Obat pada masa kehamilan: uteretonik dan tokolitik
Kawin kontrak
1. 1
Kawin Kontrak (Nikah Mut’ah)
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah: Hukum Perdata Islam
Dosen Pengampu: Hj. Fatma Amilia
Disusun oleh:
Mohammad Toha Yahya (13340026)
Elisa Widyaningsih (13340025)
JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
2. 2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ 1
KATA PENGANTAR ............................................................................................... 1
DAFTAR ISI............................................................................................................ 1
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 3
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 3
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 3
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah Mut’ah......................................................................... 4
B. Syarat dan Rukun Nikah Mut’ah.............................................................. 4
C. Akibat dari Nikah Mut’ah......................................................................... 8
D. Keabsahan Nikah Mut’ah......................................................................... 11
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................... 15
B. Saran ........................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 16
3. 3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut keadaan sosial dinamis masyarakat nikah mut’ah dipandang perlu
adanya. Pedoman hidup Islami harus diterapkan dengan alasan alasan jitu yang dapat
diterima oleh akal pikiran, logika dan hati nurani. Dalam perkembangan dunia dewasa
ini manusia mulai berontak terhadap keadaan yang berlaku bahkan terhadap diri
mereka masing masing, karena soal yang dihadapi telah memerlukan tuntutan tuntutan
yang jauh berlainan. Ini disebabkan oleh modernisasi dengan teknologi canggih dan
pandangan hidup yang mendekatkan diri dengan dunia yang berkembang maju laju dan
tidak dapat dipacu. Maka Islam harus tampil memperlihatkan tempat berdirinya untuk
bertahan dalam gelombang dan arus perkembangan yang pesat ini dengan eksistensi
yang legal dan internasional.1
Ada di antara yang mengorbankan seluruh apa yang dia
miliki termasuk kehormatannya yang seharusnya dia jaga untuk mendapatkan
kebahagiaan hakiki dari seorang pendamping yang benar benar diharapkan, karena
tidak sedikit kaum laki laki yang hanya ingin mengecap madu seorang wanita kemudian
ampasnya dibuang.
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian nikah mut’ah ?
b. Apa syarat dan rukun dalam nikah mut’ah ?
c. Apa akibat dari nikah mut’ah itu sendiri ?
d. Sejauh manakah keabsahan nikah mut’ah itu ?
C. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui pengertian kawin kontrak
b. Mengetahui syarat dan rukun yang ada dalam kawin kontrak
c. Mengetahui akibat dari nikah mut’ah itu sendiri
d. Menngetahui keabsahan nikah mutah itu sendiri
1
Fuad Mohd. Fachruddin, Kawin Mut’ah Dalam Pandangan Islam, hlm. v
4. 4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah mut’ah
Kata mut’ah diambil dari bahasa Arab yang berasal dari kata ﻣﺗﻊ . Secara etimologi
memiliki beberapa makna diantaranya; kesenangan, alat perlengkapan, pemberian.
Ja’far Murtadha dalam bukunya “Nikah Mut’ah Dalam Islam” mendefinisikan nikah
mut’ah yaitu, ikatan tali perkawinan antara laki laki dan perempuan dengan mahar yang
disepakati dan disebutkan dalam akad sampai pada batas waktu yang ditentukan.
Dengan berlakunya waktu yang telah disepakati, atau dengan pemendekan batas waktu
yang diberikan oleh laki laki, maka berakhirlah ikatan pernikahan tersebut tanpa
memerlukan prosese perceraian.2
B. Rukun dan syarat Nikah mut’ah
Seperti halnya pernikahan permanen nikah mut’ah juga ada rukunnya, diantarannya;
a. Formula
Karena ini adalah akad, maka mut’ah memerlukan pernyataan dan penerimaan
(ijab dan qabul). Seperti dalam pernikahan permanen, pernyataan adalah
persyaratan dari wanita, ia harus terdiri dari salah satu dari tiga formula berbahasa
Arab, yang juga dipakai syiah dalam pernikahan permanen. Al-Sayyid al-Murtada
menambahkan bahwa budak wanita dapat menggunakan formula “aku mengizinkan
engkau atau “aku telah menghalalkanmu”, tetapi kalimat kalimat ini tidak
dikonfirmasikan oleh orang lain. Tetapi menurut Al-Shahid al-Thani beliau memilih
formula “aku memberikan milikmu kepadamu” atau “aku berikan kepadamu
hadiah”atau “aku sewakan diriku untukmu” dan sebagainya dengan ketentuam
tetap memenuhi tiga formula yang dimaksud.3
2
Ja’far Murtada al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam (Kajian Ilmiah Berbagai Mazhab), alih bahasa Abu Muhammad
Jawad, (Jakarta: Yayasan As-Sajjad, 1413 H/1992 M), him. 17.
