SlideShare a Scribd company logo
1 of 31
1
KAJIAN HUKUM
PENERAPAN PASAL 71 UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015
DALAM PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR, BUPATI DAN WAKIL
BUPATI SERTA WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA
Ahsanul Minan, MH
Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia
Kajian ini disusun bersama Bawaslu RI
JAKARTA, JUNI 2018
2
BAGIAN I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasal 71 UU nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota mengatur tentang 2 hal penting yakni pertama larangan bagi Pejabat negara,
pejabat aparatur sipil negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah untuk membuat
keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama
masa Kampanye; dan kedua larangan bagi petahana untuk melakukan penggantian pejabat
serta menggunakan program dan kegiatan Pemerintahan Daerah untuk kegiatan Pemilihan 6
(enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir. Senada dengan larangan melakukan
penggantian jabatan, Gubernur, Bupati, dan Walikota terpilih juga dilarang melakukan
penggantian pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam jangka
waktu 6 (enam) bulan sejak dilantik.
Larangan sebagaimana dimaksud Pasal 71 ayat (1), (2) dan (3) disertai pula dengan
2 jenis ancaman sanksi.
Pertama; ancaman sanksi pidana sebagaimana diatur dalam:
a. Pasal 187 ayat (6) yang mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja menerima
atau memberi dana Kampanye dari atau kepada pihak yang dilarang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) dan/atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)
bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
b. Pasal 188 yang mengatur bahwa Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara,
dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
600.000,00 (enam ratus ribu
rupiah) atau paling banyak Rp
6.000.000,00 (enam juta
rupiah).
c. Pasal 190 yang mengatur
bahwa Pejabat yang
melanggar ketentuan Pasal 71
ayat (2) atau Pasal 162 ayat
(3), dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu)
bulan atau paling lama 6
(enam) bulan dan/atau denda
CATATAN: ancaman sanksi pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 187 menunjukkan keanehan, karena pada dasarnya
ancaman pidana dalam pasal ini berkaitan dengan laporan dana
kampanye sebagaimana dijelaskan dalam frasa “setiap orang
yang dengan sengaja menerima atau memberi dana Kampanye
dari atau kepada pihak yang dilarang dengan merujuk Pasal 76
ayat (1)”, namun selanjutnya menyebut “tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud pada Pasal 71, sedangkan
Pasal 71 tidak mengatur tentang dana kampanye. Hal ini
menunjukkan adanya kemungkinan bahwa rujukan pasal 71 di
dalam rumusan pasal 187 ini terjadi kesalahan. Oleh karena itu,
ancaman pidana dalam Pasal 187 ini tidak akan dibahas lebih
lanjut dalam restatement ini.
3
paling sedikit Rp 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp
6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Kedua: ancaman sanksi administrasi. Bagi petahana yang melanggar larangan
tersebut, dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU
Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam ayat (4).
Dibandingkan dengan UU yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah
sebelumnya yakni UU Nomor 32 tahun 2004, ketentuan mengenai larangan bagi Pejabat
negara, pejabat aparatur sipil negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah untuk
membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon
selama masa Kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 71 ayat (1), juga telah diatur dalam
UU Nomor 32 tahun 2004 Pasal Pasal 80 yang mengatur bahwa Pejabat negara, pejabat
struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa dilarang membuat keputusan
dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama
masa kampanye. Dengan demikian, pada dasarnya tidak ada hal baru.
Namun berbeda dengan ketentuan Pasal 71 ayat (2) dan (3) yang mengatur tentang
larangan bagi petahana, hal ini tidak diatur dalam UU Nomor 32 tahun 2004, sehingga
ketentuan ini merupakan ketentuan yang baru. Kebaruan norma pengaturan ini terletak pada
2 aspek; pertama adanya frasa petahana yang secara teknis tidak dijelaskan secara rinci
dalam UU nomor 1 tahun 2015, sehingga menjadi kurang jelas bagi para pembaca, pelaksana
dan penegak hukum tentang ruang lingkup subyek hukum petahana ini. Aspek kebaruan
kedua adalah norma pengaturan tentang penyalahgunaan jabatan yang mencakup larangan
untuk melakukan penggantian pejabat dan menggunakan program dan kegiatan Pemerintahan
Daerah untuk kegiatan Pemilihan oleh petahana 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya
berakhir.
Norma pasal 71 ini berpotensi menimbulkan beberapa kesulitan di tingkat
pelaksanaan hukum di lapangan. Hal ini disebabkan oleh karena adanya beberapa faktor:
pertama, keterbatasan penjelasan dalam UU Pemilu dan Pilkada atas kata yang dipergunakan
dalam penyebutan jenis jabatan yang dilarang untuk melakukan tindakan hukum tertentu.
Misalnya, definisi petahana, apakah status petahana hanya berlaku bagi petahana yang akan
mencalonkan diri di lokasi pemilihan yang sama atau juga berlaku bagi petahana yang akan
mencalonkan diri di lokasi pemilihan yang berbeda?
Kedua, keterbatasan penjelasan atas istilah yang dipergunakan untuk menyebutkan
jenis perbuatan hukum tertentu yang dilarang. Contoh “menguntungkan” atau “merugikan”,
“penggantian”, “program dan kegiatan”. Di samping tidak adanya penjelasan terminologis
atas frasa-frasa tersebut dalam UU Pemilu dan UU Pemilihan, tidak diatur pula kriteria-
kriteria yang bermanfaat untuk mengkonstruksikan pemaknaan atas istilah-istilah tersebut.
Berbagai persoalan tersebut di atas sangat penting untuk dibuat terang, karena akan
sangat mempengaruhi kinerja aparat pengawas pemilu dalam menjalankan tugas pengawasan
dan penindakan terkait dengan penegakan ketentuan Pasal 188 dan Pasal 190. Oleh
karenanya, dalam rangka membuat terang persoalan ini, perlu disusun penjelasan hukum
4
(restatement) ini agar dapat menjadi dasar pijak bagi aparat pengawas pemilu, dan mungkin
juga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi penegak hukum lainnya.
B. Problematika (Topik Kajian)
Permasalahan hukum dalam pasal 71 jo Pasal 188 dan Pasal 190 yang akan dibahas
pada dasarnya menyangkut sebuah isu utama yakni penyalahgunaan wewenang dalam proses
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Larangan praktek penyalahgunaan wewenang ini
dibatasi pada jenis perbuatan hukum tertentu yang terdiri atas:
 Pembuatan keputusan dan/atau pelaksanaan tindakan yang menguntungkan atau
merugikan pasangan calon kepala daerah tertentu sebagaimana diatur dalam pasal 71 ayat
(1), serta menggunakan program dan kegiatan Pemerintahan Daerah untuk kegiatan
Pemilihan sebagaimana diatur dalam pasal 71 ayat (3)
 Penggantian pejabat oleh petahana (yang akan mencalonkan diri kembali dalam
pemilihan kepala daerah) 6 bulan sebelum pemilihan sebagaimana diatur dalam Pasal 71
ayat (2).
Dalam pelaksanaanya di lapangan, praktek dugaan pelanggaran hukum terkait Pasal
71 ini sulit untuk ditegakkan secara efektif, karena adanya kekaburan ruang lingkup
pemaknaan dari norma tersebut, sehingga dalam tataran praksis menyulitkan bagi jajaran
pengawas pemilu untuk menegakkan aturan ini.
Dalam rangka membuat terang persoalan ini, maka perlu dilakukan kajian hukum
atas beberapa masalah berikut ini:
1. Mengenai subyek hukum. Terkait dengan subyek hukum ini, setidaknya terdapat 2 hal
yang perlu diperjelas; pertama siapa yang dimaksud dengan pejabat ASN ? apakah hanya
mencakup jabatan pimpinan tinggi? Kedua, siapa yang dimaksud dengan petahana?
Apakah semua orang yang sedang menjabat sebagai kepala daerah pada saat pilkada
berlangsung? Ataukah termasuk juga kepala daerah yang mengundurkan diri beberapa
saat sebelum pilkada berlangsung?
2. Mengenai perbuatan hukum penggantian pejabat sebagaimana diatur dalam pasal 71 ayat
(2). Apakah istilah “penggantian” ini mencakup penurunan jabatan (demosi) saja, ataukah
juga termasuk peningkatan jabatan (promosi), perpindahan jabatan dari jabatan yang
strategis ke jabatan yang tidak strategis (mutasi)?
3. Mengenai unsur “menguntungkan atau merugikan”, apakah merupakan delik formil
ataukah delik materiil? Di sisi lain, juga menjadi pertanyaan hukum, apa ukuran
menguntungkan dan merugikan? Apa saja ruang lingkup bentuk keputusan atau
tindakannya?
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan yang hendak
dijawab dalam melakukan perumusan ulang unsur unsur pelanggaran politik uang, yakni
sebagai berikut:
5
1. Apa ruang lingkup subyek hukum pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan Kepala
Desa atau sebutan lain dan petahana sebagaimana diatur dalam Pasal 71 ayat (1), (2) dan
(3)?
2. Apakah kata “penggantian” sebagaimana diatur dalam pasal 71 ayat (2) mencakup
penurunan jabatan (demosi) saja, ataukah juga termasuk peningkatan jabatan (promosi),
perpindahan jabatan dari jabatan yang strategis ke jabatan yang tidak strategis (mutasi)?
3. Apakah ruang lingkup perbuatan melawan hukum dalam konteks “menguntungkan” atau
“merugikan” (Pasal 71 ayat (1)), “program dan kegiatan” (Pasal 71 ayat (3)) ?
4. Apakah yang dimaksud dengan unsur “menguntungkan” atau “merugikan” dalam praktik
penyalahgunaan wewenang dapat dibuktikan sejak awal terjadinya tindakan pidana, atau
dengan kata lain merupakan delik formil atau delik materiil? apa ukuran menguntungkan
dan merugikan? Apa saja ruang lingkup bentuk keputusan atau tindakannya?
D. Maksud dan Tujuan
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendefinisikan ulang terhadap unsur unsur
pelanggaran politik uang dalam Undang-Undang Pilkada. Adapun tujuan dalam
pendefinisian ulang ini adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan rumusan tentang ruang lingkup subyek hukum Pejabat negara, pejabat
aparatur sipil negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan Petahana sebagaimana
diatur dalam Pasal 71 ayat (1), (2) dan (3).
2. Mendapatkan rumusan tentang ruang lingkup perbuatan melawan hukum dalam konteks
“menguntungkan” atau “merugikan” (Pasal 71 ayat (1)), penggantian (Pasal 71 ayat (2)),
“program dan kegiatan” (Pasal 71 ayat (3)).
3. Mendapatkan rumusan tentang unsur “menguntungkan” atau “merugikan” dalam praktik
penyalahgunaan wewenang khususnya proses pembuktiannya.
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini akan menjadi bahan kajian akademik sehingga bisa menjadi salah
satu rujukan bagi jajaran pengawas pemilu terkait pelaksanaan pasal 71 jo Pasal 188 dan
Pasal 190.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan cara menelaah dan menginterpretasikan hal-hal
yang bersifat teoritis menyangkut asas, doktrin, konsep dan norma hukum. Telaah ini
berkaitan dengan unsur-unsur netralitas dan penyalahgunaan wewenang dalam Pemilihan
Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 71 jo Pasal 188 dan Pasal 190.
Pendekatan yang dipakai menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
aproach) dan pendekatan kasus (case aproach). Pendekatan perundang-undangan digunakan
untuk mengetahui keseluruhan peraturan hukum menyangkut pengaturan netralitas pejabat
negara, ASN, Kepala Desa dan Perangkat Desa dan penyalahgunaan wewenang. Sedangkan
6
pendekatan kasus digunakan untuk mempelajari dan melihat bagaimana praktik penerapan
norma dalam penanganan perkara pidana pemilu khususnya menyangkut kasus netralitas
pejabat negara, ASN, Kepala Desa dan Perangkat Desa dan penyalahgunaan wewenang yang
telah diputus oleh pengadilan.
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Adapun bahan hukum primer yang digunakan
adalah peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan terkait kasus netralitas pejabat
negara, ASN, Kepala Desa dan Perangkat Desa dan penyalahgunaan wewenang. Sedangkan
bahan hukum sekunder melingkupi literatur terkait khususnya menyangkut politik uang dan
kajian kajian terdahulu tentang netralitas pejabat negara, ASN, Kepala Desa dan Perangkat
Desa dan penyalahgunaan wewenang.
Adapun bahan hukum primer yang akan digunakan adalah sebagai berikut:
1. Peraturan Perundang-Undangan:
 UUD 1945
 Perpu No. 1 Tahun 2014
 UU No. 1 Tahun 2015
 UU No. 8 Tahun 2015
 UU No. 10 Tahun 2016
 UU No. 5 tahun 2014 tentang ASN
 UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI
 UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
 UU No. 8 Tahun 2012
 Peraturan KPU Nomor 9 tahun 2015
 Peraturan Mendagri Nomor 73 tahun 2016 tentang Pendelegasian Wewenang
Penandatanganan Persetujuan Tertulis Untuk Melakukan Penggantian Pejabat
Di Lingkungan Pemerintah Daerah
2. Putusan Pengadilan:
 Putusan Pengadilan Negeri Bima No 1/Pid.sus/2018/PN RBI
 Putusan Pengadilan Negeri Palopo No 2/Pid.S/2018/PN Plp
7
BAGIAN II. ANALISA
1. Kajian Teori
Kajian teori ini akan difokuskan kepada 2 hal; pertama kajian teoritik atas konsep
netralitas pegawai pemerintah atau ASN atau civil servant/civil service, serta kajian teoritik
atas konsep abuse of power dalam pemilu. Kajian teoritik atas 2 isu ini akan digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam mengkonstruksikan rumusan unsur dan keterpenuhannya
terkait dengan pembuktian ancaman pidana.
Kedua, kajian teoritik atas beberapa terminologi yang secara spesifik dipergunakan
dalam norma pasal 71 yang mencakup antara lain; keputusan atau tindakan yang
menguntungkan atau merugikan, penggantian pejabat, penggunaan program dan kegiatan
pemerintahan, serta petahana. Kajian teoritik atas beberapa terminologi ini akan
dipergunakan untuk memaknai secara teknis terminologi-terminologi yang dipergunakan
dalam rumusan norma UU dan ancaman pidananya terkait dengan Pasal 71, pasal 188, dan
pasal 190.
1. Civil Service and Politicivil servant
Pada bagian ini, akan dibahas 2 isu utama, pertama terkait dengan konsep
netralitas pegawai pemerintah/civil servant (dalam konteks hukum Indonesia civil
servant mencakup ASN, TNI, POLRI), dan bagaimana pola hubungan antara civil
servant dengan pimpinan institusi yang berasal dari politisi baik unsur elected official
atau politically appointed officials. Pola hubungan ini menjadi sangat penting untuk
diulas karena pada umumnya hal ini menjadi penyebab utama munculnya mobilisasi
dukungan politik di kalangan civil servant. Konsepsi ini perlu diulas karena merupakan
prinsip yang ingin ditegakkan melalui ketentuan Pasal 71 ayat (1). Dan kedua konsepsi
tentang abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan yang merupakan prinsip yang
diatur dalam pasal 71 ayat (2) dan (3).
a) Netralitas Civil Servant
Pengertian Civil Service atau civil servant merupakan sebuah termonologi
politis yang dipahami berbeda di berbagai negara. Parris mendefinisikan civil
servant sebagai “a body of full-time, salaried officers, systematically recruited, with
clear lines of authority, and uniform rules on such questions as superannuation”1.
Sistem manajemen public servant dibingkai dalam kerangka sitem
birokrasi, yang oleh Max Weber didefinisikan sebagai sebuah sistem administrasi
yang dibangun di atas professionalisme pegawai yang dipandu oleh aturan main
yang jelas.2 Beetham3 menyebutkan salah satu dari 4 cirinya adalah focus on
1 Parris,H.(1969). Constitutional bureaucracy. The development of British central administration since the
eighteenth century. London: George Allen & Unwin., hal 22
2 Weber, M. (2007).Bureaucracy,dalam J. M. Shafritz& A. C. Hyde (Eds.), Classicsof public administration (pp.
43-48). Boston, MA: Thomson Wadsworth.
8
expertise where officials are hired on merit and trained for the tasks. Dengan
demikian, professionalisme menjadi kata kunci bagi civil servant.
Dalam rangka mewujudkan birokrasi dan civil servant yang professional,
diperlukan kerangka hukum yang secara tegas mengatur “responsibilities, liabilities,
duties and rights of those who execute the powers of the state, manage public funds
or provide the services of the state to the public.”4 OECD mengidentifikasi 4 “best
practices” tentang tujuan pengaturan hukum terkait dengan civil servants; salah
satunya adalah bahwa kerangka hukum harus mendorong kualitas professionalisme
pegawai dalam rangka meningkatkan kinerja, menjamin independensi pegawai dan
melindungi mereka dari abuse of power dan bentuk mismanajemen lainnya, serta
mendorong terbangunnya standard etik dalam public administration.5
Di samping kerangka hukum yang mendukung professionalisme,
independensi, dan standard etik, pendekatan lain yang banyak digunakan di berbagai
negara termasuk di Indonesia adalah pembentukan lembaga independen yang
menangani manajemen civil servant dibandingkan dengan menempatkan fungsi
manajemen civil servant ini di bawah sayap politik lembaga eksekutif -meskipun hal
ini masih menjadi perdebatan. Kelompok yang tidak menyetujui pengelolaan civil
servant di bawah komisi independen beranggapan bahwa “executive leaders,
needing to consider their own re-election, their prestige, and their performance, feel
a need to gain control of the instruments of governance”6. Sharpe menyatakan
bahwa meskipun banyak pemerintah harus mengkompromikan regulasi terkait
manajemen civil servant, namun prinsip untuk menjaga netralitas civil servant secara
umum diterima7.
Dalam rangka menjaga netralitas ini, maka beberapa hak yang dimiliki oleh
masyarakat umum perlu dibatasi untuk dipergunakan oleh pegawai pemerintah.
Secara umum, hak-hak politik ini antara lain: hak untuk melakukan kegiatan politik8
yang mencakup: hak untuk memberikan suara dalam pemilu; hak untuk bergabung
dan menjadi anggota partai politik; hak untuk menjadi pengurus atau pimpinan partai
politik; hak untuk mengikuti kegiatan atau pertemuan politik; hak untuk mendukung
atau menolak calon atau partai tertentu; hak untuk mengikuti pawai atau kampanye;
hak untuk menjadi delegasi dalam konvensi partai politik; hak untuk ikut
menyumbang dana kampanye calon atau partai politik; ikut melakukan canvassing;
3 Beetham, D. (1996). Bureaucracy (2nd ed.). Minneapolis, MN: University of Minnesota Press , hal 9
4 Cardona (2002, p. 2)
5 Organisation for Economic Co-operation and Development. (1996). Civil service legislation contents checklist.
SIGMA Papers No. 5. Paris: OECD/SIGMA, hal 6
6 Suleiman,E. (2003). Dismantlingdemocratic states.Princeton,NJ: Princeton University Press ,hal 214
7 Sharpe, J. (1993).The relationship between parliamentand the civil service.The Parliamentarian.Journal of
the Parliaments of the Commonwealth, 74(4), hal.219
8 Kernaghan, K. (1986). Political rights and political neutrality: Finding the balance point. Canadian Public
Administration, 29(4), 639-40.
9
mengikuti kegiatan di TPS ssebagai pendukung atau saksi peserta pemilu; membantu
transportasi pemilih dari rumah ke TPS sebagai bentuk dukungan kepada calon atau
partai politik tertentu; turut mendistribusikan bahan kampanye; menggunakan atribut
kampanye atau partai politik; atau memasang atribut kampanye di rumah mereka.
Di samping itu, dalam rangka menjaga netralitas pegawai pemerintah,
mereka juga hendaknya tidak terlibat dalam memberikan komentar kepada khalayak
(tidak menggunakan hak engage in public comment). The right to engage in public
comment adalah hak untuk berbicara atau menyatakan pendapat terkait dengan
masalah-maslah yang menjadi kontroversi politik atau terkait kebijakan
pemerintah”9
Tidak dapat disangkal bahwa terdapat beberapa keberatan atas pembatasan
hak pegawai pemerintah untuk melakukan kegiatan politik dan hak untuk engage in
public comment, namun terdapat satu argumen yang tidak dapat ditolak bahwa
pemberian hak tersebut akan bertabrakan dengan hak masyarakat untuk menikmati
layanan publik yang tidak bias politik10. Pembatasan hak kepada pegawai
pemerintah “are reasonable limits in a free and democratic society”11 and political
rights “should only be lawfully restricted in so far as it is necessary for the proper
exercise of their public function”.
Mosher 12
menyatakan bahwa pembatasan hak civil servant dapat dilakukan
untuk memastikan berjalannya pembangunan sistem demokrasi melalui peneguhan
integritas civil servant dan juga untuk mencegah penyalahgunaan wewenang (abuse of
power) dan konflik kepentingan. Meyer-Sahling juga menyatakan pendapat serupa
bahwa untuk menjaga etos professionalisme di kalangan civil servant, maka pembatasan
atas hak-hak civil servant dapat dilakukan di dalam sebuah masyarakat yang
demokratis13
.
9 Kernaghan, K. (1986). Political rights and political neutrality: Finding the balance point. Canadian Public
Administration, 29(4), 640-22.
10 Kernaghan, K., & Langford, J. W. (1990).The responsiblepublic servant.Halifax:TheInstitute for Research
on Public Policy,hal.61
11 Op.Cit, hal 62
12 Mosher, F. C. (1982). Democracy and the public service. New York: Oxford University Press, hal. 23
13 Meyer-Sahling, J.-H. (2009). Sustainability of civil service reforms in central and eastern Europe five years
after EU accession, SIGMA Papers, No. 44, OECD Publishing, hal 60.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan teoritik tersebut, maka netralitas pejabat publik dan
civil servant (ASN) menjadi sebuah keniscayaan dalam praktek pemerintahan yang
demokratis, dan sebagai konsekwensinya, pejabat publik dan civil servant (ASN) dilepaskan
beberapa hak individualnya terkait dengan aktifitas politik. Hal ini memperkuat dasar
argumentatif bagi larangan yang diatur dalam pasal 71 dan beberapa norma ketentuan dalam
UU ASN, UU TNI, UU Polri, dan Surat Edaran MenPAN yang membatasi hak pejabat publik
dan ASN dalam menjalankan aktifitas politik praktis.
10
b) Pola hubungan Civil Servant dan Politik
Jika prinsip netralitas civil servant telah menjadi common principle yang
diterima secara luas, lain halnya dengan model pengaturan teknis mengenai pola
hubungan antara civil servant dengan politik, sebagai implikasi dari penerapan sitem
demokrasi dalam pemilihan kepala eksekutif dengan manajemen administrasi
pemerintahan. Salah satu hal yang tidak dapat diabaikan adalah bahwa civil servant
merupakan salah satu elemen penting dalam sebuah proses demokratisasi.
Dalam perkembangannya, terdapat perubahan dalam sistem dan
kelembagaan pemerintahan yang telah menerima dan menjalankan praktek
demokrasi, dimana pegawai pemerintah harus mau bekerja di bawah pimpinan yang
dipilih melalui proses politik (pemilu), maupun politically appointed. Dalam situasi
demikian, pegawai pemerintah diharuskan untuk bersikap netral: mereka “should
avoid activities likely to impair or to seem to impair, their political impartiality or
the political impartiality of the public service”14.
Sistem demokrasi memiliki fitur bagi rakyat untuk mendelegasikan
mandatnya kepada wakil mereka (di lembaga eksekutif dan legislatif). Sementara itu,
civil servant bertugas untuk melaksanakan policies yang dibuat oleh elected
representatives tersebut. Dengan demikian, dalam kerangka akuntabilitas, maka civil
servant bertanggung jawab kepada elected representatives -dimana selanjutnya mereka
bertanggung jawab kepada rakyat. Dengan kata lain, civil servants secara birokratis
bertanggungjawab kepada elected officials, dan elected officials secara politis
beranggung jawab kepada pemilih15
.
Dalam konteks tersebut, melindungi civil servants dari kontrol langsung
kekuatan politik dan menjadikannya akuntabel merupakan salah satu agenda penting
dalam demokratisasi, karena melalui birokrasilah pemimpin politik akan menggunakan
kekuasaannya. Menurut pandangan tradisional, pimpinan eksekutif yang dipilih (elected
official) harus menjalankan kepemimpinan birokrasi secara professional dalam
menyiapkan dan menjalankan kebijakan publik16
sesuai dengan agenda pemerintah; dan
memastikan bahwa civil servant bekerja dengan baik sesuai dengan koridor peraturan
perundang-undangan17
. Di samping itu, civil servants juga harus diberi otonomi relatif
