SlideShare a Scribd company logo
HUKUM PERKAWINAN ISLAM DAN
HUKUM KEWARISAN ISLAM
Oleh: H.M. Ardi, SH.,MH.
PENDHULUAN
1. Pengertian Perkawinan :
Menurut UU No.16 Tahun 2019 perubahan atas
UU No 1/1974 tentang. Perkawinan
Ps.1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Ps.(2) Perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau
mitsaaqon gholiizhon untuk mentaati perintah
Allah SWT dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
Ungkapan yg sangat kuat atau mitsaaqan ghalizhon
merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan
lahir batin” yg terdapat dalam uu perkawinan
bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata
perjanjian yg bersifat keperdataan saja.
Ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah, merupakan
penjelasan dari ungkapan “berdasarkan Ketuhanan YME”
dalam uu perkawinan bahwa perkawinan bagi umat Islam
perupakan peristiwa agama dan oleh sebab itu orang yg
melaksanakannya telah melakukan ibadah. Dan
perempuan yg sudah menjadi istri itu merupakan amanah
Allah yg harus dijaga dan diperlakukan dengan baik.
Ps.(3) Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,
warohmah.
Arti perkawinan/pernikahan dalam bahasa Arab
ada dua kata yaitu “nikah” dan “zawaj”, kedua
kata ini banyak terdapat dalam Al Quran dan
Hadis Nabi. Kata “nikah” berasal dari kata “na-
ka-ha” yang berarti kawin seperti yang
terdapat pada QS. An Nisa’ ayat (3) “wain
khiftum allaa tuqsithuu fil yataamaa
fankhihuu….” (dan jika kamu takut tidak akan
adil terhadap anak yatim,maka kawinilah…..)
Kata “zawaj” berasal dari kata “za-wa-ja” terdapat
pada QS.Al-Ahzab ayat 27 yang berbunyi
“falammaa qadhoo minhaa watharon
zawajnaakahaa…”(maka tatkala Zaid telah
mengakhiri keperluan (menceraikan) istrinya,
maka kami kawinkan kamu….)
Menurut imam Syafi’i dan imam Hanafi, kata nikah
itu berarti “akad” makna hakikinya adalah untuk
hubungan kelamin.
2. Hukum Perkawinan
Hukumnya perkawinan/nikah:
Pertama mubah
Kedua makruh
Ketiga sunnah
Keempat wajib
Kelima haram
Penjelasan hukum perkawinan:
Mubah; diperuntukkan orang-orang yg pada
dasarnya belum ada dorongan untuk kawin dan
perkawinan itu tdk mendatangkan kemaslahatan
Makruh; diperuntukkan bagi orang pada dasarnya
mampu melakukan perkawinan namun ia merasa
berbuat curang dlm perkawinannya
Sunnah; diperuntukkan bagi orang yg telah
berkeinginan utk kawin dan dia telah mempunyai
perlengkapan utk melangsungkan perkawinan
Wajib; diperuntukkan bagi orang-orang yg telah
pantas utk kawin, berkeinginan utk kawin dan
memiliki perlengkapan utk kawin, ia takut akan
terjerumus berbuat zina kalau ia tidak kawin
Haram; diperuntukkan bagi orang-orang yg tdk akan
dapat memenuhi ketentuan syara’ untuk
melakukan perkawinan atau ia yakin perkawinan
itu tdk akan mencapai tujuan syara’ dan meyakini
perkawinan itu akan merusak kehidupan
pasangannya.
3. Persiapan Perkawinan
a. Memilih jodoh
Dalam pandangan islam perkawinan itu bukanlah hanya
urusan perdata semata, bukan pula sekedar urusan
keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan
peristiwa agama, oleh karena perkawinan dilakukan
untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah Nabi. Di
samping itu perkawinan juga bukan untuk mendaptkan
ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk selama hidup.
Oleh karena itu, seseorang mesti menentukan pilihan
pasangan hidupnya itu secara hati-hati dan dilihat dar
berbagai segi
Ada beberapa motifasi yang mendorong
seorang laki-laki memilih seorang perempuan
atau sebaliknya untuk pasangan hidupnya
hendaknya sesuai hadis rasulullah yang
berbunyi “tunkhahul mar’ati li arbain;
limalihaa, wa likhisaabihaa, wa lijamaalihaa,
wa lidinihaa…”(perempuan yang kamu nikahi
itu ada empat mutivasi; karena hartanya,
karena keturunannya, karena kecantikannya,
dan karena agamanya….)
b. Meminang (khitbah) dalam bahasa Arab yang
artinya menyampaikan kehendak untuk
melangsungkan ikatan perkawinan. Lafal
khitbah merupakan bahasa arab standar yg
terpakai dalam pergaulan sehari-hari. QS. Al-
Baqaroh ayat 235 “walaa junaaha ‘alaikum
fiimaa ‘arradhtum bihii min khithbatin nisaa”
(tidak ada halangannya bagimu menggunakan
kata sindiran dalam meminang perempuan)
Dalam hadis Rosulullah yg berbunyi: idha khotoba
ahadukum mar’ata fainistato’a in yandhura minha maa
yad’uu ilan nikakhihaa falyaf’al (Bila salah seorang
diantaramu meminang seorang perempuan, bila ia
mampu melihatnya yg mendorongnya untuk
menikahinya, maka lakukanlah). Peminangan itu
disyariatkan dalam suatu perkawinan yg waktu
pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad
nikah. Keadaan itu sudah membudaya ditengah
masyarakat dan dilaksanakan sesuai tradisi masyarakat
setempat. Diantaranya pihak laki yg mengajukan
peminangan pada pihak perempuan, dan adakalanya
pihak prempuan yg mengajukan peminangan kepihak laki.
4. Rukun dan Syarat Perkawinan
Perbedaan pengertian rukun dengan syarat;
rukun adalah sesuatu yang berada di dalam
hakikat dan merupakan bagian atau unsur
yang mewujudkannya, sedangkan syarat
adalah sesuatu yang berada di luarnya dan
tidak merupakan unsurnya. ada syarat itu yang
berkaitan dengan rukun, ada pula syarat itu
berdiri sendiri di luar unsur-unsur rukun.
Menurut Imam Syafi’i dan Ps.14 KHI. Rukun
perkawinan itu ada 5 yaitu :
1. Calon mempelai laki-laki
2. Calon mempelai perempuan
3. Wali dari mempelai perempuan yang akan
mengakadkan perkawinan
4. Dua orang saksi
5. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul jawaban
yang diucapkan/dilakukan oleh pihak calon
suami
UU perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun
perkawinan, namun UU perkawinan membicarakan syarat-
syarat perkawinan. Ps.6 berbunyi :
1. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua
orang tuanya
3. Dalam hal salah seorang dari kedua org tua telah
meninggal dunia/dalam keadaan tdk mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) ps ini cukup
diperoleh dari org tua yg mampu menyatakan
kehendaknya. Dst….
5. Perkawinan yang diharamkan
Perkawinan yang diharamkan yaitu:
a.Nikah mut’ah; secara etimoligi kata mut’ah adalah dari
bahasa Arab asal kata ma-ta-’a yg terdapat dalam QS.Ali
Imaran 14 “mataa’ul hayatid dun yaa” (kesenangan hidup
di dunia), QS. Al Maidah 96 “mata’a llakum walis
sayyaaroh” (kesenangan yg lezat bagi kalian dalam
perjalanan), dan QS.al Bakarah 236 “mataa’am bil
ma’ruuf” (pemberian/hadiah dengan yg baik). Secara
tirminologi nikah mut’ah diartikan perkawinan untuk
masa tertentu atau waktunya ditentukan, ketika
perkawinan waktunya yg ditentukan habis, perkawinan
putus dengan sendirinya tanpa melalui proses perceraian.
b. Nikah tahlil; secara etimologi berarti menghalalkan
sesuatu yg hukumnya adalah haram. Perbuatan yg
menyebabkan seseorang yg semula haram
melangsungkan perkawinan menjadi boleh atau halal.
Atau nikah tahlil adalah perkawian yg dilakukan untuk
menghalalkan orang lain yg telah melakukan talak tiga
untuk segera kembali kepada istrinya dengan nikah
baru. Seperti QS al Bakarah 230 “fain thollaqohaa
falaa tahillu lahuu mim ba’du hattaa tangkikha zaujan
ghoiroh” (kemudian jika dia menceraikannya (setelah
talak yg kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi
baginya sebelum dia menikah dengan suami yg lain).
c. Nikah syighor; kata syighar berasal dari bahasa Arab yg
berarti mengangkat kaki dalam konotasi yg tidak baik,
bila dihubungkan dengan kata nikah syighar adalah
perkawinan yang mempunyai arti yang tidak baik.
Seperti dalam hadis Rasulullah “seorang laki-laki
mengawinkan anak permpuannya dengan ketentuan
laki-laki lain mengawinkan pula anak perempuannya
kepadanya dan tidak ada di antara keduanya mahar”.
Perkawinan yg demikian ini dilarang oleh Rasulullah
karena ada indikasi yg tidak baik yaitu pertukaran
anak perempuan kepada orang lain. (UU perkawinan
dan KHI tidak membicarakan tiga bentuk perkawinan
tersebut).
6. Larangan Perkawinan/Penghalang Perkawinan
Larangan perkawinan ada 2 yaitu;
a. Mahram Muabbad, yaitu orang yang haram melakukan
pernikahan untuk selamanya, ini ada 3 kelompok; a.
disebabkan adanya hubungan kekerabatan; b. karena adanya
hubungan perkawininan; c. karena ada hubungan persusuan
(rodho’) (Ps.39 KHI dan Ps 8 UU Perkawinan ).
b. Mahram Ghairu Muabbad, yaitu larangan kawin yang berlaku
untuk sementara waktu disebabkan oleh hal tertentu, bila
hal tersebut tidak ada, maka larangan itu tidak berlaku lagi.
Contoh; poligami di luar batas, karena talaq tiga,larangan
karena ihram, larangan karena beda agama, dll.
7. Kafaah (kesetaraan) dalam perkawinan
Kafaah berasal dari bahasa Arab dari kata kafaa berarti
sama atau setara kata ini merupakan kata yg terpakai
dalam bahasa Arab dan terdapat dalam al Qur’an
dengan arti “sama” contoh QS al Ikhlas:4 “walam
yakun lahu kufuan ahad” (tidak suatu pun yg sama
dengan-Nya). Kata kufu atau kafaah dalam perkawinan
mengandung arti bahwa perempuan harus sama atau
setara dengan laki-laki. Sifat kafaah mengandung arti
sifat yg terdapat pada perempuan yg dalam
perkawinan sifat tersebut diperhitungkan harus ada
pada laki-laki mengawininya.
Kafaah (sekufu/kesetaraan) dalam perkawinan
kalangan jumhur ulama termasuk Malikiyah,
Syafi’iyah dan hanafiyah berpendapat bahwa
kafaah itu tidak termasuk syarat dalam
pernikahan dalam arti orang yang tidak sekufu.
Alasannya: “inna akramakum ‘indaallaahi
atqokum” artinya; (yang paling mulia di antaramu
disisi Allah ialah yang paling bertaqwa di
antaramu).
8. Perjanjian dalam Perkawinan
Pengertian perjanjian perkawinan dalam hukum
fiqih maksudnya adalah “persyaratan dalam
perkawinan” dan persyaratan dalam perkawinan
ini tidak sama dengan syarat-syarat sahnya suatu
perkawinan yang sudah dibicarakan terdahulu.
Dalam Bab V UU perekawinan diatur perjanjian
perkawinan, begitu juga dalam Ps.45-52 KHI
mengatur perjanjian perkawinan.
Bab V Perjanjan Perkawinan Ps 29 UU No 1/74 Perkawinan
1. Pada waktu atau sebelum perkw dilangsungkan kedua
pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yg disahkan oleh pegawai pencatat
perkw setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut
2. Perjanjian tsb tidak dapat dipisahkan bilamana melanggar
batas-batas hukum, agama dan kesusilaan
3. Perjanjian tsb berlaku sejak perkw dilangsungkan
4. Selama perkw berlangsung perjajian tersebut tidak dapat
dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada
persetjuan untuk merubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.
9. Pencegahan Perkawinan
Perbedaan pengertian “pencegahan” dengan
“pembatalan” perkawinan. Pencegahan
perkawinan adalah usaha yang menyebabkan
tidak berlangsungnya perkawinan, sedangkan
pembatalan perkawinan adalah usaha untuk
tidak dilanjutkan hubungan perkawinan
setelah sebelumnya perkawinan itu terjadi
secara sah.
UU Perkawinan mengatur pencegahan perkawinan
mulai Ps 13 sampai dengan Ps 21. misal; Ps 13
perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang
tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
Dan yg dapat mencegah perkawinan ialah para
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke
bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari
salah seorang calon mempelai, dan pihak-pihak yg
berkepentingan (Ps 14 (1) UU Perkawinan)
KHI juga mengatur panjang lebar pencegahan
perkawinan, Ps 60 sampai dengan Ps 69. misal Ps
60 (1) pencegahan perkawinan bertujuan
menghindari suatu perkawinan yang dilarang
hukum Islam dan peraturan perundang-
undangan. (2) pencegahan perkawinan dapat
dilakukan bila calon istri yang akan
melangsungkan perkw tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkw menurut
hukum Islam dan peraturan perundang-
undangan.
10. Walimah al’ursy (Pesta Perkawinan)
Pengertian walimah adalah istilah yang terdapat dalam
literatur arab yang secara arti kata jamuan yang khusus
untuk perkawinan dan tidak digunakan untuk
perhelatan di luar perkawinan.
Hukum melaksanakan walimah; menurut jumhur ulama
hukumnya sunnah, hal ini didasarkan pada hadis Nabi
yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Tetapi ada juga
yang berpendapat lain yaitu ulama Zhahiriyah
mengatakan walimah hukumnya wajib, alasannya hadis
tersebut berupa perintah dari Nabi Muhammad.
11. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Rumah Tangga
Hak dan kewajiban suami istri dalam kehidupan rumah
tangga dapat dilihat dalam beberapa ayat Al-Qur’an
dan beberapa hadis Nabi contoh QS al Baqarah ayat
228 “bagi istri itu ada hak-hak berimbang dengan
kewajiban-kewajibannya secara makruf dan bagi suami
setingkat lebih dari istri”. Dan hadis Nabi berbunyi
“ketahuilah bahwa kamu mempunyai hak yang harus
dipikul oleh istrimu dan istrimu juga mempunyai hak
yang harus kamu pikul”
Adapun kewajiban suami terhadap istrinya dapat dibagi
menjadi dua bagian;
1. Kewajiban yang bersifat materi (nafaqoh)
2. Kewajiban yang tidak bersifat materi yaitu;
a. menggauli istrinya secara baik dan patut (QS an
Nisa’ ayat 19)
b. menjaganya dari segala sesuatu yang mungkin
melibatkannya pada suatu perbuatan dosa, maksiat,
kesulitan, dan mara bahaya
c. suami wajib mewujudkan kehidupan perkawinan
yang diharapkan yaitu; sakinah, mawaddah, dan
warahmah (QS. Ar Rum ayat 21)
PUTUSNYA PERKAWINAN
Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yg digunakan
dalam UU perkawinan utk menjelaskan perceraian atau
berahirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-
laki dengan perempuan yg selama ini hidup sebagai
suami istri. Penggunaan istilah “putusnya perkawinan”
ini harus dilakukan secara hati-hati, karena untuk
pengertian perkawinan yg putus itu dalam istilah fiqh
digunakan kata”ba-in” yaitu satu bentuk perceraian yg
suami tidak boleh kembali lagi kepada mantan istrinya
kecuali dengan melalui akad nikah yg baru.
A. Antisipasi Terhadap Putusnya Perkawinan
Allah menjelaskan beberapa usaha yg harus
dilakukan menghadapi kemelut dalam keluarga agar
perceraian tidak sampai terjadi. Dengan begitu
Allah mengantisipasi kemungkinan terjadinya
perceraian dan menempatkan perceraian itu
sebagai alternatif terakhir yg tidak mungkin
dihindarkan. Ada tiga hal yg menunjukkan usaha
antisipasi terhadap putusnya perkawinan yaitu:
nusyus istri, nusyus suami, dan syiqaq
(pertengkaran).
1. Nusyus istri; berasal dari bahasa arab “irtifak” yg berarti
meninggi atau terangkat. Kalau dikatakan istri nusyus
terhadap suami berarti istri merasa dirinya sudah lebih tinggi
kedudukannya dari suaminya, sehingga ia tidak lagi merasa
berkewajiban memenuhinya. Atau dapat diartikan nusyus istri
“kedurhakaan istri terhadap suami dalam hal menjalankan
apa-apa yg diwajibkan Allah atasnya”. Allah menetapkan
beberapa cara utk menghadapai kemungkinan nusyusnya
seorang istri QS An Nisa’ 34. “istri-istri yg kamu khawatirkan
akan berlaku nusyus maka berilah pengajaranlah mereka dan
berpisahlah dari tempat tidur dan pukullah mereka. Jika
mereka sudah mentaatinya janganlah kamu cari-cari jalan
atasnya. Sesungguhnya Allah maha tahu lagi maha besar”.
2. Nusyus Suami; mengandung arti pendurhakaan suami
kepada Allah karena meninggalkan kewajibannya
terhadap istrinya baik meninggalkan kewjiban yg bersifat
materi/nafaqah, meninggalkan kewajiban yg bersifat non
materi atau tidak menggauli istrinya dengan baik QS An
Nisa’ 128 “jika istri khawatir suaminya akan berlaku
nusyus dan berpaling, tidak ada salahnya jika keduanya
melakukan perdamaian dalam bentuk perdamaian yg
menyelesaikan. Berdamai itu adalah cara yg paling baik.
Hawa nafsu manusia tampil dalam bentuk pelit. Bila kamu
berbuat baik dan bertaqwa maka sesunggunya Allah
maha tahu apa yg kamu perbuat”.
3. syiqoq; mengadung arti pertengkaran, kata ini biasanya
dihbungkan kepada suami istri sehingga berarti
pertengkaran yg terjdi antara suami istri yg tidak dapat
diselesaikan sendiri oleh keduannya. Syiqoq ini timbul bila
suami atau istri keduannya tidak melaksanakan kewajiban
yg mesti dipikulnya. Bila terjadi konflik keluarga seperti ini
Allah memberi petunjuk untuk menyelesaikannya QS An
nisa’ ayat 35 yg berbunyi “jika kamu khawatir akan terjadi
pertengkaran di antara suami istri maka utuslah seorang
hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak
istri. Bila keduanya menghendaki perdamaian, maka Allah
akan memberi taufik di antara keduanya. Sesungguhnya
Allah mengetahui lagi maha memperhatikan”.
B. Bentuk-bentuk putusnya perkawnan
Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan
suami istri. Ada 4 bentuk putusnya perkawinan yaitu:
1. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya
salah seorang suami istri.
2. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami dengan alasan
tertentu. Putusnya perkawinan ini disebut “talak”.
3. Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri melihat
sesuatu yg menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si
suami tidak berkehendak untuk itu. Ini disebut “khulu”.
4. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga
setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan/atau pada istri yg
menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu
dilanjutkan. Putusnya perkawinan ini disbut “fasakh”.
Ps. 38 UU No 1/74 perkawinan dapat putus:
1. Karena kematian
2. Karena perceraian
3. Karena atas keputusan Pengadilan
Ps 38 UU No 1/74 ini ditegaskan lagi dengan bunyi
yg sama dalam Ps 113 KHI. Kemudian diuraikan
