1. Kajian ini membahas penerapan larangan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara dan petahana selama proses pemilihan kepala daerah berdasarkan Pasal 71 UU No 1 Tahun 2015.
2. Terdapat beberapa persoalan hukum terkait ruang lingkup subyek hukum, definisi penggantian pejabat, dan unsur menguntungkan/merugikan.
3. Tujuan penelitian ini adalah merumuskan kembali elemen pelang
1. 1
KAJIAN HUKUM
PENERAPAN PASAL 71 UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015
DALAM PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR, BUPATI DAN WAKIL
BUPATI SERTA WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA
Ahsanul Minan, MH
Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia
Kajian ini disusun bersama Bawaslu RI
JAKARTA, JUNI 2018
2. 2
BAGIAN I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasal 71 UU nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota mengatur tentang 2 hal penting yakni pertama larangan bagi Pejabat negara,
pejabat aparatur sipil negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah untuk membuat
keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama
masa Kampanye; dan kedua larangan bagi petahana untuk melakukan penggantian pejabat
serta menggunakan program dan kegiatan Pemerintahan Daerah untuk kegiatan Pemilihan 6
(enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir. Senada dengan larangan melakukan
penggantian jabatan, Gubernur, Bupati, dan Walikota terpilih juga dilarang melakukan
penggantian pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan sejak dilantik.
Larangan sebagaimana dimaksud Pasal 71 ayat (1), (2) dan (3) disertai pula dengan
2 jenis ancaman sanksi.
Pertama; ancaman sanksi pidana sebagaimana diatur dalam:
a. Pasal 187 ayat (6) yang mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja menerima
atau memberi dana Kampanye dari atau kepada pihak yang dilarang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) dan/atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)
bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
b. Pasal 188 yang mengatur bahwa Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara,
dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
600.000,00 (enam ratus ribu
rupiah) atau paling banyak Rp
6.000.000,00 (enam juta
rupiah).
c. Pasal 190 yang mengatur
bahwa Pejabat yang
melanggar ketentuan Pasal 71
ayat (2) atau Pasal 162 ayat
(3), dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu)
bulan atau paling lama 6
(enam) bulan dan/atau denda
CATATAN: ancaman sanksi pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 187 menunjukkan keanehan, karena pada dasarnya
ancaman pidana dalam pasal ini berkaitan dengan laporan dana
kampanye sebagaimana dijelaskan dalam frasa “setiap orang
yang dengan sengaja menerima atau memberi dana Kampanye
dari atau kepada pihak yang dilarang dengan merujuk Pasal 76
ayat (1)”, namun selanjutnya menyebut “tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud pada Pasal 71, sedangkan
Pasal 71 tidak mengatur tentang dana kampanye. Hal ini
menunjukkan adanya kemungkinan bahwa rujukan pasal 71 di
dalam rumusan pasal 187 ini terjadi kesalahan. Oleh karena itu,
ancaman pidana dalam Pasal 187 ini tidak akan dibahas lebih
lanjut dalam restatement ini.
3. 3
paling sedikit Rp 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp
6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Kedua: ancaman sanksi administrasi. Bagi petahana yang melanggar larangan
tersebut, dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam ayat (4).
Dibandingkan dengan UU yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah
sebelumnya yakni UU Nomor 32 tahun 2004, ketentuan mengenai larangan bagi Pejabat
negara, pejabat aparatur sipil negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah untuk
membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon
selama masa Kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 71 ayat (1), juga telah diatur dalam
UU Nomor 32 tahun 2004 Pasal Pasal 80 yang mengatur bahwa Pejabat negara, pejabat
struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa dilarang membuat keputusan
dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama
masa kampanye. Dengan demikian, pada dasarnya tidak ada hal baru.
Namun berbeda dengan ketentuan Pasal 71 ayat (2) dan (3) yang mengatur tentang
larangan bagi petahana, hal ini tidak diatur dalam UU Nomor 32 tahun 2004, sehingga
ketentuan ini merupakan ketentuan yang baru. Kebaruan norma pengaturan ini terletak pada
2 aspek; pertama adanya frasa petahana yang secara teknis tidak dijelaskan secara rinci
dalam UU nomor 1 tahun 2015, sehingga menjadi kurang jelas bagi para pembaca, pelaksana
dan penegak hukum tentang ruang lingkup subyek hukum petahana ini. Aspek kebaruan
kedua adalah norma pengaturan tentang penyalahgunaan jabatan yang mencakup larangan
untuk melakukan penggantian pejabat dan menggunakan program dan kegiatan Pemerintahan
Daerah untuk kegiatan Pemilihan oleh petahana 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya
berakhir.
Norma pasal 71 ini berpotensi menimbulkan beberapa kesulitan di tingkat
pelaksanaan hukum di lapangan. Hal ini disebabkan oleh karena adanya beberapa faktor:
pertama, keterbatasan penjelasan dalam UU Pemilu dan Pilkada atas kata yang dipergunakan
dalam penyebutan jenis jabatan yang dilarang untuk melakukan tindakan hukum tertentu.
Misalnya, definisi petahana, apakah status petahana hanya berlaku bagi petahana yang akan
mencalonkan diri di lokasi pemilihan yang sama atau juga berlaku bagi petahana yang akan
mencalonkan diri di lokasi pemilihan yang berbeda?
Kedua, keterbatasan penjelasan atas istilah yang dipergunakan untuk menyebutkan
jenis perbuatan hukum tertentu yang dilarang. Contoh “menguntungkan” atau “merugikan”,
“penggantian”, “program dan kegiatan”. Di samping tidak adanya penjelasan terminologis
atas frasa-frasa tersebut dalam UU Pemilu dan UU Pemilihan, tidak diatur pula kriteria-
kriteria yang bermanfaat untuk mengkonstruksikan pemaknaan atas istilah-istilah tersebut.
Berbagai persoalan tersebut di atas sangat penting untuk dibuat terang, karena akan
sangat mempengaruhi kinerja aparat pengawas pemilu dalam menjalankan tugas pengawasan
dan penindakan terkait dengan penegakan ketentuan Pasal 188 dan Pasal 190. Oleh
karenanya, dalam rangka membuat terang persoalan ini, perlu disusun penjelasan hukum
4. 4
(restatement) ini agar dapat menjadi dasar pijak bagi aparat pengawas pemilu, dan mungkin
juga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi penegak hukum lainnya.
B. Problematika (Topik Kajian)
Permasalahan hukum dalam pasal 71 jo Pasal 188 dan Pasal 190 yang akan dibahas
pada dasarnya menyangkut sebuah isu utama yakni penyalahgunaan wewenang dalam proses
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Larangan praktek penyalahgunaan wewenang ini
dibatasi pada jenis perbuatan hukum tertentu yang terdiri atas:
Pembuatan keputusan dan/atau pelaksanaan tindakan yang menguntungkan atau
merugikan pasangan calon kepala daerah tertentu sebagaimana diatur dalam pasal 71 ayat
(1), serta menggunakan program dan kegiatan Pemerintahan Daerah untuk kegiatan
Pemilihan sebagaimana diatur dalam pasal 71 ayat (3)
Penggantian pejabat oleh petahana (yang akan mencalonkan diri kembali dalam
pemilihan kepala daerah) 6 bulan sebelum pemilihan sebagaimana diatur dalam Pasal 71
ayat (2).
Dalam pelaksanaanya di lapangan, praktek dugaan pelanggaran hukum terkait Pasal
71 ini sulit untuk ditegakkan secara efektif, karena adanya kekaburan ruang lingkup
pemaknaan dari norma tersebut, sehingga dalam tataran praksis menyulitkan bagi jajaran
pengawas pemilu untuk menegakkan aturan ini.
Dalam rangka membuat terang persoalan ini, maka perlu dilakukan kajian hukum
atas beberapa masalah berikut ini:
1. Mengenai subyek hukum. Terkait dengan subyek hukum ini, setidaknya terdapat 2 hal
yang perlu diperjelas; pertama siapa yang dimaksud dengan pejabat ASN ? apakah hanya
mencakup jabatan pimpinan tinggi? Kedua, siapa yang dimaksud dengan petahana?
Apakah semua orang yang sedang menjabat sebagai kepala daerah pada saat pilkada
berlangsung? Ataukah termasuk juga kepala daerah yang mengundurkan diri beberapa
saat sebelum pilkada berlangsung?
2. Mengenai perbuatan hukum penggantian pejabat sebagaimana diatur dalam pasal 71 ayat
(2). Apakah istilah “penggantian” ini mencakup penurunan jabatan (demosi) saja, ataukah
juga termasuk peningkatan jabatan (promosi), perpindahan jabatan dari jabatan yang
strategis ke jabatan yang tidak strategis (mutasi)?
3. Mengenai unsur “menguntungkan atau merugikan”, apakah merupakan delik formil
ataukah delik materiil? Di sisi lain, juga menjadi pertanyaan hukum, apa ukuran
menguntungkan dan merugikan? Apa saja ruang lingkup bentuk keputusan atau
tindakannya?
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan yang hendak
dijawab dalam melakukan perumusan ulang unsur unsur pelanggaran politik uang, yakni
sebagai berikut:
5. 5
1. Apa ruang lingkup subyek hukum pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan Kepala
Desa atau sebutan lain dan petahana sebagaimana diatur dalam Pasal 71 ayat (1), (2) dan
(3)?
2. Apakah kata “penggantian” sebagaimana diatur dalam pasal 71 ayat (2) mencakup
penurunan jabatan (demosi) saja, ataukah juga termasuk peningkatan jabatan (promosi),
perpindahan jabatan dari jabatan yang strategis ke jabatan yang tidak strategis (mutasi)?
