UU Nomor 12 Tahun 2011 menggantikan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan untuk mengatasi berbagai permasalahan dan memperbaiki ketentuan sebelumnya. Dokumen ini membahas latar belakang digantikannya UU tersebut serta asas-asas pembentukan peraturan yang baik menurut para ahli hukum.
Pemekaran Kabupaten Banyuwangi menujumKota dan kabupaten .pdf
Tantangan pembangunan hukum di indonesia
1. UU NOMOR 12 TAHUN 2011 DAN PEMBANGUNAN NEGARA HUKUM
I. PENDAHULUAN
Semenjak amandemen ketiga UUD 19451
, Indonesia menasbihkan diri sebagai
negara hukum2
. Mochtar Kusumaatmadja3
mengemukakan makna terdalam dari Negara
berdasarkan atas hukum adalah: “...kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama
di hadapan hukum”. Hasil amandemen ketiga yang dilakukan pada tahun 2001 ini,
menjawab seluruh keraguan yang merebak sebelumnya.
Sebagai konsekwensi dari pilihan sebagai Negara hukum ini, maka Negara
menempatkan kekuasaan tertinggi pada hukum bukan pada seorang penguasa absolut,
disamping tentunya juga harus memenuhi beberapa pra-syarat atau elemen lainnya 4
.
Pada tataran teknis, untuk menjalankan perintah konstitusi tersebut, maka
diperlukan pengaturan tentang persyaratan dan mekanisme pembentukan undang-undang
1 Indonesia, UUD 1945, Pasal 1 ayat (3)
2 Untuk menelusuri konsep tentang negara hukum pada dasarnya dapat dijelaskan melalui dua aliran
pemikiran, yaitu konsep rechtsstaat dan the rule of law. Dalam perspektif historis, konsep “rechtssaat” berasal
dari Jerman dan konsep “the rule of law” berasal dari Inggris. Istilah rechtsstaat mulai populer di Eropa sejak
abad XIX, meskipun pemikiran tentang itu sudah lama ada, sedangkan istilah “the rule of law” mulai populer
dengan terbitnya sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun 1855 dengan judul Introduction to the Studi of the
Law of the Constitution.
Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, sehingga sifatnya revolusioner.
Sebaliknya, konsep the rule of law berkembang secara evolusioner. Hal ini nampak dari isi atau kriteria
rechtsstaat dan kriteria the rule of law. Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang
disebut “civil law” atau “modern Roman law”, sedangkan konsep the rule of law bertumpu pada sistem hokum
yang disebut “common Law” atau “Anglo Saxon”.
Rechtsstaat dan the rule of law dengan tumpuannya masing-masing mengutamakan segi yang berbeda. Konsep
rechtsstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid yang kemudian menjadi rechtmatigheid, sedangkan the rule of
law mengutamakan equality before The law. Akibat adanya perbedaan titik berat dalam pengoperasian tersebut,
muncullah unsur-unsur yang berbeda antara konsep rechtsstaat dan konsep the rule of law.
3 Kusumaatmadja, Mochtar Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan. (PT. Alumni, Bandung, 2002),
hlm. 12.
4 Dalam konsep “Negara Hukum”, eksistensi peraturan perundang-undangan merupakan salah satu unsur
fundamental bagi penyelenggaraan pemerintahan negara berdasarkan atas hukum. Hal itu tercermin dari konsep
Friedrich Julius Stahl tentang unsur-unsur utama negara hukum yang mencakup; 1) pengakuan dan
perlindungan hak-hak asasi manusia; 2) pemisahan kekuasaan negara berdasarkan prinsip trias politika; 3)
penyelenggaraan pemerintahan menurut undang-undang (wetmatigheid van bestuur); dan 4) peradilan
administrasi negara. Sementara itu, menurut Zippelius unsur-unsur negara hukum terdiri atas: 1) pemerintahan
menurut hukum (rechtsmatigheid van bestuur); 2) jaminan terhadap hak-hak asasi; 3) pembagian kekuasaan;
dan 4) pengawasan justisial terhadap pemerintah. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dalam Ashary, Teori
Perundang-Undangan Indonesia, Suatu Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia Yang
Menjelaskan dan Menjernihkan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia di Jakarta pada tanggal 25 April, Jakarta, 1992, hlm.73, dan Attamimi A. Hamid S
Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi
Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun waktu Pelita I - Pelita IV,
Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990. hlm.311.
1 of 20
2. yang memenuhi asas-asas pembentukan peraturan yang baik. Dalam konteks inilah, pada
tahun 2004 dilahirkan UU nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, yang dimaksudkan sebagai instrument untuk mendukung proses
pembangunan hukum nasional dan membangun system koordinasi dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan 5
. Kehadiran UU nomor 10 tahun 2004 ini sangat penting,
di samping untuk menjalankan mandat UUD 1945 6
, namun juga untuk menghentikan
berbagai persoalan yang sebelumnya selalu melingkupi bangsa terkait dengan system
pembentukan peraturan perundang-undangan 7
.
