Dokumen tersebut membahas tentang peran pendidikan bahasa dalam menghadapi tantangan globalisasi dan memajukan pendidikan nasional. Dokumen tersebut menjelaskan bagaimana pendidikan bahasa perlu dibenahi, mulai dari bahasa daerah, bahasa Indonesia, hingga bahasa asing untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memenangkan persaingan global."
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
Memenangi globalisasi dari kritik diri
1. MEMENANGI GLOBALISASI DARI KRITIK DIRI
A. Ringkasan Buku
Buku setebal 208 halaman ini terdiri dari sebelas bab dengan 94 subbab.
Bab-bab serta subbab yang tersaji membicarakan tentang berbagai problem dan
upaya untuk membenahi sistem pendidikan nasional yang lunglai melalui
pembenahan pembelajaran bahasa, baik bahasa daerah, bahasa Indonesia,
maupun bahasa asing (terutama bahasa Inggris).
Buku ini menggugah kesadaran bahwa pembelajaran bahasa memiliki
peranan penting dan posisi yang strategik dalam usaha membenahi pendidikan
nasional untuk bisa terus bertahan dan memenangkan persaingan global.
Persaingan global ini tidak mudah dimenangkan karena pesaing kita banyak
yang jauh lebih kuat. Kemenangan itu akan diraih jika kita bisa menunjukkan
kelebihan dan kehebatan kita kepada dunia luar.
Menjadi bangsa yang hebat mengharuskan kita membenahi berbagai
persoalan yang ada di dalam diri bangsa kita, terutama persoalan pendidikan
bahasa yang menjadi konsen buku ini. Semua pihak yang terkait harus andil di
dalam pembenahan persoalan-persoalan tersebut. Pihak-pihak tersebut antara
lain para ilmuwan, birokrat, pemerintah, LPTK, non-LPTK, guru, dosen,
mahasiswa, kaum abangan, santri dan bahkan para kyai.
Pembenahan-pembenahan yang melibatkan berbagai pihak tersebut harus
diawali dengan keberanian untuk mengkritik dan dikritik lalu dengan
kemampuan kritis menawarkan sejumlah solusi konstruktif yang berbasis pada
penelitian dan refleksi mendalam, seperti dalam buku ini. Beberapa di antara
solusi tersebut adalah: (a) membangun sinergi antara ilmuwan dengan birokrat
(intisari bab 1); (b) Memberdayakan pendidikan bahasa sebagai strategi
kebudayaan (intisari bab 2); (c) Menjembatani primodialisme, modernisasi, dan
industrialisasi (intisari bab 3); (d) Membangun keunggulan aktor pendidikan
(bahasa) (intisari bab 4); (e) Merevitalisi pendidikan bahasa daerah (intisari
bab 5); (f) Membenahi pembelajaran bahasa Inggris sejak usia dini (intisari bab
6); (g) Memperbaiki pembelajaran bahasa Indonesia dan Inggris di PT (intisari
bab 7); (h) Meningkatkan kualitas pengeloaan BIPA di dalam dan luar negeri
(intisari bab 8); (i) Pengembangan bahasa Inggris islami di PT Islam (intisari
2. 2
bab 9); (j) Membangun daya kritis dengan EFL (intisari bab 10); dan (k)
Membangun profesionalisme TEFL (intisari bab 11).
B. Latar Belakang
Multikultural adalah suatu konsep yang belum sepenuhnya disadari
segenap warga masyarakat. Setiap manusia terlahir dalam keadaan berbeda
satu sama lain, membawa sejumlah karakter fisik dan psikis yang berbeda. Di
samping itu setiap individu memiliki sistem keyakinan, yang berbeda belum
sepenuhnya bisa diterima dengan nalar kolektif masyarakat. Nalar kolektif
masyarakat tentang multikultural masih terkooptasi logisentrisme, tafsir
hegemonik yang sarat prasangka, curiga, kebencian, dan reduksi terhadap
kelompok yang ada diluar dirinya. Tingkat pemahaman masyarakat Indonesia
tentang multikultural sangat beragam. Namun demikian, pada mayoritas
masyarakat Indonesia telah sadar akan pentingnya multikultural ini sebagai
kekuatan bangsa, dan bukannya potensi untuk menceraiberaikan persatuan dan
kesatuan.
Kendati Indonesia kini berada dalam masa transisi politik yang
memprihatikan, namun dengan memanfaatkan sarana-sarana komunikasi dan
perhubungan merupakan potensi besar untuk membangkitkan kembali
kesadaran nasionalisme pada bingkai multikultural bangsa di kalangan
masyarakat Indonesia. Ketika digunakan alat komunikasi dan perhubungan
akan berhadapan dengan kompleksitas kultur pengguna. Hal ini terjadi karena
sebagai alat komunikasi masa, teknologi tersebut bukan saja harus
berhubungan dengan individu-individu tertentu, melainkan juga berbagai
kelompok masyarakat yang berbeda. Karena itu, alat-alat komunikasi pada
dasarkan akan tunduk pada struktur nilai, pandangan serta cita-cita pemilik
atau pengarah informasi atau pesan yang disalurkan.
Sejumlah fenomena yang terjadi di Indonesia memperlihatkan betapa
pentingnya suatu strategi pendidikan berbasis multikultural untuk bangsa yang
besar dan majemuk seperti Indonesia. Ancaman disintegrasi bangsa, arogansi
kesukuan, terpinggirkannya daerah-daerah konflik antar etnis dan agama,
masalah transmigrasi dan permukiman, fenomena korupsi kolusi dan
nepotisme (KKN), dan sejumlah fenomena lainnya, merupakan akibat dari
3. 3
tiadanya atau kelirunya strategi pendidikan dan kebudayaan, khususnya
pendidikan berbasis multi-kultural.
Persoalan kondisi bangsa Indonesia yang multikultural semakin pelik
dengan adanya tantangan globalisasi, khususnya dalam bidang pendidikan.
