Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Ikhtilath dalam dunia pendidikan
1. Ikhtilath Dalam Dunia Pendidikan
(Muhammad Irfan Zain, Lc)
Allah yang maha tahu dan bijaksana telah menurunkan
syari’at Islam yang mulia ini untuk kemaslahatan seluruh
komponen makhluk yang ada di dalamnya. Khususnya manusia,
sebagai makhluk yang telah dilebihkan atas sekalian makhluk
lainnya, maka syariat yang mulia ini berfungsi untuk menjaga lima
hal pokok yang merupakan penopang hidup mereka, yaitu; agama,
akal, jiwa, nasab atau keturunan dan harta.
Salah satu syari’at Allah yang berfungsi untuk menjaga hal
itu adalah pengharaman zina dan seluruh hal yang dapat
menjerumuskan seseorang kepada perilaku keji tersebut. Allah
berfirman;
/[اإلسراء ًيًلِّبَس َءاَس َو ًَةش ِّاحَف َانَك ُهَّنِّإ َان ِّالز واُب َرْقَت ََلَو23]
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”. (al
Israa’; 32). Dalam ayat ini tergambar kemahabijakan Allah yang
tidak saja mengharamkan perbuatan zina, tetapi juga melarang
mendekati perbuatan itu, yaitu dengan melakukan hal-hal yang
dapat menjerumuskan seorang kepada perbuatan keji tersebut.
Diantara hal yang dapat menjerumuskan seorang kepada
perbuatan keji itu –wal ‘iyaadzu billah- adalah ikhtilath, yang
berarti; bercampurnya antara laki-laki dan wanita yang bukan
mahram dalam satu tempat yang memungkinkan mereka untuk
saling melihat dan melakukan interaksi langusng tanpa adanya
2. batasan. Perbuatan ini –diakui atau tidak- adalah salah satu sebab
terbesar terjerumusnya seseorang dan masyarakat secara umum
kepada perzinahan. Imam Ibnu al Qayyim –rahimahullah- berkata;
والزنا الفواحش لكثرة سبب بالنساء الرجال واختًلط
“Bercampurnya laki-laki dan wanita yang bukan mahram (ikhtilath)
adalah sebab dari maraknya tindakan keji dan perzinahan.1
”.
Lihatlah gaya hidup bebas orang-orang barat saat ini. Sebuah
gaya hidup yang telah menganggap budaya “kencan” dengan
seluruh ritualnya sebagai sebuah fase yang mesti dilewati oleh
orang-orang yang ingin hidup berumahtangga. Lihat dan
pelajarilah !, niscaya anda akan tahu kebenaran dari pernyataan
imam Ibnu al Qayyim –sebagaimana telah disebutkan-.
Olehnya, maka –secara umum- al Quran dan sunnah telah
mengharamkan ikhtilath. Diantara keterangan al Quran yang
berkenaan dengan itu adalah sebagai berikut;
1. Firman Allah dalam surah Yusuf, ayat 23;
َوَّنِّإ ِّ َّاَّلل َذاَعَم َالَق َكَل َتْيَه ْتَلاَق َو َاب َوْبَاأل ِّتَقََّلغ َو ِّهِّسْفَن ْنَع اَهِّتْيَب يِّف َوُه يِّتَّال ُهْتَدَاو َريِّب َر ُه
:يوسف _ َونُمِّلاَّالظ ُحِّلْفُي َلُهَّنِّإ َاي َوْثَم َنَسْحَأ32
“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda
Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup
pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini.” Yusuf berkata: “Aku
berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan
aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada
akan beruntung.”. (Yusuf; 23). Dalam ayat ini digambarkan hal
yang terjadi ketika nabiullah Yusuf berada dalam satu ruangan
dengan istri sang pembesar Mesir kala itu. Hingga hampir-hampir
3. saja Beliau masuk dalam perangkap syaithan, kalau saja bukan
karena petunjuk dan pertolongan Allah. Allah berfirman;
/_يوسف ِّهِّب َر ََانه ْرُب ىَأ َر ْنَأ ََلْوَل اَهِّب َّمَه َو ِّهِّب ْتََّمه ْدَقَل َو32
“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan
itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula)
dengan wanita itu, andaikata dia tidak melihat tanda (dari)
Tuhannya.”. (Yusuf; 24)
2. Firman Allah dalam surah an-Nuur, ayat 30-31;
اَمِّب ٌيرِّبَخ َ َّاَّلل َّنِّإ ْمُهَل ىَكْزَأ َكِّلَذ ْمُهَوجُرُف واُظَفْحَي َو ْمِّه ِّارَصْبَأ ْنِّم واُّضُغَي َينِّنِّؤْمُمْلِّل ْلُقَونُعَنْصَي
(23/[النور َّنِّه ِّارَصْبَأ ْنِّم َنْضُضْغَي َِّاتنِّؤْمُمْلِّل ْلُق َو )23،23]
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah
mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah
kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka juga menahan
pandangannya, …”. (an Nuur; 30-31). Dalam ayat ini Allah
memerintahkan laki-laki dan wanita yang bukan mahram untuk
menahan pandangan mereka terhadap lawan jenisnya, dan
perintah ini –tentu- tidaklah atau akanlah sangat sulit terlaksana
manakala mereka semua berbaur dalam satu ruangan tanpa
batasan (ikhtilath). Syari’at menahan pandangan ini tiada lain
ditujukan untuk menjauhkan orang-orang dari perangkap syaithan.
Olehnya, maka Rasulullah menyatakan bahwa pandangan
kepada lawan jenis yang bukan mahram secara sengaja adalah
zina yang diharamkan. Rasulullah bersabda kepada Ali ;
َف َةَرْظَّنال َةَرْظَّنال ْعِّبْتُت ََل ُّيِّلَع اَيُةَر ِّخ ْاْل َكَل ْتَسْيَل َو ىَلوُ ْاأل َكَل َّنِّإ
4. “Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandanganmu yang pertama
(terhadap lawan jenis yang bukan mahram) dengan pandangan
yang kedua. Yang pertama itu adalah untukmu, dan yang
selanjutnya tidaklah halal bagimu.”2
. Dalam hadits lainnya, Beliau
bersabda;
َاهَان ِّز ُدَيْال َو ُم ًَلَكْال ُهَان ِّز ُانَسِّالل َو ُعاَمِّتْس ِّاَل اَمُهَان ِّز َِّاننُذُ ْاأل َو ُرَظَّنال اَمُهَان ِّز َِّاننْيَعْالُلْج ِّالر َو ُشْطَبْال
ِّلَذ ُقِّدَصُي َو ىَّنَمَتَي َو ى َوْهَي ُبْلَقْال َو اَطُخْال َاهَان ِّزُهُبِّذَكُي َو ُج ْرَفْال َك
“Zina mata adalah memandang, zina telinga adalah mendengar,
zina lisan adalah berbicara, zina tangan adalah memegang, zina
kaki adalah melangkah, zina hati dengan berangan-angan, dan
yang membuktikannya adalah kemaluan.”3
. –semoga Allah
menyelamatkan kami dan seluruh kaum muslimin dari fitnah-.
