1. 1
MAKALAH
KHITBAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Munakahat
Dosen Pengampu: Syabbul Bachri, M.HI
Disusun oleh:
Muhammad Rifqy Al-Azizi (210202110148)
Ariq Fahmi Abdillah (210202110175)
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
TAHUN 2021/2022
2. i
KATA PENGATAR
Hamdan wa syukron Lillah Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat,taufiq dan hidayah-Nya,sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah dengan
baik dan disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Munakahat.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita yakni Nabi Muhammad
SAW. Yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman yang
terang benderang yakni Addinul Islam wa-l-Iman.
Sehubung dengan tersusunnya makalah ini,dalam kesempatan ini penulis
menyampaikan ribuan terimakasih kepada Bapak Syabbul Bahri, M.HI Selaku
pembimbing mata kuliah Fiqh Munakahat,dan juga semua pihak yang telah
mendukung selsainya makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca,khususnya
Mahasiswa / mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.Semoga makalah ini
dapat dijadikan sebagai bahan atau sarana dalam proses pembelajaran.Kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak terdapat kesalahan
maupun kekurangan.Oleh karena itu,kami mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari para pembaca demi perbaikan makalah ini.
Malang, 12 September 2022
Penyusun
3. ii
DAFTAR ISI
KATA PENGATAR....................................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 3
1.1 Latar Belakang................................................................................................................ 3
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................... 3
1.3 Tujuan ............................................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................... 4
A . Pengertian Khitbah.......................................................................................................... 4
B . Landasan Hukum Khitbah................................................................................................ 6
C . Cara dan Syarat Mengkhitbah dan Batasan Pergaualan dalam Khitbah ......................... 8
D . Macam-Macam Khitbah................................................................................................ 11
F . Hikmah Khitbah.............................................................................................................. 13
BAB III PENUTUP ................................................................................................................... 15
3.1 Kesimpulan................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 16
4. 3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Khitbah diartikan dengan suatu langkah pendahuluan untuk melangsungkan
perkawinan. Ulama’ fiqih mendefinisakannya dengan menyatakan keinginan pihak
laki-laki kepada pihak wanita tertentu untuk mengawininya dan pihak wanita
menyebarluaskan berita peminangan ini.
Dalam Islam mengajarkan sebelum terjadinya akad nikah, mempelai laki-laki
dan perempuan saling mengenal. Mengenal disini maksudnya sekedar megetahui tetapi
juga memahami dan mengerti akan kepribadian masing-masing. Hal ini dipandang
penting karena kedua mempelai akan mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan dan
membentuk keluarga yang semula di maksudkan tanpa adanya perceraian. Realitas di
masyarakat menunjukkan perceraian serig kali terjadi karena tidak adanya saling
pengertian, saling memahami dan saling menghargai masing-masing pihak.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan khitbah?
2. Apa landasan hukum dari khitbah?
3. Apa saja syarat dan macam-macam dari khitbah
4. Apa saja hikmah dari khitbah?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud khitbah
2. Untuk mengetahui landasan hokum apa saja dari khitbah
3. Untuk mengetahui syarat dan macam-macam khitbah
4. Untuk mengetahui hikmah apa saja dari khitbah
5. 4
BAB II
PEMBAHASAN
A . Pengertian Khitbah
Kata “khitbah” , dalam terminologi Arab memiliki akar kata yang sama dengan
al-khithab dan alkhathab. Kata al-khathab berarti “pembicaraan”. Apabila dikatakan
takhathaba maksudnya “dua orang yang sedang berbincang-bincang”. Jika dikatakan
khathabahu fi amr artinya “ia memperbincangkan sesuatu persoalan pada seseorang”.
Jika khitbah (pembicaraan) ini berhubungan dengan ihwal perempuan, maka makna
yang pertama kali ditangkap adalah pembicaraan yang berhubungan dengan persoalan
pernikahannya. 1
Ditinjau dari akar kata ini, khitbah berarti pembicaraan yang berkaitan dengan
lamaran atau permintaan untuk nikah.
Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan
tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya).
