Teks tersebut membahas tentang liberalisme dan pluralisme agama. Secara ringkas, teks tersebut menjelaskan bahwa liberalisme mencakup tiga hal yaitu kebebasan berpikir tanpa batas, keraguan terhadap kebenaran, dan sikap longgar dalam beragama. Sedangkan pluralisme agama dianggap bertentangan dengan ajaran Islam meskipun toleransi antar umat beragama diwajibkan.
1. 1
MEMBENDUNG ARUS LIBERALISME
Dr Syamsuddin Arif∗
What is liberty without wisdom, and without virtue?
It is the greatest of all possible evils; for it is folly,
vice, and madness, without tuition or restraint.
— Edmund Burke
Menyusul terbitnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Juli 2005, terdengar
suara-suara sumbang yang mempersoalkan definisi liberalisme. Muncul tuduhan bahwa MUI
tidak memahami apa itu liberalisme. Istilah ‘liberalisme’ berasal dari bahasa Latin, liber, yang
artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’. Istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, sejak
lahir ataupun mantan budak. Dari sinilah muncul istilah ‘liberal arts’ di Eropa, yakni ilmu-
ilmu yang patut dipelajari oleh orang merdeka: arithmetika, geometri, astronomi dan musik
(quadrivium), disamping grammatika, logika dan rhetorika (trivium).
Pakar sejarah Barat biasanya menunjuk motto Revolusi Perancis 1789 -kebebasan,
kesetaraan, persaudaraan (liberté, égalité, fraternité) sebagai piagam agung (magna charta) bagi
liberalisme modern. Sebagaimana diungkapkan oleh H. Gruber, prinsip liberalisme yang
paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas -apapun namanya- adalah
bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia –yakni otoritas yang
akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar dirinya (it is contrary to the
natural, innate, and inalienable right and liberty and dignity of man, to subject himself to an
authority, the root, rule, measure, and sanction of which is not in himself). Di sini kita mencium
bau sophisme dan relativisme àla falsafah Protagoras yang mengajarkan bahwa “manusia
adalah ukuran dari segalanya” – sebuah doktrin yang kemudian dirayakan oleh para
penganut nihilisme semacam Nietzsche.
Sebagai anak kandung Humanisme dan Reformasi abad ke-15 dan ke-16, liberalisme
telah dikembangkan oleh para pemikir dan cendekiawan di Inggris (Locke dan Hume), di
Perancis (Rousseau dan Diderot) dan di Jerman (Lessing dan Kant). Gagasan ini banyak
diminati oleh elit terpelajar dan bangsawan yang menyukai kebebasan berpikir tanpa batas.
Sebagaimana dinyatakan oleh Germaine de Staël dalam karyanya, Considérations sur les
principaux événements de la Révolution française (1818), kaum liberal menuntut kebebasan
individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut
penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja.
Di abad ke-18, kaum intelektual dan politisi Eropa memakai istilah liberal untuk
membedakan diri mereka dari kelompok lain. Sebagai adjektif, kata ‘liberal’ melambangkan
sikap anti feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas lagi
terbuka (open-minded) dan, oleh karena itu, hebat (magnanimous).
∗
Dosen di International Islamic University Malaysia. Email: syamsuddin@iiu.edu.my
2. 2
Dalam ranah politik, liberalisme dimaknai sebagai sistem dan kecenderungan yang
berlawanan dengan dan menentang ‘mati-matian’ sentralisasi dan absolutisme kekuasaan.
Munculnya republik-republik menggantikan kerajaan-kerajaan konon tidak terlepas dari
liberalisme ini. Sementara di bidang ekonomi, liberalisme merujuk pada sistem pasar bebas
dimana intervensi pemerintah dalam perekonomian dibatasi –jika tidak dibolehkan sama
sekali. Dalam hal ini dan pada batasan tertentu, liberalisme identik dengan kapitalisme.
