Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) Dokumen tersebut membahas pemikiran Abdul Qahir Al-Jurjani tentang nazham Alquran.
2) Abdul Qahir Al-Jurjani dianggap sebagai pemikir muslim pertama yang mengkaji nazham Alquran secara mendalam.
3) Kajian nazham Alquran semakin berkembang setelah ulama seperti Al-Jahizh menyatakan bahwa kemukjizatan Alquran terletak pada susun
Modul 9 Penjas kelompok 7 (evaluasi pembelajaran penjas).ppt
An nazham menurut abdul qahir aljurjani (tugas uas)
1. PEMIKIRAN ABDUL QAHIR AL-JURJANI
TENTANG NAZHAM ALQUR’AN
Oleh: Erta Mahyudin
A. PENDAHULUAN
Alquran adalah kalam Allah yang diturunkan dalam bahasa Arab. Bahasa Arab
yang digunakannya adalah yang mengandung berbagai aspek keindahan bahasa yang
tersendiri. Ilmu-ilmu bahasa Arab berkembang pesat tak lepas dari faktor turunnya
Alquran dalam bahasa Arab. Alquran sebagai kitab samawi pegangan umat Islam
merupakan inspirator bagi para ahli bahasa Arab untuk mengkonsep berbagai macam
pengetahuan yang dapat digunakan untuk menjaga keasliannya, membantu
memahaminya, dan menemukan sisi-sisi keindahannya.
Alquran adalah mu'jizat terbesar sepanjang masa. Keindahan bahasa dan
kerapian susunan katanya tidak dapat ditemukan pada buku-buku bahasa Arab
lainnya. Gaya bahasa yang luhur tapi mudah dimengerti adalah merupakan ciri dari
gaya bahasa Alquran. Kemukjizatan Alquran ini membuat banyak ulama (khusunya
mutakallimin dan mufassirin) terus mengeksplorasi sisi-sisi kemukjizatan Alquran.
Menurut al-Jâhizh, kemukjizatan Alquran terletak pada nazhamnya. Nazham
Alquran mempunyai makna yang amat mendalam, padahal kata-katanya sedikit. Ibnu
Qutaybah al-Dinawari menyatakan, kemukjizatan Alquran terletak pada keajaiban
nazhamnya yang tak membosankan saat dibaca atau didengar meski dibaca atau
didengar berlama-lama dan makna yang kaya dalam kata-kata yang singkat.
Pendapat ini juga diamini oleh Ibnu Jarîr al-Thabari, al-Wâsithi, al-Rummâni, al-
Khaththâbi, al-Baqillâni, dan al-Jurjâni. Di antara mereka yang juga menulis kitab
tentang nazham Alquran adalah Abu Bakar Abdullah al-Sijistani, Abu Zayd al-
Balkhi, dan Ibn al-Ikhsyid al-Mu‘tazili.
2. Lalu apa itu nazham Alquran? Itulah masalah pokok yang akan dikaji dalam
makalah ini, khususnya dalam pandangan Abdul Qahir Al-Jurjani, yang mampu
merumuskan makna nazham Alquran secara sistematis. Beliau dianggap sebagai
pemikir muslim pertama yang mengkaji nazham Alquran secara mendalam,
menganalisanya secara panjang lebar dan memaparkan teori makna dalam kajian
estetika dan stilistika Arab, jauh mendahului kajian-kajian barat modern.
B. PEMBAHASAN
1. Biografi Singkat Abdul Qahir al-Jurjani
Nama lengkap beliau adalah Abu Bakar Abd al-Qâhir bin Abd al-Rahmân
bin Muhammad al-Jurjâni.1
Beliau adalah seorang sastrawan Persia yang lahir
pada abad keempat hijriyah, tepatnya pada tahun 377 H di kota Giorgan/Jurjan,
Iran.2
Karena itulah beliau juga dikenal dengan sebutan Al-Jurjani.
Beliau berasal dari keluarga sederhana yang tidak memungkinkannya
memiliki harta lebih untuk membiayai pendidikan beliau di luar kota
kelahirannya. Meskipun beliau sangat menyenangi ilmu pengetahuan semenjak
muda belia, terutama diskurus bahasa dan gramatikal yang dianggap sebagai
dimensi dasar pematangan intelektual berbagai diskursus lainnya demi
memekarkan kembali peradaban Islam.
Karena itu beliau berusaha mendalami ilmu tersebut pada guru-guru di
negerinya. Di antara guru beliau yang paling banyak dikenal adalah Abu al-
Hussein Muhamad al-Farisi al-Nawawi. Kesadaran akan pentingnya disiplin tata
bahasa tersebut menjadikan Al-Jurjani salah seorang dari tokoh sastrawan besar
1
Biografi beliau dapat dibaca di Anbah Al-Ruwat 2/188, Bughyat al-Wu’at 310, Thabaqhat al-
Syafi’iyah karya Al-Subkiy 3/242, Syadzarat Al-Zhahab Karya Ibn al-Imad 3/340, Al-Nujum Al-
Zahirah karya Ibn Tagriy Bardiy 5/108, Dumyah al-Qashr karya Al-Bakhraziy 108, Wafayat al-
Wafayat 297, Raudhat al-Jannat 143, Bruklman 1/341, Mulhaq 1/503, Zaidan 3/46, A’lam Az-
Zarkaliy 4/184.
2
Ahmad Mathlub, Al-Jurjani; Balaghatuhu wa Naqduhu, (Beirut:.Wakâlat Al-Matbu’ât, tt),
hal. 11.
3. di zamannya, hingga namanya disandingkan dengan Ali bin Abd Aziz Al-
Jurjani, tokoh satrawan besar pada abad kelima yang berdedikasi tinggi dalam
gerakan keilmuan pada saat itu.3
Al-Jurjani juga belajar dari pamannya Syaikh
Abu Ali Al-Farisiy.4
Beliau juga belajar dari peninggalan para guru yang
mumpuni berbahasa Arab semisal Sibawaih, Al-Jâhizh, Abu Ali Al-Fârisi, Ibnu
Qutaybah, Ibnu Qudâmah bin Jafar, Abu Hilâl Al-Askari, Abu Ahmad Al-Askari,
Abdurrahman bin Isa al-Hamdani, Al-Marzubanit dan Al-Zajâj.
Beberapa murid Al-Jurjani antara lain: Yahya Bin Ali Khatib, Abi Nasr
Ahmad bin Ibrahim bin Syajari dan Ali bin Zaid Alfayahi. Pun, mereka telah
menyebarkan ilmunya di Irak dan di Baghdad sesuai dengan apa yang telah ia
pelajari dari Al-Jurjani.
Masa hidup Al-Jurjani dipenuhi oleh berbagai pertikaian dan peperangan
antara penguasa dan para pemberontak di seantero daerah kekuasaan Daulah
Abbasiyyah. Karena itu banyak ulama yang memilih menentramkan diri dari hiruk
pikuk pertikaian politik dengan cara melarutkan diri dalam pengabdian untuk ilmu
pengetahuan, dan termasuk di dalamnya adalah Al-Jurjani sendiri.
Keistimewaan Al-Jurjani yang tidak dimiliki oleh seluruh sastrawan lainnya
-kecuali beberapa orang saja- adalah ketajaman daya analisa yang beliau
milikinya, hal tersebut terbukti dalam beberapa analisanya tentang berbagai karya
sastrawan-satrawan lainnya seperti Sibawaih dan al-Jahizh, begitupun teori yang
ia gunakan dalam membahas pelbagai pembahasan sastra dan balaghah/retorika
bahasa, meskipun menggunakan bahan landasan dan titik tolak yang sama, tetapi
beliau berusaha melihat dari berbagai sisi yang berbeda.
Al-Jurjaniy adalah seorang penulis yang produktif dalam bidang nahwu,
sharaf dan Balagah. Di antara karya beliau adalah:
a. Dalâil al-I’jâz fi Ilm al-Ma’ani
3
Ahmad Mathlub, Al-Jurjani ……, hal. 14.
4
Mu’jam al-Udaba’, 14/16.
4. b. Asrâr al-Balâghah
c. Al-Mughni, dalam 3 Jilid, merupakan penjelasan dari kitab al-Idah karya Abu
‘Ali Al-Farisi.
d. Al-Muqhtashad, ringkasan dari kitab Al-Mughniy
e. Al-Takmilah, penjelasan tambahan untuk kitab Abu ‘Ali Al-Farisi (al-Idah)
f. Al-Îjâz, ringkasan kitab Abu ‘Ali Al-Farisi (al-Idah)
g. Sebuah kitab tentang Arudh
h. Al-Mukhtâr min Dawâwin al-Mutanabbi wa al-Buhturi wa Abu Tamâm
i. Syarah Surah al-Fatihah
j. Al-Mu’thadad, Syarah Kitab I’jâz al-Qur’ân karya Al-Wâsiti
k. Al-Risalah al-Syafiyah fi al-I’jâz
l. Al-Tadzkirah fi Maudhû’ I’jâz al-Qur’ân
Sastrawan besar ini meninggalkan dunia pada abad ke lima pada tahun 471
H meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang tahun dan tanggal pastinya.5
2. Perkembangan Kajian Nazham sebelum Abdul Qahir Al-Jurjani
a. Nazham Pada Masa Jahiliah sampai Masa Umawiah
Kajian khusus tentang nazham belum ada pada zaman jahiliah dan masa
umawi, karena balaghah sudah menjadi saliqah (talenta/kompetensi alami) bagi
bangsa Arab. Lalu pada masa Abbasiyah mulailah terjadi percampuran antara
bangsa Arab dengan bangsa non-Arab yang berdampak pada terjadinya
lahn/kesilapan bahasa. Pada masa ini mulailah timbul suatu ilmu yang
membicarakan tentang pengaruh penyusunan kata (tanzhîm al-kalimât) terhadap
suatu makna. Pembicaraan tentang nazham mulai muncul dalam pembahasan para
ulama nahwu, balaghah dan kemukjizatan Alquran sejak abad kedua hijriah.
5
Hatim Dhamin, Nazhariyat al-Nazham ‘inda Abd al-Qahir al-Jurjani, (al-Qahirah: Dar al-
Tsaqafah al-Islamiyah, 1995), hal. 24.
5. Misalnya, pada saat menjelaskan tentang pembentukan kalam, Ibnu al-Muqaffa (w
142 H) sudah menyinggung soal nazham.6
b. Sibawaih dan Abu Abaidah
Sibawaih juga memiliki perhatian kepada nazham, semisal penjelasannya
tentang huruf athaf dan pengaruhnya terhadap baik dan buruknya suatu nazham,
begitu juga tentang mendahulukan (taqdîm) apa yang ditanyakan daripada kata
tanyanya, dan khabar nakirah untuk kata nakiran.7
al-Farra’ juga turut ambil
bagian dalam menjelaskan makna nahwu dan balaghah. Penjelasan-penjelasan
dari ulama tersebut, ditambah dengan usaha yang dilakukan oleh Abu Ubaidah
Mu’ammar bin al-Mutsanna al-Bishri (211 H)8
dalam menjelaskan kemukjizatan
Alquran dari segi susunan bahasanya, semisal taqdim dan ta’khir, menjadi
tonggak awal cikal bakal lahir dan berkembangnya teori “Nazham”.
c. Al-Jahizh
Teori nazham semakin berkembang luas berkat upaya al-Jahizh (255 H)9
yang menyatakan bahwa kemukjizatan Alquran terletak pada susunanya. Al-
Jahizh juga memiliki sebuah kitab yang berjudul )¯( , walaupun tidak
ditemukan bukunya, tetapi judulnya sudah dengan jelas mengungkapkan isi
bahasannya.
Beliau lah orang pertama yang berbicara tentang nazham sebagai sebab
kemukjizatan Alquran. Beliau berkata bahwa sumber kemukjizatan Alquran
6
Hatim Dhamin, Nazhariyat al-Nazham, …, hal 6-7.
7
Hatim Dhamin, Nazhariyat al-Nazham, …, hal. 9.
8
Termasuk ahli dalam bidang bahasa, orang yang pertama kali menyusun kata-kata yang asing,
karangannya hampir berjumlah 200 buku.
9
Nama lengkapnya adalah Abu Utsman ‘Amr bin bahr bin Mahbub dengan julukan Al-Jahizh,
lahir di Bashrah tahun 150 H dan wafat tahun 255 H. Lihat Abd al-Ghani Muhammad Sa’d Barkah,
al-Ijaz al-Qur’ani: Wujuhuhu wa Asraruhu, (al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 1989), hal. 57.
