Paper ini membahas upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Jepang. Faktor-faktor yang mendukung rendahnya korupsi di Jepang antara lain budaya malu dan jujur masyarakat, komitmen pemerintah, serta mekanisme penegakan hukum yang kuat dan independen. Namun demikian, masih terdapat risiko korupsi di Jepang karena eratnya hubungan antara politik, bisnis, dan pemerintah.
1. Paper Mata Kuliah Seminar Pemberantasan Korupsi-Bintaro, 26 Februari 2014
1
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI JEPANG
oleh:
Moch Reza Agung Yudhalaksana (22)
NPM: 134060018326
Semester VII D-IV Akuntansi Kelas BPKP Angkatan II, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang Selatan
utsukushihito@gmail.com
Abstrak – Jepang adalah negara di kawasan Asia Timur yang terkenal dengan kemajuan ekonomi dan
supremasi hukumnya. Indeks persepsi korupsi (IPK) Jepang tahun 2013 berdasarkan hasil survey Lembaga
Transparansi Internasional ada pada peringkat ke-18 dunia. Di lain pihak, Indonesia berada pada peringkat ke-
114. Ketertinggalan Indonesia terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi di Jepang yang sangat jauh
tersebut memerlukan kajian mendalam, agar dapat dijadikan bahan untuk meningkatkan prestasi atas
pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Kata Kunci : Pemberantasan, Korupsi, Tugas, Kewenangan, Aparat Penegak Hukum, Jepang
1. PENDAHULUAN
1) Gambaran Umum Negara Jepang
Jepang adalah sebuah negara Monarki
Konstitusional dengan luas wilayah 377.944km2
yang memiliki penduduk berjumlah sekitar
126,7 juta jiwa dan pendapatan per kapita
sebesar USD39.321 atau setara Rp450.000.000
merupakan salah satu negara termaju di dunia.
2) Peringkat Korupsi Jepang di dunia
Kemakmuran dan kemajuan Republik Jepang
tidak terlepas dari komitmen rakyat dan
pemerintahannya untuk mencegah dan
memberantas korupsi.
Hal ini terlihat dari hasil survey Lembaga
Transparansi Internasional yang memberikan
peringkat ke-18 dunia untuk Jepang dengan Skor
74 pada tahun 2013.
Dengan skor tersebut, Jepang lebih unggul dari
segi pencegahan dan pemberantasan korupsi
dibandingkan dengan Indonesia yang bertengger
pada peringkat ke-114 dengan skor 32 pada
tahun 2013.
3) Tujuan Penulisan Paper
Melalui paper ini, penulis mencoba menganalisis
upaya pencegahan dan penanganan kasus
korupsi di Jepang sehingga menjadi peringkat
ke-18 dunia sebagai negara terbersih yang bebas
dari tindak pidana korupsi sehingga dari analisis
tersebut menghasilkan faktor-faktor yang dapat
ditiru oleh Indonesia dalam rangka melakukan
upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi
yang sudah mengakar dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara sehingga menjadi
bahaya laten nasional yang harus segera
dimusnahkan agar menciptakan kondisi politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan ketahanan nasional
yang kondusif untuk kemajuan dan
kesejahteraan Rakyat Indonesia.
2. PEMBAHASAN
1) Sosio Kultural Masyarakat
Negara Jepang tidak memiliki Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti di
Indonesia. Hukuman koruptor maksimal hanya 7
tahun penjara.
Kata korupsi tidak terlalu familiar dalam
kosakata orang jepang. Hukum di Jepang
mengenal tindakan penyuapan, penggelapan
uang negara, dan penipuan. Namun tindak
pidana korupsi tersebut hanya menjadi bagian
dari tindak pidana umum saja.
Berikut ini nilai-nilai budaya yang tertanam pada
orang Jepang pada umumnya, yaitu:
(1) Malu
Kultur hukum "malu" yang masih besar dari
masyarakat Jepang sangat efektif sebagai alat
preventif melawan korupsi. Konon,
pengacara Jepang senantiasa berusaha
membujuk klien-nya untuk mengakui
kesalahannya, mundur dari jabatan, dan
setelah itu mengembalikan hasil
kejahatannya.
