1. 1
BAB II
Berbagai Usaha Mengembangkan Bahasa Ideal
(Lanjutan)
B. Problematika Proposisi Umum
Russel berpendapat bahwa ada proposisi jenis lain yang tidak termasuk
proposisi atomis dan tidak pula termasuk proposisi kompleks (murakkabah), di
antara proposisi jenis lain ini adalah proposisi umum (qhadiyyah amah).
Proposisi jenis ini terkadang disebut oleh Filosof bahasa aliran gambar tradisional
dengan istilah qhadiyyah kulliyah (proposisi keseluruhan) dan terkadang disebut
juga dengan qhadiyyah hamliyah (proposisi berpredikat). Contoh proposisi jenis
ini adalah ungkapan “Seluruh manusia binasa.” Sedangkan Filosof bahasa aliran
gambar modern berpendapat bahwa proposisi umum seperti di atas bukanlah
qhadiyyah hamliyah, melainkan proposisi bersyarat.
Russel berpendapat bahwa ketika proposisi kompleks dan proposisi
eksperimental menggambarkan suatu realita, maka pada saat yang sama proposisi
umum juga harus menggambarkan realita dan pada saat yang sama juga ia
menggambarkan realita yang umum. Akan tetapi, apakah ada yang disebut dengan
realita umum? Russel sepertinya memaksakan diri mengatakan realita umum itu
ada. Kalau dia mengatakan realita umum tidak ada, maka pada saat itu dia secara
tidak langsung mengatakan bahwa proposisi umum itu tidak ada, sesuatu yang
tidak mungkin baginya. Atau bisa saja penolakannya terhadap keberadaan realita
umum itu bermakna bahwa dia memprediksi bahwa ada suatu proposisi umum
yang tidak berkaitan dengan alam realita, pendapat ini tetap tidak masuk akal.
Inilah problem pokok proposisi umum.
Kapan kita bisa mengatakan suatu proposisi benar atau salah? Proposisi
dikatakan benar jika sesuai dengan realita, begitu juga sebaliknya, dia salah jika
bertentangan dengan realita yang ada. Dalam proposisi umum, realitanya harus
umum, tapi masalahnya apa yang dimaksud dengan realita umum? Bukankah
realita itu selalu parsial, seperti Sokrates meminum racun. Napoleon takluk pada
tahun 1815. Zaid tidak masuk, dan sebagainya. Dengan nada keraguan, Russel
2. 2
mempunyai pemahaman bahwa proposisi umum terkadang berbentuk ikatan
antara prosisi parsial, tetapi dia menolak pendapat ini, karena apabila kita berkata
bahwa A adalah B sebagai suatu ringkasan dari sejumlah proposisi personaliti
seperti Muhammad adalah manusia dan binasa, Zaid adalah manusia dan dia akan
binasa, Amer dan sebagainya, maka proposisi umum lebih luas dari sekedar
proposisi-proposisi personaliti karena dia juga mengandung proposisi yang lain,
yaitu: semua ini adalah A. Pernyataan ini merupakan proposisi umum dan
menunjukkan realita yang umum juga.
Filosof bahasa yang lain berbeda pendapat dengan russel dalam persoalan
ini. Wittgenstein berpendapat bahwa proposisi umum bukan tidak tersusun dari
proposisi parsial yang saling terkait, tetapi dia berubah sikap lalu menolak
pendapat Russel. Filosof bahasa Inggris Ramsey berpandapat bahwa proposisi
umum tidak bisa disebut benar atau salah, kita hanya bisa menjadikannya kaidah
yang akan membantu kita untuk memberikan berbagai prediksi seperti kita
berkata „Setiap arsenik adalah racun‟, maksud pernyataan ini adalah apabila
bendaadalah arsenik, maka sama saja kita mengatakan benda adalah racun. Ada
juga Filosof bahasa dan filosof Jerman Karl Popper yang mengatakan bahwa
proposisi umum itu bisa ditentukan apakah dia benar atau salah, karena bisa
diberlakukan kriteria kemungkinan dusta (falsifiability), artinya kita mencari
kondisi atau realita yang bisa menunjukkan kesalahan suatu proposisi, jika kita
menemukan kondisi tersebut, maka proposisi umum itu bisa dikatakan salah,
begitu juga sebaliknya, jika kita tidak dapat menemukan realita yang bisa menolak
kebenaran proposisi umum, maka proposisi itu benar. Begitulah kenyataannya,
sebagaian filosof bahasa berpendapat bahwa proposi umum bisa ditentukan
apakah dia benar atau salah, sementara filosof bahasa yang lain berpendapat
sebaliknya. Russel terpaksa mengakatan bahwa realita umum yang ditunjukkan
oleh proposisi umum itu ada, walau begitu sulitnya untuk menggambarkan realita
tersebut. Dengan demikian belum ada kata sepakat antar para filosof bahasa
tentang proposisi umum; ia tersusun dari apa dan menunjukkan apa?
