Dokumen tersebut membahas dua konsep utama, yaitu Teori Kecerdasan Majemuk dan perbedaan gaya belajar siswa. Teori Kecerdasan Majemuk menyatakan bahwa kecerdasan terdiri atas delapan tipe yaitu bahasa, logika-matematika, visual-spasial, kinestetik, musik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik. Dokumen juga menjelaskan dua gaya belajar utama yaitu visual dan auditorial, dengan men
Teori kecerdasan majemuk (Multiple Intelligence atau MI) merupakan istilah yang relatif baru yang dikenalkan oleh Howard Gardner. Jasmine (2007: 5) menjelaskan bahwa “Teori tentang Kecerdasan Majemuk (KM) adalah salah satu perkembangan paling penting dan paling menjanjikan dalam pendidikan dewasa ini”. Teori KM didasarkan atas karya Howard Gardner, pakar psikologi perkembangan, yang berupaya menciptakan teori baru tentang pengetahuan sebagai bagian dari karyanya di Universitas Harvard. Gardner berkenaan dengan teori tersebut, yaitu Frame of Mind (1983) menjelaskan ada delapan macam [sekarang sembilan] kecerdasan manusia yang meliputi bahasa (linguistic), musik (musical), logika-matematika (logical-mathematical), spasial (spatial), kinestetis-tubuh (bodily-kinesthetic), intrapersonal (intrapersonal), interpersonal (interpersonal), dan naturalis (naturalits). Berikut ini dijelaskan secara ringkas satu persatu dari bentuk-bentuk kecerdasan yang dimaksud oleh Gardner. Sejak buku Gardner diterbitkan tahun 1983, para pendidik telah mendiskusikan dengan antusias cara mempertimbangkan pengunaan berbagai KM di dalam kelas (Osburg, 1995). Dengan mengadopsi penggunaan dari KM di dalam kelas, dan guru memiliki perspektif KM pada materi pelajaran, maka guru dapat melihat adanya satu perbedaan dalam gaya mengajar mereka, kurikulum sebagai suatu keseluruhan, dan organisasi kelas (Shearer, 2004). Ketika guru dapat benar-benar memandang perbedaan dalam intelektual manusia, mereka akan mempunyai cara-cara efektif untuk mendidik para siswa di dalam kelas (Gardner, 2003). Menggunakan KM dalam pembelajaran merupakan satu alat efektif yang dapat membantu mencapai tujuan pendidikan (Hopper dan Hurray, 2000). Karena ada delapan kompetensi intelektual di dalam otak, maka guru dapat menyertakan beberapa cara baru dan berbeda tentang pendekatan tugas yang menggunakan satu atau lebih dari kombinasi KM.
Teori kecerdasan majemuk (Multiple Intelligence atau MI) merupakan istilah yang relatif baru yang dikenalkan oleh Howard Gardner. Jasmine (2007: 5) menjelaskan bahwa “Teori tentang Kecerdasan Majemuk (KM) adalah salah satu perkembangan paling penting dan paling menjanjikan dalam pendidikan dewasa ini”. Teori KM didasarkan atas karya Howard Gardner, pakar psikologi perkembangan, yang berupaya menciptakan teori baru tentang pengetahuan sebagai bagian dari karyanya di Universitas Harvard. Gardner berkenaan dengan teori tersebut, yaitu Frame of Mind (1983) menjelaskan ada delapan macam [sekarang sembilan] kecerdasan manusia yang meliputi bahasa (linguistic), musik (musical), logika-matematika (logical-mathematical), spasial (spatial), kinestetis-tubuh (bodily-kinesthetic), intrapersonal (intrapersonal), interpersonal (interpersonal), dan naturalis (naturalits). Berikut ini dijelaskan secara ringkas satu persatu dari bentuk-bentuk kecerdasan yang dimaksud oleh Gardner. Sejak buku Gardner diterbitkan tahun 1983, para pendidik telah mendiskusikan dengan antusias cara mempertimbangkan pengunaan berbagai KM di dalam kelas (Osburg, 1995). Dengan mengadopsi penggunaan dari KM di dalam kelas, dan guru memiliki perspektif KM pada materi pelajaran, maka guru dapat melihat adanya satu perbedaan dalam gaya mengajar mereka, kurikulum sebagai suatu keseluruhan, dan organisasi kelas (Shearer, 2004). Ketika guru dapat benar-benar memandang perbedaan dalam intelektual manusia, mereka akan mempunyai cara-cara efektif untuk mendidik para siswa di dalam kelas (Gardner, 2003). Menggunakan KM dalam pembelajaran merupakan satu alat efektif yang dapat membantu mencapai tujuan pendidikan (Hopper dan Hurray, 2000). Karena ada delapan kompetensi intelektual di dalam otak, maka guru dapat menyertakan beberapa cara baru dan berbeda tentang pendekatan tugas yang menggunakan satu atau lebih dari kombinasi KM.