Selain itu ia juga menyatakan bahwa yang dikatakan seseorang sedang mengkhitbah
seorang perempuan berarti ia memintanya untuk berkeluarga yaitu untuk dinikahi
dengan cara-cara (wasilah) yang ma’ruf. khithbah merupakan jalan untuk
mengungkapkan maksud seorang laki-laki/perempuan kepada lawan jenisnya terkait
dengan tujuan membangun sebuah kehidupan berumah tangga, baik dilakukan secara
langsung (kepada calon) ataupun melalui perwakilan pihak lain. 2
Sungguh Islam menjadikan khithbah sebagai perantara untuk mengetahui sifat-
sifat perempuan yang dicintai, yang laki-laki menjadi tenang terhadapnya, dengan
orang yang diinginkannya sebagai suami baginya sehingga menuju pelaksanaan
pernikahan. Ia seorang yang menyenangkan untuk ketinggian istrinya secara indrawi
1
Cahyadi Takariawan Izinkan Aku Meminangmu, (Solo: Era Intermedia 2004)
2
Kosim, Fiqh Munakahat I Dalam kajian Filsafat Hukum Dan Keberadaannya Dalam Politik Hukum
Ketatanegaraan Indonesia (Depok, Grafindo Persada, 2019) h. 33
6. 5
dan maknawi sehingga tidak menyusahkan hidupnya dan mengeruhkan
kehidupannya.3
Beberapa ahli Fiqih berbeda pendapat dalam pendefinisian peminangan.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa pinangan (khitbah) adalah pernyataan
seorang lelaki kepada seorang perempuan bahwasanya ia ingin menikahinya,
baik langsung kepada perempuan tersebut maupun kepada walinya.
Penyampaian maksud ini boleh secara langsung ataupun dengan perwakilan
wali. 4
2. Amir Syarifuddin mendefinisikan pinangan sebagai penyampaian kehendak
untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Peminangan disyariatkan dalam
suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum
berlangsungnya akad nikah. 5
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pinangan (khitbah) adalah
proses permintaan atau pernyataan untuk mengadakan pernikahan yang dilakukan oleh
dua orang, lelaki dan perempuan, baik secara langsung ataupun dengan perwalian.
Pinangan (khitbah) ini dilakukan sebelum acara pernikahan dilangsungkan.
Sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1, Bab 1 huruf a, memberi
pengertian bahwa peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita yang dapat dilakukan oleh orang
yang berkehendak mencari pasangan, tetapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang
dapat dipercaya. Namun dalam praktiknya, peminangan dapat dilakukan secara terang-
terangan terhadap wanita yang masih sendiri. Bila peminangan terhadap wanita yang
3
Ibid. hlm. 33
4
4 Abd. Nashir Taufik al- Athar, Saat Anda Meminang, (Jakarta: Pustaka Azam, 2001), h. 15-16.
Selanjutnya ditulis Taufik al- Athar, Saat Anda Meminang
5
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 49-50
7. 6
masih dalam masa ‘iddah wafat ataupun iddah talak ba’in dilakukan dengan kinayah
(sindiran) untuk menghormati perasaan wanita tersebut. 6
B . Landasan Hukum Khitbah
Memang terdapat dalam Al-Qur’an dan dalam banyak hadis nabi yang
membicarakan hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah
adanya perintah atau larangan melakukan peminangan, sebagaimana perintah untuk
mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam Al-Qur’an maupun
dalam hadis nabi. Oleh karena itu dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat
pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti hukumnya adalah mubah. Namun
ibnu Rusyd dalam Bidayat al-Mujtahid yang menukilkan pendapat Daud al-Zhahiriy
yang mengatakan hukumnya adalah wajib. Ulama’ ini mendasarkan pendapatnya
kepada perbuatan dan tradisi yang dilakukan Nabi dalam peminangan itu.7
Berkenaan dengan landasan hukum dari peminangan, telah di atur dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya terdapat dalam pasal 11, 12 dan 13, yang
menjelaskan bahwa peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang
berkehendak mencari pasangan jodoh, Tapi dapat pula diwakilkan atau dilakukan oleh
orang perantara yang dapat dipercaya.
Agama Islam membenarkan bahwa sebelum terjadi perkawinan boleh di
adakan peminangan (khitbah) dimana calon suami boleh melihat calon istri dalam
batas-batas kesopanan Islam yaitu melihat muka dan telapak tangannya, dengan
disaksikan oleh sebagian keluarga dari pihak laki-laki atau perempuan, dengan tujuan
untuk saling kenal mengenal dengan jalan sama-sama melihat.
