Dokumen tersebut membahas perkembangan sistem penegakan hukum pemilu di Indonesia selama dua dekade terakhir, yang antara lain mencakup perubahan undang-undang, ruang lingkup pelanggaran yang diatur, sanksi yang diberikan, dan kelembagaan yang menangani pemilu. Terdapat berbagai upaya perbaikan namun masih tersisa beberapa permasalahan seperti dominasi pendekatan sanksi pidana, keruwetan sistem penegakannya, keterbatasan
2. Dua dekade penyelenggaraan pemilu paska
rezim Orde Baru ini, tercatat beberapa kali
perubahan maupun penggantian kerangka
hukum/peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang pemilu maupun
pemilihan kepala daerah, untuk mengubah
dan memperbaiki beberapa aspek
pengaturan Pemilu.
Aspek kelembagaan penyelenggara pemilu
dan metode konversi suara menjadi kursi
menjadi bagian yang paling sering diubah
dalam beberapa kali revisi UU Pemilu.
Perubahan dan penggantian UU Pemilu dan UU
Pemilihan Kepala Daerah juga menjangkau perubahan
norma-norma yang berhubungan dengan penegakan
hukum pemilu.
Jika diklasifikasikan proses dan ruang lingkup
perubahan norma tersebut sejak Pemilu 1999-2019,
aspek-aspek pengaturan di sektor penegakan hukum
pemilu yang telah mengalami perubahan mencakup:
§ pembagian jenis-jenis pelanggaran dan sengketa
pemilu;
§ cakupan bentuk-bentuk pelanggaran dan sengketa
pemilu;
§ bentuk-bentuk sanksi pelanggaran pemilu;
§ mekanisme/ prosedur penegakan hukum dan
penyelesaian sengketa pemilu; serta
§ kewenangan lembaga penegakan hukum dan
penyelesaian sengketa pemilu.
4. 4
• Menambah pengaturan tentang ancaman
pidana bagi pelanggaran kampanye
sebagaimana diatur dalam pasal 76 ayat (1),
yang dalam UU Nomor 3 tahun 1999, hanya
diancam tindakan administrative berupa
pembubaran kegiatan kampanye.
• UU ini juga memperbanyak ragam bentuk
sanksi atas pelanggaran administrasi (Pasal 76
ayat (2), (4), Pasal 77 ayat (2)) dimana
penjatuhan sanksinya dilakukan oleh KPU.
• Pada aspek kelembagaan, UU ini mengubah
desain kelembagaan pengawas pemilu menjadi
kelembagaan yang dibentuk oleh KPU (pasal
120), dengan unsur keanggotaan yang terdiri
atas unsur kepolisian negara, kejaksaan,
perguruan tinggi, tokoh masyarakat, dan pers
(Pasal 124).
• Dimulainya pengaturan khusus tentang hukum
acara dalam penegakan hukum pemilu dengan
menganut prinsip speedy-trial meskipun secara
umum masih mengacu pada KUHAP (Pasal
131-133), serta pembedaaan antara sengketa
pemilu dengan sengketa hasil pemilu, dimana
sengketa hasil pemilu ditangani oleh Mahkamah
Konstitusi (Pasal 134).
• Norma pengaturan terkait ancaman pidana juga
mengalami pemekaran menjadi menjadi 4 pasal
yang terdiri atas 26 ayat (Pasal 137-140).
• Terjadi perkembangan norma pengaturan tentang sistem
penegakan hukum pemilu. Tugas pengawasan pemilu yang
diemban oleh Panitia Pengawas diatur secara spesifik mencakup
pula pengawasan terhadap kinerja KPU misalnya sebagaimana
diatur dalam Pasal 18. Perluasan obyek pengawasan ini merupakan
sebagai implikasi dari perdebatan hukum yang muncul pada
pemilu 2004 tentang apakah Panwaslu berwenang mengawasi
kinerja KPU.