Meskipun kehadiran UU nomor 10 tahun 2004 ini merupakan sebuah langkah
progressif dalam konteks pengejawantahan asas negara hukum, namun dalam kurun waktu
kurang dari satu dekade, telah muncul banyak permasalahan, baik yang berasal dari
5 Dalam penjelasan UU nomor 10 tahun 2004 secara tegas dinyatakan maksud dan tujuan pembentukan UU ini
yakni untuk mendukung pengejaawantahan negara hukum melalui pembangunan tatanan yang tertib antara lain
di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. Tertib Pembentukan Peraturan Perundangundangan
harus dirintis sejak saat perencanaan sampai dengan pengundangannya. Untuk membentuk peraturan perundang-
undangan yang baik, diperlukan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata cara penyiapan
dan pembahasan, teknik, penyusunan maupun pemberlakuannya
6 UUD 1945 Pasal 22A menyatakan bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan
peraturan perundang-undangan diatur dengan undang-undang”.
7 Terdapat 2 problem mendasar yang ingin dijawab melalui UU nomor 10 tahun 2004 ini. Pertama mengurai
dan menghentikan tumpang tindih berbagai macam ketentuan yang berkaitan dengan Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan termasuk teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan, diatur secara tumpang tindih
baik peraturan yang berasal dari masa kolonial maupun yang dibuat setelah Indonesia merdeka, yang mecakup;
1) Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie, yang disingkat AB (Stb. 1847: 23) yang mengatur
ketentuan-ketentuan umum peraturan perundang-undangan. Sepanjang mengenai Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, ketentuan AB tersebut tidak lagi berlaku secara utuh karena telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan nasional. 2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Peraturan tentang Jenis dan
Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang
dari Negara Bagian Republik Indonesia Yogyakarta. 3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang
Menetapkan Undang-Undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan
Berita Negara Republik Indonesia Serikat dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Berlakunya
Undang-Undang Federal dan Peraturan Pemerintah sebagai Undang-Undang Federal. 4) Beberapa ketentuan di
bawah UU yang mencakup: a) Peraturan Pemerintah Nomor 1Tahun 1945 tentang Pengumuman dan Mulai
Berlakunya Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah; b) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 234
Tahun 1960 tentang Pengembalian Seksi Pengundangan Lembaran Negara, dari Departemen Kehakiman ke
Sekretariat Negara; c) Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1970 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia; d)
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang; e) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan
Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan
Rancangan Keputusan Presiden, 5) Di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dan dewan perwakilan rakyat
daerah, berlaku peraturan tata tertib yang mengatur antara lain mengenai tata cara pembahasan rancangan
undang-undang dan rancangan peraturan daerah serta pengajuan dan pembahasan Rancangan Undang-undang
dan peraturan daerah usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat atau dewan perwakilan rakyat daerah. Kedua untuk
menyesuaikan pola relasi dan wewenang pembentukan peraturan perundang-undangan antara Pemerintah dan
DPR sebagai implikasi dari perubahan/amandemen UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUD
1945 yang menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan pembentukan Undang-undang.
2 of 20
3. kandungan materi pengaturan dalam UU tersebut maupun berbagai dinamika masyarakat
yang menuntut diperlukannya perubahan dan perbaikan atas UU ini. Berbagai persoalan
inilah yang selanjutnya mendorong DPR untuk mengubah, dan dalam perjalanannya
rencana perubahan ini berevoluasi menjadi penggantian atas UU nomor 10 tahun 2004
melalui UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan.
Terkait dengan penggantian atas UU nomor 10 tahun 2004 dan lahirnya UU
nomor 12 tahun 2011 ini kiranya sangat menarik untuk ditelusuri latar belakang
dilakukannya penggantian serta mencermati berbagai masukan dari kelompok-kelompok
masyarakat atas substansi usulan perubahan. Penelusuran ini diperlukan untuk melacak
apakah UU nomor 12 tahun 2011 mengakomodir berbagai keresahan fundamental yang
disampaikan oleh masyarakat. Persoalan kedua yang penting untuk dilacak adalah residu
masalah yang masih tersisa dalam UU nomor 12 tahun 2011. Dari kedua hal tersebut,
diharapkan dapat ditemukan substansi masalah dan rekomendasinya.
II. LANDASAN TEORITIK
I.C. van der Vlies dalam bukunya yang berjudul “Het wetsbegrip en beginselen
van behoorlijke regelgeving”, membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan negara
yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) ke dalam asas-asas yang formal dan
yang material 8
.
Asas-asas yang formal meliputi:
a. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
b. asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan);
c. asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
d. asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
e. asas konsensus (het beginsel van consensus).
Asas-asas yang material meliputi:
a. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar;
b. asas tentang dapat dikenali;
c. asas perlakuan yang sama dalam hukum;
d. asas kepastian hukum;
8 I.C. van der Vlies, Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving, ’s-Gravenhage: Vuga 1984
hal 186 seperti dikutip oleh A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, hal. 330, dalam Maria Farida Indrati, S., Ilmu Perundang-undangan,
Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Jakarta: Kanisius, hlm. 253-254
3 of 20
4. e. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.