3. Apakah ruang lingkup perbuatan melawan hukum dalam konteks “menguntungkan” atau
“merugikan” (Pasal 71 ayat (1)), “program dan kegiatan” (Pasal 71 ayat (3)) ?
4. Apakah yang dimaksud dengan unsur “menguntungkan” atau “merugikan” dalam praktik
penyalahgunaan wewenang dapat dibuktikan sejak awal terjadinya tindakan pidana, atau
dengan kata lain merupakan delik formil atau delik materiil? apa ukuran menguntungkan
dan merugikan? Apa saja ruang lingkup bentuk keputusan atau tindakannya?
D. Maksud dan Tujuan
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendefinisikan ulang terhadap unsur unsur
pelanggaran politik uang dalam Undang-Undang Pilkada. Adapun tujuan dalam
pendefinisian ulang ini adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan rumusan tentang ruang lingkup subyek hukum Pejabat negara, pejabat
aparatur sipil negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan Petahana sebagaimana
diatur dalam Pasal 71 ayat (1), (2) dan (3).
2. Mendapatkan rumusan tentang ruang lingkup perbuatan melawan hukum dalam konteks
“menguntungkan” atau “merugikan” (Pasal 71 ayat (1)), penggantian (Pasal 71 ayat (2)),
“program dan kegiatan” (Pasal 71 ayat (3)).
3. Mendapatkan rumusan tentang unsur “menguntungkan” atau “merugikan” dalam praktik
penyalahgunaan wewenang khususnya proses pembuktiannya.
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini akan menjadi bahan kajian akademik sehingga bisa menjadi salah
satu rujukan bagi jajaran pengawas pemilu terkait pelaksanaan pasal 71 jo Pasal 188 dan
Pasal 190.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan cara menelaah dan menginterpretasikan hal-hal
yang bersifat teoritis menyangkut asas, doktrin, konsep dan norma hukum. Telaah ini
berkaitan dengan unsur-unsur netralitas dan penyalahgunaan wewenang dalam Pemilihan
Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 71 jo Pasal 188 dan Pasal 190.
Pendekatan yang dipakai menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
aproach) dan pendekatan kasus (case aproach). Pendekatan perundang-undangan digunakan
untuk mengetahui keseluruhan peraturan hukum menyangkut pengaturan netralitas pejabat
negara, ASN, Kepala Desa dan Perangkat Desa dan penyalahgunaan wewenang. Sedangkan
6. 6
pendekatan kasus digunakan untuk mempelajari dan melihat bagaimana praktik penerapan
norma dalam penanganan perkara pidana pemilu khususnya menyangkut kasus netralitas
pejabat negara, ASN, Kepala Desa dan Perangkat Desa dan penyalahgunaan wewenang yang
telah diputus oleh pengadilan.
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Adapun bahan hukum primer yang digunakan
adalah peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan terkait kasus netralitas pejabat
negara, ASN, Kepala Desa dan Perangkat Desa dan penyalahgunaan wewenang. Sedangkan
bahan hukum sekunder melingkupi literatur terkait khususnya menyangkut politik uang dan
kajian kajian terdahulu tentang netralitas pejabat negara, ASN, Kepala Desa dan Perangkat
Desa dan penyalahgunaan wewenang.
Adapun bahan hukum primer yang akan digunakan adalah sebagai berikut:
1. Peraturan Perundang-Undangan:
UUD 1945
Perpu No. 1 Tahun 2014
UU No. 1 Tahun 2015
UU No. 8 Tahun 2015
UU No. 10 Tahun 2016
UU No. 5 tahun 2014 tentang ASN
UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI
UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
UU No. 8 Tahun 2012
Peraturan KPU Nomor 9 tahun 2015
Peraturan Mendagri Nomor 73 tahun 2016 tentang Pendelegasian Wewenang
Penandatanganan Persetujuan Tertulis Untuk Melakukan Penggantian Pejabat
Di Lingkungan Pemerintah Daerah
2. Putusan Pengadilan:
Putusan Pengadilan Negeri Bima No 1/Pid.sus/2018/PN RBI
Putusan Pengadilan Negeri Palopo No 2/Pid.S/2018/PN Plp
7. 7
BAGIAN II. ANALISA
1. Kajian Teori
Kajian teori ini akan difokuskan kepada 2 hal; pertama kajian teoritik atas konsep
netralitas pegawai pemerintah atau ASN atau civil servant/civil service, serta kajian teoritik
atas konsep abuse of power dalam pemilu. Kajian teoritik atas 2 isu ini akan digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam mengkonstruksikan rumusan unsur dan keterpenuhannya
terkait dengan pembuktian ancaman pidana.
Kedua, kajian teoritik atas beberapa terminologi yang secara spesifik dipergunakan
dalam norma pasal 71 yang mencakup antara lain; keputusan atau tindakan yang
menguntungkan atau merugikan, penggantian pejabat, penggunaan program dan kegiatan
pemerintahan, serta petahana. Kajian teoritik atas beberapa terminologi ini akan
dipergunakan untuk memaknai secara teknis terminologi-terminologi yang dipergunakan
dalam rumusan norma UU dan ancaman pidananya terkait dengan Pasal 71, pasal 188, dan
pasal 190.
1. Civil Service and Politicivil servant
Pada bagian ini, akan dibahas 2 isu utama, pertama terkait dengan konsep
netralitas pegawai pemerintah/civil servant (dalam konteks hukum Indonesia civil
servant mencakup ASN, TNI, POLRI), dan bagaimana pola hubungan antara civil
servant dengan pimpinan institusi yang berasal dari politisi baik unsur elected official
atau politically appointed officials. Pola hubungan ini menjadi sangat penting untuk
diulas karena pada umumnya hal ini menjadi penyebab utama munculnya mobilisasi
dukungan politik di kalangan civil servant. Konsepsi ini perlu diulas karena merupakan
prinsip yang ingin ditegakkan melalui ketentuan Pasal 71 ayat (1). Dan kedua konsepsi
tentang abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan yang merupakan prinsip yang
diatur dalam pasal 71 ayat (2) dan (3).
a) Netralitas Civil Servant
Pengertian Civil Service atau civil servant merupakan sebuah termonologi
politis yang dipahami berbeda di berbagai negara. Parris mendefinisikan civil
servant sebagai “a body of full-time, salaried officers, systematically recruited, with
clear lines of authority, and uniform rules on such questions as superannuation”1.
Sistem manajemen public servant dibingkai dalam kerangka sitem
birokrasi, yang oleh Max Weber didefinisikan sebagai sebuah sistem administrasi
yang dibangun di atas professionalisme pegawai yang dipandu oleh aturan main
yang jelas.2 Beetham3 menyebutkan salah satu dari 4 cirinya adalah focus on
1 Parris,H.(1969). Constitutional bureaucracy. The development of British central administration since the
eighteenth century. London: George Allen & Unwin., hal 22
2 Weber, M. (2007).Bureaucracy,dalam J. M. Shafritz& A. C. Hyde (Eds.), Classicsof public administration (pp.
43-48). Boston, MA: Thomson Wadsworth.
8. 8
expertise where officials are hired on merit and trained for the tasks. Dengan
demikian, professionalisme menjadi kata kunci bagi civil servant.
Dalam rangka mewujudkan birokrasi dan civil servant yang professional,
diperlukan kerangka hukum yang secara tegas mengatur “responsibilities, liabilities,
duties and rights of those who execute the powers of the state, manage public funds
or provide the services of the state to the public.”4 OECD mengidentifikasi 4 “best
practices” tentang tujuan pengaturan hukum terkait dengan civil servants; salah
satunya adalah bahwa kerangka hukum harus mendorong kualitas professionalisme
pegawai dalam rangka meningkatkan kinerja, menjamin independensi pegawai dan
melindungi mereka dari abuse of power dan bentuk mismanajemen lainnya, serta
mendorong terbangunnya standard etik dalam public administration.5
Di samping kerangka hukum yang mendukung professionalisme,
independensi, dan standard etik, pendekatan lain yang banyak digunakan di berbagai
negara termasuk di Indonesia adalah pembentukan lembaga independen yang
menangani manajemen civil servant dibandingkan dengan menempatkan fungsi
manajemen civil servant ini di bawah sayap politik lembaga eksekutif -meskipun hal
ini masih menjadi perdebatan. Kelompok yang tidak menyetujui pengelolaan civil
servant di bawah komisi independen beranggapan bahwa “executive leaders,
needing to consider their own re-election, their prestige, and their performance, feel
a need to gain control of the instruments of governance”6. Sharpe menyatakan
bahwa meskipun banyak pemerintah harus mengkompromikan regulasi terkait
manajemen civil servant, namun prinsip untuk menjaga netralitas civil servant secara
umum diterima7.
Dalam rangka menjaga netralitas ini, maka beberapa hak yang dimiliki oleh
masyarakat umum perlu dibatasi untuk dipergunakan oleh pegawai pemerintah.
