2. “KECERDASAN”
Thorndike, sebagai seorang tokoh koneksionisme mengemukakan pendapatnya
bahwa “Intelligence is demonstrable in ability of the individual to make good
responses from the stand point of truth or fact”. Orang dianggap inteligen apabila
responsnya merupakan respons yang baik atau sesuai terhadap stimulus yang
diterimanya. Untuk memberikan respons yang tepat, individu harus memiliki lebih
banyak hubungan stimulus-respons, dan hal tersebut dapat diperoleh dari hasil
pengalaman yang diperolehnya dan hasil respons-respons yang lalu.
3. PENGERTIAN KEERDASAN”
Berbicara mengenai inteligensi biasanya memang dikaitkan dengan
kemampuan untuk memecahkan masalah, kemampuan untuk belajar,
ataupun kemampuan untuk berpikir abstrak. Perkataan inteligensi dari kata
Latin Intelligere yang berarti mengorganisasikan, menghubungkan atau
menyatukan satu dengan yang lain (to organize, to relate, to bind
together). Istilah inteligensi kadang-kadang atau justru sering memberikan
pengertian yang salah, yang memandang inteligensi sebagai kemampuan
yang mengandung kemampuan tunggal, padahal menurut para ahli
inteligensi mengandung bermacam-macam kemampuan. Namun
demikian, pengertian inteligensi itu sendiri memberikan berbagai macam
arti bagi para ahli.
Batasan-batasan dari para ahli tersebut ternyata banyak selaras dengan
konsepsi orang awam. Hal itu ditunjukkan oleh hasil penelitian Robert J.
Sternberg yang mencoba melihat bagaimana pengertian orang
kebanyakan mengenai inteligensi.
4. Penelitian Sternberg mengambil sampel 61 orang mahasiswa yang belajar di
Universitas Yale, 63 orang yang kebetulan sedang menunggu kereta api di Stasiun
New Haven, dan 62 orang yang sedang berbelanja di sebuah pasar raya. Dalam
kesimpulannya, Sternberg dan kawan-kawannya menemukan bahwa konsepsi
orang awam mengenai inteligensi mencakup tiga faktor kemampuan utama, yaitu
(a)kemampuan memecahkan masalah-masalah praktis yang berciri utama adanya
kemampuan berpikir logis, (b)kemampuan verbal (lisan) yang berarti utama adanya
kecakapan berbicara dengan jelas dan lancar, dan (c)kompetensi sosial yang berciri
utama adanya kemampuan untuk menerima orang lain sebagaimana adanya.[11]
Dari temuan Sternberg, terlihat bahwa orang awam pun tidak saja menekankan
makna inteligensi pada askpek kemampuan intelektual (kognitif) semata akan tetapi
mementingkan pula aspek kemampuan sosial yang bersifat nonkognitif. Selanjutnya
disimpulkan pula oleh penelitian tersebut bahwa orang cenderung lebih
mengutamakan faktor kognitif daripada faktor-faktor nonkgnitif dalam menilai
inteligensi orang lain maupun inteligensi diri sendiri.
5. Teori-teori kecerdasan
Menurut sudut pandang mengenai faktor-faktor yang menjadi elemen inteligensi,
maka teori-teori inteligensi dapat digolongkan dalam paling tidak tiga golongan.
Penggolongan pertama adalah teori-teori yang berorientasi pada faktor tunggal,
yang kedua adalah teori-teori yang berorientasi pada dua faktor, dan yang ketiga
adalah teori yang berorientasi pada faktor ganda. Walaupun demikian, uraian
ringkas mengenai teori-teori inteligensi berikut tidak akan mengutamakan
pengelompokan tersebut. Kita akan menyajikan setiap teori dibawah nama
tokohnya masing-masing[13].
Alfred Binet
Menurut binet, inteligensi merupakan sisi tunggal dari karakteristik yang etrus
berkembang sejalan dengan proses kematangan seseorang.
Edward Lee Thorndike
Menyatakan bahwa inteligensi terdiri atas beragai kemampuan spesifik yang
ditampakkan dalam wujud perilaku inteligen. Oleh karena itu, teorinya
dikategorikan ke dalam teori inteligensi faktor ganda.
6. Faktor yang Mempengaruhi keerdasan
Intelegensi tiap individu cenderung berbeda-beda. Hal ini dikarenakan beberapa
faktor yang mempengaruhinya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
intelegensi antara lain sebagai berikut:
1. Faktor Bawaan atau Keturunan
2. Faktor Minat dan Pembawaan yang Khas
3. Faktor Pembentukan atau Lingkungan
4. faktor kematangan
5. faktor kebebasan