6. adalah nazham dan uslubnya yang luar biasa yang berbeda dari uslub bahasa
Arab, baik yang berupa puisi maupun prosa, termasuk sajak di dalamnya.10
Dalam pandangan Al-Jahizh nazham merupakan inti kemukjizatan Alquran,
nazhamlah yang membuat Alquran mampu melahirkan keindahan sebuah bahasa
yang berefek pada jiwa dan hati. Keindangan ini tidak bisa ditandigi oleh
manusia, karena pada saat ada manusia yang menentangnya, justru akan semakin
menunjukkan kelemahan manusia itu.11
Pandangan Al-Jahizhh tentang nazhm qurani terangkum dalam beberapa
point berikut ini:
1) Pandangan Al-Jahizh terhadap uslub alquran adalah pandangan logis terbatas
yang terpengaruh dengan zauq dan intuisi.
2) Pandangan Al-Jahizh tentang uslub Alquran belum bisa dijadikan kaidah
yang tersusun rapi karena masih berupa fragmen-fragmen yang tersebar
dimana-mana.
3) Pandangan Al-Jahizh tentang uslub Alquran dari aspek nazham dan tarkibnya
merupakan sesuatu yang bernilai tinggi melahirkan kajian yang penting
terkait uslub Alquran.
4) Membahas makna balaghiyah dalam kajian Alquran yang dilakukan oleh Al-
Jahizh bukanlah tujuan langsungnya, tetapi sebagai ekses dari kejiannya
terhadap beberapa fenomena Alquran, karenanya tidak bisa dijadikan kaidah
umum.
d. Ibu Qutaibah dan Al-Mubarrad
Setelah Al-Jahizh, datanglah Ibnu Qutaibah (213-276 H) dengan kitabnya
Takwîl Musykil al-Qur’ân, yang menyatakan bahwa kemukjizatan Alquran
10
Syauqi Dhaif, An al-Balaghah al-Arabiyyah; Tathawwur wa Tarikh, (al-Qahirah: Dar al-
Ma’arif, 1965), hal. 109.
11
Abd al-Karim al-Khatib, I’jaz al-Qur’an; Al-I’jaz fi Dirasah al-Sabiqin, (Mishr: Dar al-Fikr
al-Arabi, 1974), hal. 165.
7. terletak pada nazhm-nya. Abul Abbas al-Mubbarad juga berpendapat yang sama,
seperti yang terungkap dalam dialognya dengan Alkindi ketika dia berkata bahwa
lafazh yang satu berbeda dengan lafazh yang lain karena perbedaan makna. Ar-
Rummaniy (386 H),12
seorang alim dan ahli nahwu, juga berbicara tentang an-
nazhm al-qur’âni dalam bukunya al-Nukat fi I’jâz al-Qur’ân di sela-sela
pembicaraannya tentang balaghah. Ar-Rummâni berkata bahwa al-bayan yang
baik adalah nazhm yang lurus, yang dimaksudkan dengan pernyataan tersebut
adalah apa yang kemudian disebut oleh Al-Jahizh sebagai Nazhm.
e. Al-Khathabi
Selanjutnya ada Al-Khathabi (w. 388 H/998 M)13
yang menjelaskan tentang
kemukjikzatan Alquran dengan teori al-kalam yang terdiri dari tiga aspek, yaitu:
lafzh hâmil (kata, ungkapan atau kalimat yang menyandang makna), makna qâ’im
(makna yang diusung lafazh), dan ribâth lahuma nâzhim (hubungan yang
mengikat antara keduanya).
Nazham dalam pandangan Al-Khathabi adalah susunan kalam yang sesuai
dengan konteksnya (muqtahda al-hal), artinya bahwa setiap kata yang diguanakan
memiliki akurasi yang tinggi jika digunakan sesuai dengan peruntukannya.
Akurasi dalam pemilihan kata-kata yang selaras dengan makna yang dimaksud
merupakan komponan mendasar dalam kebalaghahan bahasa Alquran. Susunan
kalam yang sesuai dengan konteks akan memberikan efek tertentu sesuai dengan
pesan yang dibawakannya. Alquran, dalam pandangan al-Khathabi, memiliki
nazham yang selalu sesuai dengan pesan setiap ungkapannya, dan akan
12
Salah seorang tokoh pembesar Mutazilah pada masanya, memiliki banyak karangan tentang
bahasa, nahwu dan ilmu kalam. Salah satu faktor keistimewaannya adalah dia bisa menggabungkan
antara ilmu kalam dan mantiq.
13
Nama lengkapnya adalah Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad bin Ibrahim al-khathabi. Ia
dilahirkan pada tahun 319 H dan wafat tahun 388 H di Bust, sebuah daerah di Kabul Afganistan. Lihat
Syauqi Dhaif, Mu’jizat al-Qur’an, …, hal. 205.
8. berpengaruh kuat terhadap jiwa dan hati pendengar atau pembacanya. Di sinilah
kelebihan nazham Alquran dibandingkan dengan nazham lainnya.14
f. Abu Hilal al-Askariy
Abu Hilâl al-Askariy juga berbicara tentang nazham pada beberapa tempat
di dalam bukunya . Ketika menjelaskan tentang pembagian
kalam, dia mengatakan bahwa kriteria kalam yang baik adalah salâmah, suhûlah,
dan baik maknanya. Keistimewaan suatu kalam bukan karena lafazhnya, atau
karena maknanya yang agung saja, tetapi gabungan dari keduanyalah yang
menjadikan suatu kalam istimewa. Dengan cara demikian, dia telah meletakkan
salah satu dasar nazham yang fundamental. Al-Askariy memiliki andil besar
dalam menjelaskan beberapa aspek dari teori nazham dalam bab empat dari
bukunya, dengan judul bab ( ¯
¯ ). Dengan demikian, Abu Hilal mendakati apa yang dilakukan oleh Syekh
Abdul Qahir Al-Jurjaniy.
g. Al-Baqillani
Teori Nazham semakin berkembang dengan kehadiran Al-Baqillaniy (w.
403 H./1013 M.)15
dengan bukunya ( ¯ ) yang menjelaskan berbagai
ragam kemukjizatan Alquran, dan di antaranya kemukjizatan Alquran dari sisi
strukur dan susunannya (nazhmuhu wa ta’lîfuhu).
Menurut al-baqillani, nazham adalah struktur bahasa yang tersusun dan
menghasilkan lafal, keharmonisan, dan makna yang indah. Dalam pandangannya,
ungkapan yang indah nazhamnya yang berlaku di kalangan ahli balaghah terbagi
14
Abdul Karim Al-Khatib, I’jaz al-Qur’an: …, hal. 190.
15
Nama lengkap beliau adalah Abu Bakr Muhammad bin al-Thayyib bin Muhammad bin
Ja’far al-Qasim. Beliau lahir di Basrah dan termasuk pemuka ilmu kalam bermazhab Asy’ariyah,
memiliki banyak karangan. Biografinya bisa dibaca di Ibnu Khalkan 2/378, al-Nujum Al-Zahirah
4/234, Syazarat Al-Dzahab 3/160, Al-Ansab karya Sam’aniy 61.
9. menjadi: (1) matra-matra syair dengan berbai perbedaannya; (2) aneka kalimat
berirama tak bersajak; (3) kalimat berirama dan bersajak; dan (4) kalimat bebas.
Melalui cara-cara ini ketepatan dan manfaat diusahakan, begitu pula dengan
pemahaman makna yang dikemukakan dengan indah, gaya bahasa yang tertib dan
lembut.16
Alquran, menurut beliau, memiliki nazham yang indah dan berbeda dari
nazham yang berlaku di kalangan ahli balaghah Arab. Alquran tidak terikat oleh
aturan-aturan yang berlaku, karena ia memiliki gaya bahasa yang unik dan
melampaui sastra umum dalam hal mutu dan artistiknya. Dengan demikian
Alquran, tegasya, tidak bisa dikategorikan sastra, melainkan mukjizat.17
h. Al-Qadhi Abdul Jabbar
Teori nazham semakin berkembang dengan penjelasan Al-Qadhiy Abdul
Jabbar (w. 415 H./1025 M.)18
yang menyatakan bahwa fashâhah suatu lafazh
tidak mungkin tanpa nazham dan tarkibnya, serta nazham tidak mungkin bernilai
tinggi kecuali kalau lafaz-lafaznya fasih.
Fashahah menurutnya tidak muncul dalam unit-unit kalam atau
kosakatanya, tetapi muncul dalam kalam dengan penyatuan khusus. Setiap kata
tunggal memiliki sifat, baik melalui penempatan, i’rab, atau kedudukan kata.
Sedangkan kelebihan sebuah kalam tergantung pada pemilihan kata-katanya,
taqdim dan takhir yang menentukan posisi kata, dan harakat yang menentukan
irab. Oleh sebab itu untuk membentuk kalam fasih harus diperhatikan sisi
perubahan kata, bandingan, harakat, dan posisinya dalam aspek taqdim dan takhir.
16
Issa J. Boullata, Alquran yang Menakjubkan, (Tangerang: Lentera Hati, 2008), hal. 118.
17
Abdul Karim Al-Khatib, I’jaz al-Qur’an: ……. hal. 207.
18
Nama lengkapnya adalah Abu Hasan bin Abd al-Jabbar bin Ahmad al-Asadabi al-Mu’tazili.
Lahir di Bagdad tahun 325 dan wafat di Rey tahun 415 H. Lihat Syauqi Dhaif, An al-Balaghah …,
hal. 116-117.
10. Begitulah, pemikiran tentang Nazham berkembang semakin pesat pada
masa Al-Qadhi Abdul Jabbar. Beliau bisa mengungkapkan beberapa persoalan
yang masih samar-samar dalam penjelasan para pendahulunya. Ulama-ulama
sebelum beliau sudah bisa memahami dan merasakan apa yang dimaksud dengan
nazham, tetapi mereka belum mampu menjelaskannya dengan bahasa yang lugas.
i. Abdul Qahir Al-Jurjani
Lalu datanglah Abdul Qahir Al-Jurjani, yang mempelajari, merenungkan
dan mendalami apa yang dijelaskan oleh Abdul Jabbar. Penjelasan Abdul Jabbar
layaknya sebagai penerang jalan bagi Abdul Qahir untuk melaju lebih jauh dalam
memahami dan menjelaskan makna Nazham. Abdul Qahir Al-Jurjani seperti
memetik hasil dari benih-benih yang sudah ditanam dan disirami oleh Al-Qadhi
Abdul Jabbar.19
Selanjutnya mari kita dalam penjelasan dan pemikiran Abdul Qahir al-
Jurjaniy terkait dengan Nazham.
3. Makna Nazham Alquran Menurut Abdul Qahir Al-Jurjani
a. Nazham Secara Bahasa
Secara etimologis, kata nadzam (النظم) berasal dari akar kata n-dz-m. Dalam
kamus Arab, kata ini diartikan sebagai berikut:20
واإل والضم الجمع ھو النظمتساق
والتأليف والنظام
Dalam Mu’jam al-Wasith dijelaskan sebagai berikut; nazhm al-qur’ân
adalah ungkapan-ungkapan yang ada pada mushaf (al-Qur’ân), baik dalam aspek
shîghâh maupun aspek lughah. Sedangkan al-Nazhim dalam istilah nazhm
19
Majalah al-Mauwqif al-Adabiy, Majalah Bulanan dalam Bidang Sastra yang diterbitkan oleh
Ittihad al-Kuttab Al-Arab Damaskus, Edisi 347 Maret 2000.
20
Ibnu Mandzur, lisan al-Arab, hal. 6649.
11. Alquran adalah al-manzhûm (bagian-bagiannya serasi dalam satu
keharmonisan).21
Nazham secara bahasa berarti susunan dan rangkaian. Ahmad Faris dalam
Mu’jam Maqayis al-Lugah mengatakan bahwa kata “nazhm” pada awalnya
bermakna menyusun dan menebalkan sesuatu. Seperti merangkai mutiara atau
menata rambut dan yang lainnya.22
Dalam salah satu penjelasannya, Az-Zamaksayari berkata: ( )
artinya saya menyusun mutiara, ( ) artinya mutiara yang sudah
tertata rapi secara serasi. ( ) termasuk dalam majaz kalam, ungkapan (
) maksudnya ungkapannya indah dan tersusun rapi. Ungkapan orang Arab
( ) bermakna dua bait ini dirangkai secara padu oleh
satu makna.23
Berdasarkan beberapa pendapat di atasm secara leksikal al-nadzam ()النظم
berarti ‘susunan’ atau ‘gabungan’. Bila dikaitkan dengan aspek kebahasaan, maka
al-nadzam dapat diartikan sebagai “penggabungan sebuah kata dengan kata lain
sehingga menghasilkan sebuah konstruksi”.
b. Nazham Menurut Istilah
Sebagaimana yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, kata yang
digunakan oleh Abdul Qahir untuk menamai teorinya ini sebenarnya sudah
digunakan lebih dahulu oleh Al-Jahizh, Ar-Rummaniy dan Al-Qadhi Abdul
Jabbar, akan tetapi mereka tidak memberikan definisi yang jelas untuk kata
tersebut, sebagaimana Abdul Qahir yang telah mengajukan pembatasan yang
jelas, melengkapinya dengan landasan dan bukti-bukti penguat.