Adanya globalisasi akan berpengaruh pada suatu bangsa dan negara,
masyarakat bahkan individu dalam masyarakat. Pengaruh yang ditimbulkan
globalisasi pada suatu bangsa terjadi di berbagai bidang, antara lain: bidang
ekonomi, bidang politik, bidang sosial budaya, bidang pertahanan dan
keamanan, bidang agama, bidang pendidikan, dan sebagainya. Globalisasi bisa
dianggap sebagai penyebaran dan intensifikasi dari hubungan-hubungan
bidang di atas yang menembus sekat-sekat geografis ruang dan waktu.
Dalam bidang pendidikan, globalisasi ditandai oleh ambivalensi; yaitu
tampak sebagai “berkah” di satu sisi tetapi sekaligus menjadi “kutukan” di sisi
lain. Tampak sebagai “kegembiraan” pada satu pihak tetapi sekaligus menjadi
“kepedihan” di pihak lainnya. Ambivalensi pendidikan di Indonesia ditandai
oleh kebingungan, karena ingin mengejar ketertinggalan untuk menyamai
kualitas pendidikan internasional pada satu sisi, namun kenyataannya
Indonesia belum siap untuk mencapai kualitas tersebut. Padahal kalau tidak
ikut arus globalisasi ini Indonesia akan semakin tertinggal.
Selain itu ketidaksiapan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan
berkualitas dan ketidaksiapan guru yang berkompeten dalam
menyelenggarakan pendidikan tersebut merupakan perpaduan yang klop untuk
menghasilkan lulusan yang tidak siap pula berkompetisi di era globalisasi ini.
Seperti yang dilansir KOMPAS.com tanggal 28 Oktober 2009 menyebutkan
bahwa tiga hasil studi internasional menyatakan, kemampuan siswa Indonesia
untuk semua bidang yang diukur secara signifikan ternyata berada di bawah
rata-rata skor internasional yang sebesar 500. Jika dibandingkan dengan siswa
internasional, siswa Indonesia hanya mampu menjawab soal dalam kategori
rendah dan sedikit sekali, bahkan hampir tidak ada yang dapat menjawab soal
yang menuntut pemikiran tingkat tinggi.
Masih dalam Kompas.com tanggal 28 Oktober 2009 menyebutkan salah
satu penelitian yang mengungkap lemahnya kemampuan siswa, dalam hal ini
siswa kelas IV SD/MI, adalah penelitian Progress in International Reading
Literacy Study (PIRLS), yaitu studi internasional dalam bidang membaca pada
4. 4
anak-anak di seluruh dunia yg disponsori oleh The International Association for
the Evaluation Achievement. Hasil studi menunjukkan bahwa rata-rata anak
Indonesia berada pada urutan keempat dari bawah dari 45 negara di dunia.
Prof. Dr. Suhardjono dari Pusat Penelitian Pendidikan Depdiknas di Jakarta,
Rabu (28/10) menjelaskan bahwa muara dari lemahnya pembelajaran
membaca patut diduga karena kemampuan guru dan kondisi sekolah.
Kebiasaan membaca dan menulis dapat mengembangkan kemampuan
berfikir dan meningkatkan pengetahuan manusia sehingga tradisi tersebut
penting dikembangkan untuk memajukan pendidikan. Dengan meningkatkan
tradisi membaca dan menulis maka siswa dapat terpacu untuk menggunakan
akal dan kreasinya sehingga kebiasaan tersebut penting untuk memajukan
pendidikan. Sebetulnya generasi pendahulu telah memiliki tradisi membaca
dan menulis yang baik namun seiring kemajuan dan perkembangan zaman,
tradisi tersebut kurang diminati oleh generasi muda saat ini. Padahal, memiliki
kebiasaan membaca dan kemampuan menulis adalah sesuatu hal yang penting.
Sekjen PWI, Parni Hadi, beberapa waktu lalu melaporkan bahwa di
negara-negar berkembang, setiap satu juta penduduk terbit 55 buah buku per
tahun. Sedangkan di negara maju mencapai 515 judul buku per satu juta
penduduk setiap tahun. Sedangkan di Indonesia baru bisa menerbitkan sekitar
12 judul buku per satu juta penduduk setiap tahun. Data tersebut menyiratkan
kepedihan yang mendalam, betapa rendahnya kualitas SDM di negara kita.
Kebiasaan merupakan kunci untuk gemar membaca dan menulis. Namun
sayangnya kegiatan ini belum dibiasakan oleh masyarakat. Padahal jika saja
kebiasaan itu dilakukan sejak dini maka akan dirasakan manfaatnya nanti.
Peran pemerintah untuk mendukung kebiasaan baca dan tulis sudah ada.
Namun dikembalikan lagi kepada masyarakat, apakah memiliki minat atau
tidak. Kalo sudah diberikan buku gratis tapi dari masyarakat belum ada
kemauan maka harus ada sedikit paksaan ke individu masing-masing.
Kompleksitas problem pendidikan di Indonesia tentu harus menjadi
konsen semua pihak untuk membenahinya. Isu multikultural, globalisasi, dan
kebiasaan baca tulis di kalangan masyarakat Indonesia baru merupakan
sebagian kecil dari berbagai persoalan yang harus dicarikan solusinya. Bangsa
ini masih harus menghadapi sederet masalah yang terkait dengan bidang
5. 5
ekonomi, bidang politik, bidang sosial budaya, bidang pertahanan dan
keamanan, bidang agama, bidang pendidikan, dan sebagainya.
Orang-orang atau pihak-pihak yang terlibat dalam pembelajaran bahasa
sebagai bagian dari pendidikan di Indonesia tentu harus bersinergi dengan
mereka yang berlatar belakang bidang-bidang yang lain untuk menawarkan
solusi atas berbagai persoalan bangsa tersebut. Masyarakat pembelajaran
bahasa adalah bagian penting dari pemberi dan pelaksana solusi pembenahan
bangsa. Dengan kemampuan dan kewenangan yang mereka miliki dalam
pembelajaran bahasa, peran serta mereka tentu setaraf dengan peran serta dari
orang-orang dari bidang yang lain. Ini artinya, masyarakat pembelajaran
bahasa bukan hanya berkutat pada pengajaran keterampilan berbahasa dengan
komponen-komponennya, tetapi menjadi bagian dari agen pembenahan
bangsa.