Secara umum, hak-hak politik ini antara lain: hak untuk melakukan kegiatan politik8
yang mencakup: hak untuk memberikan suara dalam pemilu; hak untuk bergabung
dan menjadi anggota partai politik; hak untuk menjadi pengurus atau pimpinan partai
politik; hak untuk mengikuti kegiatan atau pertemuan politik; hak untuk mendukung
atau menolak calon atau partai tertentu; hak untuk mengikuti pawai atau kampanye;
hak untuk menjadi delegasi dalam konvensi partai politik; hak untuk ikut
menyumbang dana kampanye calon atau partai politik; ikut melakukan canvassing;
3 Beetham, D. (1996). Bureaucracy (2nd ed.). Minneapolis, MN: University of Minnesota Press , hal 9
4 Cardona (2002, p. 2)
5 Organisation for Economic Co-operation and Development. (1996). Civil service legislation contents checklist.
SIGMA Papers No. 5. Paris: OECD/SIGMA, hal 6
6 Suleiman,E. (2003). Dismantlingdemocratic states.Princeton,NJ: Princeton University Press ,hal 214
7 Sharpe, J. (1993).The relationship between parliamentand the civil service.The Parliamentarian.Journal of
the Parliaments of the Commonwealth, 74(4), hal.219
8 Kernaghan, K. (1986). Political rights and political neutrality: Finding the balance point. Canadian Public
Administration, 29(4), 639-40.
9. 9
mengikuti kegiatan di TPS ssebagai pendukung atau saksi peserta pemilu; membantu
transportasi pemilih dari rumah ke TPS sebagai bentuk dukungan kepada calon atau
partai politik tertentu; turut mendistribusikan bahan kampanye; menggunakan atribut
kampanye atau partai politik; atau memasang atribut kampanye di rumah mereka.
Di samping itu, dalam rangka menjaga netralitas pegawai pemerintah,
mereka juga hendaknya tidak terlibat dalam memberikan komentar kepada khalayak
(tidak menggunakan hak engage in public comment). The right to engage in public
comment adalah hak untuk berbicara atau menyatakan pendapat terkait dengan
masalah-maslah yang menjadi kontroversi politik atau terkait kebijakan
pemerintah”9
Tidak dapat disangkal bahwa terdapat beberapa keberatan atas pembatasan
hak pegawai pemerintah untuk melakukan kegiatan politik dan hak untuk engage in
public comment, namun terdapat satu argumen yang tidak dapat ditolak bahwa
pemberian hak tersebut akan bertabrakan dengan hak masyarakat untuk menikmati
layanan publik yang tidak bias politik10. Pembatasan hak kepada pegawai
pemerintah “are reasonable limits in a free and democratic society”11 and political
rights “should only be lawfully restricted in so far as it is necessary for the proper
exercise of their public function”.
Mosher 12
menyatakan bahwa pembatasan hak civil servant dapat dilakukan
untuk memastikan berjalannya pembangunan sistem demokrasi melalui peneguhan
integritas civil servant dan juga untuk mencegah penyalahgunaan wewenang (abuse of
power) dan konflik kepentingan. Meyer-Sahling juga menyatakan pendapat serupa
bahwa untuk menjaga etos professionalisme di kalangan civil servant, maka pembatasan
atas hak-hak civil servant dapat dilakukan di dalam sebuah masyarakat yang
demokratis13
.
9 Kernaghan, K. (1986). Political rights and political neutrality: Finding the balance point. Canadian Public
Administration, 29(4), 640-22.
10 Kernaghan, K., & Langford, J. W. (1990).The responsiblepublic servant.Halifax:TheInstitute for Research
on Public Policy,hal.61
11 Op.Cit, hal 62
12 Mosher, F. C. (1982). Democracy and the public service. New York: Oxford University Press, hal. 23
13 Meyer-Sahling, J.-H. (2009). Sustainability of civil service reforms in central and eastern Europe five years
after EU accession, SIGMA Papers, No. 44, OECD Publishing, hal 60.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan teoritik tersebut, maka netralitas pejabat publik dan
civil servant (ASN) menjadi sebuah keniscayaan dalam praktek pemerintahan yang
demokratis, dan sebagai konsekwensinya, pejabat publik dan civil servant (ASN) dilepaskan
beberapa hak individualnya terkait dengan aktifitas politik. Hal ini memperkuat dasar
argumentatif bagi larangan yang diatur dalam pasal 71 dan beberapa norma ketentuan dalam
UU ASN, UU TNI, UU Polri, dan Surat Edaran MenPAN yang membatasi hak pejabat publik
dan ASN dalam menjalankan aktifitas politik praktis.
10. 10
b) Pola hubungan Civil Servant dan Politik
Jika prinsip netralitas civil servant telah menjadi common principle yang
diterima secara luas, lain halnya dengan model pengaturan teknis mengenai pola
hubungan antara civil servant dengan politik, sebagai implikasi dari penerapan sitem
demokrasi dalam pemilihan kepala eksekutif dengan manajemen administrasi
pemerintahan. Salah satu hal yang tidak dapat diabaikan adalah bahwa civil servant
merupakan salah satu elemen penting dalam sebuah proses demokratisasi.
Dalam perkembangannya, terdapat perubahan dalam sistem dan
kelembagaan pemerintahan yang telah menerima dan menjalankan praktek
demokrasi, dimana pegawai pemerintah harus mau bekerja di bawah pimpinan yang
dipilih melalui proses politik (pemilu), maupun politically appointed. Dalam situasi
demikian, pegawai pemerintah diharuskan untuk bersikap netral: mereka “should
avoid activities likely to impair or to seem to impair, their political impartiality or
the political impartiality of the public service”14.
Sistem demokrasi memiliki fitur bagi rakyat untuk mendelegasikan
mandatnya kepada wakil mereka (di lembaga eksekutif dan legislatif). Sementara itu,
civil servant bertugas untuk melaksanakan policies yang dibuat oleh elected
representatives tersebut. Dengan demikian, dalam kerangka akuntabilitas, maka civil
servant bertanggung jawab kepada elected representatives -dimana selanjutnya mereka
bertanggung jawab kepada rakyat. Dengan kata lain, civil servants secara birokratis
bertanggungjawab kepada elected officials, dan elected officials secara politis
beranggung jawab kepada pemilih15
.
Dalam konteks tersebut, melindungi civil servants dari kontrol langsung
kekuatan politik dan menjadikannya akuntabel merupakan salah satu agenda penting
dalam demokratisasi, karena melalui birokrasilah pemimpin politik akan menggunakan
kekuasaannya. Menurut pandangan tradisional, pimpinan eksekutif yang dipilih (elected
official) harus menjalankan kepemimpinan birokrasi secara professional dalam
menyiapkan dan menjalankan kebijakan publik16
sesuai dengan agenda pemerintah; dan
memastikan bahwa civil servant bekerja dengan baik sesuai dengan koridor peraturan
perundang-undangan17
. Di samping itu, civil servants juga harus diberi otonomi relatif
dari elected official dalam konteks manajemen kepegawaian, namun tetap akuntabel
terhadap hukum dan penegakan hukum (di pengadilan dan DPR).
14 Kernaghan, K., & Langford, J. W. (1990). The responsible public servant. Halifax: The Institute for Research on
Public Policy, hal 56
15 Hughes, O. E. (2012).Public management and administration.An introduction (4th ed.). Basingstoke,UK:
PalgraveMacmillan.
16 Christensen,T., & Lægreid, P. (2004).The fragmented state - the challenges of combiningefficiency,
institutional norms and democracy (Workingpaper 3). Stein Rokkan Centre for Social Studies ,hal.10
17 Prebble, M. (2010). With respect. Parliamentarians,officials,and judges too. Wellington,New Zealand:
Institute of Policy Studies,hal.54
11. 11
Ridley menawarkan 3 model dalam menjelaskan posisi civil servants dalam
pemerintahan demokratis, pertama civil servants bertugas membantu pemerintah yang
terpilih secara demokratis yang harus menjawab/memenuhi program yang dijanjikannya
sesuai dengan prinsip pengadministrasian kebijakan; kedua dibuat pemisahan antara
policy making dan implementasi kebijakan, dimana policy making merupakan ranah dari
elected official sedangkan implementasi kebijakan merupakan ranah birokrasi (civil
servants); dan model ketiga dimana civil servants dianggap memiliki “pandangan yang
independen terkait dengan kepentingan nasional di atas kepentingan partai politik”
dimana berarti bahwa civil servants bertanggung jawab kepada negara, undang-undang,
epentingan nasional, dan kesejahteraan umum18
.
Konsep pemisahan antara pimpinan eksekutif dari unsur elected official
dengan birokrasi yang berisi civil servants yng diasosiasikan kepada konsep yang
ditawarkan oleh Max
Weber dan Woodrow
Wilson ini sering
dipertanyakan dalam
konteks implementasinya,
karena pada tataran praksis,
pemisahan ini sulit
dilakukan. Baik kelompok
politisi maupun birokrat
sama-sama kerap bertarung
untuk memperebutkan
dominasi19
. Dampaknya,
masing-masing pihak akan
saling mempengaruhi
domain pihak lainnya20
.
Dalam konteks
tersebut, maka upaya untuk
memastikan netralitas civil servants dalam lingkungan dimana sistem demokrasi yang
dianut membuka ruang bagi eleceted/politically appointed official dapat memimpin
birokrasi pemerintahan menjadi sangat penting dilakukan. Netralitas politik civil
servants utamanya dalam bentuk pencegahan agar civil servants tidak menunjukkan
preferensi atau sikap politik praktisnya bertujuan untuk menjaga kepercayaan
18 Ridley,F. F. (1995). Civil serviceand democracy:questions in reforming the civil servicein Eastern and
Central Europe. Public Administration and Development, 15(1), Hal.15
19 Aberbach, Putnam, & Rockman, 1981 sebagaimana dikutip oleh Campbell,C., & Peters, B. G. (1988). The
politics/administration dichotomy:Death or merely change? Governance: An International Journal of Policy and
Administration,1(1), hal 79-99.
