Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang pengaturan pemerintah terkait pengelolaan perkebunan kelapa sawit dan industri pengolahan CPO di Indonesia, termasuk perizinan, kewajiban membangun plasma, serta kebijakan untuk memastikan ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan.
1. 1
GOVERNMENTAL ENVIRONMENT
GOVERNMENTAL ENVIRONMENT AND ITS SIGNIFICANCE on THE
DEVELOPMENT OF CRUDE PALM OIL (CPO) INDUSTRY
Pengajar:
Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP
Ira Kristina L. Tobing
10/325335/pek/15945
AKHIR PEKAN ANGKATAN 20 C
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADA
JAKARTA
2012
2. 2
D A F T A R I S I
I. ISI
1. Pendahuluan ............................................................ 3
2. Hasil Temuan ............................................................ 5
II. Kesimpulan dan Saran ............................................................ 7
Daftar Pustaka ............................................................ 7
D A F T A R T A B E L
Tabel 1. Luas Areal dan Produksi Sawit
Indonesia Tahun 2005 – 2010
......................... 3
3. 3
I. I S I
1. Pendahuluan
Agar dapat memberikan gambaran yang lebih jelas bagaimana governmental
environment menjadi salah satu lingkungan yang mempengaruhi suatu dunia usaha maka
contoh praktis dapat diambil dari operasional suatu industri pengolah Crude Palm Oil
(CPO) menjadi penghasil minyak goreng.
Untuk komoditas kelapa sawit, produsen hulu baik yang menghasilkan tandan buah
segar dan CPO dihasilkan oleh perkebunan baik perkebunan rakyat (PR), perkebunan
besar negara (PBN) dan perkebunan besar swasta (PBS). Luas areal perkebunan kelapa
sawit selama 5 tahun terakhir terus meningkat dari 5,45 juta ha pada tahun 2005 menjadi
7,82 juta ha pada tahun 2010. Demikian pula dengan produksinya yang terus meningkat
dari 11,86 juta ton CPO pada tahun 2005 menjadi 19,84 juta ton CPO pada tahun 2010.
Tabel 1. Luas Areal dan Produksi Sawit Indonesia Tahun 2005 – 2010
PR PBN PBS Jumlah PR PBN PBS Jumlah
2005 2.356.895 529.854 2.567.068 5.453.817 4.500.769 1.449.254 5.911.592 11.861.615
2006 2.459.572 687.428 3.357.914 6.594.914 5.783.088 2.313.729 9.254.031 17.350.848
2007 2.752.172 606.248 3.408.416 6.766.836 6.358.389 2.117.035 9.189.301 17.664.725
2008 2.881.898 602.963 3.878.986 7.363.847 6.923.042 1.938.134 8.678.612 17.538.788
2009*) 3.013.973 608.580 3.885.470 7.508.023 7.247.979 1.961.813 9.431.089 18.640.881
2010 **) 3.314.663 616.575 3.898.385 7.824.623 7.774.036 2.089.908 9.980.957 19.844.901
Luas Areal (Ha)
Tahun
Produksi (Ton)
Sumber: Ditjenbun, Kementrian Pertanian
Perkebunan sawit rakyat terdiri atas perkebunan plasma dan perkebunan swadaya.
Kondisi kebun sawit rakyat pada umumnya belum dikelola dengan baik sehingga tingkat
produktivitasnya masih rendah. Pada tahun 2010, luas areal perkebunan sawit rakyat
mencapat 3,3 juta ha. Perkebunan swasta mendomasi luas areal perkebunan sawit
Indonesia yaitu mencapai sekitar 49%, sementara perkebunan rakyat mencapai 41% dan
perkebunan Negara hanya 10 persen. Sementara itu selama tahun 2005-2009, produksi
CPO Indonesia tumbuh sebesar 14,5% per tahun, dari 11,9 juta tons pada tahun 2005
menjadi 19,4 juta ton pada tahun 2009.