Dalam buku ini, peranan bahasa dan pendidikan bahasa dalam
pembenahan pendidikan yang dikepung oleh isu multikultural, globalisasi dan
kebiasaan baca tulis masyarakat Indonesia diulas secara mendalam dengan
begitu apiknya. Landasan pemikiran yang paling kokoh untuk melihat peran
tersebut adalah bahwa penguasaan bahasa adalah ruh pendidikan dan
kemanusiaan secara keseluruhan. (Alwasilah, 2000: vii) Selanjutnya, dalam
wacana kebangsaan, bahasa berperan sebagai pemersatu dan identitas bangsa.
Itulah sebabnya kita mengenal bahasa nasional (national language). Lalu
dalam wacana pemerintahan, bahasa berperan sebagai penjaga jarak, untuk
memperlihatkan status, birokrasi, atau kekuasaan. Maka kita mengenal bahasa
resmi (official language) atau bahasa birokrasi. (Alwasilah, 2000: 25). Tanpa
henti, bahasa mencerminkan tema-tema kehidupan kita dan cara menafsirkan
dunia sekitar. Bahasa membangun dan sekaligus menguatkan sistem nilai dan
kepercayaan kita. (Alwasilah, 2000: 27)
Kesadaran akan keragaman bahasa daerah (multikultural) di Indonesia
diposisikan secara bijaksana dalam buku ini dengan menegaskan kembali
kekuatan yang dimiliki oleh bahasa daerah jika ia digunakan dan dikembangkan
sebagai bahasa pengantar pendidikan. (Alwasilah, 2000:77) Dengan catatan
kritisa bahwa perjuangan penggunaan bahasa daerah tidak boleh berakibat
kemunduruan dan keterbelakangan. (Alwasilah, 2000:39)
6. 6
Persaingan dalam globalisasi akan sangat bergantung pada kualitas SDM
suatu bangsa, karena kompetisi ini adalah antarmanusia. Walau kompetisi
global itu bukan antarbahasa, tetapi untuk memenangkannya manusia
memerlukan bahasa sebagai alat bermimpi, berkhayal, berambisi, berpikir, dan
berkomunikasi. Karena itu, pendidikan bahasa yang bisa melahirkan SDM yang
menguasai bahasa modern tentu akan sangat membantu dalam percepatan dan
alih teknologi. (Alwasilah, 2000: 38)
C. Tujuan Penulisan Makalah
Berdasarkan latar belakang, penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan posisi pendidikan bahasa dalam usaha memenangi
persaingan global.
2. Mengemukakan kelebihan dan kekurangan yang teramati dalam buku
yang direview.
3. Merumuskan langkah-langkah strategis untuk membenahi pendidikan
dalam era globalisasi.
D. Studi Pustaka
Globalisasi memiliki arti yang luas, namun globalisasi dalam arti
sederhana adalah kata yang yang tersusun dari kata global yang mendapat
imbuhan sasi, global yang berarti secara umum dan keseluruhan, secara bulat,
secara garis besar, bersangkut paut, mengenai, meliputi seluruh dunia dan sasi
yang berarti proses. Sehingga secara sederhana Globalisasi dapat diartikan
sebagai proses masuknya ke ruang lingkup dunia (KBBI, 2011). Globalisasi
adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal
batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan
yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang
akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman
bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. (Jamli, 2005)
Globalisasi merupakan proses di mana manusia, baik sebagai individu
atau masyarakat, menjadi semakin terkait dan terhubungkan satu sama lain
dalam semua aspek kehidupannya; sosio-kultural, bisnis-ekologikal, ideologi-
politikal, sains-teknologikal, dan bioteknologikal. (Hasibuan, 2010) Era
globalisasi adalah adalah era pasar bebas dan sekaligus persaingan bebas dalam
7. 7
produk material dan jasa. Kalau dulu, misalnya, untuk membangun basis
ekonomi masyarakat yang kuat sangat mengandalkan money capital,
selanjutnya berevolusi pada human capital. (Muhaimin, 2006: 84). Maka kunci
utama untuk dapat bersaing dengan bangsa lain dalam era ini adalah
pendidikan dalam arti pengembangan keterampilan sebagai bagian dari
peningkatan SDM. (Alwasilah, 2000: 33) Globalisasi seperti gelombang yang
akan menerjang, tidak ada kompromi, kalo kita tidak siap maka kita akan
diterjang, kalo kita tidak mampu maka kita akan menjadi orang tak berguna
dan kita hanya akan jadi penonton saja.
Era globalisasi yang dipahami sebagai peleburan sekat-sekat penghalang
antara satu negara dengan negara lain, satu budaya dengan budaya lain, arus
budaya, perilaku, pandangan dan gaya hidup negara-negara lain dengan cepat
dapat diakses dan diketahui terutama dengan adanya jaringan internet. Dalam
konteks ini salah satu alat perantara yang sangat penting untuk melangsungkan
hubungan komunikasi global adalah penguasaan bahasa asing internasional
dengan baik. (Nizar dan Hasibuan, 2011) Globalisasi antara lain ditandai
dengan semakin mengglobalnya bahasa Inggris dan semakin besar tuntutan
untuk mempejari bahasa asing. (Alwasilah, 2000: 121)
Sayangya, penguasaan bahasa Inggris di Indonesia kondisinya masih
memperihatinkan, sememprihatinkannya kondisi pendidikan di Indonesia
secara umum. Alwasilah (2000: 156) menjelaskan bahwa pendidikan EFL di
Indoesia sudah lama dikritik tidak berhasil meningkatkan kemampuan
berbahasa Inggris pada siswa. Dalam hemat beliau, sebenarnya kegagalan itu
ada pada semua sektor pendidikan. Dibandingkan dengan negara-negara asia
seperti Korea, Malaysia, dan Thailand saja, Indonesia tertinggal jauh 15 sampai
20 tahun. Apalagi bila dibandingkan dengan Jepang atau Amerika Serikat.
Kepelikan meningkatkan kualitas pendidikan bahasa Inggris secara
khusus dan pendidikan nasional secara umum menggambarkan ada banyak
problem dan isu yang membelit praktek pembelajaran bahasa asing di
Indonesia. Isu-isu mengenai perubahan metode pengajaran bahasa adalah isu
yang paling terasa. Hartoyo (2006) menegaskan bahwa dalam perjalanan
sejarahnya, pengajaran bahasa Inggris tumbuh dengan serangkaian pencarian
“satu metode terbaik”, dalam mengajarkan bahasa tersebut. Suatu hal yang
8. 8
tidak akan pernah ada, karena sebuah metode hendaknya tidak dilihat sebagai
satu-satunya metode terbaik tanpa menghiraukan apa fokus pengajarannya.