Di wilayah sosial, gerakan liberal mencakup emansipasi wanita, penyetaraan gender,
pupusnya kontrol sosial terhadap individu dan runtuhnya nilai-nilai kekeluargaan. Biarkan
wanita menentukan nasibnya sendiri, sebab tak seorang pun kini berhak dan boleh memaksa
ataupun melarangnya untuk melakukan sesuatu.
Sedangkan dalam urusan agama, liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini,
dan mengamalkan apa saja, sesuai kecenderungan, kehendak dan selera masing-masing.
Bahkan lebih jauh dari itu, liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat. Artinya,
konsep amar ma’ruf maupun nahi munkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahkan dianggap
bertentangan dengan semangat liberalisme. Asal tidak merugikan pihak lain, orang yang
berzina tidak boleh dihukum, apalagi jika dilakukan atas dasar suka sama suka, menurut
prinsip ini. Karena menggusur peran agama dan otoritas wahyu dari wilayah politik,
ekonomi, maupun sosial, maka tidak salah jika liberalisme dipadankan dengan sekularisme.
Pada awalnya, paham liberalisme berkembang di kalangan Protestan saja. Namun di
kemudian hari, wabah liberalisme merasuki pengikut Katholik juga. Tokoh-tokoh Kristen
liberal semacam Benjamin Constant antara lain menginginkan agar pola hubungan antara
institusi Gereja, pemerintah, dan masyarakat ditinjau ulang dan diatur lagi. Mereka juga
menuntut reformasi terhadap doktrin-doktrin dan disiplin yang dibuat oleh Gereja Katholik
Roma, agar sesuai dengan semangat zaman yang sedang dan senantiasa berubah, agar sejalan
dengan prinsip-prinsip humanisme dan tidak bertentangan dengan sains yang anti-Tuhan
namun dianggap benar itu.
Secara umum, yang dikehendaki ialah kebebasan bagi siapa saja untuk menafsirkan
ajaran agama dan kitab sucinya, ketidak-terikatan dengan aturan-aturan maupun keputusan-
keputusan yang dikeluarkan pihak Gereja, pengakuan otoritas pemerintah vis-à-vis otoritas
Gereja, dan penghapusan sistem kependetaan (clericalism). Inilah yang kemudian dikecam
oleh Paus Pius IX, Leo XIII dan Pius X. Kecenderungan-kecenderungan seperti ini mereka
sebut “modernisme”.1
Di dunia Islam, virus liberalisme juga berhasil masuk ke kalangan cendekiawan yang
konon dianggap sebagai “pembaharu” (mujaddid). Mereka yang menjadi liberal antara lain:
Rifa‘ah at-Tahtawi (1801-1873 M), Qasim Amin (1863-1908 M) dan Ali Abdur Raziq
(1888-1966 M) dari Mesir, dan Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M) dari India. Di abad
keduapuluh muncul pemikir-pemikir yang juga tidak kalah liberal seperti Fazlur Rahman,
1
Lihat: Jean Reville, Liberal Christianity (London, 1903); Georges Weill, Histoire de Catholicisme libéral en
France, 1828-1908 (Paris, 1909); dan Orestes A. Brownson, Conversations on Liberalism and the Church (New
York, 1869).