3. Firman Allah dalam surah an Nuur, ayat 31;
/النور _ َّنِّهِّتَني ِّز ْنِّم َينِّفْخُي اَم َمَلْعُيِّل َّنِّهِّلُج ْرَأِّب َنْب ِّرْضَي ََلَو23
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan.”. (an Nuur; 31). Dalam ayat
ini, Allah melarang seorang wanita untuk menghentakkan kakinya,
yang mana dengan hentakkan tersebut akan terdengarlah bunyi
gelang kakinya yang dapat mengundang perhatian lawan jenisnya
hingga terjadilah fitnah. Perhatikan !, sedemikian Allah ingin
menutup sekecil apapun celah yang dapat menjerumuskan
seorang masuk ke dalam kubangan zina. Jika saja hentakan kaki
dengan sifat yang telah disebutkan dinyatakan sebagai hal yang
dapat menjerumuskan seorang ke dalam fitnah, maka bagaimana
dengan interaksi langsung dengan mereka ?!. Sedangkan
Rasulullah bersabda;
5. ُانَطْيَّشال اَهَف َرْشَتْسا ْتَج َخَر اَذِّإَف ٌةَرْوَع ُةَأ ْرَمْال
“Wanita itu adalah aurat. Maka bila ia keluar dari rumahnya,
syaithan pun datang menambah elok penampilannya.”4
. Olehnya,
sangatlah wajar bila dalam haditsnya yang lain Rasulullah
bersabda;
ِّاءَسِّالن ْنِّم ِّالَج ِّالر ىَلَع َّرَضَأ ًَةنْتِّف يِّدْعَب ُتْكَرَت اَم
“Tiada fitnah terbesar bagi laki-laki sepeninggalku melainkan fitnah
wanita.”5
. Rasulullah bersabda;
ِّاءَسِّالن يِّف َْتناَك َيلِّئا َرْسِّإ يِّنَب ِّةَنْتِّف َل َّوَأ َّنِّإَف َءاَسِّالن واُقَّتا َو اَيْنُّدال واُقَّتاَف
“Takutlah kalian terhadap fitnah dunia dan fitnah wanita.
Sesungguhnya awal fitnah yang menimpa Bani Israail adalah
fitnah wanita.”6
.
Adapun keterangan-keterangan dari sunnah Rasulullah
tentang pengharaman ikhtilath ini sungguh amatlah banyak,
diantaranya adalah beberapa hadits yang telah diutarakan
sebelumnya, dan beberapa keterangan yang lainnya adalah;
1. Pernyataan Rasulullah menanggapi keinginan dari istri Abu
Humaid as Saaidi –radhiyallahu ‘anhuma- untuk menghadiri
shalat bersama Beliau di masjid Beliau. Menanggapi
keinginan tersebut Rasulullah bersabda;
َم َة ًَلَّصال َينِّب ِّحُت ِّكَّنَأ ُتْمِّلَع ْدَقِّكُت ًَلَص َو ِّكِّت َرْجُح يِّف ِّكِّت ًَلَص ْنِّم ِّكَل ٌرْيَخ ِّكِّتْيَب يِّف ِّكُت ًَلَص َو يِّع
ِّكِّمْوَق ِّد ِّجْسَم يِّف ِّكِّت ًَلَص ْنِّم ِّكَل ٌرْيَخ ِّك ِّارَد يِّف ِّكُت ًَلَص َو ِّك ِّارَد يِّف ِّكِّت ًَلَص ْنِّم ٌرْيَخ ِّكِّت َرْجُح يِّف
ْنِّم ِّكَل ٌرْيَخ ِّكِّمْوَق ِّد ِّجْسَم يِّف ِّكُت ًَلَص َويِّد ِّجْسَم يِّف ِّكِّت ًَلَص
“Sungguh saya telah mengetahui hal tersebut, namun shalat yang
engkau lakukan di kamar tidurmu lebih baik dari shalat yang
6. engkau kerjakan di kamar-kamar lainnya; dan shalat yang engkau
kerjakan di bagian lain dari kamar tidurmu lebih baik dari shalat
yang engkau laksanakan di halaman rumahmu; dan shalat yang
engkau laksanakan di halaman rumahmu lebih baik dari shalat
yang engkau laksanakan di mesjid kampungmu; dan shalat yang
engkau laksanakan di mesjid kampungmu lebih baik dari shalat
yang engkau laksanakan di mesjidku ini.”. Semenjak itu, Beliau
menyuruh seseorang membangun tempat shalat pada bagian
terdalam dari rumahnya, lantas Beliau terus melaksanakan shalat
di tempat itu hingga berjumpa dengan Allah ta’ala."7
.