3
Sachio Muata, Lebih Jelas tentang Mut’ah Perdebatan Sunni dan Syiah, alih bahasa Tri Wibowo Budi Santoso, cet.
Ke-1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 44-45.
5. 5
Kalimat penerimaan dinyatakan oleh pihak pria setelah wanita mengucapkan
kalimat pernyataanya. Kalimat tersebut harus menunjukan keridoan terhadap
pernyataan wanita seperti “aku menerima pernikahan ini” atau “aku menerima
mut’ah ini” atau cukup dengan menyatakan “aku terima atau kau ridho”.
Penerimaan dari pihak pria tidak disyaratkan harus mendahului pernyataan dari
pihak wanita. Menurut al-Muhaqqiq al-Hilli sebagaimana dikutip Sachiko Murata
apabila pria mengatakan “aku menikahimu” lalu wanita menyatakan penerimaanya
maka hal itu dibenarkan.4
Pihak yang menyatakan ijab dan qabul harus pihak yang
berwenang untuk itu yakni pria dan wanita yang akan melakukan mut’ah atau
walinya atau wakilnya. Apabila akad dilakukan oleh pihak yang tidak berhak maka
akad menjadi tidak sah.5
Akad dalam nikah mut’ah dapat juga menggunakan kalimat sebagai barikut :
“zawwijtuka, ankahtuka”. Dalam kitab al Bahr ar Raiq sebagaimana dikutip Ja’far
Murtada al-Amili, apabila akadnya mengunakan kalimat tazwij maka nikah tersebut
harus dihadiri oleh saksi saksi. Namun dalam kitab fath al-Qadir sebagaimana dikutip
Ja’far Murtada al-Amili bahwa tidak ada perbedaan diantara nikah mut’ah dengan
nikah daim. Oleh karenanya akad dalam nikah mut’ah boleh diucapkan dengan
kalimat tersebut diatas.6
Dapat pula diucapkan dengan kalimat “matta’tu nafsi
bimahri …limuddati…”. Mahar dan jangka waktu disebutkan sesuai yang telah
disepakati bersama. Kemudian pihak laki laki cukup mengucapkan “qobiltu’.7
b. Orang
Seorang pria hanya boleh menikahi mut’ah wanita muslimah atau ahli kitab dan
bukan musuh keluarga Nabi SAW. Sementara muslimah tidak boleh menikah mut’ah
dengan laki laki non Muslim. Bagi pria yang sudah memiliki istri permanen dan ingin
melakukan mut’ah dengan budak harus mendapat izin dari isterinya dan apabila
budak tersebut milik orang lain harus mendapat izin dari tuannya. Seorang pria juga
4
Ibid., hlm. 46.
5
Ibid., hlm. 47.
6
Ja’far Murtada al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, hlm. 18.
7
Ibid.
6. 6
tidak boleh menikahi mut’ah putri dari iparnya kecuali atas seizin isterinya. Terkait
saudara yang tidak boleh dinikahi sama halnya dengan ketentuan dalam pernikahan
permanen.8
c. Periode Waktu
Periode waktu dalam pernikahan sementara harus ditetapkan meski hanya satu
jam agar tidak ada penambahan atau pengurangan. Menurut asy Syaikh al-Ansari
sebagaimana dikutip Sachiro Murata, semua hadis menunjukan diperbolehkan
menikmati sampai batas waktu yang disepakati sebagaimana halnya dalam
persewaan.9
Apabila periode waktu tidak disebutkan maka akad menjadi tidak sah berubah
menjadi pernikahan permanen. Hal ini ditegaskan oleh al-Ansari bahwa pernikahan
sementara dengan pernikahan permanen adalah dua realitas yang berbeda
meskipun keduanya memakai kata pernikahan . berbeda halnya dengan as-Sahid at-
Tani mengatakan bahwa pernikahan dengan periode waktu yang dinyatakan adalah
mut’ah, sedangkan pernikahan tanpa periode waktu yang dinyatakan adalah
pernikahan permanen.10
Kedua belah pihak dibenarkan untuk menetapkan satu tindakan hubungan
seksual dalam akad atau yang semacamnya tanpa menyebutkan periode waktu.
