Kawin Kontrak (Mut'ah) dan Siri dalam Tinjauan Fikih IslamRendra Fahrurrozie
Syahwat pria dewasa terhadap wanita untuk mencintai dan memiliki adalah hal yang fitrah, yaitu hal yang alamiah yang telah ditetapkan adanya oleh Allah kepada manusia. Sebagaimana di dalam Al Qur’an, QS Ali Imran [3] : 14.
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمََٔابِ ١٤
14. Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
Tetapi manusia harus memperhatikan dan berhati-hati perihal cara dia menyalurkan nafsu seksual itu. Sebab manusia diberi pilihan berupa dua jalan oleh Allah SWT, yaitu jalan yang halal dan jalan yang haram.
وَهَدَيۡنَٰهُ ٱلنَّجۡدَيۡنِ ١٠
10. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (QS Al Balad [90] : 10)
Melalui pernikahanlah satu-satunya jalan yang sah menurut syariah Islam dan diridhai Allah SWT bagi seorang laki-laki untuk menyalurkan nafsu seksualnya kepada seorang perempuan. Dalam soal pernikahan, Islam tidak membebani umatnya dengan syarat yang berat, Islam sangat menganjurkan pernikahan.[1]
Menikah akan membantu menahan pandangan serta menjaga diri dari ke maksiatan. Rasulullah bersabda, ”Jika salah seorang dari kamu melihat kecantikan seorang wanita, datangilah istrimu. Apa yang dimiliki wanita itu sama dengan apa yang dimiliki istrimu.” (H.R Muslim).[2]
Sebaliknya jalan yang haram adalah dengan berzina, yang mana termasuk di dalamnya adalah melakukan pernikahan akan tetapi bathil dalam segi akad dan perbuatannya.[3] Yaitu nikah kontrak atau nikah mut’ah yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu, misalnya sehari, dua hari, seminggu, dan sebagainya dengan imbalan sejumlah uang bagi pihak perempuan.
Adapula yang melakukannya dengan siri (diam-diam), akan tetapi pernikahan siri ini dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara atau denda.[4]
Lantas, bagaimana pandangan Islam terhadap nikah siri? Bolehkah orang yang melakukan nikah siri dipidanakan? Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak memiliki hubungan pewarisan? Dan Apa dan bagaimanakah kawin kontrak itu? Bagaimanakah kawin kontrak itu dalam pandangan hukum Islam?
Kawin Kontrak (Mut'ah) dan Siri dalam Tinjauan Fikih IslamRendra Fahrurrozie
Syahwat pria dewasa terhadap wanita untuk mencintai dan memiliki adalah hal yang fitrah, yaitu hal yang alamiah yang telah ditetapkan adanya oleh Allah kepada manusia. Sebagaimana di dalam Al Qur’an, QS Ali Imran [3] : 14.
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمََٔابِ ١٤
14. Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
Tetapi manusia harus memperhatikan dan berhati-hati perihal cara dia menyalurkan nafsu seksual itu. Sebab manusia diberi pilihan berupa dua jalan oleh Allah SWT, yaitu jalan yang halal dan jalan yang haram.
وَهَدَيۡنَٰهُ ٱلنَّجۡدَيۡنِ ١٠
10. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (QS Al Balad [90] : 10)
Melalui pernikahanlah satu-satunya jalan yang sah menurut syariah Islam dan diridhai Allah SWT bagi seorang laki-laki untuk menyalurkan nafsu seksualnya kepada seorang perempuan. Dalam soal pernikahan, Islam tidak membebani umatnya dengan syarat yang berat, Islam sangat menganjurkan pernikahan.[1]
Menikah akan membantu menahan pandangan serta menjaga diri dari ke maksiatan. Rasulullah bersabda, ”Jika salah seorang dari kamu melihat kecantikan seorang wanita, datangilah istrimu. Apa yang dimiliki wanita itu sama dengan apa yang dimiliki istrimu.” (H.R Muslim).[2]
Sebaliknya jalan yang haram adalah dengan berzina, yang mana termasuk di dalamnya adalah melakukan pernikahan akan tetapi bathil dalam segi akad dan perbuatannya.[3] Yaitu nikah kontrak atau nikah mut’ah yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu, misalnya sehari, dua hari, seminggu, dan sebagainya dengan imbalan sejumlah uang bagi pihak perempuan.
