN Sunan Kalijaga pada tanggal
29 Desember 2017.
42
H.Muh Amin, SH. M.Si Dialog Kebangsaan dengan Tema “Cegah Paham Radikalisme
Upaya Merawat Nkri Dan Nilai Nilai Pancasila Di Kalangan Mahasiswa” di UIN Mataram,
Kamis, 18/5/2017. Sumber Berita: http://www.ntbprov.go.id/berita-pemahaman-agama-benteng-
cekal-radikalisme.html#ixzz53rHD2GTq
14. 15
beribadah di tempat ibadah dan sebagainya. Orang yang menyerah pun tidak
boleh lagi diperangi. Ketika salah seorang panglima beliau membunuh orang yang
sudah menyerah, beliau memberikan ganti rugi kepada keluarga orang-orang yang
dibunuh. Walaupun tindakan kekerasan boleh dilakukan sebagai jalan terakhir,
namun jalan kelembutan tentu jauh lebih diutamakan. 43
Memahami dan menjalankan ajaran agama secara baik dan benar akan
menjadi penangkal yang ampuh terhadap radikalisme. Sebab tidak ada satu agama
pun yang mengajarkan dan membenarkan perbuatan keji seperti terorisme.
Demikian pula nilai-nilai Pancasila yang merupakan dasar negara, sila pertama
adalah nilai tertinggi dari agama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain karena faktor lemahnya pemahaman agama, faktor-faktor lain yang
menyebabkan terjadinya konflik44
, antara lain:
1. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki
pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan
pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat
menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan
sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika
berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap
warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik,
tetapi ada pula yang merasa terhibur.
2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi
yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan
pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada
akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan
yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing
orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-
kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang
berbeda-beda.
4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan
itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat
memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang
mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik
sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya
bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat
industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti
43
Prof M Machasin. Seminar Islam rahmatan lil alamin. UIN Sunan Kalijaga pada tanggal
29 Desember 2017.
44
https://andrie07.wordpress.com/2009/11/25/faktor-penyebab-konflik-dan-strategi-
penyelesaian-konflik/
15. 16
menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis
pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural
yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan
berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang
cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti
jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika
terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses
sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua
bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan
masyarakat yang telah ada.
8. Radikalisme di Indonesia
Secara historis munculnya Islam di Indonesia sangat damai dan toleransi
relevan dengan apa yang diajarkan oleh para wali melalui singkronitas budaya
lokal, bahan saling dapat hidup damai berdampingan dengan umat lain yang hidup
masa itu. Namun sangat disayangkan dengan perkembangan zaman dan tuntutan
stratifikasi sosial di tengah masyarakat Indonesia yang begitu luas, maka
bermunculanlah sekte-sekte, aliran-aliran, dan mazhab-mazhab baru yang
mengatasnamakan Islam berkembang pesat sesuai dengan latar belakang
kebudayaan dan kondisi alam yang eksis di daerah penganutnya.
Lahirnya gerakan radikalisme keberagamaan (Islam) di Indonesia, memiliki
hubungan erat dengan perkembangan gerakan pemikiran Salafiyah di Timur
Tengah. Selanjutnya, pada abad 12 Hijriah, pemikiran Salafiyah ini
dikembangkukuhkan oleh gerakan Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad ibn
’Abd al-Wahhab (Nejd, 17031787). Tujuan dari gerakan Wahabi ini juga ingin
memurnikan ajaran Islam serta mengajak kembali kepada ajaran al-Qur’an dan
Sunnah Nabi SAW, sebagaimana yang diamalkan oleh generasi awal umat Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan Salafiyah tidak hanya menyentuh
dimensi purifikasi credo dan ritual, namun juga mulai menyentuh dimensi
intelektual dan politik.
Di Indonesia ide-ide gerakan pemikiran salafiyah sudah berkembang sejak
era kolonial Belanda. Salah satu gerakan pemikiran Salafiyah awal di Indonesia
adalah di Minangkabau. Gerakan ini mengalami perkembangan seirama dengan
munculnya tokoh-tokoh gerakan pemikiran Salafiyah di Timur Tengah, yang ide
dan gagasannya diserap oleh orang Indonesia yang melakukan haji dan kemudian
bermukim untuk belajar agama Islam. Setelah pulang, mereka secara individu atau
melalui organisasi melakukan gerakan pembaharuan Islam sesuai dengan aliran
Salafiyah.