Seperti terlihat dari pangsa luas dan produksi kelapa sawit nasional, perkebunan rakyat
meliputi sekitar 41%, perkebunan besar swasta nasional sekitar 49%, dan sisanya sekitar
4. 4
10% adalah perkebunan rakyat. Namun demikian umumnya perkebunan rakyat tidak
memiliki pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) sehingga penguasaan CPO ada pada
perkebunan besar swasta dan perkebunan negara.
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas andalan bangsa Indonesia yang
memberikan peran yang sangat signifikan dalam pembangunan perekonomian bangsa
Indonesia. Indonesia diharapkan akan menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia.
Industri minyak kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis, karena berhubungan
dengan sektor pertanian (agro‐based industry) yang banyak berkembang di negara‐negara
tropis seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand.
Hasil industri minyak kelapa sawit bukan hanya minyak goreng saja, tetapi juga bisa
digunakan sebagai bahan dasar industri lainnya seperti industri makanan, kosmetika dan
industri sabun. Pengolahan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai industri hilir
walaupun masih sangat terbatas (Kementerian Perindustrian, 2011). Industri yang telah
berkembang diantaranya adalah industri hulu yang mengolah CPO menjadi olein, stearin
dan PFAD.
Dari beberapa faktor yang berkaitan dengan standar mutu minyak sawit tersebut,
didapat hasil dari pengolahan kelapa sawit, seperti Crude Palm Oil (CPO), Crude Palm
Stearin, RBD Palm Oil, RBD Olein, RBD Stearin, Palm Kernel Oil, Palm Kernel Fatty
Acid, Palm Kernel, Palm Kernel Expeller (PKE), Palm Cooking Oil, Refined Palm Oil
(RPO), Refined Bleached Deodorised Olein (ROL), Refined Bleached Deodorised Stearin
(RPS) dan Palm Kernel Pellet serta Palm Kernel Shell Charcoal. Beberapa produk dan
teknologi industri hilir kelapa sawit adalah refinery, asam lemak (fatty acid), fatty alkohol,
biodiesel, minyak goreng, margarin, mayonaise, cocoa butter substutute, surfaktan, sabun
dan pembangkit listrik .
Indonesia menghasilkan sekitar 21.5 juta ton CPO di tahun 2009. Dari jumlah itu, ada
sekitar 15.5 juta ton diekspor dan selebihnya digunakan untuk konsumsi dalam negeri.
Dari seluruh penghasil CPO, perusahaan swasta menghasilkan kurang lebih 52%,
sementara petani usaha kecil dan BUMN menghasilkan kurang lebih 36% dan 12%.
Indonesia sekarang menjadi eksportir CPO terbesar di di dunia, mengahalahkan Malaysia
semenjak 2008. Pada tahun 2009, share Indonesia dari pasar ekspor dunia mencapai 54%
dan Malaysia hanya sekitar 45%. Dengan alasan industri pengoolahan CPO merupakan
5. 5
industri yang strategis bagi perekonomian Indonesia dan banyak menguasai hajat hidup
orang banyak terutama di daerah – daerah penghasil kelapa sawit dan pengolah CPO.
Dikarenakan sempitnya waktu untuk penulisan paper ini, maka penelitian yang
dilakukan sebagai dasar untuk penulisan adalah dengan pengamatan empiris dengan
menggunakan data sekunder.
2. Hasil/Temuan
Adapun mengenai pengelolaan perkebunan kelapa sawit dan pengolahan hasil
perkebunannya diatur dalam pengaturan mengenai pembangunan perkebunan di Indonesia
secara khusus yang dibahas dan diatur melalui Undang Undang No. 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan. Salah satu pertimbangan yang mendasari lahirnya UU No.18/2004 tersebut
adalah bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan potensi
yang sangat besar dalam pembangunan perekonomian nasional termasuk didalamnya
pembangunan perkebunan dalam mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara
berkeadilan. Guna mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berkeadilan,
maka perkebunan perlu dijamin keberlanjutannya serta ditingkatkan fungsi dan peranannya.