20 Op.Cit., hal 82
Berdasarkan kerangka teoritik ini maka praktek
mobilisasi ASN oleh elected/politically appointed
official seperti petahana, pimpinan DPRD, atau
pimpinan instansi merupakan bentuk pelanggaran
terhadap asas netralitas civil servants (ASN) dan
abuse of power. Di sisi lain, sikap dan aktifitas politik
ASN yang menunjukkan sikap oposisi terhadap
kebijakan pimpinan instansi termasuk yang berasal
dari unsur elected/politically appointed official juga
bertentangan dengan konsep perkembangan
demokrasi yang memberikan ruang kepada
elected/politically appointed official untuk
memimpinan lembaga-lembaga di bawah sayap
eksekutif.
12. 12
masyarakat atas netralitas dan professionalitas birokrasi21. Jika civil servants secara
terbuka memberikan dukungan politik (atau termasuk juga menunjukkan sikap
perlawanan) kepada elected/politically appointed official, maka pihak oposisi akan
melihatnya sebagai kolusi22
. Ketidakpercayaan ini (selain akan muncul di kalangan
masyarakat) akan dapat juga muncul di benak elected/politically appointed official,
dimana jika civil servants mendukung penuh kebijakan elected/politically appointed
official akan dianggap sebagai kaki tangannya, namun jika mengkritik kebijakan
tersebut akan dianggap tidak loyal.
c) Teori tentang abuse of power
Abuse of power secara umum dimaknai sebagai tindakan pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh pejabat publik. Tidak hanya berlaku dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan sehari-hari, praktek abuse of power juga
acapkali terjadi dalam perhelatan pemilu yang pada umumnya dilakukan oleh
incumbent23. Dalam konteks pemilu, abuse of power sering disebut juga dengan
abuse of state resources didefinisikan sebagai “the undue advantages obtained by
certain parties or candidates, through use of their official positions or connections
to governmental institutions, to influence the outcome of elections”24. Praktek
semacam ini dinilai akan mendistorsi integritas pemilu25.
Secara umum terdapat 3 bentuk abuse of power dalam pemilu; pertama
politisasi birokrasi; kedua penyalahgunaan anggaran dan aset pemerintah; dan ketiga
penyalahgunaan saluran komunikasi resmi pemerintah26
.
Politisasi birokrasi (civil servant), didefinisikan sebagai tingkatan atau bentuk
kegiatan politik yang dilakukan oleh civil servant, termasuk juga upaya dari pihak lain
untuk mempengaruhi perilaku politik civil servant27. Bentuk politisasi birokrasi/civil
servant ini dapat berupa: internally-driven, society-driven, or politician-driven. Internal-
driven politicisation merupakan kegiatan politik yang dilakukan oleh civil servant itu
21 Kernaghan, K. (1976).Politics,policy and publicservants:Political neutrality revisited.Canadian Public
Administration,19(3),432-456
22 Caiden, G. E. (1996). The concept of neutrality.In H. K. Asmerom & E. P. Reis (Eds.), Democratization and
bureaucratic neutrality (pp.20-44).London: Macmillan Press Ltd
23 IFES, Abuse of State Resources Research and Assessment Framework: Guidelines for the Democracy and
Governance Community of Practice,2018,hal 2
24 Organization for Security and Co‑operation in Europe's Office for Democratic Institutions and Human Rights
(OSCE/ODIHR), Handbook for the Observation of Campaign Finance66 [2015]
25 Annan, K., E. Z. Ponce de Leon, M. Ahtisaari,M.K. Albright et al.(2012), Deepening democracy: a strategy
for improvingthe integrity of elections worldwide.Report of the Global Commission on Elections,Democracy and
Security, Stockholm
26 Megan Ritchieet.al, Unfair Advantage: The Abuse of State Resources in Elections,IFES, 2017
27 Hojnacki,W.P. (1996).Politicization asa civil servicedilemma.In H. A. G. M. Bekke, J. L. Perry, & T. A. J.
Toonen (Eds.), Civil servicesystems in comparativeperspective (pp. 137-164).Bloomington, IN: Indiana University
Press,hal 137
13. 13
sendiri28. Society-driven politicisation merupakan upaya untuk mempengaruhi civil
servant yang dilakukan oleh kelompok masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan
di dalam birokrasi29
. Sedangkan bentuk ketiga yang paling banyak terjadi adalah
politician-driven politicisation yang terjadi ketika “elected and politically appointed
public officials” memobilisasi civil servant untuk membantu mencapai tujuan
politiknya30
. Model ini bisa terjadi dalam bentuk political executive mempengaruhi
birokrasi di dalam pemerintahan; atau politisi berusaha mengendalikan perilaku
birokrasi dengan menerapkan sistem manajemen dan pengawasan yang rumit.
Di sisi lain, abuse of power dalam pemilu juga berwujud penggunaan state
resources baik dalam bentuk fasilitas fisik pemerintah maupun anggaran untuk
pemenangan pemilu secara partisan. Fasilitas fisik ini dapat mencakup kendaraan,
gedung, maupun peralatan lainnya. Sedangkan abuse of state budget termasuk di
dalamnya penyalahgunaan anggaran, program, dan kegiatan pemerintah untuk
mendukung kegiatan pemenangan pemilu secara partisan.
2. Kajian teoritik tentang beberapa terminologi yang secara spesifik dipergunakan
dalam norma pasal 71 yang mencakup antara lain; keputusan atau tindakan yang
menguntungkan atau merugikan, penggantian pejabat, penggunaan program dan
kegiatan pemerintahan, serta petahana.
a. Menguntungkan atau merugikan
Pengertian dari frasa “menguntungkan atau merugikan” pada dasarnya
berkaitan erat dengan perbuatan hukum seseorang yang sedang memegang jabatan
publik dalam melakukan tindakan yang melawan hukum (misconduct) yang dapat
membawa dampak yang menguntungkan atau merugikan pihak tertentu dalam
sebuah proses pemilu. Secara umum, dalam konteks sistem penyelenggaraan
pemerintahan dalam sistem demokrasi, perbuatan hukum semacam ini dikategorikan
melanggar prinsip pelayanan publik yang non-diskriminatif. Sedangkan dalam
konteks pemilu, perbuatan hukum semacam ini juga dinilai melanggar prinsip
netralitas public service.
Keterpenuhan unsur menguntungkan dan/atau merugikan ini sering
menjadi bahan perdebatan secara hukum, apakah merupakan delik formil ataukah
delik materiil. Dalam artian, apakah pembuktian keterpenuhan unsur ini harus
28 Op.Cit., hal 139
29 Riggs,F. W. (1988). Bureaucratic politicsin theUS: Benchmarks for comparison.Governance: An
International Journal of Policy and Administration,1(4),343-379.
30 Hojnaki,Lock.Cit., hal.142
Konsepsi teoritik ini yang menjustifikasi munculnya pengaturan norma dalam UU Pemilihan
Kepala Daerah yang memuat larangan bagi atasan untuk melakukan mobilisasi ASN dan
juga larangan bagi ASN untuk melakukan aktifitas politik praktis dalam rangka mendukung
atau oposisi terhadap calon kepala daerah.
14. 14
berdasar kepada fakta adanya pihak yang mendapat keuntungan atau dirugikan (delik
materiil), ataukah pembuktiannya lebih didasarkan pada perbuatan hukumnya (delik
formil). Perdebatan serupa muncul dalam ketentuan tentang unsur merugikan
keuangan negara dalam UU Tipikor. Dalam hal ini, Putusan MK Nomor 03/PUU-
III/2006 menyatakan bahwa unsur merugikan negara merupakan delik formil (bukan
delik materiil), sehingga tidak perlu dibuktikan ada tidaknya kerugian negara
melainkan cukup membuktikan telah adanya perbuatan melawan hukum.
Senada dengan pertimbangan ini, maka unsur menguntungkan dan/atau
merugikan sebagaimana diatur dalam Pasal 71 juga merupakan delik formil. Di
samping itu, jika pemaknaan atas unsur tersebut menggunakan delik materiil, maka
pembuktian adanya keuntungan atau kerugiannya akan sangat musykil secara teknis
(karena akan sangat sulit memeriksa dari hasil perolehan suara calon apakah
dipengaruhi oleh perbuatan hukum pelaku) dan juga akan memakan waktu karena
harus menunggu setelah penghitungan suara, dimana beresiko terjadinya daluwarsa
dalam tindak pidana pemilu.
b. Penggantian pejabat
Salah satu bentuk politisasi birokrasi terkait dengan pengendalian organisasi
birokasi pemerintahan dilakukan dengan cara penggantian pimpinan eksekutif di
institusi birokrasi. Meyer-Sahling31
menunjukkan beberapa model pendekatan yang
terjadi (tidak hanya di negara berkembang tapi juga di negara maju) dengan 4 model
sebagaimana terlihat dalam tabel berikut:
31 Meyer-Sahling, J.-H. (2008). The changingcolours of the post-communist state: The politicisation of the
senior civil servicein Hungary.European Journal of Political Research,47(1), hal.4-9
Secara teoritik, dengan mengacu pada Putusan MK Nomor 03/PUU-III/2006 serta
mempertimbangkan tingkat kesulitan dalam pembuktian serta limitasi waktu dalam
hukum acara pidana pemilu, maka pemaknaan atas unsur menguntungkan dan/atau
merugikan dalam Pasal 71 perlu dimaknai dengan menggunakan delik formil.
15. 15
Model bounded politicisation, open politicisation, maupun partisan
politicisation dimaksudkan untuk mendukung kepentingan politik incumbent
maupun pemenang pemilu sebagai bagian dari upaya untuk mengontrol birokrasi.
c. Penggunaan program dan kegiatan pemerintahan
IFES mengkategorisasikan penyalahgunaan state resources untuk
kepentingan pemenangan pemilu secara partisan meliputi penggunaan fasilitas fisik
pemerintah, anggaran negara, dan channel komunikasi resmi pemerintah untuk
pemenangan pemilu secara partisan32.