Pada masanya, kehadiran gerakan Salafiyah banyak menimbulkan
pertentangan. Di mana-mana, termasuk di Indonesia, gerakan Salafiyah banyak
berbenturan dengan kelompok Islam tradisionalis. Demikian juga pada pra dan
awal kemerdekaan Indonesia, benih radikalisme keberagamaan yang berkembang
melalui lembaga-lembaga pendidikan dan dakwah serta sebagian yang lain
berkembang melalui organisasi sosial dan politik, juga menimbulkan pertentangan
pemerintah.
16. 17
Radikalisme agama yang dilakukan oleh gerakan Islam dapat ditelusuri
lebih jauh ke belakang. Gerakan ini telah muncul pada masa kemerdekaan
Indonesia, bahkan dapat dikatakan sebagai akar gerakan Islam garis keras era
reformasi. Gerakan dimaksud adalah DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia) dan Negara Islam Indonesia (NII) yang muncul era 1950- an (tepatnya
1949). Darul Islam atau NII mulanya di Jawa Barat, Aceh dan Makassar. Gerakan
ini disatukan oleh visi dan misi untuk menjadikan syariat sebagai dasar negara
Indonesia. Gerakan DI ini berhenti setelah semua pimpinannya atau terbunuh pada
awal 1960- an. Sungguhpun demikian, bukan berarti gerakan semacam ini lenyap
dari Indonesia. Pada awal tahun 1970-an dan 1980-an gerakan Islam garis keras
muncul kembali, seperti Komando Jihad, Ali Imron, kasus Talangsari oleh
Warsidi dan Teror Warman di Lampung untuk mendirikan negara Islam, dan
semacamnya.
Pada tahap selanjutnya, gerakan itu mengalami transformasi dari Islam
radikal ke Islam jihadis/teroris. Gerakan Islam jihadi/teroris muncul semakin kuat
setelah peristiwa Bom Bali I 2002 yang melibatkan Amrozi, Imam Samudra, dan
Ali Gufron. Pada periode berikutnya muncul pengeboman terhadap kedutaan
Australia (2004), J.W. Marriot (2203 & 2009), Ritz Carlton (2009), Bom Bali II
(2005). Inilah gerakan Islam di Indonesia yang paling kuat setelah peristiwa 11
September 2011 sebagai tragedi terorisme yang paling serius di dunia. Konteks
internasional ini sejatinya juga melibatkan praktik ketidakadilan Amerika
terhadap Palestina yang menggunakan kebijakan politik luar negeri “standar
ganda”. Banyak kelompok-kelompok Islam di hampir penjuru negeri-negeri
Muslim merasakan ketidakadilan Amerika dalam memperlakukan Palestina.
Sedangkan di dalam negeri sendiri, transisi politik sejak 1998 dengan dibukanya
arus kebebasan, telah melahirkan gerakan-gerakan Islam yang mengancam
demokrasi itu sendiri..45
Radikalisme kontemporer di Indonesia muncul dan dipicu oleh persoalan
domistik di samping oleh konstelasi politik Internasional yang dinilai telah
memojokkan kehidupan sosial politik umat Islam. Dalam konteks domistik
misalnya berbagai kemelut telah melanda umat Islam, mulai dari pembantaian
kyai dengan berkedok dukun santet sampai kepada tragedi Poso (25 Desember
1998) dan tragedi Ambon (19 Januari 1999) dimana umat Islam menjadi korban.
Meskipun telah memakan korban, kemelut tersebut tidak segera mendapat
penanganan memadai oleh pemerintahan.46
Alasan dan kenyataan inilah yang menjadi beberapa faktor pendorong
kelompok Islam tertentu melakukan tindakan untuk membantu saudara seagama
mereka. Kerisauan kelompok ini juga disinyalir oleh lambannya pemerintah
dalam menangani ”kemaksiatan” dimana pemerintahan dianggap tidak konsisten
dalam menerapkan perundangundangan yang telah disepakati bersama.