dari elected official dalam konteks manajemen kepegawaian, namun tetap akuntabel
terhadap hukum dan penegakan hukum (di pengadilan dan DPR).
14 Kernaghan, K., & Langford, J. W. (1990). The responsible public servant. Halifax: The Institute for Research on
Public Policy, hal 56
15 Hughes, O. E. (2012).Public management and administration.An introduction (4th ed.). Basingstoke,UK:
PalgraveMacmillan.
16 Christensen,T., & Lægreid, P. (2004).The fragmented state - the challenges of combiningefficiency,
institutional norms and democracy (Workingpaper 3). Stein Rokkan Centre for Social Studies ,hal.10
17 Prebble, M. (2010). With respect. Parliamentarians,officials,and judges too. Wellington,New Zealand:
Institute of Policy Studies,hal.54
11
Ridley menawarkan 3 model dalam menjelaskan posisi civil servants dalam
pemerintahan demokratis, pertama civil servants bertugas membantu pemerintah yang
terpilih secara demokratis yang harus menjawab/memenuhi program yang dijanjikannya
sesuai dengan prinsip pengadministrasian kebijakan; kedua dibuat pemisahan antara
policy making dan implementasi kebijakan, dimana policy making merupakan ranah dari
elected official sedangkan implementasi kebijakan merupakan ranah birokrasi (civil
servants); dan model ketiga dimana civil servants dianggap memiliki “pandangan yang
independen terkait dengan kepentingan nasional di atas kepentingan partai politik”
dimana berarti bahwa civil servants bertanggung jawab kepada negara, undang-undang,
epentingan nasional, dan kesejahteraan umum18
.
Konsep pemisahan antara pimpinan eksekutif dari unsur elected official
dengan birokrasi yang berisi civil servants yng diasosiasikan kepada konsep yang
ditawarkan oleh Max
Weber dan Woodrow
Wilson ini sering
dipertanyakan dalam
konteks implementasinya,
karena pada tataran praksis,
pemisahan ini sulit
dilakukan. Baik kelompok
politisi maupun birokrat
sama-sama kerap bertarung
untuk memperebutkan
dominasi19
. Dampaknya,
masing-masing pihak akan
saling mempengaruhi
domain pihak lainnya20
.
Dalam konteks
tersebut, maka upaya untuk
memastikan netralitas civil servants dalam lingkungan dimana sistem demokrasi yang
dianut membuka ruang bagi eleceted/politically appointed official dapat memimpin
birokrasi pemerintahan menjadi sangat penting dilakukan. Netralitas politik civil
servants utamanya dalam bentuk pencegahan agar civil servants tidak menunjukkan
preferensi atau sikap politik praktisnya bertujuan untuk menjaga kepercayaan
18 Ridley,F. F. (1995). Civil serviceand democracy:questions in reforming the civil servicein Eastern and
Central Europe. Public Administration and Development, 15(1), Hal.15
19 Aberbach, Putnam, & Rockman, 1981 sebagaimana dikutip oleh Campbell,C., & Peters, B. G. (1988). The
politics/administration dichotomy:Death or merely change? Governance: An International Journal of Policy and
Administration,1(1), hal 79-99.
20 Op.Cit., hal 82
Berdasarkan kerangka teoritik ini maka praktek
mobilisasi ASN oleh elected/politically appointed
official seperti petahana, pimpinan DPRD, atau
pimpinan instansi merupakan bentuk pelanggaran
terhadap asas netralitas civil servants (ASN) dan
abuse of power. Di sisi lain, sikap dan aktifitas politik
ASN yang menunjukkan sikap oposisi terhadap
kebijakan pimpinan instansi termasuk yang berasal
dari unsur elected/politically appointed official juga
bertentangan dengan konsep perkembangan
demokrasi yang memberikan ruang kepada
elected/politically appointed official untuk
memimpinan lembaga-lembaga di bawah sayap
eksekutif.
12
masyarakat atas netralitas dan professionalitas birokrasi21. Jika civil servants secara
terbuka memberikan dukungan politik (atau termasuk juga menunjukkan sikap
perlawanan) kepada elected/politically appointed official, maka pihak oposisi akan
melihatnya sebagai kolusi22
. Ketidakpercayaan ini (selain akan muncul di kalangan
masyarakat) akan dapat juga muncul di benak elected/politically appointed official,
dimana jika civil servants mendukung penuh kebijakan elected/politically appointed
official akan dianggap sebagai kaki tangannya, namun jika mengkritik kebijakan
tersebut akan dianggap tidak loyal.
c) Teori tentang abuse of power
Abuse of power secara umum dimaknai sebagai tindakan pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh pejabat publik. Tidak hanya berlaku dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan sehari-hari, praktek abuse of power juga
acapkali terjadi dalam perhelatan pemilu yang pada umumnya dilakukan oleh
incumbent23. Dalam konteks pemilu, abuse of power sering disebut juga dengan
abuse of state resources didefinisikan sebagai “the undue advantages obtained by
certain parties or candidates, through use of their official positions or connections
to governmental institutions, to influence the outcome of elections”24. Praktek
semacam ini dinilai akan mendistorsi integritas pemilu25.
Secara umum terdapat 3 bentuk abuse of power dalam pemilu; pertama
politisasi birokrasi; kedua penyalahgunaan anggaran dan aset pemerintah; dan ketiga
penyalahgunaan saluran komunikasi resmi pemerintah26
.
Politisasi birokrasi (civil servant), didefinisikan sebagai tingkatan atau bentuk
kegiatan politik yang dilakukan oleh civil servant, termasuk juga upaya dari pihak lain
untuk mempengaruhi perilaku politik civil servant27. Bentuk politisasi birokrasi/civil
servant ini dapat berupa: internally-driven, society-driven, or politician-driven. Internal-
driven politicisation merupakan kegiatan politik yang dilakukan oleh civil servant itu
21 Kernaghan, K. (1976).Politics,policy and publicservants:Political neutrality revisited.Canadian Public
Administration,19(3),432-456
22 Caiden, G. E. (1996). The concept of neutrality.In H. K. Asmerom & E. P. Reis (Eds.), Democratization and
bureaucratic neutrality (pp.20-44).London: Macmillan Press Ltd
23 IFES, Abuse of State Resources Research and Assessment Framework: Guidelines for the Democracy and
Governance Community of Practice,2018,hal 2
24 Organization for Security and Co‑operation in Europe's Office for Democratic Institutions and Human Rights
(OSCE/ODIHR), Handbook for the Observation of Campaign Finance66 [2015]
25 Annan, K., E. Z. Ponce de Leon, M. Ahtisaari,M.K. Albright et al.(2012), Deepening democracy: a strategy
for improvingthe integrity of elections worldwide.Report of the Global Commission on Elections,Democracy and
Security, Stockholm
26 Megan Ritchieet.al, Unfair Advantage: The Abuse of State Resources in Elections,IFES, 2017
27 Hojnacki,W.P. (1996).Politicization asa civil servicedilemma.In H. A. G. M. Bekke, J. L. Perry, & T. A. J.
Toonen (Eds.), Civil servicesystems in comparativeperspective (pp. 137-164).Bloomington, IN: Indiana University
Press,hal 137
13
sendiri28. Society-driven politicisation merupakan upaya untuk mempengaruhi civil
servant yang dilakukan oleh kelompok masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan
di dalam birokrasi29
. Sedangkan bentuk ketiga yang paling banyak terjadi adalah
politician-driven politicisation yang terjadi ketika “elected and politically appointed
public officials” memobilisasi civil servant untuk membantu mencapai tujuan
politiknya30
. Model ini bisa terjadi dalam bentuk political executive mempengaruhi
birokrasi di dalam pemerintahan; atau politisi berusaha mengendalikan perilaku
birokrasi dengan menerapkan sistem manajemen dan pengawasan yang rumit.
Di sisi lain, abuse of power dalam pemilu juga berwujud penggunaan state
resources baik dalam bentuk fasilitas fisik pemerintah maupun anggaran untuk
pemenangan pemilu secara partisan. Fasilitas fisik ini dapat mencakup kendaraan,
gedung, maupun peralatan lainnya. Sedangkan abuse of state budget termasuk di
dalamnya penyalahgunaan anggaran, program, dan kegiatan pemerintah untuk
mendukung kegiatan pemenangan pemilu secara partisan.
2. Kajian teoritik tentang beberapa terminologi yang secara spesifik dipergunakan
dalam norma pasal 71 yang mencakup antara lain; keputusan atau tindakan yang
menguntungkan atau merugikan, penggantian pejabat, penggunaan program dan
kegiatan pemerintahan, serta petahana.
a. Menguntungkan atau merugikan
Pengertian dari frasa “menguntungkan atau merugikan” pada dasarnya
berkaitan erat dengan perbuatan hukum seseorang yang sedang memegang jabatan
publik dalam melakukan tindakan yang melawan hukum (misconduct) yang dapat
membawa dampak yang menguntungkan atau merugikan pihak tertentu dalam
sebuah proses pemilu. Secara umum, dalam konteks sistem penyelenggaraan
pemerintahan dalam sistem demokrasi, perbuatan hukum semacam ini dikategorikan
melanggar prinsip pelayanan publik yang non-diskriminatif. Sedangkan dalam
konteks pemilu, perbuatan hukum semacam ini juga dinilai melanggar prinsip
netralitas public service.
Keterpenuhan unsur menguntungkan dan/atau merugikan ini sering
menjadi bahan perdebatan secara hukum, apakah merupakan delik formil ataukah
delik materiil. Dalam artian, apakah pembuktian keterpenuhan unsur ini harus
28 Op.Cit., hal 139
29 Riggs,F. W. (1988). Bureaucratic politicsin theUS: Benchmarks for comparison.Governance: An
International Journal of Policy and Administration,1(4),343-379.
30 Hojnaki,Lock.Cit., hal.142
Konsepsi teoritik ini yang menjustifikasi munculnya pengaturan norma dalam UU Pemilihan
Kepala Daerah yang memuat larangan bagi atasan untuk melakukan mobilisasi ASN dan
juga larangan bagi ASN untuk melakukan aktifitas politik praktis dalam rangka mendukung
atau oposisi terhadap calon kepala daerah.
14
berdasar kepada fakta adanya pihak yang mendapat keuntungan atau dirugikan (delik
materiil), ataukah pembuktiannya lebih didasarkan pada perbuatan hukumnya (delik
formil). Perdebatan serupa muncul dalam ketentuan tentang unsur merugikan
keuangan negara dalam UU Tipikor. Dalam hal ini, Putusan MK Nomor 03/PUU-
III/2006 menyatakan bahwa unsur merugikan negara merupakan delik formil (bukan
delik materiil), sehingga tidak perlu dibuktikan ada tidaknya kerugian negara
melainkan cukup membuktikan telah adanya perbuatan melawan hukum.
Senada dengan pertimbangan ini, maka unsur menguntungkan dan/atau
merugikan sebagaimana diatur dalam Pasal 71 juga merupakan delik formil. Di
samping itu, jika pemaknaan atas unsur tersebut menggunakan delik materiil, maka
pembuktian adanya keuntungan atau kerugiannya akan sangat musykil secara teknis
(karena akan sangat sulit memeriksa dari hasil perolehan suara calon apakah
dipengaruhi oleh perbuatan hukum pelaku) dan juga akan memakan waktu karena
harus menunggu setelah penghitungan suara, dimana beresiko terjadinya daluwarsa
dalam tindak pidana pemilu.
b. Penggantian pejabat
Salah satu bentuk politisasi birokrasi terkait dengan pengendalian organisasi
birokasi pemerintahan dilakukan dengan cara penggantian pimpinan eksekutif di
institusi birokrasi. Meyer-Sahling31
menunjukkan beberapa model pendekatan yang
terjadi (tidak hanya di negara berkembang tapi juga di negara maju) dengan 4 model
sebagaimana terlihat dalam tabel berikut:
31 Meyer-Sahling, J.-H. (2008). The changingcolours of the post-communist state: The politicisation of the
senior civil servicein Hungary.European Journal of Political Research,47(1), hal.4-9
Secara teoritik, dengan mengacu pada Putusan MK Nomor 03/PUU-III/2006 serta
mempertimbangkan tingkat kesulitan dalam pembuktian serta limitasi waktu dalam
hukum acara pidana pemilu, maka pemaknaan atas unsur menguntungkan dan/atau
merugikan dalam Pasal 71 perlu dimaknai dengan menggunakan delik formil.
15
Model bounded politicisation, open politicisation, maupun partisan
politicisation dimaksudkan untuk mendukung kepentingan politik incumbent
maupun pemenang pemilu sebagai bagian dari upaya untuk mengontrol birokrasi.
c. Penggunaan program dan kegiatan pemerintahan
IFES mengkategorisasikan penyalahgunaan state resources untuk
kepentingan pemenangan pemilu secara partisan meliputi penggunaan fasilitas fisik
pemerintah, anggaran negara, dan channel komunikasi resmi pemerintah untuk
pemenangan pemilu secara partisan32.
Fasilitas fisik ini dapat mencakup kendaraan, gedung, maupun peralatan
lainnya. State budget termasuk di dalamnya penyalahgunaan anggaran, program, dan
kegiatan pemerintah untuk mendukung kegiatan pemenangan pemilu secara partisan.
Sedangkan penyalahgunaan channel komunikasi resmi pemerintah berarti
penggunaan media komunikasi resmi pemerintah baik televisi, radio maupun
channel lainnya untuk kepentingan pemenangan pemilu secara partisan.
Program secara umum berarti cara yang disahkan untuk mencapai tujuan
dimana melalui hal tersebut bentuk rencana akan lebih terorganisir dan lebih mudah
untuk dioperasionalkan demi tercapainya kegiatan pelaksanaan karena dalam
program tersebut telah dimuat berbagai aspek yang harus dijalankan atau
dilaksanakan agar tujuan program itu sendiri dapat tercapai (Jones : 1994).
Sedangkan kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh
satu atau beberapa satuan kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada
suatu program.
32 Megan Ritchieet.al, Unfair Advantage: The Abuse of State Resources in Elections,IFES, 2017
16
Program pemerintah daerah berarti upaya atau kegiatan untuk mewujudkan
kebijakan-kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan dalam dokumen rencana
program dan anggaran pembangunan daerah baik RPJMD, RKP, maupun APBD.
Sedangkan kegiatan pemerintah daerah adalah bagian dari program yang
dilaksanakan oleh satu atau lebih unit kerja pada SKPD sebagai bagian dari
pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan terdiri atas sekumpulan
tindakan.
d. Petahana
Istilah petahana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata
dasar Tahana, Konsep Tahana memiliki arti: kedudukan; martabat (kebesaran,
kemuliaan, dan sebagainya). Istilah ini cukup baru diadopsi sebagai padanan kata
incumbent yang berarti orang yang sedang memegang jabatan. Keberadaan petahana
dalam kontestasi pemilu telah lama menjadi bahan perdebatan dan studi, karena
dianggap memiliki modalitas yang berbeda dengan kandidat lainnya.
Incumbent secara umum dimaknai sebagai seseorang yang sedang
memegang jabatan politik dalam pemerintahan. Incumbent dianggap mendapatkan
banyak manfaat ketika dia mengikuti kompetisi dalam pemilu. Dalam beberapa
kasus di berbagai negara, incumbent diuntungkan karena dapat turut menentukan
jadwal penyelenggaraan pemilu. Incumbent atau petahana yang hendak kembali
maju dalam kompetisi pemilu dinilai memiliki keuntungan yang berasal dari efek
langsung maupun tidak langsung dari posisinya yang sedang memegang jabatan33.
Efek langsung meliputi sumber daya dan dukungan dari kantor pemerintahan yang
dipimpinnya, yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat prospek keterpilihannya.
Sumber daya ini termasuk personel, peralatan, anggaran, dan bahkan juga wewenang
untuk membuat keputusan34. Sedangkan efek tidak langsung merujuk kepada
kemampuan incumbent untuk “menggertak” calon lawan potensialnya. Calon-calon
penantang incumbent akan berhitung secara hati-hati dengan memperhatikan
political advantage yang dimiliki incumbent.
Di samping itu, incumbent juga mendapat bonus dari name-recognition
atas kinerjanya dalam pemerintahan yang sedang berjalan. Incumbent juga dianggap
lebih memiliki akses untuk mengumpulkan dana kampanye termasuk dari sumber
daya pemerintah.
Dalam pemilu eksekutif, posisi incumbent cenderung diuntungkan, karena
secara umum terdapat indikasi bahwa pemilih akan cenderung memperbandingkan
qualifikasi kandidat, posisi politik mereka terhadap isu tertentu, serta karakteristik
33 Cox, Gary W., and Jonathan N. Katz. 1996.“Why Did the Incumbency Advantage in U.S.House Elections
Grow?” American Journal of Political Science40:478–97.
34 Erwin Chemerinsky, Protecting the Democratic Process;Voter Standing to ChallengeAbuse of Incumbency,
hal 1
17
personal dengan cara yang sederhana dan langsung. Dalam konteks ini, jika
kompetisi dalam pemilu eksekutif diikuti oleh incumbent, maka seluruh kandidat
cenderung akan dibandingkan dengan incumbent. Sehingga pemilu semacam ini
dianggap sebagai “referendum on the incumbent”. Sebuah studi yang dipublikaskan
oleh british journal of political science menunjukkan bahwa incumbent mendapatkan
lebih banyak keuntungan dalam sebuah kontestasi yang diikuti oleh lebih banyak
kandidat non-incumbent.
Di sisi lain, incumbent juga berpeluang menjalankan apa yang disebut
dengan government-sponsored election violence yaitu “events in which incumbent
leaders and ruling party agents employ or threaten violence against the political
opposition or potential voters before, during or after elections”35
Berdasarkan pertimbangan political advantage dari sisi name-recognition,
maka lokasi kontestasi dalam pemilu bagi incumbent tidak terlalu berpengaruh,
apakah incumbent tersebut mencalonkan diri di daerah yang sama atau di daerah
yang berbeda, sepanjang name-recognition tersebut dapat didiseminasikan dengan
baik.
Namun, dalam aspek potensi diberlakukannya ‘government-sponsored
election violence’, maka kesamaan lokasi pencalonan dalam pilkada dengan lokasi
incumbent tersebut menjalankan pemerintahannya akan sangat berkaitan erat.
Incumbent yang mencalonkan diri di daerah lain akan sulit menjalankan politik
‘government-sponsored election violence’.
2. Kajian Peraturan Perundang-undangan
Kajian atas peraturan perundang-undangan ini akan dilakukan dengan
menggunakan pendekatan berbasis isu atau topik yang menjadi fokus dari kajian ini. Masing-
masing isu akan diulas berdasarkan model dan substansi pengaturannya di beberapa
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun peraturan perundang-undangan yang
dirujuk dalam kajian ini meliputi UUD NRI 1945, UU tentang Aparatur Sipil Negara, UU
35 Hafner-Burton, Hyde, and Jablonski 2014, 150, Surviving Elections:
Election Violence, Incumbent Victory, and Post-Election Repercussions, Emilie M. Hafner-Burton, Susan D. Hyde,
Ryan S. Jablonski
Dengan demikian, pemaknaan petahana sebagimana dimaksud Pasal 71 hanyalah
mencakup petahana yang hendak atau sedang mencalonkan diri dalam pilkada di wilayah
yang sama, karena tujuan pengaturannya adalah untuk mencegah petahana mengambil
keuntungan secara sepihak dengan melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaannnya
baik berupa penggantian pejabat maupun memanfaatkan program dan kegiatan yang
didanai publik untuk kepentingan pemenangan dalam pilkada.
18
tentang Administrasi Pemerintahan, UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, serta
beberapa peraturan pemerintah terkait.
1. Tentang Petahana
Istilah “petahana” muncul di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
Pasal 7 huruf r dan Pasal 71. Namun demikian Undang-Undang tersebut tidak
memberikan definisi apa yang dimaksud dengan petahana.
PKPU No 9/2015 menyebutkan bahwa petahana adalah gubernur atau wakil
gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota yang sedang
menjabat. Pasal 1 angka 19 tersebut menyebutkan, petahana adalah gubernur atau wakil
gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota yang sedang
menjabat.
Surat Edaran KPU Nomor 302/KPU/VI/2015, kepala daerah yang
mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir sebelum masa pendaftaran, tidak
dianggap sebagai kepala daerah yang sedang menjabat (petahana/incumbent). Surat
Edaran KPU tertanggal 12 Juni 2015 itu pada poin 1 huruf a, menyebutkan: gubernur
atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota yang
masa jabatannya berakhir sebelum masa pendaftaran; atau mengundurkan diri sebelum
masa jabatannya berakhir yang dilakukan sebelum masa pendaftaran; atau berhalangan
tetap sebelum masa jabatannya berakhir dan terjadi sebelum masa pendaftaran, tidak
termasuk dalam pengertian petahana pada ketentuan Pasal 1 angka 19 Peraturan KPU
Nomor 9 Tahun 2015.
2. Menguntungkan atau merugikan
UU Pilkada tidak memberikan penjelasan yang memadai tentang rumusan
norma “menguntungan dan/atau merugikan” sebagaimana diatur dalam Pasal 71. Hal ini
menimbulkan kesulitan dalam proses penegakan hukum sesuai Pasal 188 dan Pasal 190.
Namun demikian, untuk mendapatkan gambaran makna dari unsur ini, dapat
merujuk kepada norma Pasal 2 dan Pasal 3 berikut penjelasannya dalam UU Tipikor.
Norma pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (1):
”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”
Penjelasan Pasal 2 ayat (1):
19
”Yang dimaksud dengan ”secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan-
perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangundangan, namun apabila
perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-
norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dalam ketentuan ini, kata ”dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan atau
perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik
formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur
perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat”
Pasal 3:
”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”;
Pasal ini telah diuji di MK, dimana dalam pertimbangan hukumnya, hakim MK
menyatakan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa kedua pertanyaan tersebut akan dijawab dengan pemahaman
bahwa kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK menyebabkan
perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan, bukan saja karena perbuatan
tersebut “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata”, akan
tetapi hanya “dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau
potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat
diajukan ke depan pengadilan. Kata “dapat” tersebut harus dinilai pengertiannya
menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas, yang menyatakan bahwa kata
”dapat” tersebut sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara”, menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut merupakan delik formil, yaitu
adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang
dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.
Karena itu Mahkamah dapat menerima penjelasan Pasal 2 ayat (1) sepanjang
menyangkut kata ”dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara”;
Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana
korupsi, terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk dibuktikan secara tepat dan
akurat. Ketepatan yang dituntut sedemikian rupa, akan menimbulkan keraguan, apakah
jika satu angka jumlah kerugian diajukan dan tidak selalu dapat dibuktikan secara
akurat, namun kerugian telah terjadi, akan berakibat pada terbukti tidaknya perbuatan
20
yang didakwakan. Hal demikian telah mendorong antisipasi atas akurasi kesempurnaan
pembuktian, sehingga menyebabkan dianggap perlu mempermudah beban pembuktian
tersebut. Dalam hal tidak dapat diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau
perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat terjadi,
telah dipandang cukup untuk menuntut dan memidana pelaku, sepanjang unsur dakwaan
lain berupa unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara
melawan hukum (wederrechtelijk) telah terbukti. Karena, tindak pidana korupsi
digolongkan oleh undang-undang a quo sebagai delik formil. Dengan demikian, kategori
tindak pidana korupsi digolongkan sebagai delik formil, di mana unsur-unsur perbuatan
harus telah dipenuhi, dan bukan sebagai delik materil, yang mensyaratkan akibat
perbuatan berupa kerugian yang timbul tersebut harus telah terjadi. Kata “dapat”
sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, dapat dilihat
dalam arti yang sama dengan kata “dapat” yang mendahului frasa “membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang”,
sebagaimana termuat dalam Pasal 387 KUHP. Delik demikian dipandang terbukti, kalau
unsur perbuatan pidana tersebut telah terpenuhi, dan akibat yang dapat terjadi dari
perbuatan yang dilarang dan diancam pidana tersebut, tidak perlu harus telah nyata
terjadi;”
Meskipun materi pengujian yang diajukan ke MK terkait dengan kata “dapat”,
namun putusan beserta pertimbangan hukum MK tersebut di atas menunjukkan bahwa
frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dimaknai sebagai delik
formil. Pertimbangan hukum yang dipergunakan oleh hakim MK memiliki kemiripan
dengan kondisi yang melingkupi norma Pasal 71. Kesulitan dalam proses pembuktian
keterpenuhan unsur “menguntungkan dan/atau merugikan” dalam Pasal 71 memiliki
bobot yang serupa dengan pembuktian Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, karena untuk
membuktikan keterpenuhan unsur “menguntungkan dan/atau merugikan” dalam Pasal 71
jika menggunakan delik materiil maka harus menunggu hingga masa penghitungan suara
(dimana berpotensi menjadikan kasus pelanggarannya kedaluwarsa), serta sangat musykil
untuk mencari tahu apakah perolehan suara calon dipengaruhi oleh tindakan/perbuatan
hukum terdakwa.
3. Penggantian Pejabat
Pasal 71 ayat (2) mengatur tentang larangan tindakan penggantian pejabat oleh
petahana. Dalam penjelasan pasal ini, tidak diuraikan pengertian kata penggantian ini,
Oleh karenanya, maka unsur “menguntungkan dan/atau merugikan” dalam Pasal 71
harus dimaknai sebagai delik formil. Hal ini didukung dengan jurisprudensi putusan
hakim PN Bima (yang akan dijelaskan pada bagian berikutnya).
21
namun justru dalam penjelasan ayat (2) disebutkan bahwa Pengisian jabatan hanya dapat
dilakukan untuk mengisi kekosongan jabatan. UU Nomor 8 tahun 2015 mengubah
penjelasan Pasal 71 ayat (2) dengan mengatur bahwa dalam hal terjadi kekosongan
jabatan, maka Gubernur, Bupati, dan Walikota menunjuk pejabat pelaksana tugas.
Sedangkan dalam UU Nomor 10 tahun 2016, ketentuan Pasal 71 ayat (2) kembali diubah
dengan menambahkan ketentuan tentang keharusan untuk mendapatkan persetujuan
Mendagri dalam hal akan dilakukan penggantian pejabat.
Dengan demikian, maka pengertian penggantian ini dimaknai secara luas,
namun tidak termasuk di dalamnya pengisian jabatan yang kosong.
3. Kajian Putusan
1. Perbuatan Menguntungkan atau Merugikan Pasangan Calon
a. Karim bin Basirum, PN Palopo, Nomor 2/Pid.S/2018/PN PLp
1. Kasus posisi
Karim bin Basirum, Kepala Desa Parekaju, pada tanggal 15 maret 2018, dengan
menggunakan seragam dinas, datang ke lapangan padang sappa untuk melihat
kedatangan romobongan calon gubernur nomor urut 3 yang datang menggunakan
helikopter. Kemudian mendatangi tempat kampanye dialogis di rumah saksi
bernama Rustam, terdakwa Karim bersalaman, dan duduk sejajar dengan calon
nomor urut 3 Nurdin.
Setelah acara selesai, pada saat rombongan calon Nurdin akan meninggalkan
tempat, saksi bernama Bambang mengucapkan: “Pokoknya pertahankan saja TPS
masing-masing”, yang kemudian ditanggapi oleh Terdakwa dengan
mengucapkan “Pertanggungjawabkan wilayahmu”.
Keterangan saksi Basnawir bin Muhammad Nur, anggota Panwascam kecamatan
Ponrang menyebutkan bahwa Terdakwa hadir dalam acara kampanye dialogis
tersebut. Terdakwa menggunakan atribut kepala desa berupa topi yang
bertuliskan kepala desa. Saksi memotret dan merekam audio-visual peristiwa
tersebut.
Keterangan saksi Rustam, pemilik rumah yang dipergunakan sebagai lokasi
kegiatan kampanye dialogis menyatakan bahwa Terdakwa hadir dalam kegiatan
tersebut. Saksi mengetahui bahwa Terdakwa adalah kepala desa, namun saksi
menyatakan tidak mengundang Terdakwa. Saksi melihat bahwa Terdakwa tidak
menggunakan atribut kampanye, namun menggunakan seragam kepala desa
berupa topi bertuliskan kepala desa. Ketika diperlihatkan bukti foto dan video,
saksi membenarkan bukti dimaksud.
Saksi Bambang menyatakan bahwa benar Terdakwa hadir dalam kegiatan
tersebut dengan memakai topi bertuliskan kepala desa. Saksi juga mengenali
22
bahwa Terdakwa adalah kepala desa. Saksi menyatakan bahwa kegiatan tersebut
menurut pengetahuannya adalah acara keluarga. Pada saat acara berakhir, Sasi
secara spontang mengatakan: “Pokoknya pertahankan saja TPS masing-masing”,
yang kemudian ditanggapi oleh Terdakwa dengan mengucapkan
“Pertanggungjawabkan wilayahmu”.
Saksi Ahli Adly Aqsha Darwis yang merupakan komisioner KPU, menjelaskan
bahwa berdasarkan foto dan video yang diperlihatkan di persidangan, kegiatan
tersebut termasuk dalam kategori kegiatan kampanye. Kepala Desa dilarang
menghadiri kegiatan kampanye, karena dapat dinilai menciderai asas netralitas.
Saksi Deviadi (Saksi A de Charge) merupakan ketua tim sukses calon nomor urut
3, dan menyatakan bahwa kegiatan tersebut merupakan silaturrahim bukan
kegiatan kampanye. Saksi melihat Terdakwa hadir, tetapi tidak mengetahui
apakah terdakwa diundang atau tidak. Saksi juga mengetahui bahwa Terdakwa
adalha kepala desa.
Terdakwa memberikan keterangan yang membenarkan kehadirannya pada acara
dimaksud. Terdakwa menyatakan bahwa topi tersebut bukan merupakan seragam
resmi kepala desa, dan Terdakwa membelinya di toko. Terdakwa menyatakan
tidak diundang namun hanya ditelpon oleh keponakannya. Terdakwa menyatakan
pernah menghadiri acara sosialisasi tentang kampanye, dimana Panwaslu yang
hadir menyatakan bahwa kepala desa boleh hadir di acara kampanye, namun
tidak boleh melakukan 3 hal; orasi, menjelek-jelekan kandidat, dan berteriak-
teriak di atas panggung.
2. Pasal yang disangkakan
Pasal Pasal 188 Perpu Nomor 1 Tahun 2014 Jo Pasal 71 Ayat (1) UU Nomor 10
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014.
3. Unsur-unsur pelanggaran/tindak pidana
 Pejabat Negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau
sebutan lain/Lurah
 dengan sengaja
 melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu calon
 selama masa kampanye
Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan keterpenuhan unsur sebagai
berikut:
 Unsur pertama terpenuhi berdasarkan keterangan saksi, SK Bupati Luwu
tentang pengangkatan kepala desa, serta pengakuan Terdakwa didukung oleh
pemeriksaan identitas.
23
 Unsur kedua sengaja dimaknai sebagai mengetahui dan menghendaki, artinya
mengetahui dan menghendaki perbuatan yang dilakukan. Unsur keputusan
dimaknai sebagai perihal yang berkaitan dengan putusan (KBBI). Tindakan
dimaknai sebagai sesuatu yang dilakukan, tindakan yang dilaksanakan untuk
mengatasi sesuatu (KBBI). Menguntungkan dimaknai sebagai memberi
(mendatangkan) laba; menjadikan beruntung; memberikan manfaat (KBBI).
Merugikan dimaknai sebagai menyebabkan rugi, mendatangkan sesuatu yang
kurang baik.
 Unsur Kampanye dimaknai sebagaiman definisi dalam undang-undang.
 Berdasarkan fakta persidangan, hakim berpendapat bahwa telah terjadi
peristiwa dimaksud, dimana Terdakwa hadir tanpa undangan resmi, dengan
menggunakan topi bertuliskan kepala desa, dan Terdakwa duduk sejajar
dengan calon nomor urut 3. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal dimana
masa kampanye berlangsung, kegiatan berlangsung dalam bentuk dialog, dan
calon memaparkan visi misi dan programnya.
 Mengenai unsur keputusan dan/atau tindakan, hakim berpendapat bahwa hal
tersebut merupakan kumulatif/alternatif, sehingga untuk keterbuktian unsur
tersebut dapat salah satu atau keduanya.
 Hakim juga mempertimbangkan ketentuan dalam UU Nomor 6 tahun 2014
tentang Desa Pasal 29 huruf j, yang menyatakan bahwa kepala desa dilarang
ikut serta/terlibat dalam kegiatan kampanye pemilu dan pemilihan kepala
daerah.
 Berdasarkan fakta persidangan, Hakim melihat bahwa kehadiran terdakwa
dalam kegiatan dimaksud, duduk di barisan depan sejajar dengan calon dinilai
sebagai bentuk dukungan kepada calon dan bersikap tidak netral. Majelis
Hakim berpendapat bahwa arti netralitas kepal desa adalah:
 Tidak boleh terlibat dalam arti tidak menjadi tim sukses atau tidak
menghadiri acara kampanye dengan menggunakan atribut partai atau
fasilitas negara.
 Tidak boleh memihak dalam arti tidak membantu membuat keputusan
dan/atau tindakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon, tidak
mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpiahkan terhadap
salah satu calon berupa seruan, pertemuan, ajakan, pemberian barang
kepada masyarakat desa, serta tidak membantu dengan menggunakan
fasilitas negara.
 Berdasarkan fakta persidangan, hakim memandang bahwa unsur kedua telah
terpenuhi.
4. Amar Putusan
24
 Terdakwa secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
dimaksud
 Menjatuhkan pidana 2 bulan dan denda Rp. 1.000.000
 Pidana tersebut tidak usah dijalankan kecuali di kemudian hari terdapat
putusan hakim yang menentukan bahwa Terdakwa melakukan perbuatan
poidana sebelum masa percobaan 4 bulan berakhir
 Membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000
b. H. Surfil, SH. MH, Nomor: 1/Pid.Sus/2018/PN Rbi
1. Kasus posisi
Terdakwa yang merupakan Camat Raba yang diangkat berdasarkan SK Walikota
Bima hadir dalam acara silaturrahim dan pengukuhan di kelurahan Kendo,
Kecamatan Raba, bersama Lurah kendo dan Lurah Ntobo. Acara tersebut juga
dihadiri oleh calon nomor urut 1, H. Rahman E. Abidin.
Calon Rahman memberikan arahan dalam acara tersebut. Setelah berakhirnya
arahan dari calon nomor urut 1, terdakwa tiba-tiba berdiri menghadap ke peserta
kegiatan yang hadir, mengacungkan jari tulujuk kanan, lalu mengacungkan
jempol, dan berujar dalam bahasa daerah yang berarti: “Hidup Haji Man dan
jangan lupa nomor 1” yang kemudian diikuti oleh peserta yang hadir.
Beberapa saksi dihadirkan, Saksi Anu Sirwan selaku tim advokasi calon nomor
urut 2, tidak mleihat langsung kejadian tersebut, melainkan hanya dari rekaman
video. Lalu melaporkannya ke Panwaslu. Saksi menganggap kegiatan tersebut
merupakan bentuk kampanye.
Saksi Habibi, S.Sos selaku Pengawas Lapangan menyatakan melihat langsung
kejadian tersebut dan merekamnya dalam bentuk video. Saksi mendatangi
kegiatan tersebut atas perintah Panwascam berdasarkan jadwal kampanye.
Saksi Sudirno menyatakan hadir dan melihat kejadian tersebut, namun
mengatakan bahwa kegiatan tersebut bukan kampanye melainkan acara doa
bersama.
2. Pasal yang disangkakan
Analisa Putusan
Dari putusan atas perkara ini dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
 Unsur Kepala Desa dibuktikan dengan SK pengangkatan
 Unsur membuat keputusan dan/atau tindakan dibuktikan secara alternatif
 Unsur menguntungkan dibuktikan dari tindakan untuk menghadiri kegiatan
kampanye, duduk sejajar dengan calon.
 Unsur masa kampanye dibuktikan dari jadwal kampanye.
25
Pasal Pasal 188 Perpu Nomor 1 Tahun 2014 Jo Pasal 71 Ayat (1) UU Nomor 10
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014.
3. Unsur-unsur pelanggaran/tindak pidana
 Pejabat Negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau
sebutan lain/Lurah
 dengan sengaja
 melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu calon
 selama masa kampanye
Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan keterpenuhan unsur sebagai
berikut:
 Unsur pertama terpenuhi berdasarkan keterangan saksi, SK Bupati Luwu
tentang pengangkatan kepala desa, serta pengakuan Terdakwa didukung oleh
pemeriksaan identitas.
 Unsur kedua sengaja dimaknai sebagai kesadaran untuk mencapai suatu
tujuan tertentu, yang dapat terdiri atas sengaja dengan maksud, sengaja
dengan kesadaran, atau sengaja dengan kemungkinan. Berdasarkan fakta
persidangan, terlihat bahwa Terdakwa berdiri menghadap peserta,
mengacungkan jari telunjuk, dan menyerukan: “Hidup Haji Man dan jangan
lupa nomor 1” yang kemudian diikuti oleh peserta yang hadir. Dengan
demikian hakim menyimpulkan bahwa Terdakwa menunjukkan kesadaran
atas tindakannya.
 Unsur ASN dan Pejabat negara; dimaknai sebagai pejabat yang lingkungan
kerjanya berada di lembaga negara. Berdasarkan bukti yang diajukan berupa
SK pengangkatan Terdakwa sebagai PNS, SK pengangkatan PNS dalam
jabatan struktural maka unsur ini terpenuhi.
 Mengenai unsur keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau
merugikan, hakim berpendapat bahwa tidak dapat dimaknai secara sempit
dalam arti materiil, melainkan harus dimaknai secara luas dalam arti fomil,
dalam arti suatu perbuatan akan berimplikasi pada dapat tidaknya suatu
pasangan calon atas perbuatan tersebut akan mendapatkan keuntungan atau
kerugian. Dalam kapsitasnya sebagai Camat, Terdakwa dianggap tahu bahwa
calon Nomor urut 1 yang sedang cuti untuk kampanye hadir dalam kegiatan
tersebut, sehingga Terdakwa seharusnya dapat memutuskan untuk tidak hadir.
Oleh karenanya, unsur ini dinilai terpenuhi.
4. Amar Putusan
 Terdakwa secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
dimaksud
 Menjatuhkan pidana 2 bulan
26
 Pidana tersebut tidak usah dijalankan kecuali di kemudian hari terdapat
putusan hakim yang menentukan bahwa Terdakwa melakukan perbuatan
poidana sebelum masa percobaan 6 bulan berakhir
 Membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500
2. Penggantian Pejabat, Kasus sengketa TUN Nomor 570 K/TUN/PILKADA/2016
1. Kasus posisi
Putusan ini merupakan hasil dari upaya kasasi yang dilakukan oleh Darwis Maridu
dan Ir. Hi. Anas Jusuf dengan obyek perkara Surat Keputusan Komisi Pemilihan
Umum Kabupaten Boalemo
No.24/Kpts/KPU.Kab.Boalemo/Pilbup/027.436540/X/2016
2016 Tentang Penetapan Calon Bupati dan Wakil Bupati yang memenuhi
syarat sebagai Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten
Boalemo 2017;
2. Pasal yang disangkakan
Pasal Pasal 188 Perpu Nomor 1 Tahun 2014 Jo Pasal 71 Ayat (1) UU Nomor 10
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014.
3. Unsur-unsur pelanggaran/tindak pidana
• Pejabat Negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan
lain/Lurah
• dengan sengaja
• melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu calon
• selama masa kampanye
Analisa Putusan
Dari putusan atas perkara ini dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
 Unsur ASN dan Camat dibuktikan dengan SK pengangkatan
 Unsur membuat keputusan dibuktikan dengan menunjukkan kesadaran Terdakwa selaku
Camat yang dinilai memahami ketentuan keharusan Cuti bagi kepala daerah yang
berkampanye, sehingga jika calon yang sedang cuti dan mengadakan acara dimana
mengundang Terdakwa, maka Terdakwa dinilai seharusnya dapat membuat keputusan
untuk tidak menghadirinya.
 Unsur menguntungkan tidak dimaknai secara sempit (materiil) melainkan secara luas
(formil) dengan menguraikan maksud pembentuk undang-undang. Dengan demikian,
tindakan terdakwa mengacungkan jari dan membuat seruan sudah dinilai memenuhi unsur
menguntungkan.
 Unsur masa kampanye dibuktikan dari jadwal kampanye.
27
BAGIAN III KESIMPULAN
Berdasarkan kajian teoritik dan perundang-undangan tersebut di atas, maka guna
kepentingan penegakan hukum berdasarkan ketentuan pasal 188 dan 190 junto pasal 71 UU
tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota, perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini:
1. Unsur Setiap orang
Setiap orang dimaknai sebagai setiap orang/manusia sebagai subyek hukum yang:
 yang dapat mempertanggung-jawaban perbuatannya.
 tidak kurang sempurna akalnya (verstandelijke vermoges); atau
 tidak sakit jiwanya (zeekelijke string der verstandelijk vermogengs)
 tidak dalam keadaan terpaksa (overmacht) baik dari orang atau keadaan tertentu, baik
bersifat absolut maupun relatif
2. Pejabat negara
Pejabat negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada di lembaga negara. Alat
bukti yang diperlukan untuk pembuktian unsur ini berupa SK pengangkatan sebagai PNS,
SK pengangkatan PNS dalam jabatan struktural.
3. Pejabat ASN
Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi
pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada
instansi pemerintah.
Pejabat ASN adalah ASN yang menduduki jabatan ASN yang terdiri atas jabatan
administrasi, jabatan fungsional, atau jabatan pimpinan tinggi. Dengan demikian, seluruh
ASN adalah pejabat ASN.
Alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini mencakup antara
lain:
 SK pengangkatan sebagai ASN dari pejabat yang berwenang.
 SK pengangkatan ASN dalam jabatan tertentu.
4. Kepala desa
Kepala desa adalah seseorang yang menjabat sebagai pemimpin dalam
pemerintahan desa.
Alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini adalah:
 SK pengangkatan sebagai Kepala Desa dari pejabat yang berwenang.
 Bukti identitas diri yang bersangkutan.
5. Dengan sengaja
Sengaja dimaknai sebagai sesuatu yang berkaitan dengan niat yang tidak
dapat dilihat dan tidak konkrit, dilandasi oleh kesadaran untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Kesengajaan dianggap ada apabila perbuatan dan akibat suatu tindak pidana
dikehendaki oleh si pelaku, atau apabila si pelaku pada waktu mulai melakukan
perbuatan ada bayangan yang terang bahwa akibat yang bersangkutan akan tercapai.
28
Kesengajaan dapat terdiri atas:
 sengaja dengan maksud (opzet als oogmerk) yakni perbuatan yang dilakukan oleh si
pelaku atau terjadinya suatu akibat dari perbuatan si pelaku adalah memang menjadi
tujuannya,
 sengaja dengan kesadaran (opzet bij zekerheid bewustzijn) yakni apabila si pelaku
dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar
dari perbuatn pidana, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti
perbuatannya tersebut.
 sengaja dengan kemungkinan (opzet bij heidzbwustzijn) yakni apabila dengan
dilakukannya perbuatan atau terjadinya suatu akibat yang dituju itu maka disadari
bahwa adaya kemungkinan akan timbul akibat lain.
Alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini antara lain adalah
photo atau rekaman audio-visual atau keterangan saksi yang menunjukkan terjadinya
peristiwa hukum dan akibat yang terjadi setelahnya.
6. Membuat keputusan dan/atau tindakan
Unsur keputusan dan/atau tindakan sebagaimana dimaksud pasal 71 adalah suatu
perbuatan yang dilarang yakni perbuatan yang akan berimplikasi pada dapat tidaknya
suatu pasangan calon atas perbuatan tersebut akan mendapatkan keuntungan atau
kerugian. Bentuk keputusan ini dapat berupa keputusan yang bersifat formal dan
administratif maupun keputusan yang tidak berwujud administratif (keputusan seseorang
untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu).
Sedangkan bentuk tindakan (yang menguntungkan dan/atau merugikan) terdiri
atas tindakan menghadiri kegiatan kampanye, menghimbau, mengajak, memberikan
isyarat, memberikan respon berupa like atau dislike di media sosial, dan lain-lain.
Alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini antara lain dapat
berupa foto, rekaman audio visual, selebaran, dan lain-lain yang menunjukkan bukti
terjadinya peristiwa hukum tersebut.
7. Menguntungkan dan/atau merugikan
Unsur menguntungkan dan/atau merugikan dimaknai sebagai delik formil dalam
arti delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan
diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Dengan demikian tidak diperlukan
adanya akibat apakah benar pasangan calon mendapat keuntungan atau mendapat
kerugian, dengan terjadinya tindak pidana sudah dinyatakan tindak pidana tersebut telah
terjadi.
Dengan demikian alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini
adalah bukti terkait terjadinya peristiwa hukum itu sendiri misalnya photo, rekaman audio
visual, dan lain-lain.
8. Masa kampanye
Masa kampanye adalah periode waktu pelaksanaan kampanye yang ditetapkan
oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
29
Alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini dapat berupa SK
KPU tentang jadwal kampanye.
9. Penggantian pejabat
Penggantian pejabat adalah kegiatan mengganti pejabat ASN dalam lingkungan
pemerintah daerah dari satu jabatan ke jabatan lain baik secara vertikal maupun
horizontal.
Alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini dapat berupa SK
tentang penggantian jabatan.
10. Menggunakan program dan kegiatan pemerintah daerah
Program dan kegiatan pemerintah daerah berarti upaya atau kegiatan untuk
mewujudkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan dalam dokumen
rencana program dan anggaran pembangunan daerah baik RPJMD, RKP, maupun APBD.
Alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini dapat berupa
dokumen RPJMD, RKP, maupun APBD.
30
DAFTAR PUSTAKA
Parris, H. Constitutional bureaucracy. The development of British central administration since
the eighteenth century. London: George Allen & Unwin. 1969
Weber, M. Bureaucracy, dalam J. M. Shafritz & A. C. Hyde (Eds.), Classics of public
administration (pp. 43-48). Boston, MA: Thomson Wadsworth. 2007
Beetham, D. Bureaucracy (2nd ed.). Minneapolis, MN: University of Minnesota Press. 1996
Organisation for Economic Co-operation and Development. Civil service legislation contents
checklist. SIGMA Papers No. 5. Paris: OECD/SIGMA. 1996
Suleiman, E. Dismantling democratic states. Princeton, NJ: Princeton University Press. 2003
Sharpe, J. The relationship between parliament and the civil service. The Parliamentarian.
Journal of the Parliaments of the Commonwealth, 74(4). 1993
Kernaghan, K. Political rights and political neutrality: Finding the balance point. Canadian
Public Administration, 29(4). 1986.
Kernaghan, K., & Langford, J. W. The responsible public servant. Halifax: The Institute for
Research on Public Policy. 1990
Mosher, F. C. Democracy and the public service. New York: Oxford University Press, 1982
Meyer-Sahling, J.-H. Sustainability of civil service reforms in central and eastern Europe five
years after EU accession, SIGMA Papers, No. 44, OECD Publishing, 2009.
Hughes, O. E. Public management and administration. An introduction (4th ed.). Basingstoke,
UK: Palgrave Macmillan. 2012.
Christensen, T., & Lægreid, P. The fragmented state - the challenges of combining efficiency,
institutional norms and democracy (Working paper 3). Stein Rokkan Centre for Social
Studies. 2004.
Prebble, M. With respect. Parliamentarians, officials, and judges too. Wellington, New Zealand:
Institute of Policy Studies, 2010.
Ridley, F. F. (1995). Civil service and democracy: questions in reforming the civil service in
Eastern and Central Europe. Public Administration and Development, 15(1), 1995.
Aberbach, Putnam, & Rockman, 1981 sebagaimana dikutip oleh Campbell, C., & Peters, B. G.
(1988). The politics/administration dichotomy: Death or merely change? Governance:
An International Journal of Policy and Administration, 1(1).
31
Kernaghan, K. Politics, policy and public servants: Political neutrality revisited. Canadian Public
Administration, 19(3), 1976.
Caiden, G. E. The concept of neutrality. In H. K. Asmerom & E. P. Reis (Eds.), Democratization
and bureaucratic neutrality (pp. 20-44). London: Macmillan Press Ltd. 1996.
IFES, Abuse of State Resources Research and Assessment Framework: Guidelines for the
Democracy and Governance Community of Practice, 2018.
Organization for Security and Co‑ operation in Europe's Office for Democratic Institutions and
Human Rights (OSCE/ODIHR), Handbook for the Observation of Campaign Finance
66. 2015
Annan, K., E. Z. Ponce de Leon, M. Ahtisaari, M. K. Albright et al. Deepening democracy: a
strategy for improving the integrity of elections worldwide. Report of the Global
Commission on Elections, Democracy and Security, Stockholm, 2012.
Megan Ritchie et.al, Unfair Advantage: The Abuse of State Resources in Elections, IFES, 2017
Hojnacki, W. P. (1996). Politicization as a civil service dilemma. In H. A. G. M. Bekke, J. L.
Perry, & T. A. J. Toonen (Eds.), Civil service systems in comparative perspective (pp.
137-164). Bloomington, IN: Indiana University Press, 1996.
Riggs, F. W. (1988). Bureaucratic politics in the US: Benchmarks for comparison. Governance:
An International Journal of Policy and Administration, 1(4), 1988.
Meyer-Sahling, J.-H. (2008). The changing colours of the post-communist state: The
politicisation of the senior civil service in Hungary. European Journal of Political
Research, 47(1), 2008.
Megan Ritchie et.al, Unfair Advantage: The Abuse of State Resources in Elections, IFES, 2017
Cox, Gary W., and Jonathan N. Katz.“Why Did the Incumbency Advantage in U.S.House
Elections Grow?” American Journal of Political Science, 1996.
Erwin Chemerinsky, Protecting the Democratic Process; Voter Standing to Challenge Abuse of
Incumbency.
Hafner-Burton, Hyde, and Jablonski, Surviving Elections:
Election Violence, Incumbent Victory, and Post-Election Repercussions, Emilie M.
Hafner-Burton, Susan D. Hyde, Ryan S. Jablonski, 2014