Fasilitas fisik ini dapat mencakup kendaraan, gedung, maupun peralatan
lainnya. State budget termasuk di dalamnya penyalahgunaan anggaran, program, dan
kegiatan pemerintah untuk mendukung kegiatan pemenangan pemilu secara partisan.
Sedangkan penyalahgunaan channel komunikasi resmi pemerintah berarti
penggunaan media komunikasi resmi pemerintah baik televisi, radio maupun
channel lainnya untuk kepentingan pemenangan pemilu secara partisan.
Program secara umum berarti cara yang disahkan untuk mencapai tujuan
dimana melalui hal tersebut bentuk rencana akan lebih terorganisir dan lebih mudah
untuk dioperasionalkan demi tercapainya kegiatan pelaksanaan karena dalam
program tersebut telah dimuat berbagai aspek yang harus dijalankan atau
dilaksanakan agar tujuan program itu sendiri dapat tercapai (Jones : 1994).
Sedangkan kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh
satu atau beberapa satuan kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada
suatu program.
32 Megan Ritchieet.al, Unfair Advantage: The Abuse of State Resources in Elections,IFES, 2017
16. 16
Program pemerintah daerah berarti upaya atau kegiatan untuk mewujudkan
kebijakan-kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan dalam dokumen rencana
program dan anggaran pembangunan daerah baik RPJMD, RKP, maupun APBD.
Sedangkan kegiatan pemerintah daerah adalah bagian dari program yang
dilaksanakan oleh satu atau lebih unit kerja pada SKPD sebagai bagian dari
pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan terdiri atas sekumpulan
tindakan.
d. Petahana
Istilah petahana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata
dasar Tahana, Konsep Tahana memiliki arti: kedudukan; martabat (kebesaran,
kemuliaan, dan sebagainya). Istilah ini cukup baru diadopsi sebagai padanan kata
incumbent yang berarti orang yang sedang memegang jabatan. Keberadaan petahana
dalam kontestasi pemilu telah lama menjadi bahan perdebatan dan studi, karena
dianggap memiliki modalitas yang berbeda dengan kandidat lainnya.
Incumbent secara umum dimaknai sebagai seseorang yang sedang
memegang jabatan politik dalam pemerintahan. Incumbent dianggap mendapatkan
banyak manfaat ketika dia mengikuti kompetisi dalam pemilu. Dalam beberapa
kasus di berbagai negara, incumbent diuntungkan karena dapat turut menentukan
jadwal penyelenggaraan pemilu. Incumbent atau petahana yang hendak kembali
maju dalam kompetisi pemilu dinilai memiliki keuntungan yang berasal dari efek
langsung maupun tidak langsung dari posisinya yang sedang memegang jabatan33.
Efek langsung meliputi sumber daya dan dukungan dari kantor pemerintahan yang
dipimpinnya, yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat prospek keterpilihannya.
Sumber daya ini termasuk personel, peralatan, anggaran, dan bahkan juga wewenang
untuk membuat keputusan34. Sedangkan efek tidak langsung merujuk kepada
kemampuan incumbent untuk “menggertak” calon lawan potensialnya. Calon-calon
penantang incumbent akan berhitung secara hati-hati dengan memperhatikan
political advantage yang dimiliki incumbent.
Di samping itu, incumbent juga mendapat bonus dari name-recognition
atas kinerjanya dalam pemerintahan yang sedang berjalan. Incumbent juga dianggap
lebih memiliki akses untuk mengumpulkan dana kampanye termasuk dari sumber
daya pemerintah.
Dalam pemilu eksekutif, posisi incumbent cenderung diuntungkan, karena
secara umum terdapat indikasi bahwa pemilih akan cenderung memperbandingkan
qualifikasi kandidat, posisi politik mereka terhadap isu tertentu, serta karakteristik
33 Cox, Gary W., and Jonathan N. Katz. 1996.“Why Did the Incumbency Advantage in U.S.House Elections
Grow?” American Journal of Political Science40:478–97.
34 Erwin Chemerinsky, Protecting the Democratic Process;Voter Standing to ChallengeAbuse of Incumbency,
hal 1
17. 17
personal dengan cara yang sederhana dan langsung. Dalam konteks ini, jika
kompetisi dalam pemilu eksekutif diikuti oleh incumbent, maka seluruh kandidat
cenderung akan dibandingkan dengan incumbent. Sehingga pemilu semacam ini
dianggap sebagai “referendum on the incumbent”. Sebuah studi yang dipublikaskan
oleh british journal of political science menunjukkan bahwa incumbent mendapatkan
lebih banyak keuntungan dalam sebuah kontestasi yang diikuti oleh lebih banyak
kandidat non-incumbent.
Di sisi lain, incumbent juga berpeluang menjalankan apa yang disebut
dengan government-sponsored election violence yaitu “events in which incumbent
leaders and ruling party agents employ or threaten violence against the political
opposition or potential voters before, during or after elections”35
Berdasarkan pertimbangan political advantage dari sisi name-recognition,
maka lokasi kontestasi dalam pemilu bagi incumbent tidak terlalu berpengaruh,
apakah incumbent tersebut mencalonkan diri di daerah yang sama atau di daerah
yang berbeda, sepanjang name-recognition tersebut dapat didiseminasikan dengan
baik.
Namun, dalam aspek potensi diberlakukannya ‘government-sponsored
election violence’, maka kesamaan lokasi pencalonan dalam pilkada dengan lokasi
incumbent tersebut menjalankan pemerintahannya akan sangat berkaitan erat.
Incumbent yang mencalonkan diri di daerah lain akan sulit menjalankan politik
‘government-sponsored election violence’.
2. Kajian Peraturan Perundang-undangan
Kajian atas peraturan perundang-undangan ini akan dilakukan dengan
menggunakan pendekatan berbasis isu atau topik yang menjadi fokus dari kajian ini. Masing-
masing isu akan diulas berdasarkan model dan substansi pengaturannya di beberapa
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun peraturan perundang-undangan yang
dirujuk dalam kajian ini meliputi UUD NRI 1945, UU tentang Aparatur Sipil Negara, UU
35 Hafner-Burton, Hyde, and Jablonski 2014, 150, Surviving Elections:
Election Violence, Incumbent Victory, and Post-Election Repercussions, Emilie M. Hafner-Burton, Susan D. Hyde,
Ryan S. Jablonski
Dengan demikian, pemaknaan petahana sebagimana dimaksud Pasal 71 hanyalah
mencakup petahana yang hendak atau sedang mencalonkan diri dalam pilkada di wilayah
yang sama, karena tujuan pengaturannya adalah untuk mencegah petahana mengambil
keuntungan secara sepihak dengan melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaannnya
baik berupa penggantian pejabat maupun memanfaatkan program dan kegiatan yang
didanai publik untuk kepentingan pemenangan dalam pilkada.
18. 18
tentang Administrasi Pemerintahan, UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, serta
beberapa peraturan pemerintah terkait.
1. Tentang Petahana
Istilah “petahana” muncul di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
Pasal 7 huruf r dan Pasal 71. Namun demikian Undang-Undang tersebut tidak
memberikan definisi apa yang dimaksud dengan petahana.
PKPU No 9/2015 menyebutkan bahwa petahana adalah gubernur atau wakil
gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota yang sedang
menjabat. Pasal 1 angka 19 tersebut menyebutkan, petahana adalah gubernur atau wakil
gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota yang sedang
menjabat.
Surat Edaran KPU Nomor 302/KPU/VI/2015, kepala daerah yang
mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir sebelum masa pendaftaran, tidak
dianggap sebagai kepala daerah yang sedang menjabat (petahana/incumbent). Surat
Edaran KPU tertanggal 12 Juni 2015 itu pada poin 1 huruf a, menyebutkan: gubernur
atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota yang
masa jabatannya berakhir sebelum masa pendaftaran; atau mengundurkan diri sebelum
masa jabatannya berakhir yang dilakukan sebelum masa pendaftaran; atau berhalangan
tetap sebelum masa jabatannya berakhir dan terjadi sebelum masa pendaftaran, tidak
termasuk dalam pengertian petahana pada ketentuan Pasal 1 angka 19 Peraturan KPU
Nomor 9 Tahun 2015.
2. Menguntungkan atau merugikan
UU Pilkada tidak memberikan penjelasan yang memadai tentang rumusan
norma “menguntungan dan/atau merugikan” sebagaimana diatur dalam Pasal 71. Hal ini
menimbulkan kesulitan dalam proses penegakan hukum sesuai Pasal 188 dan Pasal 190.
Namun demikian, untuk mendapatkan gambaran makna dari unsur ini, dapat
merujuk kepada norma Pasal 2 dan Pasal 3 berikut penjelasannya dalam UU Tipikor.
Norma pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (1):
”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”
Penjelasan Pasal 2 ayat (1):
19. 19
”Yang dimaksud dengan ”secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan-
perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangundangan, namun apabila
perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-
norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dalam ketentuan ini, kata ”dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan atau
perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik
formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur
perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat”
Pasal 3:
”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”;
Pasal ini telah diuji di MK, dimana dalam pertimbangan hukumnya, hakim MK
menyatakan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa kedua pertanyaan tersebut akan dijawab dengan pemahaman
bahwa kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK menyebabkan
perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan, bukan saja karena perbuatan
tersebut “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata”, akan
tetapi hanya “dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau
potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat
diajukan ke depan pengadilan. Kata “dapat” tersebut harus dinilai pengertiannya
menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas, yang menyatakan bahwa kata
”dapat” tersebut sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara”, menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut merupakan delik formil, yaitu
adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang
dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.