Budaya malu dalam kebudayaan Jepang ini
sudah ada sejak jaman Ke-Shogun-an
Kamakura yang didirikan oleh Samurai dari
Klan Minamoto. Ketika salah satu samurai
bernama Minamoto Yorishama lebih
memilih melakukan bunuh diri dengan cara
menyobek perutnya dengan sebilah belati
daripada menerima kekalahan dari Klan
Taira pada tahun 1180 M. semenjak saat itu,
setiap samurai memiliki komitmen untuk
melakukan bunuh diri ketimbang
menanggung malu akibat kalah berperang.
Budaya malu ini sangat efektif sebagai upaya
preventif dan represif atas tindakan tercela,
kriminal, dan pidana.
2. Paper Mata Kuliah Seminar Pemberantasan Korupsi-Bintaro, 26 Februari 2014
2
(2) Jujur
Masih terkait dengan poin sebelumnya yaitu
budaya malu, bagi masyarakat Jepang,
kepercayaan adalah sesuatu yang sangat
berharga. Melakukan pengkhianatan atas
kepercayaan adalah hal yang sangat
memalukan. Dengan demikian secara naluri,
masyarakat Jepang akan berusaha jujur untuk
mempertahankan kepercayaan yang
diraihnya.
(3) Tertib dan Disiplin
Masyarakat Jepang juga terkenal dengan
sikap tertib dan patuh terhadap aturan.
Kepatuhan terhadap norma hukum, sosial,
dan budaya menimbulkan kedisiplinan yang
tinggi.
(4) Setia
Masyarakat Jepang terkenal dengan loyalitas
yang tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh
kesamaan nasib antar orang Jepang sebagai
penduduk pendatang dari daratan Cina yang
mengadu nasib di kepulauan sebelah timur
raya yang pada saat itu dihuni oleh Suku
Ainu.
Sebagai perantauan, mereka dituntut untuk
memiliki solidaritas tinggi untuk tetap
bertahan dari ancaman penduduk lokal dan
fenomena alam yang ganas.
Kesetiaan orang Jepang sangat terlihat jelas
dalam peristiwa Kamikaze, yaitu ketika
seluruh pemuda Jepang dituntut untuk
berperang atas nama Kaisar untuk
memperluas kekuasaan Jepang di dunia ini.
Setiap prajurit menerima doktrin bahwa
kematian adalah suatu penghargaan dan
menjadi tujuan hidup mereka yang dapat
membuat Jepang menjadi negara adidaya.
2) Pengaruh Geografis
Jepang merupakan negara kepulauan kecil
dengan kondisi geografis yang cukup berbahaya.
Terletak di antara 3 (tiga) pertemuan lempeng
bumi dan sabuk barisan pengunungan berapi
menyebabkan Jepang sering mengalami gempa
baik tektonik dan vulkanik yang terkadang
mengakibatkan tsunami.
Masyarakat dituntut untuk bisa bertahan hidup
dengan cara disiplin dan siap siaga.
3) Pengaruh Politik
(1) Era Shogun dan Daimyo
Pada jaman kekuasaan Jepang yang terpecah
sesuai klan-klan tuan tanah, masyarakat
Jepang dididik untuk setia kepada
majikannya. Pelanggaran yang dilakukan,
bisa berakibat kematian. Hal tersebut
diwariskan turun temurun hingga saat ini.
(2) Era Modern
Nilai-nilai budaya adilihung yang
ditanamkan orang Jepang tersebut
menempatkan Jepang menjadi negara yang
kuat.
Kekalahan Jepang atas Perang Dunia II tidak
menyurutkan semangat mereka untuk
bangkit dari keterpurukan. Alih-alih
membenci musuhnya, Jepang malah
mengutus seluruh generasi mudanya untuk
belajar di Amerika dan Eropa, untuk
menimba ilmu sehingga bisa membangun
kembali Jepang yang telah hancur pasca
kekalahan perang.