More Related Content

What's hot

Bab v pelanggaran pemilu dan penangannya
Bab v pelanggaran pemilu dan penangannyaBab v pelanggaran pemilu dan penangannya
Bab v pelanggaran pemilu dan penangannya
Lunandi Syaiful
 
Kesiapan lembaga pengawas pemilu dalam pengawasan pemilu 2014
Kesiapan lembaga pengawas pemilu dalam pengawasan pemilu 2014Kesiapan lembaga pengawas pemilu dalam pengawasan pemilu 2014
Kesiapan lembaga pengawas pemilu dalam pengawasan pemilu 2014
Wilson Therik
 
Penanganan pelanggaran
Penanganan pelanggaranPenanganan pelanggaran
Penanganan pelanggaran
Ahmad Solihin
 
Perbawaslu no.2 2012_tata cara pelaporan dan penanganan pelanggaran
Perbawaslu no.2 2012_tata cara pelaporan dan penanganan pelanggaranPerbawaslu no.2 2012_tata cara pelaporan dan penanganan pelanggaran
Perbawaslu no.2 2012_tata cara pelaporan dan penanganan pelanggaran
MTs DARUSSALAM
 

What's hot (20)

PKPU Nomor 8 Tahun 2017
PKPU Nomor 8 Tahun 2017PKPU Nomor 8 Tahun 2017
PKPU Nomor 8 Tahun 2017
 
Peran sekretariat dalam musyawarah sengketa pemilihan
Peran sekretariat dalam musyawarah sengketa pemilihanPeran sekretariat dalam musyawarah sengketa pemilihan
Peran sekretariat dalam musyawarah sengketa pemilihan
 
Bab v pelanggaran pemilu dan penangannya
Bab v pelanggaran pemilu dan penangannyaBab v pelanggaran pemilu dan penangannya
Bab v pelanggaran pemilu dan penangannya
 
PKPU Nomor 9 Tahun 2017
PKPU Nomor 9 Tahun 2017PKPU Nomor 9 Tahun 2017
PKPU Nomor 9 Tahun 2017
 
Buku Panduan KPPS Satu Pasangan Calon
Buku Panduan KPPS Satu Pasangan CalonBuku Panduan KPPS Satu Pasangan Calon
Buku Panduan KPPS Satu Pasangan Calon
 
UU Nomor 7 Tahun 2017 ( PENJELASAN )
UU Nomor 7 Tahun 2017 ( PENJELASAN )UU Nomor 7 Tahun 2017 ( PENJELASAN )
UU Nomor 7 Tahun 2017 ( PENJELASAN )
 
Perlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilihPerlindungan suara pemilih
Perlindungan suara pemilih
 
Kesiapan lembaga pengawas pemilu dalam pengawasan pemilu 2014
Kesiapan lembaga pengawas pemilu dalam pengawasan pemilu 2014Kesiapan lembaga pengawas pemilu dalam pengawasan pemilu 2014
Kesiapan lembaga pengawas pemilu dalam pengawasan pemilu 2014
 
Presentasi kajian penindakan dugaan pelanggaran
Presentasi kajian penindakan dugaan pelanggaranPresentasi kajian penindakan dugaan pelanggaran
Presentasi kajian penindakan dugaan pelanggaran
 
Muktiono materi presentasi
Muktiono materi presentasiMuktiono materi presentasi
Muktiono materi presentasi
 
Penegakan hukum dalam pelaksanaan pemilukada
Penegakan hukum dalam pelaksanaan pemilukadaPenegakan hukum dalam pelaksanaan pemilukada
Penegakan hukum dalam pelaksanaan pemilukada
 
Presentasi penanganan pelanggaran pemilu
Presentasi penanganan pelanggaran pemiluPresentasi penanganan pelanggaran pemilu
Presentasi penanganan pelanggaran pemilu
 
Tugas dan wewenang panwaslu kecamatan
Tugas dan wewenang panwaslu kecamatanTugas dan wewenang panwaslu kecamatan
Tugas dan wewenang panwaslu kecamatan
 
The indonesian management of election
The indonesian management of electionThe indonesian management of election
The indonesian management of election
 
Penanganan pelanggaran
Penanganan pelanggaranPenanganan pelanggaran
Penanganan pelanggaran
 
Pendidikan pemilih untuk pemula
Pendidikan pemilih untuk pemulaPendidikan pemilih untuk pemula
Pendidikan pemilih untuk pemula
 
Perbawaslu no. 5 tahun 2015 Tentang Pengawasan Tahapan Pencalonan
Perbawaslu no. 5 tahun 2015 Tentang Pengawasan Tahapan PencalonanPerbawaslu no. 5 tahun 2015 Tentang Pengawasan Tahapan Pencalonan
Perbawaslu no. 5 tahun 2015 Tentang Pengawasan Tahapan Pencalonan
 
Perbawaslu no.2 2012_tata cara pelaporan dan penanganan pelanggaran
Perbawaslu no.2 2012_tata cara pelaporan dan penanganan pelanggaranPerbawaslu no.2 2012_tata cara pelaporan dan penanganan pelanggaran
Perbawaslu no.2 2012_tata cara pelaporan dan penanganan pelanggaran
 
Peraturan Bawaslu Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan badan p...
Peraturan Bawaslu Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan badan p...Peraturan Bawaslu Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan badan p...
Peraturan Bawaslu Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan badan p...
 