Karena itu Mahkamah dapat menerima penjelasan Pasal 2 ayat (1) sepanjang
menyangkut kata ”dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara”;
Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana
korupsi, terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk dibuktikan secara tepat dan
akurat. Ketepatan yang dituntut sedemikian rupa, akan menimbulkan keraguan, apakah
jika satu angka jumlah kerugian diajukan dan tidak selalu dapat dibuktikan secara
akurat, namun kerugian telah terjadi, akan berakibat pada terbukti tidaknya perbuatan
20. 20
yang didakwakan. Hal demikian telah mendorong antisipasi atas akurasi kesempurnaan
pembuktian, sehingga menyebabkan dianggap perlu mempermudah beban pembuktian
tersebut. Dalam hal tidak dapat diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau
perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat terjadi,
telah dipandang cukup untuk menuntut dan memidana pelaku, sepanjang unsur dakwaan
lain berupa unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara
melawan hukum (wederrechtelijk) telah terbukti. Karena, tindak pidana korupsi
digolongkan oleh undang-undang a quo sebagai delik formil. Dengan demikian, kategori
tindak pidana korupsi digolongkan sebagai delik formil, di mana unsur-unsur perbuatan
harus telah dipenuhi, dan bukan sebagai delik materil, yang mensyaratkan akibat
perbuatan berupa kerugian yang timbul tersebut harus telah terjadi. Kata “dapat”
sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, dapat dilihat
dalam arti yang sama dengan kata “dapat” yang mendahului frasa “membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang”,
sebagaimana termuat dalam Pasal 387 KUHP. Delik demikian dipandang terbukti, kalau
unsur perbuatan pidana tersebut telah terpenuhi, dan akibat yang dapat terjadi dari
perbuatan yang dilarang dan diancam pidana tersebut, tidak perlu harus telah nyata
terjadi;”
Meskipun materi pengujian yang diajukan ke MK terkait dengan kata “dapat”,
namun putusan beserta pertimbangan hukum MK tersebut di atas menunjukkan bahwa
frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dimaknai sebagai delik
formil. Pertimbangan hukum yang dipergunakan oleh hakim MK memiliki kemiripan
dengan kondisi yang melingkupi norma Pasal 71. Kesulitan dalam proses pembuktian
keterpenuhan unsur “menguntungkan dan/atau merugikan” dalam Pasal 71 memiliki
bobot yang serupa dengan pembuktian Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, karena untuk
membuktikan keterpenuhan unsur “menguntungkan dan/atau merugikan” dalam Pasal 71
jika menggunakan delik materiil maka harus menunggu hingga masa penghitungan suara
(dimana berpotensi menjadikan kasus pelanggarannya kedaluwarsa), serta sangat musykil
untuk mencari tahu apakah perolehan suara calon dipengaruhi oleh tindakan/perbuatan
hukum terdakwa.
3. Penggantian Pejabat
Pasal 71 ayat (2) mengatur tentang larangan tindakan penggantian pejabat oleh
petahana. Dalam penjelasan pasal ini, tidak diuraikan pengertian kata penggantian ini,
Oleh karenanya, maka unsur “menguntungkan dan/atau merugikan” dalam Pasal 71
harus dimaknai sebagai delik formil. Hal ini didukung dengan jurisprudensi putusan
hakim PN Bima (yang akan dijelaskan pada bagian berikutnya).
21. 21
namun justru dalam penjelasan ayat (2) disebutkan bahwa Pengisian jabatan hanya dapat
dilakukan untuk mengisi kekosongan jabatan. UU Nomor 8 tahun 2015 mengubah
penjelasan Pasal 71 ayat (2) dengan mengatur bahwa dalam hal terjadi kekosongan
jabatan, maka Gubernur, Bupati, dan Walikota menunjuk pejabat pelaksana tugas.
Sedangkan dalam UU Nomor 10 tahun 2016, ketentuan Pasal 71 ayat (2) kembali diubah
dengan menambahkan ketentuan tentang keharusan untuk mendapatkan persetujuan
Mendagri dalam hal akan dilakukan penggantian pejabat.
Dengan demikian, maka pengertian penggantian ini dimaknai secara luas,
namun tidak termasuk di dalamnya pengisian jabatan yang kosong.
3. Kajian Putusan
1. Perbuatan Menguntungkan atau Merugikan Pasangan Calon
a. Karim bin Basirum, PN Palopo, Nomor 2/Pid.S/2018/PN PLp
1. Kasus posisi
Karim bin Basirum, Kepala Desa Parekaju, pada tanggal 15 maret 2018, dengan
menggunakan seragam dinas, datang ke lapangan padang sappa untuk melihat
kedatangan romobongan calon gubernur nomor urut 3 yang datang menggunakan
helikopter. Kemudian mendatangi tempat kampanye dialogis di rumah saksi
bernama Rustam, terdakwa Karim bersalaman, dan duduk sejajar dengan calon
nomor urut 3 Nurdin.
Setelah acara selesai, pada saat rombongan calon Nurdin akan meninggalkan
tempat, saksi bernama Bambang mengucapkan: “Pokoknya pertahankan saja TPS
masing-masing”, yang kemudian ditanggapi oleh Terdakwa dengan
mengucapkan “Pertanggungjawabkan wilayahmu”.
Keterangan saksi Basnawir bin Muhammad Nur, anggota Panwascam kecamatan
Ponrang menyebutkan bahwa Terdakwa hadir dalam acara kampanye dialogis
tersebut. Terdakwa menggunakan atribut kepala desa berupa topi yang
bertuliskan kepala desa. Saksi memotret dan merekam audio-visual peristiwa
tersebut.
Keterangan saksi Rustam, pemilik rumah yang dipergunakan sebagai lokasi
kegiatan kampanye dialogis menyatakan bahwa Terdakwa hadir dalam kegiatan
tersebut. Saksi mengetahui bahwa Terdakwa adalah kepala desa, namun saksi
menyatakan tidak mengundang Terdakwa. Saksi melihat bahwa Terdakwa tidak
menggunakan atribut kampanye, namun menggunakan seragam kepala desa
berupa topi bertuliskan kepala desa. Ketika diperlihatkan bukti foto dan video,
saksi membenarkan bukti dimaksud.
Saksi Bambang menyatakan bahwa benar Terdakwa hadir dalam kegiatan
tersebut dengan memakai topi bertuliskan kepala desa. Saksi juga mengenali
22. 22
bahwa Terdakwa adalah kepala desa. Saksi menyatakan bahwa kegiatan tersebut
menurut pengetahuannya adalah acara keluarga. Pada saat acara berakhir, Sasi
secara spontang mengatakan: “Pokoknya pertahankan saja TPS masing-masing”,
yang kemudian ditanggapi oleh Terdakwa dengan mengucapkan
“Pertanggungjawabkan wilayahmu”.
Saksi Ahli Adly Aqsha Darwis yang merupakan komisioner KPU, menjelaskan
bahwa berdasarkan foto dan video yang diperlihatkan di persidangan, kegiatan
tersebut termasuk dalam kategori kegiatan kampanye. Kepala Desa dilarang
menghadiri kegiatan kampanye, karena dapat dinilai menciderai asas netralitas.
Saksi Deviadi (Saksi A de Charge) merupakan ketua tim sukses calon nomor urut
3, dan menyatakan bahwa kegiatan tersebut merupakan silaturrahim bukan
kegiatan kampanye. Saksi melihat Terdakwa hadir, tetapi tidak mengetahui
apakah terdakwa diundang atau tidak. Saksi juga mengetahui bahwa Terdakwa
adalha kepala desa.
Terdakwa memberikan keterangan yang membenarkan kehadirannya pada acara
dimaksud. Terdakwa menyatakan bahwa topi tersebut bukan merupakan seragam
resmi kepala desa, dan Terdakwa membelinya di toko. Terdakwa menyatakan
tidak diundang namun hanya ditelpon oleh keponakannya. Terdakwa menyatakan
pernah menghadiri acara sosialisasi tentang kampanye, dimana Panwaslu yang
hadir menyatakan bahwa kepala desa boleh hadir di acara kampanye, namun
tidak boleh melakukan 3 hal; orasi, menjelek-jelekan kandidat, dan berteriak-
teriak di atas panggung.
2. Pasal yang disangkakan
Pasal Pasal 188 Perpu Nomor 1 Tahun 2014 Jo Pasal 71 Ayat (1) UU Nomor 10
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014.
3. Unsur-unsur pelanggaran/tindak pidana
Pejabat Negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau
sebutan lain/Lurah
dengan sengaja
melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu calon
selama masa kampanye
Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan keterpenuhan unsur sebagai
berikut:
Unsur pertama terpenuhi berdasarkan keterangan saksi, SK Bupati Luwu
tentang pengangkatan kepala desa, serta pengakuan Terdakwa didukung oleh
pemeriksaan identitas.
23. 23
Unsur kedua sengaja dimaknai sebagai mengetahui dan menghendaki, artinya
mengetahui dan menghendaki perbuatan yang dilakukan. Unsur keputusan
dimaknai sebagai perihal yang berkaitan dengan putusan (KBBI). Tindakan
dimaknai sebagai sesuatu yang dilakukan, tindakan yang dilaksanakan untuk
mengatasi sesuatu (KBBI). Menguntungkan dimaknai sebagai memberi
(mendatangkan) laba; menjadikan beruntung; memberikan manfaat (KBBI).
