1. Radikalisme dan masa depan bangsa
Pengertian radikalisme adalah faham atau aliran yang radikal dalam kehidupan politik, radikal
perubahan secara mendasar dan prinsip. Secara umum dan dalam ilmu politik maka radikalisme
adalah suatu konsep yang berupaya untuk mengadakan perubahan kehidupan politik secara
menyeluruh dan mendasar tanpa di perhitungkannya peraturan/ketentuan konstitusi politis dan
sosial yang sedang berlaku, radikalisme sangat ekstrim dan fundalisme
Dalam Ensiklopedi Indonesia (Ikhtiar Baru – Van Hoeve, cet. 1984) diterangkan bahwa “radikalisme”
adalah semua aliran politik, yang para pengikutnya menghendaki konsekuensi yang ekstrim, setidak-
tidaknya konsekuensi yang paling jauh dari pengejawantahan ideologi yang mereka anut. Dalam dua
definisi ini “radikalisme” adalah upaya perubahan dengan cara kekerasan, drastis dan ekstrim.
Adapun dalam Kamus Ilmiyah Populer karya Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry diterangkan
bahwa “radikalisme” ialah faham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan
perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan.
Radikalisme atau fundamentalisme sendiri sesungguhnya tidak ada di dalam terminologi Islam,
khususnya pada kamus sekte di tubuh Islam. Istilah ini dikenalkan dan dikembangkan oleh Barat
untuk menyebut kelompok Islam murni. Kelompok ini disinyalir telah melakukan berbagai aksi
kekerasan atau teror terhadap masyarakat Barat. Aksi tersebut juga muncul sesaat setelah kaum
Yahudi yang didukung oleh Negara-negara Barat, khususnya Amarika, mendirikan negara di tanah
bangsa Palestina sejak tahun 1947
Artinya Radikalisme merupakan pemahaman yang juga banyak menjangkiti berbagai agama dan
aliran-aliran sosial, politik, budaya, dan ekonomi di dunia ini. Tetapi dalam masa pasca perang
dingin, yang menjadi fokus pergunjingan di dunia ialah apa yang diistilahkan dengan Radikalisme
Islam. Isu sentral dalam pergunjingan ini adalah munculnya berbagai Gerakan Islam (harokah
islamiyah) yang menggunakan berbagai bentuk kekerasan dalam rangka perjuangan untuk
mendirikan apa yang kerap disebut-sebut sebagai “Negara Islam”.
Senyampang arus informasi glonal yang sedang dikendalikan oleh negara-negara Barat dan
sekutunya, stigma radikalisme dan fundamentalisme yang melahirkan terorisme serta merta
melekatkannya dengan Islam. Karenanya definisi radikalisme dan fundamentalisme Islam semakin
bias, sehingga meliputi pula segala bentuk militansi beragama di kalangan Muslimin diidentikkan
dengan “ekstrimis Islam” atau dalam istilah lain adalah “Islam radikal” atau “Islam fundamentalis”.
Fenomena inilah sesungguhnya sudah banyak dipahami oleh masyarakat Muslim. Meski banyak pula
yang bingung meresponnya karena tumbuh suburnya mentalitas rendah diri berhadapan dengan
superioritas Barat dan sekutunya.
Faktor/ motif nasionalisme
Memiliki pemimpin yang adil, memihak kepada rakyat, dan tidak hanya sekedar
menjanjikan kemakmuran kepada rakyatnya adalah impian semua warga masyarakat.
Namun jika pemimpin itu mennggunakan politik yang hanya berpihak pada pemilik modal,
kekuatan-kekuatan asing, bahkan politik pembodohan rakyat, maka akan timbul kelompok-
kelompok masyarakat yang akan menamakan dirinya sebagai penegak keadilan, baik
2. kelompok dari sosial, agama maupun politik, yang mana kelomok-kelompok tersebut dapat
saling menghancurkan satu sama lain. Seperti halnya golongan khawarij yang lahir pada
masa kholofah Ali bin Abi Tholib yang disebabkan oleh ketidak stabilan politik pada masa
itu, sehingga muncullah golongan syi’a dan khawarij yang meresa paling benar sendiri dan
saling menstatmen kafir.
Faktor/motif agama
Pada masa sekarang muncul dua pemikiran yang menjadi trend, yang pertama yaitu
mereka menentang terhadap keadaan alam yang tidak dapat ditolerir lagi, seakan alam ini
tidak mendapat keberkahan lagi dari Allah SWT lagi, penuh dengan penyimpangan. Sehingga
satu-satunya jalan adalah dengan mengembalikannya kepada agama. Namun jalan yang
mereka tempuh untuk mengembalikan keagama itu ditempuh dengan jalan yang keras dan
kaku. Padahal nabi Muhammad SAW selalu memperingatkan kita agar tidak terjebak pada
tindakan ekstremisme (at-tatharuf al-diniy), berlebihan (ghuluw), berpaham sempit (dhayyiq),
kaku (tanathu’/rigid), dan keras (tasyaddud).
Pemikiran yang kedua yaitu bahwa agama adalah penyebab kemunduran umat Islam,
sehingga jika mereka ingin unggul maka mereka harus meninggalkan agama yang mereka
miliki saat ini. Pemikiran ini merupakan hasil dari pemikiran sekularisme, yaitu dimana
paham atau pandangan filsafat yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan atas
pada ajaran agama.
Kedua pemikiran tersebut sangat berlawanan, dimana yang pertama mengajak kembali
kepada agama dengan jalan yang kaku dan keras, dan yang satunya lagi menentang agama.
Hal itu juga bertentangan dengan misi diciptakannya manusia oleh Allah Swt di semesta ini
sebagai mahluk yang seharusnya mendatangkan kemakmuran dunia.
faktor globalisasi
Pendidikan bukanlah faktor yang langsung menyebabkan radikalisme. Radikalisme
dapat terjadi dikarenakan melalui pendidikan yang salah. Terutama adalah pendidikan agama
yang sangat sensitif, kerena pendidikan agama “amal ma’ruf nahi munkar”, namun dengan
pendidikan yang salah akan berubah menjadi “amal munkar”. Dan tidak sedikit orang-orang
yang terlibat dalam aksi terorisme justru dari kalangan yang berlatar pendidikan umum,
seperti dokter, insinyur, ahli teknik, ahli sains, namun hanya mempelajari agama sedikit dari
luar sekolah, yang kebenaran pemahamananya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan.
Atau dididik oleh kelompok Islam yang keras dan memiliki pemahaman agama yang
serabutan.
3. Radikalisme sekarang sudah marak di Indonesia dan faktanya sekarang banyak kaum
mudah yang mulai terjangkit radikalisme, bahkan terorisme.
Aksi radikalisme tersebut muncul dikarenakan mereka tidak dapat menerima perbedaan.
Mereka anggap perbedaan adalah ancaman, sehingga harus di musnakan.