3. 3
M. Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Shahrour dan pengikut-pengikutnya di
Indonesia.2
Pemikiran dan pesan-pesan yang dijual para tokoh liberal itu sebenarnya kurang
lebih sama saja. Ajaran Islam harus disesuaikan dengan perkembangan zaman, al-Qur’an dan
Hadits mesti dikritisi dan ditafsirkan ulang menggunakan pendekatan historis, hermeneutis
dan sebagainya, perlu dilakukan modernisasi dan sekularisasi dalam kehidupan beragama dan
bernegara, tunduk pada aturan pergaulan internasional berlandaskan hak asasi manusia,
pluralisme dan lain lain-lain. Pendek kata, meminjam ungkapan Binder: “liberalism treats
religion as opinion and, therefore tolerates diversity in precisely those realms that traditional belief
insists upon without equivocation.” Maka wajarlah jika kemudian ia menilai bahwa “Islam and
liberalism appear to be in contradiction.”3
Dari uraian ringkas di atas dapat kita simpulkan bahwa paham liberalisme mencakup
tiga hal. Pertama, kebebasan berpikir tanpa batas alias free thinking. Kedua, senantiasa
meragukan dan menolak kebenaran alias sophisme. Dan ketiga, sikap longgar dan semena-
mena dalam beragama (no commitment and free exercise of religion). Yang pertama berarti
kebebasan memikirkan apa saja dan siapa saja. “Berpikir kok dilarang,” ujar golongan ini.
Yang kedua lebih dikenal dengan istilah ‘sūfastā’iyyah’, yang terdiri dari skeptisisme,
agnostisisme dan relativisme. Sementara yang disebut terakhir tidak lain dan tidak bukan
adalah manifestasi nifaq, dimana seseorang itu tidak mau dikatakan kafir walaupun dirinya
sudah tidak peduli kepada ajaran agama.
2
Lihat Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age (London: Oxford University Press, 1962); Leonard
Binder, Islamic Liberalism (Chicago: University of Chicago Press, 1988); dan Charles Kurzman, Liberal Islam:
A Source Book (New York: Oxford University Press, 1998); dan Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia
(Jakarta: Yayasan Paramadina, 1999).
3
Leonard Binder, Islamic Liberalism (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 2
4. 4
TOLERANSI AGAMA: ‘YES’, PLURALISME : ‘NO’ !
Dr Syamsuddin Arif∗
In order to be effective truth must penetrate
like an arrow — and that is likely to hurt.
- Wei Wu Wei
Meski telah dinyatakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia, pluralisme agama kian
gencar dikampanyekan. Seribu satu cara digunakan untuk menyiarkan akidah sesat tersebut
seperti julukan ‘bapak pluralisme’ kepada mendiang Gus Dur. Penjaja pluralisme agama tak
sungkan-sungkan menuduh lawan mereka sebagai tidak toleran. Penganut pluralisme kerap
berhujah bahwa semua agama sama benar dan sama baiknya. Mereka tidak mengerti bahwa
toleransi itu bukan pluralisme dan bukan pula relativisme. Umat Islam toleran kepada umat
agama lain, dengan tetap meyakini bahwa Islam satu-satunya agama yang benar dan diterima
oleh Allah (inna d-dina ‘inda Allah al-Islam).
Seorang Muslim yang memahami ajaran agamanya tentu mengetahui bahwa padanya
selalu dituntut keseimbangan dan kewajaran dalam ber-aqidah, beribadah dan bermu’amalah
antar sesama manusia. Anda disuruh berjihad, tapi juga diperintahkan menebar kedamaian.
Saling menghormati dan toleransi kepada pemeluk agama lain diharuskan, namun dakwah
kepada mereka juga diwajibkan. Minoritas non-Muslim (ahli dzimmah) yang ‘lurus’ wajib
dilindungi, namun mereka yang berkhianat dan memusuhi Islam dan Umat Islam harus
diperangi. Demikianlah rule of the game-nya, sehingga peaceful coexistence dapat terwujud.
Sebaliknya, jika aturan main tersebut dilanggar, maka timbulnya berbagai macam konflik
akan sulit dihindari.