Hamid S. Attamimi berpendapat, bahwa pembentukan peraturan perundang-
undangan Indonesia yang patut, adalah sebagai berikut:
a. Cita Hukum Indonesia, yang tidak lain adalah Pancasila yang berlaku sebagai “bintang
pemandu”;
b. Asas Negara Berdasar Atas Hukum yang menempatkan Undang-undang sebagai alat
pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum, dan Asas Pemerintahan
Berdasar Sistem Konstitusi yang menempatkan Undang-undang sebagai dasar dan
batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan Pemerintahan.
c. Asas-asas lainnya, yaitu asas-asas negara berdasar atas hukum yang menempatkan
undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum
dan asas-asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi yang menempatkan undang-
undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan.
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut itu meliputi
juga:
a. asas tujuan yang jelas;
b. asas perlunya pengaturan;
c. asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat;
d. asas dapatnya dilaksanakan;
e. asas dapatnya dikenali;
f. asas perlakuan yang sama dalam hukum;
g. asas kepastian hukum;
h. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.
Apabila mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang formal dan asas yang
material, maka A. Hamid S. Attamimi cenderung untuk membagi asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang patut tersebut ke dalam:
a. Asas-asas formal, dengan perincian:
(1) asas tujuan yang jelas;
(2) asas perlunya pengaturan;
(3) asas organ/ lembaga yang tepat;
(4) asas materi muatan yang tepat;
4 of 20
5. (5) asas dapatnya dilaksanakan; dan
(6) asas dapatnya dikenali;
b. Asas-asas material, dengan perincian:
(1) asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma Fundamental Negara;
(2) asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;
(3) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara berdasar atas Hukum; dan
(4) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan berdasar Sistem Konstitusi.
Di samping beberapa asas yang penting untuk dipedomani dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dikemukakan oleh I.C. van der
Vlies dan Hamid Attamimy tersebut, sangat penting juga untuk mempertimbangkan teori
Hans Kelsen tentang hirarki perundang-undangan dan pemikiran Lawrence M. Friedman
tentang sistem hukum (legal system).
III. MENGAPA DAN BAGAIMANA ?
1. Latar Balakang Perubahan
Niatan untuk melakukan perubahan atas UU nomor 10 tahun 2004 didasari
oleh banyaknya permasalahan yang muncul seiring dengan pemberlakuan UU
tersebut. DPR selaku pengusul perubahan ini mengemukakan beberapa permasalahah
antara lain hierarki, materi muatan undang-undang, materi muatan mengenai ketentuan
pidana, Perencanaan Peraturan Perundang-undangan, Penyusunan Undang-Undang,
Perpu, Perda, dan Pengundangan9
.
Jika kita gunakan pendekatan M. Friedman untuk membedah masalah
tersebut kita dapat menguraikan sebagai berikut:
1. Permasalahan legal substance. Menurut Friedman,” the substance is composed of
substantive rules and rules about how institutions should behave.” 10
Dalam
konteks UU nomor 10 tahun 2004, beberapa persoalan yang masuk dalam
kategori materi substantive dan pengaturan tentang peran kelembagaan dari
9 DPR RI, Laporan Singkat Panitia Khusus RUU tentang Pembentukan PEraturan Perundang-undangan,
tanggal 13 Desember 2010, hal 2
10 Lawrence Meir Friedman, The Legal System, Russel Sage Foundation, 1987, halaman 14
5 of 20
6. institusi yang terlibat dalam proses pembentukan perundang-undangan dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
a. Pengertian Peraturan Perundang-undangan yang terdapat dalam UU No.10
Tahun 200411
dinilai masih belum tepat dan makin menyempit. Pengertian
peraturan perundang-undangan yang dirumuskan tidak hanya makin
limitative, melain juga “melupakan” beberapa prinsip penyelenggaraan
pemerintahan yang dituangkan dalam konstitusi. Akibat dari ketidaktepatan
ini maka muncul banyak persoalan terkait dengan kedudukan beberapa
peraturan misalnya Ketetapan MPR, peraturan Presiden, peraturan DPR,
Peraturan BI , Peraturan Mahkamah Agung, dsb. Seharusnya setiap peraturan
perundang-undangan yang mengikat umum, maupun peraturan
pelaksanaannya haruslah senantiasa dipandang sebagai peraturan perundang-
undangan. Dan yang membedakannya kemudian adalah ruang lingkup
berlakunya, sifat dan fungsinya.
b. Inkonsistensi dalam penggunaan frasa, yakni frasa “dibentuk” dan
“ditetapkan”. Dalam konteks Undang-Undang dan Peraturan Daerah, frasa
yang digunakan adalah “dibentuk”, untuk Perpu dan PP, frasa yang
digunakan adalah “ditetapkan”, sedangkan Perpres dan Peraturan Desa
digunakan istilah “dibuat”. Hal ini menunjukkan inkonsistensi penggunaan
istilah dan akhirnya menimbulkan pemaknaan berikut implikasi hukumnya
yang tidak jelas.
11 Pasal 1 angka 2 sampai dengan 8 UU nomor 10 tahun 2004, menyebutkan:
(2) Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang dan mengikat secara umum.