Merugikan dimaknai sebagai menyebabkan rugi, mendatangkan sesuatu yang
kurang baik.
Unsur Kampanye dimaknai sebagaiman definisi dalam undang-undang.
Berdasarkan fakta persidangan, hakim berpendapat bahwa telah terjadi
peristiwa dimaksud, dimana Terdakwa hadir tanpa undangan resmi, dengan
menggunakan topi bertuliskan kepala desa, dan Terdakwa duduk sejajar
dengan calon nomor urut 3. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal dimana
masa kampanye berlangsung, kegiatan berlangsung dalam bentuk dialog, dan
calon memaparkan visi misi dan programnya.
Mengenai unsur keputusan dan/atau tindakan, hakim berpendapat bahwa hal
tersebut merupakan kumulatif/alternatif, sehingga untuk keterbuktian unsur
tersebut dapat salah satu atau keduanya.
Hakim juga mempertimbangkan ketentuan dalam UU Nomor 6 tahun 2014
tentang Desa Pasal 29 huruf j, yang menyatakan bahwa kepala desa dilarang
ikut serta/terlibat dalam kegiatan kampanye pemilu dan pemilihan kepala
daerah.
Berdasarkan fakta persidangan, Hakim melihat bahwa kehadiran terdakwa
dalam kegiatan dimaksud, duduk di barisan depan sejajar dengan calon dinilai
sebagai bentuk dukungan kepada calon dan bersikap tidak netral. Majelis
Hakim berpendapat bahwa arti netralitas kepal desa adalah:
Tidak boleh terlibat dalam arti tidak menjadi tim sukses atau tidak
menghadiri acara kampanye dengan menggunakan atribut partai atau
fasilitas negara.
Tidak boleh memihak dalam arti tidak membantu membuat keputusan
dan/atau tindakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon, tidak
mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpiahkan terhadap
salah satu calon berupa seruan, pertemuan, ajakan, pemberian barang
kepada masyarakat desa, serta tidak membantu dengan menggunakan
fasilitas negara.
Berdasarkan fakta persidangan, hakim memandang bahwa unsur kedua telah
terpenuhi.
4. Amar Putusan
24. 24
Terdakwa secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
dimaksud
Menjatuhkan pidana 2 bulan dan denda Rp. 1.000.000
Pidana tersebut tidak usah dijalankan kecuali di kemudian hari terdapat
putusan hakim yang menentukan bahwa Terdakwa melakukan perbuatan
poidana sebelum masa percobaan 4 bulan berakhir
Membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000
b. H. Surfil, SH. MH, Nomor: 1/Pid.Sus/2018/PN Rbi
1. Kasus posisi
Terdakwa yang merupakan Camat Raba yang diangkat berdasarkan SK Walikota
Bima hadir dalam acara silaturrahim dan pengukuhan di kelurahan Kendo,
Kecamatan Raba, bersama Lurah kendo dan Lurah Ntobo. Acara tersebut juga
dihadiri oleh calon nomor urut 1, H. Rahman E. Abidin.
Calon Rahman memberikan arahan dalam acara tersebut. Setelah berakhirnya
arahan dari calon nomor urut 1, terdakwa tiba-tiba berdiri menghadap ke peserta
kegiatan yang hadir, mengacungkan jari tulujuk kanan, lalu mengacungkan
jempol, dan berujar dalam bahasa daerah yang berarti: “Hidup Haji Man dan
jangan lupa nomor 1” yang kemudian diikuti oleh peserta yang hadir.
Beberapa saksi dihadirkan, Saksi Anu Sirwan selaku tim advokasi calon nomor
urut 2, tidak mleihat langsung kejadian tersebut, melainkan hanya dari rekaman
video. Lalu melaporkannya ke Panwaslu. Saksi menganggap kegiatan tersebut
merupakan bentuk kampanye.
Saksi Habibi, S.Sos selaku Pengawas Lapangan menyatakan melihat langsung
kejadian tersebut dan merekamnya dalam bentuk video. Saksi mendatangi
kegiatan tersebut atas perintah Panwascam berdasarkan jadwal kampanye.
Saksi Sudirno menyatakan hadir dan melihat kejadian tersebut, namun
mengatakan bahwa kegiatan tersebut bukan kampanye melainkan acara doa
bersama.
2. Pasal yang disangkakan
Analisa Putusan
Dari putusan atas perkara ini dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
Unsur Kepala Desa dibuktikan dengan SK pengangkatan
Unsur membuat keputusan dan/atau tindakan dibuktikan secara alternatif
Unsur menguntungkan dibuktikan dari tindakan untuk menghadiri kegiatan
kampanye, duduk sejajar dengan calon.
Unsur masa kampanye dibuktikan dari jadwal kampanye.
25. 25
Pasal Pasal 188 Perpu Nomor 1 Tahun 2014 Jo Pasal 71 Ayat (1) UU Nomor 10
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014.
3. Unsur-unsur pelanggaran/tindak pidana
Pejabat Negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau
sebutan lain/Lurah
dengan sengaja
melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu calon
selama masa kampanye
Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan keterpenuhan unsur sebagai
berikut:
Unsur pertama terpenuhi berdasarkan keterangan saksi, SK Bupati Luwu
tentang pengangkatan kepala desa, serta pengakuan Terdakwa didukung oleh
pemeriksaan identitas.
Unsur kedua sengaja dimaknai sebagai kesadaran untuk mencapai suatu
tujuan tertentu, yang dapat terdiri atas sengaja dengan maksud, sengaja
dengan kesadaran, atau sengaja dengan kemungkinan. Berdasarkan fakta
persidangan, terlihat bahwa Terdakwa berdiri menghadap peserta,
mengacungkan jari telunjuk, dan menyerukan: “Hidup Haji Man dan jangan
lupa nomor 1” yang kemudian diikuti oleh peserta yang hadir. Dengan
demikian hakim menyimpulkan bahwa Terdakwa menunjukkan kesadaran
atas tindakannya.
Unsur ASN dan Pejabat negara; dimaknai sebagai pejabat yang lingkungan
kerjanya berada di lembaga negara. Berdasarkan bukti yang diajukan berupa
SK pengangkatan Terdakwa sebagai PNS, SK pengangkatan PNS dalam
jabatan struktural maka unsur ini terpenuhi.
Mengenai unsur keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau
merugikan, hakim berpendapat bahwa tidak dapat dimaknai secara sempit
dalam arti materiil, melainkan harus dimaknai secara luas dalam arti fomil,
dalam arti suatu perbuatan akan berimplikasi pada dapat tidaknya suatu
pasangan calon atas perbuatan tersebut akan mendapatkan keuntungan atau
kerugian. Dalam kapsitasnya sebagai Camat, Terdakwa dianggap tahu bahwa
calon Nomor urut 1 yang sedang cuti untuk kampanye hadir dalam kegiatan
tersebut, sehingga Terdakwa seharusnya dapat memutuskan untuk tidak hadir.
Oleh karenanya, unsur ini dinilai terpenuhi.
4. Amar Putusan
Terdakwa secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
dimaksud
Menjatuhkan pidana 2 bulan
26. 26
Pidana tersebut tidak usah dijalankan kecuali di kemudian hari terdapat
putusan hakim yang menentukan bahwa Terdakwa melakukan perbuatan
poidana sebelum masa percobaan 6 bulan berakhir
Membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500
2. Penggantian Pejabat, Kasus sengketa TUN Nomor 570 K/TUN/PILKADA/2016
1. Kasus posisi
Putusan ini merupakan hasil dari upaya kasasi yang dilakukan oleh Darwis Maridu
dan Ir. Hi. Anas Jusuf dengan obyek perkara Surat Keputusan Komisi Pemilihan
Umum Kabupaten Boalemo
No.24/Kpts/KPU.Kab.Boalemo/Pilbup/027.436540/X/2016
2016 Tentang Penetapan Calon Bupati dan Wakil Bupati yang memenuhi
syarat sebagai Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten
Boalemo 2017;
2. Pasal yang disangkakan
Pasal Pasal 188 Perpu Nomor 1 Tahun 2014 Jo Pasal 71 Ayat (1) UU Nomor 10
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014.
3. Unsur-unsur pelanggaran/tindak pidana
• Pejabat Negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan
lain/Lurah
• dengan sengaja
• melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu calon
• selama masa kampanye
Analisa Putusan
Dari putusan atas perkara ini dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
Unsur ASN dan Camat dibuktikan dengan SK pengangkatan
Unsur membuat keputusan dibuktikan dengan menunjukkan kesadaran Terdakwa selaku
Camat yang dinilai memahami ketentuan keharusan Cuti bagi kepala daerah yang
berkampanye, sehingga jika calon yang sedang cuti dan mengadakan acara dimana
mengundang Terdakwa, maka Terdakwa dinilai seharusnya dapat membuat keputusan
untuk tidak menghadirinya.
Unsur menguntungkan tidak dimaknai secara sempit (materiil) melainkan secara luas
(formil) dengan menguraikan maksud pembentuk undang-undang. Dengan demikian,
tindakan terdakwa mengacungkan jari dan membuat seruan sudah dinilai memenuhi unsur
menguntungkan.
Unsur masa kampanye dibuktikan dari jadwal kampanye.