dalam Ps 114 KHI yg berbunyi: Putusnya
perkawinan yg disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan
perceraian.
Ps 39 ayat (2) UU No 1/74 perceraian dapat terjadi karena beberapa
alasan sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dll yg
sukar disembuhkan
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yg sah
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau
hukuman berat yg membahayakan pihak yg lain
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yg membahayakan pihak yg lain
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri
f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Ps 39 ayat (2) UU No 1/74 ttg Perkawinan ini diulang dan
ditambah dalam Ps 116 KHI yg berbunyi: nomor a, b, c, d,
e, dan f sama. Kemudian tambahannya dalam KHI
berbunyi:
a. Suami melanggar taklik thalaq
b. Peralihan agama atau murtat yg menyebabkan
terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga
Ps 40 UU No 1/74 cara melakukan perceraian dirumuskan
a. Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan
b. Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1)
pasal ini diatur dalam peraturan perundang-undangan
tersendiri.
AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN
Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri
dalam segala bentuknya, maka hukum yg belaku
sesudahnya adalah “iddah” dan “hadhanah”.
A. Iddah
1. Pengertian
Iddah adalah bahasa Arab yg berasal dari kata “adda,
ya’uddu, iddatan” dan jamaknya adalah “idad” yg secara
etimologi berarti “menghitung atau hitungan”. Kata ini
digunakan untuk maksud iddah karena dalam masa itu si
perempuan yg beriddah menunggu berlalunya waktu.
Dalam hukum fiqh ditemukan definisi iddah itu yg
pendek dan sederhana di antaranya adalah masa
tunggu yg dilalui oleh seseorang perempuan.
Karena sederhananya definisi ini ia masih
memerlukan penjelasan terutama mengenai apa yg
ditunggunya, kenapa dia menunggu, dan untuk apa
dia menunggu?. Untuk menjawab pertanyaan untuk
apa dia menunggu, ditemukan jawabannya “masa
yg harus ditunggu oleh seorang perempuan yg telah
bercerai dari suaminya supaya dapat kawin lagi
untuk mengetahui bersih rahimnya atau untuk
melaksanakan perintah Allah”
2. Dasar hukumnya
UU No 1/74 mengatur ttg iddah dengan
menggunakan nama “waktu tunggu” dalam pasal
11 yg berbunyi;
(1) Bagi wanita yg putus perkawinannya berlaku
jangka waktu tunggu
(2) Tentang waktu jangka waktu tunggu tersebut
ayat (1) akan diatur dalam PP lebih lanjut.
Dalam PP No 9/75 penjelasan ttg waktu tunggu
tersebut diatur dalam Pasal 39, dan ini hampir sama
dengan yg dimuat dalam KHI Pasal 153.
Pasal 39 PP No 9/75 dan Pasal 153 KHI kurang lebih berbunyi;
(1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dlm ps 11 (2)
UU perkawinan adalah
a. Apabila perkw putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan
130 hari
b. Apabila perkw putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yg
masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-
kurangnya 90 hari
c. Apabila perkw putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
(2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda putus perkw karena perceraian,
sedangkan antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum
pernah terjadi hubungan kelamin.
(3) Bagi perkw yg putus krn perceraian,tenggang waktu tunggu
dihitung sejak putusan pengadilan yg mempunyai kekuatan hk tetap.
B. Hadhanah
1. Pengertian
Dalam istilah fiqh ada dua kata yaitu kafalah dan hadhanah yg
berarti pemeliharaan atau pengasuhan. Dalam arti yg lebih
lengkap adalah pemeliharaan anak yg masih kecil setelah
terjadinya putus perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fiqh
karena secara praktis antara suami dan istri telah terjadi
perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari
ayah dan/ibunya.
2. Hukum dan Dasar Hukumnya
Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu
hukumnya wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama
berada dalam ikatan perkawinan.
Adapun dasar hukumnya mengikuti umum
perintah Allah untuk membiayai anak dan istri
sebagaimana firman Allah pada QS Al Baqarah
233 “wa’alal mauluudi lahu rizquhunna
bilma’ruuf” artinya adalah kewajiban ayah
memberi nafkah dan pakaian untuk anak dan
istrinya. Kewajiban membiayai anak yg masih
kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu
masih terkait dalam tali perkawinan saja, namun
juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.
UU perkawinan tidak secara khusus membicarakan
pemeliharaan anak sebagai akibat putusnya perkawinan,
apalagi dengan menggunakan nama hadhanah. Namun
UU perkawinan secara umum mengatur hak dan
kewajibaan orang tua terhadap anaknya secara umum
terdapat pada Ps 45-49 UU No.1/74.
Ps 45 ayat (1) Kedua orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak mereka sebaik-baiknya. (2) Kewajiban
orang tua yg dimaksud dalam ayat (1) berlaku sampai
anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana
berlaku terus meskipun perkawinan keduanya orang tua
putus. Hadhanah sebagai salah satu akibat putusnya
perkawinan juga diatur dalam KHI secara panjang lebar.
RUJUK
A. Pengertian Rujuk
Rujuk atau dalam istilah hukum disebut raj’ah secara arti
kata berarti kembali. Orang yg rujuk kepada istrinya
berarti kembali kepada istrinya. Sedangkan definisinya
dalam pengerian fiqh kembali ke dalam hubungan
perkawinan dari cerai yg bukan “bain” selama dalam
masa iddah.
Rujuk yg berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa
Indonesia yg artinya; kembalinya suami kepada istrinya yg
ditalak, yaitu talak satu atau talak dua, ketika istri masih
dimasa iddah.
B. Hukum dan Dasar Hukumnya
Rujuk itu adalah membangun kembali kehidupan
perkawinan yg terhenti atau memasuki kembali
kehidupan perkawinan. Kalau membangun kehidupan
perkawinan pertama kali disebut perkawinan, maka
melanjutkannya disebut rujuk. Hukum rujuk dengan
demikian sama dengan hukum perkawinan dalam
mendudukkan hukum asal dari rujuk itu ulama berbeda
pendapat. Jumhur ulama mengatakan rujuk itu adalah
sunat dalilnya QS Al Bakarah 229 berbunyi “athallaaqu
marrataani faimsaaqu bima’ruufin autasrikhum bi
ikhsaan” (talak itu ada dua kali sesudah itu tahanlah
dengan baik, atau lepaskannlah dengan baik)
UU perkawinan secara spesifik didak mengatur rujuk.
Tetapi dalam KHI mengatur rujuk dan cara
pelaksanaannya secara lengkap Ps 163 KHI berbunyi:
(1) seorang suami dapat merjuk istrinya yg dalam masa
iddah,
(2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal; a. putusnya
perkawinan karena talak, kecuali yg telah jatuh tiga
kali atau talak yg dijatuhkan qabla al duhul, b.
putusnya perkawinan berdasarkan putusan
pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan zina dan
khulu’.
Ps. 164 KHI berbunyi
Seorang wanita dalam iddah talak raj’I berhak mengajkan
keberatan ats kehendak rujuk dari bekas suaminya di hadapan
Pegawai Pencatatan Nikah disaksikan dua orang saksi
Ps. 165 KHI berbunyi
Rujuk yg dilakukan tanpa persetujuan bekas istri dapat
dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama
Ps. 166 KHI berbunyi
Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan buku
Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak
sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan
duplikasinya kepada instansi yg mengeluarkannya.
Ujian Tengah Semester (UTS)
Mata Kuliah: Hukum Perkawinan dan Kewarisan Islam
1. Jelaskan pengertian perkawinan menurut UU No 1/74 ttg
Perkawinan dan pengertian perkawinan menurut Kompilasi
Hukum Islam !
2. Sebutkan syarat dan rukun perkawinan yg terdapat pada
Kompilasi Hukum Islam, dan mengapa mahar (maskawin)
tidak termasuk syarat dan rukun perkawinan. Jelaskan !
3. Apa yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan, diatur
pasal berapa UU Perkawinan. Tunjukkan !
4. Mengapa nikah mut’ah (perkawinan kontrak) diharamkan
atau dilarang menurut UU perkawinan. Jelaskan!.
HUKUM KEWARISAN ISLAM
A. Pengertian, Sumber, dan Asas Hukum
Kewarisan Islam
1. Pengertian
Dalam beberapa literatur hukum Islam ditemui
beberapa istilah untuk menemukan hukum
kewarisan Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu
faraidh, dan hukum kewarisan Islam. Perbedaan
dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan arah
yg dijadikan titik dalam pembahasan.
Fiqh mawaris adalah kata yg berasal dari bahasa Arab “fiqh” dan
“mawaris”. Untuk mengetahui maksud dan pembahasannya lebih
lanjut, sebaiknya terlebih dahulu kita mengetahui ttg pengertian fiqh
mawaris itu.
Fiqh menurut bahasa berati mengetahui, memahami, yakni
mengetahui sesuatu atau memahami sesuatu sebagai hasil usaha
mempergunakan pikiran yg sungguh-sungguh.
Prof M. Daud Ali berpendapat bahwa fiqh adalah memahami dan
mengetahui wahyu (Al qur’an dan Al hadis) dengan menggunakan
penalaran akal dan metoda tertentu, sehingga diketahui ketentuan
hukumnya dengan dalil secara rinci, QS At Taubah 122 yg berbunyi
“falaulaa nafara min kulli firqatin minhum thoifatal liyatafaqqohuu
fiddiin” (mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama).
Mawaris diambil dari bahasa Arab. Mawaris jamak
dari “miiraasu” yg berarti harta peninggalan yg
diwarisi oleh ahli warisnya. Jadi fiqh mawaris adalah
suatu disiplin ilmu yg membahas tentang harta
peninggalan, tentang bagaimana proses
pemindahan, siapa saja yg berhak menerima harta
peninggalan itu serta berapa bagian masing-masing.
Prof. T.M Hasby As Shiddiqi. fiqh mawaris adalah
ilmu yg dengan dia dapat diketahui orang-orang yg
mewaris, orang-orang yg tidak dapat mewaris,
kadar yg diterima oleh masing-masing ahli waris
serta cara pengambilannya.
Ilmu Faraidh/Al Faraidh adalah “ilmun yu’rafu bihii kaifiyati
qismati tirkati ‘alaa mustahiqqihaa” ( ilmu untuk mengetahui
cara membagi harta peninggalan seseorang yg telah
meninggal dunia kepada yg berhak menerimanya). Sebagian
ulama mengartikan Al faraidh sebagai jamak dari kata
fariidhah yg diambil dari kata fardhu/mafrudhah bagian yg
telah ditentukan atau bagian yg pasti. QS An Nisa’ (7) “li rijali
nasibubum mimaa tarakal waalidaani wal aqrabun, walin
nisaai nasibun mimaa tarakal walidaani wal aqrabuun,
mimmaa qalla minhu aukasur nasiiban mafrudhaa” (bagi
orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu
bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian
pula dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bagian yg telah ditetapkan).
Hukum Kewarisan. Ini istilah yg terdapat pada
literatur hukum di Indonesia dan istilah lainnya
waris, warisan, pusaka, serta hukum kewarisan itu
sendiri. Yg menggunakan nama hukum waris,
mengandung arti orang yg berhak menerima harta
warisan. Yg menggunakan nama warisan
mengandung arti harta warisan yg menjadi obyek
dari hukum ini. Di dalam istilah hukum yg baku
digunakan kata kewarisan, dengan mengambil kata
waris dengan dibubuhi awalan ke dan akhiran an.
Kata waris itu sendiri dapat berarti orang, pewaris
sebagai sabyek dan dapat berarti pula proses.
Karena ada beberapa istilah sebagaimana yg
disebutkan di atas, maka pembahasan
selanjutnya akan memakai istilah Hukum
Kewarisan Islam, karena istilah tersebut lebih
bisa diterima dan dipahami oleh para pembaca
dalam mempelajari hukum-hukum yg berkaitan
dengan pembagian harta waris.
B. Sumber Hukum Kewarisan Islam
Dasar dan sumber utama dari hukum Islam sebagai
hukum agama Islam adalah Al qur’an, Al Hadis/As
Sunnah, dan Ijtihad.
1. Al qur’an.
QS An nisa’ (7), (8), (9), (10), (11), (12), (13), (14), dan
(176). QS Al Baqarah (180), (181), (182), (233), (240), dan
(241). QS Al Ahzab (4), (5), dan (6). QS Al Anfal (75). Misal
QS An Nisa’ (7) “lir rijaali nasibubum mimmaa tarakal
waalidaani wal aqrabuun, walin nisaai nasiibun mimmaa
tarakal walidaani wal aqrabuun, mimmaa qalla minhu
aukasur nasiiban mafrudhaa”.
QS An Nisa’ (8)“Wa idzaa hadhorol qismata ulul qurbaa wal
yataamaa wal masaakiinu farzuquuhum min hu waquuluu
lahum qoulam ma’ruufaa” Dan apabila sewaktu pembagian
itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim, dan orang-
orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu
(sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yg
baik.
QS An Nisa’ (9)“Walyakhsyalladziina lau tarakuu min kholfihim
dzurriyyatan dhi’aafan khoofuu’alahim falyattaqullaha
walyaquuluu qoulan syadiidaa” Dan hendaklah takut
(kepada Allah) orang-orang yg sekiranya mereka hawatir
terhadap (kesejahteraanya). Oleh sebabitu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka
berbicara dengan tutur kata yg benar.
QS An Nisa’ (10) “innalladziina ya’kuluuna
amwaalal yataamaa zhulman innamaa
ya’kuluuna filbuthuunihim naaroo, wa
sayaslauna sa’iiroo”. Sesungghnya orang-
orang yg memakan harta anak yatim secara
dzolim, sebenarnya mereka itu menelan api
dalam perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam apai yg menyala-nyala (neraka)
QS An Nisa’ (11) artinya: Allah mensyariatkan (mewajibkan)
kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-
anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu
semuanya perempuan yg jumlahnya lebih dari dua, maka
bagian mereka dua pertiga dari harta yg ditinggalkan. Jika
dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia
memperoleh setengah (harta yg ditinggalkan). Dan untuk
kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari
harta yg ditnggalkan, jika dia (yg meninggal) mempunyai
anak. Jika dia (yg meninggal) tidak mempunyai anak dan dia
diwarisi oleh kedua ibu bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga. Jika dia (yg meninggal) mempunyai
beberapa saudara, maka
2. Al Hadis.
Hadis Nabi Muhammad yg secara langsung mengatur tentan kewarisan
adalah sebagai berikut;
a. Hadis Nabi dari Jabir ra yg diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud.
“dari Jabir Ibnu Abdullah berkata: Janda Sa’ad datang kepada
Rasulullah bersama dua orang anak perempuan. Lalu ia berkata:
Yaa Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Sa’ad yg telah gugur
secara syahid bersamamu di perang Uhud, paman mereka
mengambil harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan
apa-apa pada mereka. Keduanya tidak bisa kawin kalau tidak
mempunyai harta”. Nabi berkata: Allah akan menetapkan hukum
dalam kejadian ini. Kemudian turun ayat-ayat tentang kewarisan.
Kemudian Nabi memanggil si paman dan Nabi berkata; berikanlah
2/3 untuk anak perempuan Sa’ad, 1/8 untuk istri Sa’ad, dan
selebihnya ambil untukmu.
b. Hadis Nabi dari Abdullah ibnu Abbas yg
diriwayatkan oleh Imam Bukhari. “berikanlah
faraidh (bagian yg ditentukan) itu kepada yg berhak
dan selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari
keturunan laki-laki yg terdekat”.
c. Hadis Nabi dari Usamah bin zaid menurut riwayat
Timidzi; Dari Usamah bin zaid bahwa Nabi
bersabda: “Seorang muslim tidak mewarisi harta
orang non muslim dan orang non muslimpun tidak
dapat mewarisi harta orang muslim”.
C. Asas Hukum Kewarisan Islam
Hukum kewarisan Islam (faraidh) adalah salah satu
bagian dari keseluruhan hukum Islam yg mengatur
peralihan harta dari orang yg telah meninggal dunia
kepada orang (keluarga) yg masih hidup. Hukum
kewarisan Islam mengandung berbagai asas yg
memperlihatkan bentuk karasteristik dari hukum
kewarisan Islam itu sendiri antara lain; 1. asas ijbari,
2. asas bilateral, 3. asas individual, 4. asas keadilan
berimbang, dan 5. asas semata akibat kematian.
1. Asas Ijbari; Asas ijbari yg terdapat dalam hukum kewarisan
Islam mengandung arti bahwa peralihan harta seseorang yg
meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan
sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan
kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Kata ijbari sendiri
secara leksikal mengandung arti paksaan (compulsory)
dijalankannya asas ini dalam hukum kewarisan Islam
mengandung arti bahwa peralihan harta tersebut terjadi
dengan sendirinya menurut ketentuan Allah tanpa tergantung
kepada kehendak dari pewaris ataupun permintaan dari ahli
warisnya, sehingga tidak ada satu kekuasaan manusiapun
dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain
atau mengeluarkan orang yg berhak
2. Asas Bilateral; asas bilateral dalam hukum Islam
mengandung arti bahwa harta warisan beralih
kepada ahli warisnya melalui dua arah (dua belah
pihak). Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima
hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat,
yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan
pihak kerabat garis keturunan perempuan. Pada
prinsipnya asas ini menegaskan bahwa jenis
kelamin bukan merupakan penghalang untuk
mewarisi atau diwarisi. Asas bilateral ini secara
nyata dapat dilihat dalam fiman Allah QS An Nisa’
ayat 7, 11, 12, dan 176
3. Asas Individual; hukum Islam mengajarkan asas
kewarisan secara individual, dalam arti harta warisan
dapat dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk
dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya
masing-masing ahli waris menerima bagiannya tersendiri
tanpa terikat dengan ahli waris yg lain. Keseluruhan harta
warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yg kemudian
jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yg
berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-
masing. Sifat individual dalam kewarisan ini dapat dilihat
dari aturan-aturan Al qur’an yg berkaitan dengan