21
Majma' al-Lughah al-'Arabiyah, Al-Mu'jam Al-wasith, 1985, hal. 758.
22
Ahmad Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Tahqiq Abdus Salam Harun, Jilid 5, hal 443.
23
Mahmud Al-Zamaksyari, Asas al-Balaghah, Tahqiq Muhammad Basil, Jilid 2, hal 284.
12. Secara singkat, Nazham menurut Abdul Qahir adalah:24
¯ ¯.
Artinya: “Perelasian dan pengaitan satu kata (atau ungkapan) dengan yang
lainnya.”
Nazham adalah ekspresi makna yang berkaitan dengan tujuan penutur
bahasa sesuai dengan yang ada dalam pikirannya dengan melakukan pengaturan
kata, susunan kalimat, dan ta’liq (perelasian satu kata atau ungkapan dengan
lainnya, dengan menggunakan partikel koneksi atau konjungsi tertentu dalam
struktur kalimat sehingga terbentuk suatu kalimat yang bermakna).25
Yang dimaksud dengan nazham adalah menggunakan makna nahwu dan
hukum-hukumnya di dalam kalimat, atau menghubungkan antar lafaz di dalam
konteks, yang melahirkan pemikiran, dimana makna yang diinginkan lahir dari
susunan tersebut, bukan karena faktor yang lain. Karena itu yang menjadi target
dalam nazham dan ta’lif adalah makna bukanlah lafazh.
Dengan demikian, nazham tidak ada pada kata, tidak pula dalam susunan
kata, sampai satu bagian dihubungkan dengan bagian yang lain, yang satu bagian
dibangun di atas bagian yang lain. Dengan demikian, lafazh mengikuti makna,
sesuai dengan yang dimaksud atau diinginkan oleh mutakallim. Abdul Qahir
menjelaskan persoalan tersebut dengan berkata: “Ketahuilah bahwa yang
dimaksud dengan nazham adalah Anda membuat suatu kalimat yang sesuai
dengan tuntutan nahwu, menerapkan aturan-aturan dan prinsip-prinsipnya, dan
Anda memahami matode yang diterapkan di dalam nahwu tanpa
menyelengkannya.”26
Hakikat nazham adalah perumusan ungkapan dengan cara-cara yang benar-
benar fasih tentang apa yang ada dalam jiwa penuturnya dan mengungkap apa
24
Abdul Qâhir al-Jurjânî, Dalâ’il al-I’jâz Tahqiq al-Syekh Mahmud Syakir, (al-Riyadh:
Maktabah al-Ma'arif, 1424), Cet. V, hal. 15.
25
Muhbib Abdul Wahab, Pemikiran Tamam Hasan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2002), hal. 86
26
Abdul Qâhir al-Jurjânî, Dalâ’il al-I’jâz …, hal. 63.
13. yang hendak ia sampaikan kepada orang lain. Hal ini hanya dapat dilakukan
apabila ungkapannya merupakan gambaran bagi makna yang ada dalam jiwanya.
Karena itu dalam merumuskan ungkapannya, penutur hanya mengikuti pengaruh
makna terhdap dirinya dan menyusun ungkapannya sesuai dengan susunan makna
di dalamnya.
Menurut Abdul Qahir Al-Jurjani, nazham disusun di atas tiga pondasi utama,
yaitu:
1) Menyusun makna dalam jiwa yang bisa sekaligus memuaskan akal dan pikiran
Dengan landasan ini, nazham bukanlah proses mekanis tetapi proses jiwa yang
bisa mengaitkan antara perasaan dan logika. Untuk itu Abdul Qahir
membedakan antara susunan huruf dan susunan kata. Susunan huruf hanyalah
urutan huruf dalam pengucapannya, tanpa terkait dengan makna. Sedangkan
susunan kata tidak demikian, karena kita bisa menulusuri adanya dampak
urutan dan susunan tersebut terhadap makna di dalam jiwa. Abdul Qadir
menjelaskan bahwa nazham mula-mula mempengaruhi pikiran untuk
membentuk makna dalam jiwa, lalu mengurutkan lafazh demi lafazh dalam
pengucapannya.
2) Memperhatikan konteks, dan situsai dan susunan
Maksudnya menggabungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain.
Suatu kata tunggal tidak bisa menimbulkan keindahan atau keburukan, kecuali
dikaitkan dengan posisinya di dalam kalimat. Contohnya adalah
¯ ¯ ¯
Keutaman secara nyata kembali ke hubungan antara satu kata dengan lainnya,
sekalipun keterkaitan tersebut tidak melahirkan keindahan kecuali jika kata
yang satu bergabung dengan kata yang lain. Untuk bisa merasakan
keindahannya, menurut Abdul Qahir, bisa dibuktikan dengan menghilangkan
satu bagian lalu apa ada keindahan yang terasa.
14. 3) Memaksudkan makna nahwi
Setelah menjelaskan bahwa nazham tidak mungkin tanpa menghubungkan
antara satu kata dengan kata yang lain, dan menjadikan bagian yang satu
sebagai sebab untuk bagian yang lain, dan bahwa urutan kata dalam
pengucapan atau penulisan mengharuskan pengurutan makna dalam jiwa,
beliau menjelaskn landsan nazham yang ketiga, yaitu tentang cara
menghubungkan antar kata, menurt beliau satu-satunya cara untuk
menghubungkan antara satu kata dengan kata yang lain adalah dengan
memaksudkan makna nahwi dan irab, artinya dengan membuat kalimat
sebagaimana yang dituntut atau diatur oleh ilmu nahwu. 27
c. Posisi Lafazh/Satuan Kata dalam Nazham
Melalui dua kitabnya, yaitu Dalâ’il al-I’jâz dan Asrâr al-Balâghah, al-Jurjani
mempertalikan masalah nazham dengan majaz-majaz balaghah dan pola-pola
keindahan badi’. Menurut beliau, kata tunggal pada dasarnya tidak memiliki
keistimewaan. Demikian juga makna, ia tidak memiliki wujudnya sendiri tanpa
kata-kata. Oleh karena itu, tidak mungkin menetapkan derajat kebalaghahan suatu
lafal dalam keadaan tunggal. Akan tetapi, derajat tersebut hanya mungkin
diketahui apabila lafazh terhimpun dalam sebuah nazham/susunan. Dari sini jika
susunan kata berubah maka berubah pula maknanya.
Beliau menjelaskan bahwa lafaz tunggal itu tidak bernilain lebih tinggi
berdasarkan makna yang dirujuknya. Kata ( ) tidak lebih baik dibandingkan
dengan kata ( ) terkait dengan makna yang diberikan untuk kata itu sejak
awal. Semua kosakata itu nilainya sama, kecuali karena salah satu dari dua hal,
yaitu: penggunaannya dan ringan pengucapannya. Kata-kata yang asing dan sulit
diucapkan cenderung dihindari.
27
Abdul Qâhir al-Jurjânî, Dalâ’il al-I’jâz, …, hal. 101-102.
15. Abdul Qahir Al-Jurjani mengatakan bahwa lafazh tidak memiliki
keistimewaan atau keburukan apa pun kalau hanya dihubungkan dengan makna
yang dirujuknya, atau kalau hanya dikaitkan dengan bunyi lahiriah dari kata itu.
Menurut beliau, alasannya adalah bukankah kita menemukan sebuah kata yang
membuat kita tersentuh dan merasakan kesyahduan pada suatu tempat (kalimat),
lalu kata itu membuat kita merasa tidak nyaman dan menjadi resah pada tempat
yang lain.
Bandingkan penggunaan kata )( dalam dua kutipan syair berikut, yang
pertama milik ash-Shimmatah bin Abdillah, sedangkan yang kedua milik Abu
Tamam,
.
¯ ¯ ¯¯¯.
Lafaz masih tetap sama ketika mendapatkan posisi dalam nazham, pada saat
itu nilainya menjadi berbeda ketika dilihat secara keseluruhan. Sebagai contoh
kata ( ¯ ¯) adalah dua kata yang nilainya sama, ketika kedua kata tersebut
masih menjadi satuan lafal, salah satunya tidak ada yang lebih tinggi nilainya,.
Akan tetapi ketika sudah bergabung dalam kalimat,
¯:¯
Maka kata kata ( ¯) menjadi lebih baik digunakan dibandingkan kata ( ¯)
dalam konteks ini. Karena maknanya sesuai dengan makna yang ingin
disampaikan dengan ayat tersebut. Karena apabila pelaku ( ) tidak terlihat,
maka penggunaan bentuk majhul lebih utama dibandingkan mentuk ma’lum.
Atas dasar itu semua, uslub yang paling bagus adalah uslub yang mampu
mewujudkan sebagus mungkin nazham bagi makna yang dimaksudkan. Yakni
dengan cara memilih kata yang paling mampu mengekspresikan maksud dan
meletakkannya dalam susunan yang paling laik bagi makna tersebut. Alquran
dalam pandangan al-Jurjani menggunakan nazham paling bagus dan indah. Oleh
16. karena itu, begitu mendengar Alquran orang Arab langsung menyadari bahwa
mereka tidak mampu untuk mendatangkan yang semisal dengannya.
Untuk menjelaskan pendapatnya ini, Abdul Qahir membagi kata menjadi
tiga, yaitu isim, fi’il dan huruf, lalu untuk merelasikan antara kata-kata tersebut
ada beberapa cara yang sudah dikenal secara umum, yang kesemuanya tidak
terlepas dari tiga cara, yaitu: menghubungkan isim dengan isim, menghubungkan
isim dengan fi’il, atau menghubungkan huruf dengan isim dan fi’il.28
Menurut Abdul Qahir, nazham ada ketika satu bagian dihubungkan dengan
bagian yang lain, satu bagian dibangun atas dasar bagian yang lain, satu bagian
menjadi sebab untuk bagian yang lain. Hal itu tidak akan terjadi kecuali jika isim
dijadikan fa’il atau maf’ul dari suatu fi’il. Atau ketika ada dua isim lalu salah
satunya menjadi khabar untuk isim yang lain. Atau ada dua isim yang
berdampingan, dan yang kedua menjadi shifat, ta’kid, atau badal untuk isim yang
pertama. Atau ada isim setelah sebuah kalimat sempurna, dimana isim tersebut
menjadi shifat, hal atau tamyiz. Atau ketika ingin merubah kalimat itsbat menjadi
kalimat manfi, atau istifham atau tamanni, maka digunakanlah huruf yang
berfungsi untuk melahirkan makna-makna tersebut. Atau ada dua kata kerja yang
salah satunya ingin dijadikan syarat untuk yang lainnya, maka keduanya
diletakkan setelah huruf yang khusus untuk makna tersebut, atau dengan isim
yang memiliki makna yang sama dengan huruf tersebut. 29
d. Keterkaitan antara Makna dan Nazham
Sebagian orang menyangka bahwa Abdul Qahir termasuk golongan
pendukung aliran makna, sementara Al-Jahizh termasuk pendukung lafaz.
Sebenarnya tidak demikian, karena kedua tokoh tersebut memiliki pemahaman
28
Abdul Qâhir al-Jurjânî, Dalâ’il al-I’jâz …, hal. 15.
29
Abdul Qâhir al-Jurjânî, Dalâ’il al-I’jâz, …, hal. 44.
17. yang sama, Abdul Qahir tidak mengabaikan peranan bentuk kata, sementara Al-
Jahizh tidak meninggalkan makna.
Inti pembicaraan al-Jurjani tentang keterkaitan antara lafal (ucapan/kata) dan
makna adalah bahwa kata (lafazh) adalah pelayan makna, hal ini karena kata
(ucapan) merupakan indikator makna. Terdapat keterkaitan erat antara keduanya,
oleh sebab itu ia menolak pemisahan antara makna dan lafzh. Dengan penjelasan
yang demikian, terlihat kecenderungan Abdul Qahir Al-Jurjani bahwa kesesuaian
maknalah yang melahirkan keindahan, bukan hanya dengan melihat kata secara
tunggal.
Al-Jurjani lebih lanjut menetapkan bahwa makna adalah sesuatu yang
mendasar yang harus dijaga ketika seseorang membuat nazham dalam sebuah
kalimat, karena pada dasarnya manusia terlebih dahulu berfikir sebelum berbicara,
dan berfikir itu menuntut adanya lafazh untuk melafalkan apa yang ada dalam
pikiran manusia (makna). Setelah makna tersusun dalam diri pembuat nazham,
barulah diikuti dengan lafazh yang dapat mewakili makna yang terdapat dalam
hati pembuat nazham. Begitulah lafazh mengikuti makna dan makna disampaikan
melalui nazham.