45
Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (EDITOR), Dari Radikalisme Menuju
Terorisme Studi Relasi dan Transformasi Organisasi Islam Radikal di Jawa Tengah & D.I.
Yogyakarta, Setara Institute, Jakarta, Januari 2012. hlm. 12.
46
Afadlal, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI, 2005), hlm. 1.
17. 18
Kerisauan-kerisauan yang ada juga disebabkan oleh ketidakberdayaan
lembaga agama maupun organisasi besar Islam yang mapan seperti Nahdhatul
Ulama (NU), Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), baik dalam
menetralisir ideal-ideal Islam maupun dalam memecahkan masalah yang dihadapi
umat Islam.47
Dengan kata lain, gerakan-gerakan keagamaan yang dianggap
radikal ini muncul sebagai sebuah sikap responsif dari munculnya berbagai aspek
yang berkaitan dengan kehidupan sosial politik suatu negara.
Kondisi ini telah menyebabkan sebagian muslim memberikan reaksi yang
kurang proporsional. Mereka bersikukuh dengan nilai Islam, seraya memberikan
“perlawanan” yang sifatnya anarkhis. Sikap sebagian muslim seperti ini kemudian
diidentifikasi sebagai gerakan radikal. Kemunculan gerakan radikal ini kemudian
menimbulkan wacana radikalisme yang dipahami sebagai aliran Islam garis keras
di Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap sistem
politik dan kondisi sosial yang ada memicu munculnya kelompok-kelompok yang
menghendaki adanya transformasi masyarakat secara total, komplit dan radikal.
Pasca reformasi yang ditandai dengan terbukanya kran demokratisasi telah
menjadi lahan subur tumbuhnya kelompok Islam radikal. Fenomena radikalisme
di kalangan umat Islam seringkali disandarkan dengan paham keagamaan,
sekalipun pencetus radikalisme bisa lahir dari berbagai sumbu, seperti ekonomi,
politik, sosial dan sebagainya.
Berbagai masalah yang melanda bangsa ini seperti korupsi, kemiskinan,
pengangguran, degradasi lingkungan dan sebagainya melahirkan frustasi yang
mendalam di kalangan masyarakat. Sistem pemerintahan yang menganut
demokrasi ternyata belum mampu mensejahterakan rakyat.
Untuk menjawab krisis multidimensi yang terjadi di Indonesia, kelompok
Islam radikal menawarkan sebuah alternatif bahwa Islam adalah satu-satunya
solusi. Para aktivis Islam mempercayai bahwa Islam tidak hanya menyajikan
nilai-nilai moral dan citacita sosial yang akan membimbing suatu bangsa tetapi
juga menyajikan blueprint yang ditail tentang tentang negara Islam yang
sesungguhnya. Para Islamis ini meyakini bahwa penerapan syariat Islam atau
hukum Islam adalah kunci untuk menyelesaikan seluruh permasalahan
masyarakat, baik moral, hukum, sosial dan ekonomi.
Pada awalnya, alasan utama dari radikalisme agama atau gerakan-gerakan
Islam garis keras tersebut adalah dilatarbelakangi oleh politik lokal: dari
ketidakpuasan politik, keterpinggiran politik dan semacamnya. Namun setelah
terbentuknya gerakan tersebut, agama meskipun pada awalnya bukan sebagai
pemicunya, kemudian menjadi faktor legitimasi maupun perekat yang sangat
penting bagi gerakan Islam garis keras. Sungguhpun begitu, radikalisme agama
yang dilakukan oleh sekelompok muslim tidak dapat dijadikan alasan untuk
menjadikan Islam sebagai biang radikalisme.
47
Afadlal, Ibid. hlm. 2.
18. 19
9. Mengeliminir Radikalisme
Radikalisme bisa menimpa siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Tidak
peduli anak anak, remaja, orang dewasa, tidak pandang mereka miskin atau kaya,
tidak pandang mereka kelompok elit ataupun rakyat jelata. Radikalisme lebih
banyak disebabkan oleh adanya faham atau pemikiran yang sempit terhadap suatu
fenomena. Oleh sebab itu radikalisme alan bisa ditelan atau dieliminir bahkan
dihilangkan hatus diawali dati pembinaan atau bimbingan cara pandang atau cara
fikir terhadap suatu fenomena.