pembagian harta warisan itu sendiri. Hal ini sesuai
dengan firman Allah QS An Nisa’ ayat 7.
4. Asas Keadilan Berimbang; kata adil merupakan kata bahasa
Indonesia yg berasal dari kata al-’adlu. Hubungannya dengan
masalah kewarisan, kata tersebut dapat diartikan
keseimbangan antara hak dan kewajiban serta kesimbangan
antara yg diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya.
Sebagaimana laki-laki, perempuan pun mendapatkan hak yg
sama kuat untuk mendapatkan warisan. Hal ini secara jelas
disebutkan dalam QS An Nisa’ ayat 7 yg menyamakan
kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hal mendapatkan
warisan. Dan pada QS An Nisa’ ayat 11,12,176 secara rinci
diterangkan kesamaan kekuatan hak menerima antara anak
laki dan anak perempuan, ayah dan ibu (ayat 11), suami istri
(ayat 12) saudara laki dan saudara perempuan (ayat 12 dan
176)
5. Asas Semata Akibat Kematian; Hukum Islam menetapkan
bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan
menggunkan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yg
mempunyai harta meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa
harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain
(keluarga) dengan nama waris selama yg mempunyai harta
masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan
harta seseorang yg masih hidup secara langsung maupun
terlaksana setelah ia mati, tidak termasuk ke dalam istilah
kewarisan menurut hukum Islam. Pada asas tersebut
menggambarkan bahwa hukum kewarisan Islam hanya
mengenal satu bentuk kewarisan yaitu kewarisan sebagai
akibat dari adanya kematian dan tidak mengenal kewarisan
sebagai akibat dari adanya kematian.
PENGGOLONGAN AHLI WARIS
Ahli waris dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian
yakni; 1. Ashabul furudh atau Dzawil furudh, 2. Ashabah,
dan 3. Dzawil arham.
1. Ashabul furudh/dzawil furudh; adalah orang yg
mempunyai bagian harta peninggalan yg sudah
ditentukan oleh Al qur’an, As sunnah dan Ijtihad. Adapun
bagian yg sudah ditentukan adalah: 1/2, 1/4, 1/8, 1/3,
2/3, dan 1/6. Orang-orang yg dapat mewarisi harta
peninggalan dari yg sudah meninggal dunia berjumlah 25
orang yg terdiri atas 15 orang pihak laki-laki dan 10 orang
dari pihak perempuan.
Ahli waris dari pihak laki-laki adalah sebagai berikut;
1. Anak laki-laki, 2. cucu laki dari anak laki-laki, 3. ayah, 4.
kakek (ayah dari ayah), 5. saudara laki-laki sekandung, 6.
saudara laki-laki seayah, 7. saudara laki-laki seibu, 8.
keponakan laki (anak laki dr no 5), 9. keponakan laki (anak
laki dr no 6), 10. sdr seayah (paman)yg seibu seayah, 11.
sdr seayah (paman) yg seayah, 12. anak paman yg seibu
seayah, 13. anak paman yg seayah, 14. suami, 15. orang
laki yg memerdekakannya.
Apabila ahli waris di atas ada semuanya maka hanya 3
ahli waris yg mendapatkan warisan yaitu; 1. suami, 2.
ayah, dan 3. anak
Adapun ahli waris dari pihak perempuan ada 10 (sepuluh)
orang yaitu sebagai berikut:
1. Anak perempuan, 2. cucu perempuan dari anak laki-
laki, 3. ibu, 4. nenek perempuan (ibunya ibu), 5. Nenek
perempuan (ibunya ayah), 6. saudara perempuan yg seibu
seayah, 7. saudara perempuan yg seayah, 8. saudara
perempuan yg seibu, 9. istri, 10. orang perempuan yg
memerdekakannya.
Apabila ahli waris di atas ada semuanya, maka yg
mendapatkan harta waris hanya 5 orang yaitu: 1. anak
perempuan, 2. cucu perempuan dari anak laki-laki, 3. ibu,
4. saudara perempuan seayah dan seibu, 5. istri.
Andaikata ahli waris yg jumlahnya 25 orang itu
ada semuanya, maka yg berhak mendapatkan
harta warisan adalah sebagai berikut:
1. Ayah
2. Ibu
3. Anak laki-laki
4. Anak perempuan
5. Suami/istri.
2. Ashabah; Kata ashabah secara etimologi adalah
pembela, penolong, pelindung, atau kerabat dari jurusan
ayah. Menurut istilah faradhiyun adalah ahli waris yg
dalam penerimaannya tidak ada ketentuan bagian yg
pasti, bisa menerima seluruhnya atau menerima sisa atau
tidak mendapat sama sekali. Degan kata lain ahli waris
ashabah adalah ahli waris yg bagiannya tidak ditetapkan,
tetapi bisa mendapatkan semua atau sisa harta setelah
dibagi kepada ahli waris. Ahli waris ashabah akan
mendapatkan bagian harta peninggalan, tetapi tidak ada
ketentuan bagian yg pasti.
3. Dzawil Arham: dzawil arham adalah setiap kerabat yg
bukan dzawil furudh dan bukan pula ashabah. Atau dzawil
arham, ahli waris yg tidak termasuk ashabul furudh dan
tidak pula ashabah. Mereka dianggap kerabat yg jauh
pertalian nasabahnya.
Di dalam Al qur’an tidak ada keterangan yg tegas tentang
kedudukan dzawil arham sebagai ahli waris. Oleh karena
itu, ada sebagian fuqaha yg tidak menjadikan dzawil
arhan sebagai ahli waris, meskipun dalam keadaan tidak
ada orang lain yg akan mewarisi harta peninggalan si
mayit. Sebagian ulama yg lain menyatakan bahwa dzawil
furud juga ahli waris yg berhak menerima bagian harta
warisan sekalipun ada dzawil furud atau ashabah.
SEBAB-SEBAB MEWARISI DAN HALANGAN WARIS
MEWARIS
A. Sebab Timbulnya Kewarisan Dalam Islam
Menurut Sayid Sabiq seseorang dapat mewarisi harta
peninggalan karena ada 3 (tiga) hal yaitu: 1. karena
hubungan kerabat/nasab, 2. karena perkawinan, dan 3.
karena wala’(pemerdekaan budak). Adapun pada literatur
hukum Islam lainnya disebutkan ada 4 (empat) sebab
hubungan seseorang dapat menerima harta warisan dari
seseorang yg telah meninggal dunia yaitu: 1. perkawinan,
2. kekerabatan/nasab, 3. wala’ (pemerdekaan budak), 4.
hubungan sesama Islam.
1. Hubungan Kekerabatan/Nasab. Salah satu sebab
beralihnya harta seorang yg telah meninggal dunia
kepada yg masih hidup adalah adanya hubungan
silaturahim atau kekerabatan antara keduanya.
Yaitu hubungan nasab yg disebabkan oleh kelahiran.
Ditinjau dari garis yg menghubungkan nasab antara
yg mewariskan dengan yg mewarisi dapat
digolongkan dalam tiga golonngan yaitu: a. furu’
(anak turun dari si mati), b. Usul (leluhur yg
menyebabkan adanya si mati), c. hawasyi (keluarga
yg dihubungkan dengan si meninggal dunia melalui
garis menyamping).
2. Hubungan Perkawinan. Di samping hak
kewarisan berlaku atas dasar hubungan
kekerabatan, juga berlaku atas dasar hubungan
perkawinan (persemendaan) dengan artian suami
menjadi ahli waris bagi istrinya yg meninggal dan
istri menjadi ahli waris bagi suaminya yg meninggal.
Perkawinan yg menjadi sebab timbulnya hubungan
kewarisan antara suami dengan istri didasarkan
pada dua syarat yaitu:
a. perkawinan itu sah menurut syariat Islam,
b. perkawinan masih utuh.
3. Hubungan Karena Al Wala’. Hubungan karena wala’ adalah
hubungan waris mewaris karena kekarabatan menurut hukum
yg timbul karena membebaskan budak, sekalipun di antara
mereka tidak ada hubungan darah. Sekarang ini hubungan
wala’ hanya terdapat dalam tataran wacana saja. Hubungan
wala’ terjadi disebabkan oleh usaha seseorang pemilik budak
yg dengan sukarela memerdekakan budaknya. Dengan
demikian pemilik budak tersebut mengubah status orang yg
semula tidak cakap bertindak menjadi cakap bertindak untuk
mengurusi memiliki dan mengadakan transaksi terhadap
harta bendanya sendiri. Di samping itu cakap melakukan
tindakan hukum sebagai imbalan atas kenikmatan yg telah
dihadiahkan kepada budaknya sebagai perangsang agar orang-
orang pada waktu itu memerdekakan budak.
4. Hubungan Sesama Islam; hubungan Islam yg
dimaksud di sini terjadi apabila seseorang yg
meninggal dunia tidak memiliki ahli waris, maka
harta warisnya itu diserahkan kepada
perbendaraan umum atau yg disebut “Baitul
Maal” yg akan digunakan oleh umat Islam.
Dengan demikian harta orang Islam yg tidak
mempunyai ahli waris itu diwarisi oleh umat
Islam.
B. Halangan Mewarisi/Hilangnya Hak Waris
Mewaris
Halangan mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yg
dapat menggugurkan hak sesorang untuk mewarisi
karena adanya sebab atau syarat mewarisi. Namun
karena sesuatu maka mereka tidak dapat menerima
hak waris. Hal-hal yg menyebabkan ahli waris
kehilangan hak mewaris atau terhalang mewarisi
adalah sebagai berikut: (1) karena perbudakan, (2)
karena pembunuhan, (3) karena berlainan agama,
dan (4) karena berlainan negara.
FURUDHUL MUQADDARAH/PEMBAGIAN YANG
DITENTUKAN
Macam-Macam Furudhul Muqaddarah
Syariat Islam menetapkan jumlah furudhul
muqaddarah (bagian-bagian yg sudah ditentukan)
ada 6 (enam) macam yaitu sebagai berikut:
a. Dua pertiga (2/3) d. Seperdua (1/2)
b. Sepertiga (1/3) e. Seperempat (1/4)
c. Seperenam (1/6) f. Seperdelapan (1/8)
1. Ahli waris yg menerima pembagian 2/3 (dua
pertiga) adalah; (a) anak perempuan bila ia lebih
dari dua orang, (b) saudara perempuan kandung
atau seayah bila ia dua orang atau lebih, jika si
mayit (pewaris) tidak meninggalkan anak.
2. Ahli waris yg menerima pembagian 1/3 (satu
pertiga) adalah; (a) ibu, bila ia mewaris bersama
ayah dan pewris tidak meninggalkan anak atau
saudara, (b) saudara seibu laki-laki atau
perempuan, bila terdapat lebih dari seorang.
3. Ahli waris yg menerima pembagian 1/6 (satu
perenam) adalah; (a) ayah, bila pewaris meninggalkan
anak, (b) kakek, bila pewaris tidak meninggakan ayah, (c)
ibu, bila pewaris meninggalkan anak, (d) ibu, bila pewaris
meninggalkan beberapa orang saudara, (e) nenek, bila
pewaris tidak ada meninggalkan ibu, (f) seorang saudara
seibu laki-laki atau perempuan.
4. Ahli waris yg menerima pembagian 1/8 (satu
perdelapan) adalah; (a) istri, bila pewaris meninggalkan
anak.
5. Ahli waris yg menerima pembagian 1/2 (satu
perdua) adalah; (a) Anak perempuan bila ia hanya
seorang diri saja, (b) saudara perempuan bila
(sekandung atau seayah) ia hanya seorang saja, (c)
suami, bila pewaris tidak ada meninggalkan anak.
6. Ahli waris yg menerima pembagian 1/4 (satu
perempat) adalah; (a) suami, bila pewaris (istri)
meninggalkan anak, (b) istri, bila pewaris (suami)
tidak meninggalkan anak.
CARA PERHITUNGAN PEMBAGIAN HARTA WARIS
A. Isbatul Furudh
Sebelum perhitungan waris dimualai harus
diperhitungkan isbatul furudhnya (ketentuan bagian
masing-masing ahli waris) yaitu sebagai berikut;
1. Menentukan siapa-siapa yg berhak menerima
ahli waris yg ada. Untuk itu harus dilihat siapa
saja yg tidak tertutup/terhalang,
2. Menentukan berapa bagian masing-masing ahli
waris dan siapa-siapa yg akan menjadi ashabah
Contoh;
Kalau ada seseorang meninggal dunia dengan
meninggalkan beberapa ahli waris misalnya; 1.
bapak, 2. ibu, 3. suami, 4. kakek, 5. paman, 6.
keponakan, 7. anak laki-laki, 8. anak perempuan, 9.
saudara kandung, 10. saudara seibu.
Sebelum ditetapkan bagian harta warisan masing-
masing terlebih dahulu harus diperiksa di antara
mereka;
a. siapa yg menjadi mahjub/terhalang,
b. siapa yg menjadi ashabah/sisa harta.
Lanjutan;
Dengan demikian ahli warisnya; 1. bapak tidak
mahjub, 2. ibu tidak mahjub, 3. suami tidak mahjub,
4. paman mahjub oleh anak laki-laki dan bapak, 5.
kakek mahjub oleh bapak, 6. keponakan mahjub
oleh anak laki, bapak, kakek dan paman, 7. anak
laki-laki menjadi ashabah, 8. anak perempuan
menjadi ashabah, 9. saudara sekandung mahjub
oleh anak laki-laki dan bapak, 10. saudara seibu
mahjub oleh anak laki-laki dan bapak serta anak
perempuan
Lanjutan;
Dengan demikian ahli warisnya: 1. bapak, 2. ibu, 3. anak
laki-laki, 4. anak perempuan, 5. suami.
Kemudian diperiksa lagi berapa bagian masing-masing
sebagai berikut;
1. Bapak dapat 1/6 bagian karena ada anak,
2. Ibu dapat 1/6 bagian karena ada anak,
3. Suami dapat 1/4 bagian karena ada anak,
4. Anak laki-laki dapat ashabah dua bagian dari anak
perempuan,
5. Anak perempuan dapat ashabah satu bagian
B. Asal Masalah dan Cara menghitungnya
Untuk menghitung dan menetapkan penerimaan
ahli waris dapat ditempuh dengan cara sistem asal
masalah setelah diketahui bagian masing-masing
ahli waris. Asal masalah adalah kelipatan
persekutuan bilangan yg terkecil yg dapat dibagi
oleh stiap penyebut bagian para ahli waris. Misal
1/2, 1/3, dan 1/6 maka asal masalahnya adalah 6
karena 6 ini merupakan angka yg terkecil yg dapat
dibagi oleh masing-masing 2, 3, dan 6.
Dan apabila fardh-fardh para ashabul furdh yg
akan mewarisi terdiri atas 1/8, 1/3, dan 1/6
maka asal masalahnya adalah 24, karena 24 ini
adalah angka terkecil yg dapat dibagi oleh
masing-masing penyebut 8, 3, dan 6. walaupun
angka 48 juga dapat dibagi oleh masing-masing
penyebut tersebut, namun bukan angka terkecil
yg dapat dibagi oleh masing-masing penyebut
tersebut.
Jikalau ahli warisnya lebih dari tiga atau empat orang ahli
waris, maka perhitungannya;
Misalnya bagian masing-masing ahli waris adalah A.1/8,
B.1/2 , C.1/6, dan D.1/3. dengan demikian bagian msing-
masing adalah sebagai berikut:
Yang A.1/8 menjadi 1/8 x 24=3/24
Yang B.1/2 menjadi 1/2 x 24=12/24
Yang C.1/6 menjadi 1/6 x 24= 4/24
Yang D.1/3 menjadi 1/3 x 24= 8/24
Jadi asal masalahnya angka 24, angka yg terkecil yg bisa
dibagi dengan angka 8, 2, 6, dan 3.
AUL/KEKURANGAN HARTA WARISAN
1. Pengertian Aul
Aul menurut bahasa (etimologi) berarti irtifa’;
mengangkat dikatakan alal mizaan bila timbangan
itu naik, terangkat. Kata aul ini terkadang berarti
cenderung kepada perbuatan aniaya (curang). Arti
ini ditunjukkan di dalam QS An Nisa’ ayat 3 “dzalika
adnaa allaa tauluu” artinya (yg demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya).
Secara terminologi Aul adalah bertambahnya saham
dzawil furudh dan berkurangnya kadar penerimaan
warisan mereka. Atau bertambahnya jumlah bagian yg
ditentukan dan berkurangnya bagian masing-masing ahli
waris.
Dalam sejarah dijelaskan bahwa orang yg pertama kali
melakukan Aul adalah Umar bin Khattab. Ketika itu ilmu
faraidh sedang berkembang dan setiap orang saling
mempertahankan pendapatnya masing-masing.
pada masa Rasulullah dan khalifah Abu Bakar as Shiddiq
peristiwa aul belum pernah terjadi. Aul pertama kali
terjadi pada masa kehkalifahan Umar bin Khattab.
Pada suatu ketika Umar bin Khattab, didatangi oleh
seorang sahabat yg menanyakan tentang masalah
kematian seseorang, dimana ada seorang wanita
meninggal dengan meninggalkan seorang suami
dan dua orang saudara perempuan kandung.
Menurut ketentuan yg berlaku seorang suami
mendapat bagian 1/2 (seperdua) dan dua orang
saudara sekandung mendapat 2/3 (dua pertiga).
dengan demikian, jumlah bagian masing-masing
melebihi harta peninggalan.
2. Cara Pemecahan Masalah Aul
Cara pemecahan masalah Aul adalah dengan
mengetahui pokok, yakni yg menimbulkan masalah
dan mengetahui saham setiap ashabul furudh
kemudian dengan mengabaikan pokoknya. Kemuian
bagian-bagian mereka dikumpulkan dan dijadikan
sebagai pokok, lalu haarta warisan dibagi atas dasar
itu. Dengan demikian akan terjadi kekurangan bagi
setiap orang sesuai dengan sahamnya dalam
masalah ini tidak ada kezaliman dan kecurangan.
Contoh: seorang meninggal dunia, ahli warisnya
terdiri atas suami, dua orang saudara perempuan
sekandung. Harta yg ditinggalkan setelah dipotong
untuk biaya pemakaman dan keperluan yg lain
masih sisa 42 juta. Maka proses penyelesaiaannya
sebagai berikut; suami 1/2, dua orang saudara
perempuan kandung 2/3. Asal masalah angka 6.
suami mendapat bagian 3x6 juta = 18 juta. Dua
orang saudara perempuan mendapat bagian 4x6
juta = 24 juta. Jumlah asal masalah yg semula 6
kemudian di Aul-kan menjadi 7, sehingga uang 42
juta dibagi 7=6 juta.
RADD/KELEBIHAN HARTA PENINGGALAN
1. Pengertian
Kata radd secara etimologi berarti i’aadah
mengembalikan. Dikatakan radda ‘alaihi haqqah artinya
a’aadahu ilaih; dia mengembalikan haknya kepada yg
berhak. Kata radd juga berarti sharf; memulangkan
kembali. Dikatakan radda ‘anhu kaida ‘aduwwih; dia
memulangkan kembali tipu muslihat musuhnya.
Radd menurut istilah (tirminologi) adalah mengembalikan
apa yg tersisa dari bagian dzawil furudh kepada mereka
sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka apabila tidak
ada orang lain yg berhak untuk menerimanya.
Dengan demikian, Radd merupakan kelebihan
dari aul, apabila harta peninggalan masih
mempunyai kelebihan setelah dibagikan kepada
seluruh ahli waris sesuai dengan ketentuannya
masing-masing dan tidak ada ahli waris yg
mendapatkan ashabah, kelebihan harta tersebut
dikembalikan kepada ahli waris yg ada menurut
pembagian masing-masing.
2. Cara pemecahan Masalah Radd
Apabila bersama ashabul furudh didapatkan ahli waris yg
tidak mendapatkan fardh berupa salah seorang suami/istri,
maka salah seorang suami/istri mengambil fardh-nya
(bagiannya) dari pokok harta peninggalan. Sisa sesudah fardh
ini untuk ashabul furudh sesuai dengan jumlah mereka
apabila terdiri atas satu golongan, baik yg ada itu hanya
seorang di antara mereka, seperti anak perempuan ataupun
banyak seperti tiga orang anak perempuan. Apabila ashabul
furudh lebih banyak dari satu golongan, seperti seorang ibu
dan seorang anak perempuan maka sisanya dibagikan sesuai
dengan fardh mereka dan dikembalikan sesuai dengan
perbandingan fardh mereka pula.
Contoh: sesorang meninggal dunia, ahli warisnya
terdiri atas suami, anak perempuan, dan ibu. Harta
yg ditinggalkan setelah dipotong biaya pemakaman
dan keperluan yg lain masih tersisa 72.000.000.
caranya penyelesaiannya sebagai berikut; suami
1/4, anak perempuan 1/2, ibu 1/6. Asal masalah 12.
suami= 3/12x 72 jt=18 jt, anak perempuan 6/12x 72
jt= 36 jt, dan ibu= 2/12x 72 jt= 12 jt. 18 jt+ 36
jt+12jt = 66 jt. Sisa harta 72 jt-66 jt= 6 jt. Jadi sisa 6
jt dibagikan selain suami yaitu anak perempuan
1/2: 12 = 6, ibu 1/6: 12= 2. Jadi anak perempuan
6/8 x 6 jt = 4,5 jt, ibu 2/8 x 6 jt = 1,5 jt.