Bahwa terdapat bermacam-macam agama di muka bumi ini adalah kenyataan yang
tak terelakkan. Persoalannya adalah bagaimana menyikapi pluralitas dan diversitas agama-
agama tersebut? Menjawab pertanyaan serius ini, para pemikir terbelah menjadi beberapa
kelompok. Kaum skeptis, positivis dan naturalis berkata, adanya macam-macam agama
dengan doktrin yang berbeda-beda itu justru menunjukkan bahwa tidak ada satupun agama
yang benar dan layak dipercaya. Cukuplah perbedaan dan perselisihan itu merobohkan
keseluruhan bangunan agama. Sebab, tidak ada satu kriteria pun yang dapat memastikan
kebenarannya. Maka pluralitas agama hanya dapat dijelaskan secara sosiologis, anthropologis,
dan psikologis. Munculnya agama-agama disebabkan oleh faktor-faktor yang tak ada
hubungannya dengan benar-salah (truth-blind causes), yaitu adat istiadat, kekuasaan politik,
kepentingan serta kecenderungan pribadi dan budaya masyarakat setempat. Agama adalah
seperangkat ilusi, ungkapan emosi dan kepercayaan kosong. Begitulah pendapat Feuerbach,
Marx dan Freud.
∗
Dosen di International Islamic University Malaysia. Email: syamsuddin@iiu.edu.my
5. 5
Penganut relativisme dengan polos berpendapat bahwa semua agama sama benarnya
(every religion is as true and equally valid as every other). Kebenaran bukan monopoli satu
agama tertentu. Tidak boleh pemeluk suatu agama menyalahkan atau menganggap sesat
penganut agama lain. Mereka ini lugu, karena ‘memegang pisau bukan gagangnya, tetapi
badannya’. Pandangan ini merupakan induk dari paham esensialisme, sinkretisme, dan
pluralisme agama. Maka kekeliruan tiga paham inipun tidak jauh berbeda dan tak dapat
dipisahkan dari relativisme.
Yang dimaksud dengan esensialisme disini ialah pandangan yang mengatakan bahwa
semua agama pada intinya sama. Bahwa agama-agama hanya berbeda formatnya saja, namun
substansinya sama: kepercayaan pada Tuhan, kenabian dan moralitas. Perbedaan yang ada
tidak esensial, lebih karena faktor sejarah dan pengaruh kondisi kultural dimana agama
tersebut lahir. Walaupun sangat reduksionistik, pandangan ini cukup banyak peminatnya.
Sebutlah misalnya Frithjof Schuon yang mengolah gagasan ini menjadi ‘kesatuan transenden
agama-agama’ (transcendent unity of religions). Supaya lebih memikat, agama barunya itu ia
namakan ‘agama abadi’ (religio perennis) alias ‘agama hati’ (la religion du coeur) yang konon
merupakan sari-pati agama-agama.4
Sinkretisme bertualang lebih jauh, dengan dalih mau mencairkan konflik agama atau
demi mempertemukan pelbagai agama. Oleh karena semua agama membawa kebenaran dan
menganjurkan kebaikan, mengapa tidak kita gabungkan saja semuanya? Ambil unsur-unsur
yang disepakati dari semua agama dan buang yang masih diperdebatkan, demikian pikir
mereka. Maka jadilah ‘agama gado-gado’ hasil comot sana-sini. Sosiolog Peter L. Berger dari
universitas Boston menyebutnya patchwork religion. Contohnya Sikhisme di India, Bahaisme
di Iran, Cuadaisme di Vietnam, atau aliran-aliran kebatinan semacam Sumarah, Pangestu,
Darmo Gandhul dan sebagainya di Indonesia.
Seperti kawan-kawannya, pluralisme juga bertolak dari keinginan mencari titik-temu
bagi agama-agama yang berbeda. Pluralisme memang tidak gebyah-uyah menyamakan semua
agama. Sebab, logikanya, andaikata semua agama sama, maka pluralitas tidak ada. Namun,
kaum pluralis tidak sekedar mengakui keberadaan berbagai agama. Lebih dari itu, mereka
menganggap semua agama mewakili kebenaran yang sama, meskipun ‘porsinya’ tidak sama.
Semuanya menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan, walaupun ‘resepnya’ berbeda-beda.