3. 3
C. Struktur Bahasa Berkesesuaian Dengan Susunan Realita
Dalam usahanya menyusun teori logical atomic, Wittgenstein bersikukuh
bahwa bahasa adalah gambaran atau lukisan (picture) detail untuk setiap realita.
Dia juga menyatakan bahwa susunan proposisi yang benar bersesuaian dengan
susunan realita yang ditunjukkannya. Dalam setiap gambaran, harus ada hubungan
antara yang satu dengan yang lainnya, yaitu hubungan antara unsur-unsur
gambaran dengan unsur-unsur yang digambarkannya, dengan kata lain terdapat
kesesuaian antara gambar dan apa yang digambarkannya. Kesesuaian tersebut
terkadang tidak terlihat dengan jelas sejak awalnya, sebagaimana kita juga tidak
bisa langsung menangkap hubungan atau keserupaan susunan antara not-not
musik dengan melodi musik, begitu juga halnya dengan keserupaan antara bahasa
dan realita. Argumen minimal yang diajukan untuk mempertahankan pendapat
bahwa ada keserupaan antara bahasa dan realita adalah bahwa isim menunjukkan
sesuatu yang tunggal, yang tertentu, dan bahwa sifat dalam bahasa sesuai dengan
sifat nyata yang dari sesuatu yang tunggal dan tertentu tersebut. Bahwa Fi’il
sebanding dengan hubungan tertentu antara sesuatu dengan yang lainnya.
Gambaran bahasa untuk realita sama seperti peta atau gambar ilustrasi, atau antara
piringan musik dengan melodi yang keluar darinya. Kita tahu Russel tidak
mengajukan teori gambar bahasa (picture theory of language), sekalipun dia
memiliki pendapat sendiri terkait dengan teori itu, sebegaimana yang akan
dijelaskan berikutnya. Tetapi supaya Russel selalu sejalan dengan pendapatnya,
dia harus meyakini adanya kesesuaian antara bahasa dengan realita.
Perubahan Pandangan Para Pengagas Teori Ini
Russel dan Wittgenstein mengembangkan teori logical atomic sejak tahun
1912, mereka terus mempertahankan teori tersebut kira-kira selama dua puluh
tahun, sebagaimana yang telah dijelaskan. Tujuan dari pengembangan teori
tersebut adalah berusaha membangun bahasa simbolik ideal yang bisa
menghindari semua kekurangan yang dimiliki oleh bahasa biasa, kosakata dari
bahasa ideal tersebut memiliki makna yang batas-batasannya sangat jelas,
sehingga ujung dari setiap analisa adalah kita akan menemukan suatu bahasa yang
4. 4
semua kosakatanya adalah isim alam dan sifat-sifatnya yang sederhana sehingga
bisa ditanggkap langsung dengan panca indra, kemudian dari kata-kata tersebutlah
disusun propsisi kompleks, atau mengurai proposisi kompleks sampai pada
proposisi yang paling sederhana yang hanya terdiri dari isim alam dan sifat-
sifatnya. Tetapi, pada akhirnya mereka berdua menyadari bahwa program
pengembangan bahasa ideal adalah suatu proyek yang tidak akan mungkin
terwujud, akan tetapi sebagian kritikus meragukan keseriusan Russel mengungkap
adanya bahasa semacam itu. Karena itu kedua filosof bahasa tersebut akhirnya
mencabut pendapat mereka dengan berbagai alasan, penolakan untuk teori
tersebut ternyata datang dari penggagasnya sebelum datang dari penentangnya.
Berikut adalah beberapa alasan yang melatarbelakangi pengunduran diri
Russel dan Wittgenstein:
1. Dunia tersusun dari realita kompleks yang jumlahnya tidak terhingga, dengan
jumlah sebanyak itu adalah tidak mungkin menyederhanakannya menjadi
realita yang paling sederhana dengan cara yang telah ditawarkan oleh teori
tersebut, bahkan kita juga tidak punya standar kesederhanaan mutlak, dan kita
juga tidak bisa dengan pasti membedakan antara yang sederhana dengan
kompleks (Russel dan Wittgeinstein)
2. Russel mencabut pendapatnya tentang isim alam logic di bawah tekanan para
pengkritiknya yang menyatakan bahwa “ini” bukanlah isim alam logic,
karena bisa terjadi (menurut teori deskriptif) itu sebenarnya merupakan
penyingkatan dari deskripsi “ini”, yaitu “apa yang sedang saya tunjuk
sekarang ini”. Setelah itu Russel berpendapat bahwa kita bisa menganggap
bahwa setiap isim merupakan ringkasan dari sekumpulan sifat, atau suatu
yang bisa diindra (susunan logic) termasuk ke dalam kumpulan sifat.