More Related Content

Similar to HUKUM PERKAWINAN ISLAM DAN HUKUM KEWARISAN ISLAM.pptx

PERNIKAHAN BERWALIKAN HAKIM Analisis Fikih Munakakhat dan Kompilasi Hukum Islam
PERNIKAHAN BERWALIKAN HAKIM Analisis Fikih Munakakhat dan Kompilasi Hukum IslamPERNIKAHAN BERWALIKAN HAKIM Analisis Fikih Munakakhat dan Kompilasi Hukum Islam
PERNIKAHAN BERWALIKAN HAKIM Analisis Fikih Munakakhat dan Kompilasi Hukum Islam
IAIN Tulungagung
 
Munakahat_pernikahan_dalam_islam-SMK Nawa BHakti_kelas XII-Semester Genap.pptx
Munakahat_pernikahan_dalam_islam-SMK Nawa BHakti_kelas XII-Semester Genap.pptxMunakahat_pernikahan_dalam_islam-SMK Nawa BHakti_kelas XII-Semester Genap.pptx
Munakahat_pernikahan_dalam_islam-SMK Nawa BHakti_kelas XII-Semester Genap.pptx
TaufikNurKholis2
 
Fiqih III
Fiqih IIIFiqih III
Fiqih III
ikmalabas
 
Perkahwinan didalam islam
Perkahwinan didalam islamPerkahwinan didalam islam
Perkahwinan didalam islam
Arra Asri
 
Bab 5
Bab 5Bab 5
Tugas yuyun
Tugas yuyunTugas yuyun
Tugas yuyun
AnasHasbullah2
 
KLP 1 MUNAKAHAT.pdf
KLP 1 MUNAKAHAT.pdfKLP 1 MUNAKAHAT.pdf
KLP 1 MUNAKAHAT.pdf
AzyarSusanto1
 