(3) Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
persetujuan bersama Presiden.
(4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
(5) Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya.
(6) Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden.
(7) Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah
dengan persetujuan bersama kepala daerah.
(8) Peraturan Desa/peraturan yang setingkat adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh badan
perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
6 of 20
7. c. Dalam konteks Undang-Undang dan Perpu, penggunaan istilah “dibentuk”
sudah tepat karena sesuai dengan Pasal 20 UUD NRI 1945 ayat (1) 12
.
Namun, dalam konteks Perda, penggunaan istilah “dibentuk” kurang tepat
karena tidak sesuai dengan Pasal 18 UUD NRI ayat (6) yang menggunakan
istilah “ditetapkan” 13
:
d. Dalam konteks Perpres dan Perdes yang digunakan istilah “dibuat” tidak ada
rujukan konstitusinya mengingat UUD NRI 1945 tidak secara eksplisit
menyebutkan dua bentuk peraturan tersebut. Namun demikian penggunaan
istilah “dibuat” tidak konsisten dengan ketentuan angka 2 UU 10/2004 yang
menggunakan istilah “dibentuk”. Hal ini mengingat Perpres dan Perdes
merupakan peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan Pasal 7
ayat (1) UU 10/2004.
e. Tidak jelas dan kurang efektifnya peranan DPD dalam proses pembahasan
setiap rancangan peraturan perundang-undangan. Wewenang DPD untuk
mengajukan rancangan undang-undang (yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat
dan daerah) jelas diakui dalam Pasal 22D ayat (1) UUD dan Pasal 42 ayat (1)
UU 22/2003. Namun dalam UU nomor 10 tahun 2004, peran DPD masih
sangat sumir.
f. Dalam undang-undang tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan
kurang dijelaskan atau dijabarkan apa yang termasuk hal ilwah kegentingan
yang memaksa yang dapat menjadi sebab lahirnya Perpu. Ketidakjelasan
pendefinsian ini berpotensi menyebabkan Perpu dibuat karena adanya hal-hal
yang bersumber dari kelalaian atau kesalahan pemerintah dalam mengelola
pemerintahan atau dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Perpu sebaiknya
12 Pasal 20 UUD NRI 1945 ayat (1) yang berbunyi :”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang-undang.”, sedangkan Pasal 5 UUD NRI 1945 ayat (2) berbunyi: ”Presiden menetapkan
peraturan pemerintah untuk menjalankan undangundang sebagaimana mestinya.”
13 Pasal 18 UUD NRI ayat (6) berbunyi ”Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”
7 of 20
8. tidak diterbitkan untuk masalah-masalah yang seharusnya menjadi tanggung
jawab pemerintah melalui tindakan pemerintah yang sekaligus menjadi
tanggung jawab tugas eksekutif dalam mengurus negara dan
pemerintahan. Dalam konteks ini, keperluan akan penjabaran mengenai
rumusan UUD 1945 mengenai “hal ilwal kegentingan yang memaksa” itu
sebenarnya bisa muncul dalam beberepa keadaaan.
g. UU nomor 10 tahun 2004 juga belum mengatur keadaan adanya kekosongan
hukum (undang-undang) berkaitan dengan adanya keputusan Mahkamah
Konstitusi yang membatalkan suatu pasal atau beberapa pasal atau terhadap
suatu undang-undang. UU ini tidak memuat bagaimana tindak lanjut dan
kapan batas waktu DPR dan pemerintah dalam merespon putusan MK
tersebut. Hal ini tentunya akan mengakibatkan terjadinya kekosongan hukum
dalam jangka waktu yang tidak jelas dan cenderung lama.
h. Berdasarkan UU 10/2004, ada satu tahap penting dalam proses legislasi, yaitu
proses perencanaan, yang dibuat dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas, Pasal 15 ayat (1) UU 10/2004). Dikatakan dalam Pasal 16 ayat (1)
UU 10/2004 bahwa penyusunan Prolegnas dikoordinasikan oleh DPR melalui
alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi, dalam hal ini
Badan Legislasi. Sementara itu, dalam Pasal 17 ayat (1) UU 10 Tahun 2004
dinyatakan bahwa rancangan undang-undang, baik yang berasal dari DPR,
presiden, maupun DPD disusun berdasarkan Prolegnas. Pasal ini merupakan
ketentuan mengenai tahap pembentukan undang-undang. Pengaturan tentang
mekanisme perencanaan legislasi melalui instrument prolegnas ini merupakan
kemajuan progressif dalam rangka mendorong terbentuknya tertib hukum dan
memperbaiki sistem pembangunan hukum.
i. Namun demikian, terdapat 2 masalah penting yang tersisa, pertama dalam
Pasal 15 dan 16, keterlibatan DPD tidak diatur. Kedua, meskipun amandemen
konstitusi telah memperkuat posisi DPR sebagai pemegang kuasa pembentuk
undang-undang, namun dalam proses pembentukan UU nomor 10 tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang merupakan
8 of 20
9. penjabaran pelaksanaan delegasi kewenangan (delegatie van
wetgevingsbevoegdheid) dari Pasal 22 A jo Pasal 20 jo Pasal 20 A ayat (1),
Pasal 21 UUD 1945, masih terdapat distorsi atas kuasa parlemen tersebut.