Penyelesaian sengketa pemilihan gubernur, bupati dan walikota
Penyelesaian sengketa pemilihan gubernur, bupati dan walikotaPenyelesaian sengketa pemilihan gubernur, bupati dan walikota
Penyelesaian sengketa pemilihan gubernur, bupati dan walikota
 

Similar to Restatement pasal 71 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota

MATERI PENERAPAN PASAL 71.pptx.pptx.pptx
MATERI PENERAPAN PASAL 71.pptx.pptx.pptxMATERI PENERAPAN PASAL 71.pptx.pptx.pptx
MATERI PENERAPAN PASAL 71.pptx.pptx.pptx
gilangxtc69
 
MSDM SP - Perbandingan UU Kepegawaian & skema michigan rekrutmen pegawai
MSDM SP - Perbandingan UU Kepegawaian & skema michigan rekrutmen pegawaiMSDM SP - Perbandingan UU Kepegawaian & skema michigan rekrutmen pegawai
MSDM SP - Perbandingan UU Kepegawaian & skema michigan rekrutmen pegawai
Herlambang Bagus
 
Membaca Diskresi untuk Ingkar pasal 100 PP 43/2014
Membaca Diskresi untuk Ingkar pasal 100 PP 43/2014Membaca Diskresi untuk Ingkar pasal 100 PP 43/2014
Membaca Diskresi untuk Ingkar pasal 100 PP 43/2014
suryokoco suryoputro
 
FINAL REKOMENDASI DPRD SULTRA ATAS LKPJ 2009
FINAL REKOMENDASI DPRD SULTRA ATAS LKPJ 2009FINAL REKOMENDASI DPRD SULTRA ATAS LKPJ 2009
FINAL REKOMENDASI DPRD SULTRA ATAS LKPJ 2009
Ade Suerani
 
PPT Tambahan Kesiapan Divisi PP Bawaslu.pptx
PPT Tambahan Kesiapan Divisi PP Bawaslu.pptxPPT Tambahan Kesiapan Divisi PP Bawaslu.pptx
PPT Tambahan Kesiapan Divisi PP Bawaslu.pptx
DeddyRiyanto
 
Pemekaran wilayah
Pemekaran wilayahPemekaran wilayah
Pemekaran wilayah
Lisa SYP
 

Similar to Restatement pasal 71 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota (20)

MATERI PENERAPAN PASAL 71.pptx.pptx.pptx
MATERI PENERAPAN PASAL 71.pptx.pptx.pptxMATERI PENERAPAN PASAL 71.pptx.pptx.pptx
MATERI PENERAPAN PASAL 71.pptx.pptx.pptx
 
presentasi pemilu.pptx
presentasi pemilu.pptxpresentasi pemilu.pptx
presentasi pemilu.pptx
 
Peta persoalan
Peta persoalanPeta persoalan
Peta persoalan
 
MSDM SP - Perbandingan UU Kepegawaian & skema michigan rekrutmen pegawai
MSDM SP - Perbandingan UU Kepegawaian & skema michigan rekrutmen pegawaiMSDM SP - Perbandingan UU Kepegawaian & skema michigan rekrutmen pegawai
MSDM SP - Perbandingan UU Kepegawaian & skema michigan rekrutmen pegawai
 
Himbauan
HimbauanHimbauan
Himbauan
 
materi bpk daryanto apindo FGD MA 1092021[494].pdf
materi bpk daryanto apindo FGD MA 1092021[494].pdfmateri bpk daryanto apindo FGD MA 1092021[494].pdf
materi bpk daryanto apindo FGD MA 1092021[494].pdf
 
Perpres nomor 64 tahun 2020
Perpres nomor 64 tahun 2020Perpres nomor 64 tahun 2020
Perpres nomor 64 tahun 2020
 
PKPU Nomor 13 Tahun 2017
PKPU Nomor 13 Tahun 2017PKPU Nomor 13 Tahun 2017
PKPU Nomor 13 Tahun 2017
 
Membaca Diskresi untuk Ingkar pasal 100 PP 43/2014
Membaca Diskresi untuk Ingkar pasal 100 PP 43/2014Membaca Diskresi untuk Ingkar pasal 100 PP 43/2014
Membaca Diskresi untuk Ingkar pasal 100 PP 43/2014
 
OTONOMI DAERAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP BIDANG KETENAGAKERJAAN
OTONOMI DAERAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP BIDANG KETENAGAKERJAANOTONOMI DAERAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP BIDANG KETENAGAKERJAAN
OTONOMI DAERAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP BIDANG KETENAGAKERJAAN
 
Pp no 7 th 1977 ttg peraturan gaji pns
Pp no 7 th 1977 ttg peraturan gaji pnsPp no 7 th 1977 ttg peraturan gaji pns
Pp no 7 th 1977 ttg peraturan gaji pns
 
1-SOSIALISASI PP-53 BKD.pptx
1-SOSIALISASI PP-53 BKD.pptx1-SOSIALISASI PP-53 BKD.pptx
1-SOSIALISASI PP-53 BKD.pptx
 
Resume PP UU Cipta Kerja - Klaster Ketenagakerjaan.pptx
Resume PP UU Cipta Kerja - Klaster Ketenagakerjaan.pptxResume PP UU Cipta Kerja - Klaster Ketenagakerjaan.pptx
Resume PP UU Cipta Kerja - Klaster Ketenagakerjaan.pptx
 
PKPU Nomor 15 Tahun 2017
PKPU Nomor 15 Tahun 2017PKPU Nomor 15 Tahun 2017
PKPU Nomor 15 Tahun 2017
 
FINAL REKOMENDASI DPRD SULTRA ATAS LKPJ 2009
FINAL REKOMENDASI DPRD SULTRA ATAS LKPJ 2009FINAL REKOMENDASI DPRD SULTRA ATAS LKPJ 2009
FINAL REKOMENDASI DPRD SULTRA ATAS LKPJ 2009
 
PPT Tambahan Kesiapan Divisi PP Bawaslu.pptx
PPT Tambahan Kesiapan Divisi PP Bawaslu.pptxPPT Tambahan Kesiapan Divisi PP Bawaslu.pptx
PPT Tambahan Kesiapan Divisi PP Bawaslu.pptx
 
Bab 13 "Sanksi Administratif dan Finansial Pelanggaran TKDN" _Buku *Teknik P...
Bab 13 "Sanksi Administratif dan Finansial Pelanggaran TKDN"  _Buku *Teknik P...Bab 13 "Sanksi Administratif dan Finansial Pelanggaran TKDN"  _Buku *Teknik P...
Bab 13 "Sanksi Administratif dan Finansial Pelanggaran TKDN" _Buku *Teknik P...
 
Pemekaran wilayah
Pemekaran wilayahPemekaran wilayah
Pemekaran wilayah
 
Materi Coklit.pptx
Materi Coklit.pptxMateri Coklit.pptx
Materi Coklit.pptx
 
Mengenal Gratifikasi
Mengenal GratifikasiMengenal Gratifikasi
Mengenal Gratifikasi
 

More from Ahsanul Minan

More from Ahsanul Minan (20)

Analisa Stakeholder Dalam Mempromosikan Open Data dan Data.pptx
Analisa Stakeholder Dalam Mempromosikan Open Data dan Data.pptxAnalisa Stakeholder Dalam Mempromosikan Open Data dan Data.pptx
Analisa Stakeholder Dalam Mempromosikan Open Data dan Data.pptx
 
Keterbukaan Informasi Pemilu
Keterbukaan Informasi PemiluKeterbukaan Informasi Pemilu
Keterbukaan Informasi Pemilu
 
Digitalisasi Pengawasan Partisipatif
Digitalisasi Pengawasan PartisipatifDigitalisasi Pengawasan Partisipatif
Digitalisasi Pengawasan Partisipatif
 
Tantangan pemilu serentak 2024
Tantangan pemilu serentak 2024Tantangan pemilu serentak 2024
Tantangan pemilu serentak 2024
 
Refleksi sistem penegakan hukum pemilu
Refleksi sistem penegakan hukum pemiluRefleksi sistem penegakan hukum pemilu
Refleksi sistem penegakan hukum pemilu
 
Tantangan Penerapan e-Voting di Indonesia
Tantangan Penerapan e-Voting di IndonesiaTantangan Penerapan e-Voting di Indonesia
Tantangan Penerapan e-Voting di Indonesia
 
Dana kampanye pemilu serentak 2019
Dana kampanye pemilu serentak 2019Dana kampanye pemilu serentak 2019
Dana kampanye pemilu serentak 2019
 
Keterbukaan Informasi Publik
Keterbukaan Informasi PublikKeterbukaan Informasi Publik
Keterbukaan Informasi Publik
 
Potret politik perempuan.pdf
Potret politik perempuan.pdfPotret politik perempuan.pdf
Potret politik perempuan.pdf
 
Sosialisasi Pengawasan Partisipatif
Sosialisasi Pengawasan PartisipatifSosialisasi Pengawasan Partisipatif
Sosialisasi Pengawasan Partisipatif
 
Tantangan kelembagaan institusi penyelenggara pemilu
Tantangan kelembagaan institusi penyelenggara pemiluTantangan kelembagaan institusi penyelenggara pemilu
Tantangan kelembagaan institusi penyelenggara pemilu
 
Peran masyarakat dalam pemantauan pemilu 2019
Peran masyarakat dalam pemantauan pemilu 2019Peran masyarakat dalam pemantauan pemilu 2019
Peran masyarakat dalam pemantauan pemilu 2019
 
Science and Research
Science and Research Science and Research
Science and Research
 
Hans Kelsen: Law & Moral
Hans Kelsen: Law & MoralHans Kelsen: Law & Moral
Hans Kelsen: Law & Moral
 
Sekolah kader pengawas pemilu
Sekolah kader pengawas pemiluSekolah kader pengawas pemilu
Sekolah kader pengawas pemilu
 
Penyitaan oleh bawaslu
Penyitaan oleh bawasluPenyitaan oleh bawaslu
Penyitaan oleh bawaslu
 
Menyoal revisi UU MD3
Menyoal revisi UU MD3Menyoal revisi UU MD3
Menyoal revisi UU MD3
 
Tantangan pembangunan hukum di indonesia
Tantangan pembangunan hukum di indonesiaTantangan pembangunan hukum di indonesia
Tantangan pembangunan hukum di indonesia
 
Standard pengawasan pungut hitung Pemilu
Standard pengawasan pungut hitung PemiluStandard pengawasan pungut hitung Pemilu
Standard pengawasan pungut hitung Pemilu
 
Gender & hukum islam di indonesia
Gender & hukum islam di indonesiaGender & hukum islam di indonesia
Gender & hukum islam di indonesia
 