Isu yang bertolak kepada peranan bahasa di dalam pembangunan juga
menjadi pembahasan pokok dalam pembelajaran bahasa, termasuk bahasa
daerah (mis. bahasa Sunda), bahasa nasional (mis. bahasa Indonesia) dan
bahasa internasional (mis. bahasa Inggris). Diskusi-diskusi yang ada juga
banyak yang menelaah dampak bahasa yang digunakan sebagai identitas
nasional dan individu. Bahasa Inggris sering dinyatakan sebagai syarat mutlak
untuk pembangunan nasional. Akan tetapi, bahasa Inggris tidak digunakan
secara luas di beberapa negara yang paling maju secara ekonomi di Asia (seperti
Jepang). Sementara itu, beberapa negara yang berbahasa Inggris (seperti
Jamaika) dan negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar di sekolah (seperti Malawi) belum berkembang secara ekonomi. Jadi
apa sebenarnya hubungan antara pembangunan ekonomi dengan bahasa
(internasional, nasional, dan daerah)?
Dalam Human Development Report yang diterbitkan PBB tahun 2011,
Indonesia menempati peringkat ke-124 dari 187 negara. Jadi, peran apakah
yang harus dimainkan oleh bahasa daerah, nasional dan internasional dalam
peningkatan kualitas sumber daya manusia? Apa yang sedang dilakukan oleh
Indonesia untuk meningkatkan peringkat pembangunan manusianya di kancah
internasional? Bagaimana bahasa bisa mendukung atau menghambat target
pencapaian pembangunan?
Lebih jauh lagi, bagaimana pilihan bahasa bisa mempengaruhi identitas
nasional dan identitas individu anggota masyarakat? Apakah jika kita
berbondong-bondong mempelajari bahasa Inggris maka akan mengancam
identitas nasional, atau apakah ini merupakan harga sepadan yang harus
dibayar demi pembangunan? Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa daerah:
apakah bahasa-bahasa ini akan tergilas seiring perkembangan pembangunan
nasional? Atau apakah bahasa-bahasa tersebut masih mempunyai peran? Dan
bagaimanakah para penutur bahasa memandang diri mereka sendiri Apakah
masyarakat merasa ada desakan untuk menelantarkan bahasa ibu? Dan apakah
masyarakat merasa harus mendidik anak-anak mereka dengan menggunakan
bahasa-bahasa baru sebagai bahasa pengantar?
9. 9
Isu-isu yang mengemuka dan juga isu terkait lainnya bisa dirumuskan
lebih lanjut dalam bidang-bidang berikut ini: (1) Peran bahasa dalam
pengendalian dan pencegahan penyakit, (2) Bahasa di dalam pendidikan, (3)
Bahasa untuk ketenagakerjaan, termasuk keterampilan bahasa yang dibutuhkan
oleh para pekerja migran (TKI), (4) Aspek-aspek bahasa dalam peningkatan
kesadaran terhadap isu-isu lingkungan, baik di pedesaan maupun perkotaan,
(5) Bahasa di daerah konflik, dan (6) Bahasa dan identitas dalam
pembangunan.
Asosiasi Guru Bahasa Inggris di Indonesia (TEFLIN) telah mengadakan
Diskusi Kelompok terfokus
pada 12-13 Februari 2011 di Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung
berkenaan dengan
pengajaran bahasa Inggris di Indonesia, terutama berkenaan dengan
pendekatan berbasis genre
terkait dengan implementasinya di sekolah. Diskusi ini dihadiri oleh
sekelompok dosen dan guru
bahasa Inggris dari beberapa perguruan tinggi serta sekolah (Daftar
Peserta Diskusi terlampir). Pada
pokoknya, setelah saling berbagi pemikiran, pengalaman dan data dari
lapangan, peserta diskusi
sampai pada pandangan yang mengerucut
Berbagai kondisi dalam pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia saat ini
yang menjadi bahan kepedulian
para pengamat dan praktisi saat ini antara lain adalah:
·Masih maraknya kegiatan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah-
sekolah yang berfokus hanya
pada salah satu keterampilan atau komponen bahasa saja, tidak
mengajarkan bahasa Inggris
secara terintegrasi;
·Masih banyaknya penggunaan istilah linguistik dalam kegiatan belajar
mengajar yang
cenderung membingungkan guru dan siswa;
·Belum terjadinya pemahaman yang merata di antara para guru bahasa
Inggris berkenaan
10. 10
dengan SK/KD yang harus menjadi dasar dalam kegiatan belajar-
mengajar;
·masih terbatasnya ranah pembelajaran yang diharapkan menjadi luaran
perilaku siswa pada
tataran kognitif tingkat rendah dan belum menyentuh ranah afektif dan
psikomotorik;
·masih adanya kecenderungan guru dalam kegiatan pembelajaran terbatas
pada pembahasan
struktur teks dan ciri kebahasaannya, sehingga membaca pemahaman
masih belum tersentuh
secara mendalam;
·ketiadaan tema yang biasanya dicantumkan secara eksplisit membuat
guru kebingungan
menentukan konteks komunikasi yang diperlukan serta gamang dan tidak
tahu apa yang harus
dilakukan dalam proses pembelajaran;
·masih banyak guru yang belum tahu apa itu hakekat teks dan bagaimana
cara menilai hasil
belajar siswa yang berkaitan dengan teks tersebut.
E. Sintesa dari Review Buku
Mencermati sejumlah persoalan yang dihadapi bangsa saat ini, kita patut
bersedih dan berduka. Wajah bopeng negeri ini yang telah di diagnose sejak
setengah abad silam belum memperlihatkan tanda-tanda akan segera membaik.
Sejak gendrang kemerdekaan setengah abad silam, negeri yang berpenduduk
lebih dari 200 juta ini terus menerus ditimpa masalah yang tak kunjung usai.
Berbagai permasalahan bangsa datang silih berganti.