Terdapat banyak jalan menuju Tuhan. Semuanya oke, tidak ada satupun yang buntu atau
menyesatkan. All religions are equally effective means to salvation, liberation, and happiness,
menurut paham ini.
Lalu apa bedanya dengan relativisme? Sebagaimana ditegaskan Peter Byrne, di dalam
pluralisme bersemayam agnostisisme, paham bahwa kebenaran hanya bisa didekati, tetapi
mustahil ditemukan. Pluralisme agama, jelasnya, merupakan persenyawaan tiga proposisi.
Pertama, semua tradisi agama-agama besar adalah sama, semuanya merujuk dan menunjuk
sebuah realitas tunggal yang transendent dan suci. Kedua, semuanya sama-sama menawarkan
4
Lihat Religion of the Heart: Essays presented to Frithjof Schuon on his eightieth Birthday, ed. S.H. Nasr dan W.
Stoddart. Washington, D.C.: Foundation for Traditional Studies, 1991.
6. 6
jalan keselamatan. Dan ketiga, semuanya tidak ada yang final. Artinya, setiap agama harus
selalu terbuka untuk dikritisi dan direvisi.5
Di Indonesia, pluralisme agama kerap dipadankan dengan inklusivisme. Gagasan ini
intinya ingin mengakui dan menerima kebenaran agama lain. Sekilas memang nampak tak
bermasalah. Konon tujuannya mencari common platform demi terwujudnya kebersamaan dan
kerukunan antar umat beragama. Namun pada hakikatnya, inklusivisme cukup berbahaya. Ia
mengajarkan bahwa agama anda bukanlah satu-satunya jalan keselamatan. Tidak boleh anda
menganggap penganut agama lain bakal penghuni neraka. Asal mereka beriman dan berbuat
baik –apapun agamanya– bisa saja selamat. Islam berarti penyerahan diri pada Tuhan, tidak
lebih dari itu. Maka siapapun yang menyerahkan diri kepada Tuhan, meskipun secara formal
berada di luar agama Islam, boleh disebut Muslim.6
Semua paham-paham ini sesungguhnya
lebih merupakan pendangkalan ketimbang pendalaman, pengaburan ketimbang pencerahan.
Jika dibiarkan, paham-paham tersebut bakal menghapus semua agama. Itulah sebabnya tidak
sedikit kalangan Kristen dan Hindu yang menolak relativisme dan pluralisme agama.
5
Selanjutnya lihat Peter Byrne, Prolegomena to Religious Pluralism, London: Macmillan Press, 1995.
6
Lihat, misalnya, Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan
Pustaka, 1997; Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Kompas, 2001; dan Nurcholis Madjid dkk, Fiqih
Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, 2005.
7. 7
ISLAM DAN TANTANGAN SEKULARISME
Dr Syamsuddin Arif∗
“In the experience of the first Muslims,
as preserved and recorded for later generations,
religious truth and political power were indissolubly associated:
the first sanctified the second, the second sustained the first.”
-Bernard Lewis7
Tiga-puluh-lima tahun telah berlalu sejak mendiang Nurcholish Madjid menyatakan
bahwa Islam sebenarnya mendukung sekularisasi. Khususnya urusan politik dan negara, yang
merupakan perkara duniawi, katanya, jangan diagamakan. Meski mengelak bahwa ‘dengan
sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslimin
menjadi kaum sekularis,’ namun gagasan yang dilontarkannya pada 2 Januari 1970 dalam
acara diskusi yang diadakan HMI, PII, GPI dan Persami, di Menteng Raya 58, Jakarta itu
masih bergema hingga kini. Misalnya pada ungkapan ini: ‘Jangan mempolitisir agama’ atau
‘Jangan mencampur-adukkan agama dan politik’.