27. 27
BAGIAN III KESIMPULAN
Berdasarkan kajian teoritik dan perundang-undangan tersebut di atas, maka guna
kepentingan penegakan hukum berdasarkan ketentuan pasal 188 dan 190 junto pasal 71 UU
tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota, perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini:
1. Unsur Setiap orang
Setiap orang dimaknai sebagai setiap orang/manusia sebagai subyek hukum yang:
yang dapat mempertanggung-jawaban perbuatannya.
tidak kurang sempurna akalnya (verstandelijke vermoges); atau
tidak sakit jiwanya (zeekelijke string der verstandelijk vermogengs)
tidak dalam keadaan terpaksa (overmacht) baik dari orang atau keadaan tertentu, baik
bersifat absolut maupun relatif
2. Pejabat negara
Pejabat negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada di lembaga negara. Alat
bukti yang diperlukan untuk pembuktian unsur ini berupa SK pengangkatan sebagai PNS,
SK pengangkatan PNS dalam jabatan struktural.
3. Pejabat ASN
Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi
pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada
instansi pemerintah.
Pejabat ASN adalah ASN yang menduduki jabatan ASN yang terdiri atas jabatan
administrasi, jabatan fungsional, atau jabatan pimpinan tinggi. Dengan demikian, seluruh
ASN adalah pejabat ASN.
Alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini mencakup antara
lain:
SK pengangkatan sebagai ASN dari pejabat yang berwenang.
SK pengangkatan ASN dalam jabatan tertentu.
4. Kepala desa
Kepala desa adalah seseorang yang menjabat sebagai pemimpin dalam
pemerintahan desa.
Alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini adalah:
SK pengangkatan sebagai Kepala Desa dari pejabat yang berwenang.
Bukti identitas diri yang bersangkutan.
5. Dengan sengaja
Sengaja dimaknai sebagai sesuatu yang berkaitan dengan niat yang tidak
dapat dilihat dan tidak konkrit, dilandasi oleh kesadaran untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Kesengajaan dianggap ada apabila perbuatan dan akibat suatu tindak pidana
dikehendaki oleh si pelaku, atau apabila si pelaku pada waktu mulai melakukan
perbuatan ada bayangan yang terang bahwa akibat yang bersangkutan akan tercapai.
28. 28
Kesengajaan dapat terdiri atas:
sengaja dengan maksud (opzet als oogmerk) yakni perbuatan yang dilakukan oleh si
pelaku atau terjadinya suatu akibat dari perbuatan si pelaku adalah memang menjadi
tujuannya,
sengaja dengan kesadaran (opzet bij zekerheid bewustzijn) yakni apabila si pelaku
dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar
dari perbuatn pidana, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti
perbuatannya tersebut.
sengaja dengan kemungkinan (opzet bij heidzbwustzijn) yakni apabila dengan
dilakukannya perbuatan atau terjadinya suatu akibat yang dituju itu maka disadari
bahwa adaya kemungkinan akan timbul akibat lain.
Alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini antara lain adalah
photo atau rekaman audio-visual atau keterangan saksi yang menunjukkan terjadinya
peristiwa hukum dan akibat yang terjadi setelahnya.
6. Membuat keputusan dan/atau tindakan
Unsur keputusan dan/atau tindakan sebagaimana dimaksud pasal 71 adalah suatu
perbuatan yang dilarang yakni perbuatan yang akan berimplikasi pada dapat tidaknya
suatu pasangan calon atas perbuatan tersebut akan mendapatkan keuntungan atau
kerugian. Bentuk keputusan ini dapat berupa keputusan yang bersifat formal dan
administratif maupun keputusan yang tidak berwujud administratif (keputusan seseorang
untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu).
Sedangkan bentuk tindakan (yang menguntungkan dan/atau merugikan) terdiri
atas tindakan menghadiri kegiatan kampanye, menghimbau, mengajak, memberikan
isyarat, memberikan respon berupa like atau dislike di media sosial, dan lain-lain.
Alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini antara lain dapat
berupa foto, rekaman audio visual, selebaran, dan lain-lain yang menunjukkan bukti
terjadinya peristiwa hukum tersebut.
7. Menguntungkan dan/atau merugikan
Unsur menguntungkan dan/atau merugikan dimaknai sebagai delik formil dalam
arti delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan
diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Dengan demikian tidak diperlukan
adanya akibat apakah benar pasangan calon mendapat keuntungan atau mendapat
kerugian, dengan terjadinya tindak pidana sudah dinyatakan tindak pidana tersebut telah
terjadi.
Dengan demikian alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini
adalah bukti terkait terjadinya peristiwa hukum itu sendiri misalnya photo, rekaman audio
visual, dan lain-lain.
8. Masa kampanye
Masa kampanye adalah periode waktu pelaksanaan kampanye yang ditetapkan
oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
29. 29
Alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini dapat berupa SK
KPU tentang jadwal kampanye.
9. Penggantian pejabat
Penggantian pejabat adalah kegiatan mengganti pejabat ASN dalam lingkungan
pemerintah daerah dari satu jabatan ke jabatan lain baik secara vertikal maupun
horizontal.
Alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini dapat berupa SK
tentang penggantian jabatan.
10. Menggunakan program dan kegiatan pemerintah daerah
Program dan kegiatan pemerintah daerah berarti upaya atau kegiatan untuk
mewujudkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan dalam dokumen
rencana program dan anggaran pembangunan daerah baik RPJMD, RKP, maupun APBD.
Alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini dapat berupa
dokumen RPJMD, RKP, maupun APBD.
30. 30
DAFTAR PUSTAKA
Parris, H. Constitutional bureaucracy. The development of British central administration since
the eighteenth century. London: George Allen & Unwin. 1969
Weber, M. Bureaucracy, dalam J. M. Shafritz & A. C. Hyde (Eds.), Classics of public
administration (pp. 43-48). Boston, MA: Thomson Wadsworth. 2007
Beetham, D. Bureaucracy (2nd ed.). Minneapolis, MN: University of Minnesota Press. 1996
Organisation for Economic Co-operation and Development. Civil service legislation contents
checklist. SIGMA Papers No. 5. Paris: OECD/SIGMA. 1996
Suleiman, E. Dismantling democratic states. Princeton, NJ: Princeton University Press. 2003
Sharpe, J. The relationship between parliament and the civil service. The Parliamentarian.
Journal of the Parliaments of the Commonwealth, 74(4). 1993
Kernaghan, K. Political rights and political neutrality: Finding the balance point. Canadian
Public Administration, 29(4). 1986.
Kernaghan, K., & Langford, J. W. The responsible public servant. Halifax: The Institute for
Research on Public Policy. 1990
Mosher, F. C. Democracy and the public service. New York: Oxford University Press, 1982
Meyer-Sahling, J.-H. Sustainability of civil service reforms in central and eastern Europe five
years after EU accession, SIGMA Papers, No. 44, OECD Publishing, 2009.
Hughes, O. E. Public management and administration. An introduction (4th ed.). Basingstoke,
UK: Palgrave Macmillan. 2012.
Christensen, T., & Lægreid, P. The fragmented state - the challenges of combining efficiency,
institutional norms and democracy (Working paper 3). Stein Rokkan Centre for Social
Studies. 2004.
Prebble, M. With respect. Parliamentarians, officials, and judges too. Wellington, New Zealand:
Institute of Policy Studies, 2010.
Ridley, F. F. (1995). Civil service and democracy: questions in reforming the civil service in
Eastern and Central Europe. Public Administration and Development, 15(1), 1995.
Aberbach, Putnam, & Rockman, 1981 sebagaimana dikutip oleh Campbell, C., & Peters, B. G.
(1988). The politics/administration dichotomy: Death or merely change? Governance:
An International Journal of Policy and Administration, 1(1).
31. 31
Kernaghan, K. Politics, policy and public servants: Political neutrality revisited. Canadian Public
Administration, 19(3), 1976.
Caiden, G. E. The concept of neutrality. In H. K. Asmerom & E. P. Reis (Eds.), Democratization
and bureaucratic neutrality (pp. 20-44). London: Macmillan Press Ltd. 1996.
IFES, Abuse of State Resources Research and Assessment Framework: Guidelines for the
Democracy and Governance Community of Practice, 2018.
Organization for Security and Co‑ operation in Europe's Office for Democratic Institutions and
Human Rights (OSCE/ODIHR), Handbook for the Observation of Campaign Finance
66. 2015
Annan, K., E. Z. Ponce de Leon, M. Ahtisaari, M. K. Albright et al. Deepening democracy: a
strategy for improving the integrity of elections worldwide. Report of the Global
Commission on Elections, Democracy and Security, Stockholm, 2012.
Megan Ritchie et.al, Unfair Advantage: The Abuse of State Resources in Elections, IFES, 2017
Hojnacki, W. P. (1996). Politicization as a civil service dilemma. In H. A. G. M. Bekke, J. L.
Perry, & T. A. J. Toonen (Eds.), Civil service systems in comparative perspective (pp.
137-164). Bloomington, IN: Indiana University Press, 1996.
Riggs, F. W. (1988). Bureaucratic politics in the US: Benchmarks for comparison. Governance:
An International Journal of Policy and Administration, 1(4), 1988.
Meyer-Sahling, J.-H. (2008). The changing colours of the post-communist state: The
politicisation of the senior civil service in Hungary. European Journal of Political
Research, 47(1), 2008.
Megan Ritchie et.al, Unfair Advantage: The Abuse of State Resources in Elections, IFES, 2017
Cox, Gary W., and Jonathan N. Katz.“Why Did the Incumbency Advantage in U.S.House
Elections Grow?” American Journal of Political Science, 1996.
Erwin Chemerinsky, Protecting the Democratic Process; Voter Standing to Challenge Abuse of
Incumbency.
Hafner-Burton, Hyde, and Jablonski, Surviving Elections:
Election Violence, Incumbent Victory, and Post-Election Repercussions, Emilie M.
Hafner-Burton, Susan D. Hyde, Ryan S. Jablonski, 2014