Karena pernyataan yang demikian tidak dapat menggantikan perode waktu yang
ditetapkan. Namun apabila periode waktu disebutkan bersamaan dengan syarat
bahwa pernikahan tersebut hanya akan meminta sejumlah hubungan seksual maka
akadnya sah. Apabila pihak pria telah melakukan sejumlah hubungan seksual sesuai
yang telah ditetapkan maka tidak boleh melakukan hubungan seksual lebih lanjut
setelahnya meski periode waktu belum habis. Sebagaimana dalam matajir yang
dikutip oleh Sachiko Murata bahwa jika dalam periode waktu memuat jumlah
8
Sachio Muata, Lebih Jelas tentang Mut’ah Perdebatan Sunni dan Syiah, hlm. 47-48
9
Ibid., hlm. 52
10
Ibid., hlm. 53
7. 7
hubungan seksual tertentu, maka wanita akan bebas dari akewajibannya setelah
jumlah itu diselesaikan walaupun belum sampai akhir periode waktu.11
d. Mahar
dalam pernikahan sementara mahar menjadi rukun nikah yang harus dipenuhi
dan disebutkan dalam akad sebagaimana dalam pernikahan permanen. Apabila pria
mengembalikan masa perjanjian kepada wanita segera setelah akad dan belum
terjadi hubungan seksual maka wanita harus mengembalikan separuh maharnya
sebagaimana halnya perceraian dalam pernikahan permanen. Namun apabila telah
terjadi hubungan seksual maka wanita berhak atas seluruh maharnya.12
Dalam hal akad yang dilakukan tidak sah sebelum berhubungan seksual maka
wanita tidak berhak atas mahar. Namun apabila akad yang tidak sah baru diketahui
setelah terjadi hubungan seksual maka wanita tidak memiliki klaim atas mahar
tersebut karena dalam hal ini dia telah berbuat zina, dan tidak ada mahar dalam
perzinaan.13
Dalam syarh al-Lum’a sebagaimana dikutip Sachiko Murata bahwa jika
wanita meninggal dunia pada masa periode mut’ah dan belum berhubungan seksual
maka maharnya tidak boleh dikurangi sebagaimana halnya dalam pernikahan
permanen.
11
Ibid., hlm. 58-60
12
Ibid., hlm. 62
13
Ibid., hlm. 69
8. 8
C. Akibat Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah memiliki konsekuensi konsekuensi hukum tertentu sebagaimana
dalam nikah permanen :
a. Perceraian
Dalam nikah mut’ah tidak ada talak karena pernikahan akan berakhir dengan
sendirinya pada saat berakhirnya batas waktu yang ditentukan.14
Atau ketika laki laki
mengembalikan waktu yang tersisa kepada pihak perempuan sebagaimana yang
telah dijelaskan dimuka.15
b. Sumpah
Sumpah tidak ada dalam nikah mut’ah karena sumpah ini berhubungan
dengan perceraian yang tidak ada dalam nikah mut’ah.
c. Melaknat
Menurut Imam Ja’far sebagaimana dikutip Sachiko Murata, dalam nikah
mut’ah sumpah li’an tidak berlaku kepada gadis budak, wanita non muslim yang
zimmi atau istri dalam nikah mut’ah.
d. Zihar
As-Sahid at-Tani, at-Taba’taba’I, dan al-Muhaqqiq al-Hilli sebagaiman dikutip
Sachiko Murata berpendapat bahwa zihar terkait dengan setiap wanita yang sah
untuk digauli karena dalam surat (58): 2 bersifat umum. Berbeda halnya dengan asy-
Syaikh al-Ansari dan asy-Syaikh Muhammad al-Hasan sebagaimana dikutip Sachiko
14
Miftah farid, 150 Masalah Nikah dan Keluarga, (Jakarta: Gema Insani, 1999), hlm. 47.