Pasal 16 ayat (4) UU nomor 10 tahun 2004 menyebutkan bahwa: Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dan pengelolaan Program
Legislasi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Presiden.
j. Dengan pendelegasian ini maka (meminjam istilah Dr. Irman Putrasidin)
sesungguhnya DPR mematisurikan lengannya sendiri sebagai pemegang
kekuasaan pembentukan UU yang diberikan oleh konstitusi dengan
menyetujui kekuasaan eksekutif cq Presiden mengatur lebih lanjut tentang
tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegnas dalam UUPPP dengan
bingkai Perpres, yang notabene merupakan pintu pertama proses legislasi
nasional khususnya pembentukan UU.
2. Persoalan Legal Structure
“The structure of a system is its skeleton framework; it is the permanent shape,
the institutional body of the system, the though rigid nones that keep the process
flowing within bounds..”,
Selama 7 tahun pemberlakuannya, masih terdapat banyak persoalan legal structure
yang dihadapi meliputi:
a. Kualitas Sumber daya yang rendah dalam aspek teknis perancangan
perundang-undangan
b. Campur tangan politik (politic interest) dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan sampai pada aspek teknis perancangan (legal drafting)
c. Dominasi kelompok kepentingan yang menguasai akses pembentukan
peraturan perundang-undangan
d. Improvisasi penyusunan peraturan perundang-undangan tanpa dipandu oleh
tuntunan normative dan keahlian di bidang perancangan (legislative drafting)
9 of 20
10. e. Control spesialis dan fungsional yang lemah dalam penegakan peraturan
perundang-undangan
3. Persoalan Legal Culture
The legal culture, system their beliefs, values, ideas and expectation.
Legal culture refers, then,to those ports of general culture customs, opinions ways
of doing and thinking that bend social forces toward from the law and in particular
way.
Persoalan Legal Culture ( Budaya Hukum ) dalam arah kebijakan politik
hukum nasional adalah meningkatkan budaya hukum antara lain melalui
pendidikan dan sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan. Hal ini
bertujuan untuk menumbuhkan kembali budaya hukum yang sepertinya semakin
hari semakin memudar (terdegradasi). Apatisme dan menurunnya tingkat
appresiasi masyarakat pada hukum dewasa ini sudah sangat mengkhawatirkan,
maraknya kasus main hakim sendiri, pembakaran para pelaku kriminal,
pelaksanaan sweeping oleh sebagian anggota masyarakat bahkan di depan aparat
penegak hukum merupakan gambaran nyata semakin menipisnya budaya hukum
masyarakat. Sehingga konsep dan makna hukum sebagai instrumen untuk
melindungi kepentingan individu dan sosial hampir sudah kehilangan bentuknya
yang berdampak pada terjadinya ketidakpastian hukum yang tercipta melalui
proses pembenaran perilaku salah dan menyimpang bahkan hukum sepetinya
hanya merupakan instrumen pembenar bagi perilaku salah, seperti sweeping yang
dilakukan oleh kelompok masa, oknum aparat yang membacking orang atau
kelompok tertentu, dan lain sebagainya.
Tingkat kesadaran masyarakat terhadap hak, kewajibannya, dan hukum
sangat berkaitan dengan (antara lain) tingkat pendidikan dan proses sosialisasi
terhadap hukum itu sendiri. Di lain pihak kualitas, profesionalisme, dan kesadaran
aparat penegak hukum juga merupakan hal mutlak yang harus dibenahi.
Walaupun tingkat pendidikan sebagian masyarakat masih kurang memadai,
10 of 20
11. namun dengan kemampuan dan profesionalisme dalam melakukan pendekatan
dan penyuluhan hukum oleh para praktisi dan aparatur ke dalam masyarakat,
sehingga pesan yang disampaikan kepada masyarakat dapat diterima secara baik
dan dapat diterapkan apabila masyarakat menghadapi berbagai persoalan yang
terkait dengan hak dan kewajibannya serta bagaimana menyelesaikan suatu
permasalahan sesuai dengan jalur hukum yang benar dan tidak menyimpang.
Untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum tersebut, telah
ditetapkan sasaran politik hukum nasional yaitu terciptanya suatu sistem hukum
nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif (termasuk bias gender);
terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat
dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang
lebih tinggi, dan kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang berwibawa,
bersih, profesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan hukum
masyarakat secara keseluruhan.
Untuk mewujudkan sasaran tersebut, maka disusun suatu program
pembangunan politik hukum, antara lain dengan melakukan:
a. program perencanaan hukum;
b. Program pembentukan hukum;
c. program peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegakan
hukum lainnya;
d. program peningkatan kualitas profesi hukum; dan
e. program peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi manusia.