Abdul Qahir dalam satu bagian dari bukunya menjelaskan bahwa orang yang
mencari kemukjizatan dari nazham Alquran tidak akan menemukannya di dalam
makna, hukum, bentuk dan perbedaan-perbedaan dalam nahwu. Orang yang
hanya mengandalkan nahwu di dalam memahami kemukjizatan nazham, tidak
akan pernah menemukannya, bahkan dia adalah orang yang tertipu.30
Walau
demikian, pemahaman tentang nahwu sangat membantu di dalam memahami
nazham.
Begitulah Abdul Qahir menjelaskan Nazham sebagai bermaksud makna
nahwu. Karena itu tingkatan Balaghah itu beragam. Tingkatan yang paling dasar
adalah kalam yang terbebas dari kesalahan dan kekeliruan. Tingkatan ini sudah
30
Abdul Qâhir al-Jurjânî, Dalâ’il al-I’jâz …, hal. 403-404.
18. mampu digapai oleh seluruh ahli balaghah. Tingkatan yang kedua adalah terbatas
pada pemahaman pemikiran yang mendalam dan letak yang tepat. Dengan catatan
bahwa keutaman ilmu tidak karena makna kata, tetapi karena ketepatan pilihan
dan posisinya yang bagus.
Nazham juga bertingkat dan berjenjang berdasarkan kemampuan orang yang
menyusunnya. Dari yang paling sederhana sampai tingkatan pola yang paling
tinggi. Yang tertinggi adalah pola yang bagian-bagiannya bersatu padu, yang satu
berkesinambungan dengan yang lainnya, bagian yang kedua sangat terkait erat
dengan bagian yang pertama. Tetapi bukan hanya itu syarat yang harus terpenuhi
dalam nazham yang bagus, karena ragamnya banyak.
Nazham menurut Abdul Qahir adalah lafaz, makna dan hubungan
kontekstual. Semua itu pada nasarnya kajian dari metode nahwu, hanya saja
ditambahkan dengan kajian Balagah. Hal ini tergambar dalm penjalan beliau
bahwa nazham terkait dengan fasahah dan balagah. Begitu juga dalam contoh
aflikatif beliau terkait majaz dan kinayah.
Fasâhah, balâghah, diksi kata, keindahan susuan dan yang sejenisnya -yang
merupakan kriteria yang dikaitkan dengan lafaz- merupakan kriteria yang merujuk
kepada makna yang diinginkan oleh lafaz tersebut, bukan lafaz itu sendiri. Dengan
pendapat demikian, Abdul Qahir ikut serta menceburkan diri dalam pemikiran
tentang makna, dan makna dari makna, dengan memposisikan lafaz sebagai
hiasan dan keindahan.
Hal baru yang identik dengan pemikiran Abdul Qahir adalah teorinya
tentang makna dari makna )( dimana makna yang dirujuk menjadi
rujukan dari makna baru yang lain. Sebagai contoh ketika orang berkata (
¯ ) kalimat ini merupakan sindiran untuk menyatakan laher seorang
gadis yang panjang, ini adalah makna pada tingkat pertama yang langsung ada
dalam benak seorang yang mendengar atau membaca ungkapan tersebut. Dengan
19. demikian ungkapan tersebut merujuk kepada suatu “makna” yang dirujuk oleh
ungkapan itu.
Sedangkan makna kedua, atau “makna dari makna” adalah bahwa leher yang
penjang merupakan kinayah dari kecantikan. Inilah makna kedua yang
disimpulkan oleh pikiran manusia dari makna pertama. Dengan demikian pula,
makna pertama/al-madlûl (leher panjang) menjadi penunjuk (dâlan) bagi makna
kedua (keindahan). Abdul Qahir menjelaskan bahwa makna pertama yang
terpahami dari lafaz langsung seumpama mutiara atau ukiran, sedangkan makna
kedua yang diisyaratkan oleh makna pertama tersebut merupakan bungkus yang
melapisi mutiara atau lukisan tersebut.31
Ketika kita berkata )( , sesungguhnya kita telah memindahkan suatu
lafaz dari posisi awalnya lalu kita gunakan pada tempat lain. Sifat (pemberani
seperti singa) yang ada dalam kalimat tersebut dimaksudkan kepada makna, bukan
kepada lafaz. Begitu juga dengan ungkapan ( ¯ )
yang merupakan kinayah atau kiasan untuk menyatakan seseorang yang
terhormat, berani dan berkedudukan tinggi. Tetapi makna-makna tersebut tidak
kita ketahui secara langsung, tetapi melalui pentakwilan, (makna kedua atau
makna dari makna). Fenomena yang sama juga terjadi pada isti’arah dan tamtsil.
Dengan demikian terlihat bahwa Abdul Qahir sedang menghubungkan
antara lapis luar (lafaz) dan makna. Baginya, lafaz hanya mengikuti makna, dan
bentuk luar tanpa dihubungkan dengan makna tidak menimbulkan keindahan
dengan sendirinya. Itu adalah gambaran hubungan antara lapis luar bahasa dengan
makna, atau antara lafaz dangan makna. 32
Bagi Abdul Qahir, fasâhah dan balâgah merupakan sumber kemukjizatan
Alquran. Bukan dengan cara pemilihan lafazh, bukan iramanya, bukan isti’arah,
dan bukan pula bentuk-bentuk majaznya, tetapi dengan nazham. Dengan demikian
31
Abdul Qâhir al-Jurjânî, Dalâ’il al-I’jâz…, hal. 264-265.
32
Abdul Qâhir al-Jurjânî, Dalâ’il al-I’jâz…, hal. 50.
20. nazham dan susunan Alquran merupakan sumber dari kemukjizatannya. Al-
Jurjani menjelaskan: “Apabila semua yang telah kami sebutkan tidak bisa menjadi
landasan kemukjizatan Alquran, maka yang tersisa hanyalah kemujizatan karena
susunan dan nazham Alquran.”33
Abdul Qahir Al-Jurjani mengkrtitik mereka yang memiliki kecenderungna
terhadap lafazh dan lebih mengutamakanannya dibandingkan makna. Menurut
beliau, mengutamakan lafazh dari pada makna sama artinya membunuh
pemikiran. Karena fasahah tidak terletak pada lafazh, akan tetapi terletak pada
proses pemikiran yang mampu menciptakan susunan lafazh yang fasih. Para
ulama terdahulu pun ketika memberikan label sifat pembeda pada kata-kata,
seperti lafazh ketegasan dan lafazh kegundahan, sebenarnya yang mereka
maksudkan adalah maknanya.
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat meringkas pendangan Abdul Qahir
tentang nazham dalam beberapa point berikut:
1. Nazham adalah saling keterkaitannya antara unsur-unsur dalam kalimat, salah
satu unsur dicantumkan atas unsur lainnya, dan salah satu unsur ada
disebabkan ada unsur lainnya.
2. Kata dalam nazham mengikuti makna, dan kalimat itu tersusun dalam ujaran
karena maknanya sudah tersusun terlebih dahulu dalam jiwa.
3. Kata harus diletakkan sesuai dengan kaidah gramatikanya sehingga semua
unsur diketahui fungsi yang seharusnya dalam kalimat.
4. Huruf-huruf yang menyatu dengan makna, dalam keadaan terpisah, memiliki
karateristik tersendiri sehingga semuanya diletakkan sesuai dengan kekhasan
maknanya.
5. Keistimewaan kata bukan dalam banyak sedikitnya makna tetapi dalam
peletakannya sesuai dengan makna dan tujuan yang dikehendaki kalimat.
33
Abdul Qâhir al-Jurjânî, Asrâr al-Balâghah, Tahqiq Mahmud Syakir, (al-Qahirah: Mathba'ah
al-Madani, 1412 H), Cet. I, hal. 109.
21. 4. Beberapa Contoh Analisa Nazham
Abdul Qahir Al-Jurjani bukanlah seorang pemikir yang hanya suka
melemparkan ide secara serampangan tanpa dilengkapi dengan alasan dan bukti-
bukti, beliau bukan orang yang hanya bisa mengajukan teori tanpa dibarengi
dengan prakteknya. Setiap pendapat beliau diikuti dengan bukti-bukti yang
memperkuat kebenaran dan ketepatan pendapatnya, yang terdambil dari Alquran,
syair dan perkataan orang orang Arab.
Di antara contoh analisa terhadap nazham Alquran adalah sebagai berikut :
¯¯¯¯):(
Zakariya berkata: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya tulangku telah lemah dan
kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa
kepada Engkau, Ya Tuhanku.
Yang menjadi fokus analisa Abdul Qahir Al-Jurjani adalah ungkapan
. Keutamaan ungkapan tersebut tidak hanya terletak pada kenyataan
bahwa ungkapan itu adalah istia’arah. Kata-kata isti’arah (metafor) tidak mungkin
maknanya sebelum orang mengenal nadzam dan sebelum orang memahami
hakikatnya.
Kecermatan dan kerahasiaan kata-kata itu antara lain ialah: Jika Anda
mendengar orang membaca firman Allah (kepala telah menyala
putih beruban), kalimat itu tentu hanya dipandang sebagai kata-kata isti’arah yang
memiliki keistimewaan, tanpa tahu sebab yang keistimewaan itu. Tapi sebenarnya
inti persoalan tidak terletak pada sifat istimewanya. Kata-kata yang mengesankan
itu bukanlah semata-mata karena bersifat isti’arah, melainkan karena Alquran
menggunakan kata kerja (fi’il, yaitu menyala”) kepada sesuatu yang
menjadi sebabnya, yaitu kata “ /kepala”. Dengan demikian kata yang menjadi
22. sandaran, yaitu “ ” menurut kaidah ilmu nahwu hukumnya marfu’
(ditinggikan, bukankah kepala di atas). Sedangkan kata sesudah “kepala”, yaitu
kata /memutih beruban), yang dalam kaitan makna berkedudukan sebagai
objek kata kerja “menyala”, hukumnya manshub (ditegakkan). Hal itu untuk
menegaskan hubungan kata yang menjadi sandaran (kepala) dengan kata kerja
(menyala), dan untuk menjelaskan hubungan antara “kepala” dan kata “memutih
beruban”.
Selain itu juga disebabkan oleh adanya kaitan antara kata yang satu dengan
kata yang lain, sebagaiman ayang sering terdengar dari pembicaraan orang Arab.
Misalnya (Zaid merasa lega); ¯ (‘Amr melihat pandangan
yang menyenangkan); ¯ (keringat bercucuran); ¯ (asal keturunan
mulia); (baik paras mukanya) dan lain sebagainya. Di dalam kalimat-
kalimat seperti itu kita menemukan fi’il (kata kerja) yang dipindahkan dari
kedudukan yang satu kepada kedudukan yang lain dan itulah yang menjadi
sebabnya. Juga kita bisa tahu dari makna susunan kalimat. Kata “menyala” pasti
bermakna “memutih beruban”, kendatipun kata kerja “menyala” itu hanya
dikaitkan dengan kata “kepala”. Demikian juga kaitan antara kata-kata pada
beberapa contoh kalimat tersebut di atas, seperti kaitan antara kata dan ;
antara ¯ dan ; antara dan ¯ dan seterusnya.
Abdul Qahir Al Jurjani berkata lebih lanjut: “Seumpama Anda membaca
kemudian Anda perhatikan susunan kalimatnya
apakah Anda menemukan keindahan di dalamnya? Apakah cukup cemerlang
seperti pada kalimat ? Jika Anda bertanya: apa sebab kata
isyta’alaa (menyala) yang dipinjam untuk melukiskan makna syaiban (memutih
beruban) dalam bentuk seperti itu terasa lebih indah, dan mengapa hal itu lebih
menerangkan keistimewaan dibanding bentuk kalimat lain? Jawabnya ialah
karena kata “menyala” memberi pengertian tentang “rambut yang memutih
beruban” pada kepala, dan itulah makna pokoknya, yaitu bahwa warna putih telah
23. merata pada seluruh bagian kepala, sehingga tak sehelaipun rambut berwarna
hitam yang tertinggal. Lain sekali dengan kalimat (telah
menyala keputihan rambut kepala), atau (telah menyala
keputihan rambut di kepala). Kalimat demikian itu tidak mengadung keindahan.
Cobalah bandingkan dengan kalimat (rumah telah menyala oleh
api). Kalimat di atas bermakna bahwa api membakar semua bagian rumah. Tetapi
kalau kalimat (api menyala di rumah), itu berarti ada api di
rumah atau membakar sebagian rumah. Kalimat itu sama sekali tidak bermakna
bahwa kobaran api telah merata ke semua bagian rumah.34
Contoh lain dari analisa beliau adalah ayat 44 surat Hud.
¯¯¯¯
¯¯):(
Artinya: Dan difirmankan: "Hai bumi telanlah airmu, dan Hai langit (hujan)
berhentilah," dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun
berlabuh di atas bukit Judi35
, dan dikatakan: "Binasalah orang-orang yang
zalim."