15
Sachiko Murata, Lebih Jelas tentang Mut’ah Perbedaan Sunni dan Syiah, hlm. 76.
9. 9
Murata berpendapat tidak ada zihar dalam mut’ah. Karena akibat zihar kembali pada
isteri atau berakibat pada perceraian.16
e. Warisan
Anak yang dilahirkan dalam nikah mut’ah dapat mewarisi harta ayah dan ibunya
sebagaimana dalam nikah da’im.17
Berbeda halnya dengan apa yang diungkapkan
Sachio Murata bahwa anak yang lahir dari pernikahan sementara hanya
mendapatkan warisan ayahnya setengah dari anak hasil pernikahan permanen,
sedangkan warisan dari ibunya sama halnya dengan anak dari pernikahan da’im.18
Sedangkan antara suami dan isteri tidak ada hak saling mewarisi kecuali disebutkan
secara khusus dalam akad. Sebagaimana dikemukakan oleh Imam ar-Rido yang
dikutip Sachiko Murata “jika mereka menetapkan syarat (warisan), maka itu berlaku;
dan jika tidak, maka itu tidak berlaku”. Namun menurut Imam Baqir sebagaimana
dikutip Sachiko Murata bahwa keduanya tetap saling mewarisi selama tidak
menyebut syarat lain dalam akad.19
f. Periode Menunggu
Sebagai halnya pernikahan permanen, dalam nikah mut’ah juga berlaku masa
iddah. Menurut Syiah Imamiyah sebagaimana dikutip Amir Syarifuddin bahwa bagi
perempuan yang ditinggal mati suaminya iddahnya selama 4 bulan sepuluh hari, dan
bagi perempuan hamil iddahnya sampai melahirkan.
Lain hanya dengan Ja’far Murtada al-Amili yang menentukan bagi wanita yang
masih haid maka iddahnya dua bulan dan ada yang mengatakan satu bulan. Bagi
wanita dewasa tetapi tidak pernah mengalami haid maka iddahnya empat bulan lima
hari.20
16
Ibid., hlm. 77-78
17
Ja’far Murtada al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, hlm. 19.
18
Sachio Murata, Lebih Jelas tentang Mut’ah Perbedaan Sunni dan Syiah, hlm. 18.
19
Ibid., hlm. 79-80
20
Ja’far Murtada al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, hlm. 18.
10. 10
Asy Syaikh al-Mufid, as-Sayyid al-Murtada dan beberapa tokoh lain sebagaimana
dikutip Sachiko Murata menyatakan bahwa masa idah bagi isteri yang ditinggal mati
suaminya adalah dua bulan lima hari karena dua alasan, pertama, masa tunggu dua
bulan lima hari adalah masa tunggu bagi budak yang juga berlaku bagi wanita dalam
pernikahan sementara. Alasan kedua, Imam Ja’far mengungkapkan sebagaimana
dikutip oleh Sachiko Murata bahwa masa tunggu bagi isteri ditinggal mati suaminya
adalah empat puluh lima hari. Namun pendapat tersebut ditolak oleh asy-Syaikh
Muhammad al-Hasan dengan alasan pendat tersebut didasarkan pada qiyas yang
tidak bisa menjadi sumber valid dalam Syi’ah dan juga didasarkan pada hadis yang
mursal.21
g. Memperbarui akad
Sebelum batas waktu yang ditentukan berakhir maka tidak dapat dilakukan
pembaharuan terhadap akad, kecuali jika pihak laki laki mengembalikan sisa waktu
kepada pihak perempuan yang menyebabkan berakhirnya pernikahan barulah
keduanya dapat memperbarui akad. Bagi wanita yang menikah kembali dengan pria
yang sama tidak berlaku masa tunggu.22
h. Status anak
Anak hasil perkawinan mut’ah diakui sebagai anak sah sebagaimana halnya dalam
nikah da’im, walaupun suaminya pernah melakukan ‘azl. Menurut Imam Syaraf ad-
Din sebagaimana dikutip Ja’far Murtada al-Amili, status anak dari nikah mut’ah
diikutkan ayahnya, begitupula saudara ayah atau ibunya adalah paman dan bibinya,
anak anak yang didapatkan oleh ayah atau ibunya adalah saudaranya, dan seluruh
wanita yang pernah dinikahi ayahnya adalah ibunya demikian berlaku seterusnya.23
21
Sachio Murata, Lebih Jelas tentang Mut’ah Perbedaan Sunni dan Syiah, hlm. 84-85
22
Ibid., hlm. 87
23
Ja’far Murtada al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, hlm. 19.