Adapula yang melakukannya dengan siri (diam-diam), akan tetapi pernikahan siri ini dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara atau denda.[4]
Lantas, bagaimana pandangan Islam terhadap nikah siri? Bolehkah orang yang melakukan nikah siri dipidanakan? Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak memiliki hubungan pewarisan? Dan Apa dan bagaimanakah kawin kontrak itu? Bagaimanakah kawin kontrak itu dalam pandangan hukum Islam?
PERNIKAHAN BERWALIKAN HAKIM Analisis Fikih Munakakhat dan Kompilasi Hukum IslamIAIN Tulungagung
This article aims to descriptively analyze the case when a woman is going to get married under guardian of the Judge from the perspective of Islamic jurisprudence. The finding confirms that a woman’s marriage under the guardian of the Judge whether or not her biological guardian is still alive is considered legal from the perspective of either Islamic sharia or the Compilation of Indonesian Islamic Jurisprudence. In this case the Judge functions as the replacement of the woman’s biological guardian for some conditions accepted by the sharia such as emergency situation.
Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan, Dasar Hukum Perkawinan, Hukum Melakuka...NgazisMasturi
Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan, Dasar Hukum Perkawinan, Hukum Melakukan Perkawinan, Tujuan Perkawinan, Prinsip-prinsip Perkawinan, Hikmah Perkawinan, Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
PERNIKAHAN BERWALIKAN HAKIM Analisis Fikih Munakakhat dan Kompilasi Hukum IslamIAIN Tulungagung
This article aims to descriptively analyze the case when a woman is going to get married under guardian of the Judge from the perspective of Islamic jurisprudence. The finding confirms that a woman’s marriage under the guardian of the Judge whether or not her biological guardian is still alive is considered legal from the perspective of either Islamic sharia or the Compilation of Indonesian Islamic Jurisprudence. In this case the Judge functions as the replacement of the woman’s biological guardian for some conditions accepted by the sharia such as emergency situation.
Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan, Dasar Hukum Perkawinan, Hukum Melakuka...NgazisMasturi
Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan, Dasar Hukum Perkawinan, Hukum Melakukan Perkawinan, Tujuan Perkawinan, Prinsip-prinsip Perkawinan, Hikmah Perkawinan, Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
ppt profesionalisasi pendidikan Pai 9.pdfNur afiyah
Pembelajaran landasan pendidikan yang membahas tentang profesionalisasi pendidikan. Semoga dengan adanya materi ini dapat memudahkan kita untuk memahami dengan baik serta menambah pengetahuan kita tentang profesionalisasi pendidikan.
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
1. Presentasi ke-12
NIKAH SIRRI & NIKAH MUT’AH :
Definisi, Dalil, Hukum & Implikasinya
Kelompok 12 :
1. M. Zainul Muslimin
2. ‘Unwan Makhbubiy
3. Tri Cahyono
4. Yatim
2. TA’RIF NIKAH SIRRI
Kata “Sirri” berasal dari bahasa Arab, yang arti harfiyahnya,
“rahasia” (secret marriage). Menurut terminologi fiqh Maliki,
Nikah sirri, ialah: “Nikah yang atas pesan suami, para saksi
merahasiakannya untuk isterinya atau jama’ahnya, sekalipun
keluarga setempat”
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Ahkamu al-Zawaj, menyatakan
bahwa nikah sirri adalah apabila laki-laki menikahi perempuan
tanpa wali dan saksi-saksi, serta merahasiakan pernikahannya.
Sehingga langsung dapat disimpulkan, bahwa pernikahan ini
bathil menurut jumhur ulama.