• Meningkatkan sifat kelembagaan pengawas pemilu di tingkat
pusat menjadi permanen dalam bentuk Badan dan dipilih oleh
DPR, sedangkan pada tingkat di bawahnya tetap bersifat adhoc.
Unsur keanggotaannya diubah dengan menghilangkan unsur dari
Kepolisian dan Kejaksaan.
• UU ini juga memperluas cakupan pelanggaran administrasi dengan
menambahkan ketentuan tentang pelanggaran kampanye melalui
media penyiaran, dan memberikan wewenang kepada Komisi
Penyiaran dan Dewan pers untuk melakukan penegakan hukum
(Pasal 89-100).
• Di samping itu, UU ini juga mulai memperkenalkan pengaturan
tentang kode etik penyelenggara pemilu, dimana UU ini memberi
mandat kepada KPU dan Bawaslu untuk menyusunnya.
• UU ini juga memperjelas pengertian tentang pelanggaran
administrasi pemilu yang sebelumnya masih bersifat samar (Pasal
248), dan memberikan wewenang kepada KPU untuk memeriksa
dan memutusnya (Pasal 250).
• Sedangkan pada aspek pidana pemilu, UU ini mulai mengatur
secara lebih terperinci hukum acara pidana pemilu (pasal 253-
257), sehingga menjadi semakin kuat sifat lex-specialisnya.
• Norma pengaturan tentang ketentuan pidana pemilu berkembang
secara signifikan dengan jumlah pasal yang mengaturnya menjadi
51 pasal (pasal 260-311).
METAMORFOSA DESAIN PENEGAKAN HUKUM PEMILU
UU Nomor 3 tahun
1999
UU Nomor 12/2003
& UU 23/2003
UU Nomor 10 tahun 2008
6. Berbagai perubahan dan perbaikan tersebut masih menyisakan berbagai persoalan
mendasar jika diperhadapkan dengan pertanyaan fundamental dalam dunia hukum;
QUESTIONS
§ Apakah pengaturan tentang sistem hukum pemilu telah mampu menjamin adanya kepastian
hukum dalam pemilu?
§ Apakah pengaturan tentang sistem hukum pemilu telah mampu menjamin keteraturan (tertib
hukum) dalam pemilu?
§ Apakah pengaturan tentang sistem hukum pemilu telah mampu menjamin keadilan pemilu?
7. Residu Masalah
!
1. Dominasi Pendekatan Sanksi Pidana.
Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya jumlah norma yang mengatur bentuk tindak pidana dan ancaman sanksinya dalam UU
Pemilu.
• Norma pengaturan tentang bentuk tindak pidana pemilu dalam UU Nomor 3 tahun 1999 diatur ke dalam 2 pasal dan terdiri atas 14
ayat (Pasal 72 dan 73).
• UU Nomor 12 tahun 2003 norma pengaturan terkait ancaman pidana meningkat menjadi 4 pasal yang terdiri atas 26 ayat (Pasal
137-140).
• UU Nomor 10 tahun 2008 norma pengaturan tentang ketentuan pidana pemilu meningkat drastis menjadi berjumlah 51 pasal (pasal
260-311). Jumlah norma pengaturan tentang tindak pidana pemilu dalam UU Nomor 8 tahun 2012 sedikit menurun menjadi
berjumlah 48 pasal.
• Kenaikan jumlah Norma pengaturan tentang bentuk-bentuk tindak pidana pemilu kembali terjadi dalam UU Nomor 7 tahun 2017
yang berjumlah 66 pasal (Pasal 488-554).
Sanksi pidana yang pada dasarnya merupakan ultimum remidium justru terlihat diposisikan sebagai alat utama untuk mengancam
pihak-pihak yang melanggar dalam penyelenggaraan pemilu. Pengutamaan pendekatan sanksi pidana dalam pemilu ini layak untuk
diperdebatkan mengingat sebagai sebuah kompetisi politik, sanksi administrasi yang dapat berupa pembatalan status kepesertaan
pemilu hingga pembatalan status keterpilihan/kemenangan peserta pemilu-lah yang paling ditakuti oleh kontestan dalam pemilu.