11. 11
D. Keabsahan Nikah Mut’ah
Mayoritas ulama Ahlussunah mengartikan kalimat ﻓﻣﺎاﺳﺗﻣﺗﻌﺗمﺑﺔﻣﻧﮭن sebagai
kenikmatan dalam hubungan pernikahan permanen. Penekanan terletak pada adanya
kenikmatan dan kelezatan hubungan jasmani, oleh karenanya maskawin dinamakan ajr
yakni imbalan dan upah. Imbalan tersebut dipahami sebagai mahar yang harus dipenuhi
oleh suami. Ketentuan dalam membayar mahar menurut Qurai Shihab yaitu, mahar
dibayar sempurna apabila telah berhubungan badan, mahar dibayar setengahnya
apabila telah berhubungan badan dan telah dijanjikan maskawin, mahar tidak wajib
dibayar apabila belum terjadi hubungan badan dan belum ada maskawin yang dijanjikan
namun Al-Qur’an menganjurkan untuk memberikan sesuatu sebagai imbalan
pembatalan.
Mayoritas ulama sepakat bahwa nikah mut’ah pernah diizinkan oleh Nabi SAW.
Disamping itu banyak riwayat yang menyatakan pembatalan nikah mut’ah. Sebagian
ulama berpendapat bahwa ayat tentang nikah mut’ah telah dihapus oleh ayat ayat
tentang penjagaan farji, warisan, iddah dan talak. Sebagian lain berpendapat bahwa
kebolehan nikah mut’ah dihapus oleh beberapa hadis. Adapula yang berpendapat
kebolehanya telah dihapus berdasarkan ijma’ bahkan hanya berdasarkan ijtihad Khalifah
Umar bin Khattab.24
Menyandarkan pendapat kepada riwayat dari al-Qasim bin Muhammad bin Abu
Bakar dan riwayat dari ‘Aisyah. Bantahan dari Syiah atas pendapat ini bahwa : Pertama,
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat mut’ah termasuk ayat yang muhkamat dan tidak
dinasakh. Kedua, ayat tentang penjagaan farji di atas adalah surah Makiyah sedangkan
ayat tentang Mut’ah adalah Madaniyah. Tidak mungkin ayat yang datang lebih dahulu
menghapus ayat yang datang kemudian akan tetapi sebaliknya. Ketiga, ayat tentang
penjagaan farji mengindikasikan bahwa wanita yang dinikahi mut’ah tidak dapat
dikategorikan sebagai isteri, namun para sahabat sendiri manamakan mut’ah sebagai
24
Ja’far Murtada al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, hlm. 23-24
12. 12
pernikahan dan wanita yang dikawini mut’ah tetap disebut sebagai isteri. Keempat, ayat
tentang penjagaan farji bersifat umum sedangkan ayat tentang mut’ah bersifat khusus,
biasanya ayat yang umum ditakhsis oleh ayat yang bersifat khusus.25
Mereka yang berpendapat bahwa ayat tentang penjagaan farji sebagai
penghapus ayat mut’ah sering mengaitkan dengan ayat mengenai talak, warisan, iddah
dengan asumsi nikah mut’ah tidak termasuk dalam perkawinan. Sanggahnya bahwa
talak bersifat umum yang berlaku pada setiap jenis pernikahan. Dalam hal ini ayat
mut’ah sebagai takhsis dari keumuman ayat talak tersebut, demikian halnya dalam
masalah ayat tentang warisan. Sedangkan pada ayat iddah dianggap tidak masuk akal
jika ayat yang membicarakan tentang iddah sebagai penghapus ayat mut’ahkarena
dalam mut’ah tetap berlakuketentuan iddah apabila seorang wanita akan menikah lagi
dengan laki laki lain. 26
Ibnu hajar al-Asqalani mengemukakan bahwasannya larangan nikah mut’ah yang