Tujuan dan hikmah pernikahan 2
Tujuan dan hikmah pernikahan  2Tujuan dan hikmah pernikahan  2
Tujuan dan hikmah pernikahan 2
Arya D Ningrat
 
Nikah Siri dan Mut'ah
Nikah Siri dan Mut'ahNikah Siri dan Mut'ah
Nikah Siri dan Mut'ahAli Murfi
 
Pernikahan Siri dan Mut'ah
Pernikahan Siri dan Mut'ahPernikahan Siri dan Mut'ah
Pernikahan Siri dan Mut'ahAli Murfhy
 
jjjĥjjjjjjjjjiijgfrdchjoiuffvnkkittrrxvbkooiyfgg
jjjĥjjjjjjjjjiijgfrdchjoiuffvnkkittrrxvbkooiyfggjjjĥjjjjjjjjjiijgfrdchjoiuffvnkkittrrxvbkooiyfgg
jjjĥjjjjjjjjjiijgfrdchjoiuffvnkkittrrxvbkooiyfgg
ayaka29
 
Fiqih Rangkuman Bab Nikah
Fiqih Rangkuman Bab NikahFiqih Rangkuman Bab Nikah
Fiqih Rangkuman Bab Nikah
heckaathaya
 
makalah pernikahan.docx
makalah pernikahan.docxmakalah pernikahan.docx
makalah pernikahan.docx
rusmanwarsit0
 
Siiap
SiiapSiiap
Kawin Kontrak (Mut'ah) dan Siri dalam Tinjauan Fikih Islam
Kawin Kontrak (Mut'ah) dan Siri dalam Tinjauan Fikih IslamKawin Kontrak (Mut'ah) dan Siri dalam Tinjauan Fikih Islam
Kawin Kontrak (Mut'ah) dan Siri dalam Tinjauan Fikih Islam
Rendra Fahrurrozie
 
Fiqh Munakahat
Fiqh MunakahatFiqh Munakahat
Fiqh Munakahat
Abdul Aziz Siswanto
 
Munakahat (pernikahan)
Munakahat (pernikahan)Munakahat (pernikahan)
Munakahat (pernikahan)
Micing
 
presentasi nikah sirri dan nikah mt'ah.ppt
presentasi nikah sirri dan nikah mt'ah.pptpresentasi nikah sirri dan nikah mt'ah.ppt
presentasi nikah sirri dan nikah mt'ah.ppt
UnwanMakhbubiy
 
Agama islam
Agama islamAgama islam
Agama islam
ADILA NAJIHA
 

Similar to HUKUM PERKAWINAN ISLAM DAN HUKUM KEWARISAN ISLAM.pptx (20)

PERNIKAHAN BERWALIKAN HAKIM Analisis Fikih Munakakhat dan Kompilasi Hukum Islam
PERNIKAHAN BERWALIKAN HAKIM Analisis Fikih Munakakhat dan Kompilasi Hukum IslamPERNIKAHAN BERWALIKAN HAKIM Analisis Fikih Munakakhat dan Kompilasi Hukum Islam
PERNIKAHAN BERWALIKAN HAKIM Analisis Fikih Munakakhat dan Kompilasi Hukum Islam
 
Munakahat_pernikahan_dalam_islam-SMK Nawa BHakti_kelas XII-Semester Genap.pptx
Munakahat_pernikahan_dalam_islam-SMK Nawa BHakti_kelas XII-Semester Genap.pptxMunakahat_pernikahan_dalam_islam-SMK Nawa BHakti_kelas XII-Semester Genap.pptx
Munakahat_pernikahan_dalam_islam-SMK Nawa BHakti_kelas XII-Semester Genap.pptx
 
Fiqih III
Fiqih IIIFiqih III
Fiqih III
 
Pernikahan
PernikahanPernikahan
Pernikahan
 
Perkahwinan didalam islam
Perkahwinan didalam islamPerkahwinan didalam islam
Perkahwinan didalam islam
 
Bab 5
Bab 5Bab 5
Bab 5
 
Tugas yuyun
Tugas yuyunTugas yuyun
Tugas yuyun
 
KLP 1 MUNAKAHAT.pdf
KLP 1 MUNAKAHAT.pdfKLP 1 MUNAKAHAT.pdf
KLP 1 MUNAKAHAT.pdf
 
Tujuan dan hikmah pernikahan 2
Tujuan dan hikmah pernikahan  2Tujuan dan hikmah pernikahan  2
Tujuan dan hikmah pernikahan 2
 
Nikah Siri dan Mut'ah
Nikah Siri dan Mut'ahNikah Siri dan Mut'ah
Nikah Siri dan Mut'ah
 
Pernikahan Siri dan Mut'ah
Pernikahan Siri dan Mut'ahPernikahan Siri dan Mut'ah
Pernikahan Siri dan Mut'ah
 
jjjĥjjjjjjjjjiijgfrdchjoiuffvnkkittrrxvbkooiyfgg
jjjĥjjjjjjjjjiijgfrdchjoiuffvnkkittrrxvbkooiyfggjjjĥjjjjjjjjjiijgfrdchjoiuffvnkkittrrxvbkooiyfgg
jjjĥjjjjjjjjjiijgfrdchjoiuffvnkkittrrxvbkooiyfgg
 
Fiqih Rangkuman Bab Nikah
Fiqih Rangkuman Bab NikahFiqih Rangkuman Bab Nikah
Fiqih Rangkuman Bab Nikah
 
makalah pernikahan.docx
makalah pernikahan.docxmakalah pernikahan.docx
makalah pernikahan.docx
 
Siiap
SiiapSiiap
Siiap
 
Kawin Kontrak (Mut'ah) dan Siri dalam Tinjauan Fikih Islam
Kawin Kontrak (Mut'ah) dan Siri dalam Tinjauan Fikih IslamKawin Kontrak (Mut'ah) dan Siri dalam Tinjauan Fikih Islam
Kawin Kontrak (Mut'ah) dan Siri dalam Tinjauan Fikih Islam
 
Fiqh Munakahat
Fiqh MunakahatFiqh Munakahat
Fiqh Munakahat
 
Munakahat (pernikahan)
Munakahat (pernikahan)Munakahat (pernikahan)
Munakahat (pernikahan)
 
presentasi nikah sirri dan nikah mt'ah.ppt
presentasi nikah sirri dan nikah mt'ah.pptpresentasi nikah sirri dan nikah mt'ah.ppt
presentasi nikah sirri dan nikah mt'ah.ppt
 