Sumpah pemuda yang didengungkan oleh para pemuda dan pejuang
bangsa tanggal 28 Oktober 1928, menjadi acuan yang mendasar ketika
berbicara tentang bahasa, khususnya bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia
sebagai salah satu bahasa di dunia, telah dijadikan sebagai bahasa resmi negara
dan juga sebagai bahasa nasional. Sebagai bahasa resmi negara, dan bahasa
nasional, hendaknya hal ini dapat dikembangkan dan difungsikan sebagai alat
untuk membangun bangsa dalam semua aspek kehidupan.
11. 11
Beberapa negara lain dunia menfungsikan bahasa tidak hanya sebagai alat
komunikasi dan interaksi sosial, tapi juga sebagai alat untuk maju dan
berkembang seiring dengan perkembangan dunia yang semakin kompetitif.
Bahasa digunakan bahasa sebagai alat untuk menguasai berbagai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Walhasil, mereka dapat
berkembang dan maju dengan cepat
Menulis sangatlah penting dalam upaya meningkatkan SDM menghadapi
era globalisasi. Selain itu, di beberapa bagian lain dari buku tersebut
dikampanyekan arti pentingnya budaya tulis. Setiap tahun ribuan sarjana S1
sampai S3 dari berbagai disiplin ilmu diwisuda. Dari angka tersebut, jumlah
sarjana yang mengimplementasikan ilmunya dalam bentuk karya tulis masih
bisa dihitung dengan jari. Kegagalan para mahasiswa dalam menulis dan
berkarya tulis, tak bisa lepas dari peranana guru/dosen. Peran guru, dosen
dalam hal ini memilki andil yang cukup besar dalam menghitam-putihkan
mahasiswanya.
Pengajaran bahasa Inggris mengalami nasib yang tidak jauh berbeda
dengan bahasa Indonesia. Bertahun-tahun para siswa belajar bahasa Inggris,
mulai dari bangku SD sampai SMA bahkan Perguruan Tinggi. Namun hasilnya
tidak seperti yang diharapkan. Diakui atau tidak, bahasa Inggris sebagai bahasa
pergaulan internasional, bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi, hendaknya
dapat dikuasai secara baik, secara lisan maupun tulisan. Karena sebagian besar
buku teks yang beredar saat ini ditulis dalam bahasa Inggris. Konskwensinya,
mau tidak mau kita harus menguasai bahasa tersebut.
Banyak langkah urgen yang harus dilakukan agar bisa berkompetisi dalam
era global. Hal-hal mendasar dan krusial hendaknya menjadi prioritas untuk
dalam rangka memperbaharui sistem yang telah ada. Tersedianya perangkat
pembelajaran yang memadai, kurikulum pendidikan yang teruji, SDM yang
berkualitas, dana yang cukup adalah sebilangan hal-hal krusial yang harus
segera diatasi. Semua itu membutuhkan kesabaran dan waktu yang cukup lama.
Berbagai persoalan ihwal pengajaran bahasa di Indonesia tidak hanya
menimpa sekolah menengah (SMP/SMA), tetapi juga sudah mewabah sampai
Perguruan Tinggi (PT). Kebijakan pemerintah memberlakukan MKDU bahasa
Indonesia atau bahasa Inggris di PT, pada tataran implementasi sudah out of
control. Pengajaran MKDU bahasa Indonesia merupakan pengulangan materi
12. 12
SMA/SMU, atau lebih ditekan pada struktur kalimat, teori menulis dll.
Dampaknya, dosen mengajar “semau gue”, dan mahasiswa belajar untuk lulus
ujian dan memperoleh nilai yang diinginkan. Pengajaran bahasa Inggris juga
bernasib sama. Penguasaan berkomunikasi, menulis, mendengar dan sejenisnya
yang semula menjadi pijakan, telah berubah menjadi menjadi pengajaran tata
bahasa/grammar. Tak mengherankan, kalau penulis menginginkan agar MKDU
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris di PT dirombak bahkan dibuang saja,
karena tidak sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.
Mencermati uraian di atas, sebagai anak bangsa hendaknya menyadari arti
pentingnya belajar dan membelajarkan bahasa. Sudah saatnya lengan baju
disingsingkan untuk membenahi dan meminimalisir berbagai persoalan
pendidikan –khususnya pengajaran bahasa- yang sedang dialami bangsa.
Marilah kita kembali ke posisi masing-masing. Berbuat, berjuang dan terus
berjuang agar mimpi kita saat ini suatu saat menjadi kenyataan. Tidak ada kata
terlambat kalau kita mau berubah. Mengutip ungkapan populer dari Aa Gym:
Mulailah dari hal yang kecil, mulai dari diri sendiri dan mulailah sekarang juga.
F. Kelebihan dan Kekurangan Buku
Sebelum lebih jauh memberi penilaian, sejak awal kami ingin mengatakan
bahwa buku ini sangat berani menyuarakan kebenaran. Sebilangan masalah
krusial dalam pengajaran bahasa di Indonesia dikupas tuntas. Berbagai kritik
konstruktif terhadap kebijakan pemerintah ikut membumbui setiap
bahasannya. Jika ide-ide dalam buku ini bisa terbumikan, kami optimis
semuanya akan bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan (bahasa) di
Indonesia yang menjadi syarat utama untuk memenangi persaingan global.
a. Judul
Berbeda dengan buku-buku penulis lainnya, yang menggunakan judul
yang pokok-pokok saja, menurut kesan kami buku yang satu ini
menggunakan judul yang terlalu panjang dan bercabang. Pespektif
Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia dalam Konteks Persaingan Global.
Dengan menggunakan ungkapan “Pendidikan Bahasa Inggris” mengesankan
bahwa buku ini hanya berbicara tentang pendidikan bahasa Inggris saja.