disampaikan Khalifah Umar bin Khattab bukan semata mata dari pendapat pribadinya
akan tetapi berdasarkan larangan Rasulullah SAW. Sanggahan terhadap pendapat
tersebut bahwa Umar mengharamkan nikah mut’ah karena : Pertama, menurut Ibnu
Hazm dan al-Baquri sebagaimana dikutip oleh Ja’far Murtada al-Amili, penyebab Umar
mengharamkan nikah mut’ah karena beliau melihat ada yang menyalahgunakan nikah
tersebut. Kedua, sebagian lain mengatakan Umar mengharamkan pernikahan yang tidak
disaksikan oleh saksi yang adil. Ketiga, pendapat Syekh Muhammad al-Gita sebagaimana
dikutip oleh Ja’far Murtada al-Amili bahwa, alasan Umar berbuat demikian kerena ia
melihat suatu kejadian yang membuatnya arah sehingga beliau mengharamkannya demi
tujuan kenegaraan.27
25
Ibid., hlm. 23
26
Ibid., hlm. 30-31
27
Ibid., hlm. 103-105
13. 13
Fuad Mohd. Fahruddin lebih tegas menyatakan mut’ah malah membuka mata
birahi seseorang dan melepaskan kehormatan melanggar peraturan sehingga tidak
mendapat satupun tujuan dari pernikahan.28
Di suatu sisi terdapat golongan yang mencela pendapat Syiah yang
membolehkan nikah mut’ah dalam kitab fatwa dan pendirian ulama Sunni terhadap
aqidah Syiah karangan M.O Abdullah sebagaimana dikutip oleh Fuad Mohd. Fahruddin,
dusta orang Syiah yang menggalakkan kawin mut’ah atas nama Allah dan RasulNya
berkata bahwa Rasulullah pernah menyatakan barangsiapa melakukan kawin mut’ah
satu kali maka derajatnya sama dengan al-Husein, barangsiapa yang melakukan dua kali
derajatnya sama dengan al-Hasan, barangsiapa yang melakukan tiga kali derajatnya
sama dengan Ali bin Abi Talib dan barangsiapa kawin mut’ah empat kali maka
derajatnya sama denganku.29
Maka dari itu kebanyakan para ulama khususnya ulama Sunni menngharamkan
nikah mut’ah bahkan merupakan suatu kebatilan yang nyata karena wanita hanya
dianggap sebagai barang dagangan, padahal dalam perkawinan yang sesungguhnya
harkat dan martabat wanita dijunjung tinggi dengan adanya mahar dari mempelai laki
laki, dan dampak yang dirasakan dari nikah mut’ah akan dirasakan sepanjang hidup.
ﺣَدّﺛَﻧَﺎﻣﺣﻣّدُﺑنُﺧﻠفٍاﻟﻌﺳﻘﺎلﻧِﻰﱡﺣدّﺛﻧﺎاﻟﻔِرﯨﺎﺑﻰّﻋناﺑﺎنَﺑنِاﺑﻲﺣﺎزمٍﻋناﺑﻲﺑﻛرِﺑنِﺣﻔْصٍﻋناﺑنِ
ﻋُﻣرﻗﺎلﻟﻣّﺎوﻟﻲَﻋﻣرﺑنُاﻟﺧطﺎبِﺟطباﻧّﺎسﻓﻘﺎلانّرﺳُولاﻟﻠﺔﻋﻠﯾﺔوﺳﻠماذِنﻟﻧﺎﻓﻲاﻣﺗﻌﺔﺛﺎلﺛﺎﺛمﺣرﻣﮭﺎ
واﻟﻠﺔلاﻋﻠماﺣدًاﯾﺗﻣﺗﻊوھوﻣﺣﺻنٌالّرﺟﻣﺗﮫﺑﺎﻟﺣﺟﺎرةِالانﯾﺎﺗﯾنﺑﺎرﺑﻌﺔٍﯾﺷﮭدونانرﺳولاﻟﻠﺔاﺣﻠّﮭﺎﺑﻌداذ
ﺣرﻣﮭﺎ)رواهاﺑنﻣﺎﺟﮫ(
“Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad ibn Khalaf al-Asqalani, telah
bercerita kepada kami al-Firyabi, dari Aban ibn Abi Hazim, dari Abi Bakr IBN Hafs, dari
Ibn Umar, beliau berkata : ketika Umar diangkat sebagai pemimpin, dia berpidato
kepada orang orang : “sesungguhnya Rasul Allah SAW. Memang pernah mengizinkan
kita melakukan nikah mut’ah sebanyaktiga kali, kemudian ia mengharamkannya. Demi
Allah, jika saya tahu ada seseorang yang melakukan nikah mut’ah, sementara ia adalah
28
Fuad Mohd. Fahruddin, Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam, hlm. 84.