Abdul Qahir Al-Jurjani menjelaskan makna ayat tersebut sebagai berikut:
Apakah Anda menduga jika memikirkan ayat tersebut lalu Anda akan menemukan
kemukjizatan dan mengagumi keindahannya. Anda salah, apa yang Anda dengar
dan lihat tidak akan bisa mengungkapkan keutamaan yang menundukkan. Karena
keutamaan itu terkait dengan keterkaitan satu bagian dengan bagian yang
lainnnya. Keindahan itu lahir karena pertemuan antara bagian yang pertama
dengan bagian yang kedua. Begitu seterusnya keindahan demi keindahan akan
berdatangan bersamaan dengan semakin Anda mendalami keterkaitan dari awal
ayat sampai akhir.
34
Subhi Shalih, Mabâhits fi Ulûm al-Qur’ân, (Baerut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1402 H), Cet.
14, hal. 140.
35
Bukit Judi terletak di Armenia sebelah selatan, berbatasan dengan Mesopotamia.
24. Untuk meyakinkan Anda, coba saja Anda ambil salah satu kata dari
rangkaian ayat tersebut, lalu Anda pisahkan, apakah kata tunggal tersebut
melahirkan dampak keindahan secara mandiri. Ambil saja kata ( ) sebagai
contoh. Lihat dan renungkan kata tersebut sebagai satuan tunggal tanpa melihat
hubungannnya dengan kata sesudah dan atau sebelumnya. Hal yang sama coba
Anda lakukan untuk kata-kata yang lain.
Pasti tidak akan terasa keindahannya, karena keindahan itu akan timbul
ketika yang dipanggil adalah bumi lalu diperintahkan. Keindahan itu ada karena
bumi dipanggil dengan huruf nida ( ) tanpa ditambah dengan ( ) seperti dalam
kalimat ( ). Keindahan berikutnya adalah ketika kata ( )
diidhafatkan langsung kepada kata (¯) seolah-olah air itu milik bumi, ayatnya
tidak mengatakan semisal ( ).
Lalu perhatikan selanjutnya bagaimana setelah bumi dipanggil lalu
diberikan titah, langit juga dipanggil dan diberi titah dengan cara yang sama untuk
menuntaskannya. Kemudian dikatakn ( ), dalam ungkapan ini fiilnya
dihadirkan dalam bentuk pasif ( ) yang menunjukkan bahwa air tidak mungkin
surut kecuali atas dasar perintah dari pemberi perintah dan atas dasar kudrah dari
Yang Maha Berkuasa. Sesudah itu diikuti dengan penguatan (taukîd) dan
penegasan (taqrîr) terkait masalah tersebut dengan ungkapan ( ¯
)/keputusan telah dilaksanakan.36
Selanjutya dijelaskan tentang manfaat dari kejadian tersebut (
) (bahtera) itupun berlabuh di atas bukit Judi. Tetapi kata ( /bahtera)
nya tidak disebutkan dalam ayat untuk melahirkan efek keagungan dan ketakjuban
atas peristiwa yang digambarkan adalam ayat tersebut. Keindahan juga terasa
dengan penyandingan ( ¯) pada bagian awal dengan ( ¯) di bagian akhir.
36
Allah telah melaksanakan janjinya dengan membinasakan orang-orang yang kafir kepada
Nabi Nuh a.s. dan menyelamatkan orang-orang yang beriman.
25. Apakah Anda melihat dari analisa tersebut, sesuatu yang membuat Anda
kagum dan merasakan kemujizatan Alquran. Apakah Anda menemukan suatu
kehebatan yang melingkupi jiwa dari bagian-bagian ayat tersebut. Apakah semua
itu ditimbulkan oleh lafazh yang tersusun dari bunyi-bunyi yang tertangkap atau
karena rangkaian huruf demi huruf yang silih berganti dalam pengucapan.
Ataukah ketakjuban itu karena makna dari kata-kata yang tersusun rapi (nazham)
dan rangkaian (tarkîb) dari kalimat yang menakjubkan tersebut?37
Contoh lain dari analisa nazham dapat diikuti dalam penjelasan Abdul Qahir
untuk makna surat
Dalam ayat ini Abdul Qahir Al-Jurjani mencontohkan betapa indahnya dan
halusnya susunan bahasa Alquran dengan menakirahkan kata .حياة Menurut Al-
Jurjani dinakirahkannya kata حياة memberikan makna bahwa kata حياة dalam ayat
tersebut tidak berarti kehidupan makna asalnya, yaitu kehidupan lawan kematian.
Tetapi kehidupan yang diinginkan adalah kehidupan pada masa lampau dan masa
mendatang.
Perlu diperhatikan juga bahwa makna yang disifatkan kepad manusia itu
dengan kata الحرص apabila ada ketika manusia menyifatkan kata tersebut kepada
manusia. Tidak tergambarkan Anda menjadikan berambisi sejak semula.
Bagaimana ia berambisi pada masa yang akan datang dan tidak pula berambisi
pada masa lalu, tetapi sifat ambisinya itu terjadi pada masa yang ada sesudahnya.
Contoh terakhir yang bisa dikemukakan di sini adalah surat ayat
Aljurjani menjelaskan mengenai didahulukannya kata شركاء bahwa
mendahulukan kata شركاء membuat susunan menjadi lebih indah, lebih bagus dan
lebih mengena ke hati. Lain lagi apabila شركاء diletakkan di akhir. Kita tidak akan
mendapatkan kalimat itu seindahdan sebagus apabila ia didahulukan. Apabila kata
37
Abdul Qâhir al-Jurjânî, Dalâ’il al-I’jâz …, hal. 36-37.
26. شركاء diakhirkan menjadi شركاء الجن وجعلوا tidak memberikan informasi lebih
banyak mengenai mereka bahwa mereka menyembah kepada jin dan kepada Allah
SWT. Sedangkan apabila شركاء didahulukan akan memberikan informasi yang
lebih banyak tentang makna yang terkandung, yaitu makna bahwa mereka
menyembah jin dan Allah Swt sekaligus, dan peletakkan tersebut memberikan
informasi bahwa tidak pantas bagi Allah Swt mempunyai sekutu dari jin maupun
dari selain jin.
Demikianlah di antara contoh analisa nazham yang dikemukakan oleh
Abdul Qahir Al-Jurjani
5. Hubungan Nazham dengan Nahwu
Abdul Qahir adalah salah satu tokoh bahasa Arab, dalam studi pemikirannya
banyak cenderung pada Alquran. Dalam hal ini I'jaz Alquran menurutnya terletak
pada nazham, yaitu integrasi antara lafadz dan makna, keterkaitan antara kata
yang satu dengan yang lain serta tunduk pada aturan ilmu nahwu (
). Definisi Abdul Qahir terhadap nazham sebagai kaidah nahwu tidak
dimaksudkan sebagai kaidah-kaidah nahwu yang hanya menentukan salah dan
benarnya suatu kalimat, namun pada tingkat struktur dan uslub yang secara
substansial bepengaruh dalam memproduksi makna.
Sejak awal kita dapat memahami bahwa hubungan antara nazham dan
nahwu adalah bahwa nazham harus mengikuti atau menerapkan kaidah nahwu.
Kaidah yang tidak hanya berkaitan dengan struktur kalimat, tidak hanya berkaitan
dengan benar salahnya suatu kalimat, tetapi kaidah nahwu yang melahirkan
makna atau berkaitan dengan makna.
Dalam banyak kesempatan Abdul Qahir menyatakan bahwa nazham
menggunakan fungsi-fungsi nahwi dalam merangkai kata-kata. Di antara
pernyataan beliau terkait dengan hal ini adalah sebagai berikut:
27. ¯ ¯ ¯
¯¯
“Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan nazham adalah Anda membuat suatu
kalimat yang sesuai dengan tuntutan nahwu, menerapkan aturan-aturan dan
prinsip-prinsipnya, dan Anda memahami matode yang diterapkan di dalam
nahwu tanpa menyelewengkannya.”
Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa kita tidak akan melihat sesuatu yang
benar atau salah dalam nazham, karena benar dan salah itu berada dalam bahasan
makna nahwu. Di dalam nazham, semua aturan nahwu telah diterapkan dan
digunakan sebagaimana mestinya.39
Aturan-aturan nahwu menurut Abdul Qahir Al-Jurjani adalah “aturan”
kebahasaan yang sudah menetap kokoh dalam pemikiran masyarakat umum yang
menjadikan bahasa tersebut sebagai media komunikasi. Dari sinilah usaha beliau
beranjak untuk menjelaskan bahwa nazham yang membedakan antara satu kalam
dengan kalam yang lain tidak berlandaskan pada ketepatan bahasa yang
digunakan atau kebenaran aturan nahwu yang diterapka, tetapi terletak pada nilai
sastrawinya.
Aturan-aturan nahwu yang dijadilan oleh Abdul Qahir sebagai kriteria
“kedalaman sastrawi” atau “keagungan seni” adalah dengan cara melihat semua
pembahasan atau bab nahwu, lalu mengetahui perbedaan-perbedaan di antara
penggunaan-penggunaan setiap bab secara mendetail dan mendalam. Dalam bab
( ) misalnya dapat dibedakan antara kalimat-kelimat berikut:
¯ ¯ ¯ ¯ ¯ ¯...
Dalam bab ( ) juga dapat dibedakan antara:
....
38
Abdul Qâhir al-Jurjânî, Dalâ’il al-I’jâz …, hal. 64-65.
39
Abdul Qâhir al-Jurjânî, Dalâ’il al-I’jâz …, hal. 64-65.
28. Perbedaan-perbedaan tersebut harus diketahui secara mendalam lalu
digunakan sebagaimana mestinya. Begitu juga dengan pembahasan tentang
)( yang memiliki persamaan dalam makna. Setiap hurup dicari tahu
karakteristik pokok maknanya lalu digunkaan pada tempat khususnya. Dalam hal
( ¯ ) hendaknya diketahui kapan fashal dan kapan washal. Bedakan antara
penggunaan wau dan fa, karena keduanya memiliki tempat masing-masing, begitu
juga antara tsumma dan aw. Persoalan kekhususan yang sama juga berlaku pada
tarif dan tankir, taqdim dan takhir, hazf, takrar, idmar dan izhar dan sebagainya.
semuanya memiliki kekhususan dan semuanya harus digunakan dengan benar.
Dengan memperhatikan penjelasan-penjelasan tersebut terlihatlah hubungan
antara nazham dan nahwu dalam pandangan Abdul Qahir Al-Jurjani. Inti
hubungan tersebut adalah nazham menggunakan atau memanfaatkan aturan-aturan
atau hukum-hukum nahwu dalam kalam. Sebuah hubungan yang sangat rasional
dan dapat diterima dengan akal sehat karena makna (yang menjadi penekanan
utama nazham) tidak akan bisa tersampaikan dengan tepat kecuali jika i’rab
kalimatnya benar, artinya keadaan i'rab yang beragam akan disesuaikan dengan
keragaman makna yang ingin disampaikan.
6. Hubungan Nazham dengan Uslub
Dalam terminologi ahli Balaghah, uslub adalah sebuah metode dalam
memilih redaksi dan menyusunnya, untuk mengungkapkan sejumlah makna, agar
sesuai dengan tujuan dan pengaruh yang jelas. Pengetian lainnya, uslub adalah
berbagai ungkapan redaksi yang selaras untuk menimbulkan beragam makna yang
dikehendaki.40
40
Magdy Shehab, Al-I’jâz al-Ilmi fi al-Qur’an wa al-Sunnah, dalam Syarif Hade Masyah, dkk,
Ensiklopedia Mukjizat al-Qur’an dan Hadis; Kemukjizatan Sastra dan Bahasa al-Qur’an, (Bekasi:
Sapta Sentosa, 2008), Cet. I, Jilid. VII, hal. 49.
29. Dalam tradisi Barat ilmu ini dikenal dengan Stilistika. Style berasal dari kata
stilus (Latin), yaitu alat tulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini
akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan itu. Pada waktu penekanan
dititikberatkan pada keahlian menulis indah, maka style berubah menjadi keahlian
dan kemampuan menulis atau memggunakan kata-kata secara indah (gaya
bahasa).41
Joanna Thornborrow dan Shan Wareing dalam buku Patterns in Language
menyebutkan: Stilistika adalah cabang linguistik yang mempelajari karakteristik
penggunaan bahasa yang secara situsional berbeda, secara khusus merujuk pada
bahasa sastra, dan berusaha dapat menjelaskan pemilihan-pemilihan khas oleh
individu-individu manusia atau kelompok-kelompok masyarakat dalam
menggunakan bahasanya.42
Uslub Alquran bukanlah mufradat (kosa kata) dan susunan kalimat, akan
tetapi metode yang dipakai Alquran dalam memilih mufradat dan gaya
kalimatnya.43
Ali al-Jarim dan Musthafa Usman menyebutkan bahwa uslub adalah makna
yang terkandung pada kata-kata yang terangkai sedemikian rupa sehingga lebih
cepat mencapai sasaran kalimat yang dikehendaki dan lebih menyentuh jiwa para
pendengarnya. Menurutnya, uslub ada tiga macam yaitu al-Uslûb al-‘Ilmî, al-
Uslûb al-Adabî, dan al-Uslûb al-Khithabî.44
41
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hal. 112
42
Joanna Thornborrow dan Shan Wareing, Patterns in Language, An Introduction to Language
and Literary Gaya, (London: Routledge, 1998), hal. 3.