Tetapi setelah membaca keseluruhan isi buku, buku ini tidak hanya berbicara
tentang itu saja. Buku ini juga konsen berbicara tentang bahasa Indonesia,
13. 13
bahasa daerah, bahkan juga bericara tentang bahasa Arab. Walau buku ini
diniatkan sebagai bukti bahwa penulis betul-betul menaruh minat besar pada
pendidikan bahasa Inggris (h. vii), niat tersebut tidaklah harus menjadi
penentu penggunaan ungkapan bahasa Inggris sebagai judulnya, bukankah
penulis juga mengakui bahwa ia memiliki minat pada pembelajaran bahasa
pada umumnya. Karena judul demikian sudah menyempitkan keluasaan
bahasan yang ada di dalamnya. Pada saat menjelaskan makna judul buku
pada bab pendahuluan, penulis juga menggunakan subjudul “Pendidikan
Umum Versus Pendidikan Bahasa” untuk menjelaskan apa yang diinginkan
oleh buku ini.
Karena menggunakan nama bahasa “Inggris” dalam judul, seolah-olah
mereka yang berkaitan dengan bahasa Inggris saja yang ditargetkan oleh
buku ini, nyatanya pengkaji dan praktisi pengajaran bahasa daerah, bahasa
Indonesia dan bahasa Arab juga banyak terkritik dan terbangkitkan dengan
buku ini. Pada bagian pendahuluan dari buku ini penulis sendiri menyatakan
bahwa ketika menulis buku ini, dia membayangkan bahwa dia sedang
berbagi kebenaran dengan mahasiswa S-1 jurusan bahasa asing tingkat akhir,
mahasiswa PPS, para dosen, para guru senior, serta para pemerhati
pendidikan bahasa dan pendidikan bahasa pada umumnya.
Kami juga mempertanyakan penggunaan ungkapan “di Indonesia” secara
eksplisit di batang judul, bukankah konteks latar belakang penulis dan
setting penulisan buku sudah menjadi indikasi kuat untuk menyampaikan
maksud kepada pembaca bahwa pendidikan bahasa yang dimaksud adalah
pendidikan bahasa di Indonesia. Usul kongkrit kami sebaiknya judul buku
ini adalah “Pembelajaran Bahasa dalam Konteks Persaingan
Global”.
b. Visi dan Misi penulis
Melalui buku ini penulis mencoba mengemukakan pandangan-
pandangannya sekitar pendidikan bahasa Inggris sebagai bahasa asing.
Namun dengan begitu lihainya penulis memaparkan keterkaitan antara
bahasa asing dengan bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Sehingga semua
ragam (pembelajaran) bahasa yang ada bisa bersinergi dengan posisi masing-
masing untuk turut andil menjadi bagian dari pengurai problem pendidikan
14. 14
nasional. Walau bahasa Inggris menjadi pintu masuk penulis untuk turut
berjihad memperbaiki negaranya, para ilmuwan dan praktisi pembelajaran
bahasa yang lain juga turut terjamah dengan ide-ide dan solusi konstruktif
penulis untuk merevitaliasi pembelajarn bahasa dalam pembangunan
pendidikan nasional dan persaingan global.
c. Target Pembaca
Nawaitu buku ini ditujukan kepada mahasiswa S-1 jurusan bahasa asing
tingkat akhir, mahasiswa PPS, para dosen, para guru senior, serta para
pemerhati pendidikan bahasa dan pendidikan bahasa pada umumnya. Tidak
ada yang diajak berdialog dan berdiskusi oleh buku ini. Semua diposisikan
penting dan punya peranan dalam turut andil memikirkan persoalan
pendidikan (bahasa) serta turut membaur diri dalam penyelesaiannya.
Pembaca buku sejak awal diajak untuk menerima masalah sebagai masalah
yang harus diatasi. Karenanya mengkritik diri dan perilaku berbahasa adalah
langkah pertama untuk bisa melangkah maju lebih jauh dalam persoalan ini.
Semua orang dibuat tidak punya pilihan lain selain ikut serta menjadi bagian
dari solusi, karena data-data yang dijadikan landasan oleh penulis untuk
meneguhkan ide dan gagasannya bersumber dari hasil survey dan research
yang sebenarnya sudah dapat dirasakan keberadaannya tetapi tidak bisa
dirumuskan secara sistematis dan menjadi solusi kongkrit seperti yang
dilakukan oleh buku ini.
d. Retorika
Penulis yang setiap kali kami baca biografinya menyebut dirinya sebagai
seseorang yang berlatar belakang pertumbuhan di pesantren sangat terlihat
dengan jelas dalam gaya bahasa yang digunakannya. Pemahaman beliau
tentang konsep pendidikan bahasa secara kaffah, bisa terlihat dengan jelas
dalam gaya bahasanya. Penggunaan istilah-istilah bahasa Inggris dan bahasa
Arab yang dengan sedikit sentuhan akrobat jihad mungil beliau yang kreatif
telah menambah kenikmatan membaca kata-kata demi kata yang tersaji
dalam buku ini maupun buku penulis yang lainnya. Sungguh ini menjadi ciri
khas yang tak terduakan bagi penulisnya.
Sulit sekali untuk mengomentari kekurangan dari karya seorang penulis
produktif yang telah menghasilkan lebih dari 400 artikel dan telah
15. 15
terpublikasi sebagian besar pada Jakarta Post dan Pikiran Rakyat serta telah
menulis karya-karya buku berkualitas tinggi lain yang jumlahnya sudah
melebihi selusin buku. Tetapi, pada bagian-bagian tertentu dalam buku ini
terlihat ketidaksitiqomahan dalam penggunaan gaya bahasa dan penyebutan
diri. Diduga ini karena beberapa tulisan yang masuk dalam buku ini berasal
dari kepentingan lain, yang dimaksudkan semata-mata untuk menggenapi
buku ini. Pada bagian buku yang (menurut kami) benar-benar lahir untuk
menjadi bagian dari judul buku, penulis tampil sebagai seseorang yang akrab
dan cair, seolah-seolah sedang mengajak pembaca berbincang-bincang santai
tentang sebuah topik bahasan yang penting, sehingga membaca buku ini
seperti sedang berdua-duaan dengan penulisnya. Gaya bahasa yang
ditambilkan adalah gaya bahas yang khas milik seorang qualitative yang
banyak menggunakan ungkapan-ungkapan metaforis. Tetapi di bagian lain
dari buku, terutama pada bagian yang diduga merupakan hasil saduran dari
penelitian yang dilakukan oleh penulis, aroma gaya bahasa yang tercium
adalah gaya yang kaku dan baku, yang nampaknya menampilkan sisi lain
dari penulis yang bergelut dengan kehidupan akademis perguruan tinggi.