Agama islam
Agama islamAgama islam
Agama islam
 

HUKUM PERKAWINAN ISLAM DAN HUKUM KEWARISAN ISLAM.pptx

  • 1. HUKUM PERKAWINAN ISLAM DAN HUKUM KEWARISAN ISLAM Oleh: H.M. Ardi, SH.,MH.
  • 2. PENDHULUAN 1. Pengertian Perkawinan : Menurut UU No.16 Tahun 2019 perubahan atas UU No 1/1974 tentang. Perkawinan Ps.1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
  • 3. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Ps.(2) Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqon gholiizhon untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah. Ungkapan yg sangat kuat atau mitsaaqan ghalizhon merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yg terdapat dalam uu perkawinan bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yg bersifat keperdataan saja.
  • 4. Ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan “berdasarkan Ketuhanan YME” dalam uu perkawinan bahwa perkawinan bagi umat Islam perupakan peristiwa agama dan oleh sebab itu orang yg melaksanakannya telah melakukan ibadah. Dan perempuan yg sudah menjadi istri itu merupakan amanah Allah yg harus dijaga dan diperlakukan dengan baik. Ps.(3) Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warohmah.
  • 5. Arti perkawinan/pernikahan dalam bahasa Arab ada dua kata yaitu “nikah” dan “zawaj”, kedua kata ini banyak terdapat dalam Al Quran dan Hadis Nabi. Kata “nikah” berasal dari kata “na- ka-ha” yang berarti kawin seperti yang terdapat pada QS. An Nisa’ ayat (3) “wain khiftum allaa tuqsithuu fil yataamaa fankhihuu….” (dan jika kamu takut tidak akan adil terhadap anak yatim,maka kawinilah…..)
  • 6. Kata “zawaj” berasal dari kata “za-wa-ja” terdapat pada QS.Al-Ahzab ayat 27 yang berbunyi “falammaa qadhoo minhaa watharon zawajnaakahaa…”(maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan (menceraikan) istrinya, maka kami kawinkan kamu….) Menurut imam Syafi’i dan imam Hanafi, kata nikah itu berarti “akad” makna hakikinya adalah untuk hubungan kelamin.
  • 7. 2. Hukum Perkawinan Hukumnya perkawinan/nikah: Pertama mubah Kedua makruh Ketiga sunnah Keempat wajib Kelima haram
  • 8. Penjelasan hukum perkawinan: Mubah; diperuntukkan orang-orang yg pada dasarnya belum ada dorongan untuk kawin dan perkawinan itu tdk mendatangkan kemaslahatan Makruh; diperuntukkan bagi orang pada dasarnya mampu melakukan perkawinan namun ia merasa berbuat curang dlm perkawinannya Sunnah; diperuntukkan bagi orang yg telah berkeinginan utk kawin dan dia telah mempunyai perlengkapan utk melangsungkan perkawinan
  • 9. Wajib; diperuntukkan bagi orang-orang yg telah pantas utk kawin, berkeinginan utk kawin dan memiliki perlengkapan utk kawin, ia takut akan terjerumus berbuat zina kalau ia tidak kawin Haram; diperuntukkan bagi orang-orang yg tdk akan dapat memenuhi ketentuan syara’ untuk melakukan perkawinan atau ia yakin perkawinan itu tdk akan mencapai tujuan syara’ dan meyakini perkawinan itu akan merusak kehidupan pasangannya.
  • 10. 3. Persiapan Perkawinan a. Memilih jodoh Dalam pandangan islam perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata semata, bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan peristiwa agama, oleh karena perkawinan dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah Nabi. Di samping itu perkawinan juga bukan untuk mendaptkan ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk selama hidup. Oleh karena itu, seseorang mesti menentukan pilihan pasangan hidupnya itu secara hati-hati dan dilihat dar berbagai segi
  • 11. Ada beberapa motifasi yang mendorong seorang laki-laki memilih seorang perempuan atau sebaliknya untuk pasangan hidupnya hendaknya sesuai hadis rasulullah yang berbunyi “tunkhahul mar’ati li arbain; limalihaa, wa likhisaabihaa, wa lijamaalihaa, wa lidinihaa…”(perempuan yang kamu nikahi itu ada empat mutivasi; karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya….)
  • 12. b. Meminang (khitbah) dalam bahasa Arab yang artinya menyampaikan kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Lafal khitbah merupakan bahasa arab standar yg terpakai dalam pergaulan sehari-hari. QS. Al- Baqaroh ayat 235 “walaa junaaha ‘alaikum fiimaa ‘arradhtum bihii min khithbatin nisaa” (tidak ada halangannya bagimu menggunakan kata sindiran dalam meminang perempuan)
  • 13. Dalam hadis Rosulullah yg berbunyi: idha khotoba ahadukum mar’ata fainistato’a in yandhura minha maa yad’uu ilan nikakhihaa falyaf’al (Bila salah seorang diantaramu meminang seorang perempuan, bila ia mampu melihatnya yg mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah). Peminangan itu disyariatkan dalam suatu perkawinan yg waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah. Keadaan itu sudah membudaya ditengah masyarakat dan dilaksanakan sesuai tradisi masyarakat setempat. Diantaranya pihak laki yg mengajukan peminangan pada pihak perempuan, dan adakalanya pihak prempuan yg mengajukan peminangan kepihak laki.
  • 14. 4. Rukun dan Syarat Perkawinan Perbedaan pengertian rukun dengan syarat; rukun adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. ada syarat itu yang berkaitan dengan rukun, ada pula syarat itu berdiri sendiri di luar unsur-unsur rukun.
  • 15. Menurut Imam Syafi’i dan Ps.14 KHI. Rukun perkawinan itu ada 5 yaitu : 1. Calon mempelai laki-laki 2. Calon mempelai perempuan 3. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan 4. Dua orang saksi 5. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul jawaban yang diucapkan/dilakukan oleh pihak calon suami
  • 16. UU perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan, namun UU perkawinan membicarakan syarat- syarat perkawinan. Ps.6 berbunyi : 1. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya 3. Dalam hal salah seorang dari kedua org tua telah meninggal dunia/dalam keadaan tdk mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) ps ini cukup diperoleh dari org tua yg mampu menyatakan kehendaknya. Dst….
  • 17. 5. Perkawinan yang diharamkan Perkawinan yang diharamkan yaitu: a.Nikah mut’ah; secara etimoligi kata mut’ah adalah dari bahasa Arab asal kata ma-ta-’a yg terdapat dalam QS.Ali Imaran 14 “mataa’ul hayatid dun yaa” (kesenangan hidup di dunia), QS. Al Maidah 96 “mata’a llakum walis sayyaaroh” (kesenangan yg lezat bagi kalian dalam perjalanan), dan QS.al Bakarah 236 “mataa’am bil ma’ruuf” (pemberian/hadiah dengan yg baik). Secara tirminologi nikah mut’ah diartikan perkawinan untuk masa tertentu atau waktunya ditentukan, ketika perkawinan waktunya yg ditentukan habis, perkawinan putus dengan sendirinya tanpa melalui proses perceraian.
  • 18. b. Nikah tahlil; secara etimologi berarti menghalalkan sesuatu yg hukumnya adalah haram. Perbuatan yg menyebabkan seseorang yg semula haram melangsungkan perkawinan menjadi boleh atau halal. Atau nikah tahlil adalah perkawian yg dilakukan untuk menghalalkan orang lain yg telah melakukan talak tiga untuk segera kembali kepada istrinya dengan nikah baru. Seperti QS al Bakarah 230 “fain thollaqohaa falaa tahillu lahuu mim ba’du hattaa tangkikha zaujan ghoiroh” (kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yg kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yg lain).
  • 19. c. Nikah syighor; kata syighar berasal dari bahasa Arab yg berarti mengangkat kaki dalam konotasi yg tidak baik, bila dihubungkan dengan kata nikah syighar adalah perkawinan yang mempunyai arti yang tidak baik. Seperti dalam hadis Rasulullah “seorang laki-laki mengawinkan anak permpuannya dengan ketentuan laki-laki lain mengawinkan pula anak perempuannya kepadanya dan tidak ada di antara keduanya mahar”. Perkawinan yg demikian ini dilarang oleh Rasulullah karena ada indikasi yg tidak baik yaitu pertukaran anak perempuan kepada orang lain. (UU perkawinan dan KHI tidak membicarakan tiga bentuk perkawinan tersebut).
  • 20. 6. Larangan Perkawinan/Penghalang Perkawinan Larangan perkawinan ada 2 yaitu; a. Mahram Muabbad, yaitu orang yang haram melakukan pernikahan untuk selamanya, ini ada 3 kelompok; a. disebabkan adanya hubungan kekerabatan; b. karena adanya hubungan perkawininan; c. karena ada hubungan persusuan (rodho’) (Ps.39 KHI dan Ps 8 UU Perkawinan ). b. Mahram Ghairu Muabbad, yaitu larangan kawin yang berlaku untuk sementara waktu disebabkan oleh hal tertentu, bila hal tersebut tidak ada, maka larangan itu tidak berlaku lagi. Contoh; poligami di luar batas, karena talaq tiga,larangan karena ihram, larangan karena beda agama, dll.
  • 21. 7. Kafaah (kesetaraan) dalam perkawinan Kafaah berasal dari bahasa Arab dari kata kafaa berarti sama atau setara kata ini merupakan kata yg terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat dalam al Qur’an dengan arti “sama” contoh QS al Ikhlas:4 “walam yakun lahu kufuan ahad” (tidak suatu pun yg sama dengan-Nya). Kata kufu atau kafaah dalam perkawinan mengandung arti bahwa perempuan harus sama atau setara dengan laki-laki. Sifat kafaah mengandung arti sifat yg terdapat pada perempuan yg dalam perkawinan sifat tersebut diperhitungkan harus ada pada laki-laki mengawininya.
  • 22. Kafaah (sekufu/kesetaraan) dalam perkawinan kalangan jumhur ulama termasuk Malikiyah, Syafi’iyah dan hanafiyah berpendapat bahwa kafaah itu tidak termasuk syarat dalam pernikahan dalam arti orang yang tidak sekufu. Alasannya: “inna akramakum ‘indaallaahi atqokum” artinya; (yang paling mulia di antaramu disisi Allah ialah yang paling bertaqwa di antaramu).
  • 23. 8. Perjanjian dalam Perkawinan Pengertian perjanjian perkawinan dalam hukum fiqih maksudnya adalah “persyaratan dalam perkawinan” dan persyaratan dalam perkawinan ini tidak sama dengan syarat-syarat sahnya suatu perkawinan yang sudah dibicarakan terdahulu. Dalam Bab V UU perekawinan diatur perjanjian perkawinan, begitu juga dalam Ps.45-52 KHI mengatur perjanjian perkawinan.
  • 24. Bab V Perjanjan Perkawinan Ps 29 UU No 1/74 Perkawinan 1. Pada waktu atau sebelum perkw dilangsungkan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yg disahkan oleh pegawai pencatat perkw setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut 2. Perjanjian tsb tidak dapat dipisahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan 3. Perjanjian tsb berlaku sejak perkw dilangsungkan 4. Selama perkw berlangsung perjajian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetjuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
  • 25. 9. Pencegahan Perkawinan Perbedaan pengertian “pencegahan” dengan “pembatalan” perkawinan. Pencegahan perkawinan adalah usaha yang menyebabkan tidak berlangsungnya perkawinan, sedangkan pembatalan perkawinan adalah usaha untuk tidak dilanjutkan hubungan perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu terjadi secara sah.
  • 26. UU Perkawinan mengatur pencegahan perkawinan mulai Ps 13 sampai dengan Ps 21. misal; Ps 13 perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dan yg dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai, dan pihak-pihak yg berkepentingan (Ps 14 (1) UU Perkawinan)
  • 27. KHI juga mengatur panjang lebar pencegahan perkawinan, Ps 60 sampai dengan Ps 69. misal Ps 60 (1) pencegahan perkawinan bertujuan menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang- undangan. (2) pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon istri yang akan melangsungkan perkw tidak memenuhi syarat- syarat untuk melangsungkan perkw menurut hukum Islam dan peraturan perundang- undangan.
  • 28. 10. Walimah al’ursy (Pesta Perkawinan) Pengertian walimah adalah istilah yang terdapat dalam literatur arab yang secara arti kata jamuan yang khusus untuk perkawinan dan tidak digunakan untuk perhelatan di luar perkawinan. Hukum melaksanakan walimah; menurut jumhur ulama hukumnya sunnah, hal ini didasarkan pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Tetapi ada juga yang berpendapat lain yaitu ulama Zhahiriyah mengatakan walimah hukumnya wajib, alasannya hadis tersebut berupa perintah dari Nabi Muhammad.
  • 29. 11. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Rumah Tangga Hak dan kewajiban suami istri dalam kehidupan rumah tangga dapat dilihat dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan beberapa hadis Nabi contoh QS al Baqarah ayat 228 “bagi istri itu ada hak-hak berimbang dengan kewajiban-kewajibannya secara makruf dan bagi suami setingkat lebih dari istri”. Dan hadis Nabi berbunyi “ketahuilah bahwa kamu mempunyai hak yang harus dipikul oleh istrimu dan istrimu juga mempunyai hak yang harus kamu pikul”
  • 30. Adapun kewajiban suami terhadap istrinya dapat dibagi menjadi dua bagian; 1. Kewajiban yang bersifat materi (nafaqoh) 2. Kewajiban yang tidak bersifat materi yaitu; a. menggauli istrinya secara baik dan patut (QS an Nisa’ ayat 19) b. menjaganya dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada suatu perbuatan dosa, maksiat, kesulitan, dan mara bahaya c. suami wajib mewujudkan kehidupan perkawinan yang diharapkan yaitu; sakinah, mawaddah, dan warahmah (QS. Ar Rum ayat 21)
  • 31. PUTUSNYA PERKAWINAN Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yg digunakan dalam UU perkawinan utk menjelaskan perceraian atau berahirnya hubungan perkawinan antara seorang laki- laki dengan perempuan yg selama ini hidup sebagai suami istri. Penggunaan istilah “putusnya perkawinan” ini harus dilakukan secara hati-hati, karena untuk pengertian perkawinan yg putus itu dalam istilah fiqh digunakan kata”ba-in” yaitu satu bentuk perceraian yg suami tidak boleh kembali lagi kepada mantan istrinya kecuali dengan melalui akad nikah yg baru.
  • 32. A. Antisipasi Terhadap Putusnya Perkawinan Allah menjelaskan beberapa usaha yg harus dilakukan menghadapi kemelut dalam keluarga agar perceraian tidak sampai terjadi. Dengan begitu Allah mengantisipasi kemungkinan terjadinya perceraian dan menempatkan perceraian itu sebagai alternatif terakhir yg tidak mungkin dihindarkan. Ada tiga hal yg menunjukkan usaha antisipasi terhadap putusnya perkawinan yaitu: nusyus istri, nusyus suami, dan syiqaq (pertengkaran).
  • 33. 1. Nusyus istri; berasal dari bahasa arab “irtifak” yg berarti meninggi atau terangkat. Kalau dikatakan istri nusyus terhadap suami berarti istri merasa dirinya sudah lebih tinggi kedudukannya dari suaminya, sehingga ia tidak lagi merasa berkewajiban memenuhinya. Atau dapat diartikan nusyus istri “kedurhakaan istri terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yg diwajibkan Allah atasnya”. Allah menetapkan beberapa cara utk menghadapai kemungkinan nusyusnya seorang istri QS An Nisa’ 34. “istri-istri yg kamu khawatirkan akan berlaku nusyus maka berilah pengajaranlah mereka dan berpisahlah dari tempat tidur dan pukullah mereka. Jika mereka sudah mentaatinya janganlah kamu cari-cari jalan atasnya. Sesungguhnya Allah maha tahu lagi maha besar”.
  • 34. 2. Nusyus Suami; mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan kewajibannya terhadap istrinya baik meninggalkan kewjiban yg bersifat materi/nafaqah, meninggalkan kewajiban yg bersifat non materi atau tidak menggauli istrinya dengan baik QS An Nisa’ 128 “jika istri khawatir suaminya akan berlaku nusyus dan berpaling, tidak ada salahnya jika keduanya melakukan perdamaian dalam bentuk perdamaian yg menyelesaikan. Berdamai itu adalah cara yg paling baik. Hawa nafsu manusia tampil dalam bentuk pelit. Bila kamu berbuat baik dan bertaqwa maka sesunggunya Allah maha tahu apa yg kamu perbuat”.
  • 35. 3. syiqoq; mengadung arti pertengkaran, kata ini biasanya dihbungkan kepada suami istri sehingga berarti pertengkaran yg terjdi antara suami istri yg tidak dapat diselesaikan sendiri oleh keduannya. Syiqoq ini timbul bila suami atau istri keduannya tidak melaksanakan kewajiban yg mesti dipikulnya. Bila terjadi konflik keluarga seperti ini Allah memberi petunjuk untuk menyelesaikannya QS An nisa’ ayat 35 yg berbunyi “jika kamu khawatir akan terjadi pertengkaran di antara suami istri maka utuslah seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri. Bila keduanya menghendaki perdamaian, maka Allah akan memberi taufik di antara keduanya. Sesungguhnya Allah mengetahui lagi maha memperhatikan”.
  • 36. B. Bentuk-bentuk putusnya perkawnan Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami istri. Ada 4 bentuk putusnya perkawinan yaitu: 1. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah seorang suami istri. 2. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami dengan alasan tertentu. Putusnya perkawinan ini disebut “talak”. 3. Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri melihat sesuatu yg menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak berkehendak untuk itu. Ini disebut “khulu”. 4. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan/atau pada istri yg menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya perkawinan ini disbut “fasakh”.