Pidana badan dengan ancaman hukuman yang ringan, dengan alternatif denda, dan apalagi dibuka ruang bagi hukum percobaan tidak
akan mampu secara efektif memunculkan efek jera.
Di sisi lain, ketentutan pidana yang diatur dalam UU Pemilu masih banyak mengandung norma dan frasa yang sumir, beberapa bersifat
kepada delik materiil (misalnya ancaman pidana terkait penghilangan hak pilih yang membutuhkan pembuktian fakta hilangnya hak
pilih pada hari pemungutan suara), sehingga menyebabkan tiak semua norma ancaman pidana secara empirik dapat diproses oleh
Bawaslu.
8. Residu Masalah
!
2. Keruwetan Desain Sistem Penegakan Hukum Pemilu
Konstruksi desain sistem penegakan hukum pidana pemilu hingga saat ini masih sangat rumit, berlapis-lapis
dan terkesan saling mengunci sehingga sering menghasilkan bottleneck. Desain yang saat diterapkan masih
menggambarkan sangat banyaknya pintu birokrasi penegakan hukum Pemilu, terutama dalam penegakan
pidana Pemilu. Hal ini kurang sesuai dengan prinsip penegakan hukum pemilu yang sederhana, cepat, dan
bersifat binding.
Meskipun berbagai upaya perbaikan telah dicoba, misalnya dengan memasukkan unsur kepolisian dan
kejaksaan dalam lembaga pengawas pemilu pada tahun 2004, hingga membentuk sentra-gakkumdu pada
tahun 2009-2019, namun tidak ada jaminan hingga mampu memuluskan proses penanganan pidana pemilu
yang diberi jangka waktu penyelesaian yang sangat pendek. Dalam konteks penegakan hukum pidana pemilu,
acapkali terjadi ketidaksepahaman antar lembaga yang berwenang mengkaji dan membawa dugaan
pelanggaran pidana pemilu ke pengadilan yang mencakup Bawaslu, Penyidik, dan Penuntut. Keberadaan
Sentra-Gakkumdu yang diharapkan menjadi forum koordinasi antar ketiga representasi lembaga Bawaslu,
Kepolisan, dan Kejaksaan sering gagal berperan dengan baik, keputusan yang telah diambil di forum Sentra-
Gakkumdu tak jarang kandas di proses penyidikan atau pada saat proses penuntutan.
9. Residu Masalah
!
3. Limitasi Waktu Penanganan Pelanggaran Pemilu.
Pembatasan waktu yang limitatif dalam penanganan pelanggaran dan sengketa pemilu
yang berlaku secara nasional sebagai konsekuensi dari penerapan asas speedy-trial,
menimbulkan tantangan di wilayah kepulauan maupun wilayah lain yang terkendala
secara geografis.
Hal ini mengakibatkan cukup banyaknya kasus yang tidak dapat diselesaikan karena
terkendala limitasi waktu yang berpadu dengan kondisi geografis. Bawaslu maupun
penyidik dan penuntut kesulitan melengkapi alat bukti, para pihak juga terkendala dalam
menyediakan bukti-bukti pendukung dalam perkara yang dihadapi. Kasus yang diteliti oleh
Bawaslu Provinsi Maluku menunjukkan kerumitan dan tantangan yang dihadapi oleh
penegak hukum pemilu di wilayah kepulauan dan memiliki keterbatasan sarana
komunikasi dan transportasi dalam memenuhi tenggat waktu yang diatur ketat dalam UU
Pemilu.
10. Residu Masalah
!
4. Ketidakjelasan pembagian kewenangan antar lembaga peradilan yang menangani perkara terkait pemilu.
Hal ini diperparah dengan “kegenitan” para pihak yang berperkara dalam menempuh upaya hukum dengan
mengajukan gugatan kepada seluruh lembaga peradilan dan jalur yang tersedia. Seringkali para pihak dan
pengacaranya melapor ke Bawaslu, kepolisan, DKPP, dan mengajukan gugatan perdata secara bersamaan,
bahkan terhadap perkara yang sudah diputus oleh suatu lembaga yang berwenang, masih juga digugat
melalui pintu lain.