Restatement pasal 71 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota

  • 1. 1 KAJIAN HUKUM PENERAPAN PASAL 71 UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 DALAM PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR, BUPATI DAN WAKIL BUPATI SERTA WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA Ahsanul Minan, MH Dosen Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Kajian ini disusun bersama Bawaslu RI JAKARTA, JUNI 2018
  • 2. 2 BAGIAN I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 71 UU nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota mengatur tentang 2 hal penting yakni pertama larangan bagi Pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah untuk membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa Kampanye; dan kedua larangan bagi petahana untuk melakukan penggantian pejabat serta menggunakan program dan kegiatan Pemerintahan Daerah untuk kegiatan Pemilihan 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir. Senada dengan larangan melakukan penggantian jabatan, Gubernur, Bupati, dan Walikota terpilih juga dilarang melakukan penggantian pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dilantik. Larangan sebagaimana dimaksud Pasal 71 ayat (1), (2) dan (3) disertai pula dengan 2 jenis ancaman sanksi. Pertama; ancaman sanksi pidana sebagaimana diatur dalam: a. Pasal 187 ayat (6) yang mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja menerima atau memberi dana Kampanye dari atau kepada pihak yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) dan/atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). b. Pasal 188 yang mengatur bahwa Setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah). c. Pasal 190 yang mengatur bahwa Pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) atau Pasal 162 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda CATATAN: ancaman sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 187 menunjukkan keanehan, karena pada dasarnya ancaman pidana dalam pasal ini berkaitan dengan laporan dana kampanye sebagaimana dijelaskan dalam frasa “setiap orang yang dengan sengaja menerima atau memberi dana Kampanye dari atau kepada pihak yang dilarang dengan merujuk Pasal 76 ayat (1)”, namun selanjutnya menyebut “tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada Pasal 71, sedangkan Pasal 71 tidak mengatur tentang dana kampanye. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan bahwa rujukan pasal 71 di dalam rumusan pasal 187 ini terjadi kesalahan. Oleh karena itu, ancaman pidana dalam Pasal 187 ini tidak akan dibahas lebih lanjut dalam restatement ini.
  • 3. 3 paling sedikit Rp 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah). Kedua: ancaman sanksi administrasi. Bagi petahana yang melanggar larangan tersebut, dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam ayat (4). Dibandingkan dengan UU yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah sebelumnya yakni UU Nomor 32 tahun 2004, ketentuan mengenai larangan bagi Pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah untuk membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa Kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 71 ayat (1), juga telah diatur dalam UU Nomor 32 tahun 2004 Pasal Pasal 80 yang mengatur bahwa Pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye. Dengan demikian, pada dasarnya tidak ada hal baru. Namun berbeda dengan ketentuan Pasal 71 ayat (2) dan (3) yang mengatur tentang larangan bagi petahana, hal ini tidak diatur dalam UU Nomor 32 tahun 2004, sehingga ketentuan ini merupakan ketentuan yang baru. Kebaruan norma pengaturan ini terletak pada 2 aspek; pertama adanya frasa petahana yang secara teknis tidak dijelaskan secara rinci dalam UU nomor 1 tahun 2015, sehingga menjadi kurang jelas bagi para pembaca, pelaksana dan penegak hukum tentang ruang lingkup subyek hukum petahana ini. Aspek kebaruan kedua adalah norma pengaturan tentang penyalahgunaan jabatan yang mencakup larangan untuk melakukan penggantian pejabat dan menggunakan program dan kegiatan Pemerintahan Daerah untuk kegiatan Pemilihan oleh petahana 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir. Norma pasal 71 ini berpotensi menimbulkan beberapa kesulitan di tingkat pelaksanaan hukum di lapangan. Hal ini disebabkan oleh karena adanya beberapa faktor: pertama, keterbatasan penjelasan dalam UU Pemilu dan Pilkada atas kata yang dipergunakan dalam penyebutan jenis jabatan yang dilarang untuk melakukan tindakan hukum tertentu. Misalnya, definisi petahana, apakah status petahana hanya berlaku bagi petahana yang akan mencalonkan diri di lokasi pemilihan yang sama atau juga berlaku bagi petahana yang akan mencalonkan diri di lokasi pemilihan yang berbeda? Kedua, keterbatasan penjelasan atas istilah yang dipergunakan untuk menyebutkan jenis perbuatan hukum tertentu yang dilarang. Contoh “menguntungkan” atau “merugikan”, “penggantian”, “program dan kegiatan”. Di samping tidak adanya penjelasan terminologis atas frasa-frasa tersebut dalam UU Pemilu dan UU Pemilihan, tidak diatur pula kriteria- kriteria yang bermanfaat untuk mengkonstruksikan pemaknaan atas istilah-istilah tersebut. Berbagai persoalan tersebut di atas sangat penting untuk dibuat terang, karena akan sangat mempengaruhi kinerja aparat pengawas pemilu dalam menjalankan tugas pengawasan dan penindakan terkait dengan penegakan ketentuan Pasal 188 dan Pasal 190. Oleh karenanya, dalam rangka membuat terang persoalan ini, perlu disusun penjelasan hukum
  • 4. 4 (restatement) ini agar dapat menjadi dasar pijak bagi aparat pengawas pemilu, dan mungkin juga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi penegak hukum lainnya. B. Problematika (Topik Kajian) Permasalahan hukum dalam pasal 71 jo Pasal 188 dan Pasal 190 yang akan dibahas pada dasarnya menyangkut sebuah isu utama yakni penyalahgunaan wewenang dalam proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Larangan praktek penyalahgunaan wewenang ini dibatasi pada jenis perbuatan hukum tertentu yang terdiri atas:  Pembuatan keputusan dan/atau pelaksanaan tindakan yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon kepala daerah tertentu sebagaimana diatur dalam pasal 71 ayat (1), serta menggunakan program dan kegiatan Pemerintahan Daerah untuk kegiatan Pemilihan sebagaimana diatur dalam pasal 71 ayat (3)  Penggantian pejabat oleh petahana (yang akan mencalonkan diri kembali dalam pemilihan kepala daerah) 6 bulan sebelum pemilihan sebagaimana diatur dalam Pasal 71 ayat (2). Dalam pelaksanaanya di lapangan, praktek dugaan pelanggaran hukum terkait Pasal 71 ini sulit untuk ditegakkan secara efektif, karena adanya kekaburan ruang lingkup pemaknaan dari norma tersebut, sehingga dalam tataran praksis menyulitkan bagi jajaran pengawas pemilu untuk menegakkan aturan ini. Dalam rangka membuat terang persoalan ini, maka perlu dilakukan kajian hukum atas beberapa masalah berikut ini: 1. Mengenai subyek hukum. Terkait dengan subyek hukum ini, setidaknya terdapat 2 hal yang perlu diperjelas; pertama siapa yang dimaksud dengan pejabat ASN ? apakah hanya mencakup jabatan pimpinan tinggi? Kedua, siapa yang dimaksud dengan petahana? Apakah semua orang yang sedang menjabat sebagai kepala daerah pada saat pilkada berlangsung? Ataukah termasuk juga kepala daerah yang mengundurkan diri beberapa saat sebelum pilkada berlangsung? 2. Mengenai perbuatan hukum penggantian pejabat sebagaimana diatur dalam pasal 71 ayat (2). Apakah istilah “penggantian” ini mencakup penurunan jabatan (demosi) saja, ataukah juga termasuk peningkatan jabatan (promosi), perpindahan jabatan dari jabatan yang strategis ke jabatan yang tidak strategis (mutasi)? 3. Mengenai unsur “menguntungkan atau merugikan”, apakah merupakan delik formil ataukah delik materiil? Di sisi lain, juga menjadi pertanyaan hukum, apa ukuran menguntungkan dan merugikan? Apa saja ruang lingkup bentuk keputusan atau tindakannya? C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan yang hendak dijawab dalam melakukan perumusan ulang unsur unsur pelanggaran politik uang, yakni sebagai berikut:
  • 5. 5 1. Apa ruang lingkup subyek hukum pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain dan petahana sebagaimana diatur dalam Pasal 71 ayat (1), (2) dan (3)? 2. Apakah kata “penggantian” sebagaimana diatur dalam pasal 71 ayat (2) mencakup penurunan jabatan (demosi) saja, ataukah juga termasuk peningkatan jabatan (promosi), perpindahan jabatan dari jabatan yang strategis ke jabatan yang tidak strategis (mutasi)? 3. Apakah ruang lingkup perbuatan melawan hukum dalam konteks “menguntungkan” atau “merugikan” (Pasal 71 ayat (1)), “program dan kegiatan” (Pasal 71 ayat (3)) ? 4. Apakah yang dimaksud dengan unsur “menguntungkan” atau “merugikan” dalam praktik penyalahgunaan wewenang dapat dibuktikan sejak awal terjadinya tindakan pidana, atau dengan kata lain merupakan delik formil atau delik materiil? apa ukuran menguntungkan dan merugikan? Apa saja ruang lingkup bentuk keputusan atau tindakannya? D. Maksud dan Tujuan Penelitian ini dimaksudkan untuk mendefinisikan ulang terhadap unsur unsur pelanggaran politik uang dalam Undang-Undang Pilkada. Adapun tujuan dalam pendefinisian ulang ini adalah sebagai berikut: 1. Mendapatkan rumusan tentang ruang lingkup subyek hukum Pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan Petahana sebagaimana diatur dalam Pasal 71 ayat (1), (2) dan (3). 2. Mendapatkan rumusan tentang ruang lingkup perbuatan melawan hukum dalam konteks “menguntungkan” atau “merugikan” (Pasal 71 ayat (1)), penggantian (Pasal 71 ayat (2)), “program dan kegiatan” (Pasal 71 ayat (3)). 3. Mendapatkan rumusan tentang unsur “menguntungkan” atau “merugikan” dalam praktik penyalahgunaan wewenang khususnya proses pembuktiannya. E. Kegunaan Penelitian Penelitian ini akan menjadi bahan kajian akademik sehingga bisa menjadi salah satu rujukan bagi jajaran pengawas pemilu terkait pelaksanaan pasal 71 jo Pasal 188 dan Pasal 190. F. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan cara menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis menyangkut asas, doktrin, konsep dan norma hukum. Telaah ini berkaitan dengan unsur-unsur netralitas dan penyalahgunaan wewenang dalam Pemilihan Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 71 jo Pasal 188 dan Pasal 190. Pendekatan yang dipakai menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute aproach) dan pendekatan kasus (case aproach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk mengetahui keseluruhan peraturan hukum menyangkut pengaturan netralitas pejabat negara, ASN, Kepala Desa dan Perangkat Desa dan penyalahgunaan wewenang. Sedangkan
  • 6. 6 pendekatan kasus digunakan untuk mempelajari dan melihat bagaimana praktik penerapan norma dalam penanganan perkara pidana pemilu khususnya menyangkut kasus netralitas pejabat negara, ASN, Kepala Desa dan Perangkat Desa dan penyalahgunaan wewenang yang telah diputus oleh pengadilan. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Adapun bahan hukum primer yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan terkait kasus netralitas pejabat negara, ASN, Kepala Desa dan Perangkat Desa dan penyalahgunaan wewenang. Sedangkan bahan hukum sekunder melingkupi literatur terkait khususnya menyangkut politik uang dan kajian kajian terdahulu tentang netralitas pejabat negara, ASN, Kepala Desa dan Perangkat Desa dan penyalahgunaan wewenang. Adapun bahan hukum primer yang akan digunakan adalah sebagai berikut: 1. Peraturan Perundang-Undangan:  UUD 1945  Perpu No. 1 Tahun 2014  UU No. 1 Tahun 2015  UU No. 8 Tahun 2015  UU No. 10 Tahun 2016  UU No. 5 tahun 2014 tentang ASN  UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI  UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia  UU No. 8 Tahun 2012  Peraturan KPU Nomor 9 tahun 2015  Peraturan Mendagri Nomor 73 tahun 2016 tentang Pendelegasian Wewenang Penandatanganan Persetujuan Tertulis Untuk Melakukan Penggantian Pejabat Di Lingkungan Pemerintah Daerah 2. Putusan Pengadilan:  Putusan Pengadilan Negeri Bima No 1/Pid.sus/2018/PN RBI  Putusan Pengadilan Negeri Palopo No 2/Pid.S/2018/PN Plp
  • 7. 7 BAGIAN II. ANALISA 1. Kajian Teori Kajian teori ini akan difokuskan kepada 2 hal; pertama kajian teoritik atas konsep netralitas pegawai pemerintah atau ASN atau civil servant/civil service, serta kajian teoritik atas konsep abuse of power dalam pemilu. Kajian teoritik atas 2 isu ini akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengkonstruksikan rumusan unsur dan keterpenuhannya terkait dengan pembuktian ancaman pidana. Kedua, kajian teoritik atas beberapa terminologi yang secara spesifik dipergunakan dalam norma pasal 71 yang mencakup antara lain; keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan, penggantian pejabat, penggunaan program dan kegiatan pemerintahan, serta petahana. Kajian teoritik atas beberapa terminologi ini akan dipergunakan untuk memaknai secara teknis terminologi-terminologi yang dipergunakan dalam rumusan norma UU dan ancaman pidananya terkait dengan Pasal 71, pasal 188, dan pasal 190. 1. Civil Service and Politicivil servant Pada bagian ini, akan dibahas 2 isu utama, pertama terkait dengan konsep netralitas pegawai pemerintah/civil servant (dalam konteks hukum Indonesia civil servant mencakup ASN, TNI, POLRI), dan bagaimana pola hubungan antara civil servant dengan pimpinan institusi yang berasal dari politisi baik unsur elected official atau politically appointed officials. Pola hubungan ini menjadi sangat penting untuk diulas karena pada umumnya hal ini menjadi penyebab utama munculnya mobilisasi dukungan politik di kalangan civil servant. Konsepsi ini perlu diulas karena merupakan prinsip yang ingin ditegakkan melalui ketentuan Pasal 71 ayat (1). Dan kedua konsepsi tentang abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan yang merupakan prinsip yang diatur dalam pasal 71 ayat (2) dan (3). a) Netralitas Civil Servant Pengertian Civil Service atau civil servant merupakan sebuah termonologi politis yang dipahami berbeda di berbagai negara. Parris mendefinisikan civil servant sebagai “a body of full-time, salaried officers, systematically recruited, with clear lines of authority, and uniform rules on such questions as superannuation”1. Sistem manajemen public servant dibingkai dalam kerangka sitem birokrasi, yang oleh Max Weber didefinisikan sebagai sebuah sistem administrasi yang dibangun di atas professionalisme pegawai yang dipandu oleh aturan main yang jelas.2 Beetham3 menyebutkan salah satu dari 4 cirinya adalah focus on 1 Parris,H.(1969). Constitutional bureaucracy. The development of British central administration since the eighteenth century. London: George Allen & Unwin., hal 22 2 Weber, M. (2007).Bureaucracy,dalam J. M. Shafritz& A. C. Hyde (Eds.), Classicsof public administration (pp. 43-48). Boston, MA: Thomson Wadsworth.
  • 8. 8 expertise where officials are hired on merit and trained for the tasks. Dengan demikian, professionalisme menjadi kata kunci bagi civil servant. Dalam rangka mewujudkan birokrasi dan civil servant yang professional, diperlukan kerangka hukum yang secara tegas mengatur “responsibilities, liabilities, duties and rights of those who execute the powers of the state, manage public funds or provide the services of the state to the public.”4 OECD mengidentifikasi 4 “best practices” tentang tujuan pengaturan hukum terkait dengan civil servants; salah satunya adalah bahwa kerangka hukum harus mendorong kualitas professionalisme pegawai dalam rangka meningkatkan kinerja, menjamin independensi pegawai dan melindungi mereka dari abuse of power dan bentuk mismanajemen lainnya, serta mendorong terbangunnya standard etik dalam public administration.5 Di samping kerangka hukum yang mendukung professionalisme, independensi, dan standard etik, pendekatan lain yang banyak digunakan di berbagai negara termasuk di Indonesia adalah pembentukan lembaga independen yang menangani manajemen civil servant dibandingkan dengan menempatkan fungsi manajemen civil servant ini di bawah sayap politik lembaga eksekutif -meskipun hal ini masih menjadi perdebatan. Kelompok yang tidak menyetujui pengelolaan civil servant di bawah komisi independen beranggapan bahwa “executive leaders, needing to consider their own re-election, their prestige, and their performance, feel a need to gain control of the instruments of governance”6. Sharpe menyatakan bahwa meskipun banyak pemerintah harus mengkompromikan regulasi terkait manajemen civil servant, namun prinsip untuk menjaga netralitas civil servant secara umum diterima7. Dalam rangka menjaga netralitas ini, maka beberapa hak yang dimiliki oleh masyarakat umum perlu dibatasi untuk dipergunakan oleh pegawai pemerintah. Secara umum, hak-hak politik ini antara lain: hak untuk melakukan kegiatan politik8 yang mencakup: hak untuk memberikan suara dalam pemilu; hak untuk bergabung dan menjadi anggota partai politik; hak untuk menjadi pengurus atau pimpinan partai politik; hak untuk mengikuti kegiatan atau pertemuan politik; hak untuk mendukung atau menolak calon atau partai tertentu; hak untuk mengikuti pawai atau kampanye; hak untuk menjadi delegasi dalam konvensi partai politik; hak untuk ikut menyumbang dana kampanye calon atau partai politik; ikut melakukan canvassing; 3 Beetham, D. (1996). Bureaucracy (2nd ed.). Minneapolis, MN: University of Minnesota Press , hal 9 4 Cardona (2002, p. 2) 5 Organisation for Economic Co-operation and Development. (1996). Civil service legislation contents checklist. SIGMA Papers No. 5. Paris: OECD/SIGMA, hal 6 6 Suleiman,E. (2003). Dismantlingdemocratic states.Princeton,NJ: Princeton University Press ,hal 214 7 Sharpe, J. (1993).The relationship between parliamentand the civil service.The Parliamentarian.Journal of the Parliaments of the Commonwealth, 74(4), hal.219 8 Kernaghan, K. (1986). Political rights and political neutrality: Finding the balance point. Canadian Public Administration, 29(4), 639-40.
  • 9. 9 mengikuti kegiatan di TPS ssebagai pendukung atau saksi peserta pemilu; membantu transportasi pemilih dari rumah ke TPS sebagai bentuk dukungan kepada calon atau partai politik tertentu; turut mendistribusikan bahan kampanye; menggunakan atribut kampanye atau partai politik; atau memasang atribut kampanye di rumah mereka. Di samping itu, dalam rangka menjaga netralitas pegawai pemerintah, mereka juga hendaknya tidak terlibat dalam memberikan komentar kepada khalayak (tidak menggunakan hak engage in public comment). The right to engage in public comment adalah hak untuk berbicara atau menyatakan pendapat terkait dengan masalah-maslah yang menjadi kontroversi politik atau terkait kebijakan pemerintah”9 Tidak dapat disangkal bahwa terdapat beberapa keberatan atas pembatasan hak pegawai pemerintah untuk melakukan kegiatan politik dan hak untuk engage in public comment, namun terdapat satu argumen yang tidak dapat ditolak bahwa pemberian hak tersebut akan bertabrakan dengan hak masyarakat untuk menikmati layanan publik yang tidak bias politik10. Pembatasan hak kepada pegawai pemerintah “are reasonable limits in a free and democratic society”11 and political rights “should only be lawfully restricted in so far as it is necessary for the proper exercise of their public function”. Mosher 12 menyatakan bahwa pembatasan hak civil servant dapat dilakukan untuk memastikan berjalannya pembangunan sistem demokrasi melalui peneguhan integritas civil servant dan juga untuk mencegah penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan konflik kepentingan. Meyer-Sahling juga menyatakan pendapat serupa bahwa untuk menjaga etos professionalisme di kalangan civil servant, maka pembatasan atas hak-hak civil servant dapat dilakukan di dalam sebuah masyarakat yang demokratis13 . 9 Kernaghan, K. (1986). Political rights and political neutrality: Finding the balance point. Canadian Public Administration, 29(4), 640-22. 10 Kernaghan, K., & Langford, J. W. (1990).The responsiblepublic servant.Halifax:TheInstitute for Research on Public Policy,hal.61 11 Op.Cit, hal 62 12 Mosher, F. C. (1982). Democracy and the public service. New York: Oxford University Press, hal. 23 13 Meyer-Sahling, J.-H. (2009). Sustainability of civil service reforms in central and eastern Europe five years after EU accession, SIGMA Papers, No. 44, OECD Publishing, hal 60. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan teoritik tersebut, maka netralitas pejabat publik dan civil servant (ASN) menjadi sebuah keniscayaan dalam praktek pemerintahan yang demokratis, dan sebagai konsekwensinya, pejabat publik dan civil servant (ASN) dilepaskan beberapa hak individualnya terkait dengan aktifitas politik. Hal ini memperkuat dasar argumentatif bagi larangan yang diatur dalam pasal 71 dan beberapa norma ketentuan dalam UU ASN, UU TNI, UU Polri, dan Surat Edaran MenPAN yang membatasi hak pejabat publik dan ASN dalam menjalankan aktifitas politik praktis.
  • 10. 10 b) Pola hubungan Civil Servant dan Politik Jika prinsip netralitas civil servant telah menjadi common principle yang diterima secara luas, lain halnya dengan model pengaturan teknis mengenai pola hubungan antara civil servant dengan politik, sebagai implikasi dari penerapan sitem demokrasi dalam pemilihan kepala eksekutif dengan manajemen administrasi pemerintahan. Salah satu hal yang tidak dapat diabaikan adalah bahwa civil servant merupakan salah satu elemen penting dalam sebuah proses demokratisasi. Dalam perkembangannya, terdapat perubahan dalam sistem dan kelembagaan pemerintahan yang telah menerima dan menjalankan praktek demokrasi, dimana pegawai pemerintah harus mau bekerja di bawah pimpinan yang dipilih melalui proses politik (pemilu), maupun politically appointed. Dalam situasi demikian, pegawai pemerintah diharuskan untuk bersikap netral: mereka “should avoid activities likely to impair or to seem to impair, their political impartiality or the political impartiality of the public service”14. Sistem demokrasi memiliki fitur bagi rakyat untuk mendelegasikan mandatnya kepada wakil mereka (di lembaga eksekutif dan legislatif). Sementara itu, civil servant bertugas untuk melaksanakan policies yang dibuat oleh elected representatives tersebut. Dengan demikian, dalam kerangka akuntabilitas, maka civil servant bertanggung jawab kepada elected representatives -dimana selanjutnya mereka bertanggung jawab kepada rakyat. Dengan kata lain, civil servants secara birokratis bertanggungjawab kepada elected officials, dan elected officials secara politis beranggung jawab kepada pemilih15 . Dalam konteks tersebut, melindungi civil servants dari kontrol langsung kekuatan politik dan menjadikannya akuntabel merupakan salah satu agenda penting dalam demokratisasi, karena melalui birokrasilah pemimpin politik akan menggunakan kekuasaannya. Menurut pandangan tradisional, pimpinan eksekutif yang dipilih (elected official) harus menjalankan kepemimpinan birokrasi secara professional dalam menyiapkan dan menjalankan kebijakan publik16 sesuai dengan agenda pemerintah; dan memastikan bahwa civil servant bekerja dengan baik sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan17 . Di samping itu, civil servants juga harus diberi otonomi relatif dari elected official dalam konteks manajemen kepegawaian, namun tetap akuntabel terhadap hukum dan penegakan hukum (di pengadilan dan DPR). 14 Kernaghan, K., & Langford, J. W. (1990). The responsible public servant. Halifax: The Institute for Research on Public Policy, hal 56 15 Hughes, O. E. (2012).Public management and administration.An introduction (4th ed.). Basingstoke,UK: PalgraveMacmillan. 16 Christensen,T., & Lægreid, P. (2004).The fragmented state - the challenges of combiningefficiency, institutional norms and democracy (Workingpaper 3). Stein Rokkan Centre for Social Studies ,hal.10 17 Prebble, M. (2010). With respect. Parliamentarians,officials,and judges too. Wellington,New Zealand: Institute of Policy Studies,hal.54