Sebagaimana ulama’ berpendapat bahwa peminang boleh melihat wanita yang
akan dinikahi itu pada bagian-bagian yang dapat menarik perhatian kepada pernikahan
yang akan datang untuk mengekalkan adanya suatu perkawinan kelak tanpa
6
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional,
(Jakarta: Logos, 1999), h. 139.
7
Amir syarifudin, Hukum perkawinan islam di Indonesia, (Jakarta, kencana), 50
8. 7
menimbulkan adanya suatu keragu-raguan atau merasa tertipu setelah terjadi akad
nikah.8
Sabda Rasulullah SAW :
فلیفعل نكاحھا الى یدعو ما منھا ینظر ان استطاع فإن المرأة أحدكم خطب ذا إ
Artinya:
“jika salah seorang dari kalian melamar seorang wanita, sedangkan ia diberi
kesempatan untuk melihat sebagian dari apa-apa yang menarik dirinya untuk
menikahinya, hendaknya ia lakukan itu.”(Diriwayatkan Ahmad dan Abu
Daud).
Pinangan atau lamaran seorang laki-laki kepada seorang perempuan boleh
dengan ucapan langsung maupun secara tertulis. Meminang perempuan sebaiknya
dengan sindiran. dalam meminang dapat dilakukan dengan tanpa melihat wajahnya,
juga dapat melihat wanita yang dipinangnya.
Dalam hal ini Al-qur’an menegaskan dalam Surat Al Baqarah ayat 235:
ۗ ْمُكِسُفْنَا ْْٓيِف ْمُتْنَنْكَا ْوَا ِءۤاَسِالن ِةَبْط ِخ ْنِم ٖهِب ْمُتْض َّرَع اَمْیِف ْمُكْیَلَع َحَانُج َ
َل َو
Artinya: “Dan tidak berdosa bagi kamu meminang perempuan dengan kata sindiran
atau sembunyikan dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebutkannya kepada perempuan itu.”(QS. Al-Baqarah:235)
Meskipun melamar atau meminang itu disunnahkan dalam ajaran Islam, akan
tetapi adakalanya berubah menjadi haram. Hal itu terjadi karena alasan-alasan
sebagai berikut:9
a) Melamar kepada wanita yang masih dalam masa iddah dari perceraian
dengan laki-laki lain, baik dengan talak raj’i atau ba’in atau dengan fasakh
atau ditinggalkan mati. Meskipun demikian, diperbolehkan kalau dengan
kata-kata sindiran kepada janda yang masih dalam iddah selain talaq raj’i.
8
Hussein Bahreisj. Op. Cit., 229-230
9
M Bagir Al Habsyi, Fiqih Praktis, (Bandung : Mizan) hal. 18
9. 8
b) Melamar wanita bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talaq selama
masih dalam masa iddah baik dia maupun dari perceraian dengan laki-laki
lain (muhallilnya).
c) Melamar wanita yang diketahui olehnya telah dilamar oleh laki-laki serta
lamarannya diterima.
C . Cara dan Syarat Mengkhitbah dan Batasan Pergaualan dalam Khitbah
Adapun Syarat Melakukan Khitbah. 10
1) Syarat Mustahsinah (lebih baik)
Yaitu syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang akan
melamar seorang perempuan agar ia meneliti lebih dahulu perempuan
yang akan dilamarnya itu. Sehingga, dapat menjamin kelangsungan
hidup berumah tangga kelak. Syarat mustahsinah ini bukanlah syarat
yang wajib dipenuhi, tetapi hanya berupa anjuran dan kebiasaan yang
baik.
Yang Termasuk Mustahsinah itu adalah :
a) Perempuan yang akan dilamar hendaklah sekufu dengan laki-laki
yang meminangnya, seperti sama kedudukannya, sama-sama baik
rupanya, sama dalam tingkat sosial ekonominya, dan sebagainya.
b) Perempuan yang akan dilamar hendaknya perempuan yang baik yang
mempuanyi sifat kasih sayang dan mampu memberikan keturunan
sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW.
c) Perempuan yang akan dilamar hendaknya perempuan yang bukan
mahram yang jauh hubungan darah dengan laki-laki yang akan
melamarnya. Islam melarang laki-laki menikahi seorang perempuan
yang sangat dekat hubungan darahnya.