Proses penanganan pelanggaran administrasi yang telah berujung pada keluarnya Putusan Bawaslu dan
dilaksanakan oleh KPU, terkadang menghadapi tantangan oleh keluarnya putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) yang berawal dari gugatan terhadap Keputusan KPU yang dibuat dalam rangka menjalankan
Putusan Bawaslu. Demikian juga ruang lingkup wewenang dalam penanganan pelanggaran administrasi pada
tahapan rekapitulasi suara yang cenderung dan berpotensi tumpang tindih dengan kewenangan MK dalam
memutus Perselisihan Hasil Pemilu karena hasil dari Putusan Bawaslu terkait pelanggaran administrasi pada
tahapan rekapitulasi suara ini dapat berakibat pada berubahnya perolehan suara dan hasil Pemilu.
Fenomena “too many rooms to justice” ini menimbulkan tumpang tindih putusan yang pada akhirnya
menimbulkan ketidakpastian hukum dan terlanggarnya hak peserta pemilu.
11. Residu Masalah
!
5. Masih adanya problem normatif, berupa:
• Kekosongan hukum (misalnya norma aturan tentang tata cara penyusunan DP4);
• Ketidaksinkronan norma (misalnya UU Pemilu dengan UU Pemilihan Kepala Daerah);
• Norma yang tidak executable;
• Norma yang tidak proyektif; dan
• Norma yang tidak ajeg (sering berubah-ubah).
Berbagai masalah ini menunjukkan adanya permasalahan, salah
satunya dipicu oleh tiadanya Policy Impact Analysis, sehingga
kerangka hukum pemilu banyak yang tidak dapat dilaksanakan secara
efektif.
12. Skema Electoral Justice System
!
Electoral Justice
Prevention EDR System Alternative EDR
Corrective Punitive
FORMAL
INFORMAL
EDR= Electoral Dispute Resolution
13. “
13
Model dan desain EJS masih menjadi perdebatan, baik dalam
tataran teoritis maupun empiris.
Beberapa isu yang kerap diperdebatkan antara lain:
§ pendekatan dalam sistem penghukuman antara rezim
hukuman administrasi atau pidana;
§ model kelembagaan penegakan hukum dan peradilan
pemilu;
§ prosedur penegakan hukum pemilu;
§ serta alternative EDR system.
14. Perdebatan di lingkup ini pada umumnya terkait dengan:
§ perlu tidaknya pelanggaran pidana pemilu diperlakukan secara khusus dengan menggunakan
prinsip speedy trial ataukah cukup ditangani melalui sistem peradilan umum (dalam rangka
memberikan penghukuman kepada pelaku) namun disertai tindakan koreksi administrasi
secara cepat untuk memulihkan hak-hak dari pihak yang dirugikan?
§ Pendekatan dalam penghukuman terhadap pelanggaran pemilu. Apakah pendekatan
penghukuman badan (pidana) bagi pelanggaran pemilu perlu diterapkan secara luas dan diatur
secara khusus dalam UU Pemilu? Ataukah pendekatan penghukuman atas pelanggaran pemilu
lebih baik diarahkan kepada pendekatan penghukuman secara administratif saja? Ataukah
pendekatan penghukuman atas pelanggaran pemilu diutamakan menggunakan pendekatan
penghukuman secara administrasi secara luas, sedangkan terkait dengan pelanggaran yang
mengandung unsur kejahatan diterapkan sistem penghukuman pidana namun dengan
mengacu kepada prosedur pidana umum? Perdebatan pada aspek ini sangat berhubungan
dengan refleksi terkait efektifitas penghukuman dalam konteks menimbulkan efek jera, dimana
dalam konteks kontestasi pemilu, pendekatan penghukuman secara administrasi dinilai lebih
kuat dalam menimbulkan efek jera.