  • 11. 11 Ridley menawarkan 3 model dalam menjelaskan posisi civil servants dalam pemerintahan demokratis, pertama civil servants bertugas membantu pemerintah yang terpilih secara demokratis yang harus menjawab/memenuhi program yang dijanjikannya sesuai dengan prinsip pengadministrasian kebijakan; kedua dibuat pemisahan antara policy making dan implementasi kebijakan, dimana policy making merupakan ranah dari elected official sedangkan implementasi kebijakan merupakan ranah birokrasi (civil servants); dan model ketiga dimana civil servants dianggap memiliki “pandangan yang independen terkait dengan kepentingan nasional di atas kepentingan partai politik” dimana berarti bahwa civil servants bertanggung jawab kepada negara, undang-undang, epentingan nasional, dan kesejahteraan umum18 . Konsep pemisahan antara pimpinan eksekutif dari unsur elected official dengan birokrasi yang berisi civil servants yng diasosiasikan kepada konsep yang ditawarkan oleh Max Weber dan Woodrow Wilson ini sering dipertanyakan dalam konteks implementasinya, karena pada tataran praksis, pemisahan ini sulit dilakukan. Baik kelompok politisi maupun birokrat sama-sama kerap bertarung untuk memperebutkan dominasi19 . Dampaknya, masing-masing pihak akan saling mempengaruhi domain pihak lainnya20 . Dalam konteks tersebut, maka upaya untuk memastikan netralitas civil servants dalam lingkungan dimana sistem demokrasi yang dianut membuka ruang bagi eleceted/politically appointed official dapat memimpin birokrasi pemerintahan menjadi sangat penting dilakukan. Netralitas politik civil servants utamanya dalam bentuk pencegahan agar civil servants tidak menunjukkan preferensi atau sikap politik praktisnya bertujuan untuk menjaga kepercayaan 18 Ridley,F. F. (1995). Civil serviceand democracy:questions in reforming the civil servicein Eastern and Central Europe. Public Administration and Development, 15(1), Hal.15 19 Aberbach, Putnam, & Rockman, 1981 sebagaimana dikutip oleh Campbell,C., & Peters, B. G. (1988). The politics/administration dichotomy:Death or merely change? Governance: An International Journal of Policy and Administration,1(1), hal 79-99. 20 Op.Cit., hal 82 Berdasarkan kerangka teoritik ini maka praktek mobilisasi ASN oleh elected/politically appointed official seperti petahana, pimpinan DPRD, atau pimpinan instansi merupakan bentuk pelanggaran terhadap asas netralitas civil servants (ASN) dan abuse of power. Di sisi lain, sikap dan aktifitas politik ASN yang menunjukkan sikap oposisi terhadap kebijakan pimpinan instansi termasuk yang berasal dari unsur elected/politically appointed official juga bertentangan dengan konsep perkembangan demokrasi yang memberikan ruang kepada elected/politically appointed official untuk memimpinan lembaga-lembaga di bawah sayap eksekutif.
  • 12. 12 masyarakat atas netralitas dan professionalitas birokrasi21. Jika civil servants secara terbuka memberikan dukungan politik (atau termasuk juga menunjukkan sikap perlawanan) kepada elected/politically appointed official, maka pihak oposisi akan melihatnya sebagai kolusi22 . Ketidakpercayaan ini (selain akan muncul di kalangan masyarakat) akan dapat juga muncul di benak elected/politically appointed official, dimana jika civil servants mendukung penuh kebijakan elected/politically appointed official akan dianggap sebagai kaki tangannya, namun jika mengkritik kebijakan tersebut akan dianggap tidak loyal. c) Teori tentang abuse of power Abuse of power secara umum dimaknai sebagai tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pejabat publik. Tidak hanya berlaku dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan sehari-hari, praktek abuse of power juga acapkali terjadi dalam perhelatan pemilu yang pada umumnya dilakukan oleh incumbent23. Dalam konteks pemilu, abuse of power sering disebut juga dengan abuse of state resources didefinisikan sebagai “the undue advantages obtained by certain parties or candidates, through use of their official positions or connections to governmental institutions, to influence the outcome of elections”24. Praktek semacam ini dinilai akan mendistorsi integritas pemilu25. Secara umum terdapat 3 bentuk abuse of power dalam pemilu; pertama politisasi birokrasi; kedua penyalahgunaan anggaran dan aset pemerintah; dan ketiga penyalahgunaan saluran komunikasi resmi pemerintah26 . Politisasi birokrasi (civil servant), didefinisikan sebagai tingkatan atau bentuk kegiatan politik yang dilakukan oleh civil servant, termasuk juga upaya dari pihak lain untuk mempengaruhi perilaku politik civil servant27. Bentuk politisasi birokrasi/civil servant ini dapat berupa: internally-driven, society-driven, or politician-driven. Internal- driven politicisation merupakan kegiatan politik yang dilakukan oleh civil servant itu 21 Kernaghan, K. (1976).Politics,policy and publicservants:Political neutrality revisited.Canadian Public Administration,19(3),432-456 22 Caiden, G. E. (1996). The concept of neutrality.In H. K. Asmerom & E. P. Reis (Eds.), Democratization and bureaucratic neutrality (pp.20-44).London: Macmillan Press Ltd 23 IFES, Abuse of State Resources Research and Assessment Framework: Guidelines for the Democracy and Governance Community of Practice,2018,hal 2 24 Organization for Security and Co‑operation in Europe's Office for Democratic Institutions and Human Rights (OSCE/ODIHR), Handbook for the Observation of Campaign Finance66 [2015] 25 Annan, K., E. Z. Ponce de Leon, M. Ahtisaari,M.K. Albright et al.(2012), Deepening democracy: a strategy for improvingthe integrity of elections worldwide.Report of the Global Commission on Elections,Democracy and Security, Stockholm 26 Megan Ritchieet.al, Unfair Advantage: The Abuse of State Resources in Elections,IFES, 2017 27 Hojnacki,W.P. (1996).Politicization asa civil servicedilemma.In H. A. G. M. Bekke, J. L. Perry, & T. A. J. Toonen (Eds.), Civil servicesystems in comparativeperspective (pp. 137-164).Bloomington, IN: Indiana University Press,hal 137
  • 13. 13 sendiri28. Society-driven politicisation merupakan upaya untuk mempengaruhi civil servant yang dilakukan oleh kelompok masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan di dalam birokrasi29 . Sedangkan bentuk ketiga yang paling banyak terjadi adalah politician-driven politicisation yang terjadi ketika “elected and politically appointed public officials” memobilisasi civil servant untuk membantu mencapai tujuan politiknya30 . Model ini bisa terjadi dalam bentuk political executive mempengaruhi birokrasi di dalam pemerintahan; atau politisi berusaha mengendalikan perilaku birokrasi dengan menerapkan sistem manajemen dan pengawasan yang rumit. Di sisi lain, abuse of power dalam pemilu juga berwujud penggunaan state resources baik dalam bentuk fasilitas fisik pemerintah maupun anggaran untuk pemenangan pemilu secara partisan. Fasilitas fisik ini dapat mencakup kendaraan, gedung, maupun peralatan lainnya. Sedangkan abuse of state budget termasuk di dalamnya penyalahgunaan anggaran, program, dan kegiatan pemerintah untuk mendukung kegiatan pemenangan pemilu secara partisan. 2. Kajian teoritik tentang beberapa terminologi yang secara spesifik dipergunakan dalam norma pasal 71 yang mencakup antara lain; keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan, penggantian pejabat, penggunaan program dan kegiatan pemerintahan, serta petahana. a. Menguntungkan atau merugikan Pengertian dari frasa “menguntungkan atau merugikan” pada dasarnya berkaitan erat dengan perbuatan hukum seseorang yang sedang memegang jabatan publik dalam melakukan tindakan yang melawan hukum (misconduct) yang dapat membawa dampak yang menguntungkan atau merugikan pihak tertentu dalam sebuah proses pemilu. Secara umum, dalam konteks sistem penyelenggaraan pemerintahan dalam sistem demokrasi, perbuatan hukum semacam ini dikategorikan melanggar prinsip pelayanan publik yang non-diskriminatif. Sedangkan dalam konteks pemilu, perbuatan hukum semacam ini juga dinilai melanggar prinsip netralitas public service. Keterpenuhan unsur menguntungkan dan/atau merugikan ini sering menjadi bahan perdebatan secara hukum, apakah merupakan delik formil ataukah delik materiil. Dalam artian, apakah pembuktian keterpenuhan unsur ini harus 28 Op.Cit., hal 139 29 Riggs,F. W. (1988). Bureaucratic politicsin theUS: Benchmarks for comparison.Governance: An International Journal of Policy and Administration,1(4),343-379. 30 Hojnaki,Lock.Cit., hal.142 Konsepsi teoritik ini yang menjustifikasi munculnya pengaturan norma dalam UU Pemilihan Kepala Daerah yang memuat larangan bagi atasan untuk melakukan mobilisasi ASN dan juga larangan bagi ASN untuk melakukan aktifitas politik praktis dalam rangka mendukung atau oposisi terhadap calon kepala daerah.
  • 14. 14 berdasar kepada fakta adanya pihak yang mendapat keuntungan atau dirugikan (delik materiil), ataukah pembuktiannya lebih didasarkan pada perbuatan hukumnya (delik formil). Perdebatan serupa muncul dalam ketentuan tentang unsur merugikan keuangan negara dalam UU Tipikor. Dalam hal ini, Putusan MK Nomor 03/PUU- III/2006 menyatakan bahwa unsur merugikan negara merupakan delik formil (bukan delik materiil), sehingga tidak perlu dibuktikan ada tidaknya kerugian negara melainkan cukup membuktikan telah adanya perbuatan melawan hukum. Senada dengan pertimbangan ini, maka unsur menguntungkan dan/atau merugikan sebagaimana diatur dalam Pasal 71 juga merupakan delik formil. Di samping itu, jika pemaknaan atas unsur tersebut menggunakan delik materiil, maka pembuktian adanya keuntungan atau kerugiannya akan sangat musykil secara teknis (karena akan sangat sulit memeriksa dari hasil perolehan suara calon apakah dipengaruhi oleh perbuatan hukum pelaku) dan juga akan memakan waktu karena harus menunggu setelah penghitungan suara, dimana beresiko terjadinya daluwarsa dalam tindak pidana pemilu. b. Penggantian pejabat Salah satu bentuk politisasi birokrasi terkait dengan pengendalian organisasi birokasi pemerintahan dilakukan dengan cara penggantian pimpinan eksekutif di institusi birokrasi. Meyer-Sahling31 menunjukkan beberapa model pendekatan yang terjadi (tidak hanya di negara berkembang tapi juga di negara maju) dengan 4 model sebagaimana terlihat dalam tabel berikut: 31 Meyer-Sahling, J.-H. (2008). The changingcolours of the post-communist state: The politicisation of the senior civil servicein Hungary.European Journal of Political Research,47(1), hal.4-9 Secara teoritik, dengan mengacu pada Putusan MK Nomor 03/PUU-III/2006 serta mempertimbangkan tingkat kesulitan dalam pembuktian serta limitasi waktu dalam hukum acara pidana pemilu, maka pemaknaan atas unsur menguntungkan dan/atau merugikan dalam Pasal 71 perlu dimaknai dengan menggunakan delik formil.
  • 15. 15 Model bounded politicisation, open politicisation, maupun partisan politicisation dimaksudkan untuk mendukung kepentingan politik incumbent maupun pemenang pemilu sebagai bagian dari upaya untuk mengontrol birokrasi. c. Penggunaan program dan kegiatan pemerintahan IFES mengkategorisasikan penyalahgunaan state resources untuk kepentingan pemenangan pemilu secara partisan meliputi penggunaan fasilitas fisik pemerintah, anggaran negara, dan channel komunikasi resmi pemerintah untuk pemenangan pemilu secara partisan32. Fasilitas fisik ini dapat mencakup kendaraan, gedung, maupun peralatan lainnya. State budget termasuk di dalamnya penyalahgunaan anggaran, program, dan kegiatan pemerintah untuk mendukung kegiatan pemenangan pemilu secara partisan. Sedangkan penyalahgunaan channel komunikasi resmi pemerintah berarti penggunaan media komunikasi resmi pemerintah baik televisi, radio maupun channel lainnya untuk kepentingan pemenangan pemilu secara partisan. Program secara umum berarti cara yang disahkan untuk mencapai tujuan dimana melalui hal tersebut bentuk rencana akan lebih terorganisir dan lebih mudah untuk dioperasionalkan demi tercapainya kegiatan pelaksanaan karena dalam program tersebut telah dimuat berbagai aspek yang harus dijalankan atau dilaksanakan agar tujuan program itu sendiri dapat tercapai (Jones : 1994). Sedangkan kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa satuan kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program. 32 Megan Ritchieet.al, Unfair Advantage: The Abuse of State Resources in Elections,IFES, 2017
  • 16. 16 Program pemerintah daerah berarti upaya atau kegiatan untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan dalam dokumen rencana program dan anggaran pembangunan daerah baik RPJMD, RKP, maupun APBD. Sedangkan kegiatan pemerintah daerah adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau lebih unit kerja pada SKPD sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program dan terdiri atas sekumpulan tindakan. d. Petahana Istilah petahana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata dasar Tahana, Konsep Tahana memiliki arti: kedudukan; martabat (kebesaran, kemuliaan, dan sebagainya). Istilah ini cukup baru diadopsi sebagai padanan kata incumbent yang berarti orang yang sedang memegang jabatan. Keberadaan petahana dalam kontestasi pemilu telah lama menjadi bahan perdebatan dan studi, karena dianggap memiliki modalitas yang berbeda dengan kandidat lainnya. Incumbent secara umum dimaknai sebagai seseorang yang sedang memegang jabatan politik dalam pemerintahan. Incumbent dianggap mendapatkan banyak manfaat ketika dia mengikuti kompetisi dalam pemilu. Dalam beberapa kasus di berbagai negara, incumbent diuntungkan karena dapat turut menentukan jadwal penyelenggaraan pemilu. Incumbent atau petahana yang hendak kembali maju dalam kompetisi pemilu dinilai memiliki keuntungan yang berasal dari efek langsung maupun tidak langsung dari posisinya yang sedang memegang jabatan33. Efek langsung meliputi sumber daya dan dukungan dari kantor pemerintahan yang dipimpinnya, yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat prospek keterpilihannya. Sumber daya ini termasuk personel, peralatan, anggaran, dan bahkan juga wewenang untuk membuat keputusan34. Sedangkan efek tidak langsung merujuk kepada kemampuan incumbent untuk “menggertak” calon lawan potensialnya. Calon-calon penantang incumbent akan berhitung secara hati-hati dengan memperhatikan political advantage yang dimiliki incumbent. Di samping itu, incumbent juga mendapat bonus dari name-recognition atas kinerjanya dalam pemerintahan yang sedang berjalan. Incumbent juga dianggap lebih memiliki akses untuk mengumpulkan dana kampanye termasuk dari sumber daya pemerintah. Dalam pemilu eksekutif, posisi incumbent cenderung diuntungkan, karena secara umum terdapat indikasi bahwa pemilih akan cenderung memperbandingkan qualifikasi kandidat, posisi politik mereka terhadap isu tertentu, serta karakteristik 33 Cox, Gary W., and Jonathan N. Katz. 1996.“Why Did the Incumbency Advantage in U.S.House Elections Grow?” American Journal of Political Science40:478–97. 34 Erwin Chemerinsky, Protecting the Democratic Process;Voter Standing to ChallengeAbuse of Incumbency, hal 1
  • 17. 17 personal dengan cara yang sederhana dan langsung. Dalam konteks ini, jika kompetisi dalam pemilu eksekutif diikuti oleh incumbent, maka seluruh kandidat cenderung akan dibandingkan dengan incumbent. Sehingga pemilu semacam ini dianggap sebagai “referendum on the incumbent”. Sebuah studi yang dipublikaskan oleh british journal of political science menunjukkan bahwa incumbent mendapatkan lebih banyak keuntungan dalam sebuah kontestasi yang diikuti oleh lebih banyak kandidat non-incumbent. Di sisi lain, incumbent juga berpeluang menjalankan apa yang disebut dengan government-sponsored election violence yaitu “events in which incumbent leaders and ruling party agents employ or threaten violence against the political opposition or potential voters before, during or after elections”35 Berdasarkan pertimbangan political advantage dari sisi name-recognition, maka lokasi kontestasi dalam pemilu bagi incumbent tidak terlalu berpengaruh, apakah incumbent tersebut mencalonkan diri di daerah yang sama atau di daerah yang berbeda, sepanjang name-recognition tersebut dapat didiseminasikan dengan baik. Namun, dalam aspek potensi diberlakukannya ‘government-sponsored election violence’, maka kesamaan lokasi pencalonan dalam pilkada dengan lokasi incumbent tersebut menjalankan pemerintahannya akan sangat berkaitan erat. Incumbent yang mencalonkan diri di daerah lain akan sulit menjalankan politik ‘government-sponsored election violence’. 2. Kajian Peraturan Perundang-undangan Kajian atas peraturan perundang-undangan ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan berbasis isu atau topik yang menjadi fokus dari kajian ini. Masing- masing isu akan diulas berdasarkan model dan substansi pengaturannya di beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun peraturan perundang-undangan yang dirujuk dalam kajian ini meliputi UUD NRI 1945, UU tentang Aparatur Sipil Negara, UU 35 Hafner-Burton, Hyde, and Jablonski 2014, 150, Surviving Elections: Election Violence, Incumbent Victory, and Post-Election Repercussions, Emilie M. Hafner-Burton, Susan D. Hyde, Ryan S. Jablonski Dengan demikian, pemaknaan petahana sebagimana dimaksud Pasal 71 hanyalah mencakup petahana yang hendak atau sedang mencalonkan diri dalam pilkada di wilayah yang sama, karena tujuan pengaturannya adalah untuk mencegah petahana mengambil keuntungan secara sepihak dengan melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaannnya baik berupa penggantian pejabat maupun memanfaatkan program dan kegiatan yang didanai publik untuk kepentingan pemenangan dalam pilkada.
  • 18. 18 tentang Administrasi Pemerintahan, UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, serta beberapa peraturan pemerintah terkait. 1. Tentang Petahana Istilah “petahana” muncul di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf r dan Pasal 71. Namun demikian Undang-Undang tersebut tidak memberikan definisi apa yang dimaksud dengan petahana. PKPU No 9/2015 menyebutkan bahwa petahana adalah gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota yang sedang menjabat. Pasal 1 angka 19 tersebut menyebutkan, petahana adalah gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota yang sedang menjabat. Surat Edaran KPU Nomor 302/KPU/VI/2015, kepala daerah yang mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir sebelum masa pendaftaran, tidak dianggap sebagai kepala daerah yang sedang menjabat (petahana/incumbent). Surat Edaran KPU tertanggal 12 Juni 2015 itu pada poin 1 huruf a, menyebutkan: gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota yang masa jabatannya berakhir sebelum masa pendaftaran; atau mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir yang dilakukan sebelum masa pendaftaran; atau berhalangan tetap sebelum masa jabatannya berakhir dan terjadi sebelum masa pendaftaran, tidak termasuk dalam pengertian petahana pada ketentuan Pasal 1 angka 19 Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015. 2. Menguntungkan atau merugikan UU Pilkada tidak memberikan penjelasan yang memadai tentang rumusan norma “menguntungan dan/atau merugikan” sebagaimana diatur dalam Pasal 71. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam proses penegakan hukum sesuai Pasal 188 dan Pasal 190. Namun demikian, untuk mendapatkan gambaran makna dari unsur ini, dapat merujuk kepada norma Pasal 2 dan Pasal 3 berikut penjelasannya dalam UU Tipikor. Norma pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 ayat (1): ”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)” Penjelasan Pasal 2 ayat (1):
  • 19. 19 ”Yang dimaksud dengan ”secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan- perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangundangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma- norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata ”dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat” Pasal 3: ”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”; Pasal ini telah diuji di MK, dimana dalam pertimbangan hukumnya, hakim MK menyatakan sebagai berikut: “Menimbang bahwa kedua pertanyaan tersebut akan dijawab dengan pemahaman bahwa kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan, bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata”, akan tetapi hanya “dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan. Kata “dapat” tersebut harus dinilai pengertiannya menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut di atas, yang menyatakan bahwa kata ”dapat” tersebut sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Karena itu Mahkamah dapat menerima penjelasan Pasal 2 ayat (1) sepanjang menyangkut kata ”dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”; Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi, terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk dibuktikan secara tepat dan akurat. Ketepatan yang dituntut sedemikian rupa, akan menimbulkan keraguan, apakah jika satu angka jumlah kerugian diajukan dan tidak selalu dapat dibuktikan secara akurat, namun kerugian telah terjadi, akan berakibat pada terbukti tidaknya perbuatan
  • 20. 20 yang didakwakan. Hal demikian telah mendorong antisipasi atas akurasi kesempurnaan pembuktian, sehingga menyebabkan dianggap perlu mempermudah beban pembuktian tersebut. Dalam hal tidak dapat diajukan bukti akurat atas jumlah kerugian nyata atau perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa bahwa kerugian negara dapat terjadi, telah dipandang cukup untuk menuntut dan memidana pelaku, sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum (wederrechtelijk) telah terbukti. Karena, tindak pidana korupsi digolongkan oleh undang-undang a quo sebagai delik formil. Dengan demikian, kategori tindak pidana korupsi digolongkan sebagai delik formil, di mana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi, dan bukan sebagai delik materil, yang mensyaratkan akibat perbuatan berupa kerugian yang timbul tersebut harus telah terjadi. Kata “dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, dapat dilihat dalam arti yang sama dengan kata “dapat” yang mendahului frasa “membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang”, sebagaimana termuat dalam Pasal 387 KUHP. Delik demikian dipandang terbukti, kalau unsur perbuatan pidana tersebut telah terpenuhi, dan akibat yang dapat terjadi dari perbuatan yang dilarang dan diancam pidana tersebut, tidak perlu harus telah nyata terjadi;” Meskipun materi pengujian yang diajukan ke MK terkait dengan kata “dapat”, namun putusan beserta pertimbangan hukum MK tersebut di atas menunjukkan bahwa frasa ”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dimaknai sebagai delik formil. Pertimbangan hukum yang dipergunakan oleh hakim MK memiliki kemiripan dengan kondisi yang melingkupi norma Pasal 71. Kesulitan dalam proses pembuktian keterpenuhan unsur “menguntungkan dan/atau merugikan” dalam Pasal 71 memiliki bobot yang serupa dengan pembuktian Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, karena untuk membuktikan keterpenuhan unsur “menguntungkan dan/atau merugikan” dalam Pasal 71 jika menggunakan delik materiil maka harus menunggu hingga masa penghitungan suara (dimana berpotensi menjadikan kasus pelanggarannya kedaluwarsa), serta sangat musykil untuk mencari tahu apakah perolehan suara calon dipengaruhi oleh tindakan/perbuatan hukum terdakwa. 3. Penggantian Pejabat Pasal 71 ayat (2) mengatur tentang larangan tindakan penggantian pejabat oleh petahana. Dalam penjelasan pasal ini, tidak diuraikan pengertian kata penggantian ini, Oleh karenanya, maka unsur “menguntungkan dan/atau merugikan” dalam Pasal 71 harus dimaknai sebagai delik formil. Hal ini didukung dengan jurisprudensi putusan hakim PN Bima (yang akan dijelaskan pada bagian berikutnya).
