Korupsi meluas di berbagai lembaga pemerintahan Korea Selatan. Pemerintah melakukan berbagai upaya pemberantasan korupsi, meliputi pembentukan tim investigasi independen, reformasi lembaga pengawas keuangan, dan penegakan hukum terhadap pelaku korupsi. Upaya jangka panjang dilakukan dengan membangun infrastruktur anti korupsi melalui peraturan dan lembaga seperti Komisi Integritas Nasional Korea Selatan. Hasilnya
MATERI 1_ Modul 1 dan 2 Konsep Dasar IPA SD jadi.pptx
korupsi di korea selatan
1. PEMBERANTASAN KORUPSI DI KOREA SELATAN
Praktik Korupsi
Perkembangan ekonomi Korea yang pesat menyebabkan korupsi menjadi umum tidak
hanya di kalangan lembaga keuangan, tapi juga di jajaran instansi penegakan hukum,
kantor pajak dan lembaga pertahanan nasional. Salah satu kasus korupsi yang saat ini
tengah mengguncang Korea Selatan adalah dari sektor perbankan. Beberapa contoh di
antaranya adalah skandal korupsi di Financial Supervisory Service (FSS), konon melibatkan
sekitar 30 pejabat FSS, termasuk pejabat yang sangat senior. Mereka dituduh menerima
suap sebagai ‘imbalan’ terhadap longgarnya pengawasan atas beberapa bank yang
dianggap bermasalah. Ada pula praktik sebagai ‘calo’ penyaluran kredit. Sebagian pegawai
FSS bahkan banyak yang tergiur menjadi auditor bank, dengan memanfaatkan koneksi
teman-temannya di FSS untuk mempengaruhi hasil audit dibanknya agar terlihat tetap
‘kinclong’. Sekedar gambaran, inilah salah satu pejabat teras FSS, dikabarkan menerima
suap sebesar 120 juta Won dari salah satu bank yang bermasalah, yaitu Busan Saving
Bank. Pejabat FSS lainnya, konon meminta imbalan berupa mobil mewah, Hyundai
Grandeur senilai 40 juta won untuk tidak mengungkap praktik perbankan yang tidak sehat
di Bohae Savings Bank. Bahkan, pejabat ini, yang istrinya bekerja sebagai di perusahaan
asuransi, ikut ‘meminta’ sekitar 56 karyawan bank tersebut untuk membeli produk asuransi
tempat istrinya bekerja. Kemudian, mantan direktur jenderal FSS dikabarkan meminta suap
sekitar 200 juta Won dari Bohae Savings Bank ini. Busan dan Bohae Savings Bank ini
termasuk dalam 8 bank bermasalah yang dibekukan otoritas akibat modal banknya yang
cekak. Meski demikian, ada pula pihak yang menyatakan bahwa lemahnya pengawasan
FSS terhadap beberapa bank bermasalah, konon juga merupakan ‘arahan’ staf kantor
presiden terkait dengan penyelanggaraan pertemuan G-20 di Seoul November tahun lalu.
Bila ini benar, bisa jadi para pejabat FSS memanfaatkan situasi ini dengan ‘menekan’ bank.
Terkait penyakit korupsi, industri sepakbola di Korea Selatanpun sudah pula terjangkiti
budaya suap-menyuap meski kini mulai pula terungkap dan puluhan pemain dan yang
terlibat di beberapa klub sepakbolanya sudah ditahan. Dua orang yang didakwa ini dituduh
membeli dua tiket pertandingan dan membayar dua pemain untuk mengatur hasil
pertandingan bulan lalu, menurut jaksa di kota Changwon seperti dikutip kantor berita
Yonhap. Mereka diduga memberikan uang sebesar 100 juta won (US$91,72) kepada
seorang kiper dan 120 juta kepada pemain gelandang. Kedua pemain telah ditahan.