BrightGen Salesforce Spring 17 Release Webinarbrightgenss
BrightGen's Winter 17 Salesforce Release webinar deck, presented by Service Manager Cllive Platt and CTO Keir Bowden. The webinar recording is available at : https://youtu.be/BM0_zaD1QsA
BrightGen Salesforce Spring 17 Release Webinarbrightgenss
BrightGen's Winter 17 Salesforce Release webinar deck, presented by Service Manager Cllive Platt and CTO Keir Bowden. The webinar recording is available at : https://youtu.be/BM0_zaD1QsA
Utah Code Camp talk explaining the ins and outs of getting started with freelancing.
We answer the questions:
- Why go freelance?
- Isn't that risky?
- What do I charge?
- How do you get anything done?
- What if I'm not a good salesperson?
- What if I don't get paid?
- Do I need a business entity?
- Do I need an accountant/attorney?
Multiple Intelligences: The Theory in Practice Intelligenceabdulkadirsiompu
teori multiple intelligences mulai diterima dalam dunia pendidikan karena dianggaplebih melayani semua kecerdasan yang dimiliki anak. Konsep MI menjadikan pendidik lebiharif melihat perbedaan, dan menjadikan anak merasa lebih diterima dan dilayani. Konsep ini“menghapus” mitos anak cerdas dan tidak cerdas, karena menurut konsep ini, semua anakhakikatnya cerdas.
UNTUK DOSEN Materi Sosialisasi Pengelolaan Kinerja Akademik DosenAdrianAgoes9
sosialisasi untuk dosen dalam mengisi dan memadankan sister akunnya, sehingga bisa memutakhirkan data di dalam sister tersebut. ini adalah untuk kepentingan jabatan akademik dan jabatan fungsional dosen. penting untuk karir dan jabatan dosen juga untuk kepentingan akademik perguruan tinggi terkait.
1. LEARNER DIFFERENCES
A. Konsep Multiple Intelligence
Dalam pengertian konvensional, intelegensi sering diartikan sebagai kemampuan
memecahkan masalah, menggunakan logika, dan berfikir kritis. Pengertian intelegensi
seperti tersebut dikonsepsikan sebagai “raw intelligence”. Raw intelligence merupakan
pengkonsepsian intelegensi secara sempit, namun dewasa ini masih tetap berkembang dan
diacu oleh sejumlah ahli pendidikan dan psikologi.
Di bidang psikologi dan pendidikan, sebagian para ahli berpegang kuat pada
pandangan bahwa intelegensi yang fenomenanya berwujud intelligence Quotient (IQ)
merupakan karakteristik kemampuan umum untuk menjelaskan perbedaan tingkah laku
dan belajar antar siswa. Diasumsikan bahwa setiap individu dapat diklasifikasikan menurut
tingkatan intelegensinya. Sebagai contoh bahwa dasar asumsi tersebut digunakan para ahli
bidang pendidikan dan psikologi adalah digunakannya alat tes untuk mengukur IQ atau
raw intelligence. Salah satu alat tes yang sering digunakan di Amerika Serikat yaitu
Scholastic Aptitude Test (SAT). Di Amerika SAT digunakan untuk menganalisis
kemampuan gramatikal dan matematika, kemampuan perbendaharaan kata dan
pemahaman bacaan siswa. SAT sebagai alat ukur oleh sebagian perguruan tinggi Amerika
digunakan untuk membantu menentukan apakah seorang siswa berkualifikasi untuk
memasuki lembaga pendidikan tertentu. Diasumsikan bahwa skor intelegensi hasil
pengukuran dengan alat SAT dapat memprediksikan prestasi siswa di lembaga pendidikan
berikutnya.