Sebagaimana diatur di dalam Pasal 15 UU No.18/2004, Usaha perkebunan terdiri atas usaha
budidaya tanaman perkebunan dan atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan2.
Budidaya tanaman perkebunan merupakan serangkaian kegiatan pratanam, penanaman,
pemeliharaan tanaman, pemanenan dan sortasi. Sedangkan usaha industri pengolahan hasil
perkebunan merupakan kegiatan pengolahan yang bahan baku utamanya hasil perkebunan
untuk memperoleh nilai tambah.
Lebih lanjut, pasal 15 tersebut juga menyatakan bahwa industri pengolahan hasil
perkebunan merupakan pengolahan hasil perkebunan yang bahan bakunya karena menurut
sifat dan karakteristiknya tidak dapat dipisahkan dengan usaha budidaya tanaman
perkebunan terdiri dari gula pasir dari tebu, teh hitam dan teh hijau serta ekstraksi kelapa
sawit.
UU No.18/2004 mengatur bahwa untuk melakukan usaha perkebunan, baik budidaya
tanaman perkebunan maupun industri pengolahan hasil perkebunan, dengan luasan dan
kapasitas produksi tertentu wajib memiliki izin usaha perkebunan dari Gubernur untuk
wilayah lintas kabupaten/kota danBupati/Walikota untuk wilayah kabupaten/kota. Namun,
6. 6
khusus untuk pekebun (yang terdefinisikan di dalam ketentuan umum UU No.18/2004
sebagai perorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha perkebunan dengan
skala usaha tidak mencapai skala tertentu) dikecualikan dari ketentuan perizinan dimaksud,
atau tidak wajib memperoleh (mengurus) izin usaha perkebunan.
Sementara untuk pengelolaan usaha budidaya perkebunan terdapat kebijakan teknis
terbaru yang terkait dengan perizinan usaha perkebunan telah diatur secara operasional oleh
Menteri Pertanian melalui Permentan No.26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman
Perizinan Usaha Perkebunan. Di dalam permentan tersebut, yaitu Pasal 5 dan Pasal 6,
menginformasikan bahwa untuk usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan lahan
lebih dari 25 hektar WAJIB memiliki Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B),
sedangkan untuk luasan lahan kurang dari 25 hektar cukup didaftarkan dengan bukti Surat
Tanda Daftar Usaha Budidaya Perkebunan (STD-B) dari Bupati/Walikota.
Terkait dengan pola usaha perkebunan, Pasal 22 UU No.18/2004 menyebutkan bahwa
Perusahaan perkebunan melakukan kemitraan yang saling menguntungkan, saling
menghargai, saling bertanggungjawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan
dengan pekebun, karyawan dan masyarakat sekitar. Adapun Pola kemitraan usaha
perkebunan dapat berupa kerjasama penyediaan sarana produksi, kerjasama produksi,
pengolahan dan pemasaran, transportasi, kerjasama operasional, kepemilikan saham dan
jasa pendukung lainnya.
Adapun berdasarkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 Permentan No.
No.26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan,
dinyatakan bahwa Perusahaan yang memiliki IUP-B wajib membangun kebun untuk
masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% (dua puluh persen) dari total luas areal
perkebunan yang diusahakan oleh perusahaan. Pembangunan kebun masyarakat untuk
masyarakat tersebut dapat dilakukan antara lain melalui pola kredit, hibah atau bagi hasil
yang dilakukan bersamaan dengan pembangunan kebun yang diusahakan oleh perusahaan.
Untuk pengaturan dalam aspek pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan,
pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan yang diatur menurut UU
No.18/2004. Kebijakan ini memuat ketentuan bahwa usaha industri pengolahan hasil
perkebunan adalah kegiatan penanganan dan pemrosesan yang dilakukan terhadap hasil
tanaman perkebunan yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi.