Nur Syam dalam buku Tantangan Multikulturalisme Indonesia memiliki
analisis yang cukup menarik bahwa untuk melahirkan cara pandang yang tepat
perlu belajar dari ideologi ahlussumah wal jamaah yang dicirikan dengan empat
hal: 48
Pertama, tawasuth (moderat). Doktrin ini mengajarkan bahwa manusia
memiliki kebebasan untuk melaksanakan suatu aktivitas tetapi sebebas apapun
manusia masih dibatasi oleh kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Artinya dapam
meraih keuksesan, manusia wajib ihtiyar secara optimal tetapi jangan lupa bahwa
Allah swt juga ikut menentukan keberhasilan. Setelah berusaha manusia wajib
berdoa dan pasrah kepada Allah swt.
Kedua, tawazun ( keseimbangan). Doktrin ini mengajarkan bahwa manusia
dalam memandang suatu realitas tidak boleh bersifat ektrem baik ke kiri atupun ke
kanan. Artinya manusia yang baik tidak terlalu berlebihan pada saat senang atau
benci kepada sesuatu. Hal ini didasarkan asumsi bahwa sebaik baik menurut
pandangan manusia belum tentu baik menurut Allah swt, sebaliknya sejelek jelek
dalam pandangan manusia juga belum tentu jelek menurut Allah swt.
Ketiga, i‟tidal (keadilan). Doktrin ini mengajarkan bahwa diantara sesama
manusia harus saling memberikan kepercayaan dan kepercayaan yang dibangun
harus memberikan peran secara proporsional. Dunia akan cepat hancur jika
masing masing elemen tidak memiliki kesadaran untuk melaksanakan peran
masing masing secara proporsional.
Keempat, tatharruf (universalisme). Doktrin ini mengajarkan Setiap
manusia agar lebih mengedepankan pemahaman islam yang bersifat universal
(global). Kebenaran Islam dilihat dari norma norma yang bersifat umum seperti
keadilan, kemanusiaan, keselamatan dan kesejahteraan.
Keputusan keagamaan yang dihasikan para ulama di atas diyakini banyak
pihak memiliki relevansi untuk mengatasi problem politik umat Islam Indonesia
yang tengah berada dalam situasi yang mengkhawatirkan dewasa ini. Ideologi
Aswaja yang menjadi anutan pesantren inilah yang dapat memberikan jawaban
secara telak tuduhan “ekstrimis” atau “teroris” yang dialamatkan kepada
Pesantren dan lebih jauh Islam. Aswaja tafsir pesantren tidak pernah mengenal
penggunaan cara-cara radikal atau cara-cara kekerasan atas nama atau simbol
agama terhadap orang lain meski mereka berbeda aliran keagamaan, bahkan juga
terhadap mereka yang berbeda agamanya. Aswaja juga tidak pernah
menganjurkan pengikutnya untuk memulai perang terhadap orang kafir/non
muslim. Perang dapat dijalankan hanya dalam rangka membela diri dari serangan
48
Nur Syam, Tangangan Multikulturalisme Indonesia, (Yoyakarta: Kanisius, 2009).
19. 20
mereka. Jika ada kemunkaran yang terjadi dalam masyarakat, doktrin Aswaja
mengajarkan “amar ma’ruf nahi munkar”, melalui “hikmah” (ilmu pengetahuan),
mau‟izhah hasanah (nasehat yang santun) dan mujadalah billati hiya ahsan
(berdebat dengan cara yang terbaik).
Cara lain adalah melalui aturan-aturan hukum yang adil dan dilaksanakan
dengan konsekuen. Hukum yang adil adalah pilar utama bagi kehidupan bersama
masyarakat bangsa. Demikianlah, maka adalah jelas Aswaja menolak cara-cara
penyebaran agama dengan kekerasan baik fisik, psikis maupun pembunuhan
karakter. Dengan ungkapan lain, mereka yang menggunakan kekerasan dalam
menyebarkan agama, meski dengan mengatasnamakan agama atau umat Islam
bukan bagian dari masyarakat Aswaja dan Pesantren. Kita harus waspadai klaim-
klaim mereka itu.