Berbeda dengan pengkonsepsian intelegensi diatasdapat disimak dari pembicaraan
di antara para praktisi pendidikan pada umumnya mengenai intelegensi. Pertanyaan yang
sering terlontar dalam pembicaraan mereka yaitu”Siapa yang dikategorikan sebagai
seseorang yang inteligen? Seseorang disebut inteligen bilamana dalam dirinya memiliki
general intellectual yaitu kemampuan memahami, memeriksa, dan merespon stimulus dari
luar, apakah itu dalam memecahkan soal matematika dengan benar, mengantisipasi
gerakan lawan dalam permainan tenis, kemmapuan memainkan alat musik sehingga dapat
memukau para penontonnya, kemampuan melakukan negosiasi bidang bisnis sehingga
karier bisnisnya berkembang dengan baik, kemampuan berorasi sehingga berhasil dalam
karier bidang politiknya, dan sejenisnya.
2. Dalam pemaknaan intelegensi seperti dicontohkan di atas dapat disimpulkan bahwa
intelegensi merupakan kemampuan kolektif yang dimiliki setiap individu untuk bertindak
dan bereaksi terhadap perubahan yang terjadi di dunia. Pemaknaan intelegensi seperti itu
nampaknya didukung oleh para ahli psikologi dan pendidikan dewasa ini. Pemahaman
terhadap pengertian intelegensi yang disebut terakhir, Carvin (2000), memaknainya
sebagai “…a pluralized way of understanding the intellect” ; dan menurut Gardner (1991)
bahwa “…multiple intelligence theory, on the other hand, pluralizes the traditional
concept”. Hasil penelitian bidang kognitif merefleksikan keyakinan bahwa “…intelligence
is not a monolithic quality, but has multiple component” (Collin dan Mangieri, 1992).
Robert Sternberg telah pula membedakan secara kualitatif jenis intelegensi menjadi:
intelegensi componential (diukur dengan tes tradisional), contextual (kapasitas untuk
memahami dengan kreatif), dan experiential (intelegensi ”the street smart”) (dalam Collin
dan Mangieri, 1992).
Pendapat bahwa intelegensi merupakan suatu kemampuan yang jamak adalah
sebagai hasil perkembangan ilmu pengetahuan kognitif, psikologi perkembangan dan
neuroscience. Tiga bidang ilmu ini menyimpulkan bahwa intelegensi seseorang
sebenarnya merupakan swatantra kecakapan (faculties) yang dapat bekerja secara
individual atau secara “berorkestra” dengan yang lain (Cavin, 2000).
Multi intelegensi seperti:
a. Linguistic Intelligence (Inteligensi bahasa atau verbal).
Intelegensi bahasa atau kata adalah kapasitas seseorang untuk menggunakan
kata-kata secara efektif baik secara oral (seperti: penceritera, orator, atau politisi) atau
secara tertulis (seperti: penyair, editor, jurnalis). Intelegensi ini meliputi ablitas untuk
memanipulasi sintak atau struktur bahasa, fonologi, atau suara bahasa, makna atau
semantik bahasa, dan demensi pragmatic atau penggunaan bahasa praktis. Beberapa
penggunaan bahasa antara lain meliputi retorika, mnemonics, explanation, dan meta
bahasa.mereka memiliki kemampuan lebih pada bidang bahasa misalnya merka bisa
dengan kritis menemukan sesuatu permasalahan dengan hanya mendengar dan mampu
membahasnya. pandai berbicara.
b. Logical-Mathematical Intelligence (intelegensi logika dan matematik).
3. Intelegensi logika dan matematik merupakan kapasitas seseorang dalam
menggunakan angka secara efektif (seperti: ahli matematika, akuntan pajak, ahli
statistik), dan untuk menalar dengan baik (seperti: ilmuwan, programer komputer, atau
ahli logika). Intelegensi ini memuat kepekaan dalam pola-pola logika dan hubungan,
penyataan dan preposisi (jika-maka, sebab-akibat), fungsi dan hubungan-hubungan
abstrak. Jenis-jenis pemrosesan informasi yang menggunakan intelegensi logika
matematik terdiri atas: pengkategorian, klasifikasi, meramalkan, generalisasi, kalkulasi,
dan uji hipotesis. kemampuan lebih dalam bidang angka atau perhitungan.
c. Visual-Spatial Intelligence (Intelegensi spasial-visual).
Intelegensi spasial-visual adalah abilitas seseorang untuk merasakan dunia
visual-spasial secara efektif seperti pemburu, pengintai dan pemandu), dan untuk
mentransformasi persepsi pada perilaku (seperti: decorator interior, arsitek, artis,
pencipta). Intelegensi ini mencakup sensitivitas terhadap elemen warna, garis, bagian
potongan, bentuk, ruang, dan hubungan yang terjadi antar elemen. Intelegensi ini juga
merupakan kapasitas untuk memvisualisasi atau menyajikan ide dalam bentuk grafis
visual atau spasial.
d. Bodily-Kinesthetic Intelligence (Intelegensi bodi-kinestetik).