  • 37. Ps. 38 UU No 1/74 perkawinan dapat putus: 1. Karena kematian 2. Karena perceraian 3. Karena atas keputusan Pengadilan Ps 38 UU No 1/74 ini ditegaskan lagi dengan bunyi yg sama dalam Ps 113 KHI. Kemudian diuraikan dalam Ps 114 KHI yg berbunyi: Putusnya perkawinan yg disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
  • 38. Ps 39 ayat (2) UU No 1/74 perceraian dapat terjadi karena beberapa alasan sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dll yg sukar disembuhkan b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut- turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yg sah c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman berat yg membahayakan pihak yg lain d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yg membahayakan pihak yg lain e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
  • 39. Ps 39 ayat (2) UU No 1/74 ttg Perkawinan ini diulang dan ditambah dalam Ps 116 KHI yg berbunyi: nomor a, b, c, d, e, dan f sama. Kemudian tambahannya dalam KHI berbunyi: a. Suami melanggar taklik thalaq b. Peralihan agama atau murtat yg menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga Ps 40 UU No 1/74 cara melakukan perceraian dirumuskan a. Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan b. Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
  • 40. AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri dalam segala bentuknya, maka hukum yg belaku sesudahnya adalah “iddah” dan “hadhanah”. A. Iddah 1. Pengertian Iddah adalah bahasa Arab yg berasal dari kata “adda, ya’uddu, iddatan” dan jamaknya adalah “idad” yg secara etimologi berarti “menghitung atau hitungan”. Kata ini digunakan untuk maksud iddah karena dalam masa itu si perempuan yg beriddah menunggu berlalunya waktu.
  • 41. Dalam hukum fiqh ditemukan definisi iddah itu yg pendek dan sederhana di antaranya adalah masa tunggu yg dilalui oleh seseorang perempuan. Karena sederhananya definisi ini ia masih memerlukan penjelasan terutama mengenai apa yg ditunggunya, kenapa dia menunggu, dan untuk apa dia menunggu?. Untuk menjawab pertanyaan untuk apa dia menunggu, ditemukan jawabannya “masa yg harus ditunggu oleh seorang perempuan yg telah bercerai dari suaminya supaya dapat kawin lagi untuk mengetahui bersih rahimnya atau untuk melaksanakan perintah Allah”
  • 42. 2. Dasar hukumnya UU No 1/74 mengatur ttg iddah dengan menggunakan nama “waktu tunggu” dalam pasal 11 yg berbunyi; (1) Bagi wanita yg putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu (2) Tentang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam PP lebih lanjut. Dalam PP No 9/75 penjelasan ttg waktu tunggu tersebut diatur dalam Pasal 39, dan ini hampir sama dengan yg dimuat dalam KHI Pasal 153.
  • 43. Pasal 39 PP No 9/75 dan Pasal 153 KHI kurang lebih berbunyi; (1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dlm ps 11 (2) UU perkawinan adalah a. Apabila perkw putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari b. Apabila perkw putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yg masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang- kurangnya 90 hari c. Apabila perkw putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. (2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda putus perkw karena perceraian, sedangkan antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin. (3) Bagi perkw yg putus krn perceraian,tenggang waktu tunggu dihitung sejak putusan pengadilan yg mempunyai kekuatan hk tetap.
  • 44. B. Hadhanah 1. Pengertian Dalam istilah fiqh ada dua kata yaitu kafalah dan hadhanah yg berarti pemeliharaan atau pengasuhan. Dalam arti yg lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yg masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fiqh karena secara praktis antara suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah dan/ibunya. 2. Hukum dan Dasar Hukumnya Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan.
  • 45. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri sebagaimana firman Allah pada QS Al Baqarah 233 “wa’alal mauluudi lahu rizquhunna bilma’ruuf” artinya adalah kewajiban ayah memberi nafkah dan pakaian untuk anak dan istrinya. Kewajiban membiayai anak yg masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terkait dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.
  • 46. UU perkawinan tidak secara khusus membicarakan pemeliharaan anak sebagai akibat putusnya perkawinan, apalagi dengan menggunakan nama hadhanah. Namun UU perkawinan secara umum mengatur hak dan kewajibaan orang tua terhadap anaknya secara umum terdapat pada Ps 45-49 UU No.1/74. Ps 45 ayat (1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya. (2) Kewajiban orang tua yg dimaksud dalam ayat (1) berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan keduanya orang tua putus. Hadhanah sebagai salah satu akibat putusnya perkawinan juga diatur dalam KHI secara panjang lebar.
  • 47. RUJUK A. Pengertian Rujuk Rujuk atau dalam istilah hukum disebut raj’ah secara arti kata berarti kembali. Orang yg rujuk kepada istrinya berarti kembali kepada istrinya. Sedangkan definisinya dalam pengerian fiqh kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai yg bukan “bain” selama dalam masa iddah. Rujuk yg berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Indonesia yg artinya; kembalinya suami kepada istrinya yg ditalak, yaitu talak satu atau talak dua, ketika istri masih dimasa iddah.
  • 48. B. Hukum dan Dasar Hukumnya Rujuk itu adalah membangun kembali kehidupan perkawinan yg terhenti atau memasuki kembali kehidupan perkawinan. Kalau membangun kehidupan perkawinan pertama kali disebut perkawinan, maka melanjutkannya disebut rujuk. Hukum rujuk dengan demikian sama dengan hukum perkawinan dalam mendudukkan hukum asal dari rujuk itu ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan rujuk itu adalah sunat dalilnya QS Al Bakarah 229 berbunyi “athallaaqu marrataani faimsaaqu bima’ruufin autasrikhum bi ikhsaan” (talak itu ada dua kali sesudah itu tahanlah dengan baik, atau lepaskannlah dengan baik)
  • 49. UU perkawinan secara spesifik didak mengatur rujuk. Tetapi dalam KHI mengatur rujuk dan cara pelaksanaannya secara lengkap Ps 163 KHI berbunyi: (1) seorang suami dapat merjuk istrinya yg dalam masa iddah, (2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal; a. putusnya perkawinan karena talak, kecuali yg telah jatuh tiga kali atau talak yg dijatuhkan qabla al duhul, b. putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan zina dan khulu’.
  • 50. Ps. 164 KHI berbunyi Seorang wanita dalam iddah talak raj’I berhak mengajkan keberatan ats kehendak rujuk dari bekas suaminya di hadapan Pegawai Pencatatan Nikah disaksikan dua orang saksi Ps. 165 KHI berbunyi Rujuk yg dilakukan tanpa persetujuan bekas istri dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama Ps. 166 KHI berbunyi Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikasinya kepada instansi yg mengeluarkannya.
  • 51. Ujian Tengah Semester (UTS) Mata Kuliah: Hukum Perkawinan dan Kewarisan Islam 1. Jelaskan pengertian perkawinan menurut UU No 1/74 ttg Perkawinan dan pengertian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam ! 2. Sebutkan syarat dan rukun perkawinan yg terdapat pada Kompilasi Hukum Islam, dan mengapa mahar (maskawin) tidak termasuk syarat dan rukun perkawinan. Jelaskan ! 3. Apa yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan, diatur pasal berapa UU Perkawinan. Tunjukkan ! 4. Mengapa nikah mut’ah (perkawinan kontrak) diharamkan atau dilarang menurut UU perkawinan. Jelaskan!.
  • 52. HUKUM KEWARISAN ISLAM A. Pengertian, Sumber, dan Asas Hukum Kewarisan Islam 1. Pengertian Dalam beberapa literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menemukan hukum kewarisan Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraidh, dan hukum kewarisan Islam. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan arah yg dijadikan titik dalam pembahasan.
  • 53. Fiqh mawaris adalah kata yg berasal dari bahasa Arab “fiqh” dan “mawaris”. Untuk mengetahui maksud dan pembahasannya lebih lanjut, sebaiknya terlebih dahulu kita mengetahui ttg pengertian fiqh mawaris itu. Fiqh menurut bahasa berati mengetahui, memahami, yakni mengetahui sesuatu atau memahami sesuatu sebagai hasil usaha mempergunakan pikiran yg sungguh-sungguh. Prof M. Daud Ali berpendapat bahwa fiqh adalah memahami dan mengetahui wahyu (Al qur’an dan Al hadis) dengan menggunakan penalaran akal dan metoda tertentu, sehingga diketahui ketentuan hukumnya dengan dalil secara rinci, QS At Taubah 122 yg berbunyi “falaulaa nafara min kulli firqatin minhum thoifatal liyatafaqqohuu fiddiin” (mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama).
  • 54. Mawaris diambil dari bahasa Arab. Mawaris jamak dari “miiraasu” yg berarti harta peninggalan yg diwarisi oleh ahli warisnya. Jadi fiqh mawaris adalah suatu disiplin ilmu yg membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yg berhak menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian masing-masing. Prof. T.M Hasby As Shiddiqi. fiqh mawaris adalah ilmu yg dengan dia dapat diketahui orang-orang yg mewaris, orang-orang yg tidak dapat mewaris, kadar yg diterima oleh masing-masing ahli waris serta cara pengambilannya.
  • 55. Ilmu Faraidh/Al Faraidh adalah “ilmun yu’rafu bihii kaifiyati qismati tirkati ‘alaa mustahiqqihaa” ( ilmu untuk mengetahui cara membagi harta peninggalan seseorang yg telah meninggal dunia kepada yg berhak menerimanya). Sebagian ulama mengartikan Al faraidh sebagai jamak dari kata fariidhah yg diambil dari kata fardhu/mafrudhah bagian yg telah ditentukan atau bagian yg pasti. QS An Nisa’ (7) “li rijali nasibubum mimaa tarakal waalidaani wal aqrabun, walin nisaai nasibun mimaa tarakal walidaani wal aqrabuun, mimmaa qalla minhu aukasur nasiiban mafrudhaa” (bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yg telah ditetapkan).
  • 56. Hukum Kewarisan. Ini istilah yg terdapat pada literatur hukum di Indonesia dan istilah lainnya waris, warisan, pusaka, serta hukum kewarisan itu sendiri. Yg menggunakan nama hukum waris, mengandung arti orang yg berhak menerima harta warisan. Yg menggunakan nama warisan mengandung arti harta warisan yg menjadi obyek dari hukum ini. Di dalam istilah hukum yg baku digunakan kata kewarisan, dengan mengambil kata waris dengan dibubuhi awalan ke dan akhiran an. Kata waris itu sendiri dapat berarti orang, pewaris sebagai sabyek dan dapat berarti pula proses.
  • 57. Karena ada beberapa istilah sebagaimana yg disebutkan di atas, maka pembahasan selanjutnya akan memakai istilah Hukum Kewarisan Islam, karena istilah tersebut lebih bisa diterima dan dipahami oleh para pembaca dalam mempelajari hukum-hukum yg berkaitan dengan pembagian harta waris.
  • 58. B. Sumber Hukum Kewarisan Islam Dasar dan sumber utama dari hukum Islam sebagai hukum agama Islam adalah Al qur’an, Al Hadis/As Sunnah, dan Ijtihad. 1. Al qur’an. QS An nisa’ (7), (8), (9), (10), (11), (12), (13), (14), dan (176). QS Al Baqarah (180), (181), (182), (233), (240), dan (241). QS Al Ahzab (4), (5), dan (6). QS Al Anfal (75). Misal QS An Nisa’ (7) “lir rijaali nasibubum mimmaa tarakal waalidaani wal aqrabuun, walin nisaai nasiibun mimmaa tarakal walidaani wal aqrabuun, mimmaa qalla minhu aukasur nasiiban mafrudhaa”.
  • 59. QS An Nisa’ (8)“Wa idzaa hadhorol qismata ulul qurbaa wal yataamaa wal masaakiinu farzuquuhum min hu waquuluu lahum qoulam ma’ruufaa” Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim, dan orang- orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yg baik. QS An Nisa’ (9)“Walyakhsyalladziina lau tarakuu min kholfihim dzurriyyatan dhi’aafan khoofuu’alahim falyattaqullaha walyaquuluu qoulan syadiidaa” Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yg sekiranya mereka hawatir terhadap (kesejahteraanya). Oleh sebabitu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yg benar.
  • 60. QS An Nisa’ (10) “innalladziina ya’kuluuna amwaalal yataamaa zhulman innamaa ya’kuluuna filbuthuunihim naaroo, wa sayaslauna sa’iiroo”. Sesungghnya orang- orang yg memakan harta anak yatim secara dzolim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam apai yg menyala-nyala (neraka)
  • 61. QS An Nisa’ (11) artinya: Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak- anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yg jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yg ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yg ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yg ditnggalkan, jika dia (yg meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yg meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yg meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka
  • 62. 2. Al Hadis. Hadis Nabi Muhammad yg secara langsung mengatur tentan kewarisan adalah sebagai berikut; a. Hadis Nabi dari Jabir ra yg diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud. “dari Jabir Ibnu Abdullah berkata: Janda Sa’ad datang kepada Rasulullah bersama dua orang anak perempuan. Lalu ia berkata: Yaa Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Sa’ad yg telah gugur secara syahid bersamamu di perang Uhud, paman mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa pada mereka. Keduanya tidak bisa kawin kalau tidak mempunyai harta”. Nabi berkata: Allah akan menetapkan hukum dalam kejadian ini. Kemudian turun ayat-ayat tentang kewarisan. Kemudian Nabi memanggil si paman dan Nabi berkata; berikanlah 2/3 untuk anak perempuan Sa’ad, 1/8 untuk istri Sa’ad, dan selebihnya ambil untukmu.
  • 63. b. Hadis Nabi dari Abdullah ibnu Abbas yg diriwayatkan oleh Imam Bukhari. “berikanlah faraidh (bagian yg ditentukan) itu kepada yg berhak dan selebihnya berikanlah kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yg terdekat”. c. Hadis Nabi dari Usamah bin zaid menurut riwayat Timidzi; Dari Usamah bin zaid bahwa Nabi bersabda: “Seorang muslim tidak mewarisi harta orang non muslim dan orang non muslimpun tidak dapat mewarisi harta orang muslim”.
  • 64. C. Asas Hukum Kewarisan Islam Hukum kewarisan Islam (faraidh) adalah salah satu bagian dari keseluruhan hukum Islam yg mengatur peralihan harta dari orang yg telah meninggal dunia kepada orang (keluarga) yg masih hidup. Hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas yg memperlihatkan bentuk karasteristik dari hukum kewarisan Islam itu sendiri antara lain; 1. asas ijbari, 2. asas bilateral, 3. asas individual, 4. asas keadilan berimbang, dan 5. asas semata akibat kematian.
  • 65. 1. Asas Ijbari; Asas ijbari yg terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta seseorang yg meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Kata ijbari sendiri secara leksikal mengandung arti paksaan (compulsory) dijalankannya asas ini dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta tersebut terjadi dengan sendirinya menurut ketentuan Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris ataupun permintaan dari ahli warisnya, sehingga tidak ada satu kekuasaan manusiapun dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan orang yg berhak
  • 66. 2. Asas Bilateral; asas bilateral dalam hukum Islam mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada ahli warisnya melalui dua arah (dua belah pihak). Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan. Pada prinsipnya asas ini menegaskan bahwa jenis kelamin bukan merupakan penghalang untuk mewarisi atau diwarisi. Asas bilateral ini secara nyata dapat dilihat dalam fiman Allah QS An Nisa’ ayat 7, 11, 12, dan 176
  • 67. 3. Asas Individual; hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dalam arti harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya masing-masing ahli waris menerima bagiannya tersendiri tanpa terikat dengan ahli waris yg lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yg kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yg berhak menerimanya menurut kadar bagian masing- masing. Sifat individual dalam kewarisan ini dapat dilihat dari aturan-aturan Al qur’an yg berkaitan dengan pembagian harta warisan itu sendiri. Hal ini sesuai dengan firman Allah QS An Nisa’ ayat 7.
  • 68. 4. Asas Keadilan Berimbang; kata adil merupakan kata bahasa Indonesia yg berasal dari kata al-’adlu. Hubungannya dengan masalah kewarisan, kata tersebut dapat diartikan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta kesimbangan antara yg diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya. Sebagaimana laki-laki, perempuan pun mendapatkan hak yg sama kuat untuk mendapatkan warisan. Hal ini secara jelas disebutkan dalam QS An Nisa’ ayat 7 yg menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hal mendapatkan warisan. Dan pada QS An Nisa’ ayat 11,12,176 secara rinci diterangkan kesamaan kekuatan hak menerima antara anak laki dan anak perempuan, ayah dan ibu (ayat 11), suami istri (ayat 12) saudara laki dan saudara perempuan (ayat 12 dan 176)