Apa yang kami sebut sebagai ketidakistqomahan tersebut sebenarnya bisa
dilihat juga sebagai sebuah kelebihan, karena pembaca tidak akan menjadi
bosan karena gaya bahasa dan sapaan yang beragam.
Gaya penulisan lain yang mengganggu kekhusyu’an dalam membaca
adalah penggunaan catatan akhir untuk setiap bab, ini tidak praktis, karena
setiap kali ingin memahami notasi yang digunakan oleh penulis, pembaca
harus membuka bolak-balik halaman catatan akhir tersebut lalu kembali lagi
ke halaman semula yang sedang membaca, semangat pembaca untuk melihat
catatan akhir tidak selalu menggembirakan karena terkadang ada isinya
hanya informasi tentang buku rujukan yang digunakan atau di mana tulisan
yang dimaksud pernah dimuat sebelumnya, tetapi kita juga tidak bisa
mengabaikan (merasa perlu membaca) karena catatan akhir juga terkadang
berisi sebuah konsep atau landasan teoritis yang sangat berarti. Seumpama
teknik notasi yang digunakan dalam buku ini adalah catatan kaki, kendala
teknis tersebut tentu bisa terelakkan karena kita bisa langsung segera
memutuskan apakah kita perlu mendalami informasi yang ada di catatan
kaki atau tidak, karena ia berada pada halaman yang sama.
16. 16
Pencantuman nomor notasi pada kalimat judul/subjudul juga terasa
tidak nyaman dalam pandangan pembaca, nyatanya kami amati, tidak ada
alasan yang mewajibkan penulis untuk meletakkan nomor pada ungkapan
judul, karena bisa diletakkan bada badan isi dan tidak akan merusak isi serta
seni penampilan tulisan. Teknik penulisan nomor notasi seperti ini menjadi
penambah masalah untuk penggunaan catatan akhir.
Karena dalam buku ini penulis gemar sekali menggunakan singkatan-
singkatan, dirasa akan sangat bermanfaat jika pada edisi berikutnya buku ini
dilengkapi dengan indeks daftar singkatan, terutama untuk singkatan-
singkatan yang dikreasi sendiri oleh penulis dan tidak pepuler di kalangan
masyarakat pembaca.
e. Isi Buku
Buku ini memang sukses menyampaikan krtiknya kepada semua pihak
yang cenderung menganggap persoalan bahasa, khususnya bahasa
Indonesia, begitu-begitu saja. Tidak sekadar kritik tentunya, senarai solusi
sudah dibentangkan dalam buku ini yang didasarkan pada apa yang penulis
dapatkan selama ia ber-TEFLIN atau selama perjalanan profesionalnya
selama seperempat abad, serta berdasarkan hasil survey dan research yang
dilakukan penulis sendiri maupun dari beberapa ahli yang punya kepedulian
dalam kajian yang sama.
Walau demikian, sekalipun sempat disinggung bahwa salah satu dampak
dari industrialisasi adalah mengalirnya tenaga kerja berkamampuan rendah
seperti TKW ke pusat-pusat ekonomi dan perdangan multinasional (h. 31),
serta sempat disinggungnya juga tentang ESP (h. 138), tetapi sayang sekali
buku ini luput membicarakan tentang pembelajaran bahasa Inggris untuk
para TKW, padahal kebutuhan akan hal itu sangat nyata, bahkan lebih nyata
bila dibandingkan dengan pengajaran BIPA (bab 8).
Beberapa subbab dalam buku ini terkesan asal letak tanpa terlebih
dahulu dilakukan pengolahan dan penyelasan dengan tema besar yang
diusungnya. Duga kami adalah karena beberapa bagian dalam buku ini sudah
selesai ditulis jauh sebelum niatan penyusunan buku ini direalisasikan.
Sebagai contoh, empat bagian pertama dalam bab tiga adalah perubahan
atau pengalihan dari artikel penulis yang dia tulis pada tahun 1993,
17. 17
sementara buku ini ditulis pada Juli tahun 2000 dalam waktu kurang dari
delapan bulan. Waktu yang singkat untuk menyelesaikan buku sebagus buku
ini dan ditulis oleh penulis yang hebat yang digelari oleh Setiono Sugiharto
dari Jakarta Post sebagai Guardian of Sundanese language, memang sangat
berpeluang untuk menyisakan ruang-ruang bolong di dalamnya. Walau
demikian, kekurangan yang ada terkait isi tidak akan mengurangi
keunggulam tema dan penulisnya.
Untuk menguatkan kesan kami terkait kekurangmaksimalan dalam
peletakan subbab, berikut adalah tema-tema yang relevansinya untuk tema
pengajaran bahasa dan globalisasi masih bisa kita didiskusikan ulang, yaitu:
Kasus Bahasa Birokrat (Bab 2), Bahasa Keterbukaan dan Pers, (Bab 3),
Komoditi Politik, (Bab 3), Pers Edukatif (Bab 3), Pendidikan Bahasa Politik
(Bab 3), Kualifikasi Dosen (Bab 4).
Sementara bab 6, bab 7, bab 8, bab 9, bab 10, dan bab 11 sebenarnya
tidak membicarakan langsung tema besar yang diusung, oleh buku ini, yaitu
pembelajaran bahasa dan globalisasi. Artinya bab-bab yang sudah kami
sebutkan tidak berbicara langsung tentang tema-tema tersebut dalam
konteks globalisasi, tetapi kita memang menyadari bahwa masalah-msalah
itu memang ada dalam pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia. Terkesan,
bahwa enam bab terakhir dari buku ini adalah penelitian atau tulisan artikel
yang sudah penulis selesaikan sebelum buku ini ditulis untuk suatu tujuan
tertentu yang lain, lalu terasa oleh penulis sepertinya tulisan-tulisan tersebut
bisa juga dimasukkan menjadi bagian dari buku ini. Dengan catatan, bahwa
sebenaranya apapun yang kita bicarakan dalam tulisan kita pada masa ini
pasti ia terkait dengan globalisasi sebagai konteks kecenderungan zaman
yang sedang melingkupi kita. Apalagi kalau tema yang terangkat adalah
tentang pembelajaran bahasa Inggris.