Pemain gelandang itu turun dalam satu pertandingan dan melakukan empat kesalahan
sebelum diganti setelah turun minum. Timnya kalah dalam pertandingan itu. Selain
pertandingan pada musim kali ini, salah seorang dari dua terdakwa juga dicurigai terlibat
dalam judi pertandingan K-League tahun lalu. Ia dilaporkan mendapat US$185 ribu dari
hasil pengaturan pertandingan. Sejumlah laporan surat akbar menyebutkan klub-klub sepak
bola yang mengetahui terjadinya skandal itu, diam-diam memecat pemain yang terlibat.
Kasus korupsi yang menimpa pejabat dan keluarganya juga bukan barang baru.
Sebelumnya, aparat Korsel telah lama mengendus korupsi dan suap oleh kepala
pemerintahan dan keluarganya. Pada 2009 lalu, mantan Presiden Roh Moo-hyun bunuh diri
di tengah investigasi suap yang merusak reputasinya. Kakaknya juga terlibat dan dihukum
2. penjara. Tiga anak mantan Presiden Kim Dae-jung juga ditahan atas tuduhan korupsi.
Selanjutnya Roh Moo-hyun bunuh diri saat kasus dugaan korupsi yang juga melibatkan
sejumlah anggota keluarganya memasuki tahap penyelidikan. Presiden Korsel periode
2003-2008 ini diduga menerima suap sebesar US$ 6 juta dari seorang pengusaha bernama
Park Yeon-cha. Rohtidak pernah mengakui melakukan kesalahan pribadi, tapi dia
menyatakan maaf telah mengecewakan bangsa Korea di depan stasiun televisi pada 30
April sebelum menjalani pemeriksaan di pengadilan selama 13 jam. Dia membantah telah
melakukan korupsi atau menerima suap. Roh mengakui bahwa istrinya, Kwon Yang-sook,
menerima USD 1 juta (sekitar Rp 10,2 miliar) dari pengusaha sepatu kaya, Park Hae-hon.
Tapi, dia menyatakan bukan suap, melainkan imbalan karena membantu sang pengusaha
dari kebangkrutan. Soal uang USD 5 juta (sekitar Rp 51,3 miliar), dia menyebut itu sebagai
investasi.
Cerita lain menimpa Lee Sang-deuk, kakak presiden Korsel sekarang, yang menerima uang
senilai 600 juta won (sekitar Rp5 miliar) dari dua direktur bank yang bermasalah, Solomon
Savings Bank dan Mirae Savings Bank, antara 2007 dan 2011, agar dua bank ini tidak
diaudit dan tidak dijatuhi sanksi dari otoritas jasa keuangan Korea Selatan. Kritikus
menyebut Sang-deuk deuk berusaha memanfaatkan pengaruh terhadap urusan negara
begitu adiknya berkuasa.
Merebaknya skandal korupsi yang melibatkan pejabat FSS ini, menyebabkan presiden
Korea Selatan, Lim Myung-Bak, marah besar. Bisa dimengerti tentunya, karena korupsi juga
menjadi musuh pemerintahannya saat ini. Apalagi sang presiden dinilai lunak terhadap
upaya pemberantasan korupsi dan menyebabkan indeks korupsi Korea Selatan tak juga
beranjak dari level 39 dalam beberapa tahun terakhir.
Pemberantasan Korupsi
Untuk memberantas praktik korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat FSS tadi, sang
presiden memerintahkan kantor perdana menteri membentuk tim investigasi independen,
beranggotakan 13 orang. Tak satupun melibatkan pejabat FSS dalam tim tersebut. Selain
itu, FSS akan direformasi total agar tidak menjadi lembaga ‘super power‘ yang cenderung
korup, tanpa pengawasan yang ketat.