Jika gagasan tersebut kita pikirkan kembali, niscaya tampak kekeliruannya secara
epistemologis maupun empiris. Memang benar, menurut para sosiolog, modernisasi tanpa
sekularisasi tak ubahnya bagai merokok tanpa menghirup asap. Seolah-olah mustahil
menjadi modern kalau tidak sekuler dulu. Contohnya, ya negara-negara modern di Eropa
dan Amerika, yang berhasil membangun dan maju di segala bidang dengan mengamalkan
sekularisasi. Dan ini, konon, bertolak dari ajaran agama mereka sendiri, dimana tercatat
ucapan Yesus: "Urusan Kaisar serahkan kepada Kaisar, dan urusan Tuhan serahkan kepada
Tuhan" (Gospel Matius XXII:21).
Artinya, agama tidak perlu ikut campur urusan politik dan negara, sehingga muncul
dikotomi antara regnum dan sacerdotium, pemisahan antara kekuasaan raja dan otoritas
gereja, antara wewenang negara dan wewenang agama. Doktrin ini mendapat legitimasi dari
St. Augustin, yang membuat distingsi antara Kota Bumi (civitas terrena) dan Kota Tuhan
(civitas dei). Faktor lain yang mendorong sekularisasi di Barat ialah gerakan Reformasi
Protestan sejak awal abad ke-16, sebuah reaksi terhadap maraknya korupsi di kalangan
Gereja yang dituduh memanipulasi dan mempolitisir agama untuk kepentingan pribadi
(Philip Schaff, History of the Christian Church, 1997).
Belakangan sejumlah peneliti seperti Peter L. Berger mulai menyoal tesis sekularisasi
itu. Sebabnya, fakta empiris justru menunjukkan betapa agama ataupun kecenderungan
padanya alias religiositas tetap mewarnai kehidupan masyarakat dan seringkali bahkan ikut
∗
Dosen di International Islamic University Malaysia. Email: syamsuddin@iiu.edu.my
7
Bernard Lewis, The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror (London: Weidenfeld & Nicolson, 2003), 6.
8. 8
menentukan kebijakan ekonomi, hukum maupun politik (lihat buku American Theocracy
(2006) karya Kevin Phillips), seakan membenarkan apa yang pernah dikatakan Alexis de
Tocqueville satu setengah abad yang silam: “Aku heran bagaimana bisa, upaya menyusutkan
pengaruh agama [di Amerika] ternyata malah memperbesar kekuatannya.”
Kelemahan tesis sekularisasi sebagai sebuah paradigma terletak pada sifatnya yang
terkesan deterministik: Kalau sudah modern, pasti akan sekular. Kalau sekular, tentu modern
dan supaya modern, mesti sekular. Kalau tidak sekular, tidak bisa modern, dan seterusnya.
Padahal, ‘masyarakat manusia’ jelas sangat dinamis dan karenanya amat sulit untuk dipatok
arah maupun coraknya. Contoh empiris Turki dan Mesir menarik untuk kita renungkan.
Pengalaman Turki dan Mesir
Menyusul kekalahannya dalam perang melawan Russia pada tahun 1774 dan gagal
mempertahankan Mesir dari invasi Napoleon pada tahun 1798, Imperium Turki Osmani
terpaksa melakukan modernisasi militer, ekonomi dan sosial lewat serangkaian program yang
dinamakan Tanzimat: bermula dengan menghapuskan pasukan tentara khusus (janissaries),
membubarkan tarekat Bektashi, regulasi pajak langsung, hingga memperkenalkan undang-
undang anti-diskriminasi sipil (menghapus status dzimmi bagi non-Muslim).