  • 21. 21 namun justru dalam penjelasan ayat (2) disebutkan bahwa Pengisian jabatan hanya dapat dilakukan untuk mengisi kekosongan jabatan. UU Nomor 8 tahun 2015 mengubah penjelasan Pasal 71 ayat (2) dengan mengatur bahwa dalam hal terjadi kekosongan jabatan, maka Gubernur, Bupati, dan Walikota menunjuk pejabat pelaksana tugas. Sedangkan dalam UU Nomor 10 tahun 2016, ketentuan Pasal 71 ayat (2) kembali diubah dengan menambahkan ketentuan tentang keharusan untuk mendapatkan persetujuan Mendagri dalam hal akan dilakukan penggantian pejabat. Dengan demikian, maka pengertian penggantian ini dimaknai secara luas, namun tidak termasuk di dalamnya pengisian jabatan yang kosong. 3. Kajian Putusan 1. Perbuatan Menguntungkan atau Merugikan Pasangan Calon a. Karim bin Basirum, PN Palopo, Nomor 2/Pid.S/2018/PN PLp 1. Kasus posisi Karim bin Basirum, Kepala Desa Parekaju, pada tanggal 15 maret 2018, dengan menggunakan seragam dinas, datang ke lapangan padang sappa untuk melihat kedatangan romobongan calon gubernur nomor urut 3 yang datang menggunakan helikopter. Kemudian mendatangi tempat kampanye dialogis di rumah saksi bernama Rustam, terdakwa Karim bersalaman, dan duduk sejajar dengan calon nomor urut 3 Nurdin. Setelah acara selesai, pada saat rombongan calon Nurdin akan meninggalkan tempat, saksi bernama Bambang mengucapkan: “Pokoknya pertahankan saja TPS masing-masing”, yang kemudian ditanggapi oleh Terdakwa dengan mengucapkan “Pertanggungjawabkan wilayahmu”. Keterangan saksi Basnawir bin Muhammad Nur, anggota Panwascam kecamatan Ponrang menyebutkan bahwa Terdakwa hadir dalam acara kampanye dialogis tersebut. Terdakwa menggunakan atribut kepala desa berupa topi yang bertuliskan kepala desa. Saksi memotret dan merekam audio-visual peristiwa tersebut. Keterangan saksi Rustam, pemilik rumah yang dipergunakan sebagai lokasi kegiatan kampanye dialogis menyatakan bahwa Terdakwa hadir dalam kegiatan tersebut. Saksi mengetahui bahwa Terdakwa adalah kepala desa, namun saksi menyatakan tidak mengundang Terdakwa. Saksi melihat bahwa Terdakwa tidak menggunakan atribut kampanye, namun menggunakan seragam kepala desa berupa topi bertuliskan kepala desa. Ketika diperlihatkan bukti foto dan video, saksi membenarkan bukti dimaksud. Saksi Bambang menyatakan bahwa benar Terdakwa hadir dalam kegiatan tersebut dengan memakai topi bertuliskan kepala desa. Saksi juga mengenali
  • 22. 22 bahwa Terdakwa adalah kepala desa. Saksi menyatakan bahwa kegiatan tersebut menurut pengetahuannya adalah acara keluarga. Pada saat acara berakhir, Sasi secara spontang mengatakan: “Pokoknya pertahankan saja TPS masing-masing”, yang kemudian ditanggapi oleh Terdakwa dengan mengucapkan “Pertanggungjawabkan wilayahmu”. Saksi Ahli Adly Aqsha Darwis yang merupakan komisioner KPU, menjelaskan bahwa berdasarkan foto dan video yang diperlihatkan di persidangan, kegiatan tersebut termasuk dalam kategori kegiatan kampanye. Kepala Desa dilarang menghadiri kegiatan kampanye, karena dapat dinilai menciderai asas netralitas. Saksi Deviadi (Saksi A de Charge) merupakan ketua tim sukses calon nomor urut 3, dan menyatakan bahwa kegiatan tersebut merupakan silaturrahim bukan kegiatan kampanye. Saksi melihat Terdakwa hadir, tetapi tidak mengetahui apakah terdakwa diundang atau tidak. Saksi juga mengetahui bahwa Terdakwa adalha kepala desa. Terdakwa memberikan keterangan yang membenarkan kehadirannya pada acara dimaksud. Terdakwa menyatakan bahwa topi tersebut bukan merupakan seragam resmi kepala desa, dan Terdakwa membelinya di toko. Terdakwa menyatakan tidak diundang namun hanya ditelpon oleh keponakannya. Terdakwa menyatakan pernah menghadiri acara sosialisasi tentang kampanye, dimana Panwaslu yang hadir menyatakan bahwa kepala desa boleh hadir di acara kampanye, namun tidak boleh melakukan 3 hal; orasi, menjelek-jelekan kandidat, dan berteriak- teriak di atas panggung. 2. Pasal yang disangkakan Pasal Pasal 188 Perpu Nomor 1 Tahun 2014 Jo Pasal 71 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014. 3. Unsur-unsur pelanggaran/tindak pidana  Pejabat Negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah  dengan sengaja  melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu calon  selama masa kampanye Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan keterpenuhan unsur sebagai berikut:  Unsur pertama terpenuhi berdasarkan keterangan saksi, SK Bupati Luwu tentang pengangkatan kepala desa, serta pengakuan Terdakwa didukung oleh pemeriksaan identitas.
  • 23. 23  Unsur kedua sengaja dimaknai sebagai mengetahui dan menghendaki, artinya mengetahui dan menghendaki perbuatan yang dilakukan. Unsur keputusan dimaknai sebagai perihal yang berkaitan dengan putusan (KBBI). Tindakan dimaknai sebagai sesuatu yang dilakukan, tindakan yang dilaksanakan untuk mengatasi sesuatu (KBBI). Menguntungkan dimaknai sebagai memberi (mendatangkan) laba; menjadikan beruntung; memberikan manfaat (KBBI). Merugikan dimaknai sebagai menyebabkan rugi, mendatangkan sesuatu yang kurang baik.  Unsur Kampanye dimaknai sebagaiman definisi dalam undang-undang.  Berdasarkan fakta persidangan, hakim berpendapat bahwa telah terjadi peristiwa dimaksud, dimana Terdakwa hadir tanpa undangan resmi, dengan menggunakan topi bertuliskan kepala desa, dan Terdakwa duduk sejajar dengan calon nomor urut 3. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal dimana masa kampanye berlangsung, kegiatan berlangsung dalam bentuk dialog, dan calon memaparkan visi misi dan programnya.  Mengenai unsur keputusan dan/atau tindakan, hakim berpendapat bahwa hal tersebut merupakan kumulatif/alternatif, sehingga untuk keterbuktian unsur tersebut dapat salah satu atau keduanya.  Hakim juga mempertimbangkan ketentuan dalam UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa Pasal 29 huruf j, yang menyatakan bahwa kepala desa dilarang ikut serta/terlibat dalam kegiatan kampanye pemilu dan pemilihan kepala daerah.  Berdasarkan fakta persidangan, Hakim melihat bahwa kehadiran terdakwa dalam kegiatan dimaksud, duduk di barisan depan sejajar dengan calon dinilai sebagai bentuk dukungan kepada calon dan bersikap tidak netral. Majelis Hakim berpendapat bahwa arti netralitas kepal desa adalah:  Tidak boleh terlibat dalam arti tidak menjadi tim sukses atau tidak menghadiri acara kampanye dengan menggunakan atribut partai atau fasilitas negara.  Tidak boleh memihak dalam arti tidak membantu membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon, tidak mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpiahkan terhadap salah satu calon berupa seruan, pertemuan, ajakan, pemberian barang kepada masyarakat desa, serta tidak membantu dengan menggunakan fasilitas negara.  Berdasarkan fakta persidangan, hakim memandang bahwa unsur kedua telah terpenuhi. 4. Amar Putusan
  • 24. 24  Terdakwa secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dimaksud  Menjatuhkan pidana 2 bulan dan denda Rp. 1.000.000  Pidana tersebut tidak usah dijalankan kecuali di kemudian hari terdapat putusan hakim yang menentukan bahwa Terdakwa melakukan perbuatan poidana sebelum masa percobaan 4 bulan berakhir  Membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000 b. H. Surfil, SH. MH, Nomor: 1/Pid.Sus/2018/PN Rbi 1. Kasus posisi Terdakwa yang merupakan Camat Raba yang diangkat berdasarkan SK Walikota Bima hadir dalam acara silaturrahim dan pengukuhan di kelurahan Kendo, Kecamatan Raba, bersama Lurah kendo dan Lurah Ntobo. Acara tersebut juga dihadiri oleh calon nomor urut 1, H. Rahman E. Abidin. Calon Rahman memberikan arahan dalam acara tersebut. Setelah berakhirnya arahan dari calon nomor urut 1, terdakwa tiba-tiba berdiri menghadap ke peserta kegiatan yang hadir, mengacungkan jari tulujuk kanan, lalu mengacungkan jempol, dan berujar dalam bahasa daerah yang berarti: “Hidup Haji Man dan jangan lupa nomor 1” yang kemudian diikuti oleh peserta yang hadir. Beberapa saksi dihadirkan, Saksi Anu Sirwan selaku tim advokasi calon nomor urut 2, tidak mleihat langsung kejadian tersebut, melainkan hanya dari rekaman video. Lalu melaporkannya ke Panwaslu. Saksi menganggap kegiatan tersebut merupakan bentuk kampanye. Saksi Habibi, S.Sos selaku Pengawas Lapangan menyatakan melihat langsung kejadian tersebut dan merekamnya dalam bentuk video. Saksi mendatangi kegiatan tersebut atas perintah Panwascam berdasarkan jadwal kampanye. Saksi Sudirno menyatakan hadir dan melihat kejadian tersebut, namun mengatakan bahwa kegiatan tersebut bukan kampanye melainkan acara doa bersama. 2. Pasal yang disangkakan Analisa Putusan Dari putusan atas perkara ini dapat disimpulkan beberapa hal berikut:  Unsur Kepala Desa dibuktikan dengan SK pengangkatan  Unsur membuat keputusan dan/atau tindakan dibuktikan secara alternatif  Unsur menguntungkan dibuktikan dari tindakan untuk menghadiri kegiatan kampanye, duduk sejajar dengan calon.  Unsur masa kampanye dibuktikan dari jadwal kampanye.
  • 25. 25 Pasal Pasal 188 Perpu Nomor 1 Tahun 2014 Jo Pasal 71 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014. 3. Unsur-unsur pelanggaran/tindak pidana  Pejabat Negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah  dengan sengaja  melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu calon  selama masa kampanye Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menyatakan keterpenuhan unsur sebagai berikut:  Unsur pertama terpenuhi berdasarkan keterangan saksi, SK Bupati Luwu tentang pengangkatan kepala desa, serta pengakuan Terdakwa didukung oleh pemeriksaan identitas.  Unsur kedua sengaja dimaknai sebagai kesadaran untuk mencapai suatu tujuan tertentu, yang dapat terdiri atas sengaja dengan maksud, sengaja dengan kesadaran, atau sengaja dengan kemungkinan. Berdasarkan fakta persidangan, terlihat bahwa Terdakwa berdiri menghadap peserta, mengacungkan jari telunjuk, dan menyerukan: “Hidup Haji Man dan jangan lupa nomor 1” yang kemudian diikuti oleh peserta yang hadir. Dengan demikian hakim menyimpulkan bahwa Terdakwa menunjukkan kesadaran atas tindakannya.  Unsur ASN dan Pejabat negara; dimaknai sebagai pejabat yang lingkungan kerjanya berada di lembaga negara. Berdasarkan bukti yang diajukan berupa SK pengangkatan Terdakwa sebagai PNS, SK pengangkatan PNS dalam jabatan struktural maka unsur ini terpenuhi.  Mengenai unsur keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan, hakim berpendapat bahwa tidak dapat dimaknai secara sempit dalam arti materiil, melainkan harus dimaknai secara luas dalam arti fomil, dalam arti suatu perbuatan akan berimplikasi pada dapat tidaknya suatu pasangan calon atas perbuatan tersebut akan mendapatkan keuntungan atau kerugian. Dalam kapsitasnya sebagai Camat, Terdakwa dianggap tahu bahwa calon Nomor urut 1 yang sedang cuti untuk kampanye hadir dalam kegiatan tersebut, sehingga Terdakwa seharusnya dapat memutuskan untuk tidak hadir. Oleh karenanya, unsur ini dinilai terpenuhi. 4. Amar Putusan  Terdakwa secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dimaksud  Menjatuhkan pidana 2 bulan
  • 26. 26  Pidana tersebut tidak usah dijalankan kecuali di kemudian hari terdapat putusan hakim yang menentukan bahwa Terdakwa melakukan perbuatan poidana sebelum masa percobaan 6 bulan berakhir  Membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500 2. Penggantian Pejabat, Kasus sengketa TUN Nomor 570 K/TUN/PILKADA/2016 1. Kasus posisi Putusan ini merupakan hasil dari upaya kasasi yang dilakukan oleh Darwis Maridu dan Ir. Hi. Anas Jusuf dengan obyek perkara Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Boalemo No.24/Kpts/KPU.Kab.Boalemo/Pilbup/027.436540/X/2016 2016 Tentang Penetapan Calon Bupati dan Wakil Bupati yang memenuhi syarat sebagai Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Boalemo 2017; 2. Pasal yang disangkakan Pasal Pasal 188 Perpu Nomor 1 Tahun 2014 Jo Pasal 71 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014. 3. Unsur-unsur pelanggaran/tindak pidana • Pejabat Negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah • dengan sengaja • melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu calon • selama masa kampanye Analisa Putusan Dari putusan atas perkara ini dapat disimpulkan beberapa hal berikut:  Unsur ASN dan Camat dibuktikan dengan SK pengangkatan  Unsur membuat keputusan dibuktikan dengan menunjukkan kesadaran Terdakwa selaku Camat yang dinilai memahami ketentuan keharusan Cuti bagi kepala daerah yang berkampanye, sehingga jika calon yang sedang cuti dan mengadakan acara dimana mengundang Terdakwa, maka Terdakwa dinilai seharusnya dapat membuat keputusan untuk tidak menghadirinya.  Unsur menguntungkan tidak dimaknai secara sempit (materiil) melainkan secara luas (formil) dengan menguraikan maksud pembentuk undang-undang. Dengan demikian, tindakan terdakwa mengacungkan jari dan membuat seruan sudah dinilai memenuhi unsur menguntungkan.  Unsur masa kampanye dibuktikan dari jadwal kampanye.
  • 27. 27 BAGIAN III KESIMPULAN Berdasarkan kajian teoritik dan perundang-undangan tersebut di atas, maka guna kepentingan penegakan hukum berdasarkan ketentuan pasal 188 dan 190 junto pasal 71 UU tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota, perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini: 1. Unsur Setiap orang Setiap orang dimaknai sebagai setiap orang/manusia sebagai subyek hukum yang:  yang dapat mempertanggung-jawaban perbuatannya.  tidak kurang sempurna akalnya (verstandelijke vermoges); atau  tidak sakit jiwanya (zeekelijke string der verstandelijk vermogengs)  tidak dalam keadaan terpaksa (overmacht) baik dari orang atau keadaan tertentu, baik bersifat absolut maupun relatif 2. Pejabat negara Pejabat negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada di lembaga negara. Alat bukti yang diperlukan untuk pembuktian unsur ini berupa SK pengangkatan sebagai PNS, SK pengangkatan PNS dalam jabatan struktural. 3. Pejabat ASN Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Pejabat ASN adalah ASN yang menduduki jabatan ASN yang terdiri atas jabatan administrasi, jabatan fungsional, atau jabatan pimpinan tinggi. Dengan demikian, seluruh ASN adalah pejabat ASN. Alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini mencakup antara lain:  SK pengangkatan sebagai ASN dari pejabat yang berwenang.  SK pengangkatan ASN dalam jabatan tertentu. 4. Kepala desa Kepala desa adalah seseorang yang menjabat sebagai pemimpin dalam pemerintahan desa. Alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini adalah:  SK pengangkatan sebagai Kepala Desa dari pejabat yang berwenang.  Bukti identitas diri yang bersangkutan. 5. Dengan sengaja Sengaja dimaknai sebagai sesuatu yang berkaitan dengan niat yang tidak dapat dilihat dan tidak konkrit, dilandasi oleh kesadaran untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Kesengajaan dianggap ada apabila perbuatan dan akibat suatu tindak pidana dikehendaki oleh si pelaku, atau apabila si pelaku pada waktu mulai melakukan perbuatan ada bayangan yang terang bahwa akibat yang bersangkutan akan tercapai.
  • 28. 28 Kesengajaan dapat terdiri atas:  sengaja dengan maksud (opzet als oogmerk) yakni perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku atau terjadinya suatu akibat dari perbuatan si pelaku adalah memang menjadi tujuannya,  sengaja dengan kesadaran (opzet bij zekerheid bewustzijn) yakni apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari perbuatn pidana, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatannya tersebut.  sengaja dengan kemungkinan (opzet bij heidzbwustzijn) yakni apabila dengan dilakukannya perbuatan atau terjadinya suatu akibat yang dituju itu maka disadari bahwa adaya kemungkinan akan timbul akibat lain. Alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini antara lain adalah photo atau rekaman audio-visual atau keterangan saksi yang menunjukkan terjadinya peristiwa hukum dan akibat yang terjadi setelahnya. 6. Membuat keputusan dan/atau tindakan Unsur keputusan dan/atau tindakan sebagaimana dimaksud pasal 71 adalah suatu perbuatan yang dilarang yakni perbuatan yang akan berimplikasi pada dapat tidaknya suatu pasangan calon atas perbuatan tersebut akan mendapatkan keuntungan atau kerugian. Bentuk keputusan ini dapat berupa keputusan yang bersifat formal dan administratif maupun keputusan yang tidak berwujud administratif (keputusan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu). Sedangkan bentuk tindakan (yang menguntungkan dan/atau merugikan) terdiri atas tindakan menghadiri kegiatan kampanye, menghimbau, mengajak, memberikan isyarat, memberikan respon berupa like atau dislike di media sosial, dan lain-lain. Alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini antara lain dapat berupa foto, rekaman audio visual, selebaran, dan lain-lain yang menunjukkan bukti terjadinya peristiwa hukum tersebut. 7. Menguntungkan dan/atau merugikan Unsur menguntungkan dan/atau merugikan dimaknai sebagai delik formil dalam arti delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Dengan demikian tidak diperlukan adanya akibat apakah benar pasangan calon mendapat keuntungan atau mendapat kerugian, dengan terjadinya tindak pidana sudah dinyatakan tindak pidana tersebut telah terjadi. Dengan demikian alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini adalah bukti terkait terjadinya peristiwa hukum itu sendiri misalnya photo, rekaman audio visual, dan lain-lain. 8. Masa kampanye Masa kampanye adalah periode waktu pelaksanaan kampanye yang ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
  • 29. 29 Alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini dapat berupa SK KPU tentang jadwal kampanye. 9. Penggantian pejabat Penggantian pejabat adalah kegiatan mengganti pejabat ASN dalam lingkungan pemerintah daerah dari satu jabatan ke jabatan lain baik secara vertikal maupun horizontal. Alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini dapat berupa SK tentang penggantian jabatan. 10. Menggunakan program dan kegiatan pemerintah daerah Program dan kegiatan pemerintah daerah berarti upaya atau kegiatan untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan dalam dokumen rencana program dan anggaran pembangunan daerah baik RPJMD, RKP, maupun APBD. Alat pembuktian yang diperlukan untuk keterpenuhan unsur ini dapat berupa dokumen RPJMD, RKP, maupun APBD.
  • 30. 30 DAFTAR PUSTAKA Parris, H. Constitutional bureaucracy. The development of British central administration since the eighteenth century. London: George Allen & Unwin. 1969 Weber, M. Bureaucracy, dalam J. M. Shafritz & A. C. Hyde (Eds.), Classics of public administration (pp. 43-48). Boston, MA: Thomson Wadsworth. 2007 Beetham, D. Bureaucracy (2nd ed.). Minneapolis, MN: University of Minnesota Press. 1996 Organisation for Economic Co-operation and Development. Civil service legislation contents checklist. SIGMA Papers No. 5. Paris: OECD/SIGMA. 1996 Suleiman, E. Dismantling democratic states. Princeton, NJ: Princeton University Press. 2003 Sharpe, J. The relationship between parliament and the civil service. The Parliamentarian. Journal of the Parliaments of the Commonwealth, 74(4). 1993 Kernaghan, K. Political rights and political neutrality: Finding the balance point. Canadian Public Administration, 29(4). 1986. Kernaghan, K., & Langford, J. W. The responsible public servant. Halifax: The Institute for Research on Public Policy. 1990 Mosher, F. C. Democracy and the public service. New York: Oxford University Press, 1982 Meyer-Sahling, J.-H. Sustainability of civil service reforms in central and eastern Europe five years after EU accession, SIGMA Papers, No. 44, OECD Publishing, 2009. Hughes, O. E. Public management and administration. An introduction (4th ed.). Basingstoke, UK: Palgrave Macmillan. 2012. Christensen, T., & Lægreid, P. The fragmented state - the challenges of combining efficiency, institutional norms and democracy (Working paper 3). Stein Rokkan Centre for Social Studies. 2004. Prebble, M. With respect. Parliamentarians, officials, and judges too. Wellington, New Zealand: Institute of Policy Studies, 2010. Ridley, F. F. (1995). Civil service and democracy: questions in reforming the civil service in Eastern and Central Europe. Public Administration and Development, 15(1), 1995. Aberbach, Putnam, & Rockman, 1981 sebagaimana dikutip oleh Campbell, C., & Peters, B. G. (1988). The politics/administration dichotomy: Death or merely change? Governance: An International Journal of Policy and Administration, 1(1).
  • 31. 31 Kernaghan, K. Politics, policy and public servants: Political neutrality revisited. Canadian Public Administration, 19(3), 1976. Caiden, G. E. The concept of neutrality. In H. K. Asmerom & E. P. Reis (Eds.), Democratization and bureaucratic neutrality (pp. 20-44). London: Macmillan Press Ltd. 1996. IFES, Abuse of State Resources Research and Assessment Framework: Guidelines for the Democracy and Governance Community of Practice, 2018. Organization for Security and Co‑ operation in Europe's Office for Democratic Institutions and Human Rights (OSCE/ODIHR), Handbook for the Observation of Campaign Finance 66. 2015 Annan, K., E. Z. Ponce de Leon, M. Ahtisaari, M. K. Albright et al. Deepening democracy: a strategy for improving the integrity of elections worldwide. Report of the Global Commission on Elections, Democracy and Security, Stockholm, 2012. Megan Ritchie et.al, Unfair Advantage: The Abuse of State Resources in Elections, IFES, 2017 Hojnacki, W. P. (1996). Politicization as a civil service dilemma. In H. A. G. M. Bekke, J. L. Perry, & T. A. J. Toonen (Eds.), Civil service systems in comparative perspective (pp. 137-164). Bloomington, IN: Indiana University Press, 1996. Riggs, F. W. (1988). Bureaucratic politics in the US: Benchmarks for comparison. Governance: An International Journal of Policy and Administration, 1(4), 1988. Meyer-Sahling, J.-H. (2008). The changing colours of the post-communist state: The politicisation of the senior civil service in Hungary. European Journal of Political Research, 47(1), 2008. Megan Ritchie et.al, Unfair Advantage: The Abuse of State Resources in Elections, IFES, 2017 Cox, Gary W., and Jonathan N. Katz.“Why Did the Incumbency Advantage in U.S.House Elections Grow?” American Journal of Political Science, 1996. Erwin Chemerinsky, Protecting the Democratic Process; Voter Standing to Challenge Abuse of Incumbency. Hafner-Burton, Hyde, and Jablonski, Surviving Elections: Election Violence, Incumbent Victory, and Post-Election Repercussions, Emilie M. Hafner-Burton, Susan D. Hyde, Ryan S. Jablonski, 2014