Wahbah Zuhaili menyatakan bahwa nikah sirri yakni nikah yang
dirahasiakan dan hanya diketahui oleh pihak yang terkait
dengan akad. Pada akad ini dua saksi, wali dan kedua
mempelai diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, dan tidak
seorangpun dari mereka diperbolehkan menceritakan
akad tersebut kepada orang lain.
3. NIKAH SIRRI MENURUT FIQH
Menurut pandangan ulama, nikah sirri terbagi menjadi dua:
Pertama : Dilangsungkannya pernikahan suami istri tanpa kehadiran wali
dan saksi-saksi, atau hanya dihadiri wali tanpa diketahui oleh saksi-saksi.
Kemudian pihak-pihak yang hadir (suami-istri dan wali) menyepakati
untuk menyembunyikan pernikahan tersebut. Menurut pandangan seluruh
ulama fiqih, pernikahan yang dilaksanakan seperti ini batil. Lantaran tidak
memenuhi syarat pernikahan, seperti keberadaan wali dan saksi-saksi. Ini
bahkan termasuk nikah sifâh (perzinaan) atau ittikhâdzul-akhdân
(menjadikan wanita atau lelaki sebagai piaraan untuk pemuas nafsu).
ٍانَدْخّأ ِتاَذ ِخَّتُمَال َو ٍتاَحِفاَسُم َْريَغ “… Bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang
mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya …” [al- Nisâ`/4:25].
Kedua : Pernikahan terlaksana dengan syarat-syarat dan rukun-rukun
yang terpenuhi, seperti ijab, qabul, wali dan saksi-saksi. Akan tetapi,
mereka (suami, istri, wali dan saksi) satu kata untuk merahasiakan
pernikahan ini dari telinga masyarakat. Jumhur ulama memandang
pernikahan seperti ini sah, tetapi hukumnya dilarang. Sebab, suatu
perkara yang rahasia, jika telah dihadiri dua orang atau lebih, maka sudah
bukan rahasia lagi. Dilarang, karena adanya perintah Rasul Saw untuk
walimah dan menghilangkan unsur yang berpotensi mengundang keragu-
raguan dan tuduhan tidak benar. Sedangkan kalangan ulama
Malikiyah menilai pernikahan yang seperti ini batil. Karena
maksud dari perintah untuk menyelenggarakan pernikahan adalah
pemberitahuan, dan ini termasuk syarat sah pernikahan.
4. TERMINOLOGI NIKAH SIRRI DI INDONESIA
Dalam konteks masyarakat Indonesia, definisi nikah sirri ada
beberapa versi:
1. Pernikahan yang dipandang sah dari segi agama (Islam),
namun tidak didaftarkan ke KUA (selaku lembaga perwakilan
negara dalam bidang pernikahan).
2. Pernikahan yang dilakukan tanpa kehadiran wali dari pihak
perempuan.
3. Pernikahan yang sah dilakukan baik oleh agama maupun
secara negara (juga tercatat di KUA), namun tidak
disebarluaskan (tidak diadakan walimah/resepsi).
Nikah sirri yang banyak dilakukan oleh masyarakat Muslim
Indonesia yaitu pernikahan yang sah namun tidak didaftarkan
ke KUA. Dalam konteks ini terminologi yang tepat adalah
Nikah Sirri = Zawaj ‘Urfi = Nikah dibawah tangan.
5. ZAWAJ ‘URFI
Disebut nikah ‘urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat
dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak
masa Nabi Saw dan para sahabat, dimana mereka tidak perlu
untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa ada permasalahan
dalam hati mereka.
Nikah ‘urfi mudah untuk dipalsu dan digugat, berbeda dengan
pernikahan resmi yang sulit digugat.
Faktor-faktor pendorong nikah ‘urfi:
a. Problem Poligami.
b. Undang-undang usia.
c. Tempat tinggal yang tidak menetap.
d. Faktor Harta/Mahar yang tinggi.
e. Faktor Agama. Sebagian orang lebih menempuh jalan ini untuk
memenuhi hasratnya bersama kekasihnya dan tidak ingin terikat
dalam suatu pernikahan resmi.