7. 7
Pencapaian nilai tambah tersebut dapat dilakukan di dalam atau di luar kawasan
pengembangan perkebunan dan dilakukan secara terpadu dengan usaha budidaya tanaman
perkebunan, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 27 ayat (3).
Disamping itu, usaha industri pengolahan hasil perkebunan harus dapat menjamin
ketersediaan bahan bakunya dengan mengusahakan budidaya tanaman perkebunan sendiri,
melakukan kemitraan dengan pekebun, perusahaan perkebunan dan atau bahan baku dari
sumber lainnya, sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 17 UU No.18/2004 dimaksud. Guna
menegaskan keterjaminan pasokan bahan baku bagi usaha industri pengolahan hasil
perkebunan, maka Menteri Pertanian melalui Permentan No.26/Permentan/OT.140/2/2007
mengatur mengenai keharusan bagi usaha industri pengolahan hasil kelapa sawit memenuhi
paling rendah 20% kebutuhan bahan bakunya dari kebun yang diusahakan sendiri,
sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 10 Permentan dimaksud.
Disamping itu, dalam usaha industri pengolahan hasil perkebunan juga diharapkan
adanya pola kemitraan pengolahan sehingga lebih dapat menjamin ketersediaan bahan baku,
terbentuknya harga pasar yang wajar dan terwujudnya peningkatan nilai tambah kepada
pekebun sebagai upaya pemberdayaan pekebun. Kemitraan pengolahan tersebut dilakukan
secara tertulis dalam bentuk perjanjian yang berisikan hak dan kewajiban, pembinaan dan
pengembangan usaha, pendanaan, jangka waktu dan penyelesaian perselisihan yang
ditandatangani kedua belah pihak dengan diketahui Bupati/Walikota. Adapun jangka waktu
perjanjian kemitraan pengolahan paling singkat untuk masa 3 (tiga) tahun.
Terkait dengan Perizinan usaha, Permentan Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007
mengatur bahwa untuk usaha industri pengolahan hasil perkebunan yang WAJIB mendapat
izin usaha perkebunan untuk pengolahan (IUP-P) adalah yang memiliki kapasitas produksi
pengolahan 5 ton tandan buah segar per jam. Sedangkan untuk yang berkapasitas dibawah
dari kapasitas tersebut cukup mendaftarkannya yang kemudian dibuktikan dengan Surat
Tanda Daftar Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan (STD-P) yang diterbitkan oleh
Bupati/Walikota.
Sementara untuk kebijakan harga kelapa sawit diatur melalui Peraturan Menteri
Pertanian No 395/Kpts /OT.140/11/2005 diatur mengenai Pedoman Penetapan Harga
Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Pekebun di dalam Permentan ini di
definisikan sebagai perorangan WNI yang melakukan usaha perkebunan sebagai peserta
8. 8
pengembangan pola perusahaan inti rakyat (PIR) atau yang melakukan kemitraan usaha
dengan perusahaan mitra.
Tujuan dari pengaturan harga TBS melalui Permentan 395 tersebut adalah untuk
memberikan perlindungan dalam perolehan harga wajar dari TBS kelapa sawit produksi
petani dan menghindari persaingan tidak sehat diantara pabrik kelapa sawit.