4) Peraturan yang Berlaku di Jepang
Jepang tidak memiliki Undang-undang yang
secara khusus mengatur Tindak Pidana Korupsi.
Kejahatan penyimpangan yang berbau korupsi
akan dihukum sesuai dengan hukum pidana yang
berlaku di Jepang. Namun demikian dalam
rangka praktik bisnis yang bersih, Jepang
mempunyai Undang-undang Anti Monopoli dan
Undang-undang Anti Bid Rigging yang
berfungsi untuk mencegah terjadinya nepotisme
dan kolusi dalam bisnis dan kegiatan bisnis yang
terkait dengan administrasi pemerintahan.
5) Komitmen Pemerintah Jepang
Perkembangan positif dalam kaitannya dengan
korupsi dan investasi :
- Pemerintah mensyaratkan auditor eksternal
untuk melaporkan kegiatan ilegal yang
mencurigakan kepada pihak berwenang.
- Polisi, jaksa, dan lembaga seperti Badan
Nasional Pajak (NTA), dan Securities and
Exchange Commission Surveillance Badan
Layanan Keuangan berkolaborasi lebih erat
dan berbagi informasi yang berkaitan dengan
suap.
- Perubahan dibuat pada tahun 2006 dengan UU
Pemberantasan dan Pencegahan Keterlibatan
dalam Bid Rigging (Kecurangan PBJ), dengan
tujuan untuk memberantas kolusi resmi dalam
persekongkolan tender.
6) Mekanisme Penegakan Hukum di Jepang
Kualitas birokrasi Jepang sangat efisien, efektif,
bersih dan memudahkan tumbuhnya dunia
usaha.
Transparansi dalam pelayanan sektor publik dan
penegakan hukum dapat membangun
akuntabilitas dan mencegah tindakan koruptif.
Walaupun Jepang tidak mempunyai lembaga
semacam Komisi Pemberantasan Korupsi,
3. Paper Mata Kuliah Seminar Pemberantasan Korupsi-Bintaro, 26 Februari 2014
3
namun Jepang memiliki lembaga penegak
hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman)
yang kuat.
(1) Kepolisian
Kepolisian berperan dalam melakukan
penyelidikan awal atas semua kasus pidana,
kemudian berkas hasil penyelidikan
kepolisian tersebut diserahkan kepada
kejaksaan untuk dilakukan
investigasi/penyidikan sebagai bahan
pertimbangan apakah kasus tersebut layak
untuk dilakukan penuntutan atau tidak.
Kepolisian dan Kejaksaan merupakan
lembaga dengan independensi yang kuat dan
saling bekerja sama.
Kepolisian dan Kejaksaan sering
mengadakan rapat untuk membahas kasus
tertentu secara rinci sebelum dilakukan
penuntutan.
(2) Kejaksaan
Lembaga Kejaksaan/Prosekutor Jepang
berwenang melakukan penyidikan kriminal
baik atas dasar penyelidikan kepolisian
maupun hasil identifikasi kejaksaan sendiri.
Jika penyelidikan awal kasus oleh Kepolisian
sebagian besar merupakan kriminal umum,
maka penyelidikan yang dilakukan oleh
Jaksa sebagian besar terkait kasus
penyuapan.
Kantor Kejaksaan berisikan jaksa-jaksa
dengan latar belakang pendidikan yang
beragam, sehingga dengan wawasannya yang
lebih luas dari aparat kepolisian menjadikan
aparat kejaksaan lebih terampil dalam
menafsirkan hukum dan melakukan teknik
investigasi.
Berdasarkan peraturan yang berlaku, bahwa
jaksa tidak dapat sembarangan dimutasi
tanpa alasan yang jelas bahkan oleh Menteri
Kehakiman.