IV. BEBERAPA PERUBAHAN PENTING DALAM UU NO. 12 TAHUN 2011
Mencermati UU nomor 12 tahun 2011, dapat kita lihat bahwa UU nomor 12 tahun
2011 lebih mampu memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan baik
dari sisi isi muatan maupun prosedur dan kewenangan lemabag pembentuk peraturan
perundang-undangan.
Berbagai perubahan yang terjadi secara kategoris dapat dipilah menjadi perubahan
sistematika, redaksional dan perubahan substansi. Dalam makalah ini, kami tidak dapat
11 of 20
12. menyajikan seluruh item perubahan, namun kami hanya akan menjelaskan beberapa
perubahan penting.
12 of 20
13. 13 of 20
ASPEK PERUBAHAN UU 12/2011 CATATAN
Pendefinisian tentang Naskah
Akademik
Pasal 1
Naskah Akademik adalah naskah
hasil penelitian atau pengkajian
hukum dan hasil penelitian lainnya
terhadap suatu masalah tertentu yang
dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah mengenai pengaturan masalah
tersebut dalam suatu Rancangan
Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi, atau
Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota sebagai solusi
terhadap permasalahan dan
kebutuhan hukum masyarakat.
Pengaturan yang
mengharuskan
pembuatan naskah
akademik yang disertai
dengan tehnik
penyusunan naskah
akademik ini diharapkan
akan mampu
meningkatkan derajat
kualitas produk peraturan
perundang-undangan.
Hal ini sekaligus juga
diharapkan mampu
menjawab realitas yang
menunjukkan semakin
meningkatnya jumlah
UU dan Perda yang
dibatalkan.
Pasal 44
Penyusunan Naskah Akademik
Rancangan Undang- Undang
dilakukan sesuai dengan teknik
penyusunan Naskah Akademik.
Ketentuan mengenai teknik
penyusunan Naskah Akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Undang-Undang ini.
Hirarki Pasal 7
Dalam ketentuan tentang Jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-
undangan terdiri atas, dicakup pula
Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat;
Pencantuman TAP MPR
dalam hirarki perundang-
undangan ini
memunculkan potensi
masalah yang akan
dibahas pada bagian
berikutnya.
Jenis peraturan lain Pasal 8
Jenis Peraturan Perundang-undangan
selain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan
yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi
Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang
setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau
yang setingkat.
Pencantuman jenis
peraturan lain ini sangat
penting untuk
memberikan batasan dan
kepastian hukum. Norma
pasal 8 ini menunjukkan
dan bersifat limitatif
sehingga berimplikasi
pada bentuk dan jenis
peraturan lain yang dapat
dikategorikan sebagai
peraturan perundang-
undangan. Dengan
demikian, segala bentuk
produk peraturan di luar
cakupan pasal 8 ini tidak
dapat dikategorikan
sebagai peraturan
perundang-undangan.
Perbaikan sistem Perencanaan
Peraturan
Pasal 16
Perencanaan penyusunan Undang-
Undang dilakukan dalam Prolegnas.
Perbaikan pengaturan
tentang sistem
perencanaan peraturan
baik di ranah parlemenPasal 24
14. V. RESIDU PERMASALAHAN PASCA PERUBAHAN
Meskipun UU nomor 12 tahun 2011 sebagai pengganti UU nomor 10 tahun 2004
telah mengalami banyak kemajuan yang progressif, namun sayangnya masih menyisakan
beberapa residu persoalan.
A. TAP MPR menjadi bagian dalam Hirarki Perundang-undangan
Dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, memasukkan kembali TAP MPR dalam tata hierarki peraturan perundang-
undangan14
. Sebelumnya dalam UU No. 10 Tahun 2004, TAP MPR dikeluarkan dari
hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. TAP MPR memang sempat
masuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam
TAP MPRS No. XX Tahun 1966 dan TAP MPR No. III Tahun 2000. Namun,
akhirnya TAP MPR dikeluarkan dari hierarki dengan berlakunya UU No. 10/2004.
Pencantuman TAP MPR dalam herarki perundang-undangan ini nampaknya
hanya bertujuan untuk memberikan kerangka landasan hukum terhadap sisa-sisa TAP
MPR yang masih exist saja, dan tidak dimaksudkan untuk memberikan peluang bagi
munculnya TAP MPR baru mengingat telah terjadinya pergeseran posisi MPR dalam
strutur ketatanegaraan di Indonesia 15
. Artinya, pencantuman ketentuan pasal 7 ini
tidak dimaksudkan untuk melegitimasi lahirnya TAP MPR baru.
Meskipun maksud pencantuman TAP MPR dalam herarki perundang-
undangan ini sedemikian jelas, namun pencantuman ini tetap saja menimbulkan
14 Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 memuat hierarki peraturan perundang-undangan yakni sebagai
berikut:
0 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
2 Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3 Peraturan Pemerintah;
4 Peraturan Presiden;
5 Peraturan Daerah Provinsi; dan
6 Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
15 Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 bahwa yang dimaksud dengan
“Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang
Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003
(TAP MPR 1/2003).
14 of 20
15. implikasi masalah baru, yakni bagaimana mekanisme pengujian terhadap TAP MPR
ini ? Siapa yang berwenang mengujinya ?