43
Muhammad ‘Abdul ‘Azhim al-Zarqany, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulum al-Qur’an, (Mesir: Dâr
al-Ihya’, t.t.), hal. 198.
44
Ali al-Jarim dan Musthafa Usman, Al-Balaghah al-Wadhihah, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1957),
hal. 12-17. Al-Uslûb al-Ilmî (gaya bahasa ilmiah) adalah uslub yang paling mendasar dan paling
banyak membutuhkan logika yang sehat dan pemikiran yang lurus dan jauh dari hayalan sya’ir. Dalam
uslub ini harus diperhatikan pemilihan kata-kata yang jelas dan tegas maknanya serta tidak
mengandung banyak makna. Karena itu pula gaya bahasa ilmiah menghindari penggunaan ungkapan-
ungkapan majâz dan badî’. Adapun al-Uslûb al-Adabî (gaya bahasa sastra) adalah uslub yang
mengutamakan keindahan sebagai salah satu sifat dan kekhasannya yang paling menonjol. Uslub ini
harus menggunakan bahasa yang estetis, puitis, menyentuh rasa dengan keindahannya. Bahasa sastra
30. Uslub atau gaya bahasa berarti mengungkapkan fikiran atau perasaan melalui
bahasa. Dalam kehidupan sehari-hari kita berkomunikasi dengan orang-orang di
sekeliling kita, di rumah, di tempat bekerja, dll. Untuk mengungkapkan fikiran,
perasaan, dan tujuan, digunakanlah bermacam-macam uslub atau gaya bahasa
yang sesuai dengan gaya kalimat berita, gaya kalimat pertanyaan, gaya perintah,
atau gaya bahasa lain, tergantung situasi dan kondisi.45
Karenanya, uslub Alquran berarti gaya bahasa Alquran yang tidak ada duanya
dalam menyusun redaksi penuturnya dan memilih redaksinya. Para ulama, baik
dulu maupun sekarang, telah membahas bahwa Alquran memiliki uslub tersendiri
yang berbeda dengan uslub-uslub Arab lainnya, dari segi penulisan, retorika, dan
susunan kalimatnya.46
Menurt Nashar Abu Zaid, pemahaman Abdul Qahir Al-Jurjani tentang
Nazham sangat identik dengan pengertian “Uslubiyah”. Dengan demikian,
nazham yang menjadikan nahwu sebagai landasannya merupakan ilmu kajian
sastra atau ilmu syi’ir. Karena nahwu yang dimaksud oleh Abdul Qahir bukanlah
nahwu dalam pengertian aturan nahwu preskriptif ( ¯ ) akan
tetapi yang dimaksud dengan nahwu adalah perbedaan-perbedaan antara beragam
uslub dalam kalimat, yang menurut nahwu preskriptif sesuatu yang sama. 47
Ketika abdul Qahir berbicara tentang uslub, maka yang beliau maksudkan
adalah cara khusus dalam mengungkapkan mana ( ¯ ),
bersifat simbolis, asosiatif, imajinatif, menggunakan sesuatu dengan kiasan. Sedangkan al-Uslûb al-
Khithâbî (gaya bahasa retorika) adalah merupakan salah satu seni yang berlaku pada bangsa Arab
yang mempunyai karakteristik dengan kandungan makna yang kuat, memakai lafaz} yang serasi,
argumentasi yang relevan dan kekuatan IQ oratornya. Biasanya seorang orator berbicara mengenai
tema yang relevan dengan realitas kehidupan untuk membawa audiens mengikuti pemikirannya.
Uslub yang indah, jelas, lugas merupakan unsur yang dominan dalam retorika untuk mempengaruhi
aspek psikis audiens. Lihat juga D. Hidayat, Al-Balâghah li al-Jamî’ wa al-Syawâhid min Kalâm al-
Badî’, (Semarang: Karya Toha Putra, tt), Cet. I, Hal. 65
45
D. Hidayat, Al-Balâghah lil Jami’ Balagah untuk Semua, (Semarang: Toha Putra, 2011), hal.
52
46
Magdy Shehab, Al-I’jâz al-Ilmi …, hal. 49.
47
http://hamidzag.blogspot.com/2011/07/blog-post_08.html (زيد أبو نصر عبد عند النظم مفھوم المساوي
الجرجاني :القاھراألسلوبية ضوء في قراءة .)
31. perbedaan uslub akan berimplikasi pada perbedaan makna, sehingga seseorang
tidak bisa menggunakan uslub orang lain.
Dengan demikian titik singgung antara nazham dan uslub adalah bahwa
keduanya sama-sama berbicara tentang masalah kata, makna, penyusunan,
keterkaitan antarkata, dan ide yang disampaikan oleh mutkallim kepada
mukhatabnya. Keduanya berkaitan dengan pengungkapan fikiran melalui bahasa
verbal dalam sebuah konstruksi khusus yang berbeda antara satu orang dengan
yang lainnya.
7. Pengaruh Abdul Qahir terhadap Kajian Balaghah
Tentu, niat dan usaha takkan lepas dari ragam tantangan dan rintangan yang
pasti menghadang. Demikian pula dengan usaha yang dilakukan Al-Jurjani tidak
selalu berjalan mulus, banyak kalangan menentang keras diskursus ilmu bayan,
yang merupakan cabang dari retorika bahasa Arab yang berhubungan dengan
metafora bahasa.
Hal demikian dapat dimaklumi, kondisi sosial kemasyarakatan di Dunia
Islam pada saat itu, yang masih bertaklid buta dalam reaksi pengagungan sisi-sisi
kemukjiazatan Alquran hingga sampailah Al-Jurjani pada suatu titik yang dapat
mencerahkan kaumnya dan menggugah mereka akan pentingnya ilmu bayan
tersebut, yakni dengan menelurkan bukti-bukti yang menunjukan keterkaitan
antara ilmu bayan, nahwu dan syair yang dapat digunakan sebagai titik tolak
penafsiran Alquran sebagai mukjizat, yang tidak hanya dilihat dari pemilihan
diksinya dan bukan pula dari hanya dari maknanya saja, tetapi juga dari retorika
bahasa yang terdapat dalam Alquran.
Abdul Qahir Al-Jurjani sering kali dikaitkan dengan salah satu cabang
retorika bahasa yang kerap dikenal dengan Ilmu Bayan. Kerap kali menjadi
pertanyaan, mengapa ia lebih sering dihubungkan dengan ilmu tersebut daripada
cabang-cabang ilmu retorika bahasa lainnya, padahal pada saat itu ia bukanlah
32. satu-satunya sastrawan yang mengeksplorasi ilmu tersebut. Pun, ia tidak hanya
menelurkan karyanya pada cabang ini saja, tetapi ia juga mendalami berbagai
cabang ilmu tersebut yang lainnya seperti ilmu Ma’ani dan ilmu Badi’? Dalam
paparan singkat ini, penulis berusaha menerangkan sedikit penjelasan perihal
permasalahan tersebut.
Ilmu bayan secara epistimologi dapat diartikan sebagai sebuah cabang ilmu
yang membahas tentang penataan suatu makna hingga dapat disajikan dengan
beragam cara, tetapi tetap memiliki nilai dan petunjuk yang berkaitan dengan
maksud yang ingin disampaikan.48
Pengertian tersebut telah disetujui beberapa
sastrawan-sastrawan lainnya, diantaranya adalah Zamakhsyari penulis tafsir al-
Kasyaf. Hal ini diperjelas dengan contoh sebagai berikut :
)(
Dua kalimat di atas mempunyai arti yang sama akan tetapi dengan tatanan
bahasa yang berbeda. Tentu, tatanan yang berbeda ini bukan hanya kebetulan saja,
tetapi mempunyai maksud tertentu yang dituju. Menurut Ibn Khaldun dalam
bukunya Al Muqadimah, ia menerangkan bahwa dalam tatanan diatas, kata yang
didahulukan menyimpan makna lebih didahulukan daripada kata yang datang
selanjutnya, seperti kalimat ( ). Maka, seseorang yang mengutarakan hal
demikian, lebih mementingkankan kehadiran Laila daripada sosoknya.
Sedangkan, seseorang yang mengutarakan ( ) maka makna yang
terkandung adalah ia lebih mengedepankan sosok Laila daripada kehadirannya.49
Ketika Al-Jurjani mempelajari ilmu nahwu dan ia mengekplorasi ilmu
tersebut hingga ia mendapatkan kesimpulan bahwa adanya keselarasan dalam
ilmu tersebut sebenarnya tidak terlepas dari sisi-sisi kemukjizatan Alquran. Hal
tersebut dibuktikan oleh sastrawan yang datang setelahnya yang menemukan
48
Al-Sayid Ahmad Al Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah, (Beirut: Maktabah al-Tijariyah al-
Kubra, 1963), hal. 4.
49
Al-Sayid Ahmad Al Hasyimi, Jawâhir Al-Balâghah …., hal. 4.
33. keserasian antara ilmu tersebut dengan sejenisnya dalam memahami kemukjizatan
Alquran. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengasumsi bahwa ilmu bayan
terlebih susunan syair menduduki posisi yang lebih tinggi daripada cabang
retorika bahasa lainnya.50
Kondisi susunan syair yang sebelumnya tak dihiraukan, pada abad kelima
berubah menjadi sorotan eksplorasi oleh Al-Jurjani . Maka mulai saat itu, ilmu ini
mulai berkembang di kalangan sastrawan, meskipun ada beberapa sastrawan yang
menganggap bahwa syair beserta bagian-bagiannya, terlebih Tasybih, Isti’arah
dan Majaz, sangat berkaitan sekali dengan kebohongan, karena mereka
memposisikan kata tidak pada tempatnya, tetapi hal tersebut tidak diamini oleh
Al-Jurjani. Menurutnya meskipun demikian adanya, tetapi syair beserta susunan
pembentuknya tidaklah demikian. Karena, meski ia meletakan suatu kata tidak
pada posisinya, tetapi ia memakai hal tersebut karena adanya relevansi makna,
baik itu dari asasnya ataupun dari cabang-cabangnya.51
Menurut Al-Jurjani syair yang bermutu adalah syair yang mempunyai
daya sentuh dan dihasilkan dari pengamatan yang mendalam terhadap suatu
peristiwa, seperti peristiwa terbit dan terbenamnya matahari yang disaksikan oleh
seluruh umat manusia.
Dari sini dapat dilihat, bagaimana seorang penyair yang handal dapat
mengamati gerakan-gerakan tersebut secara mendetail, yang tidak hanya melihat
dari globalnya saja, tetapi juga melihat ke bagian-bagian partikularnya, dan
menuangkannya dalam kata-kata yang indah hingga dapat dinikmati oleh halayak
ramai.52
Meskipun para pakar kritik sastra sering kali tidak sependapat dengan
Al-Jurjani , tetapi dalam permasalahan ini mereka menyetujui pendapat Al-
Jurjani. Bahkan ditambahkan pula bahwa syair yang baik mempunyai daya
50
Ahmad Mathlub, Al-Jurjani: Balaghatuhu wa Naqduhu, (Baerut: Wakalah al-Mathbu’ah, tt),
hal. 54.
51
Jabir Ahmad Ushfûr, Al-Shûrah Al Fanniyah, (Mishr: Dârul Ma’ârif, tt), hal. 142.
52
Jabir Ahmad Ushfûr, Al-Shûrah …, hal. 205.
34. efektifitas dari syair yang dihadirkan. Selain hal tersebut, ada satu hal lagi yang
pendapat mereka tidak bertentangan yakni pengutamaan Isti’arah daripada
Tasybih.53
Apabila kita mengeksplorasi ilmu bayan lebih dalam, maka kita akan
mendapatkan bahwa sesungguhnya gagasan dan ide tersebut sudah ada, bahkan
sebelum datangnya Islam, yakni sejak masa Aristoteles. Akan tetapi gagasan
tersebut belum matang hingga Abu Ubaidah yang merupakan murid Khalil
Ahmad menuangkannya dalam bukunya.
Akan tetapi, karya tersebut belum sempurna, hingga diracik dan
dimatangkan kembali oleh Abdul Qahir Al-Jurjani.54
Oleh sebab itu, para
sastrawan yang hadir setelah Al-Jurjani hanya menambah dan mengisi kekurangan
dari manuskrip Al-Jurjani . Maka tak ayal, bila nama Al-Jurjani kerap dikenal
dengan berkibarnya nama ilmu Bayan. Meski demikian, dia tidak
mengesampingkan cabang ilmu lainnya.