2. Hadits Rasulullah , dari Abu Hurairah ;
اَهُل َّوَأ َاه َُّرش َو َاهُر ِّآخ ِّاءَسِّالن ِّوفُفُص ُرْيَخ َو َاهُر ِّآخ َاه َُّرش َو اَهُل َّوَأ ِّالَج ِّالر ِّوفُفُص ُرْيَخ
“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang terdepan dan seburuk-
buruknya adalah yang terbelakang. Sebaik-baik shaf wanita
adalah yang terbelakang dan seburuk-buruknya adalah yang
terdepan.”8
.
3. Hadits Ibnu Umar , bahwa Rasulullah bersabda;
ِّاءَسِّلنِّل َابَبْال اَذَه َانْكَرَت ْوَل
“Seandainya kita mengkhusukan pintu ini (pintu masjid) untuk para
wanita (tentu hal itu adalah lebih baik).”9
.
Ketiga riwayat diatas dan masih banyak keterangan lainnya
menyiratkan kepada kita bahwa ikhtilat adalah hal yang tidak
diinginkan di dalam Islam. Sekaligus hal tersebut menegaskan
bahwa semakin jauh seorang wanita dari laki-laki dan demikian
sebaliknya, maka akan semakin amanlah mereka dari syaithan
yang telah siap membinasakannya dengan jaring-jaring mautnya.
7. Ikhtilath Dalam Dunia Pendidikan
Tidak syak bahwa menuntut ilmu yang bermanfaat adalah
sebuah ibadah yang sifatnya fardhu, baik fardhu ‘ain atau fardhu
kifayah. Namun hal yang perlu untuk selalu diingat bahwa tujuan
menuntut ilmu adalah untuk mendapatkan ridha Allah dan untuk
meraih serta memberikan kemaslahatan yang sebesar-besarnya
kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Olehnya itu, hal yang
sangat naïf –tentunya- bila tujuan yang sangat mulia ini pada
akhirnya harus tercoreng dengan melakukan hal yang tidak
diridhai oleh Allah.
Maka setelah memperhatikan keterangan-keterangan umum
yang telah disampaikan berkenaan dengan hukum ikhtilath,
dapatlah dipahami bahwa hukum ini pun berlaku –juga- dalam
dunia pendidikan. Bahkan secara logika, dunia pendidikanlah yang
seharusnya sangat pantas untuk menjadi yang terdepan dalam
penerapan hukum “tidak ikhtilath”. Hal ini disebabkan karena
dunia pendidikan adalah cermin peradaban. Baik dan bersihnya
dunia pendidikan adalah cermin dari tingginya tingkat peradaban.
Sebaliknya, buruk dan kotornya dunia pendidikan adalah cerminan
dari dekadensi dan kemerosotan peradaban.
Menegaskan hal ini adalah riwayat Abu Sa’id , Beliau
berkata;
َن ْنِّم اًمْوَي َانَل ْلَعْاجَف ُلاَج ِّالر َكْيَلَع َانَبَلَغ َمَّلَس َو ِّهْيَلَع ُ َّاَّلل ىَّلَص ِّيِّبَّنلِّل ُءاَسِّالن ْتَلاَقَّنُهَدَع َوَف َكِّسْف
ِّهيِّف َّنُهَيِّقَل اًمْوَي
8. “Para sahabat wanita berkata kepada Rasulullah , ‘Kami tidak
bisa mendatangi majelismu wahai Rasulullah karena banyaknya
laki-laki’. Karenanya sisihkanlah harimu wahai Rasulullah untuk
kami. Maka Rasulullah pun menyiapkan satu hari buat
mereka.”10
. Diambil pelajaran dari keterangan ini bahwa
pemisahan antara laki-laki dan wanita dalam kegiatan belajar
mengajar –pun adalah bagian dari syari’at Islam. Terlebih di era
ini, dimana perkembangan teknologi yang begitu pesat sangat
memungkinkan hal tersebut, dan tidak lagi seperti dahulu yang
mesti menggunakan cara manual dengan menyediakan waktu
khusus buat mereka.