29
Ibid., hlm. 85
14. 14
muhsan, niscaya ia akan saya rajam dengan batu, kecuali ia dapat mendatangkan
empat orang saksi bahwa Rasul Allah SAW. Memang menghalalkan nikah mut’ah
sesudah ia mengharamkan.” (H.R. Ibn Majah).
Dari aspek sanad hadis ini dinilai Hasan karena ada salah satu dari rawi hadis
tersebut berada pada tingkat ke lima. Juga tergolong garib karena tidak ada hadis lain
yang meriwayatkan. Adapun kualitas rawinya, bisa dilihat dalam bagan di bawah ini ;30
No Nama Sanad Kualitas
1. Umar ibn al-Khattab I/VI Diterima
2. Abd Allah ibn Umar II/V Diterima
3. Abu Bakar III/IV Diterima
4. Aban ibn Abi Hazim IV/III Diterima
5. Al-Firyabi V/II Diterima
6. Muhammad ibn Khalaf VI/I Diterima
7. Ibn Majah VII/mukharrij al-
hadis
Diterima
30
Dr. Marhumah, M. Pd, Memahami Perkawinan dalam Perspektif Kesetaraan (Studi Kritis Hadis Hadis tentang
Perkawinan), hlm. 163-164
15. 15
E. Penutup
a. Kesimpulan
Dalam perdebatan nikah mut’ah, lazimnya ada dua golongan yang
berseberangan secara tegas. Dan masing masing golongan itu memiliki dasar
argumennya yang dilegitimasi dengan teks Qur’an maupun hadist. Golongan pertama
berpendapat, bahwa nikah mut’ah sah hukumnya sesuai dengan Hadis. Sedangkan
golongan kedua, juga berpendapat bahwa nikah mut’ah tidak sah hukumnya sesuai
dengan Hadis.
Sedangkan golongan lainya, berpendapat bahwa Hadis tentang nikah mut’ah
sewaktu umat Islam berperang haruslah dipahami dalam konteks masanya. Juga perlu
diingat bahwa ketika fath al-Makkah, Nabi sudah mencabut ketentuan hukum Hadis itu,
dan mengharamkanya hingga akhir zaman. Selain itu, menurut golongan ini, teks Qur’an
yang menghalalkan nikah mut’ah, oleh sebagian ulama tafsir adalah teks yang terkena
logika nasakh, atau dicabut ketentuan hukumnya. Sehingga umat Islam tidak perlu lagi
mengacu pada ayat tersebut secara tekstual dan menjalankannya.31
b. Saran
- Sering melakukan sosialisasi mengenai pentingnya melakukan perkawinan
sesuai dengan aturan yang berlaku.
- Memberikan pelatihan ketrampilan bagi mereka.
- Memberikan sanksi yang mampu memberikan efek jera.
31
Dr. Marhumah, M. Pd, Memahami Perkawinan dalam Perspektif Kesetaraan (Studi Kritis Hadis Hadis tentang
Perkawinan), hlm. 175-176
16. 16
DAFTAR PUSTAKA
Al Amili, Ja’far Murtadha. 1992. Nikah Mut’ah dalam Islam Kajian Ilmiah dari Berbagai Mazhab.
Jakarta : Yayasan as-Sajjad.
Fakhruddin, Fuad Mohd. 1992. Nikah Mut’ah dalam Pandangan Islam. Jakarta : Pedoman Ilmu
Jaya.
Murata, Sachiko. 2001. Lebih Jelas Tentang Mut’ah : Perbedaan Sunni dan Syiah. Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
Marhumah. 2009. Memahami Perkawinan dalam Perspektif Kesetaraan : Strudi Kritis Hadis
Hadis Tentang Perkawinan. Yogyakarta : PSW UIN Sunan Kalijaga.