Dalam konteks pengujian peraturan perundang-undangan, Pasal 9 UU No.12
Tahun 2011 menyebutkan bahwa:
(1) Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi (MK).
(2) Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang
diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh
Mahkamah Agung (MA).
Namun, dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan TAP
MPR, atau TAP MPR dipertanyakan konstitusionalitasnya, maka hal tersebut tidak
diatur mekanisme pengujiannya oleh UU No. 12 Tahun 2011. MPR pun tidak punya
wewenang untuk menguji undang-undang yang diduga bertentangan dengan TAP
MPR. Karena berdasarkan Pasal 3 UUD 1945 wewenang MPR adalah mengubah dan
menetapkan UUD, serta melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Jimly Asshiddiqie menyatakan sebenarnya penempatan TAP MPR di atas
UU adalah keliru. Menurutnya, TAP MPR seharusnya sederajat dengan UU sehingga
bisa dibatalkan jika bertentangan dengan konstitusi melalui pengujian ke MK.
Pendapat senada juga dikemukakan Pengajar Ilmu Peraturan Perundang-
undangan Universitas Indonesia Sonny Maulana Sikumbang menilai masuknya TAP
MPR ke dalam hierarki merupakan langkah mundur. Karena, menurut Sonny, dahulu
TAP MPR sudah dikeluarkan dari hierarki peraturan perundang-undangan. Sonny
menilai kembalinya TAP MPR ke dalam hierarki (baca Tarik Menarik dalam
Menyusun Hierarki Peraturan Perundang-undangan).
Jauh sebelumnya, mengenai kedudukan TAP MPR Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas Padjadjaran Prof. Sri Soemantri pernah berpendapat bahwa setelah
amandemen UUD 1945 terjadi perubahan mendasar atas kedudukan MPR. MPR,
menurutnya, tidak lagi sebagai lembaga negara tertinggi dan tidak akan ada lagi
bentuk hukum yang namanya ketetapan MPR. Dalam kesempatan yang sama, pakar
15 of 20
16. Ilmu Peraturan Perundang-undangan UI yang kini adalah hakim MK Maria Farida
Indrati juga menyatakan bahwa karena sekarang presiden dipilih oleh rakyat, maka
Presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR sehingga untuk selanjutnya tidak boleh
ada lagi TAP yang memberikan mandat ke presiden. MPR, menurutnya, tidak
berwenang membuat ketetapan yang bersifat mengatur, tapi sebatas ketetapan MPR
yang bersifat beshicking (baca Status TAP MPR tentang HM Soeharto Pasca
Amandemen UUD).
B. Masih Adanya Ketidakjelasan Kedudukan Beberapa Produk Hukum
Suatu hal yang baru dalam UU No 12 Tahun 2011 adalah adanya peraturan
lain selain dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang sudah
disebutkan. Peraturan lain tersebut yakni mencakup peraturan yang ditetapkan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi
Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Kedudukan dan kekuatan hukum dari peraturan yang dibentuk lembaga-
lembaga/instansi tersebut diakui keberadaaannya dan mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan16
.
Kehadiran norma pasal 8 ini mengandung 3 aspek penting; pertama
memberikan kejelasan cakupan produk hukum lain di luar yang disebut dalam pasal 7,
sekaligus memberikan penegasan tentang status kekuatan hukum dan daya ikatnya.
16 Pasal 8 mengatur: (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi
Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-
Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2)
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan.
16 of 20
17. Penegasan ini sangat penting mengingat dalam tataran praktis empirik, terdapat
banyak produk hukum yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga dan badan yang berisi
norma hukum dan mengikat secara umum, misalnya berbagai peraturan yang
dikeluarkan oleh BI, MA, KPU, dan lain-lain17
.
Kedua, (sayangnya) rumusan pasal 8 tidak mencakup beberapa produk
peraturan atau keputusan yang dibuat secara bersama-sama oleh beberapa pihak yang
hingga saat ini masih lazim dipraktekkan misalnya surat keputusan bersama menteri
(SKB menteri). Hal ini menimbulkan setidaknya 2 persoalan turunan (derivative
problems), pertama bagaimana kedudukan hukum dan daya ikat SKB ? Kedua,
bagaimana mekanisme pengujian terhadap SKB ?
Terkait dengan kedudukan hukum dan daya ikat SKB, agaknya sulit untuk
mendefinisikannya, karena terdapat kontradiksi antara ketentuan pasal 1 angka 2
dengan pasal 8 ayat 1. Dari segi prasyarat materiil, SKB dapat dikategorikan sebagai
peraturan perundang-undangan, namun dengan mencermati ketentuan pasal 8 ayat (1),
maka terlihat bahwa ketentuan ini pada dasarnya membatasi jenis peraturan yang
dianggap sah dan memiliki kedudukan hukum diluar jenis peraturan yang dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1). Sehingga dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bentuk
peraturan bersama sebagaimana SKB tidak dapat dikategorikan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, sehingga layaknya harus dicabut.
Ketiga, rumusan pasal 8 ini juga masih cenderung kontradiktif dengan
penjelasan UU yang masih menyebut tentang produk peraturan yang dikeluarkan oleh
pejabat di bawah Menteri misalnya Dirjen, dan lain-lain18
.