3. Kegagalan memberikan penjelasan yang terang dan memuaskan tentang
proposisi umum berdasarkan asumsi adanya realita umum, dan pembahasan
tentang realita umum merupakan gambaran yang abscure/tidak jelas, tidak
memiliki aplikasi nyata dalam realita. Kenyataan ini menggiring mereka ke
dalam dilema: antara „apakah kita akan menerima atau menolak adanya
realita umum‟, jika kita menerima maka berarti kita menerima sesuatu yang
5. 5
tidak bersesuaian dengan kenyataan, tetapi jika kita menolaknya, berarti kita
telah menolak keberadaan proposisi umum yang merupakan sebagian besar
kalimat bahasa biasa, suatu keputusan yang tidak bisa diterima (Russel dan
Wittgeinstein).
4. Wittgenstein menemukan kekeliruan dari teori gambaran bahasa, bahkan di
dalam buku tempat dia membela teori tersebut. Dia paling tidak menyadari
satu contoh yang bertentangan dengan teori ini, yaitu proposisi tertentu
tentang gambaran logic tidak berbanding dengan suatu kenyataan tertentu.
5. Meskipun Russel tidak menujukkan usaha maksimalnya di dalam
menjelaskan teori gambaran bahasa dalam bentuk yang diajukan oleh
Wittgenstein (asumsi adanya kesesuiaan antara susunan proposisi dan
susunan realita), tetapi dia tidak secara terang-terangan menerima atau
menolaknya. Di dalam Introduction to Mathematical Philosophy (1913),
Russel menuliskan “Kajian terhadap struktur bahasa mengungkapkan
pertanyaan filosofis yang lebih besar dari apa yang diprediksi oleh para
filosof, meskipun kita memastikan bahwa analisis struktural menyebabkan
perbedaan filsafat yang asli, tetapi kenyataan yang pertama menjadi bukti
untuk yang kedua”, akan tetapi dia mengakhiri bukunya Bahts fi al-Ma’na wa
al-Shidq (1940) dengan mengatakan “sedengkan menurut saya pribadi saya
berkeyakinan bahwa kita bisa -berkata adanya struktur kalimat- sampai pada
kalimat yang selaras dengan struktur dunia.
6. Wittgeinstin di dalam filsafatnya yang berkembang berpendapat bahwa
melaporkan kenyataan bukanlah satu-satunya fungsi fundamental bahasa,
bahasa memiliki banyak sekali fungsi seperti memberi pertintah,
mengekspresikan keinginan, memainkan peran sandiwara, menceritakan
suatu kisah, mengungkapkan penghormatan dan sebagainya. Dia juga
berpendapat bahwa kata dalam bahasa tidak hanya memiliki satu makna.
Yang membatasi makna suatu kata adalah penggunaannya dalam bahasa
biasa. Dengan demikian makna kata akan beragam sejalan dengan keragaman
penggunaannya dalam konteks yang beragam. Pemahaman inilah yang
mengarahkan kita membahas persoalan berikutnya.