(3) Departemen Pidana Khusus Kejaksaan
Dalam struktur organisasinya, Kejaksaan
memiliki Departemen Pidana Khusus yang
bertugas menyelidiki kasus suap dan
kejahatan ekonomi yang dilakukan oleh
pejabat pemerintah. Departemen Pidana
Khusus ini didirikan di Kantor Kejaksaan
Tokyo, Osaka, dan Nagoya serta pada 10
Kota lain di Jepang. Tidak semua kantor
kejaksaan memiliki departemen pidana
khusus ini.
Cara kerja dari departemen ini antara lain:
- Melakukan identifikasi dari liputan berita,
hak angket legislatif, dan sebagainya
- Melakukan kajian atas keluhan dan aduan
masyarakat
- Mencari tanda-tanda aktivitas yang
mencurigakan selama penyelidikan
kejahatan tersebut, sehingga menambah
bobot pada kecurigaan bahwa beberapa
kejahatan lain telah dilakukan. Dalam
kasus penggelapan pajak, menyita buku
rekening diperiksa untuk mengidentifikasi
aliran dana, sehingga mengungkapkan
apakah suap yang ditawarkan kepada
pejabat pemerintah yang kemudian bisa
dituduh suap. Ketika seorang tersangka
yang diidentifikasi atau saksi dipertanyakan
sehubungan dengan kasus penggelapan
atau pelanggaran kepercayaan oleh direksi
eksekutif korporasi, laporan yang diperoleh
secara tak terduga untuk mendeteksi
praktik korupsi, sehingga mengarah ke
penuntutan.
7) Isu Terkait Penanganan Korupsi:
Jepang memiliki isu-isu yang sering kali menjadi
risiko yang menghambat penanganan korupsi,
antara lain:
(1) Hubungan yang erat antara politisi,
perusahaan-perusahaan Jepang ,universitas,
dan organisasi pemerintah, melembagakan
korupsi dan sangat mempengaruhi
pelaksanaan tender untuk kontrak-kontrak
pemerintah.
Sistem pemerintahan parlementer tentunya
menyebabkan risiko money politics yang
kuat.
Ketika pemilihan umum berlangsung, maka
politisi membutuhkan banyak dana untuk
bisa berhasil masuk ke dalam lembaga
legislatif, sehingga seringkali para calon
legislatif memerlukan sponsor dari pihak
swasta.
Perdana menteri dipilih oleh parlemen,
sehingga terdapat hubungan erat antara
pemerintah dengan dunia usaha yang
memodali ketika pemilu berlangsung.
(2) Whistle blower baik pada sektor publik
maupun swasta memiliki risiko diturunkan,
dipecat, dan dilecehkan, meskipun keduanya
dilindungi asas hukum praduga tak bersalah.
(3) Jepang tidak cukup menegakkan hasil
Konvensi Anti-Suap OECD (Organization of
Economic Cooperation and Development).
Hal ini menunjukkan bahwa kasus
penyuapan masih sering terjadi di Jepang.
4. Paper Mata Kuliah Seminar Pemberantasan Korupsi-Bintaro, 26 Februari 2014
4
(4) Budaya terimakasih, bisa menjadi bibit dari
risiko gratifikasi.
Sebuah tradisi Jepang ketika mengunjungi
kerabat, rekan kerja, atau undangan lainnya
adalah memberikan oleh-oleh (o-miyage)/
cendera mata/ angpao (otoshidama). Hal ini
menjadi sangat berisiko ketika cendera mata
tersebut diberikan kepada pihak-pihak yang
memiliki konflik kepentingan.
(5) Budaya malu yang sudah mengakar pada
sanubari setiap orang Jepang seringkali
menghambat penanganan sebuah kasus
korupsi yang mungkin melibatkan banyak
pihak dengan kompleksitas kasus yang
tinggi. Hambatan tersebut muncul ketika
tersangka sebuah kasus korupsi melakukan
bunuh diri sebagai wujud
pertanggungjawaban kepada keluarga dan
masyarakat daripada harus menanggung
malu akibat kesalahan yang diperbuatnya.
(6) Biaya hidup yang tinggi di Jepang, menjadi
risiko lain yang dapat menimbulkan tindakan
koruptif.