6. EFEK NIKAH SIRRI
Diantara efek pernikahan sirri bagi anak & istri:
1. Istri tidak bisa menggugat suami, apabila
ditinggalkan oleh suami.
2. Penyelesaian kasus gugatan nikah sirri,
hanya bisa diselesaikan melalui hukum adat,
tidak bisa di pengadilan agama.
3. Pernikahan sirri tidak termasuk perjanjian yang kuat (mītsāqan
ghalīdha) karena tidak tercatat secara hukum.
4. Apabila memiliki anak, maka anak tersebut tidak memiliki status,
seperti akta kelahiran. Sebab untuk memperoleh akta kelahiran,
disyaratkan adanya akta nikah.
5. Istri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal,
seperti tunjangan jasa raharja. Apabila suami sebagai PNS,
maka istri tidak memperoleh tunjangan perkawinan
dan tunjangan pensiun suami
6. Anak & istri terancam tidak mendapat hak waris,
karena tidak ada bukti administrasi pernikahan.
7. MANFAAT PENCATATAN (AKTA) NIKAH
1. Menjaga hak dari kesia-siaan, baik hak suami istri atau hak anak
berupa nasab, nafkah, warisan dsb. Catatan resmi ini merupakan
bukti otentik yang tidak bisa digugat untuk mendapatkan hak tsb.
2. Menyelesaikan persengketaan antara suami istri atau para walinya
ketika mereka berselisih, karena bisa jadi salah satu diantara
mereka akan mengingkari suatu hak untuk kepentingan pribadi
dan pihak lainnya tidak memiliki bukti karena saksi telah tiada.
Maka dengan adanya catatan ini, hal itu tidak bisa diingkari.
3. Catatan dan tulisan akan bertahan lama, sehingga sekalipun yang
bertanda tangan telah meninggal dunia namun catatan masih
berlaku. Oleh karena itu, para ulama menjadikan tulisan
merupakan salah satu cara penentuan hukum.
4. Catatan nikah akan menjaga suatu pernikahan dari pernikahan
yang tidak sah, karena akan diteliti terlebih dahulu beberapa syarat
dan rukun pernikahan serta penghalang-penghalangnya.
5. Menutup pintu pengakuan dusta dalam pengadilan. Karena bisa
saja sebagian orang yang hatinya rusak telah mengaku
telah menikahi seorang wanita secara dusta untuk
menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehormatan
hanya karena mudahnya suatu pernikahan dengan saksi palsu.
8. DALIL PELARANGAN NIKAH SIRRI
Apabila pemerintah memandang adanya undang-undang
keharusan tercatatnya akad pernikahan, maka itu adalah
undang-undang yang sah dan wajib bagi rakyat untuk
mematuhinya dan tidak melanggarnya. QS. al-Nisa’: 59
َلوُسَّالر واُعيِطَأَو َهللا واُعيِطَأ واُنَماَء َِينذَّلا اَهُّيَأاَي
لُُْنِم ِ
رلمََألا ِل لوُأَو
Kaidah fiqh: بالمصلحة منوط الرعية عل ْاإلما تصرف
ْاإلسال ف ضرار وال الضرر
Pencatatan perkawinan menjadi suatu keharusan yang
dilakukan karena membawa kemaslahatan yang lebih besar
bagi umat Islam. Ada kaidah fiqh المفاسد ودرء المصالح جلب
(menarik kemaslahatan dan menolak kemudaratan). Ulama
ushul fiqh mengklaim bahwa apabila ada aturan hukum yang
dibuat manusia nyata maslahatnya dan tidak bertentangan
dengan nash, ia dapat disebut bagian dari hukum itu sendiri.