C. Tidak dimuatnya norma kewenangan legislatif preview dan review Pemerintah
terhadap Perda.
Kewenangan pengujian (preview maupun review) Peraturan Daerah selama
ini diberikan kepada Pemerintah dan kewenangan ini diatur dalam UU Pemerintah
17 Rumusan norma pasal 1 angka 2 menyebutkan: Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis
yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
18 Penjelasan angka 213. Pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu Peraturan Perundang-undangan tidak
boleh didelegasikan kepada direktur jenderal, sekretaris jenderal, atau pejabat yang setingkat. Angka
214.Pendelegasian langsung kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat hanya dapat diberikan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang.
17 of 20
18. Daerah. Mengingat bahwa kewenangan tersebut secara substansi menyangkut atau
berkaitan dengan mekanisme pembentukan perundang-undangan, maka seharusnya
kewenangan tersebut dinyatakan/diatur dalam UU nomor 12 tahun 2011 ini.
VI. TANTANGAN KE DEPAN
Berbagai perubahan dan perbaikan yang diatur dalam UU nomor 12 tahun 2011
pada dasarnya membutuhkan treatment pendukung untuk memastikan bahwa misi yang
ingin dicapai dalam memperbaiki sistem pembangunan hukum dan perundang-udnangan
dapat dicapai.
Terkait dengan hal tersebut, kiranya perlu dicatat beberapa tantangan kedepan
yang harus diperbaiki:
a. Kesiapan Sistem. Kesiapan sistem ini sangat diperlukan untuk mendukung upaya
membangun sistem pembentukan perundang-undangan yang baik. Salah satu isu
penting yang perlu diperhatikan adalah pentingnya membangun dan memperbaiki
sistem informasi peraturan perundang-undangan yang computer and IT based,
terintegrasi dan accessable. Sistem informasi perundang-undangan ini telah mulai
diinisiasi di beberapa kementerian dan lembaga, namun belum sempurna dan belum
terintegrasi. Pembangunan sistem ini sangat penting untuk diprioritaskan guna
mencegah terjadinya overlapping dan mempermudah proses singkronisasi dan
harmonisasi rancangan peraturan.
b. Kesiapan SDM. Kesiapan SDM ini sangat penting untuk diperhatikan, baik di internal
lembaga pemerintahan dan parlemen, maupun di kalangan masyarakat. Peran serta
masyarakat dalam menyediakan SDM yang menguasai substansi isu-isu tertentu yang
akan menjadi materi pengaturan, sangat penting, dan hal ini dapat dibangun melalui
pool of expert. Di sisi lain, dalam konteks kesiapan SDM di lembaga pemerintahan
dan parlemen, keberadaan para ahli legal drafting sangat mendesak untuk dipenuhi.
c. Kesiapan anggaran. Perbaikan sistem pembentukan perundang-undangan yang salah
satunya dengan mewajibkan pembuatan naskah akademik dan pelibatan para ahli,
dismaping akan meningkatkan kualitas proses dan produk perundang-udangan,
tentunya akan berimplikasi pada membesarnya biaya pembentukan perundang-
undangan. Dalam hal ini, Pemerintah dan DPR harus menyadari dan menerjemahkan
18 of 20
19. kebutuhan ini dengan mempersiapkan anggaran yang memadai untuk pembentukan
perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Cet.1. Jakarta: Kontitusi Press,
2005.
Attamimi, A. Hamid S Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan
Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun waktu Pelita I - Pelita IV, Disertasi,
Jakarta : Universitas Indonesia, 1990
Black's Law Dictionary. 7th Edition 1999
Bagir Manan, Akibat Hukum di dalam Negeri Pengesahan Perjanjian Internasional (Tinjauan
Hukum Tata Negara). Focus Group Discussion tentang Status Perjanjian INternasional
dalam Sistem Hukum Nasional . Departemen Luar Negeri-Universitas Padjajaran, 29
November 2008
Der Vlies, I.C. van, Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving, ’s-Gravenhage:
Vuga, 1984
DPR RI, Laporan Singkat Panitia Khusus RUU tentang Pembentukan PEraturan Perundang-
undangan, tanggal 13 Desember 2010
Dicey, Albert Venn tahun Introduction to the Studi of the Law of the Constitution, 1855.
Djokosoetono, Ilmu Negara, Catatan Kuliah yang dihimpun oleh Harun Alrasid, 2006
Indrati, S, Maria Farida., Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Jakarta:
Kanisius
Friedman, Lawrence Meir, The Legal System, Russel Sage Foundation, 1987
19 of 20
20. Kusumaatmadja, Mochtar Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan. Bandung: PT. Alumni,
2002.
Kusumohamidjojo, Budiono, Suatu Studi terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina Tahun
1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, Bandung: Binacipta, 1986
INTERNET
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=225491, Senin, 27 April 2009, diakses tanggal
1 April 2012
PERUNDANG-UNDANGAN
UUD 1945
UU 12 Tahun 2011
UU 10 Tahun 2004
20 of 20