Intelegensi bodi merupakan keahlian seseorang dalam menggunakan
keseluruhan tubuhnya untuk mengekspresikan ide dan perasaan (seperti: aktor, pelawak,
atau badut, atlet dan penari), dan menggunakan tangan dengan mudah untuk
menghasilkan atau mentransformasi sesuatu (seperti: ahli pembuat kapal, pemahat
patung, ahli mekanik, dan ahli bedah). Intelegensi ini meliputi keterampilan fisik
khusus seperti koordinasi, keseimbangan, ketangkasan, kekuatan, kelenturan, dan
kecepatan gerak tubuh sebaik kapasitas proprioceptive, otot, dan haptic.
e. Musical Intelligence (Intelegensi music).
Intelegensi music adalah kapasitas seseorang untuk merasakan (seperti pemusik
afocinado); membedakan (seperti pengkritik musik); transformasi seperti komposer);
dan mengekspresikan (seperti ahli pertunjukan) bentuk-bentuk musik. Intelegensi ini
meliputi kepekaan pada rhytm, pict atau melody, dan timbre atau potingan nada dari
4. musik. Seseorang dengan intelegensi musik kuat mempunyai pemahaman musik top-
down (global, intuitif), pemahaman formal atau bottom-up (analitik, teknikal) atau
keduanya secara baik.
f. Interpersonal Intelligence (Intelegensi untuk berhubungan dengan orang lain).
Interpersonal atau intelegensi untuk berhubungan dengan orang lain adalah
abilitas seseorang untuk merasakan dan membuat perbedaan dalam mood, intensi,
motivasi, dan perasaan orang lain. Intelegensi ini mencakup sensitivitas terhadap
ekspresi muka, suara, dan gesture, kapasitas untuk membedakan atara berbagai jenis
cues interpersonal; dan abilitas untuk merespon secara efektif terhadap cues dalam
beberapa cara prakmatik (seperti: untuk memepngaruhi kelompok orang agar mengikuti
aturan atau garis tertentu).
g. Intrapersonal Intelligence (Intelegensi intrapersonal atau intelegensi self).
Intelegensi intrapersonal atau intelegensi self adalah kemampuan self-
knowledge seseorang dan abilitasnya untuk bertindak secara adaptif atas dasar
pengetahuan. Intelegensi ini meliputi keakuratan seseorang dalam penggambaran diri
(kekuatan dan kelemahan diri); kesadaran atas mood dari dalam, intense, motivasi,
tempramen, dan keinginan; dan kapasitas untuk mendisiplin diri, pemahaman diri, dan
penghargaan diri merespon secara efektif terhadap cues dalam beberapa cara prakmatik
9seperti: untuk mempengaruhi kelompok orang agar mengikuti aturan atau norma
tertentu).
h. Naturalistic Intelligence (intelegensi naturalistik).
Intelegensi naturalistik adalah abilitas seseorang untuk mengidentifikasi dan
mengklasifikasi pola-pola yang ada dalam alam. Intelegensi naturalistic barangkali
dapat dilihat bagaimana cara seseorang berhubungan dengan lingkungannya dan peran
yang dia mainkan dalam berhubungan dengan alam. Seseorang yang sensitif dengan
perubahan pola musim atau kemampuan beradaptasi dengan alam barangkali
merupakan ekspresi abilitas intelegensi naturalistik.
Berdasarkan pemahaman atasi konsep MI dan delapan intelegensi sebagaimana
diuraikan di depan, maka ada empat poin pokok untuk memahami MI siswa. Empat poin
5. pokok tersebut yaitu bahwa intelegensi siswa: (1) merupakan sesuatu yang dinamis, terus
tumbuh dan berubah sepanjang hayat, dan bukan sesuatu yang statis yang dibawa sejak
lahir; (2) intelegensi dapat diperbaiki, diperluas, dan diperkuat; (3) keterbatasan
intelegensi dibuat oleh individu sendiri (Lazear, 1991); dan sebagian besar potensi
intelegensi seseorang terpendam (laten) dan dapat ditingkatkan, dapat dibangun kembali,
atau dikuatkan dengan cara dilatih (Perkins dan Grotzer, 1997). Memperhatikan empat
poin pokok dalam memahami MI siswa, ini berarti bahwa perkembangan jenis-jenis
intelegensi setiap individu akan bervariasi kualitasnya. Relevan dengan simpulan ini, hasil
penelitian menunjukkan bahwa setiap anak mempunyai tingkatan intelegensi yang berbeda
untuk setiap jenisnya (Amstrong, 1993). Hasil survey terhadap 3064 orang di AS yang
dilakukan MIDAS (2000) mendukung pendapat Amstrong tersebut, yaitu bahwa profil
jenis intelegensi yang dominan kuat dimiliki mereka terdistribusi seperti dalam tabel
berikut.