Dari paparan di atas, kita dapat menggambarkan Al-Jurjani sebagai
seorang sastrawan besar yang banyak menghasilkan konstribusi bagi ilmu retorika
bahasa, diantaranya adalah :
1. Pengeksplorasiaan dalam karakteristik metafora dalam sastra arab,
2. Pemecahan isti’arah menjadi bagian yang bermutu dan bagian yang kurang
baik,
3. Klasifikasi jenis isti’arah,
4. Menjadikan pembahasan Isti'arah mengkristal terutama pada abad kelima,
5. Menghasilkan konsep konsistenitas dalam Isti'arah yang tidak berbeda dengan
para sastrawan sebelumnnya, tapi dengan konsep yang lebih matang.55
53
Jabir Ahmad Ushfûr, Al-Shûrah …, hal. 269.
54
As-sayid Ahmad Al Hasyimi, Jawahir …, hal. 205.
55
Jabir Ahmad Ushfur, Al-Shûrah …, hal. 272.
35. Bagi Abdul Qahir Al-Jurjani, isti’arah, kinayah, tamtsil dan berbagai jenis
majaz lain merupakan tuntunan nazham.
Balagah (retorika Arab) sangat dipengaruhi oleh Abdul Qahir Al-Jurjani.
Pandangan dan ide-idenya banyak yang dipelajari dan dianalisis. teorinya
diterapkan dalam analisis sastra dan merupakan subyek diskusi antara ilmuwan.
Buku-buku beliau, terutama Dalail Ijaz dan Asrarul Balagah termasuk induk buku
Arab yang mendorong lahirnya renaisans sastra Arab.
Meskipun kita berkeyakinan bahwa Abdul Qahir memiliki pengaruh besar
terhadap balagah dan sastra Arab, dan bahwa beliau sangat unggul dan memiliki
kreativitas dalam menyusun teorinya, namun harus diakui bahwa apa yang beliau
lakukan adalah menggenapi apa yang telah dilakukan ulama balagah periode awal.
Meskipun beliau melampaui kualitas ulama sebelumnya dalam hal rasa,
ketajaman pendapat, dan universalitas pandangannya, akan tetapi ilmu balagah
sampai pada masa beliau belum terbagi menjadi tiga bagian ( –– ),
ilmu ma’ani tidak dikenal sampai masa Abdul Qahir Al-Jurjani yang
membicarakannya secara khsus di dalam bukunya Dalailul I’jaz, sedang dalam
Ilmu Bayan pengaruh Abdul Qahir terlihat dalam usahanya memperbaharui
beberapa persoalan dan pembagian bab babnya, beliau juga mengungkapkan
beberapa rahasia dalam belagah, sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh
seorang pun dari ulama balagah selaib beliau.56
Abdul Qahir memiliki karakter sendiri dalam membahas balagah dengan
pembagian dan uraiannya yang didasarkan pada contoh-contoh pola balagah yang
beliau miliki, tidak berdasarkan model retoris filsafat seperti yang dilakukan oleh
ulama yang datang sesudah beliau.57
56
Ahmad Ahmad Badawiy, Abdul Qahir al-Jurjani wa Juhuduhu fi al-Balaghah al-Arabiyyah,
(Mishr: al-Mu'assasah al-Mishriyyah li al-Ta'lif wa al-Nasyr, 1996), hal. 268.
57
Ahmad Ahmad Badawiy, Abdul Qahir …, hal. 383.
36. Syauqi Beik berkata: “Abdul Qahir Al-Jurjani memiliki posisi prestise dalam
sejarah balagah, karena beliau mampu menempatkan teori ilmu maani dan teori
ilmu bayan secara akurat. Teori untuk untuk ilmu yang pertama beliau jelaskan
dalam bukunya Dalail Ijaz, sementara taori tentang ilmu yang kedua beliau
jelaskan secara khusus dalam bukunya Asrarul Balagah. 58
8. Pendapat Para Kritikus Terkemuka tentang Sosok Abdul Qahir al-Jurjani
Berdasarkan uraian sebelumnya, kita dapat melihat betapa Abdul Qahir
memiliki andil besar dalam perkembangan balagah serta dalam perumusan teori
nazham. Namun, meskipun demikian Al-Jurjani hanyalah manusia biasa yang tak
akan pernah luput dari kesalahan, begitupun dalam usahanya ini. Secara umum
ada beberapa kritikan yang ditujukan kepada Abdul Qahir Al-Jurjani atas usaha
hebat yang dia lakukan, yaitu sebagai berikut:
1. Dalam pembahasan Al-Jurjani perihal isti'arah ia lebih mengedepankan nalar
seorang ahli kalam daripada nalar mantiknya.
2. Ia menjadikan sastrawan-sastrawan hanya disibukan dengan ragam
pembagiannya dan melengahkan mereka dalam mencari tahu akar sumber
teori tersebut.
3. Dengan pemecahan klasifikasi syair yang baik maka ia seakan membuat
tasybih adalah suatu usaha yang diciptakan dan bukan lahir dari nalar, hal ini
bertentangan dengan banyak sastrawan yang menganggap bahwa syair adalah
suatu gerakan spontanitas .
4. Dalam klasifikasinya yang menjadikan ketelitian dan pemecahan dalam
Tasybih sebagai akar dari syair, menjadikannya berbeda pendapat dengan
58
Syauqi Dhaif, Al-Balagah;Tathawwur wa Tarikh, (al-Qahirah: Dar al-Ma’arif, 1965), hal.
160.
37. sastrawan lainnya yang menganggapnya bukan sebagai akar meskipun, bahkan
mereka tidak memungkiri untuk menjadikannya sebagai landasan.59
Walaupun demikian, apabila dilihat dari sisi lain, maka kita akan terpana
menyaksikan seorang sastrawan yang menekuni ilmunya dengan tujuan mulia
yakni untuk berkhidmat untuk agamanya dengan bukti dan dalil yang kuat. Maka
tak heran, bila gerakan Al-Jurjani ini selalu berada dalam mainframe agama.
Berikut ini dikemukakan juga beberapa kritiks dari para kritikus terkemuka
tentang sosok Abdul Qahir al-Jurjani beserta karya-karyanya.
a. Thoha Husein
Ada banyak pendapat beliau tentang Abdul Qahir, dengan berusaha keras
menegaskan kelebihan yang beliau miliki dalam karangannya dan dikaitkan
dengan pemikir yang lain seperti Aristoteles. Toha Husaen berkata:
"Siapa saja yang membaca Dalâilul I’jâz pasti mengakui usaha keras
Abdul Qahir yang dia lakukan dengan tulus untuk menyelaraskan
antara Nahwu bahasa Arab dan pandangan umum Aristoteles tentang
kalimat dan pembagian bab-babnya. Kalau Al-Jahizh dianggap sebagai
peletak pondasi ilmu Bayan, maka Abdul Qahirlah yang meninggikan
dan memperindah bangunannya.”60
Pandangan ini merupakan bagian dari kampanye Taha Hussein tentang Arab,
bangsa Arab dan Muslim. Dia telah membuat upaya besar untuk
mengungkapkan hal-hal baru yang dari bangsa Arab terlepas dari Yunani. Ia
berusaha membebaskan bangsa Arab seolah-olah mereka beban bagi orang
lain, dan seolah mereka pencuri pemikiran dan ilmu pengetahuan dari bangsa
lain.
Bagi Thaha Husaen adalah sulit untuk diterima ada orang secerdas Abdul
Qahir yang melakukan pencurian idea, Abdul Qahir membangun sendiri
59
Syauqi Dhaif, Al-Balagah; …, hal. 209.
60
Qudhama bin Ja’far, Naqd al-Syi’r, hal 30.
38. ilmunya, teori yang beliau kemukakan tidak pernah dikemukan oleh pemikir
sebelum beliau, dan tidak ada bukti keterpengaruhan beliau dengan Aristoteles.
Kalau beliau terpengaruh, semestinya keterpangaruhan itu seperti
keterpengaruhan beliau oleh Al-Qadhi Abdul Jabbar dan Sibawaih.
Keterpengaruhan seperti itu tidaklah menghilangkan orisinalitas keilmuwan
beliau. Karena tidak mungkin ada seorang ilmuwan dalam bidang ilmu apa pun
di dunia ini yang tidak terpengaruh oleh ilmuwan lain. Tetapi ini tidak berarti
bahwa dia menjad tahanan ide orang lain dan penggema bagi perkataan orang
lain, pendapat orang lain hanyalah menjadi dasar untuk membangun pandangan
dan pendapat pribadinya sendiri.
b. Muhammad Mandur
Muhmmad Mandur adalah salah seorang ulama era modern yang mengagumi
Abdul Qahir dan termasuk orisinalitas teori yang beliau kemukakan yang
sepenuhnya sesuai dengan temuan ilmu pengetahuan modern, di antara
pernyataan beliau adalah:
“Metode Abdul Qahir berdasarkan pada teori bahasa saya saya lihat dan
dilihat oleh semua orang yang mendalami pemikirannya. Pemikiran
beliau sejalan dengan kesimpulan yang dicapai oleh linguistik modern,
beliau sampai pada apa yang disimpulkan oleh linguis moderen bahwa
bahasa bukan hanya sekumpulan kata-kata, akan tetapi sekumpulan
hubungan.”61
Pernyataan ini membuktikan kejeniusan Al-Jurjaniy yang dapat mempengaruhi
metode modern dan ini juga merupakan bukti kehebatan teori ini, yang
merupakan hadiah dari AlJurjaani untuk bangsa dan bahasa Arab.
Di tempat lain Dia mengatakan: "Teori Nazham menurut Abdul Qahir
merupakan teori yang signifikan dan substansial, dan bahwa menurut belia
61
Muhammad Mandur, Fi al-Mizan al-Jadid, (al-Qahirah: Nahdhah Mishr, 2004), hal. 185.
39. penelitian tentang Nazham tidak hanya terbatas pada salah benar, tetapi sampai
penjelasan tentang kualitas kalimat”62
Di tempat lain dia mengatakan:
“Terbayanglah bagi kita bagaimana laki-laki ini, pendapatnya adalah
buah dari pengalaman dan pergumulan panjang dengan teks-teks sastra
Arab. Allah telah memberikan beliau kejujuran rasa yang dia
berdayakan dalam interaksi dengan teks-teks tersebut, lalu beliau
merenung secara mendalam sampai akhirnya beliau menemukan
hakikat-hakikat tersebut, meskipun ada kemiripannya dengan pemikiran
Yunani Kuno, sebagaimana ada juga pendapat beliau yang sejalan
dengan linguistic modern dan ada juga yang memperjalasnya, Kutaman
terbesar berkat bakat bawaan Abdul Qahir Aljurjanu.”63
Dalam pernyataan tadi terlihat ketakjuban Mandour kepada Abdul Qahir,
diajuga terkesan dengan kecemerlangan dan kecerdasan ide baliau, yang
berhasil mengajarkan kita teori nazham
c. Ahmad Mathlub
Ahmad Mathlub adalah orang yang secara khusus menulis buku tentang Abdul
Qahir, di dalamnya dia menulis berbagai isu yang terkait dengan Abdul Qahir
dan teorinya, termasuk banyak hal tentang upaya Abdul Qahir, tetapi kita akan
membatasi diri dengan beberapa persoalan saja.
Di antara pernyataan beliau tentang Abdul Qahir adalah:
"Keutamaan Abdul Qahir tidak datang dari penciptaan seni dan
balagah, tetapi dari metodenya yang jelas dan teorinya yang tepat, serta
analisis sastranya yang indah, serta kemampuannya mengumpulkan
yang terceraiberai dalam kerangka teori yang menjadi landasan teorinya
yang detail. Dia bisa melihat balagah secara komprehensif dan mampu
menghubungka antara balagah dan studi Alquran yang berkaitan dengan
kemujizatan dan penafsirannya.”64
62
Muhammad Mandur, Fi al-Mizan …, hal. 189.
63
Muhammad Mandur, Fi al-Mizan …, hal. 201.
64
Ahmad Mathlub, Abdul Qahir …, hal. 324.
40. Ahmad Mathlub juga mengatakan bahwa Abdul Qahir adalah kritikus Arab
terbesar yang pernah ada pada masa kritiks Arab kuno, dia berkomitmen pada
dirinya untuk ide dan berusaha untuk tujuan yang jelas dan spesifik."65
Dia juga berbicara panjang lebar tentang keterpengaruhan Abdul Qahir dengan
warisan Arab dari dan dari Yunani, yang tidak perlu disampaikan panjang lebar
di sini.