10
Kosim, Fiqh Munakahat I Dalam kajian Filsafat Hukum Dan Keberadaannya Dalam Politik Hukum
Ketatanegaraan Indonesia (Depok, Grafindo Persada, 2019) h. 38
10. 9
d) Hendaknya laki-laki kenal dan mengetahui keadaan-keadaan
jasmani, budi pekerti, dan sebagainya dari perempuan yang akan
dilamar.
2) Syarat Lazimah
Yaitu syarat yang wajib dipenuhi sebelum proses melamar atau
khitbah dilakukan. Sahnya lamaran bergantung kepada adanya syarat-
syarat lazimah. Syarat lazimah tersebut adalah: 11
a) Perempuan yang akan dilamar tidak sedang dilamar laki-laki
lain. Apabila sedang dilamar laki-laki lain, maka laki-laki
tersebut telah melepaskan hak pinangnya sehingga perempuan
dalam keadaan bebas
b) Perempuan yang akan dilamar tidak dalam masa iddah. Masa
iddah adalah masa menunggu bagi seorang perempuan yang
ditalak suaminya. Haram hukumnya melamar peempuan yang
sedang dalam masa iddah talak raji’i.
c) Perempuan yang akan dilamar hendaklah yang boleh dinikahi.
Artinya, perempuan tersebut bukan mahram bagi laki-laki yang
akan melamarnya.
Batasan Pergaulan Antara Laki-Laki dan Wanita dalam Masa Khitbah
Pergaulan dalam bahasa Arab disebutkan ikhţilat berakar dari kalimat“khalaţa-
yakhluţu-khalţan” yang berarti bercampur. Beberapa kata mempunyai makna baru dan
bahkan ada yang meluas penggunaannya. salah satunya adalah kata “percampuran atau
pergaulan”. Dari perkataan berkenaan dengan percampuran antara laki-laki dan wanita
dalam satu tempat, atau berbagai tempat. 12
11
Kosim, Fiqh Munakahat I Dalam kajian Filsafat Hukum Dan Keberadaannya Dalam Politik Hukum
Ketatanegaraan Indonesia (Depok, Grafindo Persada, 2019) h. 39
12
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid II, (Beirut: Darul Fikri, 2005), h. 3
11. 10
Telah menjadi kesepakatan bersama bahwa karena bagi keduanya masih seperti
halnya orang lain yang bukan mahramnya. Maka tidak diperkenankan bagi keduanya
untuk bergaul secara bebas yang mana akan terjadi hal-hal yang dikhawatirkan akan
melampaui kode etik dalam agama. Oleh karena itu, dalam peminangan pun ada batas-
batas tersendiri agar tidak terjadi pergaulan yang bebas di mana sudah di luar kode etik
dalam agama. 13
Adapun batasan pergaulan yang boleh dilakukan ketika dalam masa khitbah adalah:
14
1. Seorang pelamar boleh melihat calon istrinya dengan berniat benar-
benar ingin menikahinya, yang boleh dilihat pada waktu melamar
adalah wajah dan telapak tangannya calon istri, sebab wajah adalah
pancaran jiwa, sedangkan kedua telapak tangan biasanya menunjukan
kebersihan tubuh dan kesuburannya.
2. Diperkenankan bercakap-cakap dengan calon istri selagi tidak menjurus
kemaksiatan. Tidak diperkenankan untuk berjabat tangan dengan calon
istri dalam keadaan bagaimanapun, sebab calon istri adalah ‘’wanita
asing’’ sebelum adanya akad nikah.
3. Pada saat lamaran, sang pelamar dengan yang dilamar tidak
diperkenankan berdua-duaan, namun harus ada mahramnya juga. Sebab
islam mengharamkan pertemuan seorang laki-laki dan perempuan
(bukan mahramnya) secara berduaan.
4. Itulah beberapa ketentuan dan tata cara ketika melamar calon istri,
sebagai ajaran yang hakiki dan sempurna, islam menentukan ketentuan
tersebut dalam syariat. Siapa pun yang berpaling dari ketentuan mulia
itu, tentu mereka akan menerima dosa dan tuntutan Allah SWT.
13
J.N.D, Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, (Yogyakarta: Tiara Wacana 1994), h. 3.
14
Kosim, Fiqh Munakahat I Dalam kajian Filsafat Hukum Dan Keberadaannya Dalam Politik Hukum
Ketatanegaraan Indonesia (Depok, Grafindo Persada, 2019) h. 40
12. 11
D . Macam-Macam Khitbah
Ada beberapa macam khitbah diantaranya sebagai berikut :
1. Secara langsung yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang
sehingga tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan,
seperti ucapan, “saya berkeiginan untuk menikahimu”
2. Secara tidak langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus
terang atau dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat
dipahami dengan maksud lain, seperti “tidak ada orang yang tidak sepertimu”,
atau “Kamu sangat layak untuk dinikahi” dan semisalnya.