6. 6
Penutup
1. Ketelitian, kejelasan dan kebenaran adalah tiga aspek suci yang menjadi
fokus perhatian utama setiap filosof, termasuk para filosof bahasa. Mereka
begitu berlebih-lebihan dalam mencari tiga persoalan tersebut sehingga
sampai-sampai mencari sesuatu yang tidak mungkin. Di antara usaha yang
dikerahkan untuk mendapatkan target tersebut adalah apa yang dilakukan
oleh Wittgenstein dan Russel yang berusaha mengembangkan bahasa ideal,
yaitu suatu bahasa khusus yang terbebas dari kerancuan dan kekurangan
bahasa biasa, dengan cara ini mereka ingin mewujudkan tiga aspek tersebut
dalam bahasa. Tidak ada salahnya menulis dengan bahasa khusus dalam
bidang matematika dan ilmu-ilmu eksperintal modern, akan tetapi dari usaha
tersebut dan dari penerapan bahasa ideal dalam pembahasan filsafat yang
bertujuan untuk menggambarkan realita dengan bahasa yang paling teliti dan
paling jelas, terlihat bahwa dua filosof bahasa tersebut telah mencoba
melakukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Mereka berdua menginginkan
sebuah bahasa yang semua kosakatanya terdiri dari isim alam, setiap isim
hanya digunakan untuk satu benda saja dan untuk maksud yang terbatas,
mereka tidak menerima isim dalam pengertian yang sudah populer, mereka
berusaha menemukan pola isim alam yang paling sederhana, yaitu yang
langsung menunjuk pada pengalaman eksperimen yang terbatas. Dengan
demikian kita akan memiliki proposisi yang paling sederhana, yang tersusun
dari isim alam yang dimaksud beserta sifat-sifatnya. Kosntruksi proposisi ini
berlandaskan pada kaidah-kaidah logika kontemporer. Akan tetapi di sini
ditemukan bahwa isim dan proposisi tersebut jauh berbeda dari realita yang
kompleks dan rumit. Oleh karena itu, bahasa yang baru tersebut dianggap
tidak mampu mewujudkan targetnya, yaitu menggambarkan realita secara
akurat, jelas dan benar. Kenyataan tersebut telah memaksa penggagasnya
untuk menerima kepahitan bahwa mereka telah gagal menyusun sebuah
bahasa ideal tentang realita, teori-teori lain yang sejenis yang menggaungkan
adanya persesuaian sempurna antara bahasa dan realita juga gagal dengan
sendirinya.
7. 7
2. Sesudah itu Russel mengungkap bahwa sekalipun tidak mungkin menemukan
kesesuaian sempurna antara bahasa dan realita, dia tetap berkeyakinan bahwa
terdapat kesesuaian mendalam yang rumit antara susunan bahasa dengan
susunan realita, akan tetapi dia seperti tidak berdaya menjelaskan kesesuaian
tersebut, atau barangkali dia berkeyakinan bahwa bahwa setiap apa yang bisa
digapai dalam kaitan hubungan antara bahasa dan realitan cukup kita kuatkan
saja. Ketika Wettgeinstin menyadari kegagalan proyek pengembangan bahasa
ideal, dia mulai mengalihkan perhatiannya kepada bahasa biasa yang
berkarakter memiliki kerancuan, ketidakjelasan, keluasan tetapi tetap bisa
digunakan sebagaimana mestinya, tanpa harus diperbaiki atau daiatur dengan
usaha ilmiah atau filosofis. Tabiat kata dalam bahasa biasa memiliki
keragaman makna selaras dengan keragaman penggunaannya, tidak ada satu
makna yang memiliki batasan yang sangat ketat untuk setiap kata. Fungsi
bahasa juga beragam tidak terbatas hanya untuk mendeskripsikan realita.
3. Pada bagian ini kita juga memahami adanya kesadaran para filosof bahasa
akan adanya kesulitan yang harus dihadapi ketika mereka ingin menafsirkan
proposisi umum dan bagaimana menentukan landasan kebenarannya, seperti
“semua binatang adalah makhluk yang hidup” atau “semua orang yang rajin
berhak mendapatkan pujian” dst. Kesulitannya terletak pada penerapan
prinsip bahwa proposisi yang benar adalah yang menegaskan realita, dan
yang salah adalah yang bertentangan dengan realita, menerapkannya menjadi
sulit karena seluruh realita itu bersifat parsial, tidak ada yang universal.
Penyebab kesulitan berikutnya adalah bahwa untuk mengetahui kebenaran
proposisi umum, kita harus menghitung setiap contoh parsial yang termasuk
ke dalam bagian dari objek proposisi tersebut, sesuatu yang tidak akan
mungkin terjadi. Meskipun demikian sebagian filosof bahasa masih ragu
untuk memasukkan proposisi ini ke dalam bagian dari propsisi, yang
kemudian menjadikan mereka berada dalam dilema, adalah tidak mungkin
mengingkari keberadaan proposisi umum karena bahasa kita dipenuhi oleh
hal-hal semacam itu, sebagaimana mereka juga tidak mungkin menentukan
kebenaran atau kesalahan proposisi tersebut.
9. 9
BAB II
BERBAGAI USAHA MENGEMBANGKAN BAHASA IDEAL
(LANJUTAN)
Makalah Terjemahan
Disampaikan untuk Memenuhi Tugas
Falsafah al-Lughah
Dibimbing Oleh:
Prof. Dr. KH. T. Fuad Wahab, MA
Oleh:
Erta Mahyudin Firdaus
NIM: 3.210.3.006
Program Pascasarjana Jurusan Pendidikan Islam
Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
2011 M/1431 H