Realita dan Solusi
Menimbang hukum syar’I yang telah disebutkan, dan realita
dunia pendidikan formal yang ada di Negara kita tercinta ini yang
hampir seluruhnya menerapkan sistem ikhtilath, serta menimbang
kebutuhan ummat yang sangat besar terhadap orang-orang yang
memiliki kompetensi ilmu secara formal di bidangnya masing-
masing; maka –wallahu a’lam- menjalani pendidikan secara
ikhtilath adalah sebuah hal yang sifatnya darurat dengan beberapa
solusi yang ditawarkan agar keimanan dapat bertahan di tengah
derasnya arus fitnah. Diantara solusi itu adalah;
1. Senantiasa konsisten dalam kegiatan menuntut ilmu agama,
menghadiri majelis ilmu, dan bertanya kepada ulama dalam
setiap permasalahan pelik yang dihadapi –khususnya- dalam
interaksi dalam kampus.
9. 2. Senantiasa berada bersama orang-orang yang memiliki
komitmen dalam menegakkan nilai-nilai Islam pada diri dan
orang-orang selain mereka.
3. Menghindarkan diri dari tempat-tempat atau kegiatan-
kegiatan yang dapat menjerumuskan seorang dalam fitnah.
4. Memperbanyak doa dan ibadah kepada Allah.
Demikianlah beberapasolusi yang ditawarkan, yang diharapkan
bahwa kesemuanya dapat benar-benar efektif dalam menjaga
kemurnian iman seorang, dimana Allah berfirman;
/[التغابن ُهَبْلَق ِّدْهَي ِّ َّاَّللِّب ْنِّؤْمُي ْنَمَو33]
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan
memberi petunjuk kepada hatinya.”. (at Taghaabun; 11)
ُكَل ْلَعْجَي َ َّاَّلل واُقَّتَت ْنِّإ واُنَمَآ َينِّذَّال اَهُّيَأ اَيِّلْضَفْال وُذ ُ َّاَّلل َو ْمُكَل ْرِّفْغَي َو ْمُكِّتاَئِّيَس ْمُكْنَع ْرِّفَكُي َو اًناَق ْرُف ْم
/[األنفال ِّيمِّظَعْال32]
“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, kami
akan memberikan kepadamu Furqaan [petunjuk yang dapat
membedakan antara yang Haq dan yang batil]. dan kami akan
jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni
(dosa-dosa)mu. dan Allah mempunyai karunia yang besar.”. (al
Anfaal; 29)
Harapan
Kepada para pemimpin Bangsa dan pihak-pihak yang
berkompeten dalam pengambilan kebijakan dalam dunia
pendidikan; hendaknya kisruh-kisruh yang terjadi di dunia
10. pendidikan dewasa ini, yang telah banyak mencoreng nama baik
dunia pendidikan secara umum, baik yang dilakukan oleh oknum
Mahasiswa atau –bahkan- yang dilakukan oleh oknum Guru;
hendaknya seluruh hal tersebut semakin mempertebal keyakinan
kita semua akan penting dan urgennya kembali kepada syari’at
Allah yang benar agar cita-cita yang menjadi visi dan misi utama
pendidikan dapat tercapai.
Wallahu waliyyuttaufiiq wa huwa hasbuna wa ni’mal wakiil
1 At Thuruq al Hukmiyyah,oleh Syaikh Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa'd Ibnu Qayyimal
Jauziyyah,hal.379
2 HR. Abu Daud, no. 1837,di Sunan Abi Daud, oleh al Imam Abu Daud Sulaiman bin al Asy'ats bin
Ishak.
3 HR. Muslim,no. 4802,di Al Musnad as Shahiih al Mukhtashar,oleh imamMuslimbin al Hajjaj
4 HR. Tirmidzi,no. 1093,di Sunan at Tirmidzi,oleh Imam Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa at
Tirmidzi.
5 HR. Bukhari,no. 4706,di Al Jaami’e As Shahiih Al Mukhtashaar,oleh ImamMuhammad bin Ismail
Abu Abdillah al Bukhari.
6 HR. Muslim,no. 4925
7 HR. Ahmad, no. 25842,di Musnad imam Ahmad, oleh al Imam Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad
bin Hambal.
8 HR. Muslim,no. 664
9 HR. Abu Daud, no. 391
10 HR. Bukhari,no. 99