Proyek modernisasi Turki itu dilanjutkan oleh Mustafa Kemal Atatürk. Setelah
berhasil merebut kekuasaan pada 1923, Atatürk mencanangkan program pembangunan
Turki modern lewat ‘enam anak panah’ (Alti Ok). Yaitu, pertama, prinsip republikanisme
(cumhuriyetcilik), bahwa negara Turki modern menerapkan sistem demokrasi parlementer
yang dipimpin oleh seorang presiden, bukan sultan atau khalifah. Kedua, nasionalisme
(milliyetcilik), bahwa bukan agama atau mazhab tertentu yang menentukan kewarganega-
raan. Ketiga, prinsip kenegaraan (devletcilik), dimana pemerintah berkuasa penuh dalam
pengelolaan ekonomi dan berhak intervensi demi kepentingan rakyat. Keempat, prinsip
populisme (halkcilik) yang dimaknai sebagai perlindungan hak asasi manusia dan kesetaraan
di depan hukum. Kelima, sekularisme (laiklik) dan keenam prinsip revolusionisme (inkilap-
cilik). Dari keenam sila ini, sekularisme adalah yang paling berpengaruh.
Pada tanggal 3 Maret 1924, Imperium Osmani yang telah berkuasa selama lebih dari
700 tahun (1299-1922M) itu resmi dihapuskan. Tidak lama kemudian, pengadilan agama
dan pondok-pondok pesantren dibubarkan. Begitu juga tarekat-tarekat sufi. Selanjutnya,
pakaian ala Barat digalakkan, poligami dilarang, dan undang-undang baru (ala Swiss untuk
hukum sipil, ala Itali untuk hukum pidana, dan ala Jerman untuk hukum perdata) mulai
resmi diberlakukan, menggantikan undang-undang (Syariah) Islam. Selain itu, kalender
Hijriah diganti dengan kalender Gregorian (Masehi), lalu penggunaan huruf Arab untuk
bahasa Turki dilarang dan diganti dengan huruf Latin.
Pada perkembangan selanjutnya, ideologi sekular Atatürk –terkenal dengan sebutan
”Kemalisme"- menjelma jadi sangat anti-agama dan ultra-nasionalist. Segala yang bercirikan
Islam atau berbau Arab dilecehkan sebagai keterbelakangan, kemunduran dan kebiadaban
(barbarism). Siapa yang berani mempersoalkan sekularisme dituduh sebagai pengkhianat
negara, tidak rasional dan sektarian. Selain itu, untuk menjamin kelanggengan ideologi ini,
rezim Kemalis menciptakan apa yang mereka sebut sebagai ‘Islam tercerahkan’ (cagdas Islam),
9. 9
mirip dengan gagasan ‘Islam progresif’ di Amerika Serikat, ‘Islam modernis’ di Pakistan, atau
‘Islam hadhari’ di Malaysia.
Proyek Atatürk ini pada intinya bertujuan mencabut Islam dari akar-akarnya (to
promote `disestablishment' of Islam), tulis sejarawan politik Hakan Yavuz. Namun sekularisme
sebagai ideologi negara dinilai banyak pengamat telah gagal mencapai tujuannya. Buktinya,
hingga saat ini belum banyak kemajuan yang diraih. Setelah lebih setengah abad berusaha
menjadi sekular, Turki masih saja dianggap belum semaju, semodern dan sedemokratis
negara-negara Eropa. Jangankan melampaui, menyamai Imperium Osmani pun belum bisa.
Justru diam-diam namun pasti, Islam sebagai kekuatan politik nampak mulai bangkit
melawan kekuatan sekular dan berusaha merebut kembali tampuk kekuasaan dari tangan
mereka (Lihat: Heinz Kramer, A Changing Turkey: The Challenge to Europe and the United
States, Washington, D.C., 2000, hlm. 55-84).
Di Mesir, proses sekularisasi berlangsung sejak masuknya penjajah Perancis pada
tahun 1798 dan Inggris pada tahun 1802. Tidak sampai seratus tahun kemudian lahirlah
tokoh-tokoh yang menyerukan pembaharuan ala Barat. Di antara pionirnya ialah Rifa’ah al-
Tahtawi (1801-1873) yang pernah tinggal di Paris selama lima tahun. Dialah tokoh yang
mengobarkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air (hubbul watan). Baginya, persauda-
raan sebangsa dan setanah air (ukhuwwah wataniyyah) sama pentingnya atau bahkan lebih
utama daripada persaudaraan atas dasar agama. Hanya dengan nasionalisme dan modernisasi,
menurutnya, negara seperti Mesir bisa maju seperti Eropa.