Sebagaimana Ahmad Matlub telah menyampaikan pada pernyataan yang
pertama dimana dia menyangkal inovasi dan penemuan Abdul Qahir, kita
menemukannya mengulangi pernyataan ini beberapa kali di bukunya, ia
berkata lagi: "Isu-isu yang dibahas dalam teori nazham bukanlah hal yang baru,
tetapi yang baru adalah pengolahan isu-isu tersebut dalam gambaran kalimat
indah, yang bisa memberikan rasa indah dan mempengaruhi orang"66
Ahmad Mathlub juga melihat bahwa metode krtitiks analisis Abdul Qahir
sangat cocok digunakan dalam analitis literatur, karena memberikan sebuah
pendekatan yang menjadikan bahasa terus berkembang dan mengalami
pembaharuan dalam uslub.67
d. Syauqi Dhaif
Syauqi Dhaif termasuk salah seorang mahasiswa Taha Hussein yang terbaik
dan yang meniru guru dalam hal apa yang dia katakan tentang hubungan antara
Abdul Qahir Al-Jurjani dengan Aristoteles, tetapi di menambahkan
komentarnya atas pendapat tersebut dengan mengatakan:
"Kami tidak mengklaim bahwa dari semua itu ada sesuatu yang menghalangi
Abdul Qahir untuk dianggap telah membangun teorinya secara mandiri, begitu
juga dengan pendapatnya tentang kaidah makna tambahan, tetapi kami
65
Ahmad Mathlub, Abdul Qahir …, hal. 329.
66
Ahmad Mathlub, Abdul Qahir …, hal. 51.
67
Ahmad Mathlub, Abdul Qahir …, hal. 85.
41. menduga bahwa beliau telah membaca karya Aristoteles lalu beliau
mendalami dan menguasainya secara mendalam"68
Syauqi Dhaif juga berpendapat bahwa Abdul Qahirlah yang menemukan
¯ , sebuah metafora yang ada di atribusi, bukan dalam kata-kata, seperti:
Musim semi menumbuhkan tanaman, dan seperti dalam ayat {
}/Perdagangan mereka tidak merugi.69
e. Sayyid Qhutub
Sayyid Qutb berkomentar tentang teori Abdul Qahir sebagai berikut: "Abdul
Qahir lah yang meletakkan dengan benar masalah lafazh dan makna,
seumpama beliau maju satu langkah dalam ungkapan yang tepat tentang
persoalan tersebut, niscaya beliau telah sampai pada puncak kritis dari kritik
sastra."70
Maksud Sayyid Quthb adalah bahwa Abdul Qahir tidak berbicara tentang
gambar makna (meaning picture) karena makna tidak akan muncul kecuali
dalam gambar. jika gambarnya berubah maka berubah pula maknanya. Tetapi
Sayyid Quthb percaya bahwa Abdul Qahir, meskipun tidak secara eksplisit
mengatakan soal tersebut, tetapi kandungan makna dari penjelasan-penjelasan
beliau tenang nazham telah mengindikasikan persoalan tersebut. Kita tidak
memaksa Abdul Qahir pada masanya untuk menggunakan lafaz yang sama
untuk maksud ini, karena setiap masa memiliki kata-kata dan ungkapan yang
popular untuk masanya.
68
Ahmad Mathlub, Abdul Qahir …, hal. 189.
69
Ahmad Mathlub, Abdul Qahir …, hal. 185.
70
Sayyid Quthb, Al-Tashwir al-Fanni fi Alqur’an, (al-Qahirah: Dar al-Syuruq, 1431 H), Cet.
XVI, hal,. 194.
42. Pada kesempatan yang lain beliau berkomentar: "Abdul Qahir telah sampai
pada penemuan teori yang dialah satu-satunya yang pertama dalam sejarah
kritik sastra Arab, sebuah teori yang bisa kita sebut dengan teori nazham.”71
Dalam pembicaraannya tentang Abdul Qahir dia juga mengatakan: "Abdul
Qahir adalah penulis pertama tentang sastra Arab yang mengutarakan subjek
pembahasannya dengan cara yang praktis dan sistematis, dengan berdasarkan
pada pada prinsip-prinisp dan intuisi sastrawi, menggabungkan antara teori
yang jelas dan analisis yang mendalam.”72
f. Badawi Thabanah
Badawi Thabanah berkomentar tentang karya Abdul Qahir sebagai berikut:
"Kita tidak menemukan seorang pun sastrawan atau kritikus sastra yang
mampu menundukkan seni berbicara pada psikologi, sebagaimana yang
mampu dilakukan oleh Abdul Qahir, karyanya pada kenyataannya
adalah sesuatu yang baru dan inovatif tidak pada subjeknya, tetapi
dalam hal metode penelitiannya, bahkan bisa dikatakan bahwa
kecenderungan ini hampir hanya dimiliki oleh Abdul Qahir AlJurjaani
tanpa pengkaji yang lain.”73
Thabanah juga berkata:"Bisa dikatakan Abdul Qahir adalah Aristotelesnya Arab
dalam kapasitas kelimpahan pengetahuan seni sastranya, hanya saja Abdul Qahir
lebih mengungguli argumen Aristoteles dalam kemurnian dan kejelasan
argumentasinya.”74
71
Sayyid Quthb, al-Naqd al-Adabiy; Ushuluhhu wa Manahijuhu, (al-Qahirah: Dar al-Syuruq,
1431 H), Cet. XVI,hal. 126.
72
Sayyid Quthb, al-Naqd al-Adabiy …, hal. 199.
73
Badawiy Thabanah, al-Bayan al-Arabiy, (Mishr: Maktabah Alanjlu, 1381 H), Cet. III, hal.
231.
74
Badawiy Thabanah, al-Bayan …, hal. 322.
43. C. PENUTUP
Berdasarkan semua yang telah dikemukan pada bagian pembahasan, penulis
sampai pada beberapa poin kesimpulan berikut ini:
1. Abdul Qahir Al-Jurjani yang telah menggulirkan teori ini pada awalnya bertjuan
untuk mengabdi pada kemenangan agama Allah, karenanya beliau mendapatkan
dukungan dan taufiq beserta hidayah dari Allah SWT.
2. Abdul Qahir Al-Jurjani memang bukan pencipta teori ini, karena telah didahului
oleh sejumlah ilmuwan sebelum beliau, tetapi mereka tidak detail
merumuskannya seperti Abdul Qahir, layaklah dianggap sebagai orang yang
berjasa dalam mengdentifikasi dan mengklarifikasi teori tersebut.
3. Abdul Qahir Al-Jurjaniy telah mampu mengembangkan teori yang terpadu
sebanding dengan teori-teori terbaru tentang bahasa yang ditemukan pada paruh
kedua abad kedua puluh.
4. Teori Nazham mampu menjauhkan kekeringan makna dari balagah Arab dan
membawa lebih dekat ke hati para pengkajinya. Secara gari besar teori Abdul
Qahir dapat disimpulkan dalam beberapa poin berikut ini:
5. Lafazh atau kata adalah unit bahasa yang merupakan simbol untuk suatu maksud
tertentu. Pada dasarnya tidak ada perbedaan tingkat dalam diri lafazh sendiri,
keutamaan itu terletak pada makna yang dirujuknya dan pada posisinya di dalam
satuan nazham. Yang paling mungkin disebut sebagai perbedaan tingkatan dalam
lafazh tunggal adalah apakah suatu lafaz itu dinilai gampang digunakan, atau
aneh ataukah malah kasar.
6. Nazham tergantung pada makna, dan ia tergantung pada struktur nahwu. suatu
wacana yang bernazham harus disusun berdasarkan aturan tata bahasa yang telah
ditentukan dalam nahwu. Seorang yang menerapkan nazham tidak cukup hanya
mengetahui aturan dan makna nahwu, tetapi dia juga harus mengetahui letal yang
sesuai untuk setiap pola nahwu, mengetahui juga ragam-ragam pola nahwu
beserta perbedaan antara pola-pola tersebut. Perbedaan yang dimaksud adalah
44. yang terkait dengan keutamaan dan kelebihan setiap pola, yang kembali pada
pemilihan terbaik suatu pola yang masih berada pada batasan aturan nahwu.
Seorang yang menerapkan teori nazham hendaknya mengetahui tingkatan yang
utama lalu yang paling utama dari setiap pola.
7. Teori nazham adalah teori yang dibangun atas dasar kaidah-kaidah nahwu. Dan
kajian nahwu juga harus memanfaatkan teori ini sehinga dia bisa keluar dari
kebuntuan yang telah menggelayutinya lalu pindah kepada kenikmatan dan olah
rasa seperti yang ditawarkan oleh tori ini.
8. Abdul Qahir Al-Jurjani dengan teori nazhamnya telah jauh melampaui teori dan
inovasi dalam bidang linguistik yang ditemukan kemudian hari dalam kajian
linguistik barat modern.
45. DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Ghani Muhammad Sa’d Barkah, al-Ijaz al-Qur’ani: Wujuhuhu wa Asraruhu,
(al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 1989), hal. 57.
Abd al-Karim al-Khatib, I’jaz al-Qur’an; Al-I’jaz fi Dirasah al-Sabiqin, (Mishr: Dar
al-Fikr al-Arabi, 1974), hal. 165.
Abdul Qâhir al-Jurjânî, Asrâr al-Balâghah, Tahqiq Mahmud Syakir, (al-Qahirah:
Mathba'ah al-Madani, 1412 H), Cet. I, hal. 109.
Abdul Qâhir al-Jurjânî, Dalâ’il al-I’jâz Tahqiq al-Syekh Mahmud Syakir, (al-Riyadh:
Maktabah al-Ma'arif, 1424), Cet. V, hal. 15.
Ahmad Ahmad Badawiy, Abdul Qahir al-Jurjani wa Juhuduhu fi al-Balaghah al-
Arabiyyah, (Mishr: al-Mu'assasah al-Mishriyyah li al-Ta'lif wa al-Nasyr,
1996), hal. 268.
Ahmad Mathlub, Al-Jurjani: Balaghatuhu wa Naqduhu, (Baerut: Wakalah al-
Mathbu’ah, tt), hal. 54.
Ali al-Jarim dan Musthafa Usman, Al-Balaghah al-Wadhihah, (Mesir: Dar al-
Ma’arif, 1957),
Al-Sayid Ahmad Al Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah, (Beirut: Maktabah al-Tijariyah
al-Kubra, 1963), hal. 4.
Badawiy Thabanah, al-Bayan al-Arabiy, (Mishr: Maktabah Alanjlu, 1381 H), Cet.
III, hal. 231.
D. Hidayat, Al-Balâghah lil Jami’ Balagah untuk Semua, (Semarang: Toha Putra,
2011), hal. 52
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hal.
112
Hatim Dhamin, Nazhariyat al-Nazham ‘inda Abd al-Qahir al-Jurjani, (al-Qahirah:
Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, 1995), hal. 24.
Issa J. Boullata, Alquran yang Menakjubkan, (Tangerang: Lentera Hati, 2008), hal.
118.
Jabir Ahmad Ushfûr, Al-Shûrah Al Fanniyah, (Mishr: Dârul Ma’ârif, tt), hal. 142.
Joanna Thornborrow dan Shan Wareing, Patterns in Language, An Introduction to
Language and Literary Gaya, (London: Routledge, 1998), hal. 3.
Magdy Shehab, Al-I’jâz al-Ilmi fi al-Qur’an wa al-Sunnah, dalam Syarif Hade
Masyah, dkk, Ensiklopedia Mukjizat al-Qur’an dan Hadis; Kemukjizatan
46. Sastra dan Bahasa al-Qur’an, (Bekasi: Sapta Sentosa, 2008), Cet. I, Jilid. VII,
hal. 49.
Muhammad ‘Abdul ‘Azhim al-Zarqany, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulum al-Qur’an,
(Mesir: Dâr al-Ihya’, t.t.), hal. 198.
Muhammad Mandur, Fi al-Mizan al-Jadid, (al-Qahirah: Nahdhah Mishr, 2004), hal.
185.
Muhbib Abdul Wahab, Pemikiran Tamam Hasan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2002),
hal. 86
Sayyid Quthb, al-Naqd al-Adabiy; Ushuluhhu wa Manahijuhu, (al-Qahirah: Dar al-
Syuruq, 1431 H), Cet. XVI,hal. 126.
Sayyid Quthb, Al-Tashwir al-Fanni fi Alqur’an, (al-Qahirah: Dar al-Syuruq, 1431
H), Cet. XVI, hal,. 194.
Subhi Shalih, Mabâhits fi Ulûm al-Qur’ân, (Baerut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1402
H), Cet. 14, hal. 140.
Syauqi Dhaif, An al-Balaghah al-Arabiyyah; Tathawwur wa Tarikh, (al-Qahirah: Dar
al-Ma’arif, 1965), hal. 109.
Syauqi Dhaif, Mu’jizat al-Qur’an, al-Qahirah: Dar al-Ma’arif, 2002.