B. PERBEDAAN GAYA BELAJAR SISWA
a. Gaya belajar visual (belajar dengan cara melihat)
Disini individu memiliki kecenderungan gaya belajar visual lebih senang dengan
melihat apa yang sedang dipelajari. Gambar atau visualisasi akan membantu mereka yang
memiliki gaya belajar visual untuk lebih memahami ide informasi yang disajikan dalam
bentuk penjelasan. Apabila seseorang menjelaskan sesuatu kepada orang yang memiliki
kecenderungan gaya belajar visual, mereka akan menciptakan gambaran mental tentang apa
yang dijelaskan oleh orang tersebut.
Individu yang memiliki kemampuan belajar visual yang baik ditandai dengan ciri-
ciri perilaku sebagai berikut:
1. Rapi dan teratur.
2. Berbicara dengan cepat.
3. Mampu membuat rencana jangka pendek dengan baik.
4. Teliti dan rinci.
5. Mementingkan penampilan.
6. Lebih mudah mengingat apa yang dilihat daripada apa yang didengar.
7. Mengingat sesuatu berdasarkan asosiasi visual.
8. Memiliki kemampuan mengeja huruf dengan sangat baik.
6. 9. Biasanya tidak mudah terganggu oleh keributan atau suara berisik ketika sedang
belajar.
10. Sulit menerima instruksi verbal (oleh karena itu seringkali ia minta instruksi secara
tertulis).
11. Merupakan pembaca yang cepat dan tekun.
12. Lebih suka membaca daripada dibacakan.
13. Lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain.
14. Dalam memberikan respon terhadap segala sesuatu, ia selalu bersikap waspada,
membutuhkan penjelasan menyeluruh tentang tujuan dan berbagai hal lain yang
berkaitan.
15. Jika sedang berbicara di telpon ia suka membuat coretan-coretan tanpa arti selama
berbicara.
16. Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat “ya” atau “tidak”.
17. Lebih suka mendemonstrasikan sesuatu daripada berpidato/ berceramah.
18. Lebih tertarik pada bidang seni (lukis, pahat, gambar) daripada musik.
19. Seringkali tahu apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai menuliskan dalam kata-
kata.
b. Auditorial (belajar dengan cara mendengar)
Disini individu memiliki kecenderungan gaya belajar audiorial kemungkinan akan
belajar lebih baik dengan cara mendengarkan. Mereka menikmati saat-saat mendengarkan
apa yang disampaikan oleh orang lain. Karakteristik model belajar seperti ini benar-benr
menempatkan pendengaran sebagi alat utama menyerap informasi atau pengetahuan.artinya,
anak harus mendengar, baru kemudian bisa mengingat dan memahami informasi yang
diterima.
Individu yang memiliki kemampuan belajar auditorial yang baik ditandai dengan
ciri-ciri perilaku sebagai berikut:
1. Sering berbicara sendiri ketika sedang bekerja.
2. Mudah terganggu oleh keributan atau suara berisik.
3. Lebih senang mendengarkan (dibacakan) daripada membaca.
4. Jika membaca maka lebih senang membaca dengan suara keras.
5. Dapat mengulangi atau menirukan nada, irama dan warna suara.
6. Mengalami kesulitan untuk menuliskan sesuatu, tetapi sangat pandai dalam bercerita.
7. 7. Berbicara dalam irama yang terpola dengan baik.
8. Berbicara dengan sangat fasih.
9. Lebih menyukai seni musik dibandingkan seni yang lainnya.
10. Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan daripada apa
yang dilihat.
11. Senang berbicara, berdiskusi dan menjelaskan sesuatu secara panjang lebar.
12. Mengalami kesulitan jika harus dihadapkan pada tugas-tugas yang berhubungan
dengan visualisasi.
13. Lebih pandai mengeja atau mengucapkan kata-kata dengan keras daripada
menuliskannya.