9. KESIMPULAN HUKUM NIKAH SIRRI
Nikah sirri yang diartikan menurut terminologi fiqh, dilarang
dan tidak sah menurut hukum Islam, karena ada unsur sirri
(dirahasiakan nikahnya), yang bertentangan dengan ajaran
Islam dan bisa mengundang fitnah dan tuhmah, serta dapat
mendatangkan madarat/resiko berat bagi pelakunya dan
keluarganya. Nikah sirri juga tidak sah menurut hukum
positif, karena tidak melaksanakan ketentuan hukum
munakahat yang baku dan benar, dan tidak pula diadakan
pencatatan nikahnya oleh KUA.
Nikah dibawah tangan hukumnya sah menurut hukum Islam
sepanjang tidak motif “sirri”, karena telah memenuhi
ketentuan syari’ah yang benar. Nikah dibawah tangan tidak
sah menurut hukum positif, karena tidak memenuhi
peraturan UU yang berlaku dalam hukum perkawinan.
Nikah ‘urfi banyak mengandung persoalan (mafsadat/
mudharat). Sehingga dalam perspektif syari’at,
nikah ‘urfi, walau sah secara fiqh, tetapi perlu
dihindari.
10. NIKAH MUT’AH
Mut’ah identik dengan kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau
menikmati. Secara istilah, mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi
seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam
waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu
yang telah ditentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah
atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya
jika meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mut’ah itu.
Nikah Mut’ah disebut juga pernikahan sementara (al-zawaj al-mu`aqqat).
Menurut Sayyid Sabiq, dinamakan mut’ah karena laki-lakinya bermaksud
untuk bersenang-senang sementara waktu saja. Dalam nikah mut’ah,
jangka waktu perjanjian pernikahan (ajal) dan besarnya mahar yang
harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang
hendak dinikahi (mahr, ajr), dinyatakan secara spesifik dan eksplisit.
Tujuan nikah mut’ah adalah kenikmatan seksual (istimta’), sehingga
berbeda dengan tujuan penikahan permanen, yaitu prokreasi (taulid an-
nasl). Pihak laki-laki tidak berkewajiban menyediakan kebutuhan sehari-
hari (nafaqah) untuk istri sementaranya, sebagaimana yang harus ia
lakukan dalam pernikahan permanen. Sejalan dengan itu,
pihak istri juga mempunyai kewajiban yang sedikit untuk
mentaati suami, kecuali dalam urusan seksual.
11. HUKUM NIKAH MUT’AH
Pada awal perjalanan Islam, nikah mut’ah memang dihalalkan,
اَّنُك
ِ َّ
َّللا ِلوُسَر َعَم وُزْغَن
َو ِهْيَلَع ُ َّ
َّللا ىَّلَص
َمَّلَس
َأ َانْلُقَف ٌءاَسِن َانَل َ
ْسيَل
َ
ال
ي ِ
صْخَتْسَن
َاناَهَنَف
َةَأ ْرَمْال َحِكْنَن ْنَأ َانَل َ
صَّخَر َّمُث َكِلَذ ْنَع
ِب
ِب ْوَّالث
َأَرَق َّمُث ٍلَجَأ ىَلِإ
ُدْبَع
ِ َّ
َّللا
يحب ال هللا إن تعتدوا وال لكم هللا أحل ما طيبات تحرموا ال آمنوا الذين أيها يا
المعتدين
Kami pergi berperang bersama Rasulullah saw. tanpa membawa istri
lalu kami bertanya: Bolehkah kami mengebiri diri? Beliau melarang kami
melakukan itu kemudian memberikan rukhsah untuk menikahi wanita
dengan pakaian sebagai mahar selama tempo waktu tertentu lalu
Abdullah membacakan ayat tsb. (HR. BukhariMuslim).
Hadits dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata: Pernah
kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasul Saw
ِ َّ
َّللا َلوُسَر َّنِإ
َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُ َّ
َّللا ىَّلَص
ْدَق
َأ
واُعِتْمَتْسَت ْنَأ ْمُكَل َِنذ
يِنْعَي
ْتُم
ِاءَسِّنال َََع
Telah diizinkan bagi kalian nikah mut’ah maka sekarang mut’ahlah.