Jika demikian, sebagai tanggungjawab keagamaan dan komitmen
kebangsaan (nasionalisme), pesantren sudah saatnya tampil di garda paling depan
untuk menyelamatkan Negara dan bangsa ini dari ancaman dan aksi-aksi gerakan
radikal itu. Pembiaran terhadap ideology dan gerakan radikalisme yang
mengatasnamakan Islam secara niscaya akan meruntuhkan bangunan Negara-
bangsa dan menghancurkan kesatuan Negara Republik Indonesia yang sudah
dissepakati bersama itu. Sikap dan tindakan pesantren itu kini sedang ditunggu-
tunggu oleh masyarakat bangsa.49
Proses deradikalisasi agama terhadap orang-orang yang sudah menerima
doktrin sangat berbeda dengan proses radikalisasi. Radikalisasi agama relatif lebih
mudah diterima karena dilakukan terhadap orang yang seringkali minim
penguasaan agama dan basis ilmu agamanya kurang mendalam atau bahkan tidak
punya sama sekali. Oleh karena itu, mereka cukup mudah untuk menerima ajaran
agama yang mereka yakini tepat dan sesuai dengan praktik Rasulullah saat itu.
Karena, ada “ruang kosong” dalam pemikiran dan hati mereka.Dalam
perspektif psikologi, sesungguhnya sebagian umat manusia itu memiliki
kecenderungan pada hal-hal yang baru dan memberikan rasa keselamatan, apakah
datang dari agama ataukah dari yang lainnya. Afilisasi keagamaan akan sangat
mudah diterima ketimbang afilisasi politik atau afilisasi ekonomi terkait dengan
keyakinan.50
Problem serius lain dari deradikaliasi agama seringkali dilakukan secara
sporadis dan hanya formalitas dengan paradigma proyek penanggulangan
terorisme, sehingga dapat dipastikan tidak efektif melawan radikalisasi agama
yang dilakukan secara sistematik, intensif, terencana dan disiplin. Terlebih lagi
radikalisasi agama dilakukan dengan jargon ketulusan dan semangat keyakinan
bahwa hal itu dilakukan demi menegakkan kalimat Tuhan serta demi tegaknya
syariat Islam yang akan dibalas dengan surga. Janji-janji serta jargon surgawi
seringkali mendapatkan pembenaran dari pelbagai doktrin kitab suci dan teks-teks
suci lainnya, sehingga mereka yang mendapatkan pendidikan atau training dan
49
Husein Muhammad, Menangkal Radikalisme Melalui Pesantren. Makalah disampaikan
dalam Halaqah Nasional “Pesantren dan Tantangan Radikalisme”, di Lombok, NTB, 18 Juli 2011.
https://huseinmuhammad.net/menangkal-radikalisme-melalui-pesantren
50
David Martha, Psychology of Religion (England: Oxford, 2002), hlm. 192.
20. 21
pelatihan radikalisasi akan dengan semangat membela apa yang telah diperoleh
selama ini.
Deradikalisasi agama hendaknya dilakukan pemerintah dengan ormas-ormas
keagamaan seperti NU, Muhammadiyah dan ormas lainnya yang mempunyai
pemikiran keagamaan yang moderat dapat dianggap sebagai bagian dari metode
mengurangi dampak dan gerakan radikalisasi di Indonesia. Masalahnya apakah
pemikiran keagamaan ormas-ormas moderat tersebut dapat diterima oleh kalangan
lain yang memiliki frame pemikiran keagamaan yang berbeda; yakni mereka yang
berpandangan bahwa Muhammadiyah maupun NU merupakan ormas Islam yang
kurang bersemangat dengan gerakan penegakan syariat Islam alias Negara Islam?