14. Lebih suka humor atau gurauan lisan daripada membaca buku humor/komik.
c. Kinestetik (belajar dengan cara bergerak, bekerja, dan menyentuh)
Individu yang memiliki kecenderungan gaya belajar kinestetik akan lebih baik apabila
terlibat secara fisik dalam kegiatan langsung. mereka akan belajar apabila mereka mendapat
kesempatan untuk memanipulasi media untuk mempelajari informasi baru. Manusia adalah
unik, demikian pula siswa. Siswa memiliki karakteristik belajar sendiri yang berbeda dengan
teman-temannya. Karakteristik cara belajar siswa di pengaruhi oleh banyak faktor, baik
keluarga, lingkungan, sekolah dan lain-lain..
Individu yang memiliki kemampuan belajar kinestetik yang baik ditandai dengan ciri-
ciri perilaku sebagai berikut:
1. Berbicara dengan perlahan.
2. Menanggapi perhatian fisik.
3. Menyentuh orang lain untuk mendapatkan perhatian mereka.
4. Berdiri dekat ketika sedang berbicara dengan orang lain.
5. Banyak gerak fisik.
6. Memiliki perkembangan otot yang baik.
7. Belajar melalui praktek langsung atau manipulasi.
8. Menghafalkan sesuatu dengan cara berjalan atau melihat langsung.
9. Menggunakan jari untuk menunjuk kata yang dibaca ketika sedang membaca.
10. Banyak menggunakan bahasa tubuh (non verbal).
11. Tidak dapat duduk diam di suatu tempat untuk waktu yang lama.
8. 12. Sulit membaca peta kecuali ia memang pernah ke tempat tersebut.
13. Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi.
14. Pada umumnya tulisannya jelek.
15. Menyukai kegiatan atau permainan yang menyibukkan (secara fisik).
16. Ingin melakukan segala sesuatu
Dengan mempertimbangkan dan melihat cara belajar apa yang paling menonjol dari
diri seseorang maka orangtua atau individu yang bersangkutan (yang sudah memiliki
pemahaman yang cukup tentang karakter cara belajar dirinya) diharapkan dapat bertindak
secara arif dan bijaksana dalam memilih metode belajar yang sesuai.
Sementara itu, dari sekian banyak informasi dan temuan mengenai gaya belajar, ada
sebuah model yang dikemukakan oleh David Kolb. Dalam model belajar Kolb (1984)terdapat
2 deskripsi bipolar.Deskripsi bipolar pertama berposisi vertical berupa pengalaman
konkret(feeling), konseptual abstrak (thinking), bipolar kedua yang berposisi horizontal
berupa eksperimen aktif (doing,belahan kanan) dan pengamatan reflektif (wathing,sebelah
kiri) sehingga pada 2 garis berpotongan tegak lurus itu berbentuk empat model kuadrat.
1. Gaya Diverger
Kombinasi dari perasaan dan pegamatan (feeling dan watching).siswa dengan gaya
diverger unggul dalam melihat situasi konkret dari banyak sudut pandang yang berbeda .
pendekatannya padasetiap situasi adalah dengan mengamati dan bukan bertindak. Siswa
seperti ini menyukai tugas belajar yang menuntutnya untuk menghasilkan ide-ide, biasanya
menyukai isu budaya seta suka mengumpulkan informasi.
2. Gaya Assimilator
Merupakan kombinasi dari berpikir dan mengamati(thinking dan watching)siswa
dengan gaya ini memiliki kelebihan dalam memahami berbagai informasi serta
merangkumnya dalam suatu format yang logis,singkat dan jelas. Biasanya siswa dengan gaya
assimilator kurang perhatian pada orang lain dan lebih menyukai ide serta konsep yang
abstrak, mereka juga cenderung lebih teoritis.
3. Gaya Konverger
9. Merupakan kombinasi dari berpikir dan berbuat (thinking dan doing).siswa dengan
gaya ini unggul dalam menenukan fungsi praktis, dari berbagai ide dan teori.biasanya siswa
dengan gaya ini punya kemampuan yag baik dalam pemecahan masalah dan pengambilaan
keputusan. Siswa juga cenderung lebih menyukai tugas-tugas teknis dari pada masalah social.
4. Gaya Akomodator
Merupakan kombinasi dari perasaan dan tidakan (feeling and doing). Siswa dengan
gaya belajar akomodasi memiliki kemampuan belajar yang baik dari hasil pengalaman nyata
yang dilakukan sendiri. Siswa dengan gaya ini suka membuat rencana dan melibatkan dirinya
dalam berbagai pengalaman baru dan menantang. Dalam memecahkan masalah
mempertimbangkan faktor manusia untuk mendapatkan masukan /informasi.