Namun hukum ini telah dimansukh/dihapus dengan larangan
Rasul Saw untuk menikah mut’ah. Para ulama berselisih
pendapat kapan diharamkannya nikah mut’ah tersebut.
Pendapat yang lebih rajih bahwa nikah mut’ah
diharamkan pada saat fathu makkah tahun 8 Hijriyah.
12. HUKUM NIKAH MUT’AH
al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim:
َم اَنَاُ ةَحاَبِل
اإلَو ْي ِ
رلحَّتال َّنَأ ارَتلخُمللا ابَوَّصالَو
ليَخ للبَق ا
ال َ
الَح تلَنَاَُو ،ِنليَتَّر
َُّْث ، رَب
َّةَُم حلتَف ْ لوَي تلَحيِبُأ َُّْث ،رَبليَخ ْ لوَي تلَمِِّ
رُح
َُّْث ،اَمِهِلاَصِِّت ِ
ال ،اسَط لوَأ ْ لوَي َوُهَو
تلَمِِّ
رُح
َي َلِإ اادَّبَؤُم اامي ِ
رلحَت ْاَّيَأ ةَث َ
الَث دلعَب ٍذِئم لوَي
ْي ِ
رلحَّتال َّرَمَتلساَو ،ةَماَيِقللا ْ لو
“yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah
dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni
dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan
ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika
fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu
diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah
mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh
dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa
sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa
peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah.
Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan
(rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.
13. HUKUM NIKAH MUT’AH
Ada pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini berdasarkan
fatwa sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah
direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri.
اب عن ذلك واشتهر ،حالل المتعة زواج أن التابعين وبعض الصحابة بعض عن روي وقد
ن
السنن تهذيب وفي ،عنه هللا رضي عباس
:
إ في المسلك هذا سلك فانه عباس ابن وأما
باحتها
رجع منها الناس إُثار بلغه فلما ،مطلقا يبحها ْول ،والضرورة الحاجة عند
.
عباس ابن فقال
:
(
راجعون إليه وإنا هلل إنا
!)
هللا أحل ما مثل إال أحللت وال ،أردت هذا وال ،أفتيت بهذا ما وهللا
الخنزي ْولح ْوالد ُالميتة إال هي وما ،للمضطر إال تحل وما ،الخنزير ْولح ْوالد الميتة
ر
.
Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah
hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat
Ibnu Abbas r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas
membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika
dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan
tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merevisi pendapatnya tersebut.
Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan
seperti itu (hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan.
Saya tidak menghalalkan nikah mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat,
sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika dalam keadaan
dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi dalam keadaan dharurat. Nikah
mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram
hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh”
14. Pandangan Kaum Syi’ah (Itsna ‘Asy’ariyah)
Dasar legitimasi kaum Syi’ah terhadap nikah muth’ah adalah al-
Qur’an surat an-Nisa’ ayat 24: وُتآَف َّنُهْنِم ِهِب ْمُتْعَتْمَتْسا اَمَف
ََضي ِ
رَف َّنُه َورُجُأ َّنُه
Dalam Tarikh al-Fiqh al-Ja’fari dijelaskan, bahwa ketika Abu Nashrah
bertanya kepada Ibn Abbas tentang nikah muth’ah, Ibn Abbas
menerangkan, nikah itu diperbolehkan, menurut Ibn Abbas,
lengkapnya ayat itu adalah (terdapat tambahan مس اجل الى
مى ):
َّنُهْنِم ِهِب ْمُتْعَتْمَتْسا اَمَف
)
مسم اجل ال
(
َورُجُأ َّنُهوُتآَف
ََضي ِ
رَف َّنُه
Sahabat lain yang sependapat dengan Ibn Abbas Ibn Mas’ud, Ubay
Ibn Ka’ab, dan Said Ibn Zubair.
Kaum Syi’ah berpendirian bahwa praktek nikah muth’ah terdapat
pada masa Nabi dan Khalifah Pertama. Baru pada periode
Khalifah Kedua, yakni Khalifah Umar Ibn Khattab, nikah muth’ah
dilarang.