Adapun sindiran selain ini yang dapat dipahami oleh wanita bahwa laki-laki
tersebut ingin menikah dengannya, maka semua diperbolehkan. Diperbolehkan pula
bagi wanita untuk menjawab sindiran ini dengan kata-kata yang berisi sindiran juga.
Tidak terlarang bagi wanita mengatakan kata-kata sindiran yang diperbolehkan laki-
laki, demikian pula sebaiknya.
Perempuan yang belum kawin atau sudah kawin dan telah habis pula masa
iddahnya boleh dipinang dengan ucapan langsung atau terus terang dan boleh pula
dengan ucapan sindiran atau tidak langsung. Akan tetapi, bagi wanita yang masih
punya suami, meskipun dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh
dikawini, tidak boleh memiangnya dengan menggunakan Bahasa terus terang tadi.
E . Pembatalan Khitbah
Dalam masalah khithbah, bisa jadi pihak laki-laki yang membatalkan
lamarannya atau sebaliknya, pihak perempuan mencabut kembali keputusannya untuk
13. 12
menerima lamaran pihak laki-laki. Hal ini bisa terjadi, terlebih jika kenyataannya
antara yang dilamar dan dilamar termasuk masih mahram. 15
Dalam Islam, membatalkan lamaran adalah sah-sah saja, sebab lamaran
hanyalah janji dan pengantar menuju pernikahan, bukan akad. Sehingga, lamaran itu
bisa diputus kapan saja. Hanya ,tindakan seperti ini sangat dibenci oleh siapa pun ,
terutama pihak yang dilamar. Apalagi kalau alasan memutus lamaran adalah tidak
terkait dengan persoalan syari’at, namun jika alasannya mengada-ngada maka Islam
sangat mencelanya, karena termasuk dalam sifat-sifat orang- orang munafik. 16
Dalil yang menunjukan bolehnya membatalkan lamaran adalah sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari :
:ُل ُوُقَی َانَك ،ُهْنَع ُهللا َي ِ
ض َر َرَمُع َْنبا َنَأ
«
، ِ
ضْعَب ُعْیَب ىَلَع ْمُكُضْعَب ُعْیِبَی ْنَأ َمَّلَس َو ِهْیَلَع هللا ىَلَص ُّيِبَنال ىَھًن
ِةَبْط ِخ ىَلَع َلُجَّالر َبُطْخَی َ
َل َو
ُاطِبَخال ُهَل َنَذْأَی ْوَأ ُهَلْبَق ُبَِاطخال َكُرْتَی ىَّتَح ،ِهْی ِخَأ >>
“Sesungguhnya Ibn Umar RA adalah berkata: Rasulullah SAW melarang untuk
menjual sebagian kamu atas sebagian yang lain dan tidaklah seorang laki meminang
atas pinangan saudaranya hingga peminang meninanggalkan sebelumnya atau
pemalamar mengijin baginya.”
Lafadz ” hingga ia meninggalkannya “ menunjukkan orang yang telah
mengkhitbah (meminang) wanita punya dua pilihan sesudah pinangan tersebut
diterima; melanjutkan dengan akad nikah atau meninggalkan pinangannya. Jika dia
memilih meninggalkan pinangannya maka hal itu bermakna dia membatalkan
pinangan. Pembatalan pinangan dalam hadis ini tidak disertai lafadz dari Rasulullah َّ م
صل هللا َّى عل ه ْي سل و yang mengesankan ancaman dosa atau sekedar celaan. Oleh karena
itu membatalkan pinangan hukumnya mubah, bukan makruh apalagi haram.
Kebolehan membatalkan bersifat mutlak, karena lafadz hadis di atas tidak
diikat kondisi tertentu untuk menunjukkan kebolehan pembatalan tersebut. Jadi,
pembatalan pinangan baik dengan alasan maupun tanpa alasan hukumnya tetap mubah
15
Kosim, Fiqh Munakahat I Dalam kajian Filsafat Hukum Dan Keberadaannya Dalam Politik Hukum
Ketatanegaraan Indonesia (Depok, Grafindo Persada, 2019) h. 36
16
Ibid. h.36
14. 13
tanpa ada celaan. Alasan pembatalan pinangan tidak mempengaruhi status hukum dan
tidak dipertimbangkan.