1. Hubungan Gaya Belajar dengan Situasi Pembelajaran
Gaya belajar seorang siswa merupakan cerminan kecakapan yang diperolehnya dari
ligkungan dan riwayat belajar siswa sebelumnya. Menurut Kolb (Anawati ,2004) siswa
belajar sebaik-baiknya ketika materi pembelajaran disajikan dalam pola yang selaras dengan
gaya belajar pilihannya.
C. MEMAHAMI PERBEDAAN BUDAYA DAN GENDER DALAM PROSES
BELAJAR MENGAJAR
a. Budaya dalam pendidikan
Manusia dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sementara
itu pendukung kebudayaan adalah makhluk manusia itu sendiri. Sekalipun makhluk manusia
akan mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan diwariskan pada keturunannya, demikian
seterusnya. Pewarisan kebudayaan makhluk manusia, tidak selalu terjadi secara vertikal atau
kepada anak-cucu mereka; melainkan dapat pula secara horisontal yaitu manusia yang satu
dapat belajar kebudayaan dari manusia lainnya. Berbagai pengalaman makhluk manusia
dalam rangka kebudayaannya, diteruskan dan dikomunikasikan kepada generasi berikutnya
oleh indiividu lain. Berbagai gagasannya dapat dikomunikasikannya kepada orang lain
karena ia mampu mengembangkan gagasan-gagasannya itu dalam bentuk lambang-lambang
vokal berupa bahasa, baik lisan maupun tertulis.
10. Kebudayaan mengenal ruang dan tempat tumbuh kembangnya, dengan mengalami
perubahan, penambahan dan pengurangan. Manusia tidak berada pada dua tempat atau ruang
sekaligus, ia hanya dapat pindah ke ruang lain pada masa lain. Pergerakan ini telah berakibat
pada persebaran kebudayaan, dari masa ke masa, dan dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai
akibatnya di berbagai tempat dan waktu yang berlainan, dimungkinkan adanya unsur-unsur
persamaan di samping perbedaan-perbedaan. Oleh karena itu di luar masanya, suatu
kebudayaan dapat dipandang ketinggalan zaman (anakronistik), dan di luar tempatnya
dipandang asing atau janggal.
Peneliti Sosial, Department of Anthropology University of Sussex, United Kingdom
mendefinisikan masyarakat sebagai suatu kumpulan individu yang memiliki karakteristik
khas dengan aneka ragam etnik, ras, budaya, dan agama.Setiap kelompok masyarakat
mempunyai pola hidup berlainan, bahkan orientasi dalam menjalani kehidupan pun tidak
sama. Sebagai suatu unit sosial, setiap kelompok masyarakat saling berinteraksi yang
memungkinkan terjadinya pertukaran budaya. Dalam proses interaksi itu, setiap kelompok
masyarakat saling mempelajari, menyerap, dan mengadopsi budaya kelompok masyarakat
lain yang kemudian melahirkan sintesis budaya baru. Dalam kajian antropologi, ada tiga
istilah untuk menjelaskan peristiwa interaksi sosial budaya, yakni sosialisasi, akulturasi, dan
enkulturasi. Ketiganya saling terkait, namun masih tetap bisa dibedakan antara satu dan yang
lain.
Dapat dikatakan, sistem persekolahan adalah salah satu pilar penting yang menjadi
riang penyangga sistem sosial yang lebih besar dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat,
untuk mewujudkan cita-cita kolektif. Maka, pendidikan yang diselenggarakan melalui-
meskipun tidak hanya terbatas pada-sistem persekolahan semestinya dimaknai sebagai
sebuah strategi kebudayaan (lihat artikel Media Indonesia, 9/11/2009). Dalam hal ini,
pendidikan merupakan medium transformasi nilai-nilai budaya, penguatan ikatan-ikatan
sosial antarwarga masyarakat, dan pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengukuhkan
peradaban umat manusia.
Dimulai dari pembahasan tentang suatu pernyataan hipotetis bahwa berbagai
persoalan di masyarakat seperti pengangguran, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sistem
pendidikan yang tidak "pas" dengan budaya Indonesia. Untuk menemukan pendidikan yang
berakar budaya bangsa perlu dilaksanakan penajaman penelitian pendidikan. Namun dalam
mencari pendidikan yang berakar pada budaya bangsa tidak berarti bahwa pendidikan harus
bersifat ekslusif. Hal ini bertentangan dengan realitas globalisasi. Oleh karena itu, pencarian
11. pendidikan yang berakar pada budaya bangsa harus pula memahami karekteristik pendidikan
modern, bisa dileburkan pendidikan modern kedalam kearifan budaya lokal.