G. Kesimpulan
Perspektif bermakna pandangan mentali terhadap sebuah objek beserta
bagian-bagiannya. Ia merupakan akumulasi dan kekuatan penalaran seseorang
terkait objek yang dia amati tersebut berdasarkan data-data mutakhir yang
dimilikinya.Dengan demikian perspektif pendidikan bahasa menuntut kita
melihatnya dari berbagai aspek, terutama hakikat pendidikan dan bahasa.
18. 18
Sebagai kekuatan penalaran, perspektif menuntut kita menemukan relasi
antara objek-objek yang dikaji. Penggunaan data sangat dibutuhkan untuk
memberikan deskripsi yang jelas untuk objek yang dikaji dan bisa
dikomunikasikan dengan berbagai pihak, terutama para pengambil kebijakan
publik.
Pendidikan bahasa di Indonesia diberondong oleh berbagai persoalan
yang berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Persoalan-persoalan
tersebut antara lain terkait dengan metodologi pengajaran, buku ajar,
kurikulum, kualifikasi pengajar, kebijakan pemerintah, dan kesiapan lembaga
penyelenggara pembelajaran bahasa. Semua persoalan terkait dengan
pembelajaran bahasa tersebut perlu dicarikan solusi konstruktifnya, karena
pembelajaran bahasa dapat menjadi jembatan bagi pencapaian tunjuan
pendidikan secara umum. Terutama ketika harus berhadapan dengan era
globalisasi yang kaya dengan bahasa, simbol, model, peran, makna, media,
representasi, tingkah laku, motivasi, visi, dan harapan baru.
Semua pihak, terutama para ilmuwan, bertanggung jawab melakukan
analisis untuk mencari solusi-solusi baru dalam menyikapi berbagai persoalan
yang menggelayuti pendidikan nasional. Dalam bingkai ini, ilmuwan dan
praktisi pendidikan bahasa ditutut untuk mengkaji ulang persoalan-persoalan
pendidikan dan kebahasaan serta menawarkan solusi dan interpretasi untuk
berbagai persoalan yang terlihat anomali, aneh atau tidak masuk akal.
Untuk bisa menjadi bagian dari keunggulan dalam persaiangan
globaliasasi, pendidikan bahasa harus bisa melahirkan individu-individu yang
memiliki kemampuan multilingual, dimana bahasa daerah dan bahasa
Indonesia tetap dipertahankan sebagai medium pembangunan kebudayaan,
sementara bahasa asing (khususnya bahasa Inggris) sebagai media penguasaan
teknologi dan informasi kesajagatan.
Pembelajaran bahasa yang berdaya saing tingkat global menuntut
pembenahan pembelajaran bahasa sejak dini dari, dari rinkat SD sampai PT,
serta menunut pula peningkatan kualitas sumber daya manusia pelakunya, baik
ilmuwan dan praktisi pembelajaran bahasa asing. Penyiapan mereka menjadi
tanggung jawab pokok LPTK dengan dosen sebagai aktor sentralnya. Dengan
keluasan wilayah negara Indonesia dan kearagaman budaya yang dimilikinya,
pemerataan kualitas LPTK beserta para dosennya menjadi tanggung jawab
19. 19
negara yang tidak bisa terelakkan lagi. Kemampuan pokok yang penting untuk
dimiliki oleh lulusasn LPTK dan para dosennya adalah kemampuan
berkomunikasi dalam bahasa asing dan kemampuan untuk berkarya tulis dalam
bahasa asing.
H. Daftar Pustaka
Ali, Fachry. 2002, Budaya, Nasionalisme, dan Komunikasi, Makalah
disampaikan dalam Seminar Tranformasi Sosial Budaya
Alwasilah, A. Chaedar. 2012, “Redesigning Curriculum for Multicultural
Teachers” The Jakarta Post. March 17.
_________, 2000, Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia dalam
Konteks Persaingan Global, Bandung: Adira.
Banks, James A, And Bank, Cherry A. (1997), Multicultural Education, Boston:
Alan and Bacon.
Hasibuan, Zainal Efendi, 20120, Guru Profesional dan Masa Depan Bangsa,
Pasaman Barat: Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Pasaman
Barat, 17 Januari.
Hilm, Masdar Hilm. 2002, Pendidikan Berbasis Multikultural, Kompas, Kamis
14 November.
http://www.merdeka.com/pernik/kebiasaan-baca-tulis-perlu-dikembangkan-
6e5omsj. html, Diakses tanggal 10 Juli 2012.
Indra, Januar S, “Globalisasi Pendidikan di Indonesia”. http://re-
searchengines.com/sixtus0409.html. Diakses tanggal 13 Agustus 2012.
Muhaimin. 2006, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut
Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press.
Nasikun, 2000, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Nizar, Samsul dan Zainal Efendi Hasibuan, 2011, Hadis Tarbawi: Membangun
Kerangka Pendidikan Ideal Perspektif Rasulullah, Jakarta: Kalam Mulia.
Purba, Hana Kristina dan Maria Husnun Nisa. 2012, “Dampak Globalisasi
Dalam Dunia Pendidikan” http://edukasi.kompas.com. Diakses tanggal 13
Agustus.
Sarumpaet, J.P. 1988. Pengajaran Bahasa Indonesia di Australia. Makalah
Kongres Bahasa Indonesia V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sugiharto, Setiono. 2008, “Rethinking global Englishes in the context of
globalization” The Jakarta Post. December 07.
20. 20
___________. 2009, “Adeng Chaedar Alwasilah: Guardian of Sundanese
Language”. The Jakrta Post, 14 April.
The Association of Teachers of English as a Foreign Language (TEFLIN), 2011,
“Pernyataan Kebijakan Tentang Pengajaran Bahasa Inggris Di Indonesia”,
Isola Resort, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung 12-13 Februari.
21. MEMENANGI GLOBALISASI DARI KRITIK DIRI
MAKALAH
Disampaikan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
METODOLOGI PENELITIAN BAHASA
Dibimbing Oleh:
Prof. A. Chaedar Alwasilah, M.A., Ph.D.
Disusun Oleh:
Erta Mahyudin
NIM: 3.210.3.006
KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2012 M/1433 H