Merebaknya skandal korupsi di FSS dan kendala koordinasi kebijakan dalam merespon
dampak krisis global 2008 menyebabkan pemerintah Korea Selatan berpikir untuk
memperkuat kewenangan dan tanggung jawab bank sentralnya, Bank of Korea, di area
pengawasan perbankan dan institusi keuangannya. Kabarnya, draft reformasi pengawasan
sistem keuangan di Korea Selatan ini, sedang dibahas di parlemen.
Masyarakat Korea Selatan sendiri bersikap antipati tersendiri terhadap ketidakstabilan politik
yang berkaitan dengan banyaknya korupsi para politisi dan skandal politik yang serius di
masa lalu. Praktek-praktek korup politisi dan pejabat tinggi telah menimbulkan suasana
kebencian, frustrasi, dan ketidakpercayaan selama bertahun-tahun. I Sanksi yang diberikan
masyarakat bukanlah sanksi fisik tetapi lebih kepada sanksi sosial. Adanya pengucilan dari
kehidupan masyarakat terhadap koruptor terbukti ampuh dan memiliki efek jauh lebih berat
daripada sekedar hukuman penjara.
Perubahan substansial baru muncuk di awal tahun 1990an semasa pemerintahan Kim-
Young-Sam (1993-1998). Lahirnya Presidential Emergency Order untuk mengatur sistem
3. transaksi keuangan nasional dan ekonomi pada tahun 1993. Inilah tonggak lahirnya
transparansi keuangan dalam melarang penggunaan keuangan anonim. Di Indonesia
sendiri konsep ini mirip dengan Treasury Single Account (TSA).
Selanjutnya UU Real Name Financial Transactions and Guarantee of Secrecy disahkan
tahun 1997 untuk mengatasi cacat parsial seperti ketidaknyamanan transaksi keuangan dan
kecemasan tentang penyelidikan pajak. Selain itu penguatan peran Dewan Audit dan
Inspeksi (BAI) menjadi agen de jure anti korupsi dan mendirikan Komite Pencegahan
Korupsi (CPC) sebagai badan penasehat ketua BAI. Di sinilah terlihat adanya reformasi
regulasi melalui kegiatan komite reformasi administrasi dan derefulasi tersebut berkontribusi
menurunkan praktek korupsi di pemerintahan.
Selama pemerintahan Kim Dae-Jung transformasi lebih menggeliat. Dikembangkannya
sistematis program anti korupsi berupa pembentukan komite khusus anti korupsi,
berlakunya undang-undang dasar tentang pencegahan korupsi, pengembangan dari
kampanye kesadaran masyarakat, pengembangan dari kampanye mendorong partisipasi
masyarakat dalam mendeteksi korupsi dan reformasi administrasi yang rawa korupsi. Hal ini
memberi perkembangan yang signifikan. Selain itu Presiden Kim membentuk Komite
Reformasi reulasi (RRC) berdasarkan UUD Tahun 1998 tentang Peraturan Administrasi
untuk meninjau peraturan yang ada secara intensif. Tahun 1999 Komisi Khusus Anti Korupsi
(SCAC) didirikan. Sayangnya SCAC terbukti tidak efektif dalam mengendalikan korupsi
karena hanya berupa Badan Penasehat Presiden tanpa mesin penyokong administratif
substansial.
Awal tahun 2000 muncul UU Pencegahan Korupsi yang diikuti dengan persiapan RUU
tentang anti korupsi di akhir tahun yang sama. Selanjutnya tanggal 24 Juli 2001
diberlakukanlah UU Anti Korupsi untuk melayani penciptaan iklim yang bersih dalam
layanan sipil dan masyarakat guna mencegah dan mengatur tindakan korupsi. Pada tahun
yang sama, UU Pencegahan Pencucian Uang juga diberlakukan. Selanjutnya Kode Etik
untuk Mempertahankan Integritas Pejabat Publik disahkan tanggal 18 Februari 2003. Jadi
dapat dikatakan pilar-pilar utama dari korupsi anti infrastruktur telah dibentuk selama
pemerintahan Kim Dae Jung.