Namun demikian, gaji pegawai negeri yang
tinggi menjadi penyeimbang dari risiko
tersebut.
Dengan gaji yang tinggi, diharapkan para
aparatur negara dapat bekerja sesuai dengan
tupoksinya sehingga tidak tergoda dengan
melakukan tindakan penggelapan uang
negara dan menerima uang suap.
8) Peran Media Masa
Media massa di Jepang berperan penting dalam
menyebarkan berita korupsi dan melakukan
propaganda. Ketika masyarakat sudah geram,
maka tekanan publik sangat besar agar seseorang
yang dinilai korup segera mundur.
Mainichi Shinbun sebagai koran plat merah dan
NHK sebagai stasiun televisi plat merah menjadi
alat pemerintah untuk menyudutkan lawan
politik dan mengekspos kecurangan yang
dilakukan pejabat pemerintah yang tidak disukai
oleh penguasa.
9) Keunikan Dalam Penegakan Hukum di
Jepang
(1) Patung Dewi Keadilan di Jepang meskipun
juga tangan kanannya memegang "pedang
keadilan" dan tangan kirinya memegang
timbangan, tetapi berbeda dengan patung
"Dewi Keadilan" kita di Indonesia yang
matanya ditutup kain hitam, maka "sang
Dewi Keadilan Jepang" matanya terbuka.
(2) Pengacara di Jepang tidak seperti pengacara
di Indonesia yang terbiasa memutarbalikan
fakta dengan segala cara agar kliennya
terlihat tidak bersalah, namun lebih
mendesak sang klien untuk mengakui
kesalahan yang dilakukan.
3. SIMPULAN
Negara Jepang adalah salah satu negara yang
sampai sekarang tidak memiliki regulasi khusus
terkait korupsi. Penanganan kasus korupsi
mengandalkan hukum pidana reguler.
Begitu pula dari sisi kelembagaan, Negara Jepang
tidak mempunyai lembaga khusus untuk menangani
korupsi. Penanganan kasus korupsi dilakukan oleh
lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan
umum.
Namun demikian komitmen dan performa dari
lembaga tersebut sangat baik, sehingga kasus
korupsi dapat ditangani dengan efektif.
Selain itu, mental dan kepribadian masyarakat
Jepang tergolong jujur dan berintegritas. Masyarakat
Jepang juga sangat menjunjung budaya malu dan
sangat menjaga harga diri. Dalam hal ini self control
dan self esteem sangat dikedepankan. Sehingga pola
pencegahan korupsi dimulai dari diri pribadi
masing-masing orang Jepang.
Namun demikian, masih terdapat beberapa risiko
yang bisa menyebabkan terjadinya korupsi, yaitu
budaya terima kasih yang juga sangat tinggi dapat
menimbulkan risiko gratifikasi.
Kondisi perekonomian yang stabil, dan gaji pegawai
negeri yang tinggi menjadi faktor lain yang dapat
mencegah tindakan korup dari para aparatur negara.
DAFTAR REFERENSI
[1] Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Memahami
Untuk Membasmi: Buku Saku Untuk Memahami
Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Komisi
Pemberantasan Korupsi.
[2] Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
2013. Petunjuk Pelaksanaan Sosialisasi Program Anti
Korupsi Tahun 2013. Jakarta: BPKP.
[3] http://www.antikorupsi.org/en/content/kontrol-sosial-
jepang-jadi-roh-pemberantasan-korupsi
[4] http://donzdays.blogspot.com/2013/02/hukum-
korupsi-dunia.html
[5] http://f-sharing.blogspot.com/2011/06/bercermin-
pada-penegakan-hukum-jepang.html
[6] http://en.wikipedia.org/wiki/Japan
[7] http://en.wikipedia.org/wiki/Seppuku
[8] http://www.business-anti-corruption.com/country-
profiles/east-asia-the-pacific/japan/snapshot.aspx
[9] http://www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF_rms/no56/56
-36.pdf
[10] http://www.transparency.org/country#JPN
[11] http://www.uni-due.de/in-
east/fileadmin/publications/gruen/paper23. pdf