F . Hikmah Khitbah
Sebagaimana sebuah tuntutan, peminangan memiliki banyak hikmah dan
keutamaan. Peminangan bukan sekedar pertistriwa sosial, juga bukan semata-mata
peristiwa ritual. Ia memiliki sejumlah keutamaan yang membuat pernikahan yang akan
dilakukan menjadi lebih barakah. Diantara hikmah yang terkandung dalam
peminangan atau khitbah adalah : 17
a) Memudahkan jalan perkenalan antara peminang dan yang dipinang beserta
kedua belah pihak. Dengan pinangan, maka kedua belah pihak akan saling
menjajaki kepribadian masing-masing dengan mencoba melakukan
pengenalan secara mendalam. Tentu saja pengenalan ini tetap berada dalam
koridor syari’at, yaitu memperhatikan batasan-batasan interaksi dengan
lawan jenis yang belum terikat oleh pernikahan. Demikian pula dapat bisa
saling mengenal keluarga dari kedua belah pihak agar bisa menjadi awal
yang baik dalam mengikat hubungan persaudaraan dengan pernikahan yang
akan mereka lakukan.
b) Menguatkan tekad untuk melaksanakan pernikahan. Pada awalnya laki-laki
atau perempuan berada dalam keadaan bimbang untuk memutuskan
melaksanakan pernikahan. Mereka masih memikirkan dan
mempertimbangkan banyak hal sebelum melaksanakan keputusan besar
untuk menikah. Dengan khitbah, artinya proses menuju jenjang pernikahan
telah dimulai. Mereka sudah berada pada suatu jalan yang akan
menghantarkan mereka menuju gerbang kehidupan berumah tangga.
c) Menumbuhkan ketentraman jiwa, Dengan peminangan apalagi telah ada
jawaban penerimaan, akan menimbulkan perasaan kepastian pada kedua
17
Cahyadi Takariawan, Op., Cit., 32
15. 14
belah pihak. Perempuan merasa tentram karena telah terkirim padanya
calon pasangan hidup yang sesuai harapan. Kehawatiran bahwa dirinya
tidak mendapat jodoh terjawab sudah. Sedang bagi laki-laki yang
meminang, ia merasa tentram karena perempuan ideal yang diinginkan telah
bersedia menerima pinangannya. 18
d) Menjaga kesucian diri menjelang pernikahan, Dengan adanya pinangan,
masing-masing pihak akan lebih menjaga kesucian diri. Mereka merasa
tengah mulai menapaki perjalanan menuju kehidupan rumah tangga, oleh
karena itu mencoba senantiasa menjaga diri agar terjauhkan dari hal-hal
yang merusakkan kebahagiaan pernikahan nantinya. Kedua belah pihak dari
yang meminang maupun yang dipinang harus berusaha menjaga
kepercayaan pihak lainnya. Allah telah memerintahkan agar lelaki beriman
bisa menjaga kesucian diri mereka.
18
Sayyid Sabiq, Fikih Sunah 6, (Bandung: Al-Ma’arif, 1990) hlm 45
16. 15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan
tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya).
Selain itu ia juga menyatakan bahwa yang dikatakan seseorang sedang mengkhitbah
seorang perempuan berarti ia memintanya untuk berkeluarga yaitu untuk dinikahi
dengan cara-cara (wasilah) yang ma’ruf.
Khithbah merupakan jalan untuk mengungkapkan maksud seorang laki-
laki/perempuan kepada lawan jenisnya terkait dengan tujuan membangun sebuah
kehidupan berumah tangga, baik dilakukan secara langsung (kepada calon) ataupun
melalui perwakilan pihak lain.
Sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1, Bab 1 huruf a, memberi
pengertian bahwa peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita yang dapat dilakukan oleh orang
yang berkehendak mencari pasangan, tetapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang
dapat dipercaya. Namun dalam praktiknya, peminangan dapat dilakukan secara terang-
terangan terhadap wanita yang masih sendiri. Bila peminangan terhadap wanita yang
masih dalam masa ‘iddah wafat ataupun iddah talak ba’in dilakukan dengan kinayah
(sindiran) untuk menghormati perasaan wanita tersebut.