Karena, pada umumnya muslim fundamentalis-radikal yang telah mengalami
radikalisasi agama bersikap sangat eksklusif dan tertutup dari orang-orang yang
tidak sepaham dengan mereka.51
C. PENUTUP
Radikalisme di mana dan kapan pun selalu menjadi masalah dalam
kehidupan suatu masyarakat atau bangsa. Lebih-lebih ketika radikalisme itu
berwujud aksi kekerasan yang merugikan kehidupan bersama seperti antara lain
konflik fisik, teror atau terorisme, hingga perang secara terbuka. Apapun alasan
atau motifnya, termasuk atas dorongan keyakinan agama atau membela paham
tertentu, radikalisme tetap bermasalah. Sejarah perang misalnya atau konflik
sosial dan teorisme, selalu menjadi trauma sosial yang awet dan memilukan dalam
kehidupan umat manusia.
Memberikan solusi bagi permasalahan historis-sosiologis tidaklah mudah,
terlebih-lebih jika permasalahan yang ada itu ditopang oleh emosi keagamaan.
Namun demikian, dalam melihat fenomena historis-sosiologis mengenai muncul
dan berkembangnya gerakan radiklaisme ini ada beberapa catatan yang mungkin
terjadi solusi alternatif. Gerakan-gerakan radikalisme yang dilakukan oleh
sebagian kelompok umat Islam sesungguhnya mencerminkan paduan faktor
internal dan eksternal. Oleh karenanya perlu dicari akar permasalahan dari dua sisi
ini.
Penanganan yang kaku oleh pemerintah terhadap gerakan radikalisme bukan
saja tidak menyelesaikan masalah tetapi juga menyebabkan gerakan radikalisme
akan terus berlangsung disamping tentunya menimbulkan permasalahan yang
dapat memicu radikalisme baru. Ketika penguasa tidak memahami fenomena
masyarakatnya, ketika kecurigaan dan kekerasan dijadikan alat untuk
memberantas radikalisme maka radiklaisme tidak akan hilang dari fenomena
historis. Radikalisme tidak dapat dilawan dengan kekerasan. Radikalisme yang
dilakukan oleh sekelompok muslim memiliki ide (ideologi politik dan ideologi
51
Dalam banyak forum, MMI misalnya selalu mengatakan bahwa Muhammadiyah dan NU
itu ormas Islam yang tidak berani secara tegas mendukung syariat Islam, dalam maknanya
mendirikan Negara Islam dan mengganti Pancasila dengan Islam sebagai dasar negara. Sebab,
MMI dan HTI misalnya selalu mengkampanyekan bahwa mereka mengusung Islam sebagai dasar
negara dan syariat sebagai solusi Negara, meskipun tidak didukung oleh Muhammadiyah dan NU.
Seperti disampaikan Irfan S. Awwas dan Tinjo Supratiknyo, “Negara Islam dalam Negara
Pancasila”, Makalah, di PSI UII pada Tanggal 14 Februari 2013.
21. 22
keagamaan), disamping ditopang oleh emosi dan solidaritas keagamaan yang
sangat kuat. Karenany maka diperlukan upaya persuasif, kedemawaan dan rasa
persaudaraan dari para penguasa negeri-negeri muslim agar gerakan yang lebih
radikal lagi bisa dicegah.
Praktek kekerasan (radikalisme) yang dilakukan oleh sekelompok umat
Islam tidak dapat dialamatkan kepada Islam sehingga propaganda media Barat
yang memojokkan Islam dan umat Islam secara umum tidak dapat diterima. Islam
tidak mengajarkan radikalisme, tetapi perilaku kekerasan sekelompok umat Islam
atas simbol-simbol Barat memang merupakan realitas historis-sosiologis yang
dimanfaatkan media pers Barat memang merupakan realitas historis-sosiologis
yang dimanfaatkan media pers Barat untuk memberi label dan mengkampanyekan
anti-radikalisme Islam.
Identitas keislaman (kesadaran umum sebagai muslim) memang menjadi
identitas yang tepat dan referensi yang efektif bagi gerakan radikalisme. Tetapi
faktor eksternal yaitu dominasi dan kesewenang-wenangan barat atas negeri-
negeri muslim merupakan faktor yang lebih dominan yang memunculkan
radikalisme muslim sebagai reaksi. Jadi jelas, bahwa radikalisme muncul dari
kebanggan (identitas ke-Islaman) yanga terluka (oleh Barat), keluhan (kaum
muslim tertindas yang tidak diperhatikan) dan keputusasaan karena
ketidakberdayaan.