Selanjutnya di era Roh Moo-hyun (2003-2008) UU Public Office Election direvisi untuk
meminimalkan praktek korup dalam proses pemilihan jabatan publik dan selanjutnya
berganti nama menjadi KICAC guna mendorong integritas nasional skala penuh dan bukan
hanya menyentuh anti korupsi, sesuai dengan pasal 10 UU Anti Korupsi. Sekretariat KICAC
bertanggung jawab menyampaikan kebijakan anti korupsi kepada Dewan Komisi dan
penanganan urusan administrasi sesuai dengan keputusan dewan. KICAC memiliki empat
biro termasuk kantor pusat pemeriksaan, manajemen urusan hukum, perencanaan
kebijakan dan hubungan masyarakat.
KICAC merupakan otoritas utama anti korupsi di Korsel tetapi tidak memiliki kekuasaan
investigatif. Meski begitu keberadaan organisasi ini menunjukkan pemerintah Korsel
memiliki kesiapan menangani isu-isu korupsi sebagai prioritas utama agenda pembangunan
nasional. Dibandingkan dengan negara lainnya di Asia dalam membangun lembaga
independen khusus anti korupsi, Korea Selatan termasuk terlambat. Singapura mendirikan
CPIB tahun 1952; Malaysia membentuk ACA tahun 1967, Hong Kong membuat ICAC di
1974; Thailand membentuk NCCC tahun 1999 dan Indonesia membentuk KPK tahun 2003.
4. Pencegahan Korupsi
KICAC menerapkan berbagai tindakan mencegah korupsi, menciptakan check and balances
antara otoritas dalam kekuasaan dan memperkenalkan perlindungan terhadap whistle
blower dan sistem penghargaan. Pencegahan dan hukuman diwujudkan dalam langkah-
langkah antikorupsi berupa perbaikan kelembagaan untuk pencegahan korupsi,
penanganan laporan korupsi, melindungi dan memberi pernghargaan whistle-blower,
penilaian kegiatan anti korupsi dan meningkatkan kesadaran publik tentang isu korupsi
melalui kode etik pejabat publik dan pelatihan anti korupsi.
Selain itu pemerintah Korea Selatan juga memperkuat hubungan internasional dan kerja
sama dengan organisasi international (OECD, IBRD, PBB dan TI) serta negara asing
lainnya untuk mencegah korupsi. Hal ini dilakukan dengan sharing ide terhadap pencegahan
dan peberantasan korupsi dengan organisasi-organisasi besar dunia
Hasil Pemberantasan
Indeks Prestasi Korupsi tahunan IT menunjukkan bahwa Singapura memiliki nilai tertinggi
(9,4) disusul Hong Kong (8,3), Jepang (7,6), Taiwan (5,9), Korea Selatan (5,1) serta
Malaysia (5,0). IPK Korea Selatan tahun 2000 adalah 4,0 dan meningkat menjadi 5,1 tahun
2006. Pemerintah sendiri berupaya untuk meningkatkan IPKnya hinga 7-8 poin dalam waktu
dekat.
Praktek penyuapan di Korea Selatan telah jauh berkurang dalam beberapa tahun terakhir
hal ini diungkapkan dari responden di ebberapa negara (India, Pakistan, Filipina dan
Indonesia). Gerakan warga pun tumbuh secara spontan sejak akhir 1980-an dan tahun
1990-an kelompok sipil mengalami pertumbuhan pesat dari segi ukuran dan kualitas berkat
kemajuan demokrasi dan otonomi daerah. Kelompok sipil ini tidak hanya menyusun
berbagai alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah korupsi tetapi juga bertindak
sebagai pemain utama. Dengan demikian tidak hanya oleh pemerintahan umum tetapi skala
luas pemerintahan di masyarakat Korea Selatan telah memupuk aktivitas masyarakat sipil
dalam urusan publik.
Made Rahayu Indrayani
8A-BPKP / 18
124060018006