Dalam melestarikan khazanah budaya Indonesia yang kaya diperlukan kontribusi
pendidikan untuk menjaga keberlangsungan budaya tersebut. Pendidikan yang terbentuk bisa
kita namakan pendidikan yang berlandaskan budaya atau pendidikan yang responsif terhadap
kebudayaan. Akan tetapi di sisi lain model pendidikan kontemporer harus tetap diadopsi
untuk menjamin kompetisi pendidikan. Sehingga pendidikan yang terbentuk yaitu kolaborasi
antara kebudayaan dan modernisasi sistem pendidikan.
Pada dasarnya pendidikan tidak akan pernah bisa dilepaskan dari ruang lingkup
kebudayaan. Kebudayaan merupakan hasil perolehan manusia selama menjalin interaksi
kehidupan baik dengan lingkungan fisik maupun non fisik. Hasil perolehan tersebut berguna
untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Proses hubungan antar manusia dengan
lingkungan luarnya telah mengkisahkan suatu rangkaian pembelajaran secara alamiah. Pada
akhirnya proses tersebut mampu melahirkan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia. Disini kebudayaan dapat disimpulkan sebagai hasil pembelajaran manusia dengan
alam. Alam telah mendidik manusia melalui situasi tertentu yang memicu akal budi manusia
untuk mengelola keadaan menjadi sesuatu yang berguna bagi kehidupannya.
Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti
keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama yakni nilai-nilai. Dalam konteks
kebudayaan justru pendidikan memainkan peranan sebagai agen pengajaran nilai-nilai
budaya. Karena pada dasarnya pendidikan yang berlangsung adalah suatu proses
pembentukan kualitas manusia sesuai dengan kodrat budaya yang dimiliki.
Oleh karena itu kebudayaan diturunkan kepada generasi penerusnya lewat proses
belajar tentang tata cara bertingkah laku. Sehingga secara wujudnya, substansi kebudayaan
itu telah mendarah daging dalam kepribadian anggota-anggotanya.
b. bias gender dalam pendidikan
Yang dimaksud bias gender adalah mengunggulkan salah satu jenis kelamin dalam
kehidupan sosial atau kebijakan publik. Bias gender dalam pendidikan adalah realitas
pendidikan yang mengunggulkan satu jenis kelamin tertentu sehingga menyebabkan
ketimpangan gender.1
Berbagaibentukkesenjangangenderyangterjadidalamberbagaibidangkehidupanmasyarakat,
12. terpresentasijugadalam dunia pendidikan.Bahkanprosesdaninstitusipendidikandipandangberperanbesar
dalammensosialisasikandan melestrikan nilai-nilai dancarapandang yang mendasari munculnya
berbagai ketimpangangender dalam masyarakat.Secara garis besar,fenomena kesenjangangender dalam
pendidikan dapat diklasifikasidalam beberapa dimensi,antaralain:
1. Kurangnya partisipasi (under-participation). Dalam hal partisipasi pendidikan ,perempuan di
seluruh dunia menghadapi problem yang sama. Dibanding lawan jenisnya, partisipasi perempuan
dalam pendidikan formal jauh lebih rendah Dinegara-negara dunia ketiga di mana pendidikan
dasar belum diwajibkan, jumlah murid perempuan umumnya hanya separuh atau sepertiga jumlah
muridlaki-laki2
2. Kurangnya keterwakilan (under-representation). Partisipasi perempuan dalam pendidikan sebagai
tenaga pengajar maupun pimpinan juga menunjukkan kecenderung disparitas progresif. Jumlah
guru perempuan pada jenjang pendidikan dasar umumnya sama atau melebihi jumlah guru laki-
laki. Namun, pada jenjang pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi, jumlah tersebut
menunjukkan penurunandrastis.
3. Perlakuan yang tidak adil (unfair treatment) Kegiatan pembelajaran dan proses interaksi dalam
kelas seringkali bersifat merugikanmuridperempuan.Gurusecaratidaksadarcenderung menaruh
harapan dan perhatian yang lebih besar kepada murid laki-laki dibanding murid perempuan. Para
guru kadangkala cenderung berpikir ke arah "self fulfilling prophecy" terhadap siswa
perempuankarenamenganggapperempuantidak perlu memperoleh pendidikan yang tinggi.