  • 69. 5. Asas Semata Akibat Kematian; Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan menggunkan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yg mempunyai harta meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (keluarga) dengan nama waris selama yg mempunyai harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yg masih hidup secara langsung maupun terlaksana setelah ia mati, tidak termasuk ke dalam istilah kewarisan menurut hukum Islam. Pada asas tersebut menggambarkan bahwa hukum kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu kewarisan sebagai akibat dari adanya kematian dan tidak mengenal kewarisan sebagai akibat dari adanya kematian.
  • 70. PENGGOLONGAN AHLI WARIS Ahli waris dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian yakni; 1. Ashabul furudh atau Dzawil furudh, 2. Ashabah, dan 3. Dzawil arham. 1. Ashabul furudh/dzawil furudh; adalah orang yg mempunyai bagian harta peninggalan yg sudah ditentukan oleh Al qur’an, As sunnah dan Ijtihad. Adapun bagian yg sudah ditentukan adalah: 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6. Orang-orang yg dapat mewarisi harta peninggalan dari yg sudah meninggal dunia berjumlah 25 orang yg terdiri atas 15 orang pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan.
  • 71. Ahli waris dari pihak laki-laki adalah sebagai berikut; 1. Anak laki-laki, 2. cucu laki dari anak laki-laki, 3. ayah, 4. kakek (ayah dari ayah), 5. saudara laki-laki sekandung, 6. saudara laki-laki seayah, 7. saudara laki-laki seibu, 8. keponakan laki (anak laki dr no 5), 9. keponakan laki (anak laki dr no 6), 10. sdr seayah (paman)yg seibu seayah, 11. sdr seayah (paman) yg seayah, 12. anak paman yg seibu seayah, 13. anak paman yg seayah, 14. suami, 15. orang laki yg memerdekakannya. Apabila ahli waris di atas ada semuanya maka hanya 3 ahli waris yg mendapatkan warisan yaitu; 1. suami, 2. ayah, dan 3. anak
  • 72. Adapun ahli waris dari pihak perempuan ada 10 (sepuluh) orang yaitu sebagai berikut: 1. Anak perempuan, 2. cucu perempuan dari anak laki- laki, 3. ibu, 4. nenek perempuan (ibunya ibu), 5. Nenek perempuan (ibunya ayah), 6. saudara perempuan yg seibu seayah, 7. saudara perempuan yg seayah, 8. saudara perempuan yg seibu, 9. istri, 10. orang perempuan yg memerdekakannya. Apabila ahli waris di atas ada semuanya, maka yg mendapatkan harta waris hanya 5 orang yaitu: 1. anak perempuan, 2. cucu perempuan dari anak laki-laki, 3. ibu, 4. saudara perempuan seayah dan seibu, 5. istri.
  • 73. Andaikata ahli waris yg jumlahnya 25 orang itu ada semuanya, maka yg berhak mendapatkan harta warisan adalah sebagai berikut: 1. Ayah 2. Ibu 3. Anak laki-laki 4. Anak perempuan 5. Suami/istri.
  • 74. 2. Ashabah; Kata ashabah secara etimologi adalah pembela, penolong, pelindung, atau kerabat dari jurusan ayah. Menurut istilah faradhiyun adalah ahli waris yg dalam penerimaannya tidak ada ketentuan bagian yg pasti, bisa menerima seluruhnya atau menerima sisa atau tidak mendapat sama sekali. Degan kata lain ahli waris ashabah adalah ahli waris yg bagiannya tidak ditetapkan, tetapi bisa mendapatkan semua atau sisa harta setelah dibagi kepada ahli waris. Ahli waris ashabah akan mendapatkan bagian harta peninggalan, tetapi tidak ada ketentuan bagian yg pasti.
  • 75. 3. Dzawil Arham: dzawil arham adalah setiap kerabat yg bukan dzawil furudh dan bukan pula ashabah. Atau dzawil arham, ahli waris yg tidak termasuk ashabul furudh dan tidak pula ashabah. Mereka dianggap kerabat yg jauh pertalian nasabahnya. Di dalam Al qur’an tidak ada keterangan yg tegas tentang kedudukan dzawil arham sebagai ahli waris. Oleh karena itu, ada sebagian fuqaha yg tidak menjadikan dzawil arhan sebagai ahli waris, meskipun dalam keadaan tidak ada orang lain yg akan mewarisi harta peninggalan si mayit. Sebagian ulama yg lain menyatakan bahwa dzawil furud juga ahli waris yg berhak menerima bagian harta warisan sekalipun ada dzawil furud atau ashabah.
  • 76. SEBAB-SEBAB MEWARISI DAN HALANGAN WARIS MEWARIS A. Sebab Timbulnya Kewarisan Dalam Islam Menurut Sayid Sabiq seseorang dapat mewarisi harta peninggalan karena ada 3 (tiga) hal yaitu: 1. karena hubungan kerabat/nasab, 2. karena perkawinan, dan 3. karena wala’(pemerdekaan budak). Adapun pada literatur hukum Islam lainnya disebutkan ada 4 (empat) sebab hubungan seseorang dapat menerima harta warisan dari seseorang yg telah meninggal dunia yaitu: 1. perkawinan, 2. kekerabatan/nasab, 3. wala’ (pemerdekaan budak), 4. hubungan sesama Islam.
  • 77. 1. Hubungan Kekerabatan/Nasab. Salah satu sebab beralihnya harta seorang yg telah meninggal dunia kepada yg masih hidup adalah adanya hubungan silaturahim atau kekerabatan antara keduanya. Yaitu hubungan nasab yg disebabkan oleh kelahiran. Ditinjau dari garis yg menghubungkan nasab antara yg mewariskan dengan yg mewarisi dapat digolongkan dalam tiga golonngan yaitu: a. furu’ (anak turun dari si mati), b. Usul (leluhur yg menyebabkan adanya si mati), c. hawasyi (keluarga yg dihubungkan dengan si meninggal dunia melalui garis menyamping).
  • 78. 2. Hubungan Perkawinan. Di samping hak kewarisan berlaku atas dasar hubungan kekerabatan, juga berlaku atas dasar hubungan perkawinan (persemendaan) dengan artian suami menjadi ahli waris bagi istrinya yg meninggal dan istri menjadi ahli waris bagi suaminya yg meninggal. Perkawinan yg menjadi sebab timbulnya hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan pada dua syarat yaitu: a. perkawinan itu sah menurut syariat Islam, b. perkawinan masih utuh.
  • 79. 3. Hubungan Karena Al Wala’. Hubungan karena wala’ adalah hubungan waris mewaris karena kekarabatan menurut hukum yg timbul karena membebaskan budak, sekalipun di antara mereka tidak ada hubungan darah. Sekarang ini hubungan wala’ hanya terdapat dalam tataran wacana saja. Hubungan wala’ terjadi disebabkan oleh usaha seseorang pemilik budak yg dengan sukarela memerdekakan budaknya. Dengan demikian pemilik budak tersebut mengubah status orang yg semula tidak cakap bertindak menjadi cakap bertindak untuk mengurusi memiliki dan mengadakan transaksi terhadap harta bendanya sendiri. Di samping itu cakap melakukan tindakan hukum sebagai imbalan atas kenikmatan yg telah dihadiahkan kepada budaknya sebagai perangsang agar orang- orang pada waktu itu memerdekakan budak.
  • 80. 4. Hubungan Sesama Islam; hubungan Islam yg dimaksud di sini terjadi apabila seseorang yg meninggal dunia tidak memiliki ahli waris, maka harta warisnya itu diserahkan kepada perbendaraan umum atau yg disebut “Baitul Maal” yg akan digunakan oleh umat Islam. Dengan demikian harta orang Islam yg tidak mempunyai ahli waris itu diwarisi oleh umat Islam.
  • 81. B. Halangan Mewarisi/Hilangnya Hak Waris Mewaris Halangan mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yg dapat menggugurkan hak sesorang untuk mewarisi karena adanya sebab atau syarat mewarisi. Namun karena sesuatu maka mereka tidak dapat menerima hak waris. Hal-hal yg menyebabkan ahli waris kehilangan hak mewaris atau terhalang mewarisi adalah sebagai berikut: (1) karena perbudakan, (2) karena pembunuhan, (3) karena berlainan agama, dan (4) karena berlainan negara.
  • 82. FURUDHUL MUQADDARAH/PEMBAGIAN YANG DITENTUKAN Macam-Macam Furudhul Muqaddarah Syariat Islam menetapkan jumlah furudhul muqaddarah (bagian-bagian yg sudah ditentukan) ada 6 (enam) macam yaitu sebagai berikut: a. Dua pertiga (2/3) d. Seperdua (1/2) b. Sepertiga (1/3) e. Seperempat (1/4) c. Seperenam (1/6) f. Seperdelapan (1/8)
  • 83. 1. Ahli waris yg menerima pembagian 2/3 (dua pertiga) adalah; (a) anak perempuan bila ia lebih dari dua orang, (b) saudara perempuan kandung atau seayah bila ia dua orang atau lebih, jika si mayit (pewaris) tidak meninggalkan anak. 2. Ahli waris yg menerima pembagian 1/3 (satu pertiga) adalah; (a) ibu, bila ia mewaris bersama ayah dan pewris tidak meninggalkan anak atau saudara, (b) saudara seibu laki-laki atau perempuan, bila terdapat lebih dari seorang.
  • 84. 3. Ahli waris yg menerima pembagian 1/6 (satu perenam) adalah; (a) ayah, bila pewaris meninggalkan anak, (b) kakek, bila pewaris tidak meninggakan ayah, (c) ibu, bila pewaris meninggalkan anak, (d) ibu, bila pewaris meninggalkan beberapa orang saudara, (e) nenek, bila pewaris tidak ada meninggalkan ibu, (f) seorang saudara seibu laki-laki atau perempuan. 4. Ahli waris yg menerima pembagian 1/8 (satu perdelapan) adalah; (a) istri, bila pewaris meninggalkan anak.
  • 85. 5. Ahli waris yg menerima pembagian 1/2 (satu perdua) adalah; (a) Anak perempuan bila ia hanya seorang diri saja, (b) saudara perempuan bila (sekandung atau seayah) ia hanya seorang saja, (c) suami, bila pewaris tidak ada meninggalkan anak. 6. Ahli waris yg menerima pembagian 1/4 (satu perempat) adalah; (a) suami, bila pewaris (istri) meninggalkan anak, (b) istri, bila pewaris (suami) tidak meninggalkan anak.
  • 86. CARA PERHITUNGAN PEMBAGIAN HARTA WARIS A. Isbatul Furudh Sebelum perhitungan waris dimualai harus diperhitungkan isbatul furudhnya (ketentuan bagian masing-masing ahli waris) yaitu sebagai berikut; 1. Menentukan siapa-siapa yg berhak menerima ahli waris yg ada. Untuk itu harus dilihat siapa saja yg tidak tertutup/terhalang, 2. Menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris dan siapa-siapa yg akan menjadi ashabah
  • 87. Contoh; Kalau ada seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa ahli waris misalnya; 1. bapak, 2. ibu, 3. suami, 4. kakek, 5. paman, 6. keponakan, 7. anak laki-laki, 8. anak perempuan, 9. saudara kandung, 10. saudara seibu. Sebelum ditetapkan bagian harta warisan masing- masing terlebih dahulu harus diperiksa di antara mereka; a. siapa yg menjadi mahjub/terhalang, b. siapa yg menjadi ashabah/sisa harta.
  • 88. Lanjutan; Dengan demikian ahli warisnya; 1. bapak tidak mahjub, 2. ibu tidak mahjub, 3. suami tidak mahjub, 4. paman mahjub oleh anak laki-laki dan bapak, 5. kakek mahjub oleh bapak, 6. keponakan mahjub oleh anak laki, bapak, kakek dan paman, 7. anak laki-laki menjadi ashabah, 8. anak perempuan menjadi ashabah, 9. saudara sekandung mahjub oleh anak laki-laki dan bapak, 10. saudara seibu mahjub oleh anak laki-laki dan bapak serta anak perempuan
  • 89. Lanjutan; Dengan demikian ahli warisnya: 1. bapak, 2. ibu, 3. anak laki-laki, 4. anak perempuan, 5. suami. Kemudian diperiksa lagi berapa bagian masing-masing sebagai berikut; 1. Bapak dapat 1/6 bagian karena ada anak, 2. Ibu dapat 1/6 bagian karena ada anak, 3. Suami dapat 1/4 bagian karena ada anak, 4. Anak laki-laki dapat ashabah dua bagian dari anak perempuan, 5. Anak perempuan dapat ashabah satu bagian
  • 90. B. Asal Masalah dan Cara menghitungnya Untuk menghitung dan menetapkan penerimaan ahli waris dapat ditempuh dengan cara sistem asal masalah setelah diketahui bagian masing-masing ahli waris. Asal masalah adalah kelipatan persekutuan bilangan yg terkecil yg dapat dibagi oleh stiap penyebut bagian para ahli waris. Misal 1/2, 1/3, dan 1/6 maka asal masalahnya adalah 6 karena 6 ini merupakan angka yg terkecil yg dapat dibagi oleh masing-masing 2, 3, dan 6.
  • 91. Dan apabila fardh-fardh para ashabul furdh yg akan mewarisi terdiri atas 1/8, 1/3, dan 1/6 maka asal masalahnya adalah 24, karena 24 ini adalah angka terkecil yg dapat dibagi oleh masing-masing penyebut 8, 3, dan 6. walaupun angka 48 juga dapat dibagi oleh masing-masing penyebut tersebut, namun bukan angka terkecil yg dapat dibagi oleh masing-masing penyebut tersebut.
  • 92. Jikalau ahli warisnya lebih dari tiga atau empat orang ahli waris, maka perhitungannya; Misalnya bagian masing-masing ahli waris adalah A.1/8, B.1/2 , C.1/6, dan D.1/3. dengan demikian bagian msing- masing adalah sebagai berikut: Yang A.1/8 menjadi 1/8 x 24=3/24 Yang B.1/2 menjadi 1/2 x 24=12/24 Yang C.1/6 menjadi 1/6 x 24= 4/24 Yang D.1/3 menjadi 1/3 x 24= 8/24 Jadi asal masalahnya angka 24, angka yg terkecil yg bisa dibagi dengan angka 8, 2, 6, dan 3.
  • 93. AUL/KEKURANGAN HARTA WARISAN 1. Pengertian Aul Aul menurut bahasa (etimologi) berarti irtifa’; mengangkat dikatakan alal mizaan bila timbangan itu naik, terangkat. Kata aul ini terkadang berarti cenderung kepada perbuatan aniaya (curang). Arti ini ditunjukkan di dalam QS An Nisa’ ayat 3 “dzalika adnaa allaa tauluu” artinya (yg demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya).
  • 94. Secara terminologi Aul adalah bertambahnya saham dzawil furudh dan berkurangnya kadar penerimaan warisan mereka. Atau bertambahnya jumlah bagian yg ditentukan dan berkurangnya bagian masing-masing ahli waris. Dalam sejarah dijelaskan bahwa orang yg pertama kali melakukan Aul adalah Umar bin Khattab. Ketika itu ilmu faraidh sedang berkembang dan setiap orang saling mempertahankan pendapatnya masing-masing. pada masa Rasulullah dan khalifah Abu Bakar as Shiddiq peristiwa aul belum pernah terjadi. Aul pertama kali terjadi pada masa kehkalifahan Umar bin Khattab.
  • 95. Pada suatu ketika Umar bin Khattab, didatangi oleh seorang sahabat yg menanyakan tentang masalah kematian seseorang, dimana ada seorang wanita meninggal dengan meninggalkan seorang suami dan dua orang saudara perempuan kandung. Menurut ketentuan yg berlaku seorang suami mendapat bagian 1/2 (seperdua) dan dua orang saudara sekandung mendapat 2/3 (dua pertiga). dengan demikian, jumlah bagian masing-masing melebihi harta peninggalan.
  • 96. 2. Cara Pemecahan Masalah Aul Cara pemecahan masalah Aul adalah dengan mengetahui pokok, yakni yg menimbulkan masalah dan mengetahui saham setiap ashabul furudh kemudian dengan mengabaikan pokoknya. Kemuian bagian-bagian mereka dikumpulkan dan dijadikan sebagai pokok, lalu haarta warisan dibagi atas dasar itu. Dengan demikian akan terjadi kekurangan bagi setiap orang sesuai dengan sahamnya dalam masalah ini tidak ada kezaliman dan kecurangan.
  • 97. Contoh: seorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri atas suami, dua orang saudara perempuan sekandung. Harta yg ditinggalkan setelah dipotong untuk biaya pemakaman dan keperluan yg lain masih sisa 42 juta. Maka proses penyelesaiaannya sebagai berikut; suami 1/2, dua orang saudara perempuan kandung 2/3. Asal masalah angka 6. suami mendapat bagian 3x6 juta = 18 juta. Dua orang saudara perempuan mendapat bagian 4x6 juta = 24 juta. Jumlah asal masalah yg semula 6 kemudian di Aul-kan menjadi 7, sehingga uang 42 juta dibagi 7=6 juta.
  • 98. RADD/KELEBIHAN HARTA PENINGGALAN 1. Pengertian Kata radd secara etimologi berarti i’aadah mengembalikan. Dikatakan radda ‘alaihi haqqah artinya a’aadahu ilaih; dia mengembalikan haknya kepada yg berhak. Kata radd juga berarti sharf; memulangkan kembali. Dikatakan radda ‘anhu kaida ‘aduwwih; dia memulangkan kembali tipu muslihat musuhnya. Radd menurut istilah (tirminologi) adalah mengembalikan apa yg tersisa dari bagian dzawil furudh kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka apabila tidak ada orang lain yg berhak untuk menerimanya.
  • 99. Dengan demikian, Radd merupakan kelebihan dari aul, apabila harta peninggalan masih mempunyai kelebihan setelah dibagikan kepada seluruh ahli waris sesuai dengan ketentuannya masing-masing dan tidak ada ahli waris yg mendapatkan ashabah, kelebihan harta tersebut dikembalikan kepada ahli waris yg ada menurut pembagian masing-masing.
  • 100. 2. Cara pemecahan Masalah Radd Apabila bersama ashabul furudh didapatkan ahli waris yg tidak mendapatkan fardh berupa salah seorang suami/istri, maka salah seorang suami/istri mengambil fardh-nya (bagiannya) dari pokok harta peninggalan. Sisa sesudah fardh ini untuk ashabul furudh sesuai dengan jumlah mereka apabila terdiri atas satu golongan, baik yg ada itu hanya seorang di antara mereka, seperti anak perempuan ataupun banyak seperti tiga orang anak perempuan. Apabila ashabul furudh lebih banyak dari satu golongan, seperti seorang ibu dan seorang anak perempuan maka sisanya dibagikan sesuai dengan fardh mereka dan dikembalikan sesuai dengan perbandingan fardh mereka pula.
  • 101. Contoh: sesorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri atas suami, anak perempuan, dan ibu. Harta yg ditinggalkan setelah dipotong biaya pemakaman dan keperluan yg lain masih tersisa 72.000.000. caranya penyelesaiannya sebagai berikut; suami 1/4, anak perempuan 1/2, ibu 1/6. Asal masalah 12. suami= 3/12x 72 jt=18 jt, anak perempuan 6/12x 72 jt= 36 jt, dan ibu= 2/12x 72 jt= 12 jt. 18 jt+ 36 jt+12jt = 66 jt. Sisa harta 72 jt-66 jt= 6 jt. Jadi sisa 6 jt dibagikan selain suami yaitu anak perempuan 1/2: 12 = 6, ibu 1/6: 12= 2. Jadi anak perempuan 6/8 x 6 jt = 4,5 jt, ibu 2/8 x 6 jt = 1,5 jt.

Editor's Notes

  1. , tetapi i