15. TUJUAN NIKAH
Syariat nikah menurut Islam ini, ajaran Islam ingin melindungi
para wanita untuk mendapatkan hak-haknya. Para wanita tidak
dapat dipertukarkan lagi sebagaimana zaman jahiliyah. Para
wanita selain harus menjalankan kewajibannya sebagai istri,
juga mempunyai hak untuk diperlakukan secara baik
(mu’asyarah bil ma’ruf), dan ketika suami meninggal ia juga
dapat bagian dari harta warisan.
Demikian tujuan nikah menurut ajaran Islam. Sedangkan nikah
mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu,
sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan
sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak. Dalam
nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai
hak waris jika si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah
mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran
Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam nikah
mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan. Oleh
karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam.
16. DALIL HARAMNYA NIKAH MUT’AH
pendapat yang mengharamkannya dasar hukumnya sangat
kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih sbb.
َلاَق هلنَع ُ َّ
َّللا َي ِ
ضَر ٍِّيِلَع لَنع
:
َص ِ َّ
َّللا ُلوُسَر َهَن
للا لَنع ََّْلَسَو ِهليَلَع ُ َّ
َّللا َّل
َرَبليَخ ََْاع ِةَعلتُم
َلاَق عنه هللا رضي اَأُوع بن َةَمَلَس لَنع
:
ِ َّ
َّللا ُلوُسَر َ
صَّخَر
َّلَسَو ِهليَلَع ُ َّ
َّللا َّلَص
ََْاع َْ
اَهلنَع َهَن َُّْث ااث َ
الَث ِةَعلتُمللا يِف ٍ
اسَط لوَأ
(
مسل رواه
ْ
(
“Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa’ r.a. berkata: Rasulullah
s.a.w. memperbolehkan nikah mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika
ditundukkannya Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya”
َثَّدَح ُهاَبَأ َّنَأ ُّيِنَهُجللا َةَرلبَس ُنلب ُعيِبَّر عن
َّلَص ِ َّ
َّللا ِلوُسَر َعَم ََانُ ُهَّنَأ ُه
َّلَسَو ِهليَلَع ُ َّ
َّللا
َْ
َُُل ُتلنِذَأ ُتلنُُ لدَق يِِّنِإ ُاسَّنال اَهُّيَأ اَي َلاَقَف
َّنِإَو ِاءَسِِّنال لنِم ِاعَتلمِتلس ِ
اال يِف لْ
ََّْرَح لدَق َ َّ
َّللا
َّنُهلنِم ُهَدلنِع ََانُ لنَمَف ِةَماَيِقللا ِْ لوَي َلِإ َكِلَذ
لأَت َ
الَو ُهَليِبَس ِِّلَخُيللَف ٌءليَش
اَّمِم واُذُخ
اائليَش َّنُهوُمُتليَتآ
(
و ماجة وابن والنسائي داوود وأبو ْمسل أخرجه
حبان وابن أحمد
(
“Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w.
bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan
nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari
kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka
segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan
kepada wanita yang kalian mut’ah”
17. Nikah Misyar
Nikah Misyar banyak ditemui di beberapa negara di Timur
Tengah, seperti Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab. Makna
kawin misyar adalah “lewat dan tidak lama-lama bermukim”.
Biasanya terjadi pada istri kedua atau seterusnya, dimana
seorang laki-laki pergi ke pihak wanita dan wanita tidak
pindah atau bersama laki-laki di rumahnya. Tujuan kawin jenis
ini agar suami terbebas dari kewajiban menafkahi istri serta
memberinya tempat tinggal seperti halnya terhadap istri
pertama.
Kawin misyar terkadang tidak tercatat (seperti ‘urfi), dan
terkadang tercatat dengan disertai bukti. Biasanya pihak
wanita ber-tanazul (keringanan tidak menuntut sebagian
haknya) terutama menyangkut materi, kecuali dalam nafkah
batin.