Qasim Amin (1863-1908) melangkah lebih jauh. Murid Syekh Muhammad Abduh
ini tidak hanya mengecam praktik despotisme ketika itu, tetapi juga menganggap Syariat
Islam sebagai kendala kemajuan. Lantas ia pun menyerukan pembebasan perempuan lewat
kesetaraan gender, kebebasan dalam berbusana (tidak wajib berjilbab), dan pelarangan
poligami.
Kemudian muncul Ali Abdur-Raziq dengan bukunya, al-Islam wa ushul al-hukm
(Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan) , dimana ia mengklaim bahwa sistem khilafah tidak
ada dasarnya dalam Al-Qur'an, Hadits maupun ijma` ulama. Islam tidak memberikan aturan
yang pasti tentang sistim pengelolaan negara. Muhammad SAW hanyalah seorang nabi,
bukan penguasa, cuma ditugaskan untuk mengajarkan akhlak dan agama, bukan politik dan
tata negara. Karena itu, agama tidak mesti dibawa-bawa dalam urusan kenegaraan. Urusan
politik, pola pemerintahan, administrasi negara dan lain-lain tidak ada sangkut-pautnya dan
karena itu tidak perlu dikaitkan dengan agama. Tidak hanya itu, Abdur-Raziq bahkan
menuding sistem khilafah bertanggung- jawab atas ketertinggalan Umat Islam. Terlepas dari
upaya-upaya tersebut, kenyataannya peran agama dalam kehidupan politik di Mesir tetap
sukar dinafikan, seperti tercermin pada kemenangan Ikhwanul Muslimin belum lama ini.
Kesimpulan: Sekularisasi itu Mustahil
Dari paparan ringkas di atas dapat kita simpulkan bahwa sekularisasi bukanlah
prasyarat mutlak transformasi masyarakat dari tradisional menjadi modern, tidak pula dapat
menyulap negara dari tertinggal menjadi maju dan terkemuka.
10. 10
Seperti diakui banyak sosiolog, tidak sedikit masyarakat negara modern yang tetap
religius, baik secara individual maupun konstitusional (Islam sebagai agama resmi negara),
seperti Libya dan Malaysia. Sebaliknya, tidak sedikit negara yang telah menyatakan diri
sekular namun hingga kini masih saja belum tergolong sebagai negara maju, seperti Marokko
dan Turki, juga Mesir.
Di samping itu, sekularisme sebagai ideologi politik pada dasarnya tidak dapat
bersenyawa dengan ajaran Islam yang hakiki, yang menganggap kekuasaan politik sebagai
sarana penegakkan agama. Sebagaimana disinyalir oleh Bernard Lewis, sejak zaman Nabi
Muhammad saw, umat Islam merupakan entitas politik dan agama sekaligus, dengan Rasul-
ullah sebagai kepala Negara. Dengan kata lain, Nabi Muhammad saw tidak mempolitisir
agama, melainkan mengagamakan politik, dalam arti politik untuk kepentingan agama,
bukan agama untuk kepentingan politik.
"Sepanjang pengalaman Umat Islam generasi pertama, sebagaimana telah dilestarikan
dan direkam untuk generasi sesudahnya, kebenaran agama dan kekuasaan politik terkait erat
tak terpisahkan. Yang disebut pertama mensucikan yang terakhir, manakala yang disebut
terakhir mendukung yang pertama," tegas Lewis dalam bukunya, the Crisis of Islam (London,
2003, hlm. 6). Walhasil, masyarakat tidak mesti menjadi sekular untuk menjadi modern.