Solusi-solusi yang muncul harus dapat mencakup kompleksitas
permasalahan yang kesemuanya harus berangkat dari kearifan para pemimpin
Barat dan juga negeri-negeri muslim untuk mampu membaca fenomena
perkembangan zaman yang mencerminkan aspirasi dari kalangan muslim. Kondisi
buruk sosial-politik dan ekonomi telah menjadikan umat Islam semakin
termajinalkan sudah seharusnya dijadikan landasan awal dalam pemecahan
masalah radikalisme. Jika tidak maka “Islam” yang damai akan termanifestasi
dalam bentuk radikalisme yang penuh kekerasan.
22. 23
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, Studi Agama, Normatifitas Atau Historisitas?, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Ahmed, Akbar S., Posmodernisme, Bahaya dan Harapan Bagi Islam, Terjemahan
M. Sirozi, Mizan, Bandung, 1993.
Ashour, Omar. The De-Radicalizaton of Jihadist. New York: Routledge, 2009.
Asy’arie, Musa, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-qur‟an, Yogyakarta:
LESFI, 1992.
Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam, Dari Fundamentalisme, Modernisme
Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996.
Dahlan, Abdul Azis (editor). Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ichtiar baru Van
Hoeve, 1996.
Dahlan, Fahruroji. Jihad Antara Fenomena Dakwah dan Kekerasan:
Mereformulasi Jihad Sebagai Sarana Dakwah dalam Jurnal Jurnal El
Hikmah. Volume I/No. I/Desember 2008/ Djulhizah 1429 H.
Edi Susanto, Kemungkinan Munculnya Paham Islam Radikal Di “Pondok
Pesantren”, Tadrîs. Volume 2. Nomor 1. 2007.
Fachruddin, Achmad. Jihad Sang Demonstran. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000.
Gibb, H.A.R., Aliran-Aliran Moderen Dalam Islam, Terjemahan Machnun
Husein, Rajawali Pers, Jakarta, 1990.
Golose, Petrus R. Deradikalisasi Terorisme Humanis, Soul Approach dan
Menyentuh Akar Rumput. Jakarta: YPKIK, 2009.
Hasani, Ismail dan Bonar T.N. (Editor). Dari Radikalisme Menuju Terorisme.
Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2012.
Imarah, Muhammad, Fundamentalisme Dalam Perspektif Pemikiran Barat Dan
Islam, Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, Gema Insani Press, Jakarta,
1999.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997.
Madjid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban, Mencari Makna dan Relevansi
Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.
Madjid, Nurcholish, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1995.
Nasution, harun, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995.
Rahman, Fazlur, “Pendekatan Terhadap Islam Dalam Studi Agama” dalam
Richard C. Martin, Pendekatan Kajian Islam Dalam Studi
Agama, Terjemahan Zakiyuddin baidlawi, Muhammadiyah University
Press, Surakarta. 2001.
23. 24
Rahman, Fazlur, Islam And Modernity, Chicago: The University of Chicago Press,
1982.
Sarwono, Sarlito W. Terorisme di Indonesia Dalam Tinjauan Psikologi.
Jakarta: Alvabet, 2012.
Shaban, M.A., Islamic History, Cambridge: Cambridge University Press, 1994.
Sihab, Alwi. Islam Insklusif; Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama. Jakarta:
Mizan, 1998.
Singh, Bilveer dan A. M. Mulkahan. Teror dan Demokrasi Dalam I‟dad
(Persiapan) Jihad (Perang). Kotagede: Metro Epistima, 2012.
Syam, Nur, Tangangan Multikulturalisme Indonesia, Yoyakarta: Kanisius, 2009.
Turmudzi, Endang dan Riza Sihbudi (ed)., Islam dan Radikalisme Di Indonesia,
Jakarta: LIPI Press, 2005.
Watt, William Montgomery, Islamic Fundamentalism And Modernity, T.J. Press
(Padstow) Ltd, London, 1988.
Zuly Qodir, Deradikalisasi Islam Dalam Perspektif Pendidikan Agama, Jurnal
Pendidikan Islam: Volume II, Nomor 1, Juni 2013/1434.