15. Lanjutan…
§ Perdebatan tersebut di atas menimbulkan implikasi pada desain kelembagaan peradilan yang
menangani pelanggaran pemilu, apakah penanganan pelanggaran pemilu dilaksanakan oleh
lembaga peradilan umum di bawah supreme court (mahkamah agung), ataukah penanganan
pelanggaran pemilu dilaksanakan oleh hakim khusus di bawah lembaga peradilan umum di
bawah supreme court, ataukah penanganan pelanggaran pemilu dilaksanakan oleh lembaga
peradilan khusus pemilu di bawah supreme court, ataukah penanganan pelanggaran pemilu
dilaksanakan oleh lembaga semi-peradilan (quasi juducial), ataukah penanganan pelanggaran
pemilu dilaksanakan oleh lembaga peradilan konstitusi.
§ Perdebatan pada aspek kelembagaan ini sangat berkaitan juga dengan jenis perkara yang
ditangani oleh kelembagaan peradilan tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa
jenis pelanggaran dan sengketa pemilu yang pada umumnya diatur dalam kerangka hukum
pemilu di masing-masing negara, antara lain pelanggaran administrasi pemilu, pidana pemilu,
dan sengketa pemilu. Apakah lembaga peradilan umum mengadili seluruh bentuk pelanggaran
pemilu, atau terbatas pada jenis pelanggaran pidana pemilu saja? Apakah lembaga peradilan
konstitusi mengadili seluruh bentuk pelanggaran pemilu, atau terbatas pada perselisihan hasil
pemilu saja? Ataukah dilakukan pembedaan jenis pelanggaran dan sengketa yang ditangani
oleh masing-masing jenis lembaga peradilan dan quasi judicial?
16. 1. Politik hukum dalam penyusunan desain sistem penegakan hukum Pemilu perlu diarahkan pada: mengoptimalkan
koreksi administrasi terhadap akibat yang muncul dari tindakan pelanggaran hukum pemilu guna memulihkan hak-
hak peserta pemilu dan masyarakat serta mengembalikan integritas proses dan hasil pemilu; mengoptimalkan
munculnya efek jera; serta mendorong munculnya sistem penegakan hukum pemilu yang sederhana, cepat, dan
berbiaya murah.
2. Mendorong prioritasisasi pendekatan sanksi administrasi dalam penegakan hukum pemilu dalam rangka
memulihkan hak peserta pemilu dan masyarakat serta meningkatkan efek jera bagi para pelanggarnya. Bentuk sanksi
diarahkan kepada hukuman yang bersifat mengurangi hak peserta pemilu dalam mengikuti tahapan-tahapan
tertentu, menghilangkan hak kepesertaan dalam Pemilu, hak untuk ditetapkan sebagai calon terpilih, bahkan hak
untuk mengikuti Pemilu berikutnya.
3. Prioritasisasi pendekatan sanksi administratif ini bukan berarti menghilangkan ketentuan ancaman pidana,
melainkan menyederhanakan ketentuan pidana dan memberlakukan hukum acaranya di bawah rezim KUHAP.
Dengan demikian proses penegakan hukum pidana dalam Pemilu tidak perlu lagi dibatasi oleh tenggat waktu yang
ketat.
4. Mendorong agar setiap ancaman pidana yang terkait dengan Pemilu dihubungkan dengan sanksi administrasi dalam
rangka meningkatkan efek jera kepada para pelaku.
5. Mendorong penyatuan sistem peradilan Pemilu di bawah otoritas satu lembaga saja, dan sebagai konsekwensinya
menghilangkan kompetensi lembaga peradilan lainnya untuk memeriksa dan memutus perkara yang terkait dengan
Pemilu. Tentunya sistem peradilan yang dimaksudkan di sini adalah sistem peradilan di luar penyelesaian
perselisihan hasil pemilu yang telah diatur dalam UUD 1945.
REKOMENDASI