Pasal 4 Permentan Nomor 395 dimaksud, mengatur bahwa Pekebun menjual seluruh
tandan buah segarnya kepada perusahaan dan perusahaan membeli seluruh tandan buah
segar untuk diolah dan dipasarkan sesuai dengan perjanjian kerjasama. Lebih lanjut
mengenai harga, dinyatakan dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa harga pembelian tandan
buah segar oleh perusahaan di dasarkan pada rumus harga pembelian tandan buah segar,
yang mengandung variable indeks proporsi (dalam %) yang menunjukkan bagian yang
diterima oleh pekebun (dinyatakan dalam notasi K), harga rata-rata minyak sawit kasar
(CPO) tertimbang realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal masing-masing perusahaan
pada periode sebelumnya (dinyatakan dengan notasi Hms), rendemen CPO (dinyatakan
dengan notasi Rms) dan rendemen inti sawit/PKO (dinyatakan dengan notasi Ris) dan harga
rata-rata inti sawit tertimbang realisasi penjualan ekspor (FOB) dan local masing-masing
perusahaan pada periode sebelumnya (dinyatakan dengan notasi His). Secara matematis
formula harga tandan buah segar ditetapkan dengan rumus sebagai berikut:
H TBS = K (Hms X Rms + His X Ris)
Harga pembelian TBS sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Tim Penetapan Harga
TBS yang dibentuk oleh Gubernur, minimal 1 (satu) kali setiap bulan yang merupakan
harga franco pabrik pengolahan kelapa sawit. Keanggotaan Tim Penetapan Harga TBS
terdiri dari unsur Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota; Dinas yang menangani
Perkebunan Propinsi, 16 Kabupaten/Kota; Perusahaan Inti; Wakil Pekebun PIR Kelapa
Sawit (kelembagaan Pekebun); dan instansi terkait.
Terkait mengenai sanksi apabila tidak memenuhi ketentuan ketetapan harg TBS yang
ditetapkan, Pasal 11 Permentan 395 dimaksud, menginformasikan bahwa
Pekebun/kelembagaan pekebun dan Perusahaan apabila tidak memenuhi ketentuan yang
telah disepakati dikenakan sanksi sesuai dalam perjanjian kerjasama (yang dibuat diantara
kedua belah pihak).
9. 9
II. KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam negara dengan pemerintahannya banyak mengeluarkan kebijakan yang
mengatur dunia bisnis seperti Indonesia, lingkungan pemerintahan menjadi salah satu faktor
penentu perkembangan satu dunia usaha, terutama industri minayk goreng dari kelapa sawit
(pengolah CPO). Kebijakan pemerintah Indonesia mengatur dari sektor hulu, yang dimulai
dari perkebunan, harga tandan buah segar bahkan sampai ke sektor hilirnya, dari sektor
pengolahan dan pemasarannya.
Karena besarnya pengaruh lingkungan pemerintah baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah dalam ruang lingkup kebijakan untuk pengaturan bisnis industri
pengolahan. Maka saran yang dapat diberikan baik kepada dunia usaha maupun sektor
pemerintahan adalah sebelum mengeluarkan kebijakan atau keputusan strategis perusahaan,
sebaiknya pemerintah (instansi pemerintahan terkait) mengadakan kajian terlebih dahulu
untuk menguji apakah kebijakan yang akan dikeluarkan akan menciptakan lingkungan
bisnis yang kondusif. Begitu juga dengan para pembuat keputusan strategi di unit bisnis
yang bergerak di sepanjang rantai nilai pengolahan CPO, adalah sangat disarankan untuk
terlebih dahulu mempelajari lebih mendalam dan terperinci kebijakan pemerintah yang
terkait dengan pengembangan indsutri pengolahan CPO di Indonesia.
10. 10
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Perkebunan. (1991-1998). Statistik Perkebunan Indonesia, Kelapa Sawit
(Indonesia Estate Crop Statistics, Oil Palm), Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta
Kementerian Perdagangan. “Indonesia Business Guide: Invest, Live and Grow. Succesfully
in Indonesia.”Laporan Kegiatan , 2010.
Kementerian Perindustrian, Biro Perencanaan. “Analisis Peluang Kerjasama Investasi
Industri Hilir: Kelapa Sawit, Karet dan Kakao”Laporan Kegiatan BiroPerencanaan ,
2011 .
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. “Evaluasi Kebijakan Perkebunan Kelapa Sawit”
Position